• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi interaksi sosial pada anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Deskripsi interaksi sosial pada anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga - USD Repository"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh :

Agustin Dwi Widowati 039114018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik, ia belajar keadilan

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar percaya Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyukai diri

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan…

Dorothy Law Nolte

Se d ikit ra sa ke ma nusia a n sung g uh ja uh le b ih b e rha rg a d a rip a d a se luruh p e ra tura n ya ng a d a d i d unia ini.

(Jean Piaget)

(5)

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika interaksi sosial anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarganya. Perlakuan kekerasan yang diterima anak dapat menimbulkan penderitaan atau kesengsaraan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual yang dapat mengganggu proses perkembangan anak, yang dalam penelitian ini difokuskan pada masalah interaksi sosial anak dengan lingkungannya. Interaksi sosial terdiri dari kontak sosial yang berarti predisposisi sikap yang menunjukkan kesediaan atau keinginan yang kuat untuk berhubungan dengan orang lain, dan ada atau tidaknya komunikasi yang merupakan proses transmisi tanda atau pesan untuk dapat mengerti pandangan atau sikap dan pikiran orang lain yang berinteraksi, baik secara verbal maupun non-verbal.

Penelitian ini merupakan penelitian kasus (case study) dengan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian berjumlah tiga anak yang menjadi korban tindak kekerasan oleh keluarganya dan termasuk dalam rentang usia akhir masa kanak-kanak hingga memasuki masa pubertas. Data diperoleh dengan wawancara terhadap subjek dan significant other-nya, serta observasi terhadap perilaku subjek. Data dianalisis menurut isinya melalui pengorganisasian data secara sistematis, melakukan pengkodean dan interpretasi sehingga data yang diperoleh bisa dipahami secara lebih mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial anak cenderung terhambat saat berhadapan dengan orang dewasa yang tidak mereka percaya, walaupun anak sudah mengenal orang tersebut. Ketiga subjek menunjukkan bahwa mereka tidak mampu mengungkapkan pikiran, perasaan, ataupun permasalahan yang mereka hadapi pada guru kelas dan pengasuh karena adanya perasaan takut dalam diri mereka. Hal tersebut menunjukkan adanya hambatan dalam hal komunikasi. Permasalahan subjek dalam hal kontak sosial salah satunya muncul dalam bentuk keengganan subjek untuk melakukan kontak fisik dengan orang dewasa. Di sisi lain, interaksi sosial anak dengan teman sebayanya tidak menemui hambatan yang berarti, baik dalam hal kontak sosial maupun komunikasinya. Jika berada di situasi atau tempat yang baru, subjek cenderung mengalami kesulitan beradaptasi dan menarik diri dari lingkungan barunya karena menyimpan kegugupan dan bahkan rasa takut.

Kata kunci : interaksi sosial, kontak sosial, komunikasi, kekerasan terhadap anak

(6)

This study aimed to represent the description of social interaction of children who experienced abuse in their family. It was possible that the abuse caused torment to them. It was not only physical and psychological, but also sexual which was able to obstruct their development process. That was why the writer focused this study on the problem of their social interaction with the surroundings. Social interaction consisted of social contact which meant predisposition of behavior that showed the children’ willingness in having contact with others, and the existence or non-existence of communication both verbal and non-verbal as a sign or massage of transmission process that helped to understand the others’ attitude and thought during the interaction.

This was a case study which used qualitative approach. The subjects were three children at the age between child phase and puberty who experienced abuse in their family. The data was obtained through interview with the subjects and their significant other, and an observation of their behavior. It was then analyzed by arranging data systematically, coding, and interpretation in order to get deeper understanding.

The final result showed that it occurred obstruction in social interaction of the subject when they were facing adults whom they did not trust, even they had known them. The three subjects showed that they did not able to express their thought, feeling, or even to tell the problem they were facing their teacher or nursemaid. It happened because of their anxious feeling. This showed the obstruction in communication. One of the social contact problems is the reluctance of subject in doing physical contact with adult. In contrast, it did not occurred great obstruction in the social interaction of three subjects with the peer, except when they were in a new place or new situation. They became have difficulty in adaptation and avoid themselves from the new situation. It happened also because of their anxious feeling.

(7)

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa selama penulisan karya tulis ini, penulis telah banyak mendapat bantuan berupa bimbingan, dorongan, serta pengarahan dari berbagai pihak yang sangat berarti bagi penulis. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Allah swt. yang selalu melimpahkan berkat dan anugerah-Nya, serta yang setiap saat selalu memberikan pengharapan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi yang telah membimbing dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penulisan ini.

3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi yang telah membantu dan membimbing penulis secara akademik baik di dalam maupun di luar kelas.

(8)

kekuatan bagi penulis selama penulis kuliah dan bekerja di P2TKP.

6. Bapak/ Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik penulis selama studi di Fakultas Psikologi ini, terutama pada bu Ari dan bu Tanti yang telah menjadi dosen penguji hasil karya peneliti. Terima kasih atas kritik dan saran serta bimbingan dan arahannya yang dapat membantu peneliti meningkatkan kualitas hasil penelitian ini.

7. Mbak Nanik, Mas Gandung, Mas Doni dan Pak Gie’ yang dengan sabar membantu dan memberikan kemudahan bagi penulis selama proses studi penulis di Fakultas Psikologi.

8. Mas Muji selaku petugas Laboratorium Fakultas Psikologi. Terima kasih untuk segala bantuan yang sudah diberikan pada penulis selama proses praktikum yang harus ditempuh penulis. Maaf mas Muj’ kalau saya banyak merepotkan selama jadi asisten praktikum.

9. Bapak Pranowo, S.H dan mbak Nita selaku staff dari Lembaga Perlindungan Anak Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (LPA-DIY) dan semua pihak yang terkait di dalamnya yang telah banyak memberikan bantuan dan arahan pada penulis selama proses penelitian skripsi ini berlangsung.

(9)

moril maupun materiil..he..terimakasie juga buat Ovien, adekku satu-satunya, untuk keceriaan yang kamu kasih ke aku selama aku ngerjain skripsi di rumah. Kamu salah seorang yang bisa membangkitkan semangatku karena bersedia jadi ‘tempat pelampiasan’.

12.Anggota keluarga besarku, terutama eyang putri…terima kasih untuk doa, dukungan, perhatian yang selalu diberikan padaku.

13.Teman-teman seperjuanganku angkatan 2003, baik yang sudah lulus maupun yang belum lulus. Terima kasih atas pertemanan yang indah yang kita bangun selama ini. Aku juga akan berkata, “Sudah saatnya kita pindah dunia dan memperjuangkan masa depan kita di dunia yang baru, SYEMANGAT untuk kita semua!!!”

14.Teman-teman terbaikku di Psikologi: There, Poke, Noniek, Di2, Oied, Ana. Terima kasih atas jalinan indah yang telah kita rangkai bersama selama kita ada di Psikologi. Semoga mata rantai itu tidak akan pernah putus walaupun kita sudah punya jalan masing-masing.

(10)

koordinatornya. Terima kasih atas keakraban yang terjalin di antara kita dan semua proses pembelajaran yang sudah kita lalui bersama. Semua itu menjadi pengalaman berharga buatku.

17.Teman-teman RASS baik angkatan lama seperti Haksi, maupun baru seperti Devi, termasuk juga Pak Heri dan Bu Titik selaku pembimbing. Terima kasih karena kalian telah bersedia bertukar pikiran denganku dan menambah wawasanku.

18.Karyawan P2TKP: Pak Toni dan Bu Tiwi. Terima kasih untuk semua hal yang telah kalian ajarkan pada saya. Terima kasih juga pada mbak Tia yang bersedia mendengarkan curahan hati saya sebagai asisten dan memberikan masukan. Hal-hal itu dapat menjadi bekal yang berguna pada saat saya menginjakkan kaki di tempat yang lebih luas lagi.

19.Asisten P2TKP angkt’06: Mas Adi, Mas Dezta, Mas Kobo, Mbak Lisna, Mbak Katrine, dll. Terima kasih atas berbagai hal tentang pekerjaan yang telah kalian tunjukkan padaku dan juga waktu yang telah kalian luangkan untuk bertukar pikiran denganku.

(11)

bersama.

22.Tak lupa penulis ucapkan terima kasih pada teman-teman kecil di Trauma Centre (TC) dan juga para pembimbing, mbak Tanti, mbak Rini, mbak Gesti serta Bu Ana selaku kepala panti. Kalian telah mengajariku banyak hal yang berharga di luar kemampuan akademis dan kalian membuatku belajar memahami arti kesabaran dan hikmah dari setiap masalah dan penderitaan. Hal itu memberiku dorongan yang besar dalam hal pengembangan diri.

