MENGENAL
KERANGKA PENGATURAN
PENCEMARAN UDARA
DI INDONESIA
Oleh: Margaretha Quina, Annisa Erou
K
erangka umum pengendalian pencemaran udara di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (PP 41/1999). PP ini sesungguhnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari UU No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup (UU 23/1997), yang sekarang telah diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009). Akan tetapi, selama PP yang baru tentang pengendalian pencemaran udara yang dimandatkan UU 32/2009 belum dibuat dan disahkan, maka PP 41/1999 masih tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan isi UU 32/2009. Selain kerangka umum dalam PP 41/1999 ini, terdapat juga beberapa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengatur hal-hal teknis/penjabaran yang dimandatkan PP 41/1999, termasuk baku mutu emisi, tata cara pengendalian pencemaran udara, pemantauan kualitas udara, dan lain-lain.Secara umum, PP 41/1999 mengatur pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak (kendaraan bermotor) dan sumber tidak bergerak (industri). Sekalipun PP 41/1999 ini merupakan sumber hukum yang mengatur pengendalian pencemaran udara secara umum, PP 41/1999 ini tidak berdiri sendiri.
Dalam paparan di bawah ini akan dijelaskan relevansi instrumen pengendalian pencemaran udara dalam
PP 41/1999 dan hubungannya dengan produk hukum lain, baik dalam bentuk Permen, Kepmen, hingga Kepka Bapedal.
Dalam pengaturan pengendalian pencemaran udara, udara bebas yang kita hirup disebut sebagai udara ambien. Baku mutu udara ambien secara sederhana dapat diartikan sebagai batas maksimum bahan pencemar (zat, senyawa) yang diperbolehkan ada di udara. Terdapat 13 (tiga belas) parameter yang diatur dalam baku mutu udara ambien Indonesia yang berlaku secara nasional, yaitu SO2 (Sulfur Dioksida), CO (Karbon Monoksida), NO2 (Nitrogen Dioksida), O3 (Oksida), HC (Hidrokarbon), PM10 dan PM2,5 (Partikel), TSP (Debu), Pb (Timah Hitam), Dustfall (Debu Jatuh), Total Fluorides, Fluor
BAKU MUTU
UDARA AMBIEN
Indeks, Khlorine dan Khlorine Dioksida, serta Sulphat Index. Baku mutu udara ambien ini (lihat: Lampiran 1) berlaku di seluruh wilayah NKRI (disebut dengan baku mutu udara ambien nasional), kecuali jika Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien yang lebih ketat dalam baku mutu udara ambien daerah. Baku mutu udara ambien (baik yang berlaku secara nasional maupun daerah) inilah yang menjadi batas hukumdinyatakan terjadinya suatu pencemaran. Baku mutu udara ambien yang telah ditetapkan dapat ditinjau kembali setelah 5 tahun. Sayangnya, PP 41/1999 masih belum mengatur pencemar berbahaya dan beracun di udara ambien secara komprehensif. PP 41/1999 dan peraturan turunannya juga belum secara tegas memiliki instrumen untuk memastikan baku mutu ambien dapat dicapai dengan pengalokasian beban pencemaran terhadap sumber emisi.
Status mutu udara ambien mencerminkan kondisi udara ambien
pada waktu dan tempat tertentu, yang dihasilkan dari inventarisasi
1mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi
meteorologis dan geografis serta tata guna tanah. Inventarisasi tersebut dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan hidup daerah yakni Dinas Lingkungan
Hidup yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Setelah dilakukan inventarisasi,
maka akan diperoleh status mutu udara ambien. Status mutu udara ambien tersebut kemudian ditetapkan dan diumumkan oleh Gubernur yakni cemar atau baik (tidak cemar). Manfaat penetapan status mutu udara ambien ini adalah sebagai acuan dalam mengelola kualitas udara ambien sehingga diharapkan program pengendalian pencemaran udara yang dilakukan lebih terfokus dan tepat sasaran (Lampiran III PermenLH 12/2010).
