i
ANALISIS TEMATIK INGATAN KOLEKTIF PERISTIWA PENEMBAKAN MISTERIUS YANG TERJADI DI INDONESIA
(1983 – 1985) Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh: Diah Astuti Retnaning T.
049114035
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2012
iii
“Einmal ist keinmal, says Tomas
to himself. What happens but
once, says the German adage,
might as well not have happened
at all. If we have only one life
to live, we might as well not
have lived at all.”
v
Untuk ayah tercinta
Alm. Hari Soemarno
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 3 April 2012
Penulis,
vii
ANALISIS TEMATIK INGATAN KOLEKTIF PERISTIWA PENEMBAKAN MISTERIUS YANG TERJADI DI INDONESIA
(1983 – 1985) Diah Astuti Retnaning T.
ABSTRAK
Peristiwa penembakan misterius (petrus) yang terjadi di Indonesia pada tahun 1983 hingga 1985 merupakan sebuah langkah eksekusi terhadap para pelaku tindak kriminal (gali) tanpa melalui jalur hukum. Berbagai penelitian yang telah diterbitkan mengenai peristiwa ini, biasanya dilakukan melalui disiplin ilmu antropologi dan sejarah. Dari penelitian-penelitian tersebut muncul kritik yang tajam atas diadakannya petrus, dimana pemerintah dianggap telah menggunakan kekuasaannya dengan kejam dan sewenang-wenang. Dalam penelitian ini peneliti bermaksud untuk melihat sisi lain peristiwa tersebut dengan sudut pandang psikologis, melalui rekaman pengalaman mengenai peristiwa petrus yang masih ada di dalam ingatan masyarakat (collective memory). Penelitian ini merupakan sebuah studi naratif dengan tujuan untuk menemukan makna-makna (meaning) yang muncul dari pengalaman tentang peristiwa petrus. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif naratif dengan analisis tematik. Subyek yang dipilih dalam penelitian ini tidak diarahkan dalam syarat keterwakilan jumlah melainkan pada kecocokan konteks tujuan penelitian yang merepresentasikan karakter masyarakat secara umum. Metode wawancara dalam penelitian ini adalah metode semi terstruktur. langkah-langkah analisis data yang dilakukan dalam peneitian ini diawali dengan membuat transkrip wawancara, mengidentifikasi tema-tema yang muncul (coding), dan kemudian melakukan interpretasi dan pembahasan. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa pengalaman kolektif mengenai petrus memiliki karakteristik traumatis, selain itu sebagai sebuah peristiwa silent event, petrus menjadi sumber teror yang pada akhirnya menjadi bukti adanya relasi kekuasaan antara negara (state) dan masyarakat (society ) yang tidak seimbang.
kata kunci : memori kolektif, teror, trauma, gali, negara, relasi kekuasaan
THEMATIC ANALYSIS ON THE COLLECTIVE MEMORY OF THE EVENT OF MYSTERIOUS KILLING IN INDONESIA (1983 – 1985)
Diah Astuti Retnaning T.
ABSTRACT
Penembakan misterius (“mysterious killings”) or “Petrus” is the series of extrajudicial killings that took place from 1983 to 1985 in Indonesia. Operation petrus killed “suspected criminals” without legal procedure. Several works on this topic has been done through anthropological and historical approach. Based on those research, a substantial criticism is addressed to petrus in wich government is considered misusing its power to mindlessly abuse its people. In this research, the researcher purports to look at the other side of the event through psychological approach, by examining records of the mysterious shooting stored in people’s memory or collective memory. This research is a narrative study aiming at finding meanings emerging from such an experience. Approach utilized in this research is qualitative narrative with thematic analysis. Subjects being chosen in this research are not designed for meeting a minimum representation, instead it is driven by the research contextual purpose to fit society’s character at large. Method of interview in this research is semi-structured interview. Stages of data analysis are as follows; drafting interview transcript, identifying emerging themes (coding), and then interpretation on the data followed by discussion which results in the conclusion that collective memory of petrus has traumatic characteristic. Besides that, as a silent event petruswas a source of terror which acts as a solid proof of imbalance power relation between the state and the society.
ix
LEMBAR PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
NAMA : DIAH ASTUTI RETNANING T.
NIM : 049114035
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
ANALISISTEMATIK INGATAN KOLEKTIF PERISTIWA PENEMBAKAN MISTERIUS YANG TERJADI DI INDONESIA (1983 – 1985)
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya
memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk
menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 3 April 2012
Yang menyatakan,
Diah Astuti Retnaning T.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala
berkat yang melimpah sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan skripsi yang
berjudul
“ANALISIS TEMATIK INGATAN KOLEKTIF PERISTIWA
PENEMBAKAN MISTERIUS YANG TERJADI DI INDONESIA (1983 – 1985)” dengan baik.
Suatu proses yang cukup panjang telah penulis lewati dalam penyusunan skripsi
ini dengan melibatkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan
dukungan yang sangat berarti. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih dengan setulus hati kepada:
1. Dr. Christina Siwi selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
2. Ratri Sunar A., M.Si. selaku Kaprodi Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta
3. Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. selaku dosen pembimbing akademik
4. V. DidikSuryo HartokoS.Psi.,M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi
5. Dr. Tjipto Susana, M.Si. dan C. Siswa Widyatmoko., M. Psi selaku dosen
penguji
6. Ibu Sylvia CMYM., M.Si. Selaku Dosen dan sahabat di kampus
7. Ayah, Ibu, Mbak Eka, Vita, Mas Eko keluarga inti yang selalu mendukung
xi
8. Sahabat & teman saya: Hari Soemarno, Agus Heru, Ucup, Rosna, Papi
Jati, Galih ‘upil’, Tessa ‘susu’, Paul Daley, Gamet, Mia, mas Bram &
mbak Maya, Ruby, Alfan ‘kokom’, Iyok, Astrid Reza, Dalih, Bumi, Sigit
Pius, Ithonk, Koko, Karel Dudesek, Lukas Birk, Yuno Baswir, Nindia &
Heru, Jerry Jejor, Jeff, Kunz, Fera psi, Lala Psi, Mitha Psi, Guntur Psi,
Cathax, Ndaru Marsha, Lars, Marto art, Ebe & Aam, Tejo Baskoro, Fajar
Maulinda, Ulfa Aunila, Dewi ‘rajut’, Pak Yanto, Alia Swastika, Tobi,
Emang, Tompel, Adam ‘bintang’, Mimi, Kokok Sancoko & mbak Lina,
Popok T. Wahyudi, Jonathan Bossaer, mbak Putri, Pak BG, Naras, Randu
Rini & Ahmad Moetaba, mbak Putri, Bambang ‘Rumah hantu’, Mbak
Vini & Mbak Jupee, Pak Dom, Nunung, Jakfar, Lala Psi, Mitha Psi,
Yoyok Psi, Pak Sal, Ndik, Arya Mahdi, Tonce, Gentur, Okky, Bintang
krew, mas Pengky, Hans (alm), Eddie Hara, Heri Dono, Sherman Ong.
