• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PELATIHAN KETERAMPILAN INTI PEER SUPPORT TERHADAP KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH PELATIHAN KETERAMPILAN INTI PEER SUPPORT TERHADAP KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PELATIHAN KETERAMPILAN INTI

PEER

SUPPORT

TERHADAP KOMPETENSI INTERPERSONAL

PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Christantyaning Omega

069114088

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

PENGARUH PELATIHAN KETERAMPILAN INTI

PEER

SUPPORT

TERHADAP KOMPETENSI INTERPERSONAL

PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Christantyaning Omega

069114088

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

“Humble yourselves therefore under the mighty hand of God,

that He may exalt you in due time.”

I Peter 5:6

-“When we are no longer able to change a situation – we are

challenged to change ourselves..”

Viktor E. Frankl

-“If you ask me anything I do not know, I’m not going to

answer..”

Yogi Berra

-“Wear your persona perfectly, because you are easily judged by

your cover..”

(6)

-v

Karya sederhana ini dipersembahkan untuk:

- Mamah, dengan seluruh doanya..

- Mereka yang rendah hati dan tidak mengenal

(7)
(8)

vii

PENGARUH PELATIHAN KETERAMPILAN INTIPEER SUPPORT TERHADAP KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA

Christantyaning Omega

ABSTRAK

Remaja memerlukan orang yang dapat membuat mereka nyaman, berbagi perasaan, dan memberikan perhatian pada setiap emosi yang terjadi dalam diri mereka. Kemampuan atau keterampilan yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain atau antar individu ini disebut kompetensi interpersonal (Buhrmester dkk., 1988). Pelatihan Keterampilan Inti Peer Support merupakan pelatihan yang dapat meningkatkan kompetensi interpersonal, karena keterampilan inti ini berperan sebagai dasar dari komunikasi interpersonal yang baik (Cowie dan Wallace, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh Pelatihan Keterampilan Inti Peer Support terhadap kompetensi interpersonal pada remaja. Hipotesis yang diajukan yaitu Ada Pengaruh Pelatihan Keterampilan Inti Peer Support terhadap peningkatan kompetensi interpersonal pada remaja. Penelitian ini dilakukan dengan metodeQuasi Eksperiment, denganNonrandomized Pretest-Posttest Control Group Design. Subyek penelitian adalah remaja usia 12-15 tahun yang terdaftar sebagai siswa SMP Taman Dewasa Jetis tahun ajaran 2010/2011 yang berjumlah 62 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Skala Kompetensi Interpersonal yang diadaptasi dari lima aspek kompetensi interpersonal menurut Buhrmester, dkk. (1988). Selain itu dilakukan juga observasi untuk melengkapi data secara kualitatif. Koefisien reliabilitas alpha untuk Skala Kompetensi Interpersonal adalah 0,966. Hipotesis dianalisis menggunakan independent/uncorrelated data t-Test. Hasil analisis menunjukkan nilai t sebesar 4,427 dengan p<0,05 dengan perbedaan mean gain scorekelompok eksperimen = 7.096774 dan kelompok kontrol = -5.32258. Hal ini menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada subyek kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Artinya, ada pengaruh dari Pelatihan Keterampilan IntiPeer Supportterhadap kompetensi interpersonal pada remaja.

(9)

viii

THE INFLUENCE OF CORE PEER SUPPORT SKILLS TRAINING TOWARDS THE INTERPERSONAL COMPETENCE IN ADOLESCENT

Christantyaning Omega

ABSTRACT

Adolescents need someone who can make them comfortable, to share their feelings, and give attention to every emotion that occurs within them. Ability or skill of the individual to develop good and effective relationship with other people or between individuals is called interpersonal competence (Buhrmester et al., 1988). Core Peer Support Skills Training is a training that can improve interpersonal competence, because these core skills serve as the basis of good interpersonal communication (Cowie and Wallace, 2000). This research was intended to find out the influence of Core Peer Support Skills Training towards the interpersonal competence in adolescent. The proposed hypothesis is that there is influence of Core Peer Support Skills Training toward the interpersonal competence in adolescent.This research was conducted with the method of Quasi Experiment, with pretest-posttest Nonrandomized Control Group Design. The subjects were adolescents, aged 12-15 years old that were registered as students of Taman Dewasa Jetis Junior High School 2010/2011. Data collection was conducted by Interpersonal Competence Scale that was adapted from the five aspects of Interpersonal Competence by Buhrmester et al. (1988). An observation was also conducted to complete the qualitative data. The Coefficient of Alpha Reliability for the Interpersonal Competence is 0,966. Hypothesis was analyzed using

independent/uncorrelated data t-Test. The result showed that the t value is 4,427 and p<0,005, with the difference in mean gain score of experimental group = 7.096774 and control group = -5.32258. It shows that there is significant difference between experimental group and control group. It means that there is influence of Core Peer Support Skills Training towards the interpersonal competence in adolescent.

(10)
(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkatNya yang melimpah dan selalu baru, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis percaya tanganNya yang penuh kuasa telah menolong penulis menghadapi segala kesulitan dalam segala hal.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih dengan segala kerendahan hati kepada pihak-pihak yang memberikan dukungan dan bantuan selama penulisan skripsi ini hingga selesai.

1. Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, beserta seluruh staf akademik maupun non akademik atas

ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama penulis menuntut ilmu di Fakultas ini.

2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing yang

telah membimbing, memberikan petunjuk dan masukan yang sangat berguna dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Agnes Indar E., S.Psi., Psi., M.Si. yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberi masukan dan informasi pada awal penulisan skripsi ini.

4. Dr. A. Priyono Marwan, S.J. atas obrolan yang menghasilkan sebuah ide

untuk masa depan. Nggak nyangka akhirnya ini bisa saya kerjain loh, Romo.. 5. Siswa SMPN 3 Godean, Ibu Irmina, dan Spy Mandasari yang telah membantu

(12)

xi

6. Drs. H. Sunardi, M.Hum., selaku Kepala Sekolah beserta Ibu Musi Giri Astuti, S.Pd. selaku Guru BK SMP Taman Dewasa Jetis yang telah memberikan izin

dan membantu selama penulis melakukan eksperimen di sana.

7. Siswa SMP Taman Dewasa Jetis kelas VII B yang telah bersedia menjadi

subyek kelompok kontrol dan kelas VII D yang telah meluangkan banyak waktu untuk mengikuti pelatihan sebagai kelompok eksperimen.

8. Mbak Judith sekeluarga yang mendukung dengan doa dan materi selama ini.

9. Andrian Liem, S. Psi. atas bantuannya menjadi trainer dalam pelatihan ini,

ROCK, man! Sekar Jati B. S. yang menjadi observer dalam penelitian, tengkyu ya jeunk buat waktu dan ilmu yang udah bersedia di-share-kan dengan cuma-cuma.. Akhirnya ngerepotin kamu juga..hehehe..

10. Thea Damianie, makasih buat support tenaga dan pikiran, juga input yang unyuu banget buat ni skripsi..You’re the real peer supporter!

11. Adekku yang paling ganteng, Dodol. Tengkyu yee ciiiyn.. udah sempat

minjemin komputer, bantuin bikin modul, dan nganterin ke sana sini buat butuhku selama ngerjain skripsi.

12. Teman-teman seperjuanganku: Jc, Mami, Hermin… Galau itu menular,

Jendral!!! Juga buat Om Djamal yang udah ngasih pertolongan terakhir pada statistik dan Mas Ponijo a.k.a Sigit buat pertolongan terakhir pada edit bahasa.

Ho..ho..

13. My Chemical Romance, Lifehouse, Adam Lambert, Ne-Yo, David Achuleta, Ryan Cabrerra, Kenny G., Sydney dan Mike Mohede, Sixpence None The

(13)

xii

nih..) dan penyanyi lain yang udah bersedia nyanyi sampai pagi buta selama saya nulis. Suara kalian bagus yaa..

14. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini baik langsung maupun tidak

langsung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis memohon maaf apabila terdapat

kesalahan dalam penulisan. Untuk itu, penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun bagi semua pihak.