23.Semua pihak yang belum disebutkan satu per satu di sini. Terima kasih atas dukungan dan perhatian kalian selama ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca yang dapat menjadi masukan bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan penulis menjadi lebih baik. Penulis berharap agar karya tulis ini dapat menjadi inspirasi bagi pembaca dan bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan

(12)
(13)
(14)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….…………...ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….………..iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….…………...iv

ABSTRAK ………...……v

ABSTRACT ………...………...vi

KATA PENGANTAR ………..………vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………....……….…...xii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...xiii

DAFTAR ISI ………..…………..xiv

DAFTAR TABEL ………..………...xvii

DAFTAR GAMBAR...xviii

DAFTAR LAMPIRAN ………..…………..xix

BAB I. PENDAHULUAN ………...1

A. Latar Belakang Masalah………...………..1

B. Rumusan Masalah ………...………...7

C. Tujuan Penelitian ………...…………7

D. Manfaat Penelitian ………...………..8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ………...……….9

A. Perkembangan Sosial Pada Anak………...……9

1.Definisi dan Karakteristik Akhir Masa Kanak-kanak..………...9

2.Tugas Perkembangan... …………...………….10

(15)

3. Faktor-faktor yang Turut Membentuk Interaksi Sosial………..20

C. Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse) ………...25

1. Pengertian Child Abuse...25

2. Jenis-jenis Child Abuse...27

3. Ciri-ciri Child Abuse...32

4. Dampak Penyiksaan Terhadap Aspek Kehidupan Anak...36

D. Interaksi Sosial pada Korban Child Abuse………..38

E. Pertanyaan Penelitian...44

BAB III. METODE PENELITIAN ………..………...45

A. Jenis Penelitian ………..………...45

B. Subjek Penelitian...………...46

C. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional...………..…...47

D. Metode Pengumpulan Data………..……...49

E. Analisis Data ………...54

F. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data………..……...56

1.Kredibilitas ………..……...56

2.Dependability ………....…....59

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….………..…...…60

A. Persiapan Penelitian ………...60

1. Alat Pengumpulan Data ………..…...…60

(16)

b. Latar Belakang………...……...66

c. Kontak Sosial………...…...….72

d. Komunikasi………...……81

e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial…...………...……..….85

2. Subjek 2 ………...…..…...88

a. Identitas………...…..88

b. Latar Belakang………...…...89

c. Kontak Sosial………...…….93

d. Komunikasi………...…...101

e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial………...…....105

3. Subjek 3 ………...….….107

a. Identitas………...…….…107

b. Latar Belakang………...….….108

c. Kontak Sosial………...…...116

d. Komunikasi………...….…..128

e. Faktor yang mempengaruhi interaksi sosial………...….…...133

D. Pembahasan ………...……..141

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………..………...….165

A. Kesimpulan ………..…………...…….165

B. Keterbatasan Penelitian...166

(17)

Tabel 3.2. Kode Organisasi Data...55 Tabel 4.1. Proses Pengambilan Data ………...63 Tabel 4.2. Ringkasan Analisis Hasil Penelitian Subjek 1, Subjek 2, dan

(18)
(19)

Lampiran 2. Hasil Wawancara Significant Others Subjek 1………...184

Lampiran 3. Hasil Koding Wawancara dan Observasi Subjek 1……….192

Lampiran 4. Hasil Wawancara dan Observasi Subjek 2 ……….209

Lampiran 5. Hasil Wawancara Significant Others Subjek 2………....223

Lampiran 6. Hasil Koding Wawancara dan Observasi Subjek 2………..232

Lampiran 7. Hasil Wawancara dan Observasi Subjek 3 ………..252

Lampiran 8. Hasil Wawancara Significant Others Subjek 3………....272

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini semakin banyak kasus kekerasan terhadap anak yang telah terungkap walaupun di balik itu masih banyak pula yang tidak terlihat sama sekali. Hal tersebut merupakan fenomena masalah sosial kritis di Indonesia yang beritanya telah banyak beredar di berbagai media. Hal tersebut menggambarkan betapa tragisnya kondisi anak-anak dengan berbagai macam kasus tindak kekerasan, penganiyayaan dan pengabaian. Dalam hal ini telah banyak pula pakar hukum, psikologi dan pekerja sosial yang angkat bicara seperti Drs. Soetarso, MSW (dalam Huraerah, 2006), seorang Pakar Profesi Pekerjaan Sosial:

Permasalahan anak sangat dramatis dan memilukan, karena dialami oleh manusia yang kemampuan fisik, mental, dan sosialnya masih terbatas untuk merespon berbagai risiko dan bahaya yang dihadapinya. Lebih tragis lagi jika dicermati bahwa dalam berbagai kasus, permasalahan tersebut justru dilakukan oleh pihak-pihak yang seyogianya berperan mengasuh dan melindungi anak, terutama orang tua/ keluarga.

(21)

mencerminkan kasih sayang terhadap anak. Tindakan kekerasan ini dapat menimbulkan penderitaan atau kesengsaraan, baik secara fisik, psikis, maupun seksual yang dapat mengganggu proses perkembangan anak. Kekerasan terhadap anak biasanya berupa memarahi secara berlebihan, memaki, membentak dan menghina, bahkan sampai melakukan hubungan seksual dan membunuh (Ikawati dan Rusmiyati, 2003).

Dari waktu ke waktu tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga semakin bertambah jumlahnya. Menurut sebuah studi yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YCAI), sebatas yang terekspos di media massa, ditemukan kecenderungan terjadinya peningkatan secara kuantitas tindak kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Pada tahun 1994 tercatat 172 kasus, tahun 1995 meningkat menjadi 421 kasus, dan pada tahun 1996 melonjak menjadi 476 kasus (Suyanto, dkk; dalam Ikawati dan Rusmiyati, 2003). Hasil identifikasi yang dilakukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur pada tahun 2000, menemukan dalam tiga tahun terakhir paling tidak telah terjadi 300 lebih kasus child abuse. Yang mengherankan, justru sebagian besar pelakunya adalah orangtua korban. Jadi, keluarga dapat menjadi tempat paling berbahaya bagi kelangsungan hidup, perkembangan, dan perlindungan anak (Suyanto, 2005).

(22)

tatanan masyarakat cara ini memang masih bisa diterima selama anak yang dinilai nakal membuat orang tua tidak memiliki pilihan lain untuk mendisiplinkannya selain dengan tindakan kekerasan, tentu saja tindakan kekerasan pada tahap ini menjadi alternatif terakhir bila seorang anak sulit didisiplinkan.

Namun, dalam banyak kasus tindak kekerasan sering dijadikan alasan sebagai penyelesaian utama untuk mendisiplinkan seorang anak, terlebih bila para orang tua menganut pola asuh otoriter yang keras. Hal ini mengantarkan penelitian pada fakta tentang bagaimana seharusnya seorang anak diperlakukan. Berdasarkan suatu alasan tertentu seorang ibu, ayah atau pengasuh lain memukul anak secara terus-menerus sebagai pelampiasan beban mental yang dialaminya. Keberadaan seorang anak yang belum memiliki cukup banyak daya untuk melawan, dipilih dan dijadikan sasaran tindakan kekerasan, seperti yang telah diungkapkan oleh Valerie Bivens (dalam Huraerah, 2006) yang merupakan seorang Pekerja Sosial sekaligus anggota Sosial Worker for Child Protective Service, California:

Bagaimanapun kita tidak boleh melupakan puluhan ribu anak lain yang tidak mampu bertahan mengalami perlakuan buruk, dan jutaan anak lainnya yang sampai saat ini masih menderita. Satu-satunya obat bagi wabah child abuse ini adalah mencegahnya agar tidak terjadi.

(23)

diacuhkan, tidak dibiayai, dilempar dengan benda, dibatasi pergaulannya, tidak boleh berhubungan dengan keluarga lain, dan diperkosa.

Efek psikologis tindak kekerasan terhadap anak dapat mengakibatkan terjadinya trauma psikologis seperti ketegangan, kecemasan, timbulnya rasa takut dan malu, tidak bersemangat, tidak dapat konsentrasi sehingga ia tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya. Anak juga dapat merasa tertekan, stres bahkan pada tingkat depresi, anak bisa mencederai diri bahkan bunuh diri. Selain itu, anak akan merasa tidak aman sehingga lari dari rumah atau berperilaku nakal (delinquent) sebagai bentuk penyaluran rasa aman. Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah anak tidak mau keluar rumah karena mengalami kesulitan dalam berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain khususnya teman sebaya. Dampak psikologis lainnya adalah adanya perubahan perilaku pada anak seperti pasif, anak menjadi pendiam, penurut, apatis atau sebaliknya anak menjadi agresif. Gangguan tidur, mimpi buruk, takut pada benda tertentu atau tempat tertentu juga sering menyertai anak-anak yang menjadi korban kekerasan.

