1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.1.1. Identifikasi Permasalahan
Sebagai salah satu penerus tradisi Gereja Reformasi, Gereja Kristen Jawa (GKJ) memiliki ajaran iman yang sangat mendasar sehubungan dengan keberadaannya. Dari ajaran resmi yang dituangkan di dalam Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPAGKJ) dinyatakan bahwa keber-adaannya merupakan buah penyelamatan Allah. Dengan penyelamatan Allah itu memungkinkan manusia untuk memiliki kembali hubungan yang benar dengan Allah. Hubungan dengan Allah ini sering disebut juga dengan istilah keselamatan.1
Selanjutnya, untuk mengungkapkan apa yang menjadi dasar keber-adaannya itu, GKJ melakukan suatu tindakan yang disebut dengan istilah ibadah. Segala sesuatu yang terdapat di dalam ibadah tersebut dipahami menjadi gambaran pertemuan dan percakapan timbal balik antara umat dengan Allah. Dari pihak umat terdapat sembah sujud, pujian, pengakuan dosa, permohonan ampun, kesanggupan, persembahan, dan pengakuan iman. Sedangkan dari pihak Allah adalah pengampunan, penyampaian sabda, berkat, serta perintah-perintah ataupun hukum Tuhan. Karena itu,
1
2
ibadah bagi GKJ dipandang sebagai tindakan dramatis simbolis.2 Adapun pokok-pokok yang ada di dalam pertemuan dan percakapan di atas pada akhirnya juga menjadi garis besar dan sekaligus dasar perumusan tata peribadahan (liturgi) yang tersusun secara urut dan teratur, yaitu adiutorium
(pertolongan Allah, yang terjadi dalam ibadah) atau votum (seruan peng-absahan terjadinya ibadah, oleh karena pertolongan Allah) dan salam,
introitus (pengantar untuk memulai ibadah) dan pujian, pengakuan dan penyesalan dosa, berita anugerah dan petunjuk hidup baru, kesanggupan, doa syukur dan syafaat, persembahan, pelayanan sabda, pengakuan iman, pengutusan, dan berkat.3
Karena liturgi di dalam ibadah GKJ berisikan gambaran pokok-pokok pertemuan dan percakapan antara umat dengan Allah, maka liturgi di sini sesungguhnya dapat dipahami pula sebagai gambaran yang menghadirkan kembali ingatan akan pusat sekaligus sumber ibadah dari GKJ itu sendiri, yaitu penyelamatan yang telah dilakukan oleh Allah dengan berpuncak pada pengorbanan Yesus Kristus. Menurut PPAGKJ ada dua makna penting dalam pengorbanan Yesus Kristus untuk keselamatan umat. Pertama adalah penebusan umat dari hukuman dosa oleh Allah. Adapun yang kedua adalah pembasuhan atau pentahiran umat dari dosa. Makna-makna pengorbanan Yesus Kristus tersebut merupakan satu kesatuan dari karya penyelamatan Allah bagi umat dengan lambang perjamuan dan baptisan sebagai sakramen.
2
Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, 51-52. 3
3
Sebagaimana dinyatakan pada PPAGKJ bahwa makna yang terdapat pada Sakramen Perjamuan dan Sakramen Baptisan sebagai inti dari liturgi men-jadi sesuatu yang dikuduskan (Jawa, kang sinengker) untuk dipersembahkan kepada Allah yang berguna di dalam pekerjaan penyelamatan Allah, khusus-nya sisi pemeliharaan iman umat.4 Pemahaman itu dipertegas pula dalam PPAGKJ Edisi 2005 yang menyatakan bahwa sakramen adalah alat pelayanan yang dikhususkan di dalam pekerjaan penyelamatan Allah, yaitu sebagai penyataan dan pemeliharaan iman.5
Sebagai lambang dari inti pengungkapan dasar keberadaannya, kedua sakramen tersebut di atas memperlihatkan adanya makna penting bagi GKJ yang mengendap dalam tugas panggilan dirinya. Menurut PPAGKJ, tugas panggilan yang pertama adalah bersaksi atau memberitakan tentang penyelamatan Allah kepada yang belum mendengar, dan yang kedua adalah memelihara keselamatan orang-orang yang telah diselamatkan. Dengan kata lain, kedua tugas panggilan itu memberikan penegasan sekaligus arah makna liturgi dalam ibadah GKJ yang bersifat ke dalam maupun ke luar sebagai keutuhan keberadaan diri terkait dengan keterlibannya pada karya penyelamatan Allah bagi umat di dunia.6
Dengan seluruh pemahaman di atas, maka liturgi dalam ibadah GKJ dapat dimengerti bukan sekedar tindakan upacara keagamaan (ritual)
belaka. Liturgi di dalam peribadahan sesungguhnya merupakan “jiwa”
4
Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, 55. 5
Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2005 (Salatiga: Per-cetakan Sinode GKJ, 2009), 47.
