• Tidak ada hasil yang ditemukan

proposalaldo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "proposalaldo"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PERAIRAN TANJUNG TIRAM PANTAI POKA TELUK AMBON

BAGIAN DALAM

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH

ALDONAL LETERULU

2013-64-049

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

JURUSAN MANAGEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh

proses kehidupan berlangsung di lingkungan perairan laut dangkal (Susetiono, 2004).

Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang

(rhizoma), daun, bunga dan buah (Tomlinson, 1974). Menurut Den Hartog (1977),

tumbuhan ini mempunyai beberapa sifat yang memungkinkan berhasil hidup di laut,

yaitu mampu hidup di media air asin, beradaptasi terhadap kondisi bergaram dapat

bertahan terhadap hempasan arus dan gelombang dan mampu bereproduksi dalam

kondisi terbenam di laut.

Lamun memiliki peran penting dalam ekologi kawasan pesisir, karena menjadi

habitat berbagai biota laut termasuk menjadi tempat mencari makan (feeding ground)

bagi penyu hijau, dugong, ikan, echinodermata dan gastropoda(Bortone, 2000). Peran

lain dari lamun adalah menjadi barrier (penghalang) bagi ekosistem terumbu karang

dari ancaman sedimentasi yang berasal dari daratan.

Perairan Tanjung Tiram terletak pada perairan Teluk Ambon Dalam (TAD).

Memiliki karekeristik substrat berlumpur dan berpasir. Kondisi fisik perairan ini

memungkinkan untuk ditumbuhi oleh beberapa spesies lamun. memiliki areal padang

lamun multispesifik yang tersusun dari 4 spesies vegetasi lamun yaitu : Enhalus

acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis dan Halodule uninervis (Latuconsina,

(3)

merupakan perairan semi tertutup sehingga proses pasang surut mempengaruhi fluktuasi

variabel fisik-kimiawi perairan. Tanjung Tiram dijadikan sebagai lokasi penelitian

karena kawasan ini merupakan perairan dengan hamparan lamun yang cukup luas.

1.2. Tujuan Peneltian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

Untuk mengidentifikasi pola sebaran spasial lamun di Perairan Tanjung

Tiram Pantai Poka Teluk Ambon Bagian Dalam.

1.3. Manfaat PKL

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang

distribusi spasial serta diharapkan hasil penelitian ini sebagai perbandingan dari

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morfologi dan Klasifikasi Lamun

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh dan

berkembang dengan baik di lingkungan laut dangkal hingga sampai kedalaman 40

meter, membentuk kelompok-kelompok kecil hingga padang yang luas dan dapat

membentuk vegetasi tunggal yang terdiri satu jenis lamun atau vegetasi campuran yang

terdiri dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat (Den

Hartog, 1977).

Tumbuhan lamun terdiri dari rhizoma (rimpang), daun, dan akar. Rhizoma

merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar dan berbuku-buku.

Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan

berbunga, serta tumbuh akar. Dengan rhizoma inilah tumbuhan tersebut mampu

menahan hempasan ombak dan arus. Rhizoma tumbuh terbenam dan menjalar dalam

substrat pasir, lumpur, dan pecahan karang (Azkab, 2006, h. 46). Akar pada tumbuhan

lamun mempunyai fungsi sebagai jangkar dan penyerap nutrien dari substrat. Semua

lamun memproduksi rambut akar, kelimpahan rambut akar ini bervariasi pada setiap

spesies (Philips dan Menez, 1988).

Akar dan rhizomanya yang melekat kuat pada sedimen dapat menstabilkan dan

mengikat sedimen, daun-daunnya dapat menghambat gerakan arus dan ombak yang

(5)

Gambar 2. Morfologi tumbuhan lamun (Azkab, 2006)

Di Indonesia terdapat 13 jenis spesies lamun (Tabel 1) yang terdiri dari tujuh marga

(Phillips dan Menez, 1988 dalam Kuriandewa, 2004).

Tabel 1. Komposisi jenis lamun yang ditemukan di perairan Indonesia

Devisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies

(6)

Hydrocharita-2.2. Asosiasi Jenis Lamun

Asosiasi jenis merupakan ukuran kemampuan bergabung atau keeratan antara

spesies. Hal yang di jumpai di alam adalah campuran dari berbagai spesies. Walaupun

ada spesies yang tidak terpengaruh oleh hadirnya spesies lain, tetapi pada umumnya

terdapat dua atau lebih spesies berinteraksi sehingga keadaan populasi suatu spesies

akan berbeda tanpa kehadiran dari spesies-spesies lain yang berinteraksi dengannya

(Tarumingken, 1994). Adanya interaksi antar spesies akan menghasilkan suatu asosiasi

yang polanya sangat ditentukan oleh apakah dua spesies (sama atau berbeda) memilih

untuk berada pada habitat yang sama, mempunyai daya penolakan atau daya tarik, atau

bahkan tidak berinteraksi sama sekali (Khouw, 2008).