(24)

terpenuhinya kebutuhan anak dapat menyebabkan terganggunya perkembangan kepribadian mereka. Jika perkembangan pembentukan kepribadian mereka terhambat, maka aspek perkembangan lainnya dalam diri anak tersebut juga ikut terhambat misalnya aspek perkembangan sosialnya. Hal tersebut disebabkan kepribadian yang terbentuk mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku pada saat ia berinteraksi dengan lingkungannya. Namun, pada kenyataannya masih banyak warga masyarakat belum menyadari tentang hal tersebut dan melakukan tindakan menyakiti anak, sehingga mengakibatkan anak tidak terpenuhi kebutuhannya, bahkan anak juga mendapatkan perlakuan buruk dari orangtua atau orang dewasa lainnya (Ikawati dan Rusmiyati, 2003).

(25)

orang lain, dan oleh karena itu akan terganggu hubungan sosialnya di kemudian hari.

Dalam bukunya, Santrock (2002) menyebutkan bahwa anak-anak harus belajar berhubungan secara teratur dengan orang-orang dewasa di luar keluarga – orang-orang dewasa yang berinteraksi dengan anak-anak sangat berbeda dari orang tua yang berinteraksi dengan anak-anak. Selama masa pertengahan dan akhir anak-anak, interaksi dengan orang-orang dewasa di luar keluarga melibatkan orientasi pengendalian dan prestasi yang lebih formal.

Jika seorang anak tidak dapat ‘menerima’ tindak kekerasan yang ia alami maka tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan merasakan ketakutan yang menyebabkan ia tidak mau bertemu dan berinteraksi dengan orang lain terutama orang dewasa yang dapat mengingatkannya pada peristiwa kekerasan tersebut. Selain itu, mungkin juga bahwa ia tidak memiliki keinginan untuk berteman dengan anak-anak sebayanya karena ia merasa malu dan berbeda dengan yang lain apalagi jika ia mendapat cacat yang permanen pada tubuhnya. Hal yang perlu diwaspadai adalah jika ia mengalami trauma akibat peristiwa itu, akan semakin sulit baginya untuk dapat percaya pada orang lain dan lingkungannya, apalagi sampai berinteraksi dan berkomunikasi terutama dengan banyaknya media massa yang terus menerus menyiarkan berita tentang peristiwa yang ia alami tersebut.

(26)

masa kanak-kanak, kemampuan mereka dalam berinteraksi sosial dengan orang lain sangatlah penting dan dalam masa pubertas, anak diharapkan sudah memiliki relasi sosial yang baik dengan orang lain.

Melihat besarnya pengaruh negatif yang dapat timbul pada anak korban kekerasan, maka peneliti tertarik mengangkat tema tersebut untuk melihat bagaimana interaksi anak yang menjadi korban kekerasan dengan orang lain dan lingkungannya sebagai salah satu aspek perkembangan yang dapat terganggu, dengan harapan agar kasus kekerasan pada anak dapat dihindari.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah interaksi sosial yang ditunjukkan oleh anak yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga?”

C. Tujuan Penelitian

(27)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dikelompokkan dalam : 1. Manfaat Teoretis

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu psikologi, yaitu psikologi sosial dan psikologi perkembangan khususnya mengenai interaksi sosial pada anak yang mengalami tindak kekerasan dalam keluarga.

2. Manfaat Praktis

Secara khusus, manfaat praktis di bagi menjadi dua bagian yaitu: a. Bagi masyarakat umum

Dipandang dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai dampak yang dialami anak korban kekerasan terutama mengenai interaksi sosialnya, sehingga bisa menjadi referensi bagi orang-orang yang mengalami ataupun mengetahui adanya kasus serupa, supaya child abuse dapat dicegah atau dikurangi frekuensinya.

(28)

BAB II

DASAR TEORI

A. Perkembangan sosial pada anak

1. Definisi dan karakteristik akhir masa kanak-kanak

Masa akhir anak-anak (late childhood) ialah periode perkembangan yang merentang dari usia kira-kira 6 hingga 11 tahun, yang kira-kira setara dengan tahun-tahun sekolah dasar; periode ini kadang-kadang disebut “tahun-tahun sekolah dasar”. Keterampilan-keterampilan fundamental seperti membaca, menulis, dan berhitung telah dikuasai. Anak secara formal berhubungan dengan dunia yang lebih luas dan kebudayaannya (Santrock, 2002). Hurlock (1980) menyebutkan bahwa akhir masa kanak-kanak (late childhood) berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Pada awal dan akhirnya, masa kanak-kanak ditandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak.

(29)

Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya. Akhir masa kanak-kanak merupakan periode pertumbuhan yang lambat dan relatif seragam sampai mulai terjadi perubahan-perubahan pubertas, kira-kira dua tahun sebelum anak secara seksual menjadi matang pada saat mana pertumbuhan berkembang pesat (Santrock, 2002). Berakhirnya masa kanak-kanak dan mulai masuknya anak pada masa pubertas berbeda pada anak laki-laki dan anak perempuan. Rata-rata anak perempuan memasuki masa pubertas pada usia 9-11 tahun sementara anak laki-laki memasuki masa pubertas pada usia 12-15 tahun. Pada masa ini, perkembangan sosial anak ditunjukkan salah satunya dengan hubungan antar teman sebaya yang sudah lebih intim (Papalia, Olds & Feldman, 2004)

Ketegangan emosional merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik. Anak yang hidup dengan tenang tumbuh lebih cepat daripada anak yang mengalami gangguan emosional, meskipun gangguan emosional lebih banyak mempengaruhi berat badan daripada tinggi badan. Sebagai tambahan, pada tahap selanjutnya, yaitu tahap pubertas akan ditandai dengan adanya krisis (Hurlock, 1980).

2. Tugas perkembangan

(30)

tersebut pada saat ini. Kegagalan dalam pelaksanaannya akan mengakibatkan pola perilaku yang tidak matang, sehingga sulit diterima oleh kelompok teman-temannya dan tidak mampu menyamai teman-teman sebaya yang sudah menguasai tugas-tugas perkembangan tersebut. Menurut Havinghurst (dalam Hurlock, 1980) tugas-tugas perkembangan pada anak-anak di kelompok umur 6-12 tahun yaitu:

a. Belajar kemampuan-kemampuan fisik yang diperlukan agar bisa melaksanakan permainan atau olahraga yang biasa

b. Membentuk sikap-sikap tertentu terhadap dirinya sebagai pribadi yang sedang tumbuh dan berkembang

c. Belajar bergaul dengan teman-teman seumurnya

d. Mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar dalam membaca, menulis, dan menghitung

e. Mengembangkan nurani, moralitas dan skala nilai f. Memperoleh kebebasan pribadi

g. Membentuk sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan institusi

(31)

3. Aspek emosi dan sosial pada anak

Akhir masa kanak-kanak sering disebut sebagai “usia berkelompok” karena ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Anak ingin bersama teman-temannya dan akan merasa kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya (Hurlock, 1980).

Di akhir masa kanak-kanak ini, relasi keluarga dan teman-teman sebaya memainkan peran yang sangat penting, anak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru, yaitu lingkungan sekolah serta teman-temannya. Anak mulai mengembangkan ketrampilan interpersonal, misalnya dengan menjalin hubungan persahabatan yang intim.

Anak ingin bersama dengan kelompoknya, karena hanya dengan demikian terdapat cukup teman untuk bermain dan berolah raga dan dapat memberikan kegembiraan. Sejak anak masuk sekolah sampai masa puber, keinginan untuk bersama dan untuk diterima kelompok menjadi semakin kuat. Hal ini berlaku baik bagi anak laki-laki maupun anak perempuan.

(32)

peran mereka dalam kehidupan dan posisi mereka dalam kelompok sosial dipengaruhi oleh emosi yang ada pada mereka seperti malu, takut, agresif, ingin tahu, atau bahagia. Selain itu, disebutkan juga bahwa emosi mempengaruhi interaksi sosial. Semua emosi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, mendorong interaksi sosial. Melalui emosi, anak belajar cara mengubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan ukuran sosial.

Pada anak usia sekolah, pengalaman emosi menjadi semakin spesifik dan rumit. Pengalaman emosi menjadi semakin beragam seperti kecemasan, kemarahan, agresi, kegembiraan, humor dan cinta. Keluarga dan teman sebaya merupakan agen penting dalam sosialisasi. Interaksi anak dengan teman sebaya memberikan kesempatan untuk membagikan pengalaman, bekerja sama, mencapai tujuan. Pada masa ini pula anak belajar untuk mengendalikan reaksi emosinya dengan cara atau tindakan yang dapat diterima oleh lingkungan. Moral dan pemahaman dirinya mulai berkembang. Oleh karena itu, sudah memungkinkan bagi orang tua untuk mengajarkan anak tentang pengendalian perilaku, disiplin, maupun tentang tanggung jawab. Orang tua dapat menuntun anak untuk memantau perilakunya sendiri, menghadapi standar-standar perilaku yang sesuai, dan menghindari resiko-resiko yang membahayakan (Hurlock, 1978).