Akhir kata, penulis berharap semoga karya ini berguna bagi ilmu pengetahuan umumnya dan bagi para pembaca khususnya. Tuhan memberkati…

Yogyakarta, 26 Mei 2011

(14)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL…………... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN……….. iii

HALAMAN MOTTO………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT……….. viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH……… ix

KATA PENGANTAR……….. x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR GAMBAR... xvii

DAFTAR LAMPIRAN………. xviii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

(15)

xiv

A. Remaja... 7

1. Definisi Remaja... 7

2. Perkembangan Sosial Remaja... 8

B. Kompetensi Interpersonal... 9

1. Definisi Kompetensi Interpersonal... 9

2. Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal... 10

3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal... 12

C. Pelatihan Keterampilan IntiPeer Support………... 13

1. DefinisiPeer Support... 13

2. Ciri-ciriPeer Suporter……….………... 13

3. Pelatihan Keterampilan IntiPeer Support………….…………... 15

D. Pengaruh Pelatihan Keterampilan Inti Peer Support Terhadap Kompetensi Interpersonal... 20

E. Hipotesis... 25

BAB III. METODE PENELITIAN... 26

A. Jenis Penelitian... 26

B. Identifikasi Variabel Penelitian... 26

C. Definisi Operasional... 26

1. Pelatihan Keterampilan Inti Peer Support... 26

2. Kompetensi Interpersonal... 28

D. Subyek Penelitian... 29

E. Alat Pengumpulan Data... 29

(16)

xv

G. Metode Analisis Data... 32

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 34

A. Orientasi Kancah dan Pelaksanaan Penelitian... 34

1. Orientasi Kancah... 34

2. Pelaksanaan Pelatihan... 35

B. Hasil Observasi Pelaksanaan Penelitian... 37

C. Hasil Penelitian... 40

1. Hasil Uji Asumsi... 40

2. Deskripsi Data Penelitian... 41

3. Hasil Uji Hipotesis... 42

D. Pembahasan... 43

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 50

A. Kesimpulan... 50

B. Keterbatasan dalam Penelitian... 50

C. Saran... 51

DAFTAR PUSTAKA... 52

(17)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Kompetensi Interpersonal…………... 30

Tabel 2. Koefisien Korelasi Aitem………... 31

Tabel 3. Distribusi Aitem Lolos Seleksi Skala Kompetensi Interpersonal 31 Tabel 4. Data Subyek SMP Taman Dewasa Jetis……….….. 35

Tabel 5. Uji Asumsi……….... 40

Tabel 6. Hasil Pengukuran Kompetensi Interpersonal……….... 41

(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran A: DataTry Out... 55

1. DataTry Out

2. HasilTry Out

Lampiran B: Skala Kompetensi Interpersonal... 56 1. SkalaTry Out

2. SkalaPretest

3. SkalaPosttest

Lampiran C: Data Penelitian... 57 1. Data Penelitian

2. Hasil Penelitian

Lampiran D: Surat Keterangan Penelitian... 58 Lampiran E: Dokumentasi……….………...……… 59 Lampiran F: Lain-lain………...………...

1. Modul Pelatihan Ketrampilan IntiPeer Support

2. Lembar Evaluasi

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rahmat Fauzi (17) melakukan aksi gantung diri di rumahnya di Cimanggis,

Jawa Barat. Hal ini dilakukan lantaran dirinya selama ini dikucilkan oleh

teman-temannya. Sehari sebelum melakukan aksinya, Rahmat sempat bercerita pada adiknya

bahwa ia merasa malu karena selama ini sering membuat masalah di lingkungannya

(VIVAnews.com, 2009).

Kasus dari Rahmat Fauzi ini menunjukkan bahwa sebuah hubungan yang baik

dengan teman maupun lingkungan sekitar dapat berpengaruh terhadap kehidupan

individu tersebut. Sikap teman-teman yang mengucilkan dirinya, membuat Rahmat

menjadi malu dan menilai dirinya sebagai pembuat masalah bagi lingkungannya

sehingga hal ini memicunya untuk melakukan aksi bunuh diri. Mungkin akan berbeda

keadaannya, jika saja hubungan baik antara Rahmat dan teman-temannya dapat

terjalin.

Latipun (2005) melakukan penelitian mengenai konflik yang dialami dengan

teman sebaya terhadap 141 remaja di Malang, Jawa Timur. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa dalam dua tahun 59% subyek mengalami konflik dengan teman

(21)

Sementara itu, Ratna Juwita dari Universitas Indonesia mengadakan penelitian

rentan fenomena tindak kekerasan dikalangan pelajar SMP dan SMU di kota Jakarta,

Surabaya dan Yogyakarta. Penelitian ini menunjukkan bahwa angka tindak kekerasan

dengan korban dan pelaku adalah siswa atau pelajar di Yogyakarta paling tinggi

yakni sebesar 70,56% (Kompas, 2009).

Konflik yang terjadi pada remaja dalam hubungannya dengan teman sebaya

menunjukkan adanya interaksi yang kurang baik antar individunya. Suatu interaksi

sosial yang baik antar individu dapat terbentuk jika ada komunikasi yang efektif

dalam interaksi tersebut. Komunikasi yang efektif akan dapat tercapai apabila

individu yang terlibat dalam sebuah interaksi memiliki keterampilan atau kompetensi.

Kemampuan atau keterampilan yang dimiliki individu untuk membina hubungan

yang baik dan efektif dengan orang lain atau antar individu ini kemudian disebut

kompetensi interpersonal (Buhrmester dkk., 1988). Apabila keterampilan atau

kompetensi interpersonal yang tinggi dimiliki oleh individu, maka dirinya akan

mampu menjalin komunikasi yang baik dengan individu lain.

Pada hakikatnya, kompetensi interpersonal yang tinggi merupakan

keterampilan dasar yang harus dimiliki seorang peer supporter. Peer support

berbicara tentang pemahaman terhadap situasi orang lain dengan empati melalui

kegiatan sharing mengenai pengalaman rasa sakit emosional dan psikologis (Mead, 2003). Peer support didefinisikan sebagai berbagai macam perilaku membantu interpersonal yang dilakukan oleh non-profesional yang berperan dalam memberi

(22)

suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang yang profesional dan sangat terlatih,

melainkan dilakukan berdasarkan kemauan untuk memberikan bantuan dan dukungan

bagi orang yang berada dalam usia yang sebaya.

Menurut Cowie dan Wallace (2000) beberapa kualitas yang dimiliki oleh

seorangpeer supporter yang baik antara lain sebagai berikut : dapat dipercaya, tidak menghakimi, mendengar dan tidak mengatakan apa yang harus diperbuat oleh

temannya, ramah dan mudah didekati, tidak mengatakan permasalahan temannya

tersebut pada orang lain sekalipun terjadi pertengkaran antara keduanya, baik, jujur

namun tidak suka mencela. Peer support memiliki berbagai macam metode, antara lain; Co-operative Group Work, Lingkaran Waktu, Befriending, Lingkaran Teman, Resolusi Konflik atau Mediasi Teman Sebaya, Peer Tutoring, Intervensi Berbasis Konseling, Peer Education, dan Peer Mentoring. Sebelum melangkah lebih jauh untuk menerapkan metode peer support yang ada, sebuah keterampilan inti peer support tentu perlu dilatihkan, karena keterampilan ini berperan sebagai dasar dari komunikasi interpersonal yang baik (Cowie dan Wallace, 2000). Oleh karena suatu

komunikasi interpersonal yang baik adalah hasil dari adanya kompetensi

interpersonal yang tinggi pada diri individu yang terlibat dalam komunikasi tersebut,

maka dapat dikatakan bahwa pelatihan keterampilan inti peer support juga merupakan pelatihan yang mendukung peningkatan kompetensi interpersonal.

Kompetensi interpersonal yang dibutuhkan oleh remaja untuk menjalin interaksi

(23)

Bagi seorang remaja, teman sebaya merupakan sosok yang besar perannya.

Pengaruh dari teman sebaya paling kuat disaat masa remaja awal; biasanya

memuncak diusia 12-13 tahun (Fuligni et al., dalam Papalia, Olds dan Feldman,

2009). Banyak hal yang dapat diungkapkan oleh seorang remaja kepada teman

sebayanya daripada orang tuanya. Pembicaraan remaja dan orang tua terbatas pada

hal-hal tertentu saja seperti masalah pendidikan, keuangan, kesehatan, dan karier.

Sementara itu, seorang remaja dapat lebih terbuka untuk membicarakan masalah

pergaulan, khususnya masalah-masalah seksual, dengan teman-temannya (Etikariena,

dalam Sarwono, 2008). Remaja mulai lebih mengandalkan teman dibandingkan orang

tua untuk mendapatkan kedekatan dan dukungan serta mereka lebih berbagi rahasia

dibandingkan dengan orang-orang yang lebih muda dengan teman mereka (Papalia,

Olds dan Feldman, 2009).

Beberapa penelitian tentang interaksi keluarga menunjukkan bahwa remaja

awal merupakan masa di mana individu mulai mencoba untuk memainkan peran yang

lebih kuat dalam keluarga tetapi orang tua mungkin belum mengakuinya (Steinberg,

2002). Orang tua sendiri memiliki otoritas di dalam sebuah keluarga. Hal yang wajar

jika orang tua berharap anak-anaknya dapat menerima dan menerapkan nilai-nilai

yang telah ditanamkan. Namun, anak-anak yang mulai memasuki masa remaja

cenderung menganggap nilai-nilai yang diterapkan oleh orang tua sebagai hal yang

kuno. Remaja memilih untuk berbagi hal-hal yang sifatnya pribadi kepada teman

sebayanya. Nilai-nilai yang didapat dari teman-teman sebaya dianggap lebih

(24)

Pengaruh dari teman sebaya dapat dilihat ketika individu merasa tidak puas

terhadap hubungannya dengan orang tua, terutama ibu, dan hasilnya remaja lebih

setuju pada teman sebayanya ketika hubungannya dengan orang tua mengalami

ketegangan (Jaccard, Blanton, dan Dodge, 2005).