6
4
kepercayaan rohani atau keimanan GKJ yang memiliki hubungan erat dan tidak terpisahkan dengan karya tanggung jawab agung dari Illahi dalam kehidupan nyata di dunia ini. Malcolm Brownlee menyatakan bahwa peribadatan yang terdapat di dalam Alkitab dengan segala unsurnya tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hubungan erat tersebut nampak dari beberapa istilah yang dipakai oleh Alkitab, yaitu “sharath” dan “abodah” dalam Perjanjian Lama, serta “latreia” dan “leitourgia” dalam Perjanjian Baru, yang artinya “kebaktian”, “pelayanan”, “kerja”, yang artinya mirip dengan makna kata “pengabdian”. 7 Brownlee juga menegaskan bahwa peribadatan orang Kristen tidak terbatas kepada upacara-upacara tertentu, melainkan dilakukan di dalam semua segi kehidupan. Segenap bentuk kehidupan perlu dipersembahkan kepada Tuhan sebagai wujud kesediaan untuk ikut serta di dalam pekerjaanNya yang mengubah dan menyelamat-kan dunia di berbagai bidang kehidupan dunia ini.
Selain pengertian dari sisi “jiwa” kepercayaan rohani atau
spiritualitas, liturgi dalam ibadah GKJ juga mengandung pengertian adanya sisi karya tugas penting yang diemban umat sebagai pengutusan bagi kehidupan di tengah dunia ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasid Rachman, bahwa berdasarkan liturgi yang ada dalam tradisi gereja kuno maka ibadah bagi Gereja bukanlah semata-mata tujuan, melainkan juga
7
5
sebuah pengutusan.8 Karena itu, sebagaimana dinyatakan oleh PPAGKJ tentang sisi lain dari keberadaan GKJ, maka liturgi dalam ibadah memiliki makna yang berguna untuk memampukan Gereja agar dapat menampakkan tanda-tanda Kerajaan Allah yang hadir di tengah dunia, sebagai wujud penyelamatanNya secara nyata.9
Dengan kata lain, liturgi dapat dipahami sebagai sarana yang meng-gerakkan Gereja untuk terlibat secara langsung dalam karya penyelamatan Allah yang menjadi tugas panggilannya secara utuh di berbagai bidang kehidupan. Bukan hanya pada diri sendiri ataupun orang luar semata-mata, tetapi untuk semua kalangan secara serempak. Demikian pula bukan hanya pekerjaan yang terbatas pada sisi batiniah ataupun rohaniah saja, tetapi juga pekerjaan yang bersifat jasmaniah.
Berdasarkan pengamatan tersebut di atas, perlu dipertanyakan lebih lanjut, sejauh manakah praktik liturgi dalam ibadah GKJ dapat terlaksana secara baik sesuai dengan kegunaannya. Apakah liturgi yang selama ini ada dan berlaku dalam ibadah GKJ telah dapat menjadi sarana penghayatan umat untuk beribadah sebagaimana mestinya, meskipun bentuknya sederhana?
8
Rasid Rachman, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 5.