(33)

anak-anak. Dari perspektif kognitif sosial, anak-anak yang tidak dapat menyesuaikan diri tidak memiliki keterampilan kognitif sosial yang memadai untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain (Kelly & de Armas, 1989; Weisberg, Caplan, & Sivo, 1989 dalam Santrock, 2002). Satu investigasi mencoba menyelidiki kemungkinan bahwa anak-anak yang tidak dapat menyesuaikan diri tidak memiliki keterampilan kognitif sosial yang diperlukan bagi interaksi sosial yang positif (Asarnow & Callan; dalam Santrock, 2002).

Hurlock (1978) membahas mengenai perkembangan sosial pada masa puber. Dengan dimulainya masa puber timbullah perubahan pada sikap sosial, kemunduran minat terhadap aktivitas kelompok, dan kecenderungan untuk menyendiri. Pada masa puber, kemajuan dan perubahan meningkat, serta sikap dan perilaku sosial semakin meningkat ke arah antisosial. Pada masa ini pola perkembangan sosial terganggu.

B. Interaksi Sosial

1. Definisi Interaksi sosial

(34)

sedangkan interaksi sosial menurut Mar’at (1982) adalah suatu proses perhatian dan respon seseorang terhadap rangsangan atau stimulus dari orang lain. Bonner (dalam Gerungan, 1996) menyebutkan bahwa interaksi sosial adalah hubungan antara dua individu/ lebih sehingga individu yang satu akan mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku yang lain atau sebaliknya.

Senada dengan itu, Thibout dan Kelley (dalam Wirawan, 1984) mendefinisikan interaksi sosial sebagai suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang memungkinkan mereka saling mempengaruhi dan saling tergantung untuk mencapai hasil yang positif.

Walgito (2003) menyebutkan bahwa interaksi sosial ialah hubungan individu yang satu dengan yang lainnya, dimana individu yang satu dapat mempengaruhi yang lain atau sebaliknya; jadi disini terdapat hubungan yang saling timbal balik. Hubungan ini dapat individu dengan individu, individu dengan kelompok atau hubungan kelompok dengan kelompok lain.

(35)

2. Aspek Interaksi Sosial

Partowisastro (1983) dalam bukunya menyebutkan bahwa tidak mungkin timbul interaksi sosial kalau tidak ada dua macam kondisi, yaitu kontak sosial dan komunikasi. Selain itu, Pasaribu (1984) berpendapat bahwa interaksi sosial dapat terjadi bila memenuhi dua aspek, yaitu kontak sosial dan komunikasi. Kedua aspek tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Kontak sosial

(36)

Kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif, tergantung dari predisposisi sikap seseorang yang menunjukkan kesediaan (asosiatif) atau penolakan (disasosiatif). Kontak sosial yang positif terjadi bila disertai dengan respons atau adanya feed back. Kontak sosial negatif terjadi bila tidak ada interaksi sama sekali.

Kontak sosial dapat juga dibedakan menjadi dua, yaitu langsung (primer) dan tak langsung (sekunder). Kontak langsung (primer) terjadi apabila individu yang terlibat bertemu langsung atau bertatap muka (face to face) sehingga terjadi impresi (kesan) timbal balik dari kedua belah pihak. Kontak tak langsung (sekunder) berarti individu yang terlibat bertemu melalui perantara yang berupa orang lain atau salah satu alat kebudayaan dan media tertentu, misalnya telepon.

b. Komunikasi

(37)

berlangsung terus menerus akan terjadi interaksi, yaitu proses saling mempengaruhi antara individu satu dengan yang lain.

Komunikasi sangat penting untuk dapat mengerti arti dari interaksi sosial. Dengan adanya komunikasi, pandangan atau sikap pikiran seseorang dapat diketahui dan dimengerti oleh orang lain yang berinteraksi sosial dan responnya sebagian ditentukan olehnya. Kontak sosial dapat terjadi tanpa komunikasi, namun interaksi yang ada tidak dapat dikomunikasikan, sehingga dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kontak tanpa komunikasi tidak menimbulkan interaksi sosial. Jadi interaksi merupakan kelanjutan dari kontak sosial yang sebagian besar ditentukan interpretasi dari masing-masing pihak yang berkontak sosial. Alat yang paling lazim dalam komunikasi adalah bahasa, bisa bahasa verbal ataupun nonverbal (seperti mimik wajah, gerakan, postur tubuh, dll).

Sebagai tambahan, interaksi sosial juga dijelaskan dalam DSM IV TR terkait dengan gangguan autistik. Dalam DSM IV TR tersebut, interaksi sosial dijabarkan menjadi perilaku-perilaku berikut :

1) Berbagai perilaku nonverbal seperti bertatap muka, ekspersi wajah, sikap tubuh dan isyarat-isyarat lain untuk berinteraksi secara sosial. 2) Melakukan hal-hal atau aktifitas bersama orang lain secara spontan,

seperti berbagi kesenangan, minat, dan prestasi (contohnya: menunjukkan ketertarikan terhadap suatu hal).

(38)

Sementara komunikasi meliputi :

1) Menunjukkan perkembangan bahasa verbal, dengan diikuti usaha untuk mengganti penggunaan bahasa verbal sebagai cara lain untuk berkomunikasi seperti isyarat atau ekspresi wajah.

2) Memulai atau mempertahankan pembicaraan dengan orang lain. 3) Menunjukkan perilaku meniru atau pengulangan bahasa.

4) Variasi dan spontanitas dalam melakukan permainan peran atau permainan sosial sesuai dengan tahap perkembangan.

(39)

Deskripsi interaksi sosial dapat diketahui dari indikator berikut, ada keinginan sebagai indikator interaksi sosial, komunikasi yang terdiri dari komunikasi verbal dan nonverbal. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial terdiri dari 2 aspek yaitu kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial antara lain meliputi, kesediaan atau keinginan yang kuat untuk berhubungan dengan orang lain, perilaku-perilaku nonverbal, termasuk juga perilaku-perilaku berbagi minat, adanya hubungan timbal balik serta terjadinya kontak fisik, dan komunikasi yang meliputi, adanya proses transmisi pesan atau penggunaan bahasa baik secara verbal maupun nonverbal.

3. Faktor-faktor yang turut membentuk Interaksi Sosial

Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial merupakan sesuatu yang luas dan bervariasi, namun faktor-faktor tersebut bukan berarti tidak dapat diidentifikasi. Baron dan Byrne (2004), dalam bukunya mengungkapkan bahwa ada berbagai faktor dan kondisi yang membentuk perilaku sosial pada diri individu. Dengan menggunakan metode-metode ilmiah, disadari bahwa perilaku sosial dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial (perilaku dan karakter orang lain), kognitif, lingkungan, budaya dan biologis. Hal tersebut akan dijelaskan secara singkat berikut ini.

a. Perilaku dan karakter orang lain

(40)

orang lain, bahkan ketika kita secara sadar mencoba untuk mengabaikannya. Temuan tersebut menunjukkan bahwa reaksi kita terhadap orang lain jelas sangat dipengaruhi oleh penampilan luar mereka.

b. Proses-proses kognitif

Reaksi individu dalam suatu situasi akan sangat tergantung pada ingatannya tentang perilaku orang lain di masa lalu. Situasi tersebut menunjukkan bahwa proses-proses kognitif memainkan peran penting dalam perolehan dan pemikiran sosial.

c. Variabel-variabel lingkungan: pengaruh dari lingkungan fisik

Hasil-hasil penelitian yang ada menunjukkan bahwa lingkungan fisik memang berpengaruh terhadap perasaan, pikiran dan perilaku individu. d. Konteks budaya

Berbagai perubahan dramatis yang terjadi di dalam masyarakat menggambarkan aspek penting lain dari perilaku sosial yaitu perilaku sosial dipengaruhi oleh faktor budaya. Perilaku sosial seringkali sangat dipengaruhi oleh norma-norma sosial (aturan sosial mengenai bagaimana manusia seharusnya berperilaku dalam situasi tertentu), keanggotaan dalam berbagai kelompok, dan perubahan nilai-nilai sosial.

e. Faktor-faktor biologis

(41)

menyatakan bahwa manusia, seperti makhluk lainnya di bumi, telah mengalami proses evolusi biologis selama sejarah keberadaannya, dan hasil dari proses ini adalah manusia sekarang memiliki sejumlah besar mekanisme psikologis yang merupakan hasil evolusi (evolved psychological mechanism) yang membantu untuk tetap hidup atau mempertahankan keberadaan manusia melalui proses evolusi yang melibatkan tiga komponen dasar yaitu variasi, bawaan, dan seleksi.