Hetherington dan Parke (dalam Desmita, 2009), mengungkapkan bahwa anak

pada usia 11-13 tahun berada dalam emphatic stage, yang mana seorang anak mengharapkan kesungguhan dan potensi intimacy dari sahabat; mengharapkan sahabat untuk memahami dan terbuka terhadap dirinya; mau menerima

pertolongannya, berbagai minat dan mempertahankan sikap dan nilai yang sama.

Remaja memerlukan orang yang dapat membuat mereka nyaman, berbagi perasaan,

dan memberikan perhatian pada setiap emosi yang terjadi dalam diri mereka. Ketika

orang tua tidak dapat menjadi teman bicara yang dipercaya oleh seorang remaja,

maka lingkungan sosial di luar keluarga memegang peranan penting. Oleh sebab

itulah, sebagai dasarnya, remaja harus memiliki kompetensi interpersonal yang tinggi

agar dapat menjalin interaksi sosial yang baik dengan teman sebayanya.

Dalam hal ini, peneliti memulai penelitian dengan pertanyaan mendasar yaitu

apakah pelatihan keterampilan inti peer support berpengaruh untuk meningkatkan kompetensi interpersonal pada remaja. Penelitian akan melihat Pengaruh Pelatihan

(25)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka permasalahan

dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Apakah pelatihan keterampilan inti peer support berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal pada remaja?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sekaligus menguji secara empiris

pengaruh pelatihan keterampilan intipeer supportterhadap kompetensi interpersonal pada remaja.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi bagi studi

Psikologi Sosial dalam kaitannya untuk meningkatkan kompetensi

interpersonal pada remaja.

b. Selain itu, penelitian ini juga berguna untuk menambah referensi bagi

penelitian dibidang pelatihanpeer support.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat untuk memberi sumbangan pemikiran bagi

remaja agar dapat mengembangkan kompetensi interpersonal dalam hubungannya

(26)

7

BAB II

DASAR TEORI

A. Remaja

1. Definisi remaja

Bagi masyarakat Indonesia, remaja adalah manusia berusia 11-24

tahun dan belum menikah (Sarwono, 2008). Batasan usia 24 tahun ditetapkan dengan pertimbangan bahwa, usia tersebut merupakan usia paling lambat relatif bagi individu untuk mengakhiri ketergantungannya terhadap asuhan

orang tua. Kriteria belum menikah ditetapkan dengan asumsi bahwa individu yang telah menikah, secara konsekuen akan hidup mandiri dengan pasangannya dan terpisah dari orang tua.

Masa remaja awal berkisar pada usia yang kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama, sedangkan masa remaja akhir kira-kira menunjuk

pada usia setelah 15 tahun (Santrock, 2003). Steinberg (2002) menyatakan masa remaja sebagai masa peralihan dari ketidakmatangan pada masa kanak-kanak menuju kematangan pada masa dewasa. Masa remaja merupakan masa

transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir

(27)

2. Perkembangan Sosial Remaja

Individu yang menginjak usia remaja akan mengalami banyak

perubahan. Selain perubahan fisik, perubahan sosial juga menonjol pada usia remaja. Hal ini dapat dilihat khususnya dalam hubungan sosialnya dengan

teman sebaya. Bagi remaja, teman sebaya mempunyai fungsi yang hampir sama dengan orang tua. Teman bisa memberikan ketenangan ketika mengalami kekhawatiran (Hartub, dkk., dalam Desmita, 2009). Remaja mulai

lebih mengandalkan teman dibandingkan orang tua untuk mendapatkan kedekatan dan dukungan serta mereka lebih berbagi rahasia dibandingkan

dengan orang-orang yang lebih muda dengan teman mereka (Papalia, Olds dan Feldman, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian Jersild (dalam Mappiare, 1982) terhadap

remaja usia 12-15 tahun, hal yang mendapat frekuensi tertinggi menyangkut kebahagiaan remaja adalah memperoleh hubungan baik dengan orang lain,

bersahabat karib, mendapatkan teman yang pasti, dan sebagainya. Dalam penelitiannya, Kagan (1972) menemukan bahwa remaja awal menginginkan teman yang banyak, karena dirinya membutuhkan teman sebaya untuk

membentuk keyakinannya, membuktikan pendapatnya, menguji sikap baru dalam menghadapi sesuatu yang asing untuk mengevaluasi daya tahannya dan

untuk memperoleh dukungan bagi sekumpulan asumsinya yang tidak kuat. Pada masa remaja, anak mulai berusaha untuk melonggarkan hubungannya dengan orang tua dan lebih banyak menjalin hubungan dengan

(28)

hubungan remaja dengan teman sebaya. Remaja akan lebih dapat terbuka kepada teman sebaya dari pada orang tuanya. Hal ini disebabkan oleh adanya

perbedaan nilai atau paham antara remaja dan orang tua yang seringkali menimbulkan konflik. Adanya konflik keluarga paling sering terjadi selama

masa remaja awal, tetapi paling kuat dalam masa remaja pertengahan (Laursen, Coy, dan Collins, dalam Papalia, Olds dan Feldman, 2009). Konflik dengan orang tua inilah yang menyebabkan remaja menilai teman sebaya akan

lebih dapat memahami dirinya dibandingkan orang tuanya.

B. Kompetensi Interpersonal

1. Definisi Kompetensi Interpersonal

Kompetensi interpersonal merupakan kemampuan atau keterampilan

yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain atau antar individu (Buhrmester dkk., 1988). Spitzberg dan Cupach

(1984) mengungkapkan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan seorang individu untuk melakukan suatu komunikasi yang efektif yang meliputi pengetahuan, keterampilan dan motivasi. Pengetahuan berarti

mengetahui perilaku yang sesuai untuk diterapkan dalam situasi tertentu. Keterampilan adalah kemampuan menerapkan perilaku yang sesuai dengan

konteks. Motivasi adalah keinginan untuk mampu berkomunikasi.

Suatu komunikasi yang efektif memerlukan kompetensi interpersonal yang tinggi. Pengetahuan, keterampilan, dan motivasi yang baik menunjukkan

(29)

efektif dapat tercapai dan menghasilkan hubungan yang baik pula.

2. Aspek-aspek Kompetensi Interpersonal

Buhrmester dkk. (1988) mengungkapkan lima aspek kompetensi

interpersonal, yaitu:

a. Kemampuan berinisiatif, yaitu kemampuan untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain. Perilaku yang mencerminkan

adanya inisiatif, antara lain: (1) mengenalkan diri pada seseorang yang ingin dikenal; (2) menjadi individu yang menarik dan menyenangkan

ketika berkenalan dengan orang lain; (3) mengusulkan untuk melakukan sesuatu yang menarik bersama kenalan baru; (4) melanjutkan percakapan dengan kenalan baru yang lebih ingin dikenal.

b. Kemampuan untuk bersikap terbuka adalah kemampuan untuk terbuka kepada orang lain, menyampaikan info yang bersifat pribadi mengenai

dirinya dan memberikan perhatian kepada orang lain sebagai suatu bentuk penghargaan yang akan memperluas kesempatan untuk terjadinyasharing. Contoh perilaku yang menunjukkan keterbukaan diri adalah: (1) memberi

kesempatan pada kenalan baru untuk lebih mengenal kita; (2) mengungkapkan pada sahabat bahwa kita menghargai dan

menyayanginya; (3) mengungkapkan pada sahabat hal-hal yang mencemaskan dan menakutkan kita; (4) mengetahui cara mengembangkan percakapan dengan kenalan baru untuk lebih mengenal masing-masing

(30)

c. Kemampuan untuk bersikap asertif yaitu kemampuan untuk mempertahankan hak-hak pribadi secara tegas, mengemukakan gagasan,

perasaan dan keyakinan secara langsung, jujur, jelas dan dengan cara yang sesuai. Asertivitas tampak dalam kemampuan: (1) mengatakan pada teman

bahwa kita tidak berkenan dengan cara dia memperlakukan kita; (2) mengatakan “tidak” ketika teman menyuruh melakukan sesuatu yang tidak ingin kita lakukan; (3) menolak permintaan untuk melakukan hal yang

tidak pantas; (4) menegur sahabat yang tidak menepati janji.

d. Kemampuan untuk memberikan dukungan emosional adalah kemampuan

untuk memberikan empati dan kemampuan untuk menenangkan serta memberikan rasa nyaman bagi orang lain. Perilaku yang menunjukkan dukungan emosional adalah: (1) mendengarkan dengan sabar ketika

sahabat menceritakan masalahnya; (2) membantu mengatasi masalah yang dihadapi teman dekat berkaitan dengan keluarga atau teman lain; (3) dapat

mengatakan atau melakukan sesuatu untuk memberi dukungan emosional pada saat sahabat kita mengalami kesusahan; (4) dapat menunjukkan sikap penuh empati.

e. Kemampuan dalam mengatasi konflik interpersonal adalah upaya agar konflik yang muncul tidak semakin memanas. Kemampuan dalam

mengatasi konflik dapat ditunjukkan melalui perilaku sebagai berikut: (1) pada saat mempunyai masalah dengan sahabat, kita benar-benar mendengarkan keluhannya dan tidak berusaha menebak apa yang ada