Asosiasi interspesifik merupakan ukuran kemampuan bergabung atau keeratan

antara spesies (species affinity). Asosiasi didasarkan pada data ada atau tidak ada suatu

spesies dalam suatu luas areal. Studi asosiasi spesies ada tiga komponen : (1) Menguji

apakah ada kecenderungan asosiasi atau tidak berdasarkan peluan yang telah ditentukan

sebelumnya dalam menguji hipotesis dengan uji statistik, (2) Mendeteksi tipe asosiasi

apakah positif atau negatif. Dan (3) Pengukuran tingkat kekuatan asosiasi berdasarkan

indeks asosiasi.

Umumnya asosiasi antar dua spesies terjadi karena paling sedikit tiga hal yaitu :

1. Kedua spesies memilih atau menghindar habitat yang sama atau faktor

habitat yang sama.

2. kedua speies mempunyai kebutuhan lingkungan abiotik dan biotik yang

(7)

3. satu atau kedua spesies mempunyai afinitas terhadap lainnya, apakah atraksi

mutual atau repulse (Ludwig dan Reinolds, 1988).

2.3. Pola Distribusi Lamun

Ekosistem lamun di Indonesia di jumpai pada daerah pasang

surut (inner intertidal ) dan dibawahnya (upper subtidal). Dilihat dari pola

zonasi lamun secara horizontal, ekosistem lamun terletak diantara

dua ekosistem penting yaitu ekosistem terumbu karang dan

mangrove. Ekosistem lamun berhubungan erat dan berinteraksi

dengan mangrove dan terumbu karang serta sebagai mata rantai dan

penyangga (buffer) bagi kedua ekosistem tersebut. Interaksi ketiga

kelompok ini yaitu, interaksi fisik, nutrien dan zat organik melayang,

ruaya hewan dan dampakkegiatan manusia (Bengen, 2001) .

Zonasi sebaran lamun dari pantai kearah tubir secara umum

berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi

jenis maupun luas penutupannya. Ekosistem lamun dapat berupa

vegetasi tunggal berupa vegetasi tunggal yang tersusun atas satu

jenis lamun dengan membentuk padang lebat. Vegetasi campuran

terdiri dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada

satu substrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi

tunggal adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophilla ovalis,

Holodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum (Dahuri,

(8)

sering di jumpai padang lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi

tinggi. Sementara padang lamun vegetasi campuran terbentuk

didaerah daerah yang berada didekat pantai yang lebih rendah dan

subtidal yang dangkal. Padang lamun tumbuh dengan baik di daerah

perlindungan serta substrat berpasir dan stabil (Hutomo et al. 1988 in

Dahuri 2003).

Untuk perairan tropis seperti Indonesia padang lamun lebih

dominan tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis (mix

species) pada suatu kawasan tertentu. Berbeda dengan kawasan

temperate atau daerah dingin yang kebanyakan di dominasi satu jenis

lamun (single species). Penyebaran lamun memang sangat bervariasi

tergantung pada topografi pantai dan pola pasang surut (Azkab,

2006).

Berdasarkan genangan air dan kedalaman, sebaran lamun

secara vertikal dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu

(Kiswara, 1997).

1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka

saat air surut yang mencapai kedalaman kurang dari 1 m saat

surut terendah. Contoh: Holodule pinifola, Holodule uninervis, Halophila

minor, Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rodunata,

Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium dan Enhalus acoroides.

2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dengan kedalaman sedang

(9)

1-5 m. Contoh: Holodule uninervis, Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii,

Cymodoceae rodunata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium,

Enhalusacoroides dan Thalassodendron ciliatum.

3. Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan

kedalaman mulai dari 5-35 m. Contoh: Halophila ovalis, Halophila

decipiens, Halophila spinulosa, Thalassia hemprichii, Syringodinium

isotifolium dan Thalassodendron ciliatum.

Sedangkan berdasarkan keadaan pasang surut membagi lamun

yang tumbuh menjadi dua zona, yaitu zona intertidal dan daerah

yang berada jauh pantai . Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan

pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis,Cymodocea rotundata dan

Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona

daerah yang berada jauh pantai (Hutomo, 1997).