Pendapat lain diungkapkan oleh Bonner (dalam Gerungan, 2004), yang menyebutkan bahwa walaupun bentuknya sederhana kelangsungan interaksi sosial ternyata merupakan proses yang kompleks, dan dapat dibedakan berdasarkan beberapa faktor yang mendasarinya sebagaimana diuraikan berikut ini:

a. Imitasi

(42)

b. Sugesti

Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial hampir sama, namun terdapat perbedaan yang jelas yaitu imitasi terjadi apabila seseorang mengikuti sesuatu di luar dirinya, sedangkan sugesti seseorang memberikan pandangan/ sikap dari dirinya yang lalu diterima oleh orang lain. Sugesti dalam Psikologi Sosial merupakan suatu proses dimana seorang individu menerima suatu cara memandang atau pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu (Gerungan dalam Soetarno, 1989).

c. Identifikasi

(43)

d. Simpati

Faktor lain yang berperan dalam interaksi sosial adalah faktor simpati. Simpati diartikan sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain. Simpati ini muncul karena penilaian perasaan. Perasaan ini terlihat nyata dalam persahabatan antara dua orang atau lebih.

Dari kedua uraian di atas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi proses interaksi sosial, peneliti menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses interaksi sosial dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :

a. Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor yang mmpengaruhi interaksi sosial yang berasal dari dalam diri individu. Faktor ini menunjuk pada proses kognitif yang terjadi dalam diri individu, faktor biologis, serta faktor identifikasi dan simpati.

b. Faktor Eksternal

(44)

C. Kekerasan Terhadap Anak (Child Abuse)

1. Pengertian child abuse

Konsep child abuse berbeda-beda antar kebudayaan dan waktu, sehingga definisi mengenai child abuse merupakan suatu definisi sosiokultural. Menurut U.S Department of Health Education and Weflare, child abuse didefinisikan sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual, dan penelantaran anak di bawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga kesehatan atau kesejahteraan anak tersebut terancam (Thompson dan Rudolph; dalam Sukamto, 2000).

(45)

Irwanto (2004) juga mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan fisik dan emosional adalah berbagai bentuk pemukulan atau ungkapan verbal yang dimaksudkan untuk menyakiti, mengecilkan arti orang lain, atau berakibat cukup serius baik secara fisik maupun emosional yang mengancam kelangsungan hidup atau tingkat kesejahteraan seorang anak, atau biasa disebut penderaan atau perlakuan salah. Sementara itu, dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam penjelasan Pasal 13 huruf d ditemukan penjelasan tentang perlakuan kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/ atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.

(46)

2. Jenis-jenis Child Abuse

Penganiayaan atau tindak kekerasan terhadap anak memiliki beberapa bentuk spesifik, dan tiap bentuknya bisa diikuti atau diiringi oleh satu atau lebih bentuk lainnya. Terry E. Lawson psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebutkan bahwa ada empat macam jenis kekerasan/ abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse (http://www.pikiran– rakyat.co.id/cetak/2006/012006/15).

Ada empat tipe utama dari perlakuan kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, tindak pengabaian anak, kekerasan emosional, dan kekerasan seksual (National Clearinghouse on Child Abuse and Neglect, dalam Santrock, 2007). Keempat tipe tindak kekerasan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Kekerasan Fisik

(47)

berniat untuk menyakiti anak, namun luka-luka yang terjadi bisa juga diakibatkan oleh pemberian hukuman yang berlebihan pada anak. b. Penelantaran atau pengabaian

Para psikiater dalam Himpunan Masyarakat Pencegah Kekerasan Pada Anak di Inggris (1999) berpendapat bahwa pengabaian terhadap anak juga merupakan sikap penyiksaan namun lebih bersifat pasif (dalam Rini, 2001). Penelantaran atau biasa disebut juga tindak pengabaian adalah suatu kegagalan orang tua dalam memenuhi kebutuhan dasar tumbuh kembang anak, dalam kaitannya dengan makanan, pakaian, perawatan medis, pendidikan, dan pengawasan (Berk, 2006).

Tindak pengabaian dapat berupa pengabaian secara fisik, emosional, atau pengabaian dalam bidang pendidikan (Santrock, 2007). Tindak pengabaian itu dijelaskan sebagai berikut :

1) Pengabaian secara fisik meliputi menolak atau menunda dalam mencarikan pelayanan kesehatan, pengusiran dari rumah atau tidak mengijinkan anak untuk kembali ke rumah dan tidak memberi pengawasan yang cukup.

(48)

3) Pengabaian secara emosional meliputi tindakan yang ditandai dengan tidak adanya perhatian pada kebutuhan afeksi anak, menolak untuk peduli pada kondisi psikologis anak, orang tua bertindak saling menyakiti dihadapan anak, dan membiarkan anak dalam penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang.

c. Kekerasan Emosional (psikologis/ kekerasan verbal/ pengrusakan mental)

(49)

seperti, mengurung anak di dalam toilet gelap, sering meremehkan dan menolak kehadiran anak.

Kekerasan emosi juga terekspresikan melalui kekerasan verbal yang diartikan sebagai suatu komunikasi yang bertujuan melukai orang lain secara psikologis, baik secara aktif maupun pasif. Beberapa bentuk kekerasan verbal adalah sebagai berikut (Schaefer, dalam Hetherington & Parke, 2003) :

1) Penolakan atau penarikan kembali cinta kasih, misalnya ungkapan-ungkapan yang menyakitkan kepada anak.

2) Merendahkan secara verbal dengan menggunakan komentar atau kata-kata yang meremehkan, mengejek, mempermainkan atau menghina.

3) Tuntutan akan kesempurnaan, misalnya berbagai kalimat yang mengandung suatu tuntutan tertentu sehingga membuat anak menjadi tidak nyaman.

4) Prakiraan negatif, misalnya prasangka-prasangka orang tua terhadap anaknya

5) Pembandingan negatif, umumnya muncul ketika ada ketidakpuasan dalam diri orang tua terhadap anak sehingga mereka membandingkan anak dengan hal-hal yang dianggap baik.

(50)

7) Mempermalukan anak secara pribadi atau di hadapan umum. 8) Mengutuk atau memberikan sumpah serapah.

9) Menakut-nakuti atau mengancam.

10)Menimbulkan perasaan bersalah. Pernyataan ini bertujuan menimbulkan tekanan psikologis dimana orang yang melakukannya sadar bahwa pernyataan tersebut akan menyakiti anak secara psikologis.

Tindak kekerasan verbal tidak tergantung pada seberapa banyak kalimat yang diucapkan melainkan bagaimana cara mengatakannya, melalui intonasi atau aspek-aspek nonverbal lainnya. Dalam keseharian, kekerasan verbal terjadi ketika orang tua membentak-bentak, mencerca (nyinyir), mengungkit-ungkit, berkata secara pedas dan menyakitkan atau justru diam, tetapi dingin dan menyakitkan, penuh penilaian/ prasangka, tidak menghargai, meremehkan, merendahkan, selalu mengharuskan, menuntut, membanding-bandingkan dan mengancam.

d. Perlakuan Seksual

(51)

penis atau jari dari pelaku kekerasan atau menggunakan objek lain, menyentuh bagian-bagian tubuh yang paling pribadi atau mencumbu serta ekshibisionisme dan pornografi anak yang mungkin saja tidak melibatkan kegiatan seksual yang nyata antara seorang dewasa dan seorang anak (Sukamto, 2000). Dalam bukunya, Santrock (2007) menyebutkan bahwa kekerasan seksual meliputi meraba-raba alat kelamin anak, berhubungan seks, incest, perkosaan, sodomi, eksibisionisme, dan eksploitasi anak untuk tujuan komersil lewat pelacuran atau produksi pornografi.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kekerasan yang terjadi pada anak-anak digolongkan menjadi empat macam bentuk kekerasan, yaitu kekerasan fisik (dipukul, ditampar, dilempar benda, dll), tindak penelantaran atau pengabaian (pengabaian fisik, pendidikan, emosional), kekerasan psikis (kekerasan verbal, diacuhkan, dibatasi pergaulannya, dll), dan kekerasan seksual (mulai dari dilecehkan secara seksual sampai dengan diperkosa, eksploitasi anak dengan pelacuran, dll).

3. Ciri-ciri Child Abuse

(52)

a. Non-seksual

Tanda-tanda perilaku penyiksaan non-seksual dibagi menjadi tanda-tanda fisik dan tanda-tanda-tanda-tanda perilaku yang akan dijelaskan sebagai berikut:

1) Tanda-tanda fisik

a) Luka-luka dengan tingkat keparahan bervariasi, hal ini cukup mengkhawatirkan bagi anak-anak yang sangat muda, yang masih belum mampu berkomunikasi. Menurut Williams, pukulan yang berulang-ulang pada kepala dapat menyebabkan retardasi mental, cerebral palsy dan gangguan-gangguan lain (Alloy, et al.; dalam Sukamto, 2000).

b) Adanya penundaan perawatan.

c) Laporan-laporan yang tidak konsisten tentang bagaimana anak sampai terluka.