(31)

pandang teman dan pandangan-pandangannya; (3) tidak mengulang ucapan atau perbuatan yang dapat memperparah konflik; (4) dapat

menerima bahwa dia memiliki pandangan sendiri terhadap suatu kejadian meskipun kita tidak setuju dengan cara pandang itu.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal

Berbagai penelitian menemukan bahwa kompetensi interpersonal

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Kontak dengan orang tua

. Para ahli perkembangan mulai menjelajahi peran keterikatan yang aman dengan orang tua terhadap perkembangan remaja. Mereka yakin bahwa keterikatan dengan orang tua ini dapat membantu kompetensi sosial

dan kesejahteraan sosial para remaja (Desmita, 2009).

b. Hubungan dengan teman sebaya

Anak yang memiliki kesempatan untuk dapat berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial dan perkembangan emosinya, serta lebih mudah

dalam membina hubungan interpersonal (Kramer dan Gottman, 1992).

c. Partisipasi sosial

Hurlock (1997) menjelaskan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh partisipasi sosial dari individu. Individu yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial akan lebih berpeluang untuk mengasah

(32)

interpersonalnya. Dengan kata lain, semakin besar partisipasi sosial seseorang maka semakin besar pula kompetensi interpersonal yang

dimilikinya.

C. Pelatihan Keterampilan IntiPeer Support

1. DefinisiPeer Support

. Peer support berbicara tentang memahami situasi orang lain dengan empati melalui kegiatan sharing mengenai pengalaman rasa sakit emosional dan psikologis (Mead, 2003). Peer support juga dapat didefinisikan sebagai berbagai macam perilaku membantu interpersonal yang dilakukan oleh non-profesional yang berperan dalam memberi bantuan pada orang lain (Kracen, 2003). Dengan kata lain,peer supportbukanlah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang yang profesional dan sangat terlatih, melainkan dilakukan berdasarkan kemauan untuk memberikan bantuan dan dukungan bagi orang

yang berada dalam usia yang sebaya.

2. Ciri-ciriPeer Suporter

Menurut Cowie dan Wallace (2000) beberapa kualitas yang dimiliki oleh seorang peer supporter yang baik antara lain sebagai berikut: dapat dipercaya, tidak menghakimi, mendengar dan tidak mengatakan apa yang harus diperbuat oleh temannya, ramah dan mudah didekati, tidak mengatakan permasalahan temannya tersebut pada orang lain sekalipun terjadi

(33)

Egan (1974) menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan oleh peer supporterketika menghadapi kliennya, yaitu :

a. Menghadap pada klien. Posisi seperti ini merupakan dasar dari ‘keterlibatan.’ Posisi ini mengatakan "Saya ada untuk Anda."

b. Mempertahankan kontak mata yang baik. Peer supporter harus melihat langsung pada klien. Menjaga kestabilan, kontak mata langsung dengan lawan bicara menunjukkan bahwa peer supporter tersebut memperhatikan apa yang sedang dikatakan kliennya.

c. Postur tubuh yang terbuka. 'Terbuka' dapat diartikan secara harafiah.

Sebuah postur tubuh yang terbuka adalah tanda bahwapeer supporterjuga terbuka untuk masalah yang klien ungkapkan dan membuka komunikasi langsung kepada klien.

d. Mencondongkan tubuh kepada klien. Hal ini dapat menandakan bahwa

peer supporter tersebut tertarik pada apa yang sedang dikatakan klien. Posisi seperti ini merupakan tanda lain dari keberadaan, ketersediaan, atau keterlibatan.

e. Berperilaku santai dan alami dengan menunjukkan bahasa tubuh yang

santai dan tidak gugup. Peer supporter, meskipun bersemangat dan bekerja keras, dapat memberikan dirinya "ruang hidup" yang dibutuhkan

untuk mendengarkan dan merespon cerita klien sepenuhnya. Bila seorang

peer supporter terlalu tegang, maka dirinya akan cenderung terlalu cepat merespon, dan kecenderungan ini mengurangi kemampuannya untuk

(34)

3. Pelatihan Keterampilan IntiPeer Support

Pelatihan adalah serangkaian aktivitas yang dirancang untuk

meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman, atau untuk melakukan suatu perubahan sikap indvidu (Simamora, 1995). Dalam konteks

psikologi, sebuah skills training bertujuan untuk memodifikasi sikap dan perilaku secara langsung lewat pelibatan total individu dalam suatu program pendidikan-pelatihan (Gazda, dalam Supratiknya, 2008). Sementara itu, secara

garis besar keterampilan intipeer supportdapat diartikan sebagai kemampuan pokok yang dimiliki individu untuk dapat memahami situasi orang lain dengan

empati melalui berbagi pengalaman emosional. Dapat disimpulkan bahwa pelatihan keterampilan inti peer support merupakan suatu rangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan pengetahuan serta kemampuan seseorang

secara langsung agar dapat memahami situasi orang lain dengan penuh empati melalui kegiatansharingatau berbagi pengalaman emosional.

Cowie dan Wallace (2000) memaparkan metode-metode dalam pelatihan peer support, yaitu : Co-operative Group Work, Lingkaran Waktu,

Befriending, Lingkaran Teman, Resolusi Konflik atau Mediasi Teman Sebaya,

Peer Tutoring, Intervensi Berbasis Konseling, Peer Education, dan Peer Mentoring.

Untuk meraih gelar doktornya, Cowie dan Wallace mengadakan penelitian yang mengevaluasi efektivitas program pelatihan Mediasi Teman Sebaya pada tiga sekolah dasar di Birmingham. Mediasi Teman Sebaya

(35)

agar mampu meredakan perbedaan pendapat di antara teman sebaya, termasuk kekerasan, masalah yang berkaitan dengan rasisme, perkelahian dan

pertengkaran. Metode ini dilakukan dengan cara tidak saling menyalahkan satu sama lain dan bertujuan untuk mencapai solusi ‘win-win’ sehingga ada hasil yang adil bagi kedua belah pihak yang bermasalah (Cowie dan Wallace, 2000).

Penelitian ini berupa sebuah kuasi eksperimen yang meliputi

pemberian kuesioner untuk siswa dan wawancara kepada guru-guru untuk mengukur perubahan tingkat kekerasan di antara para siswa, tingkat harga diri

dan keyakinan pada diri sendiri. Hanya satu sekolah yang kemudian mengembangkan program Mediasi Teman Sebaya ini. Dari hasil penelitian tersebut didapat bahwa sekolah yang mengembangkan program ini mengalami

beberapa perubahan, antara lain:

a. Adanya penurunan frekuensi laporan tentang anak yang menjadi korban

kekerasan dan anak yang melakukan kekerasan pada temannya. b. Harga diri siswa meningkat setelah adanya pelatihan awal. c. Siswa mengembangkan sikap negatif terhadap kekerasan.

d. Setelah adanya program pelatihan ini terdapat peningkatan kemampuan siswa dalam mengatasi konflik, memberi dan menerima komentar yang

positif, bekerjasama, berkomunikasi, dan mendengarkan satu sama lain. Sementara itu, dua sekolah lain yang tidak mengembangkan program ini menghasilkan hal yang sebaliknya. Tidak ada penurunan dalam laporan

(36)

dalam harga diri serta keyakinan diri pada siswanya.

Sebelum menerapkan program peer support, perlu dilakukan pelatihan keterampilan intipeer supportsebagai langkah awalnya. Sebuah keterampilan inti peer support tentu diperlukan bagi segala macam metode peer support

karena keterampilan ini berperan sebagai dasar dari komunikasi interpersonal yang baik (Cowie dan Wallace, 2000). Oleh karena suatu komunikasi interpersonal yang baik adalah hasil dari adanya kompetensi interpersonal

yang tinggi pada diri individu yang terlibat dalam komunikasi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pelatihan keterampilan inti peer support juga merupakan pelatihan yang mendukung peningkatan kompetensi interpersonal. Menurut pertimbangan Cowie dan Wallace (2000) keterampilan inti yang harus diajarkan dalam pelatihan peer support adalah memberi umpan balik, keberadaan, mendengarkan, merespon, bertanya, dan menunggu dengan diam. Kemampuan memberikan umpan balik pada prakteknya ialah kemampuan

peserta untuk menangkap hal apa saja yang mereka pelajari selama mengikuti kegiatan demi kegiatan dalam pelatihan. Oleh karena itu, tidak ada suatu kegiatan khusus untuk melatih kemampuan memberikan umpan balik.