9. Ketiga subjek penelitian saya yang sudi membagi waktu dan ceritanya
kepada saya
10.Teman teman saya di fakultas psikologi angkatan 2004
11.Romo Banar dan Romo Baskoro di IRB
12.Lita BM, Saut Situmorang, Rukman Rosadi,
13.Leo Silitonga dan Helen Koeswoyo (Galeri Umah Seni)
14.Supratiknya kelas seminar
15.Pak Gik, Mas Gandung, Mas Doni, Mas Muji
16.Bu Sarmi
Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat.
Yogyakarta, 3 April 2012
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II. LANDASAN TEORI ... 8
A. Kajian Kepustakaan Tentang Peristiwa Petrus ... 8
B. Memahami Memori Kolektif ... 12
1. Sebuah peristiwa yang terus dibicarakan dan dipikirkan ... 13
2. Silent event – collective memory ... 14
C. Narasi dalam Konteks Teror dan Trauma ... 15
1. Narasi Trauma ... 16
2. Narasi Teror ... 18
3. Trauma Sebagai Luka Kolektif ... 19
4. Teror dan Relasi Kekuasaan ... 21
D. Daftar Pertanyaan Empiris ... 23
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 24
A. Metode Naratif ... 24
B. Subjek Penelitian ... 26
C. Fokus Penelitian ... 28
D. Metode Pengumpulan Data ... 28
E. Metode Analisis Thematic Narrative ... 29
1. Pengumpulan Data ... 30
2. Pengkodean (coding) ... 30
3. Intepretasi dan Pembahasan ... 31
BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 32
A. Identifikasi Peristiwa Petrus Sebagai Pengalaman Kolektif ... 32
xv
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 68
A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 71
LAMPIRAN .. ... 77
DAFTAR TABEL
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Transkrip Wawancara ..………. 61
2. Coding …………………. 66
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peristiwa Penembakan Misterius atau yang lebih dikenal dengan Petrus
terjadi di Indonesia pada tahun 1983. Petrus ditandai dengan banyaknya mayat
dengan luka tembak yang ditemukan di tempat-tempat umum. Dari berbagai
pemberitaan yang berkembang di tengah masyarakat kala itu, terlihat adanya
reaksi beragam dari masyarakat umum. Sebagian masyarakat merasa tidak
setuju dan marah dengan petrus, namun ada juga yang memberikan dukungan
terhadap petrus karena melihat korban petrus yang diidentifikasi sebagai
penjahat, preman, gali (gabungan anak liar), bromocorah, residivis dan atau
kaum kecu (Budiawan, 2007).
Ada berbagai macam diskursus yang bisa digunakan untuk membaca
peristiwa petrus, antara lain dilihat dari tendensi politik, aktivitas ekonomi,
pengembangan pariwisata, pertahanan keamanan dan ketertiban, konspirasi
politik dan “shock therapy”. Gambaran umum mengenai peristiwa ini diawali
dengan pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia yang mengalami penurunan.
Sementara itu, arus urbanisasi semakin meningkat dan menghasilkan masalah
sosial (social problems) (Markum, 2009), seperti tingginya angka
pengangguran di wilayah perkotaan yang berujung pada peningkatan angka
kriminalitas. Tingginya perilaku kriminal yang seringkali disertai dengan
2
tahun itu juga pemerintah membuat skenario “petrus” terhadap orang-orang
yang dianggap sebagai penjahat. Para penjahat tersebut ditindak dengan tegas,
ditembak di tempat dan dengan sengaja memperlihatkannya kepada
masyarakat dengan membuang mayat korban penembakan di tempat-tempat
umum (Retnowati, 2007).
Dalam buku biografinya, mantan presiden Soeharto membenarkan
adanya operasi “petrus” ini sebagai bentuk terapi kejut untuk meredam
kejahatan, dengan mengistilahkannya sebagai sebuah treatment (Soeharto,
1989). Memanfaatkan keresahan masyarakat terhadap kriminalitas dan respon
positif mereka terhadap “petrus”, pihak keamanan negara (polisi dan militer)
sebagai kepanjangan tangan pemerintah seolah mendapat legitimasi atas
tindakan eksekusi tanpa melalui proses hukum (Ricklefs, 2007)
Pihak militer dan kepolisian bahkan meminjam istilah-istilah
“psikologi” untuk membenarkan aksi pembunuhan tersebut (Browne, 1999).
Mohammad Hasbi memiliki pernyataan yang senada dengan Soeharto, seperti
yang dikutip oleh Browne dalam desertasinya. Hasbi yang disebut-disebut
sebagai penggagas diselenggarakannya OPK (operasi pemberantasan
kejahatan— sebelum akhirnya berkembang menjadi petrus) di Yogyakarta,
menyatakan:
“OPK akan terus berjalan tanpa perduli…., ini adalah semacam metode ‘shock therapy‘ yang akan memberi hasil yang memuaskan” (Mohammad Hasbi dalam Browne, 1999).
