• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Dan Jaminan Sosial Bagi Karyawan Sales Marketing Pada Perusahaan Toyota Mobil Indonesia (Studi Terhadap PT. Astra International Auto 2000 Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Dan Jaminan Sosial Bagi Karyawan Sales Marketing Pada Perusahaan Toyota Mobil Indonesia (Studi Terhadap PT. Astra International Auto 2000 Medan)"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA, HUKUM KETENAGAKERJAAN DAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kerja

1. Pengertian Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja diatur dalam Bab IX Undang-Undang Ketenagakerjan

Tahun 2003. Dalam Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003

menyebutkan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan

pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan

kewajiban para pihak.9

Selain pengertian normatif seperti tersebut di atas, Imam Soepomo

berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu

(pekerja), mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak

kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk memperkerjakan buruh

dengan membayar upah.

Pasal 1601a KUH Perdata memberikan pengertian sebagai berikut:

“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu, yaitu

pekerja, mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain,

yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu”.

10

9

F.X. Djumialdji, S.H., M.Hum, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm 7

10

(2)

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian

diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Kesepakatan antara kedua belah pihak

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3. Sesuatu hal tertentu, dalam hal ini untuk menerima karyawan atau

memperkerjakan karyawan

4. Sesuatu sebab atau hal yang diwenangkan

Perjanjian kerja melahirkan hubungan kerja. Hubungan kerja adalah

hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang

mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Tiga unsur inilah yang

membedakan antara hubungan kerja di satu sisi dengan hubungan hukum di sisi

lainnya. Hubungan hukum yang dilekati 3 (tiga) unsur ini merupakan hubungan

kerja, yaitu sebagai berikut:11

1. Pekerjaan

Jenis, ruang lingkup, dan keluasan pekerjaan amat beragam. Oleh karena

itu, bisa dimengerti kalau Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak merinci

makna pekerjaan. Politik hukum seperti ini dimaksudkan agar undang-undang

tersebut dapat mengikuti perkembangan zaman. Undang-undang hanya

menentukan jika perjanjian kerja disebut secara tertulis, maka harus dimuat:

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha

b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja

(3)

d. tempat pekerjaan

e. besarnya upah dan cara pembayarannya

f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja

g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja

h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat

i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Adanya syarat dalam huruf f, yaitu tentang syarat-syarat kerja yang

memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja memperjelas sesuatu yang

harus dilakukan atau dikerjakan oleh pekerja. Sesuatu yang harus dikerjakan oleh

pekerja berarti kewajiban pekerja untuk kepentingan pengusaha, dalam arti

sempit, sesuai dengan perjanjian kerja adalah pekerjaan. Di dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia kata pekerjaan dipadankan dengan tugas kewajiban.12

Sementara itu kata ini diartikan sebagai barang apa yang dilakukan

(diperbuat, dikerjakan, dan sebagainya).13

Jika makna ini yang diikuti, maka pekerjaan merupakan sesuatu yang

dikerjakan yang merupakan tugas atau kewajiban. Makna ini tidak jauh berbeda

dengan makna yang diberikan oleh Oxford Advanced Learnens. Kamus ini

memaknai job sebagai a particular piece of work; a task; a responsibility, duty or

function.14

12

Kamus Besar Bahasa Indonesia (disingkat KBBI), Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm 428

13 Ibid 14

(4)

Makna atau batasan menurut kamus-kamus tersebut dapat digunakan

sebagai pedoman, walaupun tidak mengikat secara hukum. Di dalam berbagai

kasus, dengan menggunakan berbagai macam metode menemukan hukum, hakim

atau penegak hukum lainnya akan dapat memberikan makna pada kata pekerjaan.

2. Upah

Menurut Pasal 1 Angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 upah

adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai

imbalan dari pengusaha/pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan

dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan

perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu

pekerjaan dan/atau jasa yang telah/akan dilakukan. Penerima upah adalah pekerja.

Pembayar upah adalah pengusaha/pemberi kerja. Aturan hukum dibayarkannya

upah adalah perjanjian kerja atau kesepakatan atau peraturan

perundang-undangan. Mengenai perjanjian kerja dan peraturan perundang-undangan memang

sudah semestinya. Upah dapat didasarkan pada perjanjian kerja sepanjang

ketentuan upah di dalam perjanjian kerja tersebut tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan. Jika ternyata ketentuan upah di dalam perjanjian

kerja bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka yang berlaku

adalah ketentuan upah di dalam peraturan perundang-undangan.

Berbeda dengan perjanjian kerja dan peraturan perundang-undangan

sebagai dasar pembayaran upah adalah kesepakatan. Menurut peraturan

perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Nomor l3 Tahun 2003,

(5)

perjanjian mengenai upah tersebut, besarnya upah tidak boleh lebih rendah atau

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Jika ketentuan ini dilanggar,

sanksinya adalah kebatalan (batal demi hukum).

3. Perintah

Baik Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 maupun peraturan

perundang-undangan sebelumnya tidak memberikan batasan atau definisi

mengenai perintah. Secara leksikal perintah berarti merupakan:15

a. Perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu

b. Aturan dari pihak atas yang harus dilakukan

Makna leksikal mengenai perintah tersebut menunjukkan adanya unsur

“pihak atas” atau unsur “keharusan melakukan sesuatu oleh seseorang atas

kehendak orang lain”. Kalau berbagai unsur lain, misalnya jaminan sosial, upah,

syarat-syarat kerja dan lain-lain merupakan unsur yang dapat ditawar-tawar, maka

unsur adanya perintah ini merupakan unsur yang tidak dapat ditawar-tawar. Tidak

ada hubungan kerja apabila unsur perintah tidak melekat pada hubungan hukum.

Sesungguhnya adanya unsur “perintah” di dalam suatu hubungan kerja ini pernah

digoyah oleh Profesor M. Laica Marzuki. Beliau menegaskan bahwa pekerja

selaku subjek hukum penerima kerja (werknemer) adalah tidak berada di bawah

perintah majikan, tetapi justru berkedudukan hukum yang sama dan sederajat

dengan kedudukan hukum majikan sebagai layaknya pihak-pihak yang

mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian timbal-balik.16

15

KBBI, Op.cit, hlm 672 16

(6)

Secara ilmiah pendapat ini dapat diterima, sebab sesungguhnya

persoalannya tidak terletak pada adanya perintah, melainkan karena adanya

perjanjian kedua belah pihak, yaitu pengusaha dan pekerja.

Sementara itu menurut Soetikno, meskipun lewat konstruksi hukum yang

berbeda, pendapatnya dapat dikatakan sejalan dengan Profesor M. Laica Marzuki.

Soetikno menegaskan bahwa tidak merupakan keharusan bahwa kekuasaan untuk

memberi perintah dilaksanakan secara sesungguhnya. Cukup bahwa kekuasaan

tersebut dilaksanakan menurut hukum.17

Sebagai wujud ketaatan terhadap perintah, di dalam pasal 1601 i BW

ditegaskan bahwa perjanjian kerja antara suami istri adalah batal. Sumber hukum

materiil adanya ketentuan yang demikian ini adalah karena di dalam perintah

terkandung unsur atasan (yang memerintah) dan bawahan (yang diperintah),

padahal hubungan suami istri adalah hubungan yang landasannya adalah

kesetaraan, keseimbangan dan kesamaan.

