i
ANA LISIS PA RETO A BC SEDIAAN FARMASI PUS KESMAS DI
KABUPATEN BANTU L DENGAN PENYAKIT UTA MA
NAS OFARINGITIS A KUT DAN MYALGIA PER IODE 2009
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
P ia Rika Puspawati
NIM : 078114047
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iii
iv
Karya kecil ini kupersembahkan kepada:
1. Yesus Kristus 2. Ibu Rita Puspitawati 3. Bapak Agustinus Slamet 4. Thomas Bagus Wicaksono 5. Prasetyo Adi Nuswantoro
Dalam kehidupan, manusia terkadang mudah mengeluh dan menyerah pada keadaan. Tapi dengan dorongan orang‐orang
yang kita cintai disekitar kita, semangat kita akan bangkit kembali dan meraih
kemenangan.
v
vi
anugerah, kekuatan dan bimbingan yang telah Ia berikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul ”Analisis Pareto ABC Sediaan
Farmasi Puskesmas Kabupaten Bantul dengan Penyakit Utama Nasofaringitis
Akut dan Myalgia Periode 2009” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Farmasi (S. Farm) di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Keberhasilan dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan
bantuan berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Dengan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bappeda Kabupaten Bantul, Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dan Gudang
Farmasi Kabupaten Bantul yang berkenan memberikan ijin penelitian kepada
penulis.
2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, dukungan, perhatian, semangat dan pengarahan
vii
4. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt dan Bapak Drs. Djaman Ginting
Manik., Apt atas kesediaan sebagai dosen penguji serta memberikan masukan
yang berharga bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu, Bapak, Mas Bagus dan Adi atas doa, kepercayaan, perhatian, nasihat,
bimbingan, kasih sayang, semangat dan dukungannya selama ini.
6. Keluarga besar yang telah memberikan doa, semangat dan dukungan yang
tulus.
7. Dewi dan Nukie selaku partner dalam mengerjakan skripsi ini, trimakasih
atas kebersamaan yang telah kita lalui bersama.
8. Melia, Yuyun, Yenita, Sisca, Satya, dan Aga atas dukungan dan keluarga
selama tinggal di Kost Lovely.
9. Teman-teman Fakultas Farmasi angkatan 2007 kelas A dan FKK A 2007 atas
kebersamaan, kenangan, keceriaan dan dukungan selama ini.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu penulis dari awal hingga terselesaikannya penyusunan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat bagi semua pembaca.
Penulis
ix
INTISARI
Pengelolaan sediaan farmasi di Puskesmas bertujuan untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan pelayanan obat yang efisien, efektif, dan rasional. Pada penelitian ini dilakukan analisis pengelolaan sediaan farmasi di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia dengan metode Pareto ABC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pareto ABC sediaan farmasi dilihat dari nilai pakai, nilai investasi, dan nilai indeks kritis sediaan serta untuk mengetahui prioritas sediaan farmasi yang harus diadakan di Puskesmas dengan penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia.
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan studi kasus yang bersifat retrospektif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data pemakaian obat seluruh Puskesmas dengan penyakit utama nasofaringits akut dan myalgia Kabupaten Bantul dalam format LPLPO (Laporan Pemakaian Lembar Permintaan Obat) periode 2009.
Hasil penelitian ini adalah persentase rata – rata sediaan yang masuk dalam kategori A nilai indeks kritis adalah sebanyak 18,16%, kategori B sebanyak 15,39%, dan kategori C sebanyak 66,00%. Jumlah sediaan yang masuk dalam prioritas pengadaan adalah sebanyak 19 item dengan total nilai investasi sediaan tersebut adalah sebanyak Rp 300.086.244,55.
x
supply to ensure drugs availability and affordability become efficient, effective, and rational. This research is aimed to analize the management of drug supply at the public health centers in Bantul district with acute nasofaringitis and myalgia as the major illnesses using ABC Pareto method. This study aims to determine the Pareto ABC value in use, value of inventory investment, critical index, and to find out the procurement priority at the public health center with acute nasofaringitis and myalgia as the major illnesses.
This research is designed as a non-experimental research with retrospective case studies. Data collection was done by collecting the number of drugs used in the public health centers in Bantul district with acute nasofaringitis and myalgia as the major illnesses that recorded in LPLPO (Laporan Pemakaian Lembar Permintaan Obat) in the period of 2009.
The results of this critical index is 18,16% belong to group A, 15,39% belong to group B and 66,00% belong to group C. The number of stocks included in the procurement priorities are 19 items with a total investment value Rp 300.086.244,55.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi
PRAKATA ... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii
INTISARI ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAS GAMBAR ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I. PENGANTAR A. Latar Belakang ... 1
1. Permasalahan ... 3
2. Keaslian penelitian ... 4
3. Manfaat penelitian ... 4
B. Tujuan Penelitian ... 5
xii
B. Sediaan Farmasi ... 7
C. Perencanaan dan Permintaan Obat di Puskesmas ... 8
1. Perencanaan obat ... 8
2. Permintaan obat ... 9
D. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas ... 10
E. Nasofaringitis Akut ... 11
F. Myalgia ... 13
G. Manajemen Persediaan ... 15
H. Pareto ABC (Always Better Control) ... 16
I. Keterangan Empiris ... 18
BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 19
B. Definisi Operasional ... 19
C. Subjek Penelitian ... 21
D. Alat Penelitian ... 22
E. Lokasi Penelitian ... 22
F. Jalannya Penelitian ... 22
G. Analisis Data ... 24
1. Analisis ABC nilai pakai ... 24
xiii
3. Analisis ABC nilai indeks kritis ... 26
4. Analisis prioritas sediaan farmasi di Puskesmas dengan penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia ... 27
H. Kesulitan Penelitian ... 28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Pareto ABC ... 29
1. Analisis ABC nilai pakai ... 29
2. Analisis ABC nilai investasi ... 37
B. Analisis ABC Nilai Indeks Kritis ... 47
C. Analisis Prioritas Sediaan Farmasi di Puskesmas dengan Penyakit Utama Nasofaringitis Akut dan Myalgia ... 50
D. GambaranToleransi Jumlah Item Persediaan Periode Berikutnya ... 54
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 57
B. Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
LAMPIRAN ... 60
xiv
Pemakaian Sediaan Farmasi di Puskesmas Kabupaten Bantul
dengan Penyakit Utama Nasofaringitis Akut dan Myalgia Periode
2009 ... 34
Gambar 2. Grafik Distribusi Persediaan Berdasarkan Analisis Nilai Investasi
di Puskesmas Banguntapan 3 Periode 2009 ... 39
Gambar 3. Grafik Distribusi Persediaan Berdasarkan Analisis Nilai Investasi
di Puskesmas Imogiri 1 Periode 2009 ... 41
Gambar 4. Grafik Distribusi Persediaan Berdasarkan Analisis Nilai Investasi
di Puskesmas Piyungan Periode 2009 ... 42
Gambar 5. Grafik Distribusi Persediaan Berdasarkan Analisis Nilai Investasi
di Puskesmas Piyungan Periode 2009 ... 44
Gambar 6. Diagram Batang Persentase Nilai Investasi vs Persentase Jumlah
Pemakaian Sediaan Farmasi di Puskesmas Kabupaten Bantul
dengan Penyakit Utama Nasofaringitis Akut dan Myalgia Periode
xv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Obat untuk terapi nasofaringitis akut ... 12
Tabel II. Obat untuk terapi myalgia ... 14
Tabel III. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Banguntapan 3
Berdasarkan Nilai Pakai Periode 2009 ... 30
Tabel IV. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Imogiri 1
Berdasarkan Nilai Pakai Periode 2009 ... 31
Tabel V. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Piyungan
Berdasarkan Nilai Pakai Periode 2009 ... 32
Tabel VI. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Pleret Berdasarkan
Nilai Pakai Periode 2009 ... 32
Tabel VII. Nilai Pakai Sediaan Untuk Terapi Nasofaringitis Akut di
Puskesmas Kabupaten Bantul dengan Penyakit Utama