Shock therapy “Petrus” yang akhirnya menyebar secara sporadis di
berbagai wilayah di tanah air ini terus-menerus berlangsung hingga tahun
1984 dan dalam prosesnya berubah menjadi teror bagi masyarakat. Dalam
kamus psikologi, teror disebut sebagai ketakutan yang bersifat ekstrim atau
luar biasa. Teror juga diartikan sebagai perbuatan, pemerintahan dan
sebagainya yang sewenang-wenang, kejam, bengis, dan sebagainya (Suharso
& Retnoningsih, 2005). Ketakutan yang intens atau terus menerus tentunya
akan mengakibatkan kekacauan psikis baik secara personal maupun kolektif
(masyarakat). Pada kurun waktu 1983 hingga 1985, sudah menjadi hal yang
biasa ketika kita menemukan mayat bertato dengan luka tembak. Mereka ada
di pasar, sawah, dan juga jalan raya. Menurut laporan majalah Tempo, korban
“petrus” mencapai angka 10.000 jiwa (“Ia Bicara Soal Petrus”, 1994).
Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras)
mencatat setidaknya ada 11 provinsi di mana korban “petrus” berjatuhan,
yakni Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Lampung Sumatra
Selatan, Sumatra Utara, Bali, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Masih dari sumber yang sama, diketahui bahwa jumlah mayat tak dikenal
pada tahun 1982 di DKI tercatat 428 orang, pada 1983 terdapat 781 korban,
dan 1984 tercatat 108 korban tak dikenal. Data lainnya, di seluruh Indonesia
pada 1983, korban petrus tercatat 532 orang tewas. Dari jumlah tersebut, 367
tewas terdapat luka tembak. Sementara itu pada 1984, Kontras mencatat 107
tewas, 15 orang di antaranya luka tembak. Dan pada 1985, tercatat 74 tewas,
24 di antaranya akibat luka tembak (Kantor Berita Trijaya, wawancara, 2008 ).
Gelombang protes berdatangan dari berbagai pihak. Kelompok
4
mengklaim bahwa membunuh para pelaku kriminal yang diidentifikasikan
sebagai mereka yang bertato atau narapidana yang melarikan diri dari penjara
adalah sikap yang terlalu menyederhanakan persoalan (Retnowati, 2007). Para
cendekiawan, politisi, dan pakar hukum turut melontarkan kecaman bahwa
hukuman tanpa pengadilan adalah kesalahan serius. Bahkan, kecaman pun
datang dari luar negeri, seperti pemerintah Amerika Serikat, Jerman Barat,
Belanda, Kanada, Inggris, Vatikan, Australia, dan sebagainya. Mereka
menyatakan petrus sebagai bentuk pelanggaran HAM yang sangat brutal dan
transparan (Bourchier, 1990).
Bagaimanapun buruknya tindakan kriminalitas yang terjadi pada saat
itu, negara Indonesia tetaplah negara hukum yang harus tetap menjalankan
konstitusi dan menjunjung tinggi asas hukumnya. Bathi Mulyono (salah satu
mantan target petrus yang selamat) menyatakan bahwa petrus adalah bukti
bahwa negara telah mengingkari aturan KUHAP yang dimaklumatkannya
sendiri pada 31 Desember 1981. Landasan pokok KUHAP adalah adanya
“Asas Praduga Tidak Bersalah”, dimana setiap individu yang diduga sebagai
pelaku kejahatan jenis apapun memiliki hak untuk menjalani proses
pengadilan dan mendapatkan pembelaan sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku.
Peristiwa eksekusi berupa penembakan misterius terhadap anggota
masyarakat berlabel kriminal tentunya menjadi bagian sejarah tersendiri bagi
masyarakat yang menjadi saksi atas peristiwa tersebut. Hasil Penelitian
sebelumnya mengenai kajian trauma (trauma studies) mulai memahami bahwa
trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat individual. Trauma
muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan
pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan (Thufail,
2005). Dalam konteks Negara Indonesia, masyarakat telah mengalami dan
menjadi saksi atas berbagai macam sejarah kekerasan di setiap etape
kekuasaan otoritarian, dari zaman feodal hingga era reformasi ini. Salah satu
peristiwa kekerasan yang massif dan menjadi trauma kolektif adalah peristiwa
pemberantasan anggota PKI paska 30 September 1965 yang menimbulkan
banyak kematian.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Radio Nederland
Wereldomroep kepada Yosep Adi Prasetyo (Komnas HAM) menyebutkan
bahwa peristiwa Petrus diselidiki karena adanya pengaduan dari masyarakat,
dan permintaan dari keluarga korban. Selain itu, beberapa korban selamat
kemudian mengadu ke Komnas HAM dan minta supaya peristiwa tersebut
diungkap. Selanjutnya berdasarkan suatu tim yang dibentuk untuk mengkaji
kembali apakah ada unsur-unsur pelanggaran HAM berat, ditemukan bahwa
ada indikasi terpenuhinya unsur-unsur pelanggaran HAM berat seperti
kejahatan ‘65.
Melalui kajian naratif ini peneliti akan coba untuk mencatat narasi
mengenai peristiwa petrus yang terekam dalam ingatan masyarakat umum
untuk menggali makna-makna (meaning) yang muncul dari uraian sejarah
tersebut. Makna-makna tersebut akan digali dengan menggunakan bantuan
6
dari hasil wawancara.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis tematik yang
dengan fleksibilitasnya akan memberikan kesempatan pada keseluruhan tema
ataupun sub-tema untuk saling dikaitkan dalam penyempurnaan analisis
(Braun, 2006). Peneliti berharap bahwa hasil dari penelitian ini dapat
memberikan sumbangan kepada usaha-usaha untuk memahami makna sebuah
peristiwa yang menjadi fenomena di dalam sebuah masyarakat dan mengenali
berbagai penokohan yang muncul dari cerita tersebut.