Frase menurut hukum di sini tentu saja harus ditafsirkan baik menurut

peraturan perundang-undangan, perjanjian, maupun kebiasaan.

18

2. Timbulnya Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja merupakan sebuah pernyataan yang sangat penting, yaitu

di antaranya berisi tentang setujunya seseorang untuk bergabung dalam

perusahaan sebagai karyawan. Sedangkan bagi karyawan, perjanjian kerja lebih

berfungsi sebagai pemberi rasa aman. Alasannya, tertulisnya semua pernyataan

17

(7)

berupa hak-haknya sebagai karyawan akan terjamin. Oleh karena itu, dapat

dibayangkan jika perusahaan tidak memberikan perjanjian kerja secara resmi,

maka bisa saja perusahaan tersebut lari dari tanggung jawabnya.

Perjanjian kerja biasanya dibuat berdasarkan kemampuan atau kecakapan

dari pihak karyawan dan perusahaan. Sedangkan isinya tergantung kepada

masing-masing perusahaan. Perjanjian kerja yang baik harus tertulis dan memuat

semua hak dan kewajiban kedua belah pihak. Beberapa hal yang harus

diperhatikan seorang karyawan sebelum menandatanganinya, yaitu jabatan atau

jenis pekerjaan yang akan dipegangnya. Selain itu, perhatikan pula hak dan

kewajiban yang akan diterimanya, seperti jumlah gaji dan lokasi pekerjaannya,

juga tidak lupa tanggal, tempat, dan berakhirnya perjanjian tersebut. Pada

prinsipnya, perjanjian kerja untuk mempertegas posisi hak dan kewajiban seorang

karyawan. Banyak karyawan yang kecewa karena pekerjaan yang dipegangnya

tidak sesuai dengan yang tertulis pada perjanjian kerjanya. Jika itu terjadi, maka

setiap keluhan atau pengaduan seorang karyawan diusahakan terlebih dahulu

dibicarakan dan diselesaikan dengan atasan langsung secara lisan atau pun

tertulis. Bila langkah tersebut tidak mendapatkan hasil yang memuaskan,

karyawan yang bersangkutan dapat meneruskan keluhan atau pengaduannya

kepada ikatan karyawan untuk menyelesaikannya bersama-sama dalam Forum

Bipartit antara perusahaan dan ikatan karyawan. Setelah dirundingkan dengan

sungguh-sunggug ternyata masih terdapat perbedaan pendapat yang tidak dapat

(8)

Hubungan Industrial dan penyelesaiannya dapat ditempuh dengan berpedoman

kepada ketentuan Peraturan Perundangan yang berlaku.

Berikut ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum

menandatangani perjanjian kerja, yaitu:19

1) Pertama, teliti kata demi kata. Perhatikan apakah perjanjian kerja itu di buat

dengan menggunakan dua bahasa seperti Bahasa Indonesia dan Bahasa

Inggris. Usahakan jangan sampai terdapat terjemahan yang tidak tepat, sebab

maknanya akan sangat berbeda. Perjanjian kerja itu harus di buat dengan

bahasa baku.

2) Kedua, jika bingung dengan isi perjanjian itu usahakan agar bertanya kepada

pihak perusahaan.

3) Ketiga, periksa kembali apakah perjanjian kerja itu sudah di bubuhi materai.

Pembubuhan materai ini berarti akan menambah kekuatan hukum perjanjian

kerja, jika dikemudian hari terjadi kekeliruan.

4) Keempat, setelah perjanjian ditandatangani, jangan lupa calon karyawan

meminta salinannya untuk disimpan. Ini penting untuk mencegah jangan

sampai terjadi kekeliruan yang berkenaan dengan perjanjian kerja di kemudian

hari.

3. Syarat Perjanjian Kerja

Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja

harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320

19

(9)

KUH Perdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan

bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar :

1. Kesepakatan kedua belah pihak;

2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;

4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban

umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang

mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian

kerja harus setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa

yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja

menerima pekerjaan yang di tawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja

tersebut untuk dipekerjakan.

Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian

maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian.

Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah

cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur

minimal 18 Tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).

Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak

(10)

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 KUH

Perdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang di perjanjikan merupakan objek dari

perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya

melahirkan hak dan kewajiban para pihak.

Objek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang

diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan

secara jelas.

Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya harus dipenuhi

semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan

bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak

dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif,

karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat

adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal

disebut sebagai syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Kalau syarat

objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula

perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat

subjektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan,

pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga oleh

orang tua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian

(11)

perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh

hakim.20

4. Bentuk Perjanjian Kerja

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menegaskan bahwa perjanjian

kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Undang-undang memberikan kebebasan

kepada para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian yang dikehendakinya,

tetapi sesungguhnya prinsip yang dianut adalah prinsip tertulis. Perjanjian kerja

dalam bentuk lisan dapat ditoleransi karena kondisi masyarakat yang beragam.

Undang-undang hanya menentukan bahwa segala hal dan/atau segala biaya yang

diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan

menjadi tanggung jawab pengusaha.

Aturan tentang kebebasan bentuk perjanjian itu merupakan aturan umum.

Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menentukan bahwa

perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal ini memberikan kemungkinan

bahwa untuk perjanjian kerja tertentu dapat disyaratkan bentuk tertulis. Perjanjian

kerja yang dipersyaratkan dalam bentuk tertulis di antaranya adalah:

1. Perjanjian kerja waktu tertentu (Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003);

2. Antarkerja antardaerah;

3. Antarkerja antarnegara;

20

(12)

4. Perjanjian kerja laut.

Diwajibkannya bentuk tertulis untuk perjanjian kerja tertentu tersebut

bertujuan utama memberikan perlindungan kepada pekerja, misalnya adalah yang

ditegaskan di dalam Pasal 399 ayat (1) WvK, yaitu “De arbeidsovereenkomst

tusschen den reeder en een arbeider, die als kapitein of scheepsofficier zal

optreden moet op straffe van nietigheid, schriftelijk worden aangegaan

(Perjanjian kerja antara pengusaha dan seorang pekerja, atas ancaman batal, harus

dibuat secara tertulis). Keharusan bentuk tertulis dengan ancaman kebatalan ini

merupakan aturan khusus. Di dalam peraturan yang mulai berlaku 17 Januari 1938

ini ditegaskan bahwa perjanjian kerja dengan buruh harus diadakan dalam bentuk

tertulis. Sementara itu di dalam Pasal 15 ayat (1) ditegaskan bahwa pelanggaran

(berarti membuat perjanjian kerja tidak tertulis) atas Pasal 3 ayat (1) dipidana

dengan pidana kurungan selama-lamanya dua bulan atau denda

sebanyak-banyaknya lima ratus rupiah.

Jika perjanjian kerja dibuat secara tertulis, Pasal 54 ayat (1) mensyaratkan

hal-hal minimal yang harus dicantumkan, yaitu:

a. Nama, Alamat Perusahaan, dan Jenis Usaha;

b. Nama, Jenis Kelamin, Umur, dan Alamat Pekerja;

c. Jabatan atau Jenis Pekerjaan;

d. Tempat Pekerjaan;

e. Besarnya Upah dan Cara Pembayarannya;

f. Syarat-Syarat Kerja yang Menurut Hak dan Kewajiban Pengusaha dan

(13)

g. Mulai dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja;

h. Tempat dan Tanggal Perjanjian Kerja Dibuat; dan

i. Tanda Tangan Para Pihak dalam Perjanjian Kerja.