Apabila status mutu udara ambien menunjukkan kondisi cemar, maka Gubernur wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien. Agar program pengendalian pencemaran udara yang dilakukan dapat lebih terfokus dan tepat sasaran, sebagai bagian dari penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien yang cemar perlu ditetapkan strategi dan rencana aksi. Rencana aksi memuat:
1. Target penurunan beban pencemaran untuk tiap jenis pencemar yang melampaui BMUA daerah
ataupun nasional dan dapat ditinjau ulang setiap 5 (lima) tahun.
2. Target waktu pemenuhan BMUA maksimal 5 (lima) tahun.
3. Upaya instansi terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing agar mencapai target
yang telah ditetapkan.
4. Rencana pemantauan kemajuan kegiatan.
Indeks adalah cara untuk mempermudah memahami kualitas udara di suatu tempat pada waktu tertentu. Indeks yang sekarang digunakan di Indonesia adalah ISPU, yang menunjukkan kondisi udara ambien untuk parameter pencemar tertentu di lokasi tertentu pada waktu tertentu. Dinyatakan
Apabila status mutu udara ambien menunjukkan kondisi baik (tidak cemar), bukan berarti Gubernur tidak memiliki kewajiban apapun terkait dengan mutu udara ambien, melainkan Gubernur wajib mempertahankan dan meningkatkan kualitas udara ambien. Gubernur melakukan perkiraan kualitas udara masa depan berdasarkan perencanaan dan pembangunan kemudian dihitung kembali apakah cemar atau tidak. Apabila status mutu udara cemar, perlu dihitung besar penurunan emisi gas agar tidak melampaui BMUA. Muatan rencana aksi serta pelaksanaannya sama dengan strategi dan rencana aksi status mutu udara cemar. Dengan demikian, Gubernur pada dasarnya tetap membuat strategi dan rencana aksi, yang membedakan hanyalah targetnya yakni bila status mutu udara cemar, maka strategi dan rencana aksi ditetapkan untuk menanggulangi dan memulihkan mutu udara ambien, sedangkan bila status mutu udara baik (tidak cemar), maka strategi dan rencana aksi ditetapkan untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu udara ambien. Pedoman teknis mengenai Penentuan Status Mutu Udara Daerah termuat dalam Lampiran III PermenLH 12/2010.
PEMELIHARAAN
*SRA = Strategi dan Rencana Aksi
dalam Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara (Kepka Bapedal 107/1997), terdapat 5 (lima) parameter yang diukur dalam ISPU, yaitu Partikulat (PM10), Sulfur Dioksida (SO2), Carbon Monoksida (CO), Ozon (O3) dan Nitrogen Dioksida (NO2) (lihat: Lampiran 2). Adapun angka dan kategori ISPU yang menunjukkan kualitas udara mulai dari baik hingga berbahaya ditetapkan juga dalam peraturan tersebut (lihat: Lampiran 3). Sama halnya seperti PP 41/1999, Kepka Bapedal 107/1997 juga merupakan turunan dari UU 23/1997 yang sekarang telah diganti dengan UU 32/2009. Meskipun demikian, oleh karena belum dibentuk peraturan baru mengenai ISPU berdasarkan mandat Pasal 12 ayat (2) UU 32/2009, maka Kepka Bapedal tersebut masih tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan isi UU 32/2009. ISPU diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien secara otomatis dan berkesinambungan dan dapat dipergunakan untuk:
a. bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan pada
waktu tertentu;
b. bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melaksanakan
pengendalian pencemaran udara.
