FEMINISME TOKOH PEREMPUAN DALAM KUMPULAN CERPEN
MEREKA BILANG, SAYA MONYET! KARYA DJENAR MAESA AYU
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Disusun oleh:
Oktavianus Rendi
061224042
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
FEMINISME TOKOH PEREMPUAN DALAM KUMPULAN CERPEN
MEREKA BILANG, SAYA MONYET! KARYA DJENAR MAESA AYU
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Disusun oleh:
Oktavianus Rendi
061224042
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iii
Yogyakarta, 5 September 2011
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Teriring syukur dan terimakasih penulis persembahkan skripsi ini
kepada :
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria
yang telah menciptakan, mencurahkan rahmat, kasih dan
penyelenggaraanNya dalam hidupku.
Kedua orangtuaku F. Mingguk dan Sesilia Yatik
atas segala kerendahan hati mendidik, mengarahkan, dan atas
segala cinta serta kasih sayang yang tiada henti-hentinya dalam
hidupku.
Adik-adikku Agnelus Riki dan Sebrianus Tri Hartadi
v
MOTTO
Whit the great power come the great responsibility
(Spidermen I)
Setiap kali ada hal yang sulit menantang dan menimpaku,
Itu menandai awal era baru dalam hidupku
(Kimbely Kirberger)
Sebetulnya hidup ini sangat sederhana; tetapi kita merumitkannya
dengan rencana yang tidak kita laksanakan, dengan janji yang tidak
kita penuhi, dengan kewajiban yang kita lalaikan, dan dengan
larangan yang kita langgar.
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 5 September 2011 Yang menyatakan,
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Oktavianus Rendi
NIM : 061224042
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul
Feminisme Tokoh Perempuan dalam Kumpulan Cerpen Mereka Bilang, Saya
Monyet! Karya Djenar Maesa Ayu
Beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolannya dalam bentuk pangkalan data, mendidtribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 5 September 2011 Yang menyatakan,
viii
ABSTRAK
Rendi, Oktavianus. 2011. Feminisme Tokoh Perempuan dalam Kumpulan Cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! Karya Djenar Maesa Ayu. Skripsi. Yogyakarta : PBSID, FKIP, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji feminisme tokoh perempuan dalam kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu. Ada dua tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu (1) mendeskripsikan tokoh, penokohan, latar dan tema dalam kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet!
karya Djenar Maesa Ayu, dan (2) mendeskripsikan feminisme tokoh perempuan dalam kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena wujud data penelitian ini berupa kata-kata, bukan angka-angka. Penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif. Dalam penelitian deskriptif, data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka. Dalam konteks ini, bahan-bahan tertulis yang dimaksud adalah kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua teknik yaitu teknik simak dan teknik catat. Sedangkan instrumen penelitiannya adalah peneliti sendiri.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tokoh dalam kumpulan cerpen
Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu terlibat dalam tema yang mengandung nilai feminisme. Diantaranya yaitu saya (monyet), Maha dan Ibu, serta Mayra. Saya (monyet), Maha dan Mayra merupakan tokoh utama dalam kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu. Latar dalam kumpulan cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Tema besar dalam kumpulan cerpen ini adalah tentang feminisme yang mencakup kekerasan terhadap perempuan, anak yang kurang mendapat perhatian dari orangtuanya, tema seks, dan kemunafikan. Dalam kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu penulis menemukan lima karakter feminis tokoh perempuan yaitu (1) berani melawan, (2) berani mengutarakan pendapat, (3) berani bertanya, (4) berpendidikan, dan (5) mandiri.
ix
ABSTRACT
Rendi, Oktavianus. 2011. Feminism of Women Characters in the Short Stories Compilation Mereka Bilang, Saya Monyet! (They Call Me Monkey) Written by Djenar Maesa Ayu. Thesis. Yogyakarta: PBSID, FKIP, Sanata Dharma University.
The research analyzed the feminism in the women characters in short stories compilation Mereka Bilang, Saya Monyet!(They Call Me Monkey) written by Djenar Maesa Ayu. There are two purposes to obtain in this research namely, (1) To describe the characters, characterization, setting, and theme in the short stories compilation Mereka Bilang, Saya Monyet!(They Call Me Monkey) written by Djenar Maesa Ayu. And (2) To describe the feminism in the women characters in the short stories compilation Mereka Bilang, Saya Monyet! (They Call Me Monkey) written by Djenar Maesa Ayu. It is descriptive research. The data collection included words and pictures except number. In this research, written data meant is short stories compilation Mereka Bilang, Saya Monyet! (They Call Me Monkey) written by Djenar Maesa Ayu. For finding the data, researcher used two kinds of data gathering techniques namely listening technique and writing technique. Moreover, the research instrument in this research is the researcher.
The result of the research showed that the characters in the short stories compilation Mereka Bilang, Saya Monyet! (They Call Me Monkey) written by Djenar Maesa Ayu involved in the theme, such as Me (monkey), Maha and Mother, and Mayra, contained feminism values. Me (monkey), Maha, and Mayra are the major characters in this short stories compilation Mereka Bilang, Saya Monyet! (They Call Me Monkey) written by Djenar Maesa Ayu. The settings of the short stories compilation are setting of place, time, and social. The themes of the short stories compilation are feminism about violence against women, disregarded children, gender, and hypocrite. In the short stories compilation, the researcher found feminism in five women characters namely, (1) dare to fight, (2) dare to express the idea, (3) dare to ask, (4) educated, and (5) self-manage.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan berkahNya kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi dengan judul Feminisme Tokoh Perempuan dalam Kumpulan Cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! Karya Djenar Maesa Ayu ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daesah.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan arahan serta bimbingan serta saran dari berbagai pihak, oleh karena itu sebagai ungkapan rasa syukur, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. J. Prapta Diharja, S.J, M.Hum., selaku dosen pembimbing I, yang telah banyak memberikan pengarahan, petunjuk serta saran yang sangat besar manfaatnya dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Drs. G. Sukadi, selaku dosen pembimbing II, yang telah membimbing serta mengarahkan penulis serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini.
3. Rohandi, Ph. D selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
4. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
xi
6. Staf sekretariat PBSID, yang memberikan kelancaran serta kemudahan dalam berproses menyeselaikan skripsi di prodi PBSID.
7. Kedua orangtuaku ayahnda F. Mingguk dan Ibunda Sesilia Yatik, atas doa, kasih sayang, cinta, serta dukungan dan semangat yang tiada hentinya diberikan kepada penulis dari awal perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.
8. Adikku Agnelus Riki dan Sebrianus Trihartadi, terimakasih atas dukungan dan doanya.
9. Pak De Soekatmo sekeluarga dan Om Agus sekeluarga terima kasih atas dukungan, bimbingan dan perhatiannya kepada penulis.
10.Terimakasih buat Margaretha Heri, atas motivasi, saran, dan ide-idenya. 11.Teman-temanku terkasih Panyes, Dek Anas, Rino, Mace Erni, Mace Dewi,
Tri Santoso, terima kasih atas pertemanan kita selama ini.
12.Anak-anak kos Brojowikalpo 28b, Pace Andre, Pace lui, Betu, Lito, Eman terima kasih atas kebersamaan kita selama ini.