Melainkan, pada setiap akhir kegiatan peserta diminta untuk dapat memberikan tanggapan serta saran sebagai umpan balik.

a. Kemampuan untuk ‘ada’

Secara sederhana, ‘ada’ berarti suatu perilaku yang menunjukkan adanya ketertarikan dan perhatian terhadap orang lain. Egan (1974)

(37)

yang paling awal dalam membantu orang lain. Keadaan ‘ada’ tidak terjadi dengan sendirinya. Bila seorangpeer supportertidak ‘ada’ secara fisik dan psikologis, maka ia tidak akan dapat membantu kliennya.

b. Mendengarkan

Mendengarkan isi cerita: Mencakup pembelajaran untuk mendengarkan secara akurat demi mendapatkan informasi yang relevan. Hal ini penting untuk membantu peserta pelatihan menyadari bahwa semua orang

cenderung menempatkan penafsirannya sendiri dalam cerita orang lain dan mendengarkan semaksimal mungkin pandangan klien tentang masalah dan

situasi yang dihadapinya.

Mendengarkan maksud cerita: Setelah menguasai gagasan tentang mendengar secara akurat, peserta pelatihan perlu belajar bagaimana

mendengarkan dengan selektif. Untuk menyederhanakan hal tersebut peserta pelatihan dapat diajarkan untuk memilih dua dasar utama, yaitu;

perasaan dan kepentingan. Perasaan berbicara tentang tindakan yang penuh dukungan untuk membantu klien mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaannya terhadap masalahnya. Sementara itu, untuk

hal mengenai kepentingan, peserta pelatihanpeer supportdapat membantu klien dengan cara mengidentifikasi masalah yang paling menonjol dalam

(38)

c. Merespon

Seringkali peserta pelatihan menanyakan apa yang harus mereka katakan

bila seseorang meminta meminta nasehat secara langsung. Jawaban atas pertanyaan ini adalah tidak perlu memberi nasehat. Sebagai gantinya ada

beberapa ide yang dapat ditawarkan. Salah satunya adalah bahwa seorang

peer supporter dapat membantu hanya dengan menyediakan diri untuk mendengarkan dan tidak perlu mencari jawaban. Ide yang lainnya adalah

bahwa jika seorang peer supporter ingin mencoba untuk membantu lebih aktif, maka ia perlu belajar cara untuk membantu klien menemukan

jawaban atas masalah mereka sendiri.

d. Bertanya

Peer supporter dilatih untuk bertanya hanya jika dirinya ingin membantu klien yang membutuhkan bantuan. Pertanyaan tidak digunakan sebagai pengisi keheningan atau karena seorang peer supporter tidak tahu harus berbuat apa lagi. Cara paling mudah untuk melakukan hal ini adalah dengan menjelaskan perbedaan antara pertanyaan tertutup dan terbuka dan mendorong peer supporter untuk mengembangkan kemampuannya dalam mengajukan pertanyaan terbuka. Pertanyaan tertutup meliputi pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijawab dengan 'ya' atau 'tidak', atau pertanyaan-pertanyaan

(39)

dari pengalaman atau perasaan yang timbul.

e. Menunggu dengan diam

Terkadang tindakan yang paling berguna bagi pendengar adalah duduk dengan tenang, penuh perhatian dan menunggu hal apa yang selanjutnya

akan dikatakan oleh lawan bicaranya. Penting untuk membiarkan peer supportermenunggu dan berpikir sebelum berbicara daripada mengatakan hal pertama yang muncul dalam pikiran hanya untuk mengisi keheningan.

f. Membangun Kepercayaan

Untuk membangun sebuah relasi, dua orang harus saling mempercayai.

Hal ini dilakukan pada saat menentukan di mana individu yang akan terlibat dalam suatu relasi harus ambil resiko dengan cara saling mengungkapkan lebih banyak tentang pikiran, perasaan, dan reaksi

terhadap situasi yang tengah dihadapi, atau dengan cara saling menunjukkan penerimaan, dukungan, dan kerja sama. Sebuah relasi tidak

akan mengalami kemajuan tanpa kepercayaan (Supratiknya, 1995).

D. Pengaruh Pelatihan Keterampilan Inti Peer Support Terhadap

Kompetensi Interpersonal

Teman sebaya memiliki peran yang penting bagi seorang remaja. Remaja

dapat lebih terbuka untuk menceritakan hal-hal yang bersifat pribadi kepada teman sebayanya dibandingkan kepada orang tua. Remaja menganggap teman sebaya lebih mampu untuk menerima dan memahami nilai serta gagasan yang ada

(40)

nilai-nilai yang dimiliki oleh orang tua adalah hal kuno dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Perbedaan paham antar generasi inilah yang kemudian

menyebabkan remaja lebih merasa bebas untuk mengungkapkan ide dan permasalahannya dengan teman sebaya yang tentu saja juga berada dalam tahap

perkembangan yang sama dengan dirinya.

Remaja memerlukan seseorang yang dapat membuat dirinya nyaman, berbagi perasaan, dan memberikan perhatian pada setiap emosi yang terjadi dalam

diri mereka. Ketika orang tua tidak dapat menjadi teman bicara yang dipercaya oleh seorang remaja, maka lingkungan sosial di luar keluarga memegang peranan

penting. Mengkomunikasikan permasalahan yang sifatnya pribadi merupakan suatu hal yang umum dilakukan oleh seorang remaja kepada teman sebayanya. Hal ini juga menyangkut tentang gambaran perkembangan gagasan anak pada usia

11-13 tahun tentang persahabatan. Menurut Hetherington dan Parke (dalam Desmita, 2009), anak pada usia ini berada dalam emphatic stage, yang mana seorang anak mengharapkan kesungguhan dan potensi intimacy dari sahabat; mengaharapkan sahabat untuk memahami dan terbuka terhadap dirinya; mau menerima pertolongannya, berbagai minat dan mempertahankan sikap dan nilai

yang sama.

Bukanlah hal yang mudah bagi seorang remaja yang menjadi pendengar

untuk merespon cerita temannya dengan cara yang benar. Sadar atau tidak kebanyakan orang cenderung merasa tidak tertarik mendengarkan keluh kesah orang lain, terlalu mudah memberi nasehat secara langsung, atau bahkan

(41)

sendiri. Bila hal ini terjadi, maka sebuah komunikasi yang efektif tidak akan dapat tercapai. Komunikasi antar pribadi dapat dikatakan efektif bila penerima

menginterpretasikan pesan yang diterimanya sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim (Supratiknya, 1995).

Sebuah keterampilan untuk berkomunikasi sangat diperlukan demi mencapai sebuah komunikasi yang efektif. Keterampilan atau kemampuan yang dimiliki individu untuk membina hubungan yang baik dan efektif dengan orang

lain disebut dengan kompetensi interpersonal (Buhrmester dkk., 1988). Kompetensi interpersonal merupakan suatu keterampilan yang harus dapat

diadopsi oleh individu agar dirinya mampu memiliki hubungan dan komunikasi yang baik dengan individu lain.

Kompetensi interpersonal merupakan suatu keterampilan paling dasar

yang dapat dilatih melalui berbagai macam pelatihan yang bertujuan meningkatkan kemampuan pesertanya untuk berkomunikasi secara efektif. Salah

satu pelatihan yang berkaitan dengan peningkatan kompetensi interpersonal adalah pelatihan keterampilan inti peer support. Sebuah keterampilan inti peer support tentu diperlukan bagi segala macam metode peer support karena keterampilan ini berperan sebagai dasar dari komunikasi interpersonal yang baik (Cowie dan Wallace, 2000). Oleh karena suatu komunikasi interpersonal yang

(42)

pemahaman situasi orang lain dengan empati melalui kegiatan sharing mengenai pengalaman rasa sakit emosional dan psikologis (Mead, 2003). Pelatihan

kemampuan inti peer support bertujuan untuk membentuk individu menjadi seseorang yang dapat dipercaya, tidak menghakimi, mendengar dan tidak

mengatakan apa yang harus diperbuat oleh temannya, ramah dan mudah didekati, tidak mengatakan permasalahan temannya tersebut pada orang lain sekalipun terjadi pertengkaran antara keduanya, baik, jujur namun tidak suka mencela.

Kemampuan untuk ‘ada’ merupakan sebuah keterampilan inti dari seorang

peer supporter yang dapat dilatihkan agar individu tersebut mampu terbuka terhadap orang lain. Tidak hanya ‘ada’ secara fisik, tetapi juga ada secara psikis dengan jalan memusatkan perhatian penuh pada orang yang ada dihadapannya. Ketika seseorang mampu menunjukkan bahwa dirinya ada untuk orang lain, maka

secara otomatis ia juga akan menunjukkan sikap terbuka. Suatu keterbukaan ini dapat menandakan adanya kesempatan untuk melakukansharing.

Seorang peer supporter sebaiknya tidak perlu memberi jawaban berupa nasehat atau memutuskan apa yang harus dilakukan oleh kliennya. Kegiatan Merespon dan Menunggu dengan Diam, mengajarkan peserta agar mampu

menolak dengan cara yang tepat untuk memberikan nasehat pada teman yang menjadi kliennya, sekalipun klien tersebut meminta nasehat secara langsung.

Dengan kata lain, kegiatan ini melatih kemampuan peserta untuk bersikap asertif. Sikap asertif tampak pada kemampuan seseorang untuk mengatakan “tidak” ketika orang lain menyuruhnya melakukan sesuatu yang tidak ia diinginkan.