Melakukan penelitian mengenai petrus sebagai sebuah memori yang
disimpan secara kolektif akan membawa kita pada cara pandang yang
melibatkan ilmu pengetahuan secara luas. Pennebaker (1997) menyebutnya
sebagai ide-ide lintas disiplin di dalam psikologi, sosiologi, antropologi serta
ilmu politik yang nantinya akan dirangkum dalam diskusi.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana masyarakat yang menjadi saksi atas peristiwa petrus,
menceritakan kembali pengalaman mereka mengenai peristiwa tersebut dan
apa makna-makna yang terkandung di dalam ingatan yang mereka ceritakan
kembali.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa makna-makna yang
tersirat dari narasi tentang petrus. Sehingga dapat diketahui bagaimana
struktur dan hubungannya dengan konteks yang lebih luas.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini akan dapat memberikan sumbangan teoritis dalam
bidang psikologi, khususnya psikologi sosial mengenai posisi ingatan
kolektif dalam konteks kajian naratif.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber
informasi bagi masyarakat, sehingga dapat melihat fenomena
tersebut dari sisi yang berbeda.
b. Bagi LSM yang bergerak di bidang perlindungan HAM
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi agar
dapat memahami pandangan masyarakat mengenai peristiwa
tersebut, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu tinjauan
dalam melakukan konseling dan pendampingan kepada keluarga
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Kepustakaan Tentang Peristiwa Petrus
Menanggapi tingkat kriminalitas yang semakin meningkat di tahun
80-an, pemerintah segera melakukan pemberantasan kejahatan dengan
mengagendakan ‘Pembunuhan Misterius’ atau yang sering dikenal dengan
akronim Petrus. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yustina Devi
Ardhiani (2008) sepanjang tahun 1983 banyak mayat-mayat korban petrus
yang terbungkus karung goni dan bertanda bercak darah dibuang di
pinggir jalan. Dalam penelitiannya juga diketahui bahwa terkadang ada
warga yang dengan sukarela atau terpaksa menguburkan mayat yang
mereka temukan di jalan, tetapi cukup sering mayat-mayat tersebut
dibiarkan tergeletak di jalan sampai ada mobil patroli polisi yang
mengambilnya.
Petrus dengan segera menjadi sorotan publik di Indonesia, berbagai
surat kabar menulis kisah-kisah tentang pembunuhan tersebut dan
menjadikannya headline selama berbulan-bulan. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Pemberton (1994) terdapat banyak pernyataan publik
mengenai pembunuhan-pembunuhan tersebut, sehingga dapat disimpulkan
bahwa cerita tersebut bermakna bagi masyarakat secara umum (Bråten,
2003).
8
Dalam sebuah penelitian mengenai peristiwa petrus diperoleh
berbagai macam opini dari masyarakat. Sebagian menyatakan bahwa
angka kriminalitas menurun setelah ada petrus, namun diakui juga bahwa
hal tersebut hanya berlangsung sebentar sampai akhirnya meningkat lagi.
Opini yang lain menyebutkan bahwa selama peristiwa petrus terjadi,
warga yang memiliki tato takut untuk keluar rumah, yang lain berpendapat
bahwa mereka yang menjadi korban petrus sebenarnya hanya orang kecil
(Browne, 1999). Secara sederhana dijelaskan bahwa di satu sisi oleh
sebagian orang, petrus dianggap berhasil menjadi kontrol atas tingginya
angka kriminalitas. Namun, oleh sebagian yang lain petrus juga dinilai
sebagai cara pemerintah yang tidak humanis karena menghilangkan
prosedur hukum yang berlaku dan menimbulkan banyak korban. Myers
(1996) yang dikutip oleh Raymond A.I. Tambunan (2001) menjelaskan
bahwa individu-individu dalam sebuah masyarakat bisa mengalami hal
yang sama dengan individu-individu yang lain. Namun, pengalaman
tersebut seringkali menghasilkan persepsi yang berbeda terhadap suatu
kondisi.Setiap orang tidak begitu saja mengolah setiap peristiwa yang
dialaminya, namun melakukan seleksi dan intepretasi terhadap
pengalaman-pengalaman tersebut.
Seorang antropolog yang banyak melakukan penelitian di
Indonesia mengenai dinamika kekerasan Orde Baru, James T. Siegel
menjabarkan peristiwa petrus memiliki nuansa politis dimana ribuan
penjahat tersebut berkali-kali, kemudian menaruh mayat-mayatnya di
jalanan atau sungai agar menjadi tontonan. Hal tersebut menurut Siegel
merupakan eksistensi dari sebuah gagasan tentang kematian yang ingin
dikontrol oleh Negara (Siegel, 1998).
Menggarisbawahi penyataan Siegel tentang para gali yang
sebelumnya banyak dipekerjakan oleh partai pemerintah tentunya akan
menjadi kontroversi tersendiri sekaligus tanda tanya besar bagi masyarakat
pada masa sekarang yang membaca hasil penelitiannya. Namun, hal
tersebut nyatanya sejalan dengan penelitian-penelitian lain seperti Keeler
(1987, dalam Slamet-Velsink, 1994) yang bahkan dengan sangat jelas
menyebutkan bahwa gali atau jagoan memiliki fungsi yang sangat penting
dalam sebuah partai politik, seperti yang dituliskan oleh Eldar Bråten
sebagai berikut:
Dan diketahui dengan baik bahwa Partai-partai politik, tidak ketinggalan pula partai berkuasa GOLKAR, mengandalkan pria-pria kuat lokal ini untuk menekan masyarakat agar mendukung pemerintah selama pemilihan umum. Biasanya gali atau jagoan memiliki hubungan erat dengan dunia kriminal, tak terbatas pada musim pemilihan umum (Guinness 1986, hlm.100 – 101)…
Perihal mengapa pada akhirnya kekuatan serupa kaki tangan
pemerintah tersebut dibasmi dan seolah memperoleh dukungan positif dari
masyarakat dijelaskan oleh Nordholt bahwa: pertama, gali-gali yang
disertakan dalam pemilu 1982 menjadi lebih berani dan menuntut imbalan
yang lebih tinggi kepada penguasa yang dimenangkan. Faktor yang kedua
adalah lemahnya sistem hukum itu sendiri. Secara luas diketahui bahwa
aparatur peradilan begitu mudah menerima suap sehingga meloloskan
(khususnya) gali-gali kelas kakap yang memiliki kemampuan membayar
(Nordholt, 2003). Hal tersebut memunculkan rasa ketidakadilan pada diri
rakyat kecil atau kelas menengah, terutama yang merasa dirugikan oleh
keberadaan para gali. Namun dengan sistem hukum yang tidak bersih
membuat masyarakat kehilangan kepercayaannya. Oleh karena itu, dengan
menerapkan metode yang drastis, pemerintah mencoba untuk memulihkan
wewenangnya sekaligus memperoleh kembali kepercayaan masyarakat.