9
6
Sebagaimana yang berlaku di dalam peribadatan sejak tahun 1961 dan dirumuskan kembali pada tahun 1991 dalam Sidang Kontrakta Sinode GKJ,10 GKJ selama ini menggunakan liturgi baku atau liturgi awal yang kemudian dikembangkan menjadi tiga formula.11 Bahkan pada beberapa tahun terakhir ini, secara sinodal GKJ sedang menambahkan formula liturgi baru yang terkait dengan penerapan sistem leksionari di dalam pelayanan peribadahan. Formula leksionari yang selanjutnya disebut dengan Liturgi Leksionari GKJ12 tersebut memiliki tata susunan yang cukup berbeda dengan bentuk liturgi ibadah GKJ formula I yang merupakan bentuk awal dan disebut dengan Liturgi Minggu I, beserta dengan pengembangannya dalam liturgi ibadah GKJ formula II dan III yang disebut dengan Liturgi Minggu II dan Liturgi Minggu III.13
Keberadaan beberapa formula litrugi tersebut di dalam pelaksana-annya tidak mudah. Liturgi ibadah GKJ formula I maupun formula II dan formula III hingga kini pelaksanaannya belum semuanya dapat diterima oleh umat. Bahkan, dalam pengantar buku Liturgi GKJ dinyatakan adanya persoalan bahwa umat pada akhirnya cenderung kembali hanya meng-gunakan liturgi formula I.14 Karena itu, ketika muncul formula Liturgi Leksionari dimungkinkan semakin menambah persoalan liturgi dalam peribadahan GKJ itu sendiri. Persoalan tersebut secara langsung ataupun
10
Sinode GKJ, Liturgi GKJ, i-ii. 11
Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 15-23. 12
Tim Liturgi GKJ, Menuju Pembaruan Liturgi Gereja Kristen Jawa (Salatiga: Per-cetakan Sinode, 2011), 23-24.
13
Lihat Lampiran Liturgi Ibadah Minggu I, II, III, dan Macam Liturgi Leksionari. 14
7
tidak langsung memiliki hubungan dengan persoalan-persoalan penting lainnya yang tidak bisa dipisahkan dari tindakan penerimaan di atas, yaitu menyangkut tata susunan serta pemahaman makna berbagai unsur yang terdapat pada liturgi dalam ibadah GKJ, maupun penghayatannya sendiri di dalam dan di luar kehidupan umat. Sebagaimana tersirat jelas pula dalam pendahuluan yang terdapat pada buku Liturgi GKJ dinyatakan bahwa keterangan yang dibuat pada bagian awal buku tersebut berguna untuk memberikan pengetahuan kepada umat akan pengertian ibadah beserta dengan unsur-unsur yang tersusun dalam liturgi. Liturgi bukan sebuah tindakan kebiasaan yang diulang-ulang pada kesempatan waktu dan tempat tertentu, akan tetapi memiliki pengertian penting bagi kehidupan iman umat di tengah dunia ini.15
Karena itu, dari persoalan di atas dimungkinkan bahwa di dalam pelaksanaannya, unsur-unsur yang ada di dalam liturgi cenderung masih banyak dipahami sebagai tata urutan di dalam peribadahan yang tidak lebih dari sebatas tata perilaku rohani atauritual umat di tengah ruangan tertentu yang kurang, atau bahkan tidak memiliki hubungan serta berbeda dengan kehidupan dunia sehari-hari.
Suasana ini terasa pada ketegangan yang terdapat di dalam perjumpaan kehidupan kultural umat sehari-hari berdasarkan nilai-nilai yang berlaku di tengah Gereja sebagai komunitasnya dengan berbagai bentuk tata nilai masya-rakat maupun adat istiadat yang merupakan gambaran
15
8
pandangan budaya di mana umat tersebut hidup dan tumbuh di dalamnya. Peribadahan dengan liturgi yang dijalankan seakan menjadi tidak ber-sentuhan dan tidak tersentuh sama sekali oleh tata nilai kehidupan sesungguhnya dari masyarakat yang menjadi kenyataan hidup sehari-hari umat.