Nasofaringitis Akut dan Myalgia Periode 2009 ... 35
Tablel VIII. Nilai Pakai Sediaan Untuk Terapi Myalgia di Puskesmas
Kabupaten Bantul dengan Penyakit Utama Nasofaringitis Akut dan
Myalgia Periode 2009 ... 36
Tabel IX. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Banguntapan 3
Berdasarkan Nilai Investasi Periode 2009 ... 38
Tabel X. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Imogiri 1
xvi
Nilai Investasi Periode 2009 ... 43
Tabel XIII. Nilai Investasi Sediaan untuk Terapi Nasofaringitis Akut di
Puskesmas Kabupaten Bantul dengan Penyakit Utama
Nasofaringitis Akut dan Myalgia Periode 2009 ... 45
Tabel XIV. Nilai Investasi Sediaan untuk Terapi Myalgia di Puskesmas
Kabupaten Bantul dengan Penyakit Utama Nasofaringitis Akut dan
Myalgia Periode 2009 ... 46
Tabel XV. Jumlah Item dan Persentase Sediaan Farmasi Puskesmas
Kabupaten Bantul dengan Penyakit Utama Nasofaringitis Akut dan
Myalgia Periode 2009 Berdasarkan Nilai Indeks Kritis ... 48
Tabel XVI. Nilai Indeks Kritis Sediaan Untuk Terapi Nasofaringitis Akut
Puskesmas di Kabupaten Bantul dengan Penyakit Nasofaringitis
Akut dan Myalgia Periode 2009 ... 49
Tabel XVII. Nilai Indeks Kritis Sediaan Untuk Terapi Myalgia Puskesmas di
Kabupaten Bantul dengan Penyakit Nasofaringitis Akut dan
Myalgia Periode 2009 ... 49
Tabel XVIII. Data Kelompok ANIK yang Dimiliki 4 Puskesmas ... 52
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Obat Kriteria Eksklusi ... 61
Lampiran 2. Daftar Harga Obat ... 63
Lampiran 3. Data Sediaan Farmasi Puskesmas Banguntapan 3 Berdasarkan
Nilai Pakai Periode 2009 ... 66
Lmapiran 4. Data Sediaan Farmasi Puskesmas Imogiri 1 Berdasarkan Nilai
Pakai Periode 2009 ... 70
Lampiran 5. Data Sediaan Farmasi Puskesmas Piyungan Berdasarkan Nilai
Pakai Periode 2009 ... 75
Lampiran 6. Data Sediaan Farmasi Puskesmas Pleret Berdasarkan Nilai Pakai
Periode 2009 ... 80
Lampiran 7. Data Sediaan Farmasi Puskesmas Banguntapan 3 Berdasarkan
Nilai Investasi Periode 2009 ... 85
Lampiran 8. Data Sediaan Farmasi Puskesmas Imogiri 1 Berdasarkan Nilai
Investasi Periode 2009 ... 89
Lampiran 9. Data Sediaan Farmasi Puskesmas Piyungan Berdasarkan Nilai
Investasi Periode 2009 ... 94
Lampiran 10. Data Sediaan Farmasi Puskesmas Pleret Berdasarkan Nilai
Investasi Periode 2009 ... 99
Lampiran 11. Nilai Indeks Kritis Sediaan Farmasi Puskesmas Banguntapan 3
xviii
2009 ... 112
Lampiran 14. Nilai Indeks Kritis Sediaan Farmasi Puskesmas Pleret Periode
2009 ... 116
Lampiran 15. Data Obat Pareto A Nilai Indeks Kritis di Puskesmas Kabupaten
Bantul dengan Penyakit Utama Nasofaringitis Akut dan
Myalgia Periode 2009 ... 120
Lampiran 16. Data Nilai Pakai Sediaan yang Masuk dalam Kategori Pareto A
Nilai Indeks di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan Penyakit
Utama Nasofaringitis Akut dan Myalgia Periode 2009 ... 122
Lampiran 17. Data Nilai Investasi Sediaan yang Masuk dalam Kategori Pareto A
Nilai Indeks di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan Penyakit
Utama Nasofaringitis Akut dan Myalgia Periode 2009 ... 122
Lampiran 18. Nilai Pakai, Nilai Investasi, dan Nilai Indeks Kritis Sediaan Untuk
Nasofaringitis Akut Sesuai dengan Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas Periode 2009 ... 124
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Berdasarkan Kepmenkes RI No.128/ Menkes/ SK/ II/ 2004, Puskesmas
adalah Unit Pelaksanaan Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah
kerja. Sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat, Puskesmas
harus mampu memberikan pelayanan maksimal, termasuk menjamin
keterjangkauan dan ketersediaan sediaan farmasi yang dibutuhkan masyarakat.
Untuk itu diperlukan adanya perencanaan sediaan farmasi yang baik untuk
mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah sediaan farmasi yang mendekati
kebutuhan, meningkatkan penggunaan obat secara rasional, dan meningkatkan
efisiensi penggunaan obat.
Kendala yang ada di Puskesmas saat ini adalah kurangnya tenaga ahli
dalam bidang pengadaan sediaan farmasi, yaitu seorang apoteker. Untuk itu,
pengadaan sediaan di Puskesmas dilakukan secara terpusat oleh apoteker di
Gudang Farmasi Kabupaten. Di Gudang Farmasi inilah seorang apoteker dituntut
untuk dapat menjalankan perannya dalam bidang manajemen sediaan farmasi
sehingga pengadaan sediaan farmasi menjadi efektif dan efisien. Salah satu cara
untuk membantu apoteker dalam perencanaan sediaan adalah dengan
Terdapat 27 Puskesmas di Kabupaten Bantul yang terdiri dari 16
Puskesmas dengan fasilitas rawat inap dan 11 Puskesmas tanpa fasilitas rawat
inap. Tiap-tiap Puskesmas menangani berbagai macam penyakit yang diderita
masyarakat. Dari data peringkat 10 besar penyakit yang ditangani di tiap-tiap
Puskesmas, terdapat beberapa Puskesmas di Kabupaten Bantul dengan pola
penyakit utama yang sama, yaitu nasofaringitis akut pada peringkat pertama dan
myalgia pada peringkat kedua, dengan total persentase kedua penyakit tersebut
lebih dari 35% (Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, 2010). Total persentase
kedua penyakit ini dimungkinkan memiliki pengaruh yang cukup besar pada jenis
sediaan di Puskesmas.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sediaan farmasi di Puskesmas
dengan penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia. Analisis dilakukan
dengan menggolongkan sediaan yang terdapat di Puskesmas berdasarkan nilai
Pareto. Berdasar hasil analisis tersebut maka kita dapat melihat jenis sediaan dan
biaya yang menjadi prioritas utama untuk pengadaan sediaan farmasi di
Puskesmas dengan pola penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai jenis sediaan
dan biaya yang diperlukan untuk pengadaan sediaan di Puskesmas dengan pola
penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia sehingga diharapkan pengadaan
sediaan di Puskesmas menjadi lebih efektif dan efisien.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Bantul, pada tahun 2009 terdapat empat Puskesmas yang memiliki pola penyakit
3
Imogiri 1, dan Piyungan. Pada periode 2009, pasien yang menderita nasofaringitis
akut di Puskesmas Banguntapan 3 sebanyak 35,91% dan myalgia sebanyak
14,41%. Penderita nasofaringitis akut di Puskesmas Imogiri 1 periode 2009 adalah
sebanyak 31,65% dan penderita myalgia sebanyak 18,23%. Di Puskesmas
Piyungan penderita nasofaringitis akut periode 2009 sebanyak 24,92% dan
myalgia sebanyak 13,65%. Sedangkan di Puskesmas Pleret, penderita
nasofaringitis akut periode 2009 adalah sebanyak 24,79% dan penderita myalgia
sebanyak 13,05%. Penelitian dilakukan pada empat Puskesmas tersebut dan data
penggunaan sediaan di Puskesmas diambil dari Laporan Pemakaian Lembar
Permintaan Obat (LPLO) masing-masing Puskesmas periode 2009.
1. Permasalahan
a. Bagaimana nilai Pareto ABC sediaan farmasi dilihat dari nilai pakai dan nilai
investasi di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan penyakit utama
nasofaringitis akut dan myalgia periode 2009?
b. Berapa nilai indeks kritis sediaan farmasi di Puskesmas Kabupaten Bantul
dengan penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia periode 2009?
c. Sediaan farmasi apa saja yang menjadi prioritas dalam pengadaan sediaan
farmasi di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan penyakit utama
2. Keaslian penelitian
Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, penelitian mengenai analisis
ABC Indeks Kritis sediaan farmasi di Puskesmas dengan penyakit utama
nasofaringitis akut dan myalgia belum pernah dilakukan. Akan tetapi penelitian
yang terkait pengadaan sediaan farmasi di Puskesmas pernah dilakukan oleh
Mayawati (2009), dengan judul Evaluasi Pengelolaan Sediaan Farmasi di
Puskesmas Kuta I Periode 2007-2009 dengan Metode ABC Indeks Kritis.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah
dalam hal kajian pokok yang diteliti, yaitu mengenai pengelolaan sediaan farmasi
di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan pola penyakit utama nasofaringitis akut
dan myalgia. Perbedaannya adalah pada metode analisis yang digunakan. Peneliti
terdahulu menggunakan analisis VEN sebagai bagian dari analisis ABC indeks
kritis, sedangkan peneliti tidak menggunakan analisis VEN.
3. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pengelola
Gudang Farmasi Kabupaten Bantul mengenai nilai investasi, nilai pakai, nilai
indeks kritis, serta prioritas sediaan farmasi yang harus diadakan di Puskesmas
dengan pola penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia menggunakan
metode Pareto ABC dan dapat memberikan gambaran biaya pengadaan sediaan
farmasi di Puskesmas dengan pola penyakit utama nasofaringitis akut dan
5
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui perencanaan sediaan farmasi untuk tercapainya pengadaan
sediaan farmasi yang efektif dan efisien.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui nilai Pareto ABC sediaan farmasi dilihat dari nilai pakai dan nilai
investasi di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan penyakit utama
nasofaringitis akut dan myalgia periode 2009.
b. Mengetahui nilai indeks kritis sediaan farmasi di Puskesmas Kabupaten
Bantul dengan penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia periode 2009.
c. Mengetahui sediaan farmasi yang menjadi prioritas dalam pengadaan sediaan
farmasi di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan penyakit utama
6
A. Puskesmas
Definisi Puskesmas berdasar Kepmenkes RI No.128/ Menkes/ SK/ II/
2004 adalah Unit Pelaksanaan Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah
kerja. Berdasarkan Depkes RI 1991, Puskesmas merupakan organisasai kesehatan
fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga
membina peran serta masyarakat dan memberikan pelayanan secara menyeluruh
dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.
Tujuan didirikannya Puskesmas adalah untuk mendukung tercapainya
tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal
di wilayah kerja Puskesmas agar terwujud derajad kesehatan yang
setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2010. Adapun fungsi dari
Puskesmas adalah:
a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan.
b. Pusat pemberdayaan masyarakat.
c. Pusat pelayanan kesehatan strata I, meliputi pelayanan kesehatan perorangan
7
B. Sediaan Farmasi
Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka persiapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Presiden Republik
Indonesia, 2009b).
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (Presiden
Republik Indonesia, 2009b).
Daftar obat yang terdapat di Puskesmas tercantum dalam DOEN (Daftar
Obat Esensial Nasional). DOEN merupakan daftar obat esensial, yaitu obat
terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya
diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia pada unit
pelayanan kesehatan sesuai fungsi dan tingkatnya. DOEN merupakan standar
minimal untuk pelayanan kesehatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2008a).
Obat tradisional adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk
biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia
(Presiden Republik Indonesia, 2009b).
Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/ atau implan yang
tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia, dan/ atau membentuk struktur dan memperbaiki funsi
tubuh (Presiden Republik Indonesia, 2009b).
C. Perencanaan dan Permintaan Obat di Puskesmas
1. Perencanaan obat
Perencanaan adalah suatu proses kegiatan seleksi obat dan perbekalan
kesehatan untuk menentukan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan
Puskesmas. Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan perkiraan jenis dan
jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang mendekati kebutuhan, meningkatkan
penggunaan obat secara rasional, dan meningkatkan efisiensi penggunaan obat
(Winarno, Amalia, Ruhama, Widiharti, Putri, Sunarsih, dkk., 2010).
Data mutasi obat yang dihasilkan oleh Puskesmas merupakan salah satu
faktor utama dalam mempertimbangkan perencanaan kebutuhan obat di
Puskesmas. Ketepatan dan kebenaran data di Puskesmas akan berpengaruh
terhadap ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan secara keseluruhan di
Kabupaten/ Kota. Dalam proses perencanaan kebutuhan obat pertahun Puskesmas
dimninta menyediakan data pemakaian obat dengan menggunakan LPLPO.
9
dan analisa terhadap kebutuhan obat Puskesmas di wilayah kerjanya (Winarno,
dkk., 2010).
2. Permintaan obat
Sumber penyediaan obat di Puskesmas adalah berasal dari Dinas
Kesehatan Kabupaten/ Kota. Obat yang diperkenankan untuk disediakan di
Puskesmas adalah obat Esensial yang jenis dan itemnya ditentukan setiap tahun
oleh Menteri Kesehatan dengan merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional.
Tujuan permintaan obat adalah memenuhi kebutuhan obat di masing-masing unit
pelayanan kesehatan sesuai dengan pola penyakit yang ada di wilayah kerjanya
(Winarno, dkk., 2010). Berdasarkan UU No.36 tahun 2009 dan PP No.51 tahun
2009 tentang Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, yang
diperkenankan untuk melakukan penyediaan obat adalah tenaga Apoteker
(Presiden Republik Indonesia, 2009a, 2009b). Untuk itu Puskesmas tidak
diperkenankan melakukan pengadaan obat secara sendiri-sendiri.
Permintaan obat untuk mendukung pelayanan obat di masing-masing
Puskesmas diajukan oleh Kepala Puskesmas kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan menggunakan format LPLPO, sedangkan permintaan dari
sub unit ke kepala puskesmas dilakukan secara periodik menggunakan LPLPO
Sub unit. Berdasarkan pertimbangan efisiensi dan ketepatan waktu penyerahan
obat kepada Puskesmas, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat
menyusun petunjuk lebih lanjut mengenai alur permintaan dan penyerahan obat
secara langsung dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota ke Puskesmas. Kegiatan
a. Permintaan rutin
b. Permintaan khusus
c. Permintaan obat dilakukan dengan menggunakan formulis LPLPO
d. Permintaan obat ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dan selanjutnya diproses oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota
(Winarno, dkk., 2010)
Untuk menentukan jumlah permintaan obat diperlukan beberapa data,
yaitu data pemakaian obat periode sebelumnya, jumlah kunjungan resep, data
penyakit, dan frekuensi distribusi obat oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota.
Data tersebut dapat diperleh dari LPLPO (Winarno, dkk., 2010).
D. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas
Berdasarkan Kepmenkes No. 296/Menkes/SK/III/2008 tentang Pedoman
Pengobatan Dasar Di Puskesmas, dinyatakan bahwa untuk meningkatkan mutu
pelayanan medik di puskesmas, perlu ditetapkan pedoman pemberian obat
(intervensi farmakoterapi) oleh tenaga medis dalam pengobatan dasar di
puskesmas dengan Keputusan Menteri Kesehatan. Maka, dibentuklah Pedoman
Pengobatan Dasar Di Puskesmas agar dapat digunakan sebagai acuan bagi tenaga
medis dalam memberikan pelayanan pemberian obat kepada pasien di Puskesmas
(Sukasediati, Umar, Suranto, 2008).
Seperti yang tertulis pada buku “Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas 2007” oleh Sukasediati, dkk. (2008), pedoman pengobatan ini berguna
11
1. Pasien, dimana pasien hanya mendapat obat yang benar dan dibutuhkan.
2. Pelaksana pengobatan, pedoman ini dapat meningkatkan tingkat
profesionalisme pelaksana pengobatan karena mereka dapat bekerja sesuai
standar.
3. Pemegang kebijakan kesehatan dan pengelolaan obat, pedoman ini dapat
membantu dalam pengendalian biaya obat dan suplai obat.
E. Nasofaringitis Akut
Nasofaringitis akut (pilek, selesma, commoncold) adalah suatu reaksi
inflamasi saluran pernapasan yang disebabkan oleh infeksi virus (Illinois
Academy of Family Physicians, 2004). Commoncold dan influenza tergolong
infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) yang biasanya terjadi dalam bentuk
epidemi. Disebut commoncold atau salesma bila gejal hidung lebih menonjol,
sementara influenza dimaksudkan untuk kelainan yang disertai faringitis dengan
tanda demam dan lesu yang lebih nyata. Terdapat banyak macam virus
penyebabnya, antara lain Rhinovirus, Coronavirus, virus Influenza A dan B,
Parainfluenza, Adenovirus. Biasanya penyakit ini sembuh sendiri dalam 3-5 hari
(Sukasediati, dkk., 2008).
Penatalaksanaan untuk penyakit ini adalah pasien dianjurkan untuk
beristirahat dan banyak minum. Pengobatan simptomatis dapat dilakukan dengan
menggunakan Parasetamol 500mg 3 kali sehari atau asetosal 300-500 mg 3 kali
digunakan adalah 10mg/ kg BB 3-4 kali sehari. Antibiotik hanya diberikan apabila
terjadi infeksi sekunder (Sukasediati, dkk., 2008).
Tabel I. Obat untuk terapi nasofaringitis akut
1 Nama obat Parasetamol/ Asetamenophen
Indikasi Demam dan nyeri ringan (American
Pharmacist Association, 2008).
Dosis (antipiretik) Anak kurang dari 12 tahun: 10 – 15 mg/kg BB setiap 4 – 6 jam.
Dewasa : 325 – 650 mg setiap 4 – 6 jam, atau 1000 mg 3x sehari, tidak boleh lebih dari 4g sehari (American Pharmacist Association, 2008).
Lama penggunaan Tidak lebih dari 5 hari untuk anak-anak, dan 10 hari untuk dewasa (Anonim, 2010)
2 Nama obat Asetosal/ Aspirin
Indikasi Demam, nyeri ringan sampai sedang, inflamasi, profilaksis myocardial infraction, profilaksis stroke dan atau iskhemik, management rhematoid arthritis, demam rhematic, osteoartritis, dan gout (dalam dosis tinggi), terapi tambahan pada prosedur revaskularisasi, Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) (American Pharmacist Association, 2008).