2) Tanda-tanda perilaku

Menurut Azar dan Twentyman serta Ney, Fung dan Wickett (Alloy et al.; dalam Sukamto, 2000) tanda-tanda perilaku meliputi:

a) Penolakan anak untuk berbicara di depan orang tua atau pengasuh yang melakukan kekerasan

b) Adanya rasa takut untuk pulang

(53)

d) Mengalami gangguan psikologis, sehingga nantinya orang tua mereka kurang mampu menghadapi anak-anak mereka sendiri b. Seksual

Tanda-tanda perilaku penyiksaan seksual dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

1) Efek akut, efek ini segera mengikuti peristiwa kekerasan, meliputi: a) Menunjukkan masalah-masalah perilaku dan emosional,

kesulitan belajar, masalah pergaulan, misalnya menarik diri. Menurut Kilpatrics, Resnick dan Veronen, Stein et al., Cutler dan Nolen-Hoekema (Ropsenhan & Seligman; dalam Sukamto, 2000), anak yang mengalami kekerasan seksual akan sangat beresiko menderita gangguan-gangguan emosional, seperti gangguan kecemasan, depresi, ganguan stres pasca trauma dan gangguan-gangguan perilaku, seperti conduct disorder dan penyalahgunaan obat.

b) Mengalami kesulitan dalam mengekpresikan kemarahan, menjadi mudah terganggu dan menyerang tanpa sebab-sebab yang jelas.

c) Masalah tingkah laku di sekolah, menurunnya prestasi di sekolah, enuresis, enkopresis.

2) Efek jangka panjang. Efek ini lebih sukar diprediksi, tapi dapat digolongkan dalam empat bidang utama yaitu:

(54)

b) Kesulitan seksual, yaitu pada saat anak menjadi dewasa, mungkin saja muncul masalah-masalah yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual. Anak ini mungkin mengalami hambatan seksual atau justru bersedia berhubungan seksual dengan siapa saja.

c) Keterampilan menjadi orang tua yang buruk. Menurut Glass, Green, Reiner dan Kaufman (Thompson & Rudolph; dalam Sukamto, 2000), para orang tua yang mengalami kekerasan tidak dapat memberikan kasih sayang, perhatian, kehangatan, dan kelembutan terhadap anak-anak mereka karena mereka juga tidak pernah dicintai serta merasa terluka dan tertolak. d) Masalah-masalah sosial, seperti keterampilan beradaptasi

dengan lingkungan dan keterampilan dalam bergaul dengan orang lain.

(55)

4. Dampak Penyiksaan Terhadap Aspek Kehidupan Anak

Tindak penganiayaan dapat memberi dampak tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional, kognitif, dan sosial (Papalia, Olds, dan Feldman, 2006). Selain itu, anak-anak korban kekerasan sering menunjukkan kesulitan atau gangguan bicara (Coster, Gersten, Beeghly&Cicchetti; dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2006).

Ikawati dan Rusmiyati (dalam “Kekerasan Terhadap Anak dalam Keluarga dan Upaya Penanganannya”, 2003) menyebutkan bahwa kekerasan terhadap anak mempunyai dampak buruk bagi anak, antara lain: a. Dampak terhadap kondisi fisik

Dampak fisik yang dirasakan anak mulai dari luka kecil sampai dengan kematian. Luka kecil dapat meliputi memar pada mata, pada otak atau organ-organ lain. Luka yang berat dapat berupa patah tulang atau kerusakan saraf pada organ-organ tertentu.

b. Dampak terhadap kondisi psikologis anak

Dampak penganiayaan terhadap perkembangan anak diantaranya adalah kemampuan mengatur emosi yang lemah, permasalahan kelekatan, permasalahan dalam relasi teman sebaya, kesulitan beradaptasi di sekolah, dan permasalahan psikologis lainnya (Azar, Cicchetti & Toth; dalam Santrock, 2007)

(56)

berlangsung bertahun-tahun setelah peristiwa kekerasan yang dialami (Feiring, Taska&Lewis, Tricket et. al.; dalam Berk, 2006).

Kekerasan emosional dapat mengakibatkan rendahnya harga diri, tingginya kecemasan pada anak, dan usaha bunuh diri (Wolfe; dalam Berk, 2006).

c. Dampak terhadap tingkah laku anak

Menurut Budiono dan Wulur (dalam Ikawati dan Rusmiyati, 2003) dampak terhadap tingkah laku anak meliputi :

1) Sikap negativisme dan destruktif

Anak yang hidup dalam lingkungan penuh dengan ketidakbahagiaan, ketidaksenangan, kekecewaan, dan kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang tidak mudah percaya atau selalu berprasangka buruk terhadap orang lain dan mudah melakukan tindakan kurang baik atau suka merusak.

2) Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain

Anak yang terbiasa menerima tindakan kekerasan mempunyai kecenderungan untuk mengambangkan tindak-tindak kekerasan terhadap orang lain.

3) Sikap tidak takut/ cemas berpisah dari orang tua

(57)

4) Memperlihatkan keterlambatan mental (pengertian bahasa dan motorik)

Anak yang biasa menerima tindak kekerasan dari orang tuanya, seperti pemukulan, penamparan, penyiksaan, dan bentuk hukuman lainnya dapat menderita cedera fisik yang mengakibatkan terganggunya perkembangan mentalnya.

D. Interaksi Sosial Pada Korban Child Abuse

(58)

Pergaulan dengan teman sebaya atau sosialisasi sangat penting sebab interaksi anak dengan teman sebaya memberikan kesempatan untuk membagikan pengalaman, bekerja sama, mencapai tujuan, memperoleh kebebasan pribadi serta membentuk sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan institusi. Anak diharapkan mampu belajar bergaul dengan teman-teman seumurnya sehingga ia mampu membentuk sikap-sikap terhadap kelompok sosial dan mengasah intuisinya. Selain itu, anak juga berhak memperoleh kebebasan pribadi dalam hidupnya.

Dalam kasus child abuse atau tindak kekerasan terhadap anak, interaksi sosial anak banyak mengalami hambatan. Child abuse atau tindak kekerasan terhadap anak khususnya dalam keluarga adalah segala bentuk perbuatan yang tidak mencerminkan kasih sayang terhadap anak, sehingga dapat menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan anak, baik secara fisik, seksual maupun secara psikologis yang dapat mengganggu perkembangan anak. Dalam setiap kasus kekerasan, kebebasan seorang anak dapat terenggut oleh tindak kekerasan yang seringkali dilakukan oleh orang terdekatnya.

(59)

kepercayaan kepada orang lain dan oleh karena itu akan terganggulah hubungan sosialnya di kemudian hari. Sears mengemukakan bahwa tingkah laku yang ditunjukkan anak adalah hasil hubungannya dengan lingkungan sosial yang langsung di mana anak dibesarkan. Dalam hal ini peranan dan cara orang tua memperlihatkan sikap dan pola dalam pengasuhan anak penting sekali.

Menurut Azar dan Twentyman serta Ney, Fung dan Wickett (Alloy et al.; dalam Sukamto, 2000) salah satu efek dari terganggunya interaksi sosial seorang anak adalah perasaan tertekan yang disebabkan oleh kebebasan pribadi yang tidak dimiliki akibat tindak kekerasan yang dialaminya. Hal tersebut dapat mengakibatkan ketegangan, kecemasan, depresi, dan timbulnya rasa takut dan malu yang kemudian akan mempengaruhi interaksi sosialnya.

(60)

kemampuan dalam menunjukkan simpati serta berempati yang juga dapat menghambat terjadinya kontak sosial antara anak dengan orang lain. Hal tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor internal yaitu proses kognitif dari dalam diri anak itu sendiri berupa ingatan tentang masa lalunya yang dapat menimbulkan kecemasan dan ketakutan terhadap kehadiran orang lain. Hal tersebut tentunya dapat menimbulkan hambatan pada terjalinnya kontak antara anak dengan orang lain.