2.4. Distribusi Spasial Lamun Dengan Menggunakan (surfer 10) Penginderaan

Jauh

Informasi yang akurat mengenai distribusi lamun merupakan hal penting untuk

mengelola sumber daya lamun. Pemetaan sumber daya lamun dapat dilakukan dengan

menggunakan teknik observasi data insitu hingga penginderaan jauh (Short et al., 2001).

Penginderaan jauh untuk lamun berhubungan dengan habitat dasar laut dimana lamun

(10)

air menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Prinsip kerja pendeteksian

padang lamun menggunakan citra satelit adalah dengan memanfaatkan nilai reklektansi

langsung yang khas dari tiap objek di dasar perairan yang kemudian direkam oleh

sensor. Mount (2006) menjelaskan bahwa sinar biru dan hijau adalah sinar dengan

energi terbesar yang dapat direkam oleh satelit untuk penginderaan jauh di laut yang

menggunakan spektrum cahaya tampak (400-650 nm). Sebelum melakukan analisis

survei, citra satelit diklasifikasi dengan menggunakan klasifikasi unsupervised untuk

menghasilkan petunjuk dasar dalam menentukan titik observasi lapang. Data lapang

yang akan diambil diantaranya jenis lamun, kepadatan / kerapatan, persen penutupan,

biomasa, substrat dasar dan posisi geografi. Hasil survei lapang akan dicocokkan

dengan tampilan citra yang sudah diklasifikasikan dengan menggunakan klasifikasi

Unsuprevised yang selanjutnya diolah kembali dengan menggunakan program Surfer

10.

2.4. Biomassa Lamun

Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis atau

jumlah keseluruhan benda hidup dalam suatu wilayah. Satuan biomassa dinyatakan

dalam gram berat kering/m2 dan gram berat basah/m2. Menurut Fortes (1990) in

Kopalit (2010), biomassa lamun merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan dan

kerapatan.

(11)

Habitat lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan juga dijumpai di

terumbu karang. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat

berlumpur sampai berbatu. Namun, padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di

substrat berlumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang

(Bengen, 2002).

Padang lamun vegetasi campuran terbentuk di daerah intertidal yang lebih

rendah dan subtidal yang dangkal. Padang lamun tumbuh dengan baik di daerah yang

terlindung dan bersubstrat pasir, stabil dan dekat sedimen yang bergerak secara

horizontal (Dahuri, 2003). Sebagai tumbuhan yang hidupnya tertancap pada substrat,

sedimen merupakan bagian dari lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap

penyebaran jenis. Lamun hidup dalam berbagai tipe substrat, mulai dari lumpur sampai

sedimen dasar terdiri dari endapan lumpur halus (Dahuri, 2003). Kedalaman sedimen

yang cukup merupakan kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan lamun.

Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta perairan

pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati dengan

kedalaman 4 m. Di perairan yang sangat jernih, beberapa jenis lamun bahkan ditemukan

sampai kedalaman 8-15 m dan 40 m. Bila dibandingkan dengan padang lamun yang

tumbuh di sedimen karbonat yang berasal dari patahan terumbu karang, maka padang

lamun yang tumbuh di sedimen yang berasal dari daratan lebih dipengaruhi oleh faktor

run off daratan yang berkaitan dengan kekeruhan, supai nutrient pada musim hujan,

serta fluktuasi salinitas (Erftemeijer, 1993 dalam Dahuri,2003).

(12)

Menurut Dahuri et.al. (2001), tumbuhan lamun mampu hidup pada berbagai macam tipe

substrat mulai dari lumpur hingga karang. Kebutuhan substrat yang paling utama adalah

kedalaman substrat yang cukup. Peranan kedalaman pada substrat dalam stabilitas

sedimen, yaitu sebagai pelindung tanaman dari arus laut dan sebagai tempat pengolahan

serta pemasok nutrien. Hampir semua tipe substrat lumpur berpasir yang tebal antara

hutan rawa mangrove dan terumbu karang (Begen, 2001). Berdasarkan karakteristik dan

tipe substratnya, padang lamun di Indonesia dapat di kelompokan menjadi 6 kategori

yaitu lumpur, lumpur pasiaran, pasir, pasir lumpuran, puing karang, dan

batu karang. Pengelompokan ini berdasarkan ukuran partikel dari

substrat tersebut (Dahuri, 2003).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2017, pada lokasi perairan

(13)

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam Penelitian ini dapat disajikan pada tabel 2.

Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian.