1.1.2. Alasan Pemilihan Judul
Persoalan peribadahan umat di gedung Gereja yang tidak bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari maupun dengan tata kehidupan dan adat masyarakat di atas menyiratkan arti bahwa anugrah keselamatan umat yang diterima dari Allah belum mampu diungkapkan dan dinikmati secara penuh. Sebab untuk mengungkapkan dan menikmati keselamatan yang dilakukan oleh umat melalui peribadahan yang disusun menggunakan liturgi masih ada keterbatasan di dalam kecenderungan yang hanya untuk perhimpunan
(komunitas) yang dimilikinya sendiri. Sedangkan untuk mengungkapkan dan menikmati keselamatan dari umat yang menjangkau atau merambah di tengah ranah perjumpaan kehidupan sehari-hari belum mampu diwujud-nyatakan. Dengan kata lain, bahwa pengungkapan dan menikmati keselamatan melalui peribadahan yang ditata di dalam liturgi masih menjadi sesuatu yang asing di ranah kehidupan nyata umat. Bahkan, liturgi yang dijalankan oleh umat di dalam peribadahannya tersebut dapat dikatakan
“tidak memiliki jiwanya sendiri” sebagai bagian dari pribadi masyarakat
9
Persoalan di dalam mengungkapkan dan menikmati anugerah keselamatan dari Allah di tengah kehidupan umat yang tidak utuh inilah memungkinkan dan sekaligus dapat diasumsikan bahwa liturgi peribadahan GKJ kurang menyentuh maupun tersentuh konteks budaya umat. Akhirnya, Dengan beberapa uraian alasan yang dipaparkan di atas, di dalam penelitian ini penulis memilih judul:
Liturgi Gereja Kristen Jawa:
Suatu Studi Teologi Kontekstual Berbasis Budaya Jawa Terhadap Tata Ibadah GKJ
1.2. Batasan Istilah
Ada beberapa pengertian mendasar yang perlu untuk dijelaskan secara singkat mengenai istilah-istilah yang digunakan di dalam pemilihan judul tulisan ini.
1.2.1. Liturgi Gereja Kristen Jawa
10
ibadah, bukan sebaliknya. Karena itu, ibadah ada terlebih dulu kemudian baru tatanan atau cara peribadahannya.16
1.2.2. Gereja Kristen Jawa
Seperti dinyatakan pada Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ, yang di-maksudkan dengan Gereja Kristen Jawa adalah kehidupan bersama religius yang berpusat pada penyelamatan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus di suatu tempat tertentu, yang dipimpin oleh majelis gereja dan yang telah mampu mengatur diri sendiri, mengembangkan diri sendiri, serta membiayai diri sendiri berdasarkan Alkitab, Pokok-Pokok Ajaran, serta Tata Gereja mau-pun Tata Laksana GKJ.17
1.2.3. Teologi Kontekstual
Adapun yang dimaksudkan dengan teologi kontekstual di sini adalah teologi Kristen yang dipandang ataupun dibangun dari situasi dan kondisi konteks tertentu. Sebagaimana dinyatakan oleh Huang Po Ho, bahwa teologi kontekstual atau yang disebutnya juga dengan istilah teologi situasional, adalah sebuah teologi yang mengambil konteks, situasi dan kondisi suatu tempat, sejarah, dan budaya umat di tengah masyarakat di mana Gereja ada, sebagai sumber refleksi teologi dan pengakuan iman, serta untuk
16
Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 1-9. 17
11
bangun suatu teologi yang mampu membentuk identitas orang Kristen yang relevan dengan konteksnya.18
1.2.4. Budaya Jawa
Maksud dari Budaya Jawa adalah seperangkat tindakan atau perilaku dari masyarakat yang memiliki faham Jawa (Kêjawen), beserta dengan segala hasil dan bentuknya. Seperti yang dikatakan oleh Moh Yana, bahwa
Kêjawen adalah faham yang didasarkan pada konsep harmonisasi antara makrokosmos (jagad gêdhe) dengan mikrokosmos (jagad cilìk), sebagai asas keselamatan dan kehidupan orang Jawa.19
1.3. Rumusan Masalah
Berangkat dari asumsi bahwa liturgi peribadahan GKJ kurang tersentuh maupun menyentuh konteks budaya umat, maka di dalam tulisan ini memunculkan rumusan masalah dalam pertanyaan berikut ini:
Apakah dasar pemahaman liturgi peribadahan yang diberlakukan oleh GKJ sehingga masih terdapat kesulitan bagi umat di dalam mengungkapkan dan menikmati keselamatannya di dalam perjumpaan dengan kehidupan sehari-hari berdasarkan konteks budayanya?
18
Huang Po Ho, No Longer a Stranger: Towards the Construction of Contextual Theo-logies (Kottayam: Wigi Printers, 2007), 13.