Bråten pada akhirnya menyimpulkan bahwa petrus memiliki dua
sifat, pertama sebagai sebuah usaha aktif untuk membasmi ‘masalah’
dimana aparat memasuki dan menggunakan kekuatannya, tanpa
pemberitahuan sebelumnya dan di luar kendali masyarakat. Kedua adalah
sifat publik yang jelas, dimana petrus berlanjut dengan keterbukaan yang
tidak biasa dengan pembuangan mayat-mayat di tempat-tempat umum
yang dimaksudkan untuk berbicara kepada rakyat biasa (Bråten, 2003)
Tentunya petrus hanya menjadi salah satu contoh kasus dari sekian
banyak upaya rezim untuk mengendalikan masyarakat. Bukan sesuatu
yang mengherankan jika Nordholt menyebutnya sebagai suatu psikologi
rasa takut dalam rangka mempertahankan kekuasaan melalui sebuah
12
B. Memahami Memori Kolektif
Memori dapat diartikan sebagai ingatan, kenang-kenangan, fungsi
mental yang kompleks untuk mengingat kembali apa yang pernah dialami
atau dipelajari, bayangan tentang apa yang telah dipelajari atau dialami,
penyimpanan informasi (Kartini & Dali Gulo, 1987). Ingatan (memory)
juga didefinisikan sebagai sebuah proses mental yang berkaitan dengan
penerimaan, penyimpanan, dan pemunculan kembali informasi yang
pernah diterima (Frank, 1989).
Ingatan akan sebuah peristiwa tertentu memiliki pengaruh dan sifat
yang berbeda satu sama lain. Peristiwa-peristiwa yang secara khusus
membutuhkan adaptasi psikologis memiliki sifat yang akan lebih mudah
diingat oleh seseorang (Pillemer, Rhinehart, & White, 1986, dalam
Pannebaker 1997), misalnya saja apabila peristiwa tersebut unik,
membangkitkan reaksi emosional, diulang-ulang secara aktif, dan
berhubungan dengan akibat berupa perubahan-perubahan dalam kelakuan
atau kepercayaan (Pannebaker, 1997).
Selain peristiwa-peristiwa tertentu secara khusus dapat diingat oleh
seseorang, ingatan juga bukan hanya hal yang bersifat individual tetapi
juga hal yang bersifat kolektif (Pennebaker & Banasik, 1997). Halbwachs
berargumen bahwa hampir semua memori adalah kolektif, terutama karena
memori-memori tersebut dibahas dengan orang lain (dalam Pennebaker &
Banasik, 1997). Karakter memori yang selama ini kita kenal unik dan
individual, ternyata memiliki sifat kolektif sebagai sesuatu yang diciptakan
dan dianalisis oleh sekelompok orang (secara kolektif) yang berupaya
untuk menyelidiki sifat sosial dari penciptaan-penciptaan ingatan itu
sendiri (Haugh dalam Mc Graw, 2008). Sementara itu intepretasi sosial
akan dikembalikan kepada individu untuk dimaknai kembali, seperti yang
dijelaskan oleh Fentris dan Wickham, dimana setiap individu tetap saja
secara aktif membuat atau mendefinisikan kembali masa lalu untuk dapat
membuat penyesuaian dengan masa kini sehingga dapat mempengaruhi
dinamika sosial yang ada (Pennebaker & Banasik, 1997). Hal tersebut
dapat disimpulkan sebagai sebuah proses psikologis yang dinamis dari
kemunculan dan bagaimana sebuah memori kolektif atas pengalaman
historis tertentu dipertahankan.
Berikut ini merupakan beberapa hal yang dapat mengindikasikan
sebuah ingatan atas peristiwa tertentu dapat berkembang menajadi ingatan
kolektif:
1) Sebuah peristiwa yang terus dibicarakan dan dipikirkan
Memori kolektif dapat diindikasikan dengan proses pembicaraan
dan pemikiran mengenai peristiwa tertentu oleh anggota-anggota dari
suatu masyarakat yang berkorelasi dengan peristiwa tersebut (Pennebaker,
1997). Pada saat peristiwa besar terjadi, biasanya orang akan terbuka
untuk mendiskusikan peristiwa tersebut. Tak hanya informasi faktual
mengenai peristiwa yang terjadi tetapi juga muatan-muatan emosional
yang dirasakan pada saat peristiwa tersebut terjadi (Rime & Veronique,
14
diperlukan pada saat proses berbagi pengalaman dan ingatan muncul ke
permukaan. Orang-orang secara intens akan membicarakan kejadian besar
tersebut dan menampung berbagai informasi yang terus menerus dan
penuh dengan berbagai macam opini oleh media. Kebanyakan orang bisa
saja menerima informasi terlebih dahulu lewat media kemudian
dibicarakan dan dipikirkan atau memperolehnya melalui cerita dari orang
lain untuk kemudian diperkuat oleh media dan kembali dipikirkan. Dengan
adanya unsur-unsur dasar tersebut, sulit bagi orang-orang untuk tidak
memiliki memori-memori serupa mengenai peristiwa yang sedang terjadi
saat itu. Memori serupa itulah yang akhirnya disebut sebagai memori
kolektif (Pennebaker & Banasik, 2007).
2) Silent event - collective memory
Silent event adalah suatu kondisi dimana ada pembungkaman atau
tekanan yang entah berasal dari dalam atau luar diri untuk tidak
membicarakan atau bahkan memikirkan tentang sebuah peristiwa. Hal
tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah kegagalan bicara yang bisa saja
muncul karena pemerintah yang represif melalui polisi atau aparatur
Negara yang lain. Rezim yang represif memiliki sebuah gagasan bahwa
dengan menciptakan tekanan untuk tidak berbicara akan membuat orang
melupakan sebuah kejadian, padahal kenyataan menunjukkan hal yang
sebaliknya. Sebuah penelitian menemukan bahwa silent event adalah suatu
unsur yang paling kuat dalam membentuk memori kolekif (Wegner, 1989
dalam Pennebaker, 1997). Hal tersebut terjadi karena orang biasanya gagal
ketika mencoba untuk menekan pikiran-pikirn yang tidak
diinginkan.Faktanya ingatan tersebut justru semakin dalam melekat.