(43)

seseorang dapat mendengarkan secara aktif, yang meliputi mendengar isi cerita dan mendengar maksud dari cerita. Ketika seseorang mampu mendengar dengan

baik maka dirinya akan dapat memahami apa yang sedang diceritakan oleh lawan bicaranya sehingga dapat menimbulkan empati. Sikap empati yang ditunjukkan

pada orang lain atau lawan bicara merupakan salah satu bentuk dari kemampuan dalam memberi dukungan emosional.

Tidak menutup kemungkinan bahwa seorang peer support juga dapat mengalami konflik dengan orang lain. Ketika hal itu terjadi, makapeer supporter

harus dapat mengatasi masalahnya tersebut dengan baik. Pelatihan keterampilan

intipeer supportjuga mengajarkan kemampuan untuk mendengarkan keluhan dari orang lain, maupun mengajukan pertanyaan yang efektif demi mendapat informasi dan menguraikan permasalahan sehingga tidak menimbulkan asumsi yang kurang

tepat yang dapat memperkeruh keadaan. Aspek dalam kompetensi interpersonal yang tersentuh melalui pelatihan ini adalah kemampuan dalam mengatasi konflik

interpersonal. Kemampuan ini merupakan upaya agar konflik yang muncul tidak semakin memanas.

Kegiatan Membangun Kepercayaan melatih individu yang menjadi peserta

agar mampu membangun kepercayaan orang lain terhadap dirinya. Sebuah hubungan atau relasi tidak akan terbentuk dan berkembang tanpa adanya rasa

percaya. Seseorang tentu tidak akan memiliki inisiatif untuk lebih mengenal dan berbincang dalam waktu yang lama ataupun menceritakan permasalahannya pada orang yang tidak ia percaya, atau pada orang yang tidak dapat dipercaya.

(44)

pelatihan keterampilan inti peer support terhadap kompetensi interpersonal pada remaja.

E. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori sebagai dasar kajian teoritis terhadap permasalahan yang telah dikemukakan, maka dapat disusun suatu hipotesis untuk penelitian ini, sebagai berikut :

Ha : Ada pengaruh pelatihan keterampilan inti peer support terhadap kompetensi interpersonal pada remaja. Pengaruh ini dilihat dari

peningkatan skor subyek penelitian setelah mendapat pelatihan.

Ho : Tidak ada pengaruh pelatihan keterampilan inti peer support terhadap kompetensi interpersonal pada remaja. Tidak ada peningkatan skor

(45)

26

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan termasuk dalam penelitian ekperimental. Seniati, dkk (2005) menjelaskan bahwa penelitian eksperimental meneliti

hubungan sebab-akibat antara variabel bebas dan variabel tergantung, dan bukan hanya meneliti hubungan antar variabel. Melalui penelitian ini, peneliti dapat memenuhi tujuan penelitian yaitu, mengetahui sekaligus menguji secara empiris

pengaruh pelatihan keterampilan inti peer support terhadap peningkatan kompetensi interpersonal pada remaja.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Variabel bebas : Pelatihan Keterampilan IntiPeer Support

2. Varibel tergantung : Kompetensi Interpersonal

C. Definisi Operasional

1. Pelatihan Keterampilan IntiPeer Support

(46)

sharingatau berbagi pengalaman emosional.

Keterampilan inti yang dilatihkan meliputi membangun kemampuan

untuk ‘ada’ atau keberadaan, mendengarkan, merespon, bertanya, menunggu dengan diam dan membangun kepercayaan. Seluruh materi pelatihan ini

kemudian disusun dalam sebuah modul Pelatihan Keterampilan Inti Peer Support. Materi yang terdapat dalam modul ini mencakup pelatihan ketrampilan inti peer support menurut Cowie dan Wallace (2000) dan keterampilan berkomunikasi oleh Supratiknya (1995).

Materi pertama yang akan disampaikan adalah tentang Membangun

Kepercayaan dalam Hubungan dengan kegiatan Trust Walk. Dalam kegiatan ini salah seorang peserta diminta untuk menjadi ‘orang buta’ dan satu peserta lain menjadi pembimbing. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan

kepercayaan pada orang lain dan kemampuan dipercaya oleh orang lain. Materi ke dua, yaitu Keberadaan, membuat peserta merasakan

bagaimana tidak diperhatikan oleh lawan bicara sementara dirinya sedang menceritakan masalahnya.

Merespon dan Menunggu Dengan Diam dalam konteks peer support, bertujuan untuk menolak ketika seseorang menyuruhnya melakukan sesuatu yang tidak boleh ia lakukan, yaitu memberi nasehat. Sebagai penggantinya,

peserta dilatih untuk menjawab permintaan langsung akan nasehat dengan melontarkan kalimat yang tersedia dalam modul. Sedangkan kegiatan Menunggu Dengan Diam melatih peserta untuk tidak terburu-buru dalam

(47)

Selanjutnya, dalam kegiatan yang terangkum di materi Mendengar Aktif, melatih peserta untuk dapat memberi perhatian penuh terhadap cerita

yang dikatakan oleh temannya. Kegiatan ini dilakukan dalam kelompok kecil yang beranggotakan tiga orang.

Melalui kegiatan Teacher on the Spot, peserta dilatih untuk bertanya kepada trainer berkaitan dengan kesehariannya. Kegiatan ini termasuk dalam materi Bertanya Efektif, yang mana bertujuan melatih peserta untuk

merumuskan pertanyaan yang efektif demi mendapat informasi yang lengkap sehingga mampu menguraikan permasalahan.

2. Kompetensi Interpersonal

Kompetensi interpersonal merupakan suatu keterampilan atau

kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk membina hubungan baik dan menjalin komunikasi yang efektif dengan orang lain. Kompetensi

interpersonal diungkap menggunakan skala kompetensi interpersonal yang disusun berdasarkan aspek-aspek kemampuan berinisiatif, kemampuan untuk bersikap terbuka, kemampuan untuk bersikap asertif, kemampuan untuk

memberikan dukungan emosional, kemampuan dalam mengatasi konflik interpersonal. Semakin tinggi skor skala kompetensi interpersonal yang

diperoleh menunjukkan semakin tinggi pula kompetensi interpersonal. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh pada skala kompetensi interpersonal menunjukkan semakin rendah pula kompetensi interpersonal

(48)

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah siswa kelas VII SMP Taman Dewasa Jetis

Yogyakarta. Adapun alasan pemilihan kelompok subyek ini karena siswa kelas VII secara umum termasuk dalam usia remaja awal, yaitu antara usia 12 sampai

dengan 15 tahun.

E. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan Skala Kompetensi Interpersonal. Skala ini berisi 75 aitem yang dibagi menjadi aitem-aitem favorabel dan aitem-aitem

unfavorabel berupa pernyataan-pernyataan yang disusun berdasarkan lima aspek kompetensi interpersonal menurut Buhrmester dkk. (1988). Lima aspek tersebut adalah kemampuan berinisiatif, kemampuan untuk bersikap terbuka, kemampuan

bersikap asertif, kemampuan memberikan dukungan emosional, dan kemampuan mengatasi konflik.

Penyusunan skala ini mengacu pada Model Skala Likert, di mana dalam skala ini terdapat aitem-aitem favorabel dan unfavorabel. Terdapat empat kategori respon yang disediakan, yaitu SS (sangat sesuai), S (sesuai), TS (tidak sesuai), dan

(49)

Tabel 1

Distribusi Aitem Skala Kompetensi Interpersonal

No Indikator Jumlah Aitem Bobot (%)

Fav Unfav

1 Kemampuan inisiatif 1, 7, 26, 35, 39, 40, 48,

59, 62, 68

11,19, 56,

72, 73 20

2 Kemampuan bersikap terbuka 6, 18, 20, 21, 24, 30, 37,

dukungan emosional 27, 33, 46, 49, 50, 55,

Skala kompetensi interpersonal ini kemudian diujicobakan pada siswa

kelas VII SMPN 3 Godean akhir bulan November 2010. Skala yang disebarkan berjumlah 60 skala. Data hasil uji coba tersebut kemudian dianalisa untuk melihat reliabilitas dan validitas internal masing-masing aitem dengan bantuan program

SPSS for Windows 17.

Hasil analisa data uji coba menunjukkan dari 75 aitem yang disajikan

(50)

dan koefisien reliabilitas Alpha sebesar 0,946. Aitem-aitem yang telah dikoreksi dianalisis kembali dengan menggunakan metode yang sama sehingga dapat dilihat

koefisien korelasi aitem bergerak dari 0,312 – 0,877 dengan koefisien reliabilitas Alpha sebesar 0,966. Artinya skala tersebut menghasilkan skor yang dapat

dipercaya. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2

Hasil uji coba data 75 -0,441 – 0,846 0,946

Hasil setelah dikoreksi 59 0,312 – 0,877 0,966

Tabel berikut ini menunjukkan sebaran aitem yang digunakan dalam penelitian.