Dosis (antipiretik) Anak-anak : 10 – 15 mg/kg BB tiap 4 – 6 jam, dosis maksimal 4g/ hari
Dewasa : 325 – 650 mg tiap 4 – 6 jam, dosis maksimal 4g/ hari (American Pharmacist Association, 2008).
Lama penggunaan Maksimal selama 4 hari (Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006)
Obat-obat lain terkait dapat digunakan untuk membantu meredakan
gejala nasofaringitis akut, antara lain dekongestan, antihistamin, antitusif,
guaifenesin, zink, vitamin C, dan echinacea (Illinois Academy of Family
13
F. Myalgia
Myalgia merupakan nyeri otot yang dapat dikategorikan menjadi kejang
otot, memar akibat trauma berkepanjangan, dan rasa sakit yang berkepanjangan.
Myalgia dapat terjadi karena aktivitas berlebih yang mengakibatkan berkurangnya
suplai darah ke otot. Myalgia juga dapat disebabkan adanya infeksi sistemik
(influenza, campak, dan penyakit lain), penyakit kronis (fibriomyalgia dan
polimyalgia), dan obat-obatan seperti statin. Terapi untuk myalgia dapat
dilakukan dengan terapi fisik dan pemberian analgesik. Salisilat dan NSAID dapat
digunakan untuk terapi awal (1-3 hari) untuk mengatasi nyeri (Berardi, Kroon,
McDermott, Newton, Oszko, Popovich, dkk., 2006).
Pada Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas, analgesik dan NSAID
yang dianjurkan untuk penatalaksanaan artritis adalah asetosal 1 gram (3x1 hari),
fenilbutason 200 mg (3x1 hari), atau ibuprofen 400 mg (3x1 hari) (Sukasediati,
Umar, Suranto, 2008).
Parasetamol merupakan pilihan utama untuk mengurangi rasa nyeri pada
pasien osteoartritis dan nyeri pada jaringan lunak lain. Selain ibuprofen, asetosal,
dan fenilbutason, obat-obat lain yang termasuk dalam golongan NSAID antara
lain parasetamol, asam mefenamat, salisilamid, antalgin (metamphiron),
naproxen, ketoprofen, meloksikam, piroksikam, dan natrium diklofenak (British
Tabel II. Obat untuk terapi myalgia
1 Nama obat Ibuprofen
Indikasi Nyeri ringan hingga sedang, peradangan dan rhematoid, termasuk juveneil rhematoid arthritis, demam, dysmenorrhea (American Pharmacist Association, 2008).
Dosis (analgesik) Anak-anak : 4-10 mg/kg BB setiap 6 – 8 jam.
Dewasa : 200 – 400 mg setiap 4 – 6 jam, dosis maksimum 1,2 g (American Pharmacist Association, 2008).
2 Nama obat Asetosal/ Aspirin
Indikasi Nyeri ringan sampai sedang, demam, inflamasi, profilaksis myocardial infraction, profilaksis stroke dan atau iskhemik, management rhematoid arthritis, demam rhematic, osteoartritis, dan gout (dalam dosis tinggi), terapi tambahan pada prosedur revaskularisasi (American Pharmacist Association, 2008). Dosis (analgesik) Anak-anak : 10 – 15 mg/kg BB tiap 4 – 6
jam, dosis maksimal 4g/ hari
Dewasa : 325 – 650 mg tiap 4 – 6 jam, dosis maksimal 4g/ hari (American Pharmacist Association, 2008).
3 Nama obat Fenilbutazon
Indikasi Ankilosing spondolitis bila terapi lain tidak sesuai (Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 2000)
Dosis (analgesik) Anak-anak : tidak dianjurkan
15
G. Manajemen Persediaan
Manajemen persediaan (inventory control) atau pengendalian tingkat
persediaan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan penentuan kebutuhan material sehingga diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan operasional dengan menekan investasi persediaan
seoptimal mungkin agar ketersediaan kebutuhan operasional menjadi efektif dan
efisisien (Indrajit dan Djokopranoto, 2003).
Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003), usaha yang perlu dilakukan
dalam manajemen persediaan secara garis besar dapat diperinci sebagai berikut:
1. Menjamin terpenuhinya kebutuhan operasi
2. Membatasi nilai seluruh investasi
3. Membatasi jenis dan jumlah material
4. Memanfaatkan seoptimal mungkin material yang ada.
Prinsip manajemen persediaan adalah adanya penentuan jumlah dan jenis
barang yang disimpan sehingga dapat selalu memenuhi kebutuhan, tetapi di lain
pihak harus dijaga agar biaya investasi yang timbul dari penyediaan barang
tersebut seminimal mungkin. Prinsip tersebut menandakan bahwa pengelolaan
sediaan harus berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). Efektif berarti
dapat menjamin pemenuhan kebutuhan sediaan, sedangkan efisien berarti dapat
menekan persediaan sampai ke tingkat minimum (Indrajit dan Djokopranoto,
H. Pareto ABC (Always Better Control)
Konsep Pareto ditemukan oleh Vilfredo Pareto yang menemukan bahwa
hanya sedikit sekali individu yang secara ekonomi memperoleh pendapatan
terbaik. Hal ini juga terjadi pada perusahaan dimana hanya sedikit sekali barang
yang laku dijual. Penemuannya ini diaplikasikan dalam manajemen persediaan
yang disebut dengan ABC analisis atau yang disebut dengan prinsip Pareto
(Zulfikarijah, 2008).
Dalam analisis ABC terdapat tiga klasifikasi yang sering kali disebut
dengan hukum 80-20 yaitu A, B, dan C yang didasarkan pada volume dollar
tahunan. Adapun pengukurannya adalah dengan cara mengalikan setiap item
persediaan dengan biaya per unit. Persediaan tipe A berisi 20% dari total
ersediaan dengan biaya total persediaan 70%-80%, persediaan tipe B berisi 30%
dari total persediaan dengan biaya total persediaan 15%-20%, persediaan tipe C
berisi 50% dari total item dengan biaya total persediaan 5%. Tingkat kesalahan
yang dapat diterima menurut rekomendasi APICS (The American Production and
Inventory Control) adalah ± 0,2% untuk item A, ±1% untuk item B, dan ± 5%
untuk item C (Zulfikarijah, 2008).
Terkait dengan pendapatan dari penyediaan obat, analisis ABC dapat
digunakan untuk:
1. Menentukan frekuensi permintaan item obat, karena dengan memesan item
obat kelompok A lebih sering dan dalam jumlah yang sedikit akan mengurangi
biaya inventoris.
17
3. Memonitor status permintaan item. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya kekurangan item yang mendadak yang berakibat pada keharusan
pembayaran darurat yang biasanya lebih mahal.
4. Memonitor prioritas penyediaan agar sesuai dengan prioritas sistem kesehatan
yang menunjukkan jenis obat yang sering digunakan.
5. Membandingkan biaya aktual dan terencana (Quick, Hume, Rankin, O’Connor,
O’Connor, R.W, 1997).
Terkait dengan distribusi dan manajemen inventori sediaan farmasi,
analisis ABC dapat digunakan untuk:
1. Menentukan waktu paruh sediaan. Sebaiknya dilakukan pengawasan khusus
pada sediaan yang masuk dalam kelompok A untuk meminimalkan sediaan
yang terbuang.
2. Menentukan jadwal pengiriman sediaan.
3. Menentukan jumlah stok dengan melakukan pemesanan yang lebih sering
dalam jumlah yang lebih sedikit untuk sediaan yang masuk dalam kelompok A.
4. Dengan melakukan kontrol yang ketat terhadap pemasukan dan pengeluaran
sediaan yang masuk dalam kelompok A dapat meminimalkan terbuangnya
sediaan dan sediaan yang hilang akibat pencurian (Quick, dkk., 1997).
Analisis ABC dapat diterapkan pada periode tahunan, periode yang lebih
singkat, atau dalam jangka waktu dilakukannya tender. Langkah-langkah dalam
analisis ABC yaitu:
1. Mendata semua item yang dibeli atau dikonsumsi dan memasukkannya ke
2. Memasukkan kuantitas konsumsi selama satu periode
3. Menghitung nilai konsumsi
4. Menghitung persentase nilai total setiap item
5. Menyusun kembali daftar berurutan dari total nilai yang paling tinggi
6. Menghitung persentase kumulatif nilai total untuk setiap item
7. Memilih point cut-off atau batasan (range persentase) untuk obat kelompok A,
B, dan C
8. Menyajikan data dalam bentuk grafik (Quick, dkk., 1997).
I. Keterangan Empiris
Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mendapatkan data perencanaan
dan pengadaan sediaan farmasi di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan penyakit
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan
studi kasus yang bersifat retrospektif. Disebut penelitian non eksperimental karena
pada penelitian ini dilakukan observasi terhadap variabel subjek menurut keadaan
apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Pratiknya, 1993).