Alat dan Bahan Kegunaan

GPS Menentukan posisi lokasi Penelitian

(14)

Kantong Plastik Meletakan sampel lamun untuk keperluan identifikasi Termometer Untuk mengukur suhu perairan

Rektometer Untuk mengukur salinitas

Spidol Memberi label pada plastik sampel

Kertas & Alat tulis Mencatat jenis dan jumlah lamun yang ditemukan di lokasi Penelitian

Kamera Untuk keperluan dokumentasi

Buku identifikasi mengidentifikasi sampel yang ditemukan Karet gelang Pengikat kantong plastic

Pipa paralon Untuk mengambil sampel sedimen sieve seaker machine Untuk mengayak sampel sedimen

3.3. Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel lamun dilakukan dengan menggunakan metode transek

linier (krebs,1999), yaitu tali transek ditarikk tegak lurus dari garis pantai dengan jarak

antar transek 30 m dan antara kuadran 5 m. pada setiap kuadran dicatat tiap spesies

lamun yang ditemukan pada setiap unit pengamatan dan diambil salah satu tegakan

sebagai contoh, dimasukan kedalam kantong plastik untuk keperluan identifikasi.

Pengambilan substrat menggunakan pipa paralon yang tingginya 15 cm dengan

diameter 10 cm (r = 5 cm) dan tinggi besi 10 cm yang diletakkan pada atas penambat

sedimen agar mudah ditancap di dasar perairan dan tidak mudah untuk terbawa arus.

Substrat diambil pada kedalaman 15 sampai 20 cm, Untuk analisa butiran, sampel

tersebut kemudian dikeringkan dan diayak dengan menggunakan sieve seaker machine

dan dianalisis butiran sedimenny, Selain parameter fisik diukur secara insitu.

(15)

1. Kerapatan Lamun

Rumus yang digunakan untuk menghitung kerapatan lamun adalah dengan persamaan (Khouw, 2009):

C=∑ nA

Di = kerapatan lamun jenis-i (tunas/m2)

Σni = jumlah tunas lamun jenis-i (tunas)

Ai = jumlah luas transek dimana lamun jenis-i ditemukan (m2)

2. Persentase Penutupan Lamun

Nilai persentase penutupan jenis pada setiap kuadrat pengamatan mengunakan

kriteria menurut Saito & Atobe (1970) dalam Khouw (2008):

C=

(Mi × f i) ∑f

dimana :

C = Persentase penutupan jenis lamun Mi = Persentase titik tengah dari kelas ke-i

f = Frekuensi (jumlah sektor pada kelas yang sama)

fi = Frekuensi dari kelas ke-i

Persen penutupan relatif jenis lamun dihitung menggunakan formula

Persen Penutupan Jenis Relatif= Persen penutupan suatu jenis Persen penutupan semua jenis×100

Kriteria penentuan kelas dilakukan berdasarkan tabel 3 menurut Satio dan

(16)

Tabel 3. Standar Persentase penutupan lamun persamaan (Brower dan Zar (1989), yaitu :

B=W A

Dimana :

B = biomassa lamun spesies ke-i (gram kering/m2) W = jumlah total berat spesies ke-i (gram kering) A = total area studi (m²)

4. Asosiasi Lamun

Koefisien korelasi titik digunakan untuk menentukan asosiasi jenis organisme

(krebs, 1999). Prosedur yang digunakan yaitu dengan menyusun frekuensi

ditemukannya satu jenis lamun dalam setiap satuan contoh tabel kontingensi 2 x 2.

Untuk menghitung koefisien korelasi titik berdasarkan tabel kontingensi 2 x 2

dirumsukan :

V= ab

(17)

Tabel 4. Tabel Kontigensi 2 x 2

Dimana :

a : jumlah unit sampling yang terdapat kedua spesies

b : jumlah unit sampling yang terdapat spesies A, tetapi spesies B tidak

c : jumlah unit sampling yang terdapat spesies B, tetapi spesies A tidak

d : jumlah unit sampling yang kedua spesies tidak terdapat

N : jumlah total unit sampling

5. Substrart

Untuk mengetahui dominasi dari tiap ukuran butiran sedimen

dilakukan dengan rumus Wenworth (1922) :

(18)

Untuk menggolongkan sedimen berdasarkan partikel /butiran dapat dilihat pada tabel

2.3

Tabel 2.3. ukuran butiran sedimen menurut skala Wenworth (1922)

(19)

Agandi, Ganesya. 2003. Struktur Komunitas Lamun di Perairan Pagerungan jawa Timur. Skripsi Institut Pertanian Bogor.

Azkab MH. 2006. Ada apa dengan lamun. Majalah Semi Polpuler Oseana 31(3):

45-55.

Bengen, G. D., 2001. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. Synopsis.

Pusat Kajian SUmberdaya Pesisir dan Lautan, Intitut Pertanian Bogor. Bogor. iii+ 62 hml.