Sayangnya, indeks yang disampaikan dalam ISPU kepada masyarakat adalah hasil pengukuran 24 jam sebelumnya (pukul 15.00 hari sebelumnya sampai dengan pukul 15.00 hari tersebut). Dengan demikian, indeks yang disampaikan dalam ISPU bukanlah indeks hasil pengukuran real-time melainkan indeks hasil pengukuran 24 jam ke belakang. Sebagai perbandingan, Kedutaan Besar Amerika Serikat juga melakukan pemantauan udara yang hasilnya disebut dengan Air Quality Index (AQI) dan dapat diakses melalui http://aqicn.org/. Pengukuran dalam AQI dilakukan perjam, sehingga indeks hasil pengukuran yang disampaikan dalam AQI pukul 8.00 menunjukkan pengukuran yang dilakukan pukul 7.00 hingga 8.00.
PP 41/1999 mengatur pencemaran dari sumber bergerak dan tidak bergerak. Dalam bahasa peraturan, industri, pembangkit adalah contoh sumber tidak bergerak (STB); sementara mobil dan alat transportasi adalah contoh sumber bergerak (SB). Seharusnya, pengendalian pencemaran ini
dilakukan berdasarkan kebijakan di level nasional dan provinsi (lihat
bagian “penanggulangan dan pemulihan serta pemeliharaan pemeliharaan dan peningkatan mutu udara ambien) – sekalipun hal ini jarang terjadi. Instrumen pencegahan digunakan baik bagi daerah yang kualitas udaranya baik (attainment) maupun cemar (non-attainment). Sebagaimana dijelaskan di atas,
untuk status cemar, upaya pencegahan harus diimbangi dengan upaya penanggulangan dan pemulihan kualitas udara.
1. Pencegahan. Pengendalian pencemaran udara bagi STB dilakukan dengan instrumen
pencegahan yang mencakup baku mutu emisi STB, baku tingkat gangguan, dan ambang batas emisi gas buang. Pelaku usaha dan/atau kegiatan wajib menaati BME, baku tingkat gangguan serta baku mutu ambien.
2. Penanggulangan dan pemulihan. Penanggulangan pencemaran udara wajib dilakukan oleh
STB sebagai penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan apabila kegiatannya mengakibatkan
pencemaran udara. Penanggulangan dan pemulihan dilakukan berdasarkan pedoman teknis
penanggulangan dan pemulihan yang ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan yakni Menteri LHK. Meskipun demikian,
hingga saat ini pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan belum ditetapkan.2 Hal
ini nantinya akan membawa dampak pada terhambatnya penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara itu sendiri, sehingga seharusnya Menteri LHK menetapkan pedoman
teknis penanggulangan dan pemulihan tersebut. Kemudian, dalam hal ISPU mencapai
lebih dari 300, maka Menteri LHK/Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara melalui media cetak dan/atau elektronik. Penanggulangan dan
pemulihan keadaan darurat pencemaran dilakukan Menteri LHK/Gubernur berdasarkan
pedoman teknis tata cara penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat. Sayangnya, sama seperti pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan (secara umum bukan
dalam keadaan darurat) yang telah dijelaskan di atas, pedoman teknis tata cara
penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat pencemaran juga belum ditetapkan3.
Padahal, seharusnya Menteri LHK/Gubernur menetapkan pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat tersebut.
Pasal 9 ayat (2) PP 41/1999 memberikan tanggungjawab bagi Kepala Instansi yang bertanggung jawab
di bidang pengendalian dampak lingkungan, yakni Menteri LHK, untuk menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara STB. Pedoman teknis pengendalian pencemaran udara STB yang telah ada adalah Keputusan Kepala Bapedal No. 205 Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak (Kepka Bapedal 205/1996). Pedoman teknis tersebut memuat pelaksanaan pemantauan kualitas udara, pengambilan contoh uji dan analisis, persyaratan cerobong dan unit pengendalian pencemaran udara. Pedoman teknis “pengendalian” yang lebih rinci
2 PERMENLH 12/2010 dalam bagian lampirannya memuat Pedoman Teknis Penetapan Baku Mutu Udara Ambien Daerah, Pedoman Inventarisasi Data Mutu Udara Ambien dan Sumber Pencemar Udara, Pedoman Teknis Penentuan Status Mutu Udara Daerah, Pedoman Teknis Penetapan Baku Mutu Emisi Udara dari Sumber Tidak Bergerak, Pedoman Teknis Penetapan Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama, Pedoman Teknis Pemantauan Kualitas Udara Ambien, Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Pengendalian Pencemaran Udara dari Sumber Bergerak dan Pedoman Teknis Pengawasan Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak. Adapun mengenai pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan belum diatur.