Hal-hal yang ditegaskan di dalam huruf e dan f tersebut tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sekedar untuk perbandingan, BW pun tidak mensyaratkan bentuk tertulis

untuk perjanjian kerja. Hal ini ditegaskan di dalam pasal 1601d, yaitu: “Apabila

perjanjian kerja dibuat tertulis, maka biaya akte dan biaya lain-lain, ditanggung

oleh pengusaha.”21

5. Jenis Perjanjian Kerja

Dalam suatu perjanjian kerja terdapat jenis-jenis perjanjian kerja, ada 2

(dua) jenis perjanjian kerja, diantaranya:

1. Menurut Bentuknya

Dalam perjanjian kerja menurut bentuknya ini ada dua macam, yakni

perjanjian kerja secara tertulis dan tidak tertulis, perjanjian kerja tertulis adalah

perjanjian yang dibuat dalam bentuk tulisan dan dapat dijadikan sebagai bukti

bilamana terjadi perselisihan.

Perjanjian kerja tidak tertulis, yaitu perjanjian kerja yang dibuat secara

lisan dan tetap bisa mengikat pekerja dalam perjanjian kerja tersebut, tapi

perjanjian kerja ini mempunyai kelemahan yakni adanya isi dalam perjanjian kerja

21

(14)

yang tidak dilaksanakan oleh pengusaha karena tidak tertulis dan hal ini sangat

merugikan pekerja.

2. Menurut Waktu Berakhirnya

Dalam berakhirnya suatu perjanjian kerja terdapat dua macam bentuk

berakhirnya suatu perjanjian kerja, diantaranya:

a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk

mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau pekerja tertentu, dalam hal

ini disebut karyawan kontrak, dengan syarat :

• Paling lama tiga tahun atau selesainya suatu pekerjaan tersebut.

• Dibuat secara tertulis 3 rangkap untuk buruh, pengusaha dan Dinas Tenaga

Kerja

• Dibuat dalam Bahasa Indonesia, apabila terdapat bahasa asing, tetap bahasa

Indonesia yang diutamakan.

• Tidak ada masa percobaan kerja.

Dalam PKWT terdapat jenis-jenis pekerjaan diantaranya :

• Pekerjaan yang selesai sekali/sementara

• Pekerjaan musiman

• Pekerjaan yang terkait dengan produk baru

• Pekerjaan lepas

b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk

(15)

PKWTT bisa dibuat secara lisan maupun tulisan, dan jika dibuat secara lisan

maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi pekerja yang

bersangkutan dan PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan selama

tiga bulan, dalam tiga bulan tersebut perusahan wajib membayar upah sesuai

dengan upah minimum yang berlaku.22

6. Akibat Perjanjian Kerja

Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, mengatur mengenai dua macam perjanjian kerja, yaitu dapat

dibuat secara perorangan maupun dengan serikat pekerja/serikat buruh.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, juga turut memberikan peluang adanya

ketidak-wajiban pengusaha/majikan untuk membuat perjanjian kerja perorangan secara

tertulis, dengan alasan kondisi masyarakat yang beragam yang memungkinkan

perjanjian kerja secara lisan. Ketentuan ini sesungguhnya telah bertentangan

dengan prinsip sebuah perjanjian yang harus dibuat secara tertulis.

Pembenaran oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai

perjanjian secara lisan, akan membuat pekerja tidak mengetahui hak dan

kewajibannya dalam menjalani hubungan kerja dengan pengusaha/majikan,

berupa syarat-syarat kerja. Sehingga, pekerja tidak dapat menghindari sebuah

larangan atau tata tertib yang diberlakukan oleh pengusaha/majikan, yang pada

akhirnya dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja. Bahkan akibat hukum

22

(16)

yang timbul dari putusnya hubungan kerja pun tidak dapat diketahui oleh pekerja

tersebut.

Perjanjian yang dibuat secara lisan pun dapat menyulitkan pekerja dalam

membuktikan kebenaran dirinya sebagai pekerja yang bekerja pada pengusaha,

dalam proses penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja di Pengadilan

Hubungan Industrial.

Ketentuan Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang

mewajibkan pengusaha/majikan membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang

perjanjian kerjanya dibuat secara lisan, tidaklah efektif dan banyak

pengusaha/majikan yang tidak menjalankannya, bukan hanya karena tidak ada

sanksi yang mengaturnya, juga karena dengan tidak dibuatnya perjanjian kerja

secara tertulis dan surat pengangkatan, akan dapat menguntungkan

pengusaha/majikan, yaitu diantaranya tidak jelasnya kapan hubungan kerja kedua

belah pihak dimulai.

Perjanjian kerja secara perorangan jelas tidak akan menguntungkan pihak

pekerja, tetapi sebaliknya dapat menguntungkan pengusaha/majikan, karena daya

tawar seorang pekerja lebih tinggi daya tawar pengusaha/majikan. Hal ini

disebabkan, jumlah pengangguran yang terus meningkat tajam, sehingga jumlah

lapangan kerja dan tenaga kerja yang tidak seimbang, yang kemudian

mengakibatkan daya tawar terhadap syarat-syarat kerja seperti upah lebih banyak

ditentukan oleh pengusaha/ majikan.

Peran pemerintah yang teramat penting dalam membuat kebijakan,

(17)

pemerintah sekarang ini semakin melepaskan peranannya dalam menciptakan

hubungan industrial yang harmonis antara pekerja dengan pengusaha/majikan.

Pemerintah semakin melepaskan campur tangannya dalam melindungi pekerja

yang tidak atau mempunyai daya tawar rendah dengan pengusaha/majikan.

Sehingga perjanjian kerja secara lisan, akan mengakibatkan hubungan

konflik antara pekerja dengan pengusaha/majikan semakin terbuka lebar, dan

yang diuntungkan dari akibat perjanjian kerja lisan adalah pengusaha/majikan.

Oleh karenanya, perjanjian kerja lisan tidaklah relevan diterapkan di negara

berkembang seperti Indonesia, karena kondisi masyarakat Indonesia telah

berubah, dan bukankah setiap perjanjian kerja harus dibuat dalam Bahasa

Indonesia.

Sebagai solusinya, pengusaha/majikan dengan serikat pekerja, wajib

membuat perjanjian kerja bersama yang mengatur mengenai syarat-syarat kerja.

Kemudian, setiap pekerja dibuatkan perjanjian kerja perorangan sebagai turunan

dari perjanjian kerja bersama tersebut. Dalam hal tersebut, peran pemerintah

sebagai pembuat kebijakan, wajib memeriksa isi perjanjian kerja bersama yang

telah dibuat oleh serikat pekerja dengan pengusaha/majikan.23

23

(18)

7. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Hubungan Ketenagakerjaan

Pihak-pihak yang terkait dalam hubungan ketenagakerjaan, antara lain:

a. Buruh/Pekerja

Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh

diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan

oleh pemerintah (Depnaker) pada waktu kongres FBSI 11 Tahun 1985. Alasan

pemerintah, karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh

lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu di tekan dan berada di

bawah pihak lain, yakni majikan.