19
12
Pertanyaan ini merupakan hal yang penting di dalam tulisan penelitian untuk menjawab sebab kesulitan yang terjadi di dalam mengungkapkan dan menikmati keselamatan umat di dalam ranah perjumpaan kehidupan sehari-hari di tengah konteks budaya yang dimilikinya.
1.4. Tujuan Penulisan
Tujuan utama yang hendak dicapai dari tulisan penelitian ini adalah untuk melakukan analisa kritis dengan menggunakan pendekatan teologi kontekstual terhadap tata peribadahan GKJ berbasis budaya Jawa seperti apa yang ada di dalam dokumen gerejawi secara sinodal terkait dengan liturgi.
1.5. Manfaat Penelitian
13
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Upaya untuk menjawab asumsi yang terumuskan di dalam rumusan masalah maupun tujuan di atas, metode yang dipergunakan di dalam tulisan ini adalah deskriptif analitis. Artinya, di dalam penelitian diskriptif dilakukan kajian yang lebih mendalam. Adapun menurut Mohammad Nazir, penelitian diskriptif sendiri adalah suatu usaha dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu objek, kondisi, suatu pemikiran ataupun peristiwa-peristiwa.20 Menurut-nya, tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.
Sehubungan dengan itu, yang akan menjadi objek di dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen sejarah pandangan dan pemahaman yang menjadi sumber ataupun yang berhubungan dengan rumusan liturgi yang dipergunakan di dalam peribadatan umat GKJ. Karena itu pula, jenis penelitian yang dilakukan di dalam tulisan ini adalah penelitian kepustakaan. Menurut Nazir, penelitian kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan penelaahan atau penelitian terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan sebagai objek yang ada hubungannya dengan masalah yang sedang dikaji.21
20
Mohammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), 63. 21
14
1.6.2. Sumber dan Pengumpulan Data Penelitian
Adapun dokumen yang menjadi data analisa di sini dibedakan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi dokumen-dokumen artikel-artikel akta Sidang Sinode GKJ yang pertama (1931) hingga terakhir (2012), buku-buku liturgi beserta dengan rumusan teologis yang dimiliki oleh GKJ. Sedangkan data sekunder di dalam penelitian ini adalah buku-buku kajian sejarah mengenai GKJ, catatan-catatan lain seputar sejarah beserta issu-issu penting terkait persidangan sinode yang dilakukan oleh GKJ. Adapun data sekunder lain sebagai pendukung atau pelengkap adalah hasil wawancara dari narasumber yang berhubungan dengan rumusan liturgi GKJ itu sendiri.
Setelah diadakan pemilahan terhadap dokumen-dokumen tersebut, data yang didapatkan dirangkai dalam bentuk susunan menurut jenis-jenis atau pokok-pokok permasalahan masing-masing sehingga menjadi kerangka objek penelitian yang jelas.
1.7. Kerangka Penulisan
Akhirnya, di dalam penyajian tulisan ini akan disusun dengan kerangka penulisan secara berurutan sebagai berikut:
15
Selanjutnya, sebagai dasar pengkajian persoalan yang terumuskan di dalam rumusan masalah tersebut akan disampaikan di dalam Bab II yang berisikan tentang kajian teoritis mengenai makna, sejarah, dan dasar-dasar liturgi peribadatan, serta pemahaman budaya Jawa sebagai faham beserta dengan pengungkapannya dalam tata upacara kepercayaan yang dimilikinya, sebagai keberadaannya yang khas atau kontekstual.
Bagian teori tersebut disusul dengan bagian Bab III yang memaparkan data kajian yang diperoleh dari dokumen-dokumen, buku-buku sejarah dan kajian, serta hasil wawancara dengan narasumber yang berkaitan dengan perumusan liturgi peribadatan GKJ beserta dengan pandangan teologisnya.
Untuk mengetahui sejauh mana persoalan yang telah dirumuskan di dalam bagian awal berdasarkan teori dan data yang ditemukan pada proses perumusan liturgi peribadatan GKJ, maka di dalam Bab IV akan dilakukan analisa sesuai dengan metode penelitian yang dipilih di dalam tulisan ini.