Berdasarkan bidang ilmu, penelitian ini merupakan penelitian klinis komunitas,
mata kuliah yang terkait meliputi Manajemen Farmasi dan Manajemen Logistik
Sediaan Farmasi.
B. Definisi Operasional
1. Puskesmas yang dianalisis dalam penelitian ini adalah Puskesmas di
Kabupaten Bantul dengan pola penyakit utama yang sama, yaitu nasofaringitis
akut dan myalgia dengan total persentase kedua penyakit tersebut lebih dari
35%. Puskesmas tersebut adalah Puskesmas Banguntapan 3, Pleret, Imogiri 1,
dan Piyungan.
2. Nilai pakai adalah nilai yang diberikan kepada suatu sediaan berdasar jumlah
pengeluaran sediaan tersebut pada periode 2009. Nilai A diberikan kepada
sediaan dengan pemakaian terbanyak yang mendominasi 80% dari total
seluruh pemakaian. Nilai B diberikan kepada sediaan dengan pemakaian
Nilai C diberikan kepada sediaan dengan pemakaian rendah yang memiliki
nilai kekuatan gabungan sebesar 5% dari total seluruh pemakaian.
3. Nilai pakai diperoleh dari data jumlah pemakaian obat di Puskesmas yang
tercantum dalam LPLPO tahun 2009.
4. Nilai investasi adalah nilai yang diberikan pada suatu sediaan yang diperoleh
dari jumlah pengeluaran suatu sediaan dikali harga sediaan tersebut pada
periode 2009. Nilai A diberikan kepada sediaan dengan nilai investasi
tertinggi yang mendominasi 80% dari total seluruh nilai investasi. Nilai B
diberikan kepada sediaan dengan nilai investasi sedang yang memiliki
kekuatan gabungan sebesar 15% dari total seluruh nilai investasi. Nilai C
diberikan kepada sediaan dengan nilai investasi rendah yang hanya memiliki
kekuatan gabungan sebesar 5% dari total nilai investasi.
5. Nilai investasi diperoleh dari Daftar Perincian Persediaan Obat Posisi Tanggal
31 Desember 2009 Gudang Farmasi Kabupaten Bantul dengan harga yang
paling tinggi yang tertera pada daftar sediaan farmasi Pelayanan Kesehatan
Dasar (PKD), Asuransi Kesehatan (ASKES), Keluarga Miskin (GAKIN),
Retribusi, Bantuan, Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M), dan
harga obat generik SK Menkes 2010.
6. Nilai indeks kritis diperoleh dari penggabungan skor Pareto nilai pakai dan
Pareto nilai investasi sediaan farmasi di setiap Puskesmas 2009. Nilai A
diberikan untuk sediaan yang memiliki nilai indeks kritis 4,67 – 6, nilai B
diberikan untuk sediaan yang memiliki nilai indeks kritis 3,34 – 4,66, dan nilai
21
7. Kriteria inklusi: sediaan farmasi yang disediakan oleh Gudang Farmasi
Kabupaten Bantul pada periode 2009.
8. Kriteria eksklusi: sediaan farmasi yang merupakan sediaan farmasi bantuan
gempa, sediaan farmasi yang dibeli langsung oleh Puskesmas yang
bersangkutan, dan sediaan farmasi yang tidak diketahui harganya. Daftar nama
sediaan yang termasuk dalam kriteria eksklusi tercantum pada Lampiran 1.
9. Periode 2009 dimulai pada tanggal 1 Januari 2009 dan berakhir pada tanggal
31 Desember 2009.
10.LPLPO (Laporan Pemakaian Lembar Permintaan Obat) adalah formulir yang
lazim digunakan di unit pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah sediaan farmasi di Puskesmas Kabupaten
Bantul dengan penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia yang tercantum
dalam LPLPO (Laporan Pemakaian Lembar Permintaan Obat) periode 2009.
Kriteria inklusi subjek adalah sediaan farmasi Puskesmas dengan peringkat
pertama penyakit yang ditangani pada tahun 2009 nasofaringitis akut dan
peringkat keduanya myalgia, dengan total persentase kedua penyakit tersebut
lebih dari 35%. Terdapat 4 LPLPO Puskesmas yang diteliti, yaitu LPLPO
Puskesmas Banguntapan 3, Pleret, Imogiri 1, dan Piyungan. Kriteria eksklusi
subjek adalah sediaan farmasi yang berupa bantuan dan yang tidak diketahui
D. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. LPLPO (Laporan Pemakaian Lembar Permintaan Obat).
2. Daftar Perincian Persediaan Obat Posisi Tanggal 31 Desember 2009 Gudang
Farmasi Kabupaten Bantul.
3. SK Menkes 2010.
4. Kalkulator sebagai alat hitung.
5. Program komputer.
E. Lokasi Penelitian
Lokasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Gudang Farmasi
Kabupaten Bantul yang terletak di Jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Bantul.
F. Jalannya Penelitian
Kabupaten Bantul memiliki 27 Puskesmas yang tersebar di seluruh
wilayah Bantul yang terdiri dari 16 Puskesmas rawat jalan dan sebelas Puskesmas
rawat inap. Masing-masing Puskesmas memberikan Laporan Penyakit Bulanan ke
Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Dari Laporan Penyakit Bulanan tersebut,
Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul membuat peringkat sepuluh besar penyakit
utama yang ada di masing-masing Puskesmas. Dari 27 Puskesmas terdapat
beberapa Puskesmas yang memiliki peringkat penyakit urutan pertama dan kedua
23
Di Kabupaten Bantul terdapat sembilan Puskesmas dengan peringkat
penyakit pertama nasofaringitis akut dan peringkat keduanya hipertensi primer
dengan total persentase kedua penyakit tersebut lebih dari 35%. Empat Puskesmas
memiliki pola penyakit yang sama, yaitu nasofaringitis akut di peringkat pertama,
dan myalgia di peringkat kedua dengan total persentase kedua penyakit tersebut
adalah lebih dari 35%. Terdapat tiga Puskesmas dengan nasofaringitis akut di
peringkat pertama dan influenza di peringkat kedua dengan total persentase kedua
penyakit tersebut lebih dari 35%. Karena terdapat tiga jenis Puskesmas dengan
pola penyakit yang sama, maka dilakukan tiga penelitian untuk ketiga jenis
Puskesmas tersebut yang dilakukan oleh tiga orang peneliti. Dalam hal ini,
peneliti melakukan penelitian terhadap empat Puskesmas yang memiliki pola
penyakit nasofaringitis akut di peringkat pertama dan myalgia di peringkat kedua.
Keempat Puskesmas tersebut adalah Puskesmas Banguntapan 3, Pleret, Imogiri 1,
dan Piyungan. Empat Puskesmas tersebut kemudian dijadikan subjek uji untuk
penelitian ini.
Data sediaan farmasi diperoleh dari data pemakaian obat Puskesmas di
Kabupaten Bantul dengan penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia dalam
format LPLPO periode 2009 dan daftar harga sediaan yang diperoleh dari Gudang
Farmasi Kabupaten Bantul. Dari data pemakaian obat tersebut kemudian
dilakukan pengkategorian obat berdasar konsep Pareto. Setelah itu dilakukan
analisis indeks kritis dengan manggabungkan pareto nilai pakai dan pareto nilai
investasi. Berdasarkan analisis indeks kritis yang telah diperoleh, kemudian
utama nasofaringitis akut dan myalgia. Sediaan yang menjadi prioritas adalah
sediaan yang masuk dalam kelompok A nilai indeks kritis di Puskesmas
Banguntapan 3, Imogiri 1, Piyungan, dan Pleret.
G. Analisis Data
1. Analisis Pareto ABC
a. Analisis ABC nilai pakai
Seluruh sediaan dihitung jumlah pemakaiannya dalam satu tahun.
Kemudian sediaan diurutkan dari jumlah pemakaian paling banyak hingga jumlah
pemakaian paling sedikit. Dari urutan data tersebut kemudian dibuat klasifikasi
sediaan sesuai jumlah pemakaiannya menjadi kelompok ANP, BNP, dan CNP
berdasarkan persentase kumulatif 80%, 15%, dan 5%. Sediaan yang sudah
diklasifikasikan kemudian diberi skor 3 untuk sediaan yang masuk dalam
kelompok ANP, 2 untuk kelompok BNP, dan 1 untuk kelompok CNP. Berikut rumus
perhitungannya:
% Σ Χ 100%
Keterangan:
%NP : % pemakaian sediaan
p : jumlah pemakaian sediaan dalam 1 tahun
∑p : jumlah seluruh pemakaian sediaan
Setelah diketahui nilai pakai sediaan farmasi di tiap Puskesmas, maka
dilakukan pendataan nilai pakai sediaan farmasi yang merupakan sediaan untuk
25
tahun 2007 dan obat lain yang mendukung berdasarkan Drug Information
Handbook dan Handbook of Non Prescription Drug.
b. Analisis ABC nilai investasi
Seluruh sediaan didata jumlah pemakaian dan harga satuannya.