Kejadian-kejadian yang menjadi beban secara emosional, pada saat
biasanya orang-orang enggan untuk membicarakannya akan memberikan
pengaruh yang besar dengan meningkatkan tingkat keseringan mereka
dalam memikirkan dan memimpikan kejadian-kejadian tersebut. Represi
politis terhadap pembicaraan tentang suatu kejadian, selanjutnya, akan
menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan dalam
mengkonsolidasikan memori kolektif yang terkait dengan kejadian yang
direpresi.
C. Narasi dalam Konteks Teror dan Trauma
Setiap individu memiliki berbagai cerita yang salah satunya
tersusun dari peristiwa-peristiwa yang pernah dialami atau
memori-memori yang menunjukkan berbagai hal pada masa kini atau pun berbagai
hal pada masa lalu. Memori sebagai sesuatu yang direkonstruksi dan
terus-menerus mengalami penyesuaian dengan keadaan, keyakinan, dan
pengalaman, memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap narasi
sebagai hasil intepretasi dan imajinasi kita sendiri.
Ketika seseorang menceritakan kembali sebuah cerita,
pembicaraan, maupun pengalaman pribadinya, terdapat suatu
kecenderungan untuk melakukan rekonstruksi atas cerita ingatan tersebut.
16
cenderung mengubah informasi tersebut menjadi masuk akal berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki. Karenanya memori menjadi sebuah
rekonstruksi yang sangat besar (Bartlett, dalam Wade &Travis, 2008).
Dalam psikologi narasi, kerja memori diidentikkan dengan suatu
proses pembentukan identitas dimana memori menempati tiga fungsi,
diantaranya:
1. Memadukan hal-hal yang asing
2. Memecahkan kontradiksi dan konflik
3. Mengkonstruksi sebuah versi dari masa lalu, baik masa lalu yang
menempatkan kita sebagai subjek di dalamnya atau masa lalu yang
terlepas dari kita.
1) Narasi Trauma
Rasa takut yang mengendap di dalam diri masing-masing individu
di dalam masyarakat menjadi salah satu bentuk gangguan
jiwa.Gangguan jiwa yang berlangsung lama seringkali tidak dapat
diamati, kecuali gangguan tersebut menampakkan bentuknya dalam
gejala yang sering disebut sebagai sindrom trauma.Trauma memiliki
kaitan yang sangat erat dengan PTSD (Post Traumatic Syndrome
Disorder). Menurut buku pegangan yang mengkategorikan jenis
penyakit jiwa, PTSD muncul sesudah seseorang menjadi korban atau
saksi terhadap suatu kejadian yang sangat mengerikan, misalnya
kekerasan, kecelakaan, pemerkosaan, atau serangan
tanda PTSD meliputi ketakutan, ketidakberdayaan, dan rasa dihantui.
Orang yang mengalami PTSD mengalami kembali peristiwa yang
mengerikan dalam mimpi atau bayangan mereka. Biasanya mereka
akan berusaha untuk mengurung diri dan menjauh dari hal-hal yang
mengingatkan mereka pada kejadian yang sebenarnya.
Dalam sebuah jurnal psikologi disebutkan bahwa gejala trauma
dalam perspektif sosial klinis tampak sebagai sebuah usaha menghalau
ingatan traumatik mengenai peristiwa traumatik. Teori Freud mengenai
ingatan dan kaitannya dengan ‘melupakan’ didasari oleh konsep
repression dimana seseorang secara tidak sadar (unconscious)
menghalau informasi yang menyakitkan atau menimbulkan kecemasan
(Baddeley, 1934). Hal tersebut merupakan sebuah reaksi umum pasca
trauma, meskipun, pada akhirnya bayangan tentang kejadian tersebut
tidak dapat dikubur di dalam ingatan dengan begitu saja.
…..Konflik antara keinginan untuk mengingkarinya (denial) dengan dorongan untuk menceritakannya secara terbuka merupakan dialektika dari trauma psikologis ( Nurrachman, 2002)
Herman (1992) menyebut pengingkaran (denial), represi bahkan
disosiasi yang biasanya terjadi pada diri korban juga dapat terjadi pada
level masyarakat, yang kemudian masuk dalam kumpulan
kejadian-kejadian traumatik masa lalu (Nurrachman, 2002). Ingatan traumatik
yang dimiliki oleh masyarakat secara kolektif akan menimbulkan
dampak yang besar bagi kehidupan mereka sebagai individu maupun
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, teror diterjemahkan sebagai
perbuatan, pemerintahan, dan sebagainya yang sewenang-wenang,
kejam, bengis, dan sebagainya.Bentuk kata meneror diartikan sebagai
berbuat kejam (sewenang-wenang dan sebagainya) untuk
menimbulkan rasa ngeri atau takut. Sedangkan dalam kamus psikologi,
terror diterjemahkan sebagai ketakutan ekstrim atau ketakutan yang
luar biasa hebatnya.
Arti kata kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok
orang yang menyebabkan kerusakan, cidera, atau matinya orang lain
atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain (sumber:
Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam kamus psikologi, kekerasan
dikaitkan dengan agression atau agresi yang merupakan istilah umum
yang berhubungan dengan perasaan-perasaan marah atau
permusuhan.Agresi berfungsi sebagai suatu motif untuk melakukan
respon berupa perlakuan kasar, penghinaan, dan frustasi (Kartini &
Dali Gulo, 1987). Agresi juga dinyatakan sebagai:
“ any sequence of behavior, the goal response to which is the injury of the person toward whom it is directed” ( Dollard, Doob, Miller, Mowrer , & sears, dalam Harvey, 2002)
… rangkaian perilaku (respon) yang bertujuan untuk mengakibatkan luka pada orang yang menjadi target.
Negara dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah daerah dalam
lingkungan satu pemerintahan yang teratur. Masih dari sumber yang
sama, sistem diartikan sebagai sekelompok bagian-bagian alat dan
sebagainya yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu
maksud. Sistem juga bisa berarti cara atau metode yang teratur untuk
melakukan sesuatu.