(61)
(62)

Gambar 2.1 Skema terhambatnya interaksi sosial anak korban child abuse

Child abuse: anak

mendapat perlakuan kekerasan

Dampak tindak kekerasan :

1. Mempengaruhi kesejahteraan psikologis anak 2. Kebebasan pribadi terenggut

3. Gagal mengembangkan kepercayaan yang menimbulkan perasaan tertekan

4. Keterlambatan perkembangan

Hal-hal tersebut dapat menimbulkan : 1. Ketegangan

2. Kecemasan 3. Depresi

4. Timbul rasa takut dan malu 5. Kehilangan kepercayaan 6. Rendah diri

7. Rasa tidak aman

Interaksi sosial terhambat : 1. Kontak sosial

2. Komunikasi

Faktor yang berpengaruh pada interaksi sosial, meliputi :

1. Faktor internal : Proses kognitif, faktor biologis, faktor identifikasi dan faktor simpati

2. Faktor eksternal :

Faktor sosial (perilaku&karakter

(63)

E. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana gambaran interaksi sosial pada anak yang menjadi korban kekerasan? Interaksi sosial anak dengan lingkungannya dapat diketahui berdasarkan aspek-aspek yang terdiri dari :

(64)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kasus (case study) dengan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (dalam Moleong, 2005). Studi kasus merupakan studi mengenai unit sosial tertentu, yang hasil penelitiannya mampu memberikan gambaran luas dan mendalam mengenai unit sosial tertentu. Subjek yang diteliti relatif terbatas, tapi variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya. Subjek penelitiannya dapat berupa individu, kelompok institusi ataupun masyarakat (Danim, 2002).

Dalam pendekatan/ tipe penelitian studi kasus, metode pengumpulan data dapat dilakukan dari berbagai sumber dengan beragam cara, bisa berupa observasi, wawancara, maupun studi dokumen/ karya, produk tertentu yang terkait dengan kasus (Poerwandari, 2005). Studi kasus dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan dan posisi saat ini, serta interaksi lingkungan suatu unit sosial tertentu: individu, keluarga, lembaga atau masyarakat (Suryabrata, 2002). Menurut Patton (dalam

(65)

perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, keluarga dengan karakteristik tertentu ataupun situasi unik secara mendalam.

Desain studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini memungkinkan peneliti untuk menggali secara lebih mendalam keadaan, perasaan-perasaan, serta hubungan/ interaksi sosial anak yang

mengalami kekerasan (child abuse) dalam keluarga dengan orang-orang

disekitarnya.

B. Subjek Penelitian

Pengambilan subjek penelitian disesuaikan dengan jenis penelitian, yaitu studi kasus yang mengungkapkan suatu kasus secara mendalam. Dalam penelitian ini, subjek yang diteliti adalah 3 orang anak yang merupakan korban kekerasan yang telah dilindungi oleh suatu lembaga yang terkait dengan perlindungan terhadap anak. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kriteria sebagai berikut:

1. Berusia 6-12 tahun yaitu usia anak-anak hingga memasuki masa pubertas.

Pemilihan subjek berdasarkan usia tersebut dengan alasan bahwa usia tersebut adalah usia yang penting berkaitan dengan pembentukan interaksi sosial anak.

2. Pernah mengalami tindak kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis/

emosional maupun seksual yang dilakukan oleh orang dewasa.

3. Tidak mengalami gangguan bicara sebagai dampak dari tindak kekerasan

(66)

ini berkaitan dengan pengumpulan data menggunakan teknik wawancara yang akan dilakukan oleh peneliti.

Dalam penelitian ini, identitas subjek dan identitas dari orang-orang yang terlibat serta lembaga terkait tempat subjek bernaung akan disamarkan untuk menjaga kerahasiaan subjek penelitian. Hal ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sekaligus untuk melindungi privasi subjek dan keluarganya serta pihak-pihak yang terkait dengan subjek.

C. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

Bentuk penelitian ini adalah studi kasus, oleh karena itu tidak ada

kontrol/ perlakuan (treatment) terhadap variabelnya. Variabel dalam

penelitian ini adalah interaksi sosial anak yang mengalami perlakuan kekerasan/ abuse dengan lingkungan sekitarnya.

(67)

teman-teman sebayanya. Berdasarkan berbagai sumber, dapat disimpulkan bahwa indikator interaksi sosial, yaitu :

1. Kontak sosial

a. Adanya kesediaan, respon, feed back, penerimaan dari subjek pada saat diajak berbicara oleh orang lain, baik yang telah ia kenal maupun tidak (orang yang masih asing baginya) .

b. Mampu bergaul dengan teman sebaya dan beradaptasi di lingkungan

yang baru, misalnya di sekolah, di lingkungan rumah atau tempat tinggal yang baru.

c. Mampu melakukan kontak fisik, seperti berjabat tangan, berangkulan,

bercium pipi, atau tidak menghindar/ menolak jika disentuh oleh orang dewasa.

d. Adanya keinginan untuk menjalin hubungan interpersonal dengan

orang lain.

2. Komunikasi

a. Mampu mengungkapkan perasaannya kepada orang lain.

b. Mampu menunjukkan tanda-tanda non-verbal saat berbicara dengan

orang lain seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh, sikap badan. c. Adanya kesediaan untuk menjawab jika ditanya oleh orang lain.

d. Mampu memulai pembicaraan dengan orang lain dan

mempertahankannya.

(68)

hal ini peneliti ingin meneliti perilaku subjek berdasarkan penuturannya sebagai korban kekerasan, hasil wawancara dengan orang terdekat korban dan juga berdasar pada hasil observasi yang dilakukan peneliti.

D. Metode Pengambilan Data

Dalam penelitian ini, proses pengumpulan data akan dilakukan dengan cara wawancara.

Banister et al. (1994) menyebutkan wawancara kualitatif adalah

percakapan tanya jawab yang dilakukan peneliti untuk memperoleh pengetahuan tentang makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap topik tersebut (dalam Poerwandari, 2005). Keuntungan jika menggunakan metode wawancara antara lain: dengan wawancara hal-hal yang kurang jelas dapat diperjelas, hingga orang dapat mengerti apa yang dimaksudkan; interviewer dapat menyesuaikan dengan keadaan yang diinterview (bersifat lebih fleksibel), karena dalam interview atau wawancara ada hubungan langsung antara penginterview dengan yang diinterview, diharapkan adanya hubungan yang baik, dan ini akan memberikan bantuan dalam memperoleh bahan-bahan penelitian. Tetapi sebaliknya bila hubungan antara keduanya sudah tidak baik, hal tersebut akan menghambat jalannya interview (Walgito, 2003).

(69)

memiliki panduan wawancara tetapi masih bisa dikembangkan lagi saat pelaksanaan wawancara sesuai dengan kebutuhan perkembangan proses wawancara. Wawancara semi terstruktur berarti peneliti tetap membuat panduan pertanyaan, tetapi tidak harus mengikuti ketentuan secara ketat dan memungkinkan mencakup ruang lingkup yang lebih besar atau memungkinkan untuk dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan di luar pertanyaan formal guna mendukung pengumpulan informasi (Basuki, 2006).

Informasi yang ingin digali terhadap subjek yang merupakan anak korban kekerasan dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan, yaitu wawancara mengenai :

1. Latar belakang keluarga, meliputi : jumlah anggota keluarga, status subjek, gambaran cara pengasuhan orang tua subjek, hubungan subjek dengan keluarga, penyebab kekerasan, jenis dan macam kekerasan

2. Kontak sosial yang terjalin antara subjek dengan orang tua, teman-teman, saudara dan lingkungan sekitar, meliputi : keinginan subjek untuk bergaul dengan lingkungan, terjadinya kontak fisik antara subjek dengan orang lain dan berbagai jenis perilaku non-verbal, pemberian respon/ kesediaan oleh subjek pada lawan bicara baik secara langsung maupun tak langsung yang dapat mempengaruhi terjadinya kontak sosial baik positif maupun negatif.

3. Kemampuan subjek dalam melakukan komunikasi dengan orang lain,

(70)

menangkap pesan, informasi dan pertanyaan, serta terjadinya komunikasi non-verbal antara subjek dengan orang lain.

Tabel 3.1 Panduan wawancara

Latar belakang keluarga

− Berapa jumlah anggota keluarga subjek?

− Bagaimana kondisi ekonomi keluarga subjek?

− Status subjek dalam keluarga?

− Apa jenis pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua

subjek?

− Bagaimana hubungan subjek dengan anggota keluarga

yang lain selama ini?

− Masalah apa yang menimbulkan kekerasan yang

menimpa diri subjek?

− Bagaimana kekerasan yang diterima subjek?

Kontak sosial

− Apakah subjek mampu menjalin kontak mata dengan

orang lain atau orang yang masih asing baginya?

− Apakah subjek bersedia berbagi cerita ataupun barang

dengan teman bermainnya?

− Apakah subjek bersedia menjawab jika ia diajak

berbicara oleh orang lain?

− Bagaimana sikap subjek saat diajak berkenalan oleh

orang yang masih asing baginya?

− Apakah subjek mampu menjalin hubungan timbal balik

dengan saudara/ anggota keluarganya atau orang lain?

− Bagaimana sikap subjek saat terjadi kontak fisik seperti mendapat pelukan dari orang lain?

− Apakah subjek mampu bergaul dengan teman

sebayanya?

Komunikasi

− Apakah subjek mampu mengungkapkan perasaannya

kepada orang lain?

− Apakah subjek pernah atau sering menceritakan

pengalamannya kepada teman-temannya?