13.Keluarga besar FKPMKS di Yogyakarta (tempat anak-anak Sintang bernaung) terima kasih atas pengalaman dan kebarsamannya kita selama merantau.
14. Teman-teman PBSID angkatan 2006, terima kasih atas kebersamaan kita selama kuliah di Universitas Sanata Dharma. Semua akan menjadi kenangan indah dan tak terlupakan.
xii
Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dan bagi para pembaca umumnya. Penulis menyadari bahwasanya skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Yogyakarta, 5 September 2011
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
1.5 Batasan Istilah ... 7
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 8
1.7 Sistematika Penyajian ... 8
BAB II LANDASAN TEORI ... 10
xiv
2.2 Kajian Teori ... 12
2.2.1 Feminisme ... 12
2.2.2 Tokoh ... 15
2.2.2.1 Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan ... 16
2.2.2.2 Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis ... 16
2.2.3 Penokohan ... 17
2.2.4 Latar ... 18
2.2.5 Tema ... 19
2.2.6 Cerita Pendek (Cerpen) ... 20
2.2.7 Kerangka Teori ... 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 23
3.1 Jenis Penelitian ... 23
3.2 Sumber Data ... 24
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 25
3.4 Instrumen Penelitian ... 25
3.5 Teknik Analisis Data ... 26
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 28
4.1 Deskripsi Data ... 28
4.1.1 Sinopsis Cerpen ... 28
4.2 Tokoh dan Penokohan ... 32
4.2.1 Tokoh dan Penokohan dalam Cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet”! ... 32
xv
4.2.3 Tokoh dan Penokohan dalam Cerpen “Melukis Jendela” 38
4.3 Latar ... 41
4.3.1 Latar dalam Cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet!” 42 4.3.2 Latar dalam Cerpen “Lintah” ... 43
4.3.3 Latar dalam Cerpen “Melukis Jendela” ... 47
4.4 Tema ... 50
4.4.1 Tema dalam Cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet!” 51 4.4.2 Tema dalam Cerpen “Lintah” ... 52
4.4.3 Tema dalam Cerpen “Melukis Jendela” ... 53
4.5 Keterkaitan Unsur Sastra dengan Feminisme ... 54
4.6 Feminisme Tokoh Perempuan dalam Kumpulan Cerpen Mereka, Bilang, Saya Monyet ... 56
4.6.1 Feminisme Tokoh Perempuan dalam Cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet”... 57
4.6.1.1 Berani Melawan ... 57
4.6.1.2 Berani Mengutarakan Pendapat ... 58
4.6.1.3 Berani Bertanya ... 59
4.6.2 Feminisme Tokoh Perempuan dalam Cerpen “Lintah” 61
4.6.2.1 Berani Melawan ... 61
4.6.2.2 Berani Mengutarakan Pendapat ... 62
4.6.2.3 Berpendidikan ... 63
xvi
4.6.3 Feminisme Tokoh Perempuan dalam Cerpen
“Melukis Jendela”... 65
4.6.3.1 Berani Melawan ... 65
4.6.3.2 Berani Mengutarakan Pendapat ... 66
4.6.3.3 Berpendidikan ... 66
BAB V PENUTUP ... 69
5.1 Kesimpulan ... 69
5.2 Implikasi ... 71
5.3 Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 73
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Berbicara tentang wanita tak terlepas dari konsep emansipasi, karena justru
hal inilah yang menjadi tema sentral perdebatan panjang selama ini. Penindasan kaum
wanita dianggap mengingkari nilai-nilai hakiki pemberian Ilahi dan merupakan
penyelewengan terhadap martabat wanita sendiri. Karena itulah muncul
gerakan-gerakan emansipasi yang meratakan persamaan hak antara pria dan wanita (Manus
dkk., 1993: 1).
Menjelang abad ke-21, gaung emansipasi, wanita karir dan wanita modern
makin menanjak pada posisi yang makin diakui dalam masyarakat, karena gerak maju
kaum wanita dewasa ini bukan hanya sekedar untuk mendapatkan persamaan
hak-haknya saja dengan kaum pria, tetapi juga dimaksudkan untuk meningkatkan
perannya baik dalam kehidupan berkeluarga maupun di dalam masyarakat dan
bangsanya (Manus Dkk., 1993: 1).
Perempuan dan laki-laki secara kodrati oleh Tuhan diciptakan berbeda,
perempuan dapat hamil dan melahirkan sementara laki-laki dapat menghamili. Dalam
sejarah umat manusia lahir budaya patriarkat ketika perempuan (karena kodratnya
melahirkan) dianggap hanya mampu berperan di sektor domestik (sekitar rumah),
sementara laki-laki didorong untuk menguasai sektor publik (di luar rumah) yang
laki-laki yang bekerja mencari nafkah manguasai uang, kekuasaan dan pengaruh
sedangkan perempuan tidak. Perempuan mengalami diskriminasi, subordinasi
(dianggap sebagai warga kelas dua), marginalisasi (peminggiran), dan kekerasan
(Gandhi & Hetty, 2010: 130-131).
Salah satu agenda kemanusiaan yang mendesak untuk segera digarap adalah
kesetaraan dalam sistem hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Hal
ini perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh karena selama ini peran perempuan
masih jauh tertinggal dari laki-laki. Ketertinggalan itu tidak dikehendaki oleh
perempuan, tetapi disisi yang lain masih banyak di antara kaum perempuan sendiri
yang tidak merasa bahwa dirinya tertinggal. Diantara banyak perempuan, konon
sejumlah perempuan lebih daripada laki-laki, hanya segelintir orang yang
memperjuangkan emansipasi perempuan pada zaman R. A. Kartini. Bahkan, pada era
feminisme pun, jumlah mereka yang menjadi feminis tidak lebih banyak daripada
yang bukan feminis (Sugihartuti &Suharto, 2010: vii).
Dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya
pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra.
Pertama, kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia
menunjukan masih didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, upaya
pemahamannya merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam
karya sastra, seperti terlihat dalam realitas sehari-hari masyarakat. Kedua, dari
resepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh
latar sosial pendidikannya, pekerjaannya, peranannya dalam masyarakat, dan
pendeknya derajat mereka sebagai bagian integral dan susunan masyarakat. Ketiga
masih adanya resepsi pembaca karya sastra Indonesia yang menunjukan bahwa
hubungan antara laki-laki dan perempuan hanyalah merupakan hubungan yang
didasarkan pada pertimbangan biologis dan sosial-ekonomis semata-mata
(Sugihartuti & Suharto, 2010: 15).
Dominasi dan otoritas terhadap perempuan bukan hanya terjadi di dunia
nyata, tetapi juga tercipta dalam karya sastra. Karya sastra merupakan tulisan yang
mengekspresikan pikiran, perasaan, dan sikap pengerang terhadap kehidupan atau
realita sosial sebagai refleksi terhadap fenomena sosial yang terjadi disekelilingnya.
Menurut Luxemburg (1989: 5) sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi,
bukan kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan
sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di alam semesta, bahkan
menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan suatu luapan emosi yang spontan.