Melalui beberapa tinjauan pustaka tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa teror sebagai sebuah sistem merupakan metode
penciptaan rasa takut melalui perbuatan kejam atau kasar kepada pihak
tertentu (yang menjadi target) oleh otoritas atas dasar kepentingan
pengendalian masyarakat. Narasi tentang teror adalah cerita-cerita
yang muncul sebagai tanda-tanda adanya situasi teror yang muncul
dari cerita yang disampaikan oleh partisipan dimana tanda-tanda
tersebut memiliki arah yang menjelaskan fungsi-fungsi teror yang
datang dari pihak yang berkuasa dan represif kepada pihak yang tidak
berkuasa. Pengalaman penderitaan akan bersifat personal dan sosial,
sementara itu peristiwa-peristiwa yang bersifat kolektif dan
menyebabkan orang-orang dalam suatu masyarakat yang hidup dengan
perasaan gelisah dan rasa takut, akan muncul kembali sebagai teror
(Browne, 1999).
3) Trauma Sebagai Luka Kolektif
Trauma pada akhirnya mulai dipahami sebagai akibat dari saling
keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa
yang mengguncang eksistensi kejiwaan dan tidak hanya sebagai
peristiwa yang bersifat individual (Kantowitz dalam Bentül &
20
telah menyaksikan berbagai macam kekerasan selama orde baru.Selain
dari kekerasan fisik dimana jutaan orang terbunuh dalam operasi
30/S/PKI, malari, atau pun Tanjung Priok yang sangat kuat muatan
politiknya. Kekerasan juga muncul sebagai kekerasan struktural yang
contohnya muncul sebagai kemiskinan, akses yang minim pada
fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, hukum, dan lain sebagainya.
Terdapat tiga dimensi utama yang menandai trauma sebagai sebuah
akibat dari adanya kekerasan baik secara terang-terangan maupun
struktural, di antaranya: terjadinya disfungsi yang berkelanjutan dan
kekacauan di dalam sebuah lingkungan masyarakat, narasi kolektif dan
sosial yang tertanam menunjukkan adanya kontrol dan kurangnya
pilihan, serta orientasi bertahan hidup yang individual (Kantowitz,
dalam Bentül &Kantowitz, 2009).
Gejala lain yang muncul karena adanya tekanan ditandai dengan
sikap ketidakpercayaan terhadap otoritas, ketidakberdayaan,
kerentanan, dan takut. Dinamika tersebut tanpa disadari dapat menjaga
keberlangsungan kontrol dan dikriminasi karena tidak ada jalur bagi
kelompok masyarakat yang ditekan pada pilihan ataupun kekuatan.
Dalam situasi yang ditekan oleh otoritas, orang akan menunjukkan
reaksi yang berorientasi pada cara-cara bertahan hidup yang paling
dasar. Termasuk di dalamnya cara pengambilan keputusan berdasarkan
mekanisme pertahanan hidup. Trauma kolektif merupakan hasil dari
pengalaman hidup di lingkungan yang penuh dengan ketakutan dan
kegagalan institusional, hal tersebut dapat terlihat pada narasi kolektif
yang diciptakan oleh individu dan komunitas berdasarkan kenyataan
dan akses mereka pada sumber informasi dan berbagai kesempatan
(Kantowitz, dalam Bentül & Kantowitz, 2009).
Trauma-trauma yang muncul di tengah masyarakat, khususnya
trauma politik menurut Summerfield akan menciptakan sebuah kondisi
teror yang merusak jaringan hubungan sosial kemasyarakatan yang ada
dan kehidupan mental orang per orang dalam masyarakat tersebut.
Kondisi tersebut seringkali dengan sengaja dipakai sebagai sarana
kontrol sosial (Nurrachman. 2002).
4) Teror dan Relasi Kekuasaan
Hubungan antara Negara (state) dan masyarakat (society)
merupakan sebuah hubungan yang bersifat zero-sum game, yang dapat
disimpulkan bahwa semakin kuat state maka society akan semakin
lemah. State dalam pandangan libertarian secara aktif mencari modus
agar dapat menindas society dengan kekuasaannya (Suhardono, 2003).
Sebuah fungsi kekuasaan akan bekerja jika ada yang menguasai
dan dikuasai dimana dimensi dari kekuasaan tersebut pada dasarnya
bersifat tidak seimbang (Vander Zanden, 1983). Hal tersebutakan lebih
mudah kita pahami dengan bantuan Cartwright (dalam Shaw &
Costanzo, 1995) yang memandang kekuasaan sebagai kemampuan
orang untuk mengontrol lapangan tingkah laku yang terjadi di antara
22
mempunyai kekuasaan adalah yang mampu mendorong tingkah laku
orang lain ke arah yang dikehendaki. French menggabungkan kedua
konsep tersebut. Ia memandang kekuasaan sebagai hasil dari
kemampuan untuk memberi ganjaran dan hukuman, hubungan saling
menyukai, keahlian/kepakaran salah satu pihak terhadap pihak yang
lain dalam bidang /masalah tertentu dan faktor legitimasi (seperti
status, struktur sosial yang mendasari hubungan otoritas dan
sebagainya) (Shaw &Costanzo, 1995). Otoritas negara sebagai sebuah
kekuasaan yang terlegitimasi, mampu membuat sebuah perintah yang
bahkan melewati naluri benar-salah seseorang (Etzioni, 1968; Della
Fave, 1980 dalam Vander Zanden, 1983) tanpa dapat dikoreksi melalui
dalih undang-undang.