Kemudian dihitung nilai investasi dengan cara mengalikan jumlah pemakaian
setiap sediaan dengan harga satuan masing-masing sediaan. Sediaan kemudian
diurutkan dari yang nilai investasinya paling tinggi ke yang paling rendah dan
diklasifikasikan menjadi kelompok ANI, BNI, dan CNI berdasarkan persentase
kumulatif 80%, 15%, dan 5%. Sediaan yang sudah diklasifikasikan kemudian
diberi skor 3 untuk sediaan yang masuk dalam kelompok ANP, 2 untuk kelompok
BNP, dan 1 untuk kelompok CNP. Berikut rumus perhitungannya:
Keterangan:
NI : nilai investasi
p : jumlah pemakaian
h : harga satuan
% ∑ 100%
Keterangan:
%NI : persen nilai investasi
NI : nilai investasi masing-masing sediaan
∑NI : jumlah nilai investasi seluruh sediaan
Setelah diketahui nilai investasi sediaan farmasi di tiap Puskesmas, maka
dilakukan pendataan nilai investasi sediaan farmasi yang merupakan sediaan
Puskesmas tahun 2007 dan obat lain yang mendukung berdasarkan Drug
Information Handbook dan Handbook of Non Prescription Drug.
2. Analisis ABC indeks kritis
Analisis ABC indeks kritis dilakukan dengan menjumlah skor nilai pakai
dan nilai investasi masing-masing sediaan dengan rumus berikut:
Keterangan:
NIK : nilai indeks kritis Snp : skor nilai pakai Sni : skor nilai investasi
Dari hasil perhitungan tersebut kemudian sediaan diurutkan dari nilai
indeks kritis paling besar ke yang paling kecil dan diklasifikasikan menjadi
kelompok ANIK, BNIK, dan CNIK berdasarkan hasil penjumlahan antara skor nilai
pakai dan nilai investasi. Untuk nilai pakai dan nilai investasi dengan skor A
dikonversikan menjadi 3, skor B menjadi 2, dan skor C menjadi 1, jadi range skor
yang didapat adalah 2-6. Sediaan akan dikategorikan menjdai 3 kelompok,
sehingga perlu dilakukan penghitungan range untuk masing-masing kelompok
dengan cara sebagai berikut:
Jadi range skor yang diperoleh adalah:
6 2 3
4
27
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka sediaan dengan skor 2 - 3,33 masuk
dalam kelompok CNIK, sediaan dengan skor 3,34 – 4,66 masuk dalam kelompok
BNIK, dan sediaan dengan skor 4,67 – 6 masuk dalam kelompok ANIK.
Setelah diketahui nilai indeks kritis sediaan farmasi di tiap Puskesmas,
maka dilakukan pendataan nilai indeks kritis sediaan farmasi yang merupakan
sediaan untuk nasofaringitis akut dan myalgia berdasarkan Pedoman Pengobatan
di Puskesmas tahun 2007 dan obat lain yang mendukung berdasarkan Drug
Information Handbook dan Handbook of Non Prescription Drug.
3. Analisis prioritas sediaan farmasi di Puskesmas dengan penyakit utama
nasofaringitis akut dan myalgia
Pada analisis ini dilakukan dengan mendata seluruh sediaan farmasi yang
masuk dalam kriteria ANIK di masing-masing Puskesmas. Sediaan tersebut
kemudian didata kelompok Pareto indeks kritisnya di Puskesmas lain dengan
penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia. Setelah diperoleh data kelompok
nilai indeks kritis sediaan di masing-masing Puskesmas kemudian sediaan yang
masuk dalam ANIK diberi skor 3, BNIK diberi skor 2, dan CNIK diberi skor 1,
sehingga diperoleh range skor untuk tiap sediaan adalah 3-12. Skor tersebut
kemudian diurutkan dari skor tertinggi ke terendah. Dari seluruh sediaan akan
dipisahkan menjadi 3 kelompok, untuk itu perlu dilakukan penghitungan range
Jadi range skor yang diperoleh adalah:
12 3 3
9 3 3
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka kelompok C adalah sediaan dengan skor
3-6, kelompok B adalah sediaan dengan skor 7-9, dan kelompok A adalah sediaan
dengan skor 10-12. Sediaan yang menjadi prioritas di Puskesmas dengan penyakit
utama nasofaringitis akut dan myalgia adalah sediaan yang masuk dalam
kelompok ANIK di 4 Puskesmas.
H. Kesulitan Penelitian
Pada penelitian ini, kesulitan yang dihadapi peneliti terjadi pada saat
pengambilan data karena ada beberapa nama sediaan yang salah tulis pada
LPLPO. Hal ini mengakibatkan penulis harus melakukan pengecekan ulang nama
sediaan tersebut ke Gudang Farmasi Kabupaten Bantul. Selain itu juga adanya
beberapa obat bantuan gempa yang tidak diadakan oleh Gudang Farmasi
Kabupaten Bantul sehingga peneliti harus memisahkan sediaan tersebut dan
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian sediaan farmasi berdasarkan Pareto ABC di Puskesmas
Kabupaten Bantul dengan penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia periode
2009 merupakan penelitian dengan menggunakan hukum Pareto dalam
perhitungannya. Disebut metode ABC indeks kritis karena analisis ini dilakukan
dengan menggabungkan antara Pareto ABC nilai pakai dan Pareto ABC nilai
investasi. Pada penelitian ini digunakan metode ABC indeks kritis karena metode
ini merupakan metode yang cukup sederhana untuk menggambarkan pengelolaan
sediaan farmasi yang efektif dan efisien. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui
nilai indeks kritis sediaan farmasi pada periode 2009. Untuk mendapatkan nilai
indeks kritis ini dilakukan perhitungan nilai pakai dan nilai investasi
masing-masing sediaan.
A. Analisis Pareto ABC
1. Analisis ABC Nilai Pakai
Untuk mengetahui nilai pakai sediaan farmasi tiap Puskesmas, yang
dilakukan adalah mendata seluruh sediaan farmasi yang diadakan di tiap
Puskesmas periode 2009. Dari data sediaan tersebut kemudian dilakukan
pendataan jumlah pemakaian tiap item sediaan, dibuat persentase pemakaian tiap
item obat, dan diurutkan dari persentase pemakaian tertinggi hingga terendah.
berdasarkan persentase pemakaiannya. Sediaan kemudian dikelompokkan
menjadi 3 kelompok. Kelompok A merupakan sediaan dengan pemakaian
terbanyak yang mendominasi 80% dari total seluruh pemakaian dan diberi nilai 3.
Kelompok B adalah sediaan dengan pemakaian sedang yang memiliki kekuatan
gabungan 15% dari total seluruh pemakaian dan diberi nilai 2. Kelompok C
adalah sediaan dengan pemakaian rendah yang memiliki nilai kekuatan gabungan
sebesar 5% dari total seluruh pemakaian dan diberi nilai 1.
Setiap Puskesmas memiliki jenis item sediaan yang berbeda-beda, hal ini
dikarenakan item yang diadakan di setiap Puskesmas bergantung dari pola
konsumsi sediaan di Puskesmas tersebut. Adanya veriasi jenis obat obat yang
diresepkan oleh dokter dapat mempengaruhi jenis item di tiap Puskesmas.
Tabel III. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Banguntapan 3 Berdasarkan Nilai Pakai Periode 2009
Kelompok
Jumlah item sediaan farmasi
Persentase jumlah item per kelompok
(%)
Jumlah pemakaian per
kelompok
Persentase jumlah pemakaian per kelompok (%)
ANP 21 13,46 396.125 79,24
BNP 25 16,03 78.339 15,67
CNP 119 70,51 25.461 5,09
Total 156 100,00 499.925 100,00
Total sediaan farmasi Puskesmas Banguntapan 3 periode 2009 adalah
sebanyak 156 item. Dari 156 item tersebut terdapat 21 item yang masuk dalam
kelompok A atau 13,46% dari total item sediaan farmasi yang ada dengan jumlah
pemakaian sebanyak 396.125 atau sebanyak 79,24% dari jumlah total pemakaian
sediaan farmasi. Sediaan yang masuk dalam kelompok B adalah sebanyak 25 item
31
78.339 atau sebanyak 15,67% dari jumlah total pemakaian sediaan farmasi.
Sedangkan sediaan yang masuk dalam kelompok C adalah sebanyak 110 item
atau 70,51% dari total item sediaan dengan jumlah pemakaian sebanyak 25.461
atau 5,09% dari jumlah total pemakaian sediaan.