Hakikat sastra adalah imajinasi dan kretifitas, sehingga sastra sering dikaitkan
dengan ciri-ciri tersebut. Sastra sebagai karya imajinatif. Acuan dalam sastra adalah
dunia fiksi atau imajinasi. Sastra mentransformasikan kenyataan ke dalam teks.
Sastra menyajkan dunia dalam kata, yang bukan dunia sesungguhnya, namun dunia
yang “mungkin” ada. Walaupun berbicara dengan acuan dunia fiksi, namun menurut
Max Eastman, kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya
sastra, yaitu pengetahuan sistematis yang dapat dibuktikan. Fungsi utama sastrawan
membayangkan apa yang secara konseptual nyata dan sebenarnya sudah diketahui
(Welleck & Warren, 1990: 30-31).
Cerpen merupakan salah satu karya sastra yang digunakan penggarang untuk
menggambarkan, mengekspresikan, dan mengkritik kenyataan sosial yang terjadi
disekitarnya. Hubungan antara satu orang dengan orang lain, antara perempuan dan
laki-laki dalam masyarakat juga terdapat dalam cerpen yang terrepresentasikan
dalam tokoh-tokohnya. Pengarang menceritakan bagaimana relasi antara satu tokoh
dengan tokoh lain, tokoh-tokoh dalam cerita dengan masyarakat. Berbagai macam
konflik juga diciptakan pengarang dalam cerpen.
Menurut Selden
via
Sugihartuti & Suharto (2010: 32) selain di dalam dunia
empiris, diskriminasi perempuan juga dapat terjadi di dalam dunia literer. Dalam hal
ini, karya sastra sebagai dunia imajinatif merupakan media tumbuhnya subordinasi
perempuan. Dunia sastra dikuasai laki-laki. Artinya, karya sastra seolah-olah
ditujukan untuk pembaca laki-laki. Kalaupun ada perempuan, ia dipaksa untuk
membaca sebagai seorang laki-laki.
Fenomena komersialisasi seksualitas perempuan dapat juga terjadi dalam
dunia sastra. Dalam novel-novel dan cerpen-cerpen populer, dapat juga terjadi dalam
karya berbobot, misalnya, penggambaran kecantikan seorang tokoh perempuan
menjadi sesuatu yang penting. Pengarang bahkan ada yang sengaja menyelipkan
gambaran seksualitasnya. Digambarkan bahwa tokoh laki-laki memperebutkan tokoh
dilakukan untuk keperluan pemenuhan nafsu semata-mata ( Sugihartuti & Suharto,
2010: viii).
Hal inilah yang mendasari penulis untuk menganalisa permasalahan yang
terdapat dalam kumpulan cerpen
Mereka Bilang, Saya Monyet!
karya Djenar Maesa
Ayu dalam perspektif karya sastra feminisme. Dalam penelitian ini, peneliti akan
membahasa tiga dari sebelas cerpen dalam kumpulan cerpen
Mereka Bilang, Saya
Monyet!
. Ketiga cerpen itu ialah “Mereka Bilang, Saya Monyet!”,
“Lintah”,
dan
“Melukis Jendela”. Peneliti mambatasi cerpen yang dibahas karena dalam ketiga
cerpen tersebut banyak terjadi ketidaksetaraan jender dan kekerasan-kekerasan
terhadap perempuan, di mana perempuan hanya dipandang sebelah mata oleh kaum
lelaki.
Hal yang mendorong peneliti melakukan penelitian ini dikarenakan, (1) cerita
pendek dalam kumpulan cerpen
Mereka Bilang, Saya Monyet!
Karya Djenar Maesa
Ayu menonjolkan tokoh perempuan dalam melawan dominasi laki-laki, (2) peneliti
merasa prihatin terhadap kekerasan-kekerasan yang dilakukan pria terhadap wanita
baik itu di dunia nyata maupun dalam karya sastra, (3) penelitian sastra dengan
menggunakan pendekatan feminisme masih jarang dilakukan oleh mahasiswa
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID), Universitas Sanata
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti membuat rumusan
masalah sebagai berikut.
1.2.1
Bagaimanakah tokoh, penokohan, tema, dan latar dalam kumpulan cerpen
Mereka Bilang, Saya Monyet!
Karya Djenar Maesa Ayu?
1.2.2
Bagaimanakah feminisme tokoh perempuan dalam kumpulan cerpen
Mereka
Bilang, Saya Monyet!
Karya Djenar Maesa Ayu?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian yang ingin
dicapai adalah.
1.3.1
Mendeskripsikan tokoh, penokohan, tema, dan latar dalam kumpulan cerpen
Mereka Bilang, Saya Monyet
! Karya Djenar Maesa Ayu.
1.3.2
Mendeskripsikan feminisme tokoh perempuan dalam kumpulan cerpen
Mereka
Bilang, Saya Monyet!
Karya Djenar Maesa Ayu.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Bagi pemerhati karya sastra
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan mengenai kritik sastra
feminis dalam karya sastra serta mampu mempertahankan perkembangan
1.4.2
Bagi peneliti lain
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau sebagai acauan
bagi peneliti selanjutnya, yaitu berupa bahan referensi penelitian yang relevan
mengenai aspek feminisme yang terkandung dalam karya sastra.
1.5
Batasan Istilah
Beberapa istilah penting yang dipakai dalam penelitian ini perlu penegasan
supaya tidak menimbulkan salah penafsiran.
1.
Feminisme
Gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
perempuan dan laki-laki (Moeliono, dkk. 1993: 241).
2.
Perempuan
Orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan
anak, dan menyusui (KBBI, 2003: 856).
3.
Tokoh
Individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai
peristiwa cerita (Sudjiman
via
Sugihastuti & Suharto, 2010: 50).
4.
Penokohan
Penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang seseorang
yang ditampilkan sebagai tokoh cerita (Sudjiman
via
Sugihastuti & Suharto, 2010:
5.
Tema
Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman,
1991: 51).
6.
Latar
Segala keterangan, petunjuk, pengacauan, yang berkaitan dengan waktu, ruang dan
suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra (Sudjiman, 1991: 46).
7.
Cerita pendek (cerpen)
Sebuah cerita prosa fiksi yang panjangnya antara seribu sampai lima ribu kata
(Sayuti, 2000: 8).
1.6
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah feminisme dalam kumpulan cerpen
Mereka Bilang, Saya Monyet!
karya Djenar Maesa Ayu, mencakup “Mereka Bilang,
Saya Monyet!”, “ Lintah”, dan “ Melukis Jendela”.
1.7 Sistematika Penyajian
Skripsi ini terdiri dari lima bab yaitu Bab I Pendahuluan, Bab II Landasan
Teori, Bab III Metodologi Penelitian, Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, dan
Bab V Kesimpulan dan Saran.
Bab I Pendahuluan, pada bab ini akan membahasa tentang latar belakang
masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang
Bab II Landasan Teori, pada bab ini akan membahasa tentang penelitian
terdahulu yang relevan dan kerangka teori.
Bab III Metodologi Penelitian, pada bab ini akan membahas tentang jenis
penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian dan teknik
analisis data.
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, pada bab ini akan membahas
tentang hasil penelitian dan pembahasan yang terkandung dalam karya sastra yang
diteliti.