− Bagaimana sikap subjek saat diajak berbicara oleh orang yang masih asing baginya?

− Apakah subjek mampu memulai pembicaraan dengan

orang dewasa di sekitarnya?

(71)

yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut (dalam Poerwandari, 2005). Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut (Poerwandari, 2005). Observasi yang akan peneliti lakukan adalah observasi partisipan, yaitu peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Stainback (1988; dalam Sugiyono, 2005) menyatakan bahwa dalam observasi partisipatif, peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka. Observasi yang digunakan bersifat tidak terstruktur yang merupakan observasi yang bersifat terbuka dan fleksibel. Dalam observasi ini, tidak ada pedoman resmi yang digunakan peneliti selama observasi. Observasi yang dilakukan mencakup aspek-aspek:

1. Perilaku subjek dalam proses wawancara

2. Perilaku subjek dalam kehidupan sehari-hari baik yang berhubungan

dengan orang lain maupun dalam penyesuaian sosial dengan lingkungannya

(72)

berhubungan dengan teman sebaya, orang dewasa maupun dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya (keluarga dan masyarakat).

Observasi akan dilakukan oleh peneliti terhadap subjek pada waktu-waktu tertentu dan dengan beberapa kriteria situasi, yaitu:

1. Selama proses wawancara berlangsung, dalam situasi tenang di sebuah

ruangan yang hanya terdapat peneliti dan subjek di dalamnya sehingga subjek dapat merasa nyaman menjalani proses wawancara.

2. Pada saat subjek berada di lingkungan tempat bermain, dimana banyak

teman seusia subjek yang berada di sana, sehingga peneliti dapat mengamati bagaimana perilaku subjek sehari-hari bila bermain dan berinteraksi dengan teman sebaya.

3. Pada saat subjek berada di lingkungan tempat subjek tinggal. Di sini fokus pengamatan peneliti terhadap subjek adalah bagaimana perilaku subjek saat berinteraksi dengan pengasuhnya (orang dewasa) di sekelilingnya.

Hasil pengamatan peneliti nantinya berupa deskripsi mengenai

(73)

E. Analisis Data

1. Organisasi Data

Data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif ini banyak berbentuk data deskripsi tertulis yang didapat dari transkip wawancara sehingga data-data tersebut akan dianalisis menurut isinya atau sering disebut dengan analisis konten (Suryabrata, 1990). Menurut Bogdan dan Biklen (1982), analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, mensitesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan sesuatu yang penting dan memutuskan hasil yang dapat diceritakan kepada orang lain (dalam Moleong, 2005).

Dalam melakukan analisa terhadap data yang telah diperoleh melalui wawancara, maka peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut (Poerwandari, 1998):

1. Memindahkan hasil wawancara dari tape recorder ke kertas kosong.

Semua hasil wawancara dalam kata-kata/ kalimat apapun disalin kembali ke dalam buku. Dalam metode kualitatif sering disebut dengan transkrip verbatim.

(74)

3. Kemudian data yang berupa tema-tema tersebut dikategorisasikan secara konseptual agar lebih terperinci sehingga jelas dan memberi makna yang dalam untuk permasalahan yang diteliti.

4. Tahap berikutnya adalah melakukan interpretasi terhadap hasil

kategorisasi dengan hasil wawancara. Tujuannya untuk memudahkan dalam memahami pembahasan kasus penelitian ini baru kemudian peneliti dapat menarik kesimpulan akhir.

Analisis data juga didasarkan pada hasil pengamatan yang telah diperoleh peneliti selama proses wawancara dan observasi berlangsung. 2. Koding

Transkrip verbatim yang telah dilakukan pada tahap pertama dibuat lebih terperinci lagi sehingga masalah yang akan diteliti menjadi tampak jelas. Koding dilakukan untuk dapat mengorganisasi dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2005). Berikut ini daftar kode dalam analisis data :

Tabel 3.2 Kode Organisasi Data

Aspek Hal-hal yang diungkap Kode

Status, kehidupan keluarga, hubungan antara subjek dengan keluarganya

L. Ba. Latar belakang kekerasan yang diterima,

jenis kekerasan

L. Bk. Latar

belakang

Perasaan dan perilaku keseharian subjek secara umum yang timbul sebagai reaksi atas hal yang terjadi padanya

L. Bh.

Kontak sosial

Kesediaan atau keinginan yang kuat untuk berhubungan dengan orang lain,

(75)

keinginan untuk menjalin relasi dengan orang lain, bergaul dengan teman sebaya, menjalin hubungan dengan orang dewasa

KS. Ki. N. → tidak timbul keinginan

Perilaku-perilaku nonverbal (bertatap muka, kontak mata, ekspersi wajah, perilaku menangis, sikap tubuh seperti menggoyang-goyangkan badan/ kaki, meremas-remas tangan, memainkan benda di tangan), termasuk juga perilaku berbagi minat

KS. Pnv. P. → ada perilaku

KS. Pnv. N. → tidak ada perilaku

Adanya hubungan timbal balik/

memberikan feedback

KS. Fb. P → beri feedback

KS. Fb. N→ tdk ada feedback

Terjadinya kontak fisik; sentuhan fisik (berjabat tangan, berangkulan, belaian kepala, berciuman pipi)

KS. Fs. P → terjadi kontak

KS. Fs. N → menolak terjadi kontak

Menjelaskan adanya proses transmisi pesan yang terjalin dengan lingkungan baik secara verbal maupun nonverbal, memulai komunikasi dengan orang lain, menangkap pesan dalam sebuah pertanyaan

Kom. Tp. P. →

menjalin komunikasi Kom. Tp. N. → tidak menjalin komunikasi Komunikasi verbal: bercakap-cakap,

mencurahkan pikiran dan perasaan, baik secara individual maupun dalam kelompok

Kom. Vb. →

komunikasi verbal Komunikasi

Komunikasi non-verbal: mengangguk, menggelengkan kepala, melambaikan tangan

Kom. NVb. →

komunikasi non-verbal

F. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data

1. Kredibilitas

(76)

yang kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kompleksitas aspek-aspek yang terkait dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005). Stangl (1980) dan Sarantakos (1993) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, kredibilitas dicoba dicapai tidak melalui manipulasi variabel, melainkan melalui orientasinya dan upayanya mendalami dunia empiris dengan menggunakan metode yang paling cocok untuk pengambilan dan analisis data (dalam Poerwandari, 2005).

Hal penting lain yang dapat meningkatkan generabilitas dan kredibilitas penelitian kualitatif adalah melakukan triangulasi. Triangulasi mengacu pada upaya mengambil sumber-sumber data yang berbeda, dengan cara berbeda, untuk memperoleh kejelasan mengenai suatu hal tertentu. Data dari berbagai sumber berbeda dapat digunakan untuk mengelaborasi dan memperkaya penelitian, dan dengan memperoleh data dari sumber berbeda, dengan teknik pengumpulan yang berbeda, kita akan menguatkan derajat manfaat studi pada s

Gambar

Gambar 2.1
Tabel 3.1 Panduan wawancara
Tabel 3.2 Kode Organisasi Data
Tabel 4.2.  Ringkasan Analisis Hasil Penelitian Subjek 1, Subjek 2, dan Subjek 3
+4

Referensi

Dokumen terkait

19 MOHAMAD TRISTA ADITIA PUTRA 20 MUHAMMAD HABIBURRAHMAN 21 MUHAMMAD ILHAM MAULANA 22 MUHAMMAD RAFFI ADRIANSYAH 23 MUHAMMAD RAIHAN RIDHO 24 MUHAMMAD RIZAL.. 25 MUHAMMAD ROYAN

Untuk pengujian validitas pada penelitian ini yaitu validitas internal, dan apabila telah selesai selanjutnya menggunakan validitas eksternal yaitu dengan

Penelitian yang dilakukan oleh Charles menunjukkan bahwa urutan bobot kategori dalam penilaian vendor adalah kualitas produk, pengiriman, harga, lokasi,

bekerjasama dengan Pusat Penelitian Sejarah Lembaga Penelitian Universitas Tadulako dan Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah, 2009.. Chalid, dkk,

Namun demikian dari kebanyakan hasil penelitian tersebut lebih banyak membahas mengenai masalah perbaikan mekanisme pengadaan sebuah barang/material yang masih

Rencana pembukaan outlet baru yang akan dilakukan oleh perusahaan ini diharapkan dapat meningkatkan penjualan agar dapat mengatasi persaingan dalam era globalisasi. Namun yang

II. Lingkaran tersebut diputar sarah jarum jam menyusuri lintasan berbentuk lingkaran berpusat di O dan berjari-jari R. Pada saat titik P terletak pada sumbu X, titik P terletak

Karakteristik siswa dengan penalaran aljabar level yang berada di atas level 2 namun belum mencapai level 3: dapat memahami masalah, dapat melakukan generalisasi dan