Bengen , G.D., 2002. Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaan. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut. IPB. Bogor. Bortone, S.A. 2000. Seagrasses: monitoring, ecology, physiology and management.

CRC Press. Boca Raton, Florida. 318p. Dahuri, R. 2001. Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. 64hlm.

Brower, J. E., J. H. Zar dan C. N. von Ende. 1990. Field and laboratory Methods for general Ecology. Wm. C. Brown Publishers. Boulevard. USA.

Dahuri. R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Den Hartog, C. 1970. The Seagrass of the World. North-Holland Publishing Company. Amsterdam. 297p

Fachrul MF (2007) Metode sampling bioekologi. Edisi ke-2. Bumi Aksara, Jakarta.

Hutomo, H. 1997. Padang Lamun Indonesia : Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal yang belum banyak dikenal. Jurnal Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta, Indonesia.

Krebs, C.J . 1972. Ecology : The Experimenthal Analysis of Distribution acd Abundance Harper and Row Publication. New York, 654 p.

Khouw, A. S, 2008. Metode dan Analisa Kuantitatif Dalam Bioekologi Laut. 346 hal.

Khouw, A.S. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut. Jakarta: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut.

(20)

Lanuru, M. dan Fitri, R. 2005. Sediment Deposition in A South Sulawesi Seagrass Bed. Universitas Hasanudin, Makasar.

Latucosina H, Nessa MN, Ambo-Rappe R. 2012. Komposisi spesies dan srutktur komunitas ikan padang lamun perairan Tanjung Tiram-Teluk Ambon Dalam. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 4(1): 35-46.

Marsh J. A, Dennison, W. C. dan Alberte, R. C. 1986. Effects of Temperature on Photosynthesis and Respiration in Eelgrass (Zostera marina L.) Journal Exp Mar Biol Ecol. 101: 257–267.

McKenzie, L. 2008. Seagrass Watch. Prosiding of Workshop for Mapping Seagrass Habitats in North East Arnhem Land, Northern Territory. 18 - 20 Oktober. Cairns, Australia. Hal : 9 – 16.

Nienhuis, D.H., H. C. Mathieson.1991. ecosystem of The world : Intertidal and Litoral Ecosystem. Elseiver. Amsterdam.

Nontji. A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta

Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta.

Philips CR, EG Menez (1988) Seagrass. Smith Sonian Institutions Press, Washington DC.

Sangadji, S. N., 2013. Komunitas lamun di perairan pantai Negeri Suli. Laporan PKL. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon.

Susetiono, 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembah. Edisi ke-1 Pusat Penelitian Oseanografi-Lipi, Jakarta.

Tomlinson, P. B., 1974. Vegetative Morphology and Meristem Dependence – the Foundation of Productivity in Seagrass. Aquaculture 4 : 107-130.

(21)

Gambar

Tabel 1. Komposisi jenis lamun yang ditemukan di perairan Indonesia
Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian.
Tabel 3. Standar Persentase penutupan lamun
Tabel 4. Tabel Kontigensi 2 x 2

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Setelah dilakukan penelitian dan selanjutnya dilakukana analisis data guna memperoleh dan dapat menjelaskan keadaan atau kondisi sebenarnya sesuai dengan data yang

“Dengan meningkatnya arus informasi yang begitu cepat dimasa kini, kami masyarakat merasa sangat mudah untuk mengetahui hal yang belum kami pahami dengan baik tentang pelayanan

S K S DOSEN RUANGAN KULIAH SENIN 1tA AKT - SIANG 13.30 - 15.30 EAK110022 AGAMA BAHASA INGGRIS BAHASA INDONESIA PENGANTAR BISNIS EKONOMI MIKRO 2 IKA BR. Hari dan waktu

mengoperasikan aplikasi INLIS. Keterbatasan pemahaman pada sistem ini sangat berimplikasi pada kinerja perpustakaan. Pustakawan dan pemustaka bahkan belum dapat menikmati

Setelah dilakukan terapi enam kali terlihat adanya peningkatan LGS. Penurunan LGS disebabkan oleh adanya nyeri sehingga pasien menghindari gerakan yang dapat

Berdasarkan tabel 1 dan gambar 3 dapat dilihat bahwa pada pengenceran larutan pasta gigi yang mengandung xylitol dengan konsentrasi 0,001%, 0,01% dan 0,1% tidak terbentuk

Berbagai hotel atau penginapan syariah dan non syariah di obyek wisata Telaga Sarangan terdapat 18 hotel yang tidak efisien, hal ini ditunjukkan dengan TE