Bab V Kesimpulan dan Saran, pada bab ini akan membahas kesimpulan dan
10
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan
oleh Veri Dani Wardani (2005), Maria Viustana (2009), dan Yogi Dwi Hartanto
(2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Veri Dani Wardani (2005), yaitu
Male
Feminis dan Kontra Male Feminis dalam
Novel
Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari
. Penelitian ini menggunakan pendekatan objektif karena analisis
ini berangkat dari teks. Sumber data ini adalah semua perilaku tokoh yang
pro feminis
(male feminis)
dan
kontra male feminis
dalam teks novel Trilogi Ronggeng Dukuh
Paruk
karya Ahmad Tohari yang berkaitan dengan peran
male feminis
dan
kontra
male feminis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki ada yang menghargai
perempuan dan juga ada yang tidak menghormati perempuan. Peran
male feminis
dan
kontra male feminis
ini pada intinya menggambarkan perilaku yang menghargai
sosok perempuan dan perilaku yang tidak menghargai perempuan. Faktor-faktor yang
menyebabkan munculnya
male feminis
adalah faktor kultur kesenian tradisional dan
kontra male feminis
itu meliputi faktor ekonomi, faktor seksualitas dalam kultur
masyarakat Jawa.
Penelitian yang dilakukan oleh Maria Viustana (2009), yaitu
Modernisasi
Pendekatan Kritik Sastra Feminis.
Penelitian ini mengkaji tentang modernisasi
perempuan dalam novel Maria dan Mariam. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kritik sastra feminis. Sedangkan metode yang
digunakan adalah metode kualitatif. Dari kajian tersebut, ditemukan bahwa
modernisasi yang dialami perempun berupa modernisasi dalam berfikir dan
bertindak. Modernisasi dalam berfikir, meliputi kebebasan berfikir dan keberanian
berpendapat. Sedangkan modernisasi dalam bertindak, meliputi mandiri dalam
menjalankan kehidupan dan memiliki kebebasan dalam berpenampilan.
Penelitian yang dilakukan oleh Yogi Dwi Hartanto (2009), yaitu
Ketidakadilan Gender dan Sikap Perempuan dalam Novel Bibir Merah
Karya
Achmad Munif
. Studi ini menganalisis tentang bentuk ketidakadilan gender dan sikap
perempuan yang terdapat dalam novel Bibir Merah karya Achmad Munif. Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sastra feminis. Sedangkan
metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Hasil dari penelitian
tersebut adalah melalui relasi gender, (1) terdapat dua manifestasi ketidakadilan
gender yang berupa kekerasan yaitu kekerasan domestik dan kekerasan publik, (2)
steriotipe, ini terlihat dari pelabelan perempuan sebagai pribadi yang lemah, (3)
subordinasi terhadap perempuan, terlihat dari tersingkirnya perempuan dan hilangnya
pengakuan status sosial perempuan dalam masyarakat. Tiga bentuk sikap perempuan
yang dominan yaitu perempuan sebagai subjek, perempuan sebagai objek, dan sikap
Dari hasil penelitian terdahulu di atas, menghasilkan nilai feminis serta
sikap-sikap perempuan terutama dalam mempertahankan haknya untuk setara dengan
laki-laki. Perempuan dianggap sebagai bawahan laki-laki sehingga menimbulkan berbagai
upaya untuk dapat mempertahankan haknya.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman peminat karya sastra,
terutama mengenai feminisme. Penelitian-penelitian terdahulu kiranya relevan
dengan penelitian ini, karena penelitian ini juga menemukan sikap perempuan dalam
melawan dominasi dari laki-laki. Peneliti mengharapkan penelitian terdahulu tersebut
dapat dijadikan sebagai sumber referensi dan bahan perbandingan.
2.2 Kajian Teori
2.2.1 Feminisme
Menurut Djajanegara, (2000: 1-3) terdapat tiga pendapat asal mula munculnya
feminisme di Amerika Serikat, yakni pendapat pertama berkaitan dengan aspek
politis, pendapat kedua berkaitan dengan aspek agama, dan pendapat ketiga berkaitan
dengan konsep sosialisme dan konsep Marxis.
Awal 1960-an dan 1970-an merupakan tonggak berdirinya gerakan feminis.
Gerakan feminis itu muncul di Amerika sebagai bagian dari kultur radikal termasuk
hak-hak sipil
(civil rights)
dan kebebasan seksual
(sexual liberation)
(Fakih, 1996:
106). Pada awalnya gerakan feminisme berangkat dari kesadaran akan ketertindasan
perempuan. Kesadaran ini membenetuk kebutuhan untuk mengakhiri penindasan
penindasan dan eksploitasi perempuan. Meski terjadi perbedaan antarfeminis
mengenai apa, mengapa, dan bagimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun
mereka sepaham bahwa hakikat perempuan feminis adalah demi kesamaan, martabat,
dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah.
Feminisme muncul sebagai akibat dari adanya prasangka jender yang
menomorduakan perempuan. Anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda
dengan perempuan mengakibatkan perempuan dinomorduakan. Perbedaan tersebut
tidak hanya pada kriteria biologis, melainkan juga pada sosial-budaya. Asumsi
tersebut membuat kaum perempuan semakin terpojok, oleh karena itulah kaum
feminis memperjuangkan hak-hak perempuan di semua aspek kehidupan, dengan
tujuan agar kaum perempuan mendapat kedudukan yang sederajat dengan kaum
laki-laki.
Feminisme berasal dari kata
feminist
(pejuang hak-hak kaum wanita) yang
kemudian meluas menjadi feminism (suatu faham yang memperjuangkan hak-hak
kaum wanita). Dalam arti leksikal feminisme berarti gerakan kaum wanita yang
menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan kaum pria (Moeliono,
1988: 241).
Menurut Redyanto (2005: 100), feminisme adalah suatu gerakan yang
memusatkan perhatian pada perjuangan perempuan dalam menempatkan
eksistensinya. Dalam sastra feminisme adalah studi sastra yang mengarahkan fokus
pada perempuan, yang mengemukakan pemikiran berupa kritik terhadap dominasi
Menurut Geofe
via
Sugihastuti (2000: 37) feminisme adalah teori persamaan hak
antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau gerakan yang
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan kaum wanita.
Wolf
via
Sofia (2009: 13) mengartikan feminisme adalah sebagai sebuah teori
yang mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. Istilah
“menjadi feminis” bagi Wolf, harus diartikan dengan “menjadi manusia”. Sedangkan
secara leksikal, Moeliono,dkk. (1993: 241) menyatakan bahwa feminisme adalah
gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
perempuan dan laki-laki. Persamaan hak itu meliputi semua aspek kehidupan, baik
dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, maupun budaya.
Feminisme adalah paham yang menggerakan pemahaman dan penyadaran
tentang kehidupan perempuan, khususnya “pengalaman hidup terluka kaum
perempuan”. Tapi sering dikatakan di kalangan masyarakat bahwa feminisme adalah
konsep kehidupan wanita Barat modern yang bebas, independen, permisif, keras
kepala, mau menang sendiri, dan sejenisnya (Murniati, 2004:237).
Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum
perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri
penindasan dan eksploitasi tersebut. Mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan
feminis adalah demi kesamaan, martabat, dan kebebasan mengontrol raga dan
kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah (Fakih, 1996: 99).