Tabel IV. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Imogiri I Berdasarkan Nilai Pakai Periode 2009
Kelompok Jumlah item sediaan farmasi
Persentase jumlah item per kelompok
(%)
Jumlah pemakaian per
kelompok
Persentase jumlah pemakaian per kelompok (%)
ANP 27 14,52 628.324 79,38
BNP 33 17,74 122.308 15,45
CNP 126 67,74 40.900 5,17
Total 186 100,00 791.532 100,00
Di Puskesmas Imogiri 1 terdapat 186 item. Terdapat 27 item yang masuk
kelompok A atau 14,52% dari total item sediaan farmasi yang ada dengan jumlah
pemakaian sebanyak 628.324 atau sebanyak 79,38% dari jumlah total pemakaian
sediaan farmasi. Sediaan yang masuk dalam kelompok B adalah sebanyak 33 item
atau 17,74% dari total item sediaan yang ada dengan jumlah pemakaian sebanyak
122.308 atau sebanyak 15,45% dari jumlah total pemakaian sediaan farmasi.
Sedangkan sediaan yang masuk dalam kelompok C adalah sebanyak 126 item
atau 67,74% dari total item sediaan dengan jumlah pemakaian sebanyak 40.900
atau 5,17% dari jumlah total pemakaian sediaan.
Tabel V. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Piyungan Berdasarkan Nilai Pakai Periode 2009
Kelompok Jumlah item sediaan farmasi
Persentase jumlah item per kelompok
(%)
Jumlah pemakaian per
kelompok
Persentase jumlah pemakaian per kelompok (%)
ANP 17 9,40 633.490 79,98
BNP 26 14,36 118.177 14,92
CNP 138 76,24 40.422 5,10
TOTAL 181 100,00 792.089 100,00
Pada periode 2009 terdapat 181 item sediaan farmasi di Puskesmas
Piyungan. Dari 181 item tersebut terdapat 17 item yang masuk dalam kelompok A
atau 9,40% dari total item sediaan farmasi yang ada dengan jumlah pemakaian
sebanyak 633.490 atau sebanyak 79,98% dari jumlah total pemakaian sediaan
farmasi. Sediaan yang masuk dalam kelompok B adalah sebanyak 26 item atau
14,36% dari total item sediaan yang ada dengan jumlah pemakaian sebanyak
118.117 atau sebanyak 14,92% dari jumlah total pemakaian sediaan farmasi.
Sedangkan sediaan yang masuk dalam kelompok C adalah sebanyak 138 item
atau 76,24% dari total item sediaan dengan jumlah pemakaian sebanyak 40.422
atau 5,10% dari jumlah total pemakaian sediaan.
Tabel VI. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Pleret Berdasarkan Nilai Pakai Periode 2009
Kelompok Jumlah item sediaan farmasi
Persentase jumlah item per kelompok
(%)
Jumlah pemakaian per
kelompok
Persentase jumlah pemakaian per kelompok (%)
ANP 23 13,69 697.027 78,80
BNP 25 14,88 141.100 15,95
CNP 120 71,43 46.393 5,25
33
Total sediaan farmasi Puskesmas Pleret periode 2009 adalah sebanyak
168 item. Terdapat 23 item yang masuk dalam kelompok A atau 13,69% dari total
item sediaan farmasi yang ada dengan jumlah pemakaian sebanyak 697.027 atau
sebanyak 78,80% dari jumlah total pemakaian sediaan farmasi. Sediaan yang
masuk dalam kelompok B adalah sebanyak 25 item atau 14,88% dari total item
sediaan yang ada dengan jumlah pemakaian sebanyak 141.100 atau sebanyak
15,95% dari jumlah total pemakaian sediaan farmasi. Sedangkan sediaan yang
masuk dalam kelompok C adalah sebanyak 120 item atau 71,43% dari total item
sediaan dengan jumlah pemakaian sebanyak 46.393 atau 5,25% dari jumlah total
pemakaian sediaan.
Sediaan yang masuk dalam kelompok A merupakan sediaan yang sering
digunakan. Sediaan yang masuk dalam kelompok B adalah sediaan dengan
pemakaian sedang. Sedangkan sediaan yang masuk dalam kelompok C adalah
sediaan dengan pemakaian rendah. Oleh sebab itu, sediaan yang masuk dalam
kelompok A perlu dilakukan pengawasan yang ketat agar jangan sampai terjadi
kekosongan sediaan, sedangkan sediaan yang masuk dalam kelompok C perlu
dilakukan pengendalian sediaan sehingga jumlah sediaan tidak terlalu berlebih
untuk menghindari kerugian akibat sediaan yang kadaluwarsa dan tingginya biaya
penyimpanan.
Profil nilai pakai sediaan farmasi di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan
Gambar 1. Diagram Batang Jumlah Item dan Persentase Jumlah Pemakaian Berdasarkan Analisis ABC Nilai Pakai Sediaan Farmasi di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan Penyakit Utama Nasofaringitis Akut dan Myalgia Periode 2009
Berdasarkan Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007,
penatalaksanaan untuk pengobatan nasofaringitis akut adalah parasetamol 500mg
3 kali sehari atau asetosal 300-500 mg 3 kali sehari untuk mengurangi demam dan
nyeri. Untuk anak, dosis parasetamol yang digunakan adalah 10mg/ kg BB 3-4
kali sehari (Tambunan, dkk., 2008).
Berdasarkan Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007, terdapat
lima macam sediaan terkait nasofaringitis akut yang disediakan oleh Gudang
Farmasi Kabupaten Bantul. Ada tiga bentuk sediaan parasetamol, yaitu
parasetamol 500 mg, parasetamol 100 mg, dan parasetamol syrup, serta terdapat
dua bentuk sediaan asetosal, yaitu asetosal 500 mg dan asetosal 100 mg. Di 17 27 21 23 26 33 25 25 138 126 119 120
A B C
Banguntapan 3 79.24% 15.67% 5.09%
Imogiri 1 79.38% 15.45% 5.17%
Piyungan 79.98% 14.92% 5.10%
Pleret 78.80% 15.95% 5.25%
0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% 80.00% 90.00% % ju mlah pema k a ia n per kel o mp ok
35
Puskesmas Banguntapan 3 tidak terdapat sediaan parasetamol 100 mg, dan di
Puskesmas Pleret tidak terdapat sediaan asetosal 100 mg. Sediaan asetosal 500 mg
terdapat diseluruh Puskesmas, akan tetapi selama periode 2009, sediaan tersebut
tidak pernah digunakan di Puskesmas Piyungan.
Tabel VII. Nilai Pakai Sediaan Untuk Terapi Nasofaringitis Akut di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan Penyakit Utama Nasofaringitis Akut
dan Myalgia Periode 2009
NO Nama Obat Nilai Pakai
BTP 3 IMG 1 PLR PYG TOTAL
1 Parasetamol 500 mg 22542 A 31415 A 27300 A 57378 A 138635 2 Parasetamol 100 mg - - 9211 B 4940 B 175 C 14326 3 Asetosal 500 mg 1144 C 490 C 11210 A 0 C 11814 4 Parasetamol syrup 261 C 451 C 597 C 690 C 1999
5 Asetosal 100 mg 200 C 194 C - - 100 C 494
Keterangan:
BTP 3 : Puskesmas Banguntapan 3 IMG 1 : Puskesmas Imogiri 1 PLR : Puskesmas Pleret PYG : Puskesmas Piyungan
Berdasarkan jumlah pemakaiannya, tablet parasetamol 500 mg masuk
dalam kategori ANP di seluruh Puskesmas subjek uji dan merupakan sediaan
dengan jumlah pemakaian terbanyak, yaitu sebanyak 138.635 item. Hal ini
menunjukkan bahwa parasetamol 500 mg merupakan sediaan yang sering
digunakan dalam terapi, terutama terapi nasofaringitis akut. Berdasarkan analisis
nilai pakai sediaan untuk terapi nasofaringitis akut dapat disimpulkan bahwa
tablet parasetamol 500 mg harus selalu disediakan di Puskesmas dengan pola
penyakit utama nasofaringitis akut dan myalgia dan perlu dilakukan kontrol yang
ketat agar jangan sampai terjadi kekosongan stok. Walaupun masuk dalam
kategori C, sediaan sirup parasetamol perlu disediakan karena bentuk sediaan
parasetamol untuk periode berikutnya perlu dilakukan pengendalian agar jumlah
yang disediakan tidak terlalu berlebih.
Apabila penatalaksanaan terapi nasofaringitis akut adalah 3x sehari
selama 5 hari, maka rata-rata pemberian tablet parasetamol 500 mg dan asetosal
500 mg adalah sebanyak 15 tablet. Dengan asumsi bahwa parasetamol dan
asetosal hanya digunakan untuk terapi nasofaringitis akut, maka jumlah pasien
nasofaringitis akut di Puskesmas subjek uji yang menggunakan parasetamol 500
mg adalah sebanyak 9.242 pasien dan pengguna asetosal 500 mg adalah sebanyak
788 pasien. Untuk sediaan parasetamol 100mg, parasetamol sirup, dan asetosal
100 mg kemungkinan digunakan untuk terapi pada anak-anak dimana dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien.