Dalam RUU Ketenagakerjaan ini sebelumnya hanya menggunakan istilah

pekerja saja, namun agar selaras dengan undang-undang yang lahir sebelumnya,

yakni Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 yang menggunakan istilah serikat

buruh/pekerja. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pasal 1 Angka 4 memberikan pengertian pekerja adalah setiap orang yang bekerja

dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.

b. Pengusaha

Di dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

menjelaskan pengertian pengusaha, yakni:

1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan

suatu perusahaan milik sendiri;

2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri

(19)

3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di

Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud yang

berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Selain pengertian pengusaha, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Pasal 1 Angka 4 juga memberikan pengertian pemberi kerja yakni orang

perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan lainnya yang memperkerjakan

tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Sedangkan pengertian perusahaan dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 adalah:

a) Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang

memperkerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak,

milik orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik

swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja dengan

membayar upah atau imbalan dalam bentuk apapun;

b) Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam

bentuk lain.

c. Organisasi Pekerja/Buruh

Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk memperjuangkan hak

dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh

pihak pengusaha. Keberhasilan ini sangat tergantung dari kesadaran para pekerja

untuk mengorganisasikan dirinya, semakin baik organisasi itu, maka akan

(20)

d. Organisasi Pengusaha

1) Kamar Dagang dan Industri

Untuk meningkatkan peran serta pengusaha nasional dalam kegiatan

pembangunan, maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1973

membentuk Kamar Dagang dan Industri (KADIN). KADIN adalah wadah bagi

pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomian.

Tujuan KADIN adalah sebagai berikut:

• Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan, dan kepentingan

pengusaha Indonesia di bidang usaha Negara, usaha koperasi dan usaha

swasta dalam kedudukannya sebagai pelaku-pelaku ekonomi nasional

dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional

yang sehat dan tertib berdasarkan Pasal 33 UUD 1945.

• Menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan

keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga

dapat nerperan serta secara efektif dalam pembangunan nasional.

2) Asosiasi Pengusaha Indonesia

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) adalah organisasi pengusaha

yang khusus mengurus masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan juga

merupakan suatu wadah kesatuan para pengusaha yang ikut serta untuk

mewujudkan kesejahteraan sosial dalam dunia usaha melalui kerjasama yang

terpadu dan serasi antara pemerintah, pengusaha dan pekerja. APINDO lahir

didasari atas peran dan tanggung jawabnya dalam pembangunan nasional dalam

(21)

pengusaha Indonesia harus ikut serta secara aktif mengembangkan peranannya

sebagai kekuatan sosial dan ekonomi

Tujuan APINDO adalah sebagai berikut:

• Mempersatukan dan membina pengusaha serta memberikan layanan

kepentingannya didalam bidang sosial ekonomi.

• Menciptakan dan memelihara keseimbangan, ketenangan dan kegairahan

kerja dalam lapangan hubungan industrial dan ketenagakerjaan

• Mengusahakan peningkatan produktivias kerja sebagai program peran

serta aktif untuk mewujudkan pembangunan nasional menuju

kesejahteraan sosial, spiritual dan materiil.

• Menciptakan adanya kesatuan pendapat dalam melaksanakan

kebijaksanaan atau ketenagakerjaan dari para pengusaha yang disesuaikan

dengan kebijaksanaan pemerintah.

e. Pemerintah/Penguasa

Campur tangan pemerintah (penguasa) dalam hukum perburuhan atau

ketenagakerjaan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan perburuhan atau

ketenagakerjaan yang adil, karena jika hubungan antara pekerja dan pengusaha

yang sangat berbeda secara sosial-ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para

pihak, maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hubungan perburuhan atau

ketenagakerjaan akan sulit tercapai, karena pihak yang kuat akan selalu ingin

(22)

peraturan perundang undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan

kewajiban para pihak.24

8. Wanprestasi dan Prestasi

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda

wanprestatie” yang artinya, tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah

ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan

yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena

undang-undang.

Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih

terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak

terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan.

Istilah mengenai wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji,

cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.

Dengan adanya bermacam-macam istilah mengenai wanprestasi ini, telah

menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestasi”. Ada

beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi

pendapat tentang pengertian mengenai wanprestasi tersebut.

Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H., mengatakan bahwa:

“Wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian,

berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian.

24

(23)

Barangkali dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk

prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi”.25

1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya. Prof. R. Subekti, S.H., mengemukakan bahwa:

“Wanprestasi itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4

(empat) macam, yaitu:

2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang

diperjanjikan.

3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,

4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.”

Menurut M.Yahya Harahap, menyebutkan bahwa:

“Wanprestasi dapat dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan kewajiban

yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksanakan tidak selayaknya.”26

Sedangkan

dilaksanakan dalam suatu perikatan.27

25

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, hlm 17 26

M.yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm 60 27

Mariam Darus Badrulzaman, Asas-Asas Hukum Perikatan, FH USU, Medan, 1970, hlm 8

Pemenuhan prestasi merupakan hakikat dari suatu perikatan. Kewajiban

memenuhi prestasi dari debitur selalui disertai dengan tanggung jawab (liability),

artinya debitur mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan

(24)

Menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata, semua harta

kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada

maupun yang akan ada menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur,

jaminan semacam ini disebut jaminan umum.

Pada prakteknya tanggung jawab berupa jaminan harta kekayaan ini dapat

dibatasi sampai jumlah yang menjadi kewajiban debitur untuk memenuhinya yang

disebutkan secara khusus dan tertentu dalam perjanjian, ataupun hakim dapat

menetapkan batas-batas yang layak atau patut dalam keputusannya. Jaminan harta

kekayaan yang dibatasi ini disebut jaminan khusus, artinya jaminan khusus itu

hanya mengenai benda tertentu saja yang nilainya sepadan dengan nilai hutang

debitur. Bila debitur tidak dapat memenuhi prestasinya maka benda yang menjadi

jaminan khusus inilah yang dapat diuangkan untuk memenuhi hutang debitur.

Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi

ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar

esensi itu dapat tercapai yang artinya, kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur

maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni:

• Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan

• Harus mungkin

• Harus diperbolehkan (halal)

• Harus ada manfaatnya bagi kreditur

(25)

B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Ketenagakerjaan 1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan

Secara umum dapat dirumuskan, bahwa hukum ketenagakerjaan adalah

sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja atau

organisasi pekerja dengan majikan atau pengusaha atau organisasi majikan dan

pemerintah, termasuk didalamnya adalah proses-proses dan keputusan-keputusan

yang dikeluarkan untuk merealisasikan hubungan tersebut menjadi kenyataan.

Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa, hukum ketenagakerjaan itu adalah

suatu himpunan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja,

majikan atau pengusaha, organisasi pekerja, organisasi pengusaha, dan

pemerintah.28

• Menurut Moleenar, bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah sebagian dari

hukum yang berlaku pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja

dengan pengusaha.

Sedjun H. Manulang, mengutip beberapa pendapat para sarjana mengenai

hukum ketenagakerjaan, yaitu :

• Menurut Mr. G. Lavenbach, bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum

yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu, dilakukan

dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung

bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.

• Menurut Mr. N.E.H. Van Esveld, bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah tidak

hanya meliputi hubungan kerja dimana pekerjaan itu dibawah pimpinan, tetapi

28

(26)

meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang melakukan

pekerjaan atas tanggung jawab resiko sendiri.