Teori feminisme memfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai
berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya konflik
kelas, konflik ras, dan terutama karena adanya konflik jender. Feminisme mencoba
untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang mendominasi dan
didominasi, serta sistem hegemoni dimana kelompok subordinat terpaksa harus
menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme
mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan
kelompok yang dianggap kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan
sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin
yang berpusat pada laki-laki (Ratna, 2004: 186).
Dalam konteks penelitian ini, konsep atau teori feminisme yang digunakan
oleh peneliti, feminisme adalah teori tentang persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan dalam sumua bidang, sehingga perempuan mempuanyai kesempatan
dalam memperjuangkan hak serta kepentingannya.
2.2.2 Tokoh
Tokoh merupakan salah satu unsur intrinsik dan penting dalam sebuah karya
sastra. tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif,
atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan (Abrams
via
Nurgiyantoro, 2007: 165). Tokoh cerita
atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2007:
167).
2.2.2.1 Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Berdasarkan tingkat pentingnya (Nurgiyantoro, 2007: 176) tokoh dalam cerita
dibedakan dalam rekaan dibedakan menjadi tokoh sentral (utama) dan tokoh
tambahan. Tokoh utama (tokoh sentral) adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling
banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seseorang, walau kadar
keutamaannya tak (selalu) sama. Biasanya tokoh sentral merupakan tokoh yang
mengambil bagian terbesar dalam peristiwa dalam cerita (Sayuti, 2000: 74).
Sedangkan Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peranan
dalam peristiwa cerita.
2.2.2.2 Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Berdasarkan dari fungsi penampilan tokoh, dibedakan ke dalam tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Menurut Altenberd & Lewis
via
Nurgiyantoro (2007:
178) tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi – yang salah satunya jenisnya
secara popular disebut hero – tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma,
nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Menurut Sudjiman
via
Sugihastuti & Suharto (2010:
Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik dan
ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh penyebab konflik disebut
tokoh antagonis. Tokoh antagonis barangkali dapat disebut, beroposisi dengan tokoh
protagonis, secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik ataupun batin
(Nurgiyantoro, 2007: 179).
2.2.3 Penokohan
Menurut Sudjiman
via
Sugihastuti & Suharto (2010: 50) penokohan adalah
penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang seseorang yang
ditampilkan sebagai tokoh cerita.
Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan
“perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan
sekaligus menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah
cerita (Nurgiyantoro, 2007: 166).
Ada beberapa metode penokohan menurut para pakar. Pertama menurut
Hudson
via
Sugihastuti & Suharto (2010: 50) yaitu metode analitik atau metode
langsung. Pengarang melalui narator memaparkan sifat-sifat, hasrat, pikiran, dan
perasaan tokoh, kadang-kadang disertai komentar tentang watak tersebut.
Kedua metode dramatik atau metode tidak langsung. Watak tokoh
pengarang melalui narator. Bahkan, watak juga dapat disimpulkan dari penampilan
fisik tokoh, kadang-kadang disertai komentar tentang watak tersebut (Sugihastuti &
Suharto, 2010: 51).
Ketiga, menurut Kenney
via
Sugihastuti & Suharto (2010: 51) yaitu metode
kontekstual. Dengan metode ini, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang
digunakan narator di dalam mengacu kepada tokoh cerita.
2.2.4 Latar
Latar atau
setting
yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams
via
Nurgiyantoro, 2007: 216). Menurut
Sudjiman (1991: 46), latar secara sederhana adalah segala keterangan, petunjuk,
pengacauan, yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa
dalam suatu karya sastra.
Nurgiyantoro (2007: 227-237) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga
unsur pokok, yaitu :
a.
Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Unsur-unsur tempat yang dipergunakan mungkin
berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi
tertentu tanpa nama jelas.
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan”
tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada
kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
c.
Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah
dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat
istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan
lain-lain. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial
tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.
2.2.5 Tema
Tema merupakan gagasan, ide yang mendasari suatu karya sastra. Tema yang
banyak dijumpai dalam karya sastra bersifat didaktis, yaitu pertentangan antara baik
dan buruk. Tema biasanya didukung oleh pelukisan latar atau dalam penokohan.
Tema yang merupakan pokok pembicaraan dalam suatu cerita dalam karya sastra
terletak secara tersembunyi dalam barisan kata-kata (Sudjiman, 1991: 50).
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra
dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut
Nurgiyantoro, 2007: 68). Untuk menemukan tema dari sebuah karya sastra, maka
pembaca karya sastra harus membaca karya sastra tersebut terlebih dahulu. Kemudian
baru dapat menyimpulkan tema yang terdapat dalam karya sastra yang di baca.
Biasanya, tema di dalam sebuah karya fiksi, tidak secara sengaja disembunyikan hal
ini dimaksudkan untuk membuat pembaca menjadi tertarik.
Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman)
kehidupan (Nurgiyantoro, 2007: 71). Pengarang memilih dan mengangkat berbagai
masalah hidup dan kehidupan menjadi tema dan sub-sub tema dalam karya fiksi
sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan interaksi dengan lingkungannya.
Melalui karya sastra pengarang mengajak pembaca untuk melihat, menghayati, dan
merasakan makna kehidupan tersebut.
2.2.6 Cerita Pendek (Cerpen)
Istilah cerpen biasa diterapkan pada prosa fiksi yang panjangnya antara seribu
sampai lima ribu kata (Sayuti, 2000: 8). Menurut Nugroho Notosusanto
via
Hutagalung (1967: 76) cerpen merupakan cerita yang panjangnya kira-kira tujuh
belas halaman kwarto, spasi rangkap, terpusat dan lengkap. Menurut Edgar Allan Poe
via
Nurgiantoro (2007: 10) cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam
sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam.
Walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada
cerpen yang pendek
(short short story)
, bahkan mungkin pendek sekali: berkisar
ada cerpen yang panjang
(long short story)
, yang terdiri dari puluhan (atau bahkan
beberapa puluh) ribu kata (Nurgiyantoro, 2007: 10). Cerpen sebagai salah satu genre
sastra pada dasarnya merupakan bentuk penceritaan kehidupan manusia dan
kemanusiaan yang bersifat fragmentaris, teknik pengungkapannya padat, dan antar
pembentuk strukturnya bersifat padu. Koherensi dan kepaduan unsur cerita
membentuk suatu totalitas adalah hal yang amat menentukan keindahan dan
keberhasilan cerpen sebagai fiksi (Nurgiyantoro, 2007:4).
Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara
lebih banyak-jadi, secara implicit-dari sekedar apa yang diceritakan (Nurgiantoro,
2007: 11). Cerpen menunjukan kualitas yang bersifat
compression
“pemadatan”,
concentration
“pemusatan”, dan
intensity
“pendalaman”, yang semuanya berkaitan
dengan panjang cerita dan kualitas struktural yang diisyaratkan oleh panjang cerita itu
2.2.7 Kerangka Teori
Feminisme dalam Kumpulan Cerpen
Mereka Bilang Saya Monyet!