yang disyaratkan PP No. 41/1999 tertuang juga dalam PermenLH No. 12 Tahun 2010 yang mengatur Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengendalian Pencemaran Udara di daerah. PermenLH 12/2010 ini tidak mencabut Kepka Bapedal 205/1996.
Instrumen ini merupakan bagian dari pencegahan, berupa standar yang mengatur kualitas gas buang (kadar maksimum pencemar) yang dilepaskan oleh STB, yang pada esensinya juga bertujuan untuk memastikan kumulasi berbagai emisi tetap terkendali dan tidak melampaui baku mutu ambien yang disyaratkan. Menurut Pasal 8 ayat (1) PP 41/1999, BME STB ditetapkan oleh Kepala Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan yakni Menteri LHK.
Sama seperti BME, baku tingkat gangguan juga merupakan bagian dari pencegahan. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari STB yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentan baku tingkat gangguan. Baku tingkat gangguan adalah batas maksimum gangguan yang boleh
masuk ke udara dan/atau zat padat. Baku tingkat gangguan terdiri akan dijelaskan lebih lanjut dalam
lembar informasi lain, “Pengendalian Gangguan: Kebisingan, Getaran, Kebauan.”
Beberapa sumber pencemar tidak bergerak merupakan kegiatan dan/atau usaha yang wajib AMDAL, dan dengan demikian juga wajib Izin Lingkungan. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan (usaha dan/atau kegiatan tersebut dinyatakan wajib Amdal/UKL-UPL) dan izin lingkungan tersebut adalah prasyaratnya memperoleh izin usaha. Sayangnya, dalam PP 41/1999, kewajiban pengendalian pencemaran udara belum dihubungkan dengan izin lingkungan, yang baru muncul pada tahun 2009 dalam UU 32/2009. Dengan demikian, tidak ada instrumen izin khusus untuk pengendalian pencemaran udara dan emisi, dan instrumen utama dalam memeriksa kewajiban pelaku usaha dan/atau kegiatan dalam pengendalian pencemaran udara hanyalah AMDAL/UKL-UPL dan Izin Usaha. Akan tetapi, AMDAL merupakan salah satu instrumen yang memiliki mekanisme partisipasi masyarakat yang cukup jelas, termasuk melalui pengumuman dan Komisi AMDAL. UKL-UPL, sekalipun lebih sederhana, juga mensyaratkan adanya partisipasi publik. Mekanisme dan ketentuan lebih lanjut mengenai AMDAL/UKL-UPL dan Izin Lingkungan diatur dalam PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP 27/2012).
BAKU
TINGKAT
GANGGUAN
PENGAWASAN
Pengawasan perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat ketaatan suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan agar pengendalian pencemaran udara dapat terlaksana dengan baik. Mengenai pengawasan terkait pengendalian pencemaran udara dari STB dinyatakan dalam Pasal 12, 13 dan 14 PermenLH 12/2010. Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Bupati/Walikota dalam pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dari STB. Gubernur juga melakukan pengawasan penaatan STB yang lokasi dan/atau dampaknya lintas kabupaten/kota terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara, pengawasan tersebut dilakukan sesuai dengan pedoman teknis pengawasan pengendalian pencemaran udara STB yang termuat dalam Lampiran VIII PermenLH 12/2010. Selain Gubernur, Bupati/ Walikota juga melakukan pengawasan penaatan STB. Meskipun demikian, berbeda dengan Gubernur, Bupati/Walikota melakukan pengawasan penaatan STB yang lokasi dan/atau dampaknya skala kabupaten/kota terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara, yang mana pedoman teknis untuk pengawasan tersebut juga termuat dalam Lampiran VIII PermenLH 12/2010. Pedoman teknis pengawasan pengendalian pencemaran udara STB dalam Lampiran VIII PermenLH 12/2010 mengatur mengenai:a. syarat pengawas;
b. kewenangan pejabat pengawas;
c. tanggung jawab pejabat pengawas;
d. kegiatan persiapan pengawasan;
e. kegiatan pelaksanaan pengawasan; dan
f. kegiatan paska pengawasan.