• Menurut Mr. Mok, bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah hukum yang

berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan dibawah pimpinan orang lain dan

dengan penghidupan yang layak langsung bergantung pada pekerjaan itu.29

Dari pengertian di atas, diketahui bahwa tenaga kerja merupakan unsur

yang sangat penting dalam hukum ketenagakerjaan. Mengingat faktor tenaga kerja

dalam proses pembangunan ini harus diperhatikan, oleh karena itu diperlukan

usaha-usaha untuk membina, mengarahkan serta perlindungan bagi tenaga kerja

untuk menciptakan kesejahteraan yang berkaitan dengan yang dilakukannya.

Pada dasarnya perlindungan bagi tenaga kerja dimaksudkan untuk

menjaga agar tenaga kerja menjadi lebih dimanusiakan. Para tenaga kerja

mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan berbagai tugas dan kewajiban

sosialnya, dapat mengembangkan potensi dirinya, sehingga pada giliriannya dapat

meningkatkan kualitas hidup dan karenanya dapat hidup layak sebagai manusia,

untuk mensukseskan perlindungan terhadap tenaga kerja itu memerlukan beberapa

perencanaan dan pelaksanaan secara komprehensif, terpadu, dan

berkesinambungan.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 di dalam Pasal 1 Angka 2

menyebutkan bahwa Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan

pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi

kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Jadi, dalam hal ini tenaga kerja

29

(27)

merupakan unsur utama dalam hukum ketenagakerjaan yang memiliki peranan

dan kedudukan penting dalam pelaksanaan pembangunan.

Tujuan hukum ketenagakerjaan adalah untuk mencapai atau melaksanakan

keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan dan untuk melindungi tenaga kerja

terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha, misalnya yang membuat

atau menciptakan peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa agar pengusaha

tidak bertindak sewenang-wenang terhadap para tenaga kerja sebagai pihak yang

lemah.30

Dari perumusan tersebut di atas, dapatlah diketahui bahwa hukum

ketenagakerjaan mempunyai unsur-unsur antara lain, serangkaian peraturan yang

tertulis maupun yang tidak tertulis bahwa peraturan tersebut mengenai suatu

kejadian dengan adanya orang yang bekerja pada orang lain (majikan) dan adanya

balas jasa yang berupa upah.31

Sifat hukum ketenagakerjaan dapat bersifat privat (perdata) dan bersifat

publik (pidana). Dikatakan bersifat privat adalah karena manusia, kita ketahui

bahwa hukum perdata mengatur kepentingan perorangan, dalam hal ini antara

tenaga kerja dan pengusaha, yaitu dimana mereka mengadakan suatu perjanjian

yang disebut dengan perjanjian kerja, sedangkan mengenai hukum perjanjian

sendiri terdapat atau diatur didalam KUH Perdata Buku Ke III.32

30

Dian Octaviani Saraswati, Perlindungan Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja terhadap Tenaga Kerja, Semarang, 2007, hlm 18

31

Halili Toha, Hubungan Kerja Antara Majikan dan Buruh, Cetakan Pertama, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm 1

32

(28)

Di samping bersifat privat (perdata), hukum ketenagakerjaan juga bersifat

publik (pidana), adalah:33

• dalam hal-hal tertentu atau pemerintah turut ikut campur dalam masalah

ketenagakerjaan

• adanya sanksi-sanksi atau aturan hukum di dalam setiap undang-undang atau

Peraturan Perundang-Undangan di bidang ketenagakerjaan

2. Sumber Hukum Ketenagakerjaan

Sumber Hukum Ketenagakerjaan ialah:

1. Sumber Hukum Ketenagakerjaan dalam artian materiil (tempat darimana materi

huku m itu diambil). Yang dimaksud dengan sumber hukum materiil atau lazim

disebut sumber isi hukum (karena sumber yang menentukan isi hukum) ialah

kesadaran hukum masyarakat yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat

mengenai sesuatu yang seharusnya. Profesor Soedikno Mertokusumo

menyatakan, bahwa sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu

pembentukan hukum. Sumber Hukum Materiil Hukum Ketenagakerjaan ialah

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dimana setiap pembentukan

peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan harus merupakan

nilai-nilai Pancasila.

2. Sumber Hukum Perburuhan dalam artian tempat atau sumber dimana suatu

(29)

a. Perundang-Undangan

Undang-undang merupakan peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dengan

persetujuan DPR. Berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,

maka beberapa peraturan yang lama yang masih berlaku karena dalam

kenyataannya belum banyak peraturan yang dibuat setelah kemerdekaan, yaitu:

1) Wet

2) Algemeen Maatregal van Bestuur

3) Ordonantie-ordonantie

4) Regeeringsverordening

5) Regeeringsbesluit

6) Hoofd van afdeling van arbeid

Setelah Indonesia merdeka ada hal yang perlu dicatat bahwa politik hukum

kodifikasi sudah ditinggalkan diganti dengan politik hukum yang mengacu pada

unifikasi hukum.

b. Peraturan Lainnya

1) Peraturan Pemerintah Aturan yang dibuat untuk melaksanakan

Undang-Undang

2) Keputusan Presiden, keputusan yang bersifat khusus (einmalig) untuk

melaksanakan peraturan yang ada di atasnya.

3) Peraturan atau keputusan instansi lainnya

c. Kebiasaan

Paham yang mengatakan bahwa satu-satunya sumber hukum hanyalah

(30)

mungkin mengatur kehidupan bermasyarakat yang begitu kompleks dalam suatu

undang-undang. Disamping itu, undang-undang yang bersifat statis itu mengikuti

perubahan kehidupan masyarakat yang begitu cepat. Kebiasaan merupakan

kebiasaan manusia yang dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama dan

diterima oleh masyarakat, sehingga bilamana ada tindakan yang dirasakan

berlawanan dengan kebiasaan tersebut dianggap sebagai pelanggaran perasaan

hukum.

Masih banyak dan berkembangnya hukum kebiasaan dalam bidang

ketenagakerjaan disebabkan, antara lain:

1) Perkembangan masalah-masalah perburuhan jauh lebih cepat dari

perundang-undangan yang ada

2) Banyak peraturan yang dibuat sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan

ketenagakerjaan sesudah Indonesia merdeka.

d. Putusan

Putusan disini ialah putusan yang dikeluarkan oleh sebuah panitia yang

menangani sengketa-sengketa perburuhan, yaitu:

1) Putusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat)

2) Putusan P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah)

Panitia penyelesaian perburuhan sebagai suatu arbitrase wajib(compulsory

arbitration) mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan hukum

ketenagakerjaan karena peraturan yang ada kurang lengkap atau tidak sesuai lagi

(31)

(interpretation) hukum, atau bahkan melakukan menemukan (rechtvinding)

hukum.

e. Perjanjian

Perjanjian merupakan peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada

pihak yang lainnya untuk melaksanakan sesuatu hal, akibatnya pihak-pihak yang

bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka adakan. Kaitannya dengan

masalah perburuhan, perjanjian yang merupakan sumber hukum perburuhan ialah

perjanjian perburuhan dan perjanjian kerja.

f. Traktat

Traktat ialah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih.