Karya Djenar Maesa Ayu
1.Bagaimanakah tokoh, penokohan, latar dan tema dalam kumpulan cerpen
Mereka Bilang, Saya Monyet!
Karya Jenar Maesa Ayu?
2.Bagaimanakah feminisme tokoh perempuan dalam kumpulan cerpen
Mereka
Bilang, Saya Monyet!
Karya Jenar Maesa Ayu?
1.Teori tokoh, penokohan, latar, dan tema, dan
2. Teori feminisme
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik,
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong,
2006: 6). Sedangkan menurut Kountur (2003: 16) penelitian kualitatif adalah
penelitian yang datanya adalah data kualitatif, umumnya dalam bentuk narasi atau
gambar-gambar.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Hal ini dikarenakan data
penelitiannya adalah berupa kata-kata, dan bukan angka, serta wujud penelitiannya
adalah menggunakan deskriptif yang menghasilkan data tertulis. Jadi, penelitian ini
akan menghasilkan data berupa kata-kata, kalimat yang terdapat dalam karya sastra
yang diteliti.
Penelitian deskriptif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) berhubungan
dengan keadaan yang terjadi saat itu, (2) menguraikan satu variabel saja atau
beberapa variabel namun diuraikan satu persatu, dan (3) variabel yang diteliti tidak
3.2 Sumber Data
Menurut Lofland dan Lofland
via
Moleong (2006: 157) sumber data utama
dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data dalam penelitian ini adalah
kata, frasa, dan kalimat dalam kumpulan cerpen yang berbentuk buku. Adapun
identitas buku yakni:
Judul
: Mereka Bilang, Saya Monyet!
Pengarang
: Djenar Maesa Ayu
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2009
Kota terbit
: Jakarta
No. Judul
Halaman
Jumlah
Halaman
1.
Mereka Bilang, Saya Monyet!
1
1-10
2. Lintah
11
11-18
3. Melukis
Jendela
31
31-42
Djenar Maesa Ayu dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Januari 1973. Ibu
dari dua orang putri, Banyu Bening dan Btari Maharani, belajar menulis pada
sastrawan yang sangat dikaguminya: Seno Gumira Ajidarma dan Sutarji Calzoum
Bachri. Beberapa cerpen dalam kumpulan ini telah diterbitkan di beberapa koran dan
Majalah A+.
Buku
Mereka Bilang, Saya Monyet!
adalah kumpulan cerpen
pertamanya.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah langkah dan cara memperoleh data (FKIP
USD, 2004:64).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik baca dan teknik
catat. Teknik baca digunakan oleh peneliti dengan berhadapan langsung dengan teks
yang menjadi data penelitian, tujuannya adalah untuk mendapatkan data secara
konkret. Sedangkan, teknik catat bertujuan untuk mendapatkan data secara konkret.
Selanjutnya data yang diperoleh dicatat dalam kartu data (Sudaryanto,
via
Tyas
2007:32).
3.4 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai pelaku studi sastra, yaitu
peneliti membaca, menganalisis, menginterpretasi, dan menyimpulkan (Soeratno
via
Jabrohim, 1994: 14-15). Instrumen dapat diartikan sebagai alat, yang akan digunakan
untuk mengetahui aspek feminis yang terdapat dalam kumpulan cerpen
Mereka
Bilang, Saya Monyet!
karya Djenar Maesa Ayu. Dalam pemahaman alat ini yang
dimaksudkan adalah peneliti sendiri, hal ini dikarenakan segala sesuatunya belum
mempunyai bentuk yang pasti. Fokus penelitian, prosedur penelitian, data yang akan
dikumpulkan, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan tidak dapat
itu, maka tidak ada pilihan lain selain menjadikan peneliti sendiri sebagai alat untuk
menghadapinya (Nasution, 1988: 55).
3.5 Teknik Analisis Data
Menurut
Seiddel
via
Moleong (2006: 248), analisis data kualitatif prosesnya
berjalan sebagai berikut: (1) mencatat yang menghasilkan cacatan lapangan, dengan
hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri, (2) mengumpulkan,
memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat
indeksnya, dan (3) berfikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai
makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat
temuan-temuan umum.
Berdasarkan teori di atas, maka setelah data terkumpul peneliti akan
menganalisis data, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Peneliti mencatat, mencermati data-data yang telah terkumpul.
2.
Peneliti mengidentifikasi data yang telah terkumpul.
3.
Peneliti mendeskripsi semua hasil temuan data yang telah diidentifikasi,
yang berupa
(1)
Tokoh, penokohan, tema, dan latar dalam kumpulan cerpen
Mereka
Bilang, Saya Monyet!
karya Djenar Maesa Ayu.
(2)
Feminisme tokoh perempuan dalam kumpulan cerpen
Mereka Bilang,
Saya Monyet!
karya Djenar Maesa Ayu.
28
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan tentang hasil penelitian yang telah penulis lakukan secara keseluruhan. Hal-hal yang termuat ialah deskripsi hasil analisis tokoh dan penokohan, latar, dan tema dalam kumpulan cerpen
Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu, dan hasil deskripsi feminisme dalam kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu.
4.1 Deskripsi Data
Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai data unsur intrinsik dan nilai feminis tokoh perempuan yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut. Data yang dianalisis merupakan kutipan-kutipan yang diambil dari kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet! Karya Djenar Maesa Ayu.
4.1.1 Sinopsis Cerpen
“Mereka Bilang, Saya Monyet!”
banteng, atau keledai. Suatu ketika, saya pergi ke wc di café tersebut dan
menjumpai lelaki berkepala buaya dan berekor kalajengking sedang mendesah
bersama seorang perempuan. Dan lelaki tersebut kemudian memakinya dengan
sebutan monyet.
Di café tersebut, tokoh saya jenggah, seketika itu Si Kepala Gajah dan Si
Kepala Serigala menghentakan belalainya ke pipi saya dan menendang kaki saya.
Tetapi saya tidak memperdulikan sikap mereka tersebut. Di meja lain, Si Kepala
Anjing dan sedang sibuk dengan seorang lelaki sementara ia sudah memiliki
seorang suami. Semantara itu, laki-laki berkepala buaya sedang dimesrai oleh
perempuan lain.
Bosan dengan suasana yang penuh dengan kemunafikan di café tersebut,
saya mulai iseng. Ia mengedipkan mata sebagai isyarat kepada laki-laki berkepala
buaya, agar menemui saya di kamar mandi. Pintu kamar mandi diketuk, saya
membuka pintu dan laki-laki berkepala buaya langsung memberondong saya
dengan ciuman. Saya kemudian mencekik leher laki-laki tersebut dan
menghajarnya. Tak lama kemudian Si Kepala Ular muncul dan saya pergi dari
hadapan mereka. Dari luar terdengar tamparan ke pipi Si Kepala Buaya.
“Lintah”
sedang menonton televisi dengan mengganti saluran seenak hati. Bahkan sering pula Lintah tidur pulas di kamar Maha. Maha berniat untuk mengadu kepada Ibu tentang tabiat Lintah tersebut, tetapi di luar dugaan Ibu malah membela Lintah ketimbang Maha.