GUBERNUR
WALIKOTA
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
Bupati/Walikota dalam pelaksanaan PPU* dari STB
melakukan pengawasan penaatan STB yang lokasi
dan/atau dampaknya lintas kab/kota terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang PPU*
melakukan pengawasan penaatan STB yang lokasi
dan/atau dampaknya skala kab/kota terhadap peraturan
peruuan di bidang PPU*
dilaksanakan sesuai pedoman teknis pengawasan PPU STB
BIAYA
PENGENDALIAN
PENCEMARAN
UDARA
Mengenai biaya pengendalian pencemaran udara,
termasuk penanggulangan dan pemulihan, adalah beban
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Selain
itu, dalam pengendalian, penanggungjawab usaha dan/
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
Baku Mutu Udara Ambien Nasional berdasarkan Lampiran PP 41/1999
Catatan:
(*) PM 2.5 mulai berlaku tahun 2002 Nomor 11 s.d. 13 hanya diberlakukan untuk daerah/kawasan industri kimia dasar. Misal: industri petrokimia/pembuatan asam sulfat.
No. Parameter Waktu
Pengukuran Baku Mutu Metode Analisis Peralatan
1. SO2 (Sulfur Dioksida)
4. O3 (oksidan) 1 jam1 tahun 235 ug/Nm350 ug/Nm3 Chemiluminescent Spektrofotometer
5. HC (Hidro Karbon) 3 jam 160 ug/Nm3 Flamelonization Gas Chromatogarfi
6.
PM10 (Partikel < 10 um)
PM2.5 (*) (Partikel < 2m5
10. Total Fluorides (as F) 24 jam90 hari 3 ug/Nm30.5 ug/Nm3 Spesific IonElectode Impinger atau CountinousAnalyzer
11. Fluor Indeks
30 hari 40 ug/100 cm3 dari
kertas-limed filter
Colourimetric Limed Filter Paper
12. Khlorine & Khlorine Dioksida
LAMPIRAN 2:
Parameter-Parameter Dasar ISPU berdasarkan Lampiran I Kepka Bapedal 107/1997
NO. PARAMETER WAKTU PENGUKURAN
1. Partikulat (PM10) 24 jam (Periode pengukuran rata-rata)
2. Sulfur Dioksida (SO2) 24 jam (Periode pengukuran rata-rata)
3. Carbon Monoksida (CO) 8 jam (Periode pengukuran rata-rata)
4. Ozon (O3) 1 jam (Periode pengukuran rata-rata)
5. Nitrogen Dioksida (NO2) 1 jam (Periode pengukuran rata-rata)
Catatan:
1. Hasil pengukuran untuk pengukuran kontinyu diambil harga rata-rata tertinggi waktu pengukuran.
2. ISPU disampaikan kepada masyarakat setiap 24 jam dari rata-rata sebelumnya (24 sebelumnya).
3. Waktu terakhir pengambilan data dilakukan pada pukul 15.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIBB).
LAMPIRAN 3:
Angka dan Kategori ISPU berdasarkan Lampiran II Kepka Bapedal 107/1997
INDEKS KATEGORI
1 – 50 Baik
51 – 100 Sedang
101 – 199 Tidak Sehat
200 – 299 Sangat Tidak Sehat