Lazimnya perjanjian internasional memuat peraturan-peraturan hukum yang

mengikat secara umum. Sesuai dengan asas “pacta sunt servanda” maka

masing-masing negara sebagai rechtpersoon (publik) terikat oleh perjanjian yang

dibuatnya. Hingga saat ini Indonesia belum pernah mengadakan perjanjian dengan

negara lain yang berkaitan dengan perburuhan.34

1. Pengertian Jaminan Sosial

C. Tinjauan Umum Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah upaya kebijaksanaan yang ditujukan

kepada tenaga kerja, terutama yang berada dilingkungan perusahaan dalam hal

penyelenggaraan dan perlindungan dengan interaksi kerja yang saling

menguntungkan kedua belah pihak (tenaga kerja dan pengusaha). Dalam kamus

34

(32)

populer “pekerjaan sosial”, istilah jaminan sosial tersebut disebut sebagai

berikut:35

Keberadaan jaminan sosial tenaga kerja sebagai upaya perlindungan hidup

tenaga kerja disuatu perusahaan ialah besar manfaatnya. Oleh karena itu, sebagai

langkah untuk menjamin hidup tenaga kerja, perusahaan sangat perlu

memasukkan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang

dikelola oleh BPJS, karena perusahaan yang memasukkan tenaga kerjanya dalam

program BPJS adalah perusahaan yang terletak bijaksana pemikiranya dan telah

bertindak:

“Jaminan Sosial adalah suatu program perlindungan yang diberikan oleh

negara, masyarakat dan organisasi sosial kepada seseorang atau individu yang

menghadapi kesukaran-kesukaran dalam kehidupan dan penghidupannya, seperti

penderita penyakit kronis, kecelakaan kerja dan sebagainya.”

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial, maka Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

(BPJS) merupakan sebuah lembaga hukum untuk perlindungan sosial dalam

menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak

sekaligus dibentuk untuk menyelenggarakan Program Jaminan Sosial di

Indonesia.

36

35

Ridwan Marpaung, Kamus Populer Pekerja Sosial, 1988, hlm 36 36

Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Managemen Tenega Kerja, Bima Aksara

(33)

1. Melindungi para pekerjanya sedemikian rupa dalam menghadapi kecelakaan

kerja yang mungkin saja terjadi, baik karena adanya mutakhir, maupun karena

penempatan tenaga kerja pada proyek-proyek diluar daerah dalam rangka

menunjang pembangunan.

2. Mendidik para pekerjanya supaya berhemat atau menabung yang dapat

dinikmatinya apabila sewaktu-waktu terjadi suatu kejadian yang harus

dihadapi pekerja beserta keluarganya.

3. Melindungi perusahaan dari kerusakan kemungkinan berjumlah sangat besar,

karena terjadinya musibah yang menimpa beberapa karyawan, dimana setiap

kecelakaan atau musibah sama sekali tidak diharapkan.

Menurut Kenneth Thomson, seorang tenaga ahli pada Sekretariat Jendral

International Security Association (ISSA), dalam kuliahnya pada Regional

Trainning ISSA, seminar tanggal 16 dan 17 Juni 1980 di Jakarta, mengemukakan

perumusan jaminan sosial sebagai berikut :37

“Jaminan Sosial dapat diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh

masyarakat bagi anggota-anggotanya untuk risiko-risiko atau peristiwa-peristiwa

tertentu dengan tujuan, sejauh mungkin, untuk menghindari terjadinya

peristiwa-peristiwa tersebut yang dapat mengakibatkan hilangnya atau turunnya sebagian

besar penghasilan, dan untuk memberikan pelayanan medis dan atau jaminan

keuangan terhadap konsekuensi ekonomi dari terjadinya peristiwa tersebut, serta

jaminan untuk tunjangan keluarga dan anak”.

37

(34)

Sedangkan pengertian yang diberikan oleh Imam Soepomo, S.H. ialah:

“Jaminan Sosial adalah pembayaran yang diterima oleh pihak buruh diluar

kesalahannya tidak melakukan pekerjaan, jadi menjamin kepastian pendapatan

(income security) dalam hal buruh kehilangan upahnya karena alasan diluar

kehendaknya.”38

Dari beberapa definisi jaminan sosial di atas dapat ditarik kesimpulan

bahwa tujuan jaminan sosial pada prinsipnya adalah:

39

a. sebagai sarana untuk memberikan perlindungan dasar bagi pekerja guna

mengatasi risiko-risiko ekonomis atau sosial atau peristiwa-peristiwa tertentu,

seperti:

1) kebutuhan akan pelayanan medis;

2) tertundanya, hilangnya atau turunnya sebagian penghasilan yang

disebabkan karena:

a) sakit;

b) hamil;

c) kecelakan kerja dan penyakit jabatan;

d) hari tua;

e) cacat;

f) kematian pencari nafkah.

3) tanggung jawab untuk keluarga dan anak-anak.

38

Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1981, hlm 136 39

(35)

b. sebagai sarana untuk mencapai tujuan sosial dengan memberikan ketenangan

kerja bagi pekerja/buruh yang memiliki peranan besar bagi pelaksana

pembangunan.

Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan dilaksanakannya

jaminan sosial bagi pekerja, yaitu sebagai berikut:40

a. Jaminan sosial menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja dan ketenangan

berusaha bagi pengusaha sehingga mendorong terciptanya produktivitas kerja.

b. Dengan adanya program jaminan sosial yang permanen, berarti pengusaha

dapat melakukan perencanaan yang pasti untuk kesejahteraan pekerjanya, di

mana biasanya pengeluaran-pengeluaran untuk jaminan sosial ini bersifat

mendadak sehingga tidak bisa diperhitungkan terlebih dahulu.

c. Dengan adanya jaminan sosial, praktis akan menimbulkan ikatan bagi pekerja

untuk bekerja di perusahaan tersebut serta tidak berpindah ke tempat lain.

d. Jaminan sosial juga akan ikut menciptakan ketenangan kerja serta

menciptakan hubungan yang positif antara pekerja dan pengusaha. Hubungan

yang positif ini sangat diperlukan untuk kegairahan dan semangat kerja ke

arah kenaikan produksi perusahaan yang pada gilirannya akan menumbuhkan

rasa ikut bertanggung jawab dengan rasa ikut memiliki sebagaimana yang

dikehendaki oleh konsepsi Hubungan Industrial Pancasila.

e. Dengan adanya program jaminan sosial ini, kepastian akan perlindungan

terhadap risiko-risiko dari pekerjaan akan terjamin, terutama untuk melindungi

40

(36)

kelangsungan penghasilan pekerja yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi

kebutuhan hidup beserta keluarganya.

f. Secara nasional jaminan sosial ini akan memberi kontribusi berikut:

1) Iuran selalu diterima beberapa tahun sebelum pembayaran jaminan yang

cukup besar karena adanya program berjangka panjang.

2) Dengan demikian, terjadinya pemupukan dana yang untuk sementara

sebelum digunakan untuk membayar jaminan, bisa digunakan/dipinjam

untuk dana pembangunan, baik sektoral maupun regional. Pemupukan

dana atau cadangan finansial ini lama kelamaan akan semakin besar

disebabkan karena hal-hal berikut.

1. Pembayaran jaminan dalam jumlah yang besar biasanya baru terjadi

beberapa puluh tahun setelah terbentuknya program tersebut.