Berdasarkan Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas, analgesik dan
NSAID yang dianjurkan untuk penatalaksanaan artritis adalah asetosal 1 gram
(3x1 hari), fenilbutason 200 mg (3x1 hari), atau ibuprofen 400 mg (3x1 hari)
(Tambunan,2008).
Tabel VIII. Nilai Pakai Sediaan Untuk Terapi Myalgia di Puskesmas Kabupaten Bantul dengan Penyakit Utama Nasofaringitis Akut dan Myalgia
Periode 2009
NO Nama Obat Nilai Pakai
BTP 3 IMG 1 PLR PYG TOTAL
1 Ibuprofen 400 mg 5174 B 9120 A 5060 B 4672 B 24026 2 Asetosal 500 mg 114 C 490 C 11210 B 0 C 11814
Keterangan:
37
Di Gudang Farmasi Kabupaten Bantul, terdapat 2 bentuk sediaan terkait
penatalaksanaan terapi myalgia, yaitu ibuprofen 400 mg dan asetosal 500 mg. Di
Puskesmas Imogiri 1, ibuprofen 400 mg masuk dalam kelompok ANP, sedangkan
di Puskesmaa lain Ibuprofen masuk dalam kelompok BNP. Asetosal 500 mg masuk
dalam kategori CNP di Puskesmas Banguntapan 3, Imogiri 1, dan Piyungan. Di
Puskesmas Pleret, asetosal 500 mg masuk dalam kategori BNP. Sediaan yang
paling banyak digunakan adalah ibuprofen 400 mg, dengan total pemakaian
sebanyak 24.026 item.
Apabila penatalaksanaan terapi myalgia adalah 3x sehari selama 3 hari,
maka rata-rata pemberian tablet ibuprofen 400 mg dan asetosal 500 mg adalah
sebanyak 9 tablet. Dengan asumsi bahwa ibuprofen 400 mg dan asetosal 500 mg
hanya digunakan untuk terapi myalgia, maka dapat diperkirakan jumlah penderita
myalgia di Puskesmas subjek uji yang menggunakan ibuprofen sebanyak 2.670
pasien dan yang menggunakan asetosal sebanyak 656 pasien.
2. Analisis ABC Nilai Investasi
Datayang diperlukan untuk analisis nilai investai ini adalah data jumlah
pemakaian sediaan dan harga sediaan. Harga sediaan diperoleh dari Daftar
Perincian Persediaan Obat posisi tanggal 31 Desember 2009 Gudang Farmasi
Kabupaten Bantul dengan harga yang paling tinggi yang tertera pada daftar
sediaan farmasi di PKD, ASKES, GAKIN, Retribusi, Bantuan, Program P2N, dan
Analisis ABC Nilai Investasi dihitung dengan cara mengalikan jumlah
pemakaian tiap item sediaan dengan harga tiap item. Nilai investasi yang telah
diperoleh kemudian diurutkan dari nilai tertinggi ke terendah dan dibuat
persentase nilai investasi tiap item. Sediaan dikelompokkan menjadi 3 kelompok.
Kelompok A adalah sediaan farmasi dengan nilai investasi tertinggi yang
mendominasi 80% dari total seluruh investasi dan diberi nilai 3. Kelompok B
diberikan kepada sediaan dengan nilai investasi sedang yang memiliki kekuatan
gabungan 15% dari total seluruh nilai investasi dan diberi nilai 2. Kelompok C
diberikan kepada sediaan dengan nilai investasi rendah yang memiliki nilai
kekuatan gabungan sebesar 5% dari total seluruh pemakaian dan diberi nilai 1.
Tabel IX. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Banguntapan 3 Berdasarkan Nilai Investasi Periode 2009
Kelompok
Jumlah item sediaan farmasi
Persentase jumlah item per kelompok
(%)
Jumlah investasi
(rupiah)
Persentase investasi (%)
ANI 32 20,51 75.545.710,87 79,44
BNI 41 26,28 14.711.489,72 15,47
CNI 83 53,21 4.841.246,72 5,09
Total 156 100,00 95.098.446,72 100,00
Pada periode 2009, di Puskesmas Banguntapan 3, dari 156 sediaan
terdapat 20,51% sediaan yang masuk dalam kelompok ANI dengan jumlah
investasi sebanyak Rp 75.545.710,87. Sediaan yang masuk dalam kelompok BNI
adalah sebesar 26,28% sediaan dengan nilai investasi sebesar Rp 14.711.489,72
dan untuk kelompok CNI terdapat 53,21% sediaan dengan nilai investasi sebesar
Rp 4.841.246,72 dengan total nilai investasi sediaan farmasi di Puskesmas
39
Distribusi persediaan ABC menurut nilai investasi mengikuti hukum
Pareto yang menyatakan bahwa kurang lebih 20% dari total persediaan dengan
biaya total persediaan 70%-80% dan dikategorikan menjadi kelompok A.
Persediaan kelompok B berisi 30% dari total persediaan dengan biaya total
persediaan 15%-20%. Persediaan tipe C berisi 50% dari total item dengan biaya
total persediaan 5%. Distribusi sediaan farmasi di Puskesmas Banguntapan 3
dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Grafik Distribusi Persediaan Berdasarkan Analisis Nilai Investasi di Puskesmas Banguntapan 3 Periode 2009
Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa dengan nilai investasi sebesar 20,51%
yang termasuk dalam kelompok A sudah dapat memberikan dampak sebesar 80%
dari total investasi. Untuk kelompok B dengan nilai investasi sebesar 26,28%
telah memberikan dampak sebesar 15% dari total investasi. Sedangkan sisanya,
80% dari
nilai total
5% dari
nilai total 15% dari
nilai total
0, 0
20.51, 79.44
46.79, 94.91
100, 100
0 20 40 60 80 100 120
0 20 40 60 80 100 120
%
nila
i
rupiah
% nilai investasi
yaitu 46,79% - 100,00% yang termasuk dalam kelompok C memberikan dampak
sebesar 5%.
Di Puskesmas Imogiri 1 pada periode 2009 terdapat 186 sediaan dengan
nilai investasi sebesar Rp 161.712.316,27. Terdapat 17,74% sediaan dengan nilai
investasi sebesar Rp 113.881.821,33 masuk dalam kelompok ANI, sebanyak
22,04% sediaan dengan nilai investasi sebesar Rp 31.952.255,91 masuk dalam
kelompok BNI, dan 60,22% sediaan dengan nilai investasi sebesar
Rp 15.878.239,03 masuk dalam kelompok CNI. Berdasarkan analisis nilai
investasi, persentase jumlah item yang masuk dalam kelompok ANI, BNI, dan CNi
belum sesuai dengan konsep Pareto.
Tabel X. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Imogiri 1 Berdasarkan Nilai Investasi Periode 2009
Kelompok
Jumlah item sediaan farmasi
Persentase jumlah item per kelompok
(%)
Jumlah investasi
(rupiah)
Persentase investasi (%)
ANI 48 25,81 128.757.725,20 79,62
BNI 47 25,27 24.748.623,92 15,30
CNI 91 48,92 8.205.967,15 5,08
41
Gambar 3. Grafik Distribusi Persediaan Berdasarkan Analisis Nilai Investasi di Puskesmas Imogiri 1 Periode 2009
Di Puskesmas Imogiri 1, nilai investasi sebesar 25,81% memberikan
dampak sebesar 80% dari total investasi. Nilai investasi di kelompok B sebesar
25,27% dapat memberi dampak sebesar 15% dari total investasi, dan sediaan di
kelompok C, yaitu 51,08% - 100,00% memberi dampak sebesar 5% dari total
investasi. Hal ini dapat dilihat pada gambar 3.
Terdapat 181 sediaan dengan nilai investasi sebesar Rp 148.374.285,16
di Puskesmas Piyungan periode 2009. Terdapat 18,78% sediaan dengan nilai
investasi sebesar Rp 117.884.294,97 masuk dalam kelompok ANI, sebanyak
22,10% sediaan dengan nilai investasi sebesar Rp 22.852.795,77 masuk dalam
kelompok BNI, dan 59,12% sediaan dengan nilai investasi sebesar
Rp 7.637.194,42 masuk dalam kelompok CNI.
15% dari
nilai total
80% dari
nilai total
5% dari
nilai total
0, 0
25.81, 79.62
51.08, 94.92
100, 100
0 20 40 60 80 100 120
0 20 40 60 80 100 120
%
nil
a
i
rupi
a
h
% nilai investasi
Tabel XI. Pengelompokan Sediaan Farmasi Puskesmas Piyungan Berdasarkan Nilai Investasi Periode 2009
Kelompok