Tabel 3

Distribusi Aitem Lolos Seleksi Skala Kompetensi Interpersonal

No Indikator Nomor Aitem Jumlah

Fav Unfav

1 Kemampuan inisiatif 1, 7, 26, 35,

39, 40, 48, 62 11, 56, 73 11 2 Kemampuan bersikap terbuka 6, 18, 20, 21,

24, 30, 37

(51)

F. Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Quasi Experiment the Nonrandomized Pretest-Posttest Control Group Design. Desain ini menggunakan dua kelompok, yang mana satu kelompok menjadi Kelompok

Eksperimen (KE) dan kelompok lainnya sebagai Kelompok Kontrol (KK). Kelompok Eksperimen diberi pelatihan, sedangkan Kelompok Kontrol tidak diberi pelatihan. Pretest berupa pemberian skala Kompetensi Interpersonal akan menginformasikan kemampuan awal subyek sebelum pelatihan. Setelah itu, pelatihan keterampilan inti peer support diberikan sebagai bentuk perlakuan. Sedangkan skala Kompetensi Interpersonal yang diberikan sesudah pelatihan bertujuan sebagai alat ukur untuk melihat seberapa besar tingkat perubahan kompetensi interpersonal setelah pelatihan. Berikut ini digambarkan skema desain

penelitian yang digunakan.

Gambar 1 Skema Desain Penelitian

G. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis Kuantitatif dengan bantuan SPSS for Windows 17. Berdasarkan hipotesis dan tujuan penelitian ini maka metode analisis data kuantitatifnya menggunakan

Pretest

Pretest

Pelatihan Posttest

K E

(52)
(53)

34

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Orientasi Kancah dan Pelaksanaan Penelitian

1. Orientasi Kancah

Penelitian ini dilakukan di SMP Taman Dewasa Jetis Yogyakarta.

Sekolah ini terletak di Jalan A.M Sangaji nomor 39, Yogyakarta. SMP Taman Dewasa merupakan salah satu cabang yang dimiliki oleh Perguruan Tamansiswa. Perguruan Tamansiswa sendiri didirikan oleh Ki Hajar

Dewantoro pada tanggal 3 Juli 1922. Ajaran Ki Hajar Dewantoro yang terkenal adalah Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa),

dan Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberi teladan).

Penelitian melibatkan seluruh siswa kelas VII B dan VII D. Pelatihan

Keterampilan Inti Peer Support diberikan kepada siswa kelas VII D yang berjumlah 31 anak sebagai kelompok eksperimen, sementara siswa kelas VII B yang juga berjumlah 31 anak berperan sebagai kelompok kontrol. Subyek

yang memenuhi kriteria untuk menjadi subyek dalam penelitian ini adalah remaja awal yang berusia 12-15 tahun dan mengikuti seluruh tahap penelitian.

(54)

2. Pelaksanaan Pelatihan

a. Deskripsi Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah siswa kelas VII B dan D SMP Taman Dewasa Jetis, Yogyakarta. Penjabaran lebih lanjut dapat dilihat pada tabel

4 berikut.

Tabel 4

Data Subyek SMP Taman Dewasa Jetis

Jenis Kelamin Kelompok Eksperimen

Kelompok Kontrol

Laki-laki 19 20

Perempuan 12 11

Total 31 31

b. Deskripsi Aktivitas Pelatihan

Penelitian ini dilakukan di SMP Taman Dewasa Jetis pada tanggal

13 Desember 2010, 7 dan 8 Januari 2011, serta 22 Januari 2011. Penelitian melibatkan siswa kelas VII B dan D. Siswa kelas VII B berfungsi sebagai kelompok kontrol dan siswa kelas VII D sebagai kelompok eksperimen.

Tahappretestuntuk kelas VII B dan VII D dilakukan pada hari yang sama yaitu 13 Desember 2010. Peneliti sebelumnya memberikan penjelasan kepada subyek penelitian mengenai cara pengerjaan soal dan kemudian

memberikan skala Kompetensi Interpersonal. Skala yang terkumpul berjumlah 62 skala.

(55)

lebih 3 jam. Akan tetapi, kebijakan dari sekolah memberikan waktu pada peneliti untuk melaksanakan kegiatan selama dua hari dengan

pertimbangan agar tidak terlalu mengganggu kegiatan belajar mengajar. Pada hari pertama kegiatan pelatihan dilakukan di ruang kelas VII D

karena saat itu aula sekolah sedang dipakai untuk mata pelajaran Bahasa Inggris. Pelatihan hari ke dua dilaksanakan di aula SMP Taman Dewasa Jetis. Metode yang dilakukan dalam pelatihan ini antara lain: ceramah,

games, role play, diskusi, dan debrief. Seluruh materi pelatihan disusun dalam sebuah modul yang berisi tentang keterampilan inti peer support,

yaitu Membangun Kepercayaan dalam Hubungan, Keberadaan, Mendengar Aktif, Merespon, Bertanya Efektif, Menunggu dengan Diam. Modul ini kemudian diberikan kepada peserta pelatihan untuk

mempermudah peserta dalam memahami materi. Selain itu, modul juga dilengkapi halaman yang dapat digunakan peserta utnuk mencatat hal apa

saja yang dapat mereka pelajari selama pelatihan.

Peneliti melibatkan Andrian Liem, S. Psi sebagai trainer, yang bertugas menyampaikan materi pelatihan. Selain itu peneliti juga

melibatkan Sekar Jati B. dan Thea Damianie yang merupakan mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma angkatan 2006 sebagai observer.

(56)

terhadap materi, metode, dan trainer yang menjadi komponen dalam penelitian ini agar peserta mampu mengindikasikan respon utuh

Pada tanggal 22 Januari 2011 peneliti melakukan penelitian tahap

posttest. Pada tahap posttest ini peneliti membagikan kembali skala Kompetensi Interpersonal. Sama seperti tahap pretest, skala yang terkumpul adalah 62 skala sesuai dengan jumlah subyek penelitian.

B. Hasil Observasi Pelaksanaan Penelitian

Pada awal kedatangan tim eksperimenter, para peserta pelatihan merespon

dengan cukup antusias. Hal ini tampak ketika ada beberapa peserta yang mulai bertanya apa kegiatan yang akan dilakukan. Peneliti memulai kegiatan dengan memberi salam dan memperkenalkan trainer. Perkenalan trainer ini diakhiri dengan tepuk tangan dari para peserta. Sebelum masuk ke dalam materi, trainer

menyampaikan aturan dalam mengikuti pelatihan, yaitu ketika trainer berbicara maka peserta harus mendengarkan dan peserta yang ingin bertanya dapat mengacungkan jarinya. Kemudian trainer membagikan sebuah kertas kecil yang telah diberi perekat di bagian belakang. Kertas tersebut berguna sebagainametag, sehinggatrainerdapat sedikit menghafal nama peserta.

Terdapat beberapa peserta yang kurang dapat bekerjasama dengan baik

dan ramai sendiri. Namun, menurut observer trainer mampu mengendalikan kegiatan tersebut sehingga suasana pelatihan tetap kondusif. Pada hari pertama

(57)

Sementara itu masih ada beberapa peserta yang mengobrol sendiri dan tidak mau mendengarkan trainer. Trainer pun harus mendatangi peserta satu per satu dan mengingatkan untuk tetap fokus pada pelatihan yang tengah berlangsung. Terkadang peserta tidak begitu paham apa yang dikatakantrainer. Contohnya saat melakukan kegiatan pertama, yaitu Trust Walk, trainer harus mengulang instruksinya karena ada beberapa anak yang mengatakan bahwa dirinya kurang dapat mendengar instruksitrainerdengan jelas. Pada setiap akhir kegiatan,trainer

melakukan debriefing untuk mendapatkan umpan balik dari peserta mengenai kegiatan yang telah mereka lakukan. Selanjutnya peserta menuliskan apa saja hal

yang ia pelajari selama kegiatan dalam halaman yang telah tersedia pada modul. Saat dilakukan debriefing untuk pertama kalinya, belum ada peserta yang mau mengungkapkan pendapatnya, sehingga trainer menyebutkan salah satu nama peserta dan mencoba menanyakan hal apa yang ia dapat selama melakukan kegiatan tersebut. Akan tetapi, pada debriefing berikutnya sudah ada beberapa anak yang berani berbagi pengalaman tentang apa yang ia rasakan selama melakukan kegiatan. Menurut observer, trainer dapat memberi kesimpulan yang tepat dan sesuai dengan tujuan kegiatan pada akhirdebriefing.

Trainer menutup pelatihan hari pertama dengan mengingatkan peserta untuk bertemu kembali kesesokan harinya dan meminta peserta mengumpulkan

modul pelatihan. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi agar modul tidak hilang atau tertinggal di rumah.

Pelatihan hari ke dua dilaksanakan di aula SMP Taman Dewasa Jetis.