2. Perkembangan industri akan meningkatkan kepesertaan dengan

bertambahnya jumlah perusahaan yang waiib ikut serta dalam program

terscbut.

3. Distribusi penduduk yang cenderung pada umur muda, seperti di

negara berkembang, akan memberikan peserta-peserta muda yang

lebih banyak daripada mereka yang segera berhak untuk menerima

jaminan.

Dengan demikian, tujuan dan manfaat jaminan sosial amat besar, baik bagi

pekerja maupun bagi pengusaha itu sendiri. Dengan mengikutsertakan pekerjanya

(37)

a. melindungi pekerjanya sedemikian rupa dalam menghadapi segala risiko yang

mungkin saja terjadi, baik karena adanya peralatan kerja yang serba modern

dan mutakhir maupun karena penempatan pekerja/buruh yang tidak pada

tempatnya atau bukan keahliannya;

b. mendidik para pekerjanya untuk berhemat atau menabung yang dapat

dinikmati sewaktu-waktu jika terjadi hal yang tidak diinginkan, terutama

dalam manghadapi risiko hari tua atau pensiun;

c. melindungi perusahaan dari keharusan memberikan jaminan sosial (sesuai

dengan prinsip tanggung jawab pengusaha) yang kemungkinannya akan

berjumlah besar karena risiko yang menimpa beberapa pekerja sekaligus, di

mana risiko ini tidak diharapkan terjadinya;

d. memberikan ketenangan kepada pekerja beserta keluarganya, karena dengan

terjadinya risiko yang tidak diharapkan, mereka akan memperoleh jaminan

yang memadai yang tidak sulit untuk mengurusnya.

b. dengan diikutsertakannya pekerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja

oleh pengusaha berarti pengusaha telah mencerminkan iktikad baik untuk

melaksanakan suatu hubungan kerja yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

Dampak semua tindakan pengusaha tersebut, para pekerja akan terangsang

untuk mewujudkan ketekunan dan kegairahan dalam bekerja sehingga dengan

demikian akan tercapai kelancaran roda perusahaan, keharmonisan dalam

hubungan kerja sebagaimana yang dikehendaki konsepsi “Hubungan Industrial

(38)

Jika apa yang dikembangkan dalam konsepsi Hubungan Industrial

Pancasila itu benar-benar berjalan dengan baik, pekerja bersama-sama dengan

pengusaha bisa menyatu sebagai satu kesatuan dan bertekad bersama-sama

bergotong royong, bekerja keras dalam suasana kekeluargaan mensukseskan misi

perusahaan yang pada gilirannya akan meningkatkan pula kesejahteraan pekerja.

Peranan pengusaha dalam memberikan atau mempertanggungkan pekerja

dalam program jaminan sosial tenaga kerja jelaslah sangat besar karena pengusaha

yang lebih dominan menentukan kebijaksanaannya dalam menentukan arah

jalannya “roda” perusahaan. Pengusaha yang bijaksana, yang mengerti bahwa

pekerja adalah partnernya dalam berusaha yang mengerti bahwa pekerja adalah

“tulang punggung” perusahaan, yang telah memberikan jasa dan pikirannya pada

perusahaan tempatnya bekerja tentunya akan memberikan penghargaan kepada

pekerja yang bersangkutan dengan mempertanggungkannya dalam program

jaminan sosial tenaga kerja.42

Secara teoritis dikenal ada tiga jenis perlindungan kerja yaitu sebagai

berikut:43

1. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha

kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja mengenyam

dan mengembangkan kehidupannya sebagaimana manusia pada umumnya,

dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga.

Perlindungan sosial disebut juga dengan kesehatan kerja.

42

Ibid., hlm 39 43

(39)

2. Perlindungan teknis, yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan

usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja terhindar dari bahaya kecelakaan yang

ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan. Perlindungan ini

lebih sering disebut sebagai keselamatan kerja.

3. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan

usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup

guna memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk

dalam hal pekerja tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya.

Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jaminan sosial.

Ketiga jenis perlindungan di atas akan di uraikan sebagai berikut :

1. Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja

Kesehatan kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas termasuk jenis

perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini

berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang bermaksud

mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha untuk

memperlakukan pekerja “semaunya” tanpa memperhatikan norma-norma yang

berlaku, dengan tidak memandang pekerja sebagai mahluk Tuhan yang

mempunyai hak asasi.

Karena sifatnya yang hendak mengadakan “pembatasan”,

ketentuan-ketentuan perlindungan sosial dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Bab

X Pasal 68 dan seterusnya bersifat “memaksa”, bukan mengatur. Akibat adanya

sifat memaksa dalam ketentuan perlindungan sosial Undang-Undang Nomor 13

(40)

bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial ini merupakan

“hukum umum” (publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana. Hal ini disebabkan

beberapa alasan berikut:44

• Aturan-aturan yang termuat di dalamnya bukan bermaksud melindungi

kepentingan seorang saja, melainkan bersifat aturan bermasyarakat.

• Pekerja Indonesia umumnya belum mempunyai pengertian atau

kemampuan untuk melindungi hak-haknya sendiri.

Jadi, jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja

dari kejadian atau keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan

kesusilaannya dalam hal pekerja melakukan pekerjaannya. Adanya penekanan

“dalam suatu hubungan kerja” menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak

melakukan hubungan kerja dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan

sosial sebagaimana ditentukan dalam Bab X Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003.

2. Perlindungan Teknis Atau Keselamatan Kerja

Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis,

yaitu perlindungan terhadap pekerja agar selamat dari bahaya yang dapat

ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan.

Berbeda dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk

kepentingan pekerja saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan

(41)

• Bagi pekerja, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan

menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga pekerja dapat

memusatkan perhatian pada pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa

khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.

• Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam

perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat

mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial.

• Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya

peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah

untuk mensejahterakan masyarakat akan tercapai dengan meningkatnya

produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.45

3. Perlindungan ekonomis atau Jaminan Sosial

Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tangung

jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi

kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara,

Indonesia seperti halnya berbagai Negara berkembang lainnya, mengembangkan

program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial

yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor

formal.

45

(42)

2. Dasar Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Berikut ini peraturan perundang-undangan yang mengatur spesifik

mengenai jaminan sosial tenaga kerja, antara lain:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem

Jaminan Sosial Kesehatan;

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial;

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2015 tentang

Penyelenggaraan Jaminan Hari Tua;

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 tentang

Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;

6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang

Jaminan Kesehatan.

3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 bahwa Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan

hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS

terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.46

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, harus dibentuk Badan

46

(43)

Penyelenggara Jaminan Sosial dengan Undang-Undang yang merupakan

transformasi keempat Badan Usaha Milik Negara untuk mempercepat

terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.

Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran

Jaminan Kesehatan bahwa penerima bantuan iuran yang disebut PBI adalah fakir

miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta jaminan kesehatan.

Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan bahwa

jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta

memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi

kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah

membayar iuran atau iuran yang dibayar pemerintah.47

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial (UU BPJS), secara tegas menyatakan bahwa BPJS yang dibentuk

dengan UU BPJS adalah badan hukum publik. BPJS yang dibentuk dengan UU

BPJS adalah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.48

Mengingat pentingnya peranan BPJS dalam menyelenggarakan program

jaminan sosial dengan cakupan seluruh penduduk Indonesia, maka UU BPJS

memberikan batasan fungsi, tugas dan wewenang yang jelas kepada BPJS. Kedua BPJS tersebut pada dasarnya mengemban misi negara untuk

memenuhi hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial dengan

menyelenggarakan program jaminan yang bertujuan memberi kepastian

perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

47 Ibid., 48

(44)

Dengan demikian dapat diketahui secara pasti batas-batas tanggung

jawabnya dan sekaligus dapat dijadikan sarana untuk mengukur kinerja kedua

BPJS tersebut secara transparan.

UU BPJS menetukan bahwa BPJS Kesehatan berfungsi menyelenggarakan

program jaminan kesehatan. Jaminan Kesehatan menurut UU SJSN

diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip

ekuitas, dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan

kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.49

BPJS Ketenagakerjaan menurut UU BPJS berfungsi menyelenggarakan 4

program, yaitu program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan

pensiun, dan jaminan kematian. Menurut UU SJSN program jaminan kecelakaan

kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial, dengan

tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pelayanan kesehatan dan

santunan uang tunai apabila seorang pekerja mengalami kecelakaan kerja atau

menderita penyakit akibat kerja.50

Selanjutnya program jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional

berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib, dengan tujuan untuk

menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun,

mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Kemudian program jaminan

pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau

tabungan wajib, untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat

49

WIB.

50

(45)

peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun

atau mengalami cacat total tetap.

Jaminan pensiun ini diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.

Sedangkan program jaminan kematian diselenggarakan secara nasional

berdasarkan prinsip asuransi sosial dengan tujuan untuk memberikan santuan

kematian yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia.

Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana tersebut diatas, BPJS bertugas

untuk:

1. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta;

2. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja;

3. Menerima bantuan iuran dari Pemerintah;

4. Mengelola dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta;

5. Mengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial;

6. Membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai

dengan ketentuan program jaminan sosial; dan

7. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial

kepada peserta dan masyarakat.51

Dengan kata lain tugas BPJS meliputi pendaftaran kepesertaan dan

pengelolaan data kepesertaan, pemungutan, pengumpulan iuran termasuk

menerima bantuan iuran dari Pemerintah, pengelolaan dana jaminan sosial,

pembayaran manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan dan tugas

penyampaian informasi dalam rangka sosialisasi program jaminan sosial dan

(46)

keterbukaan informasi. Tugas pendaftaran kepesertaan dapat dilakukan secara

pasif dalam arti menerima pendaftaran atau secara aktif dalam arti mendaftarkan

peserta.

Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud di atas, BPJS

berwenang:

1. Menagih pembayaran iuran;

2. Menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka

panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas,

kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;

3. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi

kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan jaminan sosial nasional;

4. Membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran

fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh

Pemerintah;

5. Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;

6. Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak

memenuhi kewajibannya;

7. Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai

ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban

lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

8. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan

(47)

Kewenangan menagih pembayaran iuran dalam arti meminta pembayaran

dalam hal terjadi penunggakan, kemacetan, atau kekurangan pembayaran,

kewenangan melakukan pengawasan dan kewenangan mengenakan sanksi

administratif yang diberikan kepada BPJS memperkuat kedudukan BPJS sebagai

badan hukum publik.52

4. Bentuk-Bentuk Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Bentuk jaminan sosial tenaga kerja dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok,

yaitu sebagai berikut:

1. BPJS Kesehatan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) adalah

badan hukum publik yang bertanggungjawab kepada Presiden dan berfungsi

menyelenggarakan program jaminan kesehatan.53

Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar

peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam

memenuhi perlindungan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang

telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.54

BPJS Kesehatan merupakan badan hukum publik yang diberikan oleh

pemerintah untuk memperoleh perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar

kesehatan. Semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan

52 Ibid., 53

Asih Eka Putri, Paham BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta, 2014, hlm 14

54

(48)

yang dikelola oleh BPJS termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat 6

bulan di Indonesia dan telah membayar iuran.

Peserta BPJS kesehatan ada 2 (dua) kelompok, yaitu:

1) PBI Jaminan Kesehatan

PBI (Penerima Bantuan Iuran) adalah peserta jaminan kesehatan

bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu sebagaimana diamanatkan

UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang iurannya dibayari

pemerintah sebagai peserta program jaminan kesehatan. Peserta PBI

adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh pemerintah dan diatur melalui

peraturan pemerintah, yang berhak menjadi peserta PBI lainnya adalah

yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu.55

2) Bukan PBI Jaminan Kesehatan

Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan, terdiri atas:

a. Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya adalah setiap orang

yang bekerja kepada pemberi kerja dengan menerima gaji atau upah.

Pekerja penerima upah terdiri atas:

1. Pegawai negeri sipil

2. Anggota TNI

3. Anggota Polri

4. Pejabat negara

5. Pegawai pemerintah non pegawai negeri

(49)

7. Pekerja lain yang memenuhi kriteria pekerja penerima upah

b. Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya adalah setiap

orang yang bekerja atau berusaha atas resiko sendiri, terdiri atas:

1. Pekerja diluar hubungan kerja atau pekerja mandiri

2. Pekerja lain yang memenuhi kriteria pekerja bukan penerima upah

c. Bukan pekerja dan anggota keluarganya adalah setiap orang yang tidak

bekerja tapi mampu membayar iuran jaminan kesehatan, terdiri atas:

1. Investor

2. Pemberi kerja

3. Penerima pensiun

4. Veteran

5. Perintis kemerdekaan

6. Bukan pekerja lain yang memenuhi kriteria bukan pekerja

penerima upah

Orang yang dimaksud dengan anggota keluarga adalah:

a. Satu orang istri atau suami yang sah dari peserta

b. Anak kandung, anak tiri dan atau anak angkat yang sah dari

peserta, dengan kriteria:

1. Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai

penghasilan sendiri

2. Belum berusia 21 tahun atau belum berusia 25 tahun yang

Referensi

Dokumen terkait

Siswa cenderung menyukai bacaan yang menarik dengan sedikit uraian dan banyak gambar atau warna (Wardhani dalam Ami, dkk., 2012: 10). Berdasarkan uraian diatas maka

Ruang yang diciptakan oleh penari adalah ruang yang langsung berhubungan dengan penari, batas ruang yang diperlukan untuk melakukan gerak gerak sesuai dengan gerakan yang

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah peneliti uraikan di atas, peneliti ingin memberikan saran yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan

Pada penelitian ini, Ekspresi didefinisikan sebagai pengungkapan emosi manusia yang sudah dimiliki sejak bayi yang disertai dengan perubahan perilaku maupun fisiologis, sedangkan

Pada tahap kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran menulis puisi menggunakan model Picture and Picture memperoleh peningkatan pada siklus I yaitu 2,28

Mata pelajaran selain Pendidikan Agama Budi Pekerti dan PPKn Penilaian sikap pada mata pelajaran selain Pendidikan Agama Budi Pekerti (PABP) dan PPKn tetaplah harus

Hasil penelitian yang diperoleh menun- jukkan bahwa responden yang berpendidikan rendah berisiko lebih besar tidak mengalami pe- rubahan konversi dibandingkan responden yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan metode-metode statistik tersebut, terdapat hubungan yang signifikan antara implementasi GCG dengan tingkat kesehatan bank,