Semakin hari hubungan Ibu dengan Lintah semakin mesra. Setiap Ibu pulang kerja, Lintah selalu duduk manis dan kemudian Ibu akan mengecupnya mesra dan membawanya masuk ke dalam kamar. Entah apa yang mereka lakukan di sana. Ibu adalah seorang penyanyi. Tetapi akhir-akhir ini ia kebanyakan job, sehingga ia memilih-milih tawaran dan lebih banyak menetap di rumah.
Suatu ketika Maha hendak menciderai Lintah dengan menyemprotkan obat serangga ke seluruh ruangan dengan harapan racun serangga itu dapat membunuh Lintah. Tetapi aksi Maha tersebut diketahui oleh Ibu sehingga Ibu langsung melompat dari tempat duduknya dan menempeleng muka Maha. Ini membuat Maha semakain membenci Lintah dan Ibu.
Malam itu hujan deras, Ibu memanggil Maha untuk membicarakan sesuatu. Maha hanya diam mendengar apa yang Ibu katakan. Tetapi akhirnya Maha terkejut mendengar perkataan Ibu “kamu sudah besar dan sudah saatnya mempunyai adik”. Ternyata Ibu mengandung dan sebentar lagi Ibu akan menikah dengan seorang pria. Dan pria itu adalah Lintah, calon ayah Maha.
“Melukis Jendela”
menyebabkan Mayra kesepian dan sering mengurung diri dikamarnya dan bercakap-cakap dengan lukisannya itu. Di sekolah Mayra selalu diganggu oleh teman sekelasnya yaitu Anton dan kawan-kawan. Mereka sering meraba-raba panyudara Mayra sehingga menyebabkan teror dalam dirinya setiap berangkat ke sekolah.
Mayra mulai melukis gambar ayah dan ibu, lewat lukisan itu ia bercakap-cakap dengan Ibu. Lewat lukisan itu ia berharap mendapat kasih sayang dari Ayah dan Ibunya. Ia selalu berangan-angan Ibunya hadir mendengar curhatnya tentang teman sekolahnya yang sering mengganggunya dan tentang Ayah yang terlalu sibuk dengan urusan kantornya. Mayra dapat merasakan Ibu mengelus rambutnya dan membisikan semuanya akan membaik esok hari. Lamat-lamat Mayra merasakan tangan Ibu berhenti mengelus rambutnya dan menyuruhnya untuk menyayat wajahnya. Ayahnya marah besar dan memindahkannya ke sekolah lain dengan alasan malu.
Gagal dengan lukisan Ayah dan Ibu. Mayra melukis jendela. Ia membakar lukisan Ayah dan Ibu, karena Mayra menganggap mereka telah menghianatinya. Lewat lukisan jendela besar yang tanpa tirai menghadap kehadap sebuah dunia yang ia inginkan, sesuai dengan hasratnya. Lewat jendela itu pula Mayra mendapatkan kebebasan dan dapat melakukan pembalasan secara imajinasi terhadap teman-teman sekelasnya yang telah melakukan pelecehan seksual terhadapnya.
ada di kamar. Bi Inah mengetuk kamar ayah dan seorang wanita membuka pintu dan berkata majikannya masih tidur. Bi Inah menghela nafas panjang dan menunggu. Tetapi ia tahu bahwa Mayra tidak akan pernah kembali.
4.2 Tokoh dan Penokohan
Menurut Sudjiman (1991: 16), tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Menurut Abrams via Nurgiyantoro, (2007: 165) tokoh cerita adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Sedangkan penokohan ialah penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita. Menurut Sudjiman via
Sugihastuti & Suharto (2010: 50) penokohan adalah penyajian watak, penciptaan citra, atau pelukisan gambaran tentang seseorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita.
4.2.1 Tokoh dan Penokohan dalam cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet!”
a. Saya ( Monyet)
Tokoh saya merupakan tokoh utama dalam cerita, karena intensitas kemunculannya lebih banyak dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain. Selain merupakan tokoh utama, saya juga merupakan tokoh protagonis, karena memiliki watak yang baik serta memiliki sifat mau mengalah terhadap orang lain. Ini terjadi ketika saya sedang menuju ke wc untuk buang air kecil, tiba-tiba ia mendengar rintihan dari dalam kamar mandi dan mengintip lewat lubang kunci. Seketika itu seorang laki-laki langsung memakinya dengan sebutan binatang. Tetapi ia hanya diam mendengar perkataan tersebut tanpa melawan sedikit pun. Sifat ini dinyatakan oleh pengarang dengan kutipan berikut.
Saya sudah terbiasa menelan rongsokan tanpa dikunyah lebih dulu. Saya sudah terbiasa kalah dan menelan kepahitan. Karena itu saya hanya terlongong-longong sembil menyaksikan mereka berdua berlalu.
(Mereka Bilang, Saya Monyet!, hal. 4)
Selain itu, tokoh saya juga digambarkan sebagai wanita yang memiliki pendirian yang teguh dan memprotes bila apa yang ia anggap benar tapi oleh orang lain dianggap salah. Sifat ini dinyatakan oleh pengarang dengan kutipan berikut.
Waktu saya menyatakan bahwa saya juga mempunyai hati, mereka tertawa dan memandang saya dengan penuh iba atas kebodohan saya. Katanya hati yang mereka maksud adalah perasaan, selain itu mereka juga mempunyai otak. Tapi ketika saya protes dan menyatakan saya pun punya otak, lagi-lagi mereka tertawa terbahak-bahak. Katanya otak yang mereka maksudkan adalah akal.
b. Si Kepala Gajah dan Si Kepala Srigala
Kedua tokoh ini merupakan tokoh antagonis, karena menentang tokoh protagonis. Mereka selalu menindas tokoh utama, dan berwatak kasar serta keras. Seperti yang mereka lakukan terhadap tokoh utama yaitu menampar dan menendang, sehingga membuat tokoh saya menjerit kesakitan. Seperti terdapat dalam kutipan berikut
Si kepala gajah menghentakan belalainya ke pipi saya dengan keras. Saya menatap sejenak lalu kembali asyik dengan diri saya sendiri. Si kepala serigala menendang kaki saya di bawah meja hingga saya menjerit kesakitan.
(Mereka Bilang, Saya Monyet!, hal. 5)
c. Si Kepala Anjing
Si Kepala Anjing merupakan perempuan yang suka selingkuh dan berhubungan dengan banyak lelaki, walaupun ia telah memiliki seorang suami. Seperti terdapat dalam kutipan berikut
Saya tahu persis si kepala anjing berhubungan dengan banyak laki- laki padahal ia sudah bersuami.
(Mereka Bilang, Saya Monyet!, hal. 8)
Selain itu, Si Kepala Anjing adalah seseorang wanita yang munafik. Berpura-pura baik di depan umum dan menutupi sifat aslinya. Di depan umum ia hanya menikmati orange juice dan tidak merokok, tetapi jika tidak di depan umum ia adalah seorang pengguna narkoba dengan menggisap ganja.
merokok seperti saya. Tetapi ketika ia tidak di depan umum, saya tahu ia mengisap ganja, minum cognac, dan menyerempet cocaine lewat kedua lubang hidungnya yang selalu basah.