(58)

hal ini dapat mendukung jalannya pelatihan. Peserta masuk ke dalam aula dengan cukup teratur meski ada beberapa yang berebut tempat duduk. Pada hari ke dua ini

tampak peserta pelatihan lebih akrab dengan trainer dan mulai menyapa trainer. Menurut observer, peserta lebih kondusif dan tertib daripada hari pertama.Trainer

memulai dengan me-review kegiatan hari kemarin. Seorang peserta dengan lantang dapat menyebutkan kegiatan apa saja yang telah dilakukan pada pelatihan hari pertama. Setelah itu trainer langsung masuk ke materi berikutnya. Selama kegiatan berlangsung, peserta dapat berinteraksi cukup baik dengan trainer. Contohnya ketika trainer mencoba untuk melakukan sharing mengenai pengalaman peserta, tanpa harus disebutkan namanya ada beberapa peserta yang bersedia sedikit bercerita. Akan tetapi, ketika terdengar bel pulang sekolah para peserta menjadi tidak kondusif karena melihat anak-anak kelas lain telah keluar

dari ruang kelasnya. Trainer kemudian meminta peserta untuk tetap tenang dan bersedia meluangkan waktu 10 menit lagi untuk benar-benar menyelesaikan

kegiatan yang terakhir.

Pada akhir pelatihan, peserta kemudian diberi lembar evaluasi. Dari 31 orang peserta, 23 orang atau kurang lebih 74,2% peserta menyatakan bahwa

materi dalam pelatihan dapat dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas serta sarana yang digunakan dalam penelitian juga mendapat

penilaian yang baik. Peserta menganggap trainer mampu menyampaikan materi dengan cukup jelas. Hal ini pula yang mempengaruhi pemahaman peserta akan materi pelatihan. Dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan pelatihan ini

(59)

materi dan menyampaikannya dengan cara yang mudah dipahami oleh peserta. Tidak jarangtrainermenyelipkan humor sehingga membuat peserta sedikit santai. Begitu pula dengan peserta, terkadang mereka melontarkan kalimat yang lucu sehingga suasana kelas menjadi tidak kaku.

C. Hasil Penelitian

1. Hasil Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas sebaran aitem pada skala Kompetensi Interpersonal

menunjukkan sebaran yang normal. Hal ini dapat dilihat dari Kolmogorov-Smirnov Z gain score Kelompok Eksperimen = 0,454 dengan p = 0,986. Sedangkan Kolmogorov-Smirnov Z gain score Kelompok Kontrol = 0,792 dengan p = 0,558.

Tabel 5

Uji Asumsi

Gain Score Kelompok Eksperimen

Gain Score Kelompok

Kontrol

Kolmogorov-Smirnov Z 0,454 0,792

p 0,986 0,558

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah varian populasi sama atau tidak. Uji ini dilakukan sebagai prasyarat dalam analisis

(60)

2008). Sebagai kriteria pengujian, jika nilai signifikansi lebih dari 0,05 (p > 0,05) = Ho diterima, berarti varian dari dua kelompok data adalah sama, dan

jika nilai signifikansi lebih dari 0,05 (p < 0,05) = Ho ditolak, berarti varian dari dua kelompok data adalah berbeda.

Hasil uji homogenitas data dengan menggunakan Levene’s Test

menunjukkan bahwa nilai p = 0,092 berarti nilai signifikansi lebih dari 0,05 (p > 0,05) = Ho diterima, dan varian dari dua kelompok data adalah sama.

2. Deskripsi Data Penelitian

Peneliti melakukan pengukuran untuk mengetahui perubahan perilaku sebelum dan sesudah pelatihan antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Hasil pengukuran perilaku adalah sebagai berikut:

Tabel 6

Hasil Pengukuran Kompetensi Interpersonal

Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol

Pretest Posttest Gain

Score Pretest Posttest

Gain Score Jumlah

subyek 31 31 31 31 31 31

Skor 5270 5490 220 5388 5223 -165

Mean 170 177.0968 7.096774 173.8065 168.4839 -5.32258 SD 9.387936 7.440228 11.47274 7.440517 6.786609 10.59996

Pada penelitian ini diketahui gain score yang diperoleh kelompok

(61)

perhitungan gain score tersebut dapat dilihat bahwa kelompok kontrol menunjukkan penurunan yang cukup banyak antara skor pretest dan posttest. Menurut informasi dari Guru BK SMP Taman Dewasa Jetis, Ibu Musi Giri Astuti, S.Pd, selama jeda waktu dua minggu sebelum dilakukanposttest tidak ada hal atau kegiatan yang diindikasi mampu meningkatkan kompetensi interpersonal subyek.

3. Hasil Uji Hipotesis

Uji analisa data menggunakan Independent sample t-test diperoleh nilai t sebesar 4,427 dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Berdasarkan hasil analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara skor skala Kompetensi Interpersonal subyek sebelum dan sesudah

mengikuti pelatihan.

Tabel 7

Uji Hipotesis

Kelompok N Mean SD t hitung df Sig

(2-tailed)

Eksperimen 31 7,096774 11,47274

Kontrol 31 -5,32258 10,59996

4,427 60 0,000

Setelah melalui uji hipotesis, dapat dilihat bahwa Ho ditolak, dengan demikian Ha diterima. Artinya, pelatihan ketrampilan inti peer support

(62)

D. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Pelatihan Keterampilan

Inti Peer Support dapat meningkatkan kompetensi interpersonal pada remaja. Pada penelitian ini peneliti melibatkan 31 subyek sebagai kelompok eksperimen

dan 31 subyek lainnya sebagai kelompok kontrol. Kedua kelompok diberikan skala sikap untuk mengukur kompetensi interpersonal. Peneliti memberikan manipulasi berupa Pelatihan Keterampilan Inti Peer Support hanya kepada kelompok eksperimen.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapat hasil bahwa ada

perbedaan pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah pelatihan. Hal ini tampak pada mean pretest (170) dan posttest (177,0968) yang artinya ada pengaruh pelatihan Keterampilan Inti Peer Support terhadap peningkatan kompetensi interpersonal remaja. Selain itu, hasil pengujian mean gain score kelompok eksperimen = 7.096774 dan kelompok kontrol = -5.32258 dengan

teknik Independent sample t-test juga menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada subyek kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (t = 4,427; p = 0,000). Adanya skor yang menurun cukup besar pada kelompok kontrol

kemungkinan disebabkan oleh pengaruh lingkungan di luar sekolah ataupun hal-hal pribadi dalam diri subyek yang tidak mampu terdeteksi oleh peneliti.

Kompetensi interpersonal pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: kontak dengan orang tua, hubungan dengan teman sebaya, dan partisipasi sosial. Desmita (2009) mengemukakan bahwa keterikatan dengan orang tua ini

(63)

keterikatan dapat menyediakan landasan yang kokoh bagi remaja untuk menjelajahi lingkungan baru dan dunia sosial yang luas dengan cara yang sehat

secara psikologis. Sementara itu, seorang anak yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya juga memiliki kesempatan yang lebih besar

untuk meningkatkan perkembangan sosial dan emosinya (Kramer dan Gottman, 1992). Hurlock (1997) menjelaskan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh partisipasi sosial dari individu. Individu yang terlibat dalam

kegiatan-kegiatan sosial akan lebih berpeluang untuk mengasah keterampilan-keterampilan sosial yang dimiliki termasuk kompetensi interpersonalnya.

Faktor-faktor inilah yang awal mulanya membentuk kompetensi interpersonal individu. Dapat dikatakan bahwa semakin baik faktor yang mempengaruhi, maka kompetensi interpersonal yang dimiliki oleh individu

tersebut juga semakin baik. Akan tetapi, kompetensi interpersonal merupakan sebuah keterampilan yang dapat ditingkatkan melalui pelatihan. Salah satu

pelatihan yang berkaitan dengan peningkatan kompetensi interpersonal adalah Pelatihan Keterampilan Inti Peer Support. Pelatihan ini mengajarkan pesertanya untuk lebih dapat memahami prinsip-prinsip yang terkandung dalampeer support

sehingga kompetensi interpersonal para peserta meningkat seiring dengan pemahamannya.

Pelatihan merupakan serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman, atau untuk melakukan suatu perubahan sikap indvidu (Simamora, 1995). Dalam konteks

Gambar

Tabel 2. Koefisien Korelasi Aitem…………………………………….....
Gambar 1. Skema Desain Penelitian……………………………………..
Tabel 1
Tabel 2Koefisien Korelasi Aitem
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengukuran fungsi paru (restriktif, obstruktif dan gabungan/Mixed) dengan Spirometer dan hasil laboratorium pemeriksaan imunoglobulin (IgE total dan IgG total) serum

(1) Kantor Perwakilan Pemerintah Daerah mempunyai tugas pokok melaksanakan pelayanan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik yaitu di bidang pelayanan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat retensi dan penetrasi ekstrak daun mimba pada bambu petung dengan variasi konsentrasi serta konsentrasi

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan analisis butir soal yang meliputi segi validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, daya pembeda, dan efektifitas pengecoh

Refleksi dilakukan dengan memberikan pertanyaan reflektif tentang pengalaman yang diperoleh selama membuat proyek tersebut dan niatan yang timbul untuk langkah

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi promosi di Perpustakaan Daerah (Perpusda) Kabupaten Purworejo meliputi: 1) bentuk kegiatan promosi; 2) proses

Program adalah susunan instruksi yang logis dan mengandung bahasa yang diketahui oleh mikroprosesor dan bila dieksekusi akan diperoleh suatu hasil yang sesuai