(Mereka Bilang, Saya Monyet!, hal. 8)
d. Laki-laki berkepala buaya
Laki-laki berkepala buaya adalah tokoh antagonis. Ia digambarkan oleh pengarang memiliki sikap yang mudah dikelabuhi atau mudah dipengaruhi. Ini tampak ketika tokoh saya iseng menulis secarik kertas kepadanya dan mengisyaratkan kepadanya untuk pergi ke kamar mandi. Sifat ini dinyatakan oleh pengarang dengan kutipan berikut.
Lalu saya mengedipkan mata kea rah laki-laki berkepala buaya di depan saya sambil mengisyaratkan untuk mengikuti saya ke kamar mandi.
(Mereka Bilang, Saya Monyet!, hal. 9)
e. Si Kepala Ular, Si Kepala Babi, Si Kepala Kuda, Si Kepala Sapi, dan Pelayan. Mereka merupakan tokoh tambahan, yang sedikit diceritakan dalam cerpen ini dan mendapat peranan yang sedikit pula. Perwatakan mereka pun tidak dipaparkan oleh pengarang dalam cerpen ini.
4.2.2Tokoh dan Penokohan dalam cerpen “Lintah”
Tokoh-tokoh dalam cerpen ini adalah Saya (Maha), Ibu, dan Lintah (pacar ibu). Berikut penjabaran watak-watak tokoh tersebut
Maha dalam cerpen “Lintah” merupakan tokoh utama dan tokoh protagonis. Maha adalah penyayang binatang, tetapi ia sangat membenci lintah. Lintah adalah nama yang ia berikan kepada pacar dari ibunya. Maha banyak mengalami penceritaan dalam cerpen ini, dan mengalami ketidakpuasan serta penindasan yang dilakukan oleh Ibu dan Lintah. Penggarang menggambarkan tokoh Maha sebagai tokoh yang mau mengalah, ini terlihat dalam kutipan berikut
Bahkan ia sering kedapatan sedang pulas tertidur di atas tempat tidur saya, dan tentunya membuat saya menggurungkan niat untuk beristirahat.
(Lintah, hal. 12) Tapi ibu langsung melompat dari duduknya dan menempeleng muka
saya.
(Lintah, Hal. 14)
Maha juga digambarkan sebagai pribadi yang memiliki sifat ingin tahu atau penasaran. Ia penasaran terhadap apa yang dilakukan oleh Ibunya dan Lintah di kamar, setiap Ibu pulang kerja. Ini terlihat dalam kutipan berikut
Pada suatu hari Minggu, keingintahuan saya mendadak kuat. Saya mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka ke dalam kamar ibu. Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah menyala. Lidahnya menjulur keluar dan liurnya menetes ke bawah.
(Lintah, hal. 12)
b. Ibu
kurang terpuji dan bertentangan dengan tokoh utama. Watak Ibu dalam cerpen ini ialah sebagai seseorang yang tidak pengertian. Ini terlihat dalam kutipan berikut
Tentu saja saya mual dengan pemandangan ini. Namun ibu tidak mau mengarti. Kalau saya tidak kuasa lagi menghabiskan makanan yang masih tersisa, ibu akan memaki dan memaksa saya untuk menuntaskannya.
(Lintah, hal. 13)
Ibu juga digambarkan dengan sosok seorang yang kasar yaitu suka memukul dan selalu membela Lintah. Ini terjadi ketika Maha ingin menciderai Lintah dengan menyemprotkan obat serangga. Saat itu juga Ibu datang dan langsung memukulinya. Ini terlihat dalam kutipan berikut
Saya pernah mencoba pura-pura terganggu nyamuk dan menyemprotkan obat serangga keseluruh ruangan dengan harapan racun serangga itu dapat membunuh lintah. Tapi ibu langsung melompat dari duduknya dan menempeleng muka saya.
(Lintah, hal. 14)
Selain sifat di atas, Ibu juga memiliki sifat sebagai seorang yang pandai merayu. Hal ini dilakukan oleh Ibu agar Maha tidak lagi membanci Lintah dan dapat menerima keberadaan Lintah di rumah mereka. Ini terlihat dalam kutipan berikut
Ibu membelikan saya berbagai macam barang yang tidak ingin saya punyai. Saya hanya ingin ibu berpisah dengan lintah. Mungkin barang-barang yang ibu belikan untuk saya semata-mata rayuan supaya saya tidak lagi membicarakan lintah.
c. Lintah
Lintah merupakan pria simpanan ibu. Tetapi keberadaan Lintah di rumah tidak pernah disukai oleh Maha, karena tingkahnya yang buruk dan tidak sopan. Ia merupakan tokoh antagonis, yang memiliki watak kurang baik, dan bertentangan dengan tokoh protagonis. Lintah di dalam cerpen ini digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sifat egois, ini terlihat dalam kutipan berikut
Sepulang sekolah, sering saya temui lintah itu duduk di sofa ruang tamu kami. Kadang ia menggangu saya ketika sedang menonton televisi dengan mengganti saluran dengan seenak hati.
(Lintah, hal. 12)
Selain itu, Lintah juga memiliki sifat pandai menarik perhatian, dalam hal ini menarik perhatian Ibu. Dengan demikian, ibu sangat sayang terhadap Lintah dibandingkan dengan Maha anaknya sendiri. Ini terlihat dalam kutipan berikut
Yah…lintah ini memang sangat pandai menarik perhatian ibu. Setiap ibu pulang kerja, lintah duduk manis di dalam rumahnya. Lalu ibu akan mengecup mesra dan membawanya masuk ke dalam kamar.
(Lintah, hal. 12)
4.2.3Tokoh dan Penokohan dalam cerpen “Melukis Jendela”
Tokoh-tokoh dalam novel ini ialah Mayra, Ayah Mayra, Anton, Ibu, wanita simpanan ayah, dan Bi Inah. Penjabaran tokoh-tokoh dijelaskan sebagai berikut
a. Mayra
awal hingga akhir cerita. Kehidupannya dihabiskan dengan melukis, karena lewat lukisan ia mendapatkan imajinasi tentang sosok ayah dan ibunya, serta kebebasannya.
Oleh pengarang, ia gambarkan sebagai seorang gadis kecil yang tidak mau ditindas oleh teman laki-lakinya di sekolah. Ini terlihat dalam kutipan berikut
“Kalian tidak akan bisa menyentuh saya hari ini” teriak Mayra. “Kenapa manis…kenapa kami tidak bisa menyentuhmu hari ini?” “Karena Ibu saya mengatakan begitu!”.
(Melukis Jendela, hal.32)
Sebagai anak kecil, ia juga senang menyendiri. Karena sejak kecil ia sudah kehilangan ibunya, sedangkan ayahnya pun sangat sibuk dengan urusan pekerjaan. Keadaanlah yang membuatnya demikian. Sikapnya yang lain yaitu tidak terbuka terhadap ayahnya tentang masalah-masalah yang ia hadapi baik di rumah maupun di sekolah. Ini terlihat dalam kutipan berikut
Sebagai anak tunggal, ia menghabiskan banyak waktu hanya dengan melamun tanpa seorang pun untuk diajak bicara.
(Melukis Jendela, hal. 31)
Ayahnya marah besar dan memindahkan Mayra ke sekolah lain dengan alasan malu. Mayra tidak pernah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.