Dengan melihat ulang makna Negara beserta atribut kekuasaan
yang dimiliki jelas bahwa Negara memiliki kemampuan dan legalitas
untuk menggunakan berbagai macam strategi untuk dapat
mengendalikan masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan adalah
dengan menciptakan terror yang memiliki fungsi untuk menciptakan
rasa takut di tengah masyarakat
D. Daftar Pertanyaan Empiris
Pertanyaan empirik meruapakan pertanyaan mendasar dari
penelitian yang disusun sebelum peneliti melakukan wawancara kepada
subjek yang akan diteliti atau narasumber. Berdasarkan model wawancara
semi terstruktur yang diungkapkan oleh Wengraf (2001) maka susunan
pertanyaan wawancara dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Daftar Pertanyaan Empiris
RP
(Research Purpose)
CRQ (Central Research
Question)
TQ (Theoretical
Question) Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menguraikan peristiwa petrus dan
mengetahui tema-tema serta aktor-aktor yang tampak melalui cerita tentang petrus
Bagaimana
pengalaman kolektif
masyarakat mengenai petrus
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.Metode Naratif
Untuk menuliskan kembali pengalaman masyarakat mengenai
peristiwa petrus, peneliti memerlukan sebuah jalur naratif yang dapat
merangkum pola aktual dan struktur kisah petrus yang berhubungan erat
dengan kekuatan sosial dan kondisi psikologis baik yang bersifat sadar
maupun tidak sadar (Holloway & Jefferson, 2000 dalam Smith, 2009). Sebuah
penelitian naratif dalam metode kualitatif memiliki dimensi sosial yang terdiri
dari narasi-narasi kelompok yang bercerita tentang diri, sejarah, dan aspirasi
yang dimiliki oleh kelompok. Oleh karenanya, narasi sosial mampu
menjelaskan sejarah suatu kelompok yang membedakannya dengan dengan
kelompok-kelompok lain. Agar tidak tumpang tindih dengan narasi personal,
individu yang menjadi subjek penelitian dapat mendefinisikan dirinya sebagai
bagian dari kelompok. Selain itu dalam melakukan analisa terhadap narasi
personal yang telah diperoleh, peneliti akan mempertimbangkan narasi sosial
yang lebih luas (Smith, 2009).
Kemampuan metode penelitian kualitatif untuk menghasilkan
pengetahuan sekaligus insight, menjadi pertimbangan peneliti untuk memilih
metode ini dalam melakukan penelitiankarena kasus yang dipilih oleh peneliti
memiliki muatan emosi, serta menjadi pengalaman yang dekat dan berguna
bagi masyarakat (Creswell, 1998). Meskipun peneliti tidak menyaksikan
24
sendiri peristiwa petrus (karena peneliti lahir setelah peristiwa tersebut
terjadi), namun sejak kecil peneliti telah mendengar cerita mengenai petrus
sehingga peneliti sendiri telah memiliki kedekatan dengan kasus yang diteliti.
Metodologi penelitian dan ketepatan dalam menggunakan metodologi
tersebut merupakan unsur yang paling penting dalam sebuah penelitian ilmiah.
Metode kualitatif yang diterapkan dalam penelitian mengenai peristiwa petrus
ini menunjuk kepada prosedur-prosedur penelitian yang menghasilkan data
kualitatif. Data-data kualitatif yang dimaksud bisa berupa ungkapan atau
catatan dari subjek penelitian atau tingkah laku subjek penelitan yang
terobservasi oleh peneliti (Bogdan & Taylor, 1993). Selain itu, penelitian
kualitatif juga dapat menghasilkan atau mengolah data deskriptif berupa
transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan
lain sebagainya (Creswell, 1998).
Peneliti mencoba untuk menerapkan berbagai pendekatan yang penting
dalam penelitian kualitatif, dimana menurut Strauss (2003)
pendekatan-pendekatan tersebut meliputi:
a. Perlunya memasuki lapangan jika ingin mengetahui apa yang terjadi
b. Pentingnya teori, yang berdasarkan kenyataan, bagi pengembangan suatu
disiplin
c. Sifat terus berlanjutnya pengalaman masa lalu ke masa kini
d. Peranan aktif manusia dalam membentuk dunia yang mereka tempati
e. Penekanan pada proses dan perubahan, keragaman serta kompleksitas
26
f. Hubungan timbal balik antara kondisi, makna, dan tindakan
Sifat terus berlanjutnya pengalaman masa lau ke masa kini
dimungkinkan untuk menjadi titik berat dalam penelitian ini. Namun peneliti
juga tidak akan mengesampingkan pendekatan-pendekatan lain, karena pada
dasarnya kesemua pendekatan tersebut saling berhubungan dan dibutuhkan
dalam penelitian ini. Tidak dapat dipungkiri, dalam penelitian ini seperti juga
dalam penelitian sosial lainnya, ada pernyataan-pernyataan yang telah
ditegaskan di awal penelitian yang didasarkan pada asumsi peneliti mengenai
peristiwa petrus (Diane, 1990).
B. Subjek Penelitian
Penelitian Kualitatif yang bertolak dari asumsi mengenai realitas atau
fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks memiliki tujuan untuk
mendiskripsikan fenomena tersebut secara utuh (Bungin, 2008). Demi
memenuhi tujuan dasar kualitatif tersebut dalam penelitian ini akan digunakan
3 (tiga) orang subjek penelitian yang dengan sengaja dipilih karena memiliki
ingatan tentang peristiwa petrus (Bungin, 2008). Ketiga subjek dapat dianggap
sebagai saksi peristiwa petrus, karena merekam secara individual peristiwa
tersebut di dalam ingatan mereka. Selain itu, Pemilihan ketiga subjek
penelitian tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan adanya
kecenderungan bahwa cara seseorang mengingat masalalunya tergantung dari
hubungannya dengan komunitas (Radly dalam Pannebaker & Banasik, 1997)
tak hanya dalam arti kualitas hubungan namun juga posisi di dalam komunitas
yang menentukan adanya keterkaitan atau model dari hubungan tersebut.
Peneliti memilih subjek dengan berbagai macam karakteristik yang didasarkan
pada kelas ekonomi dan kelas sosial. Subjek 1 (satu) berasal dari kelas
ekonomi menengah ke bawah dan pernah terlibat dalam organisasi partai
politik. Subjek 2 (dua) berasal dari kelas ekonomi bawah. Subjek 1 dan 2 bisa
disebut sebagai sample ‘orang biasa’ yang menghasilkan data saksi kejadian.
Sementara subjek 3 (tiga) berasal dari lingkungan akademisi dan telah
melakukan penelitian mengenai peristiwa petrus dalam perspektif sejarah.
Oleh karena itu subjek 3 bisa disebut sebagai sample ahli yang menghasilkan
data ahli. Ketiga karakteristik yang berbeda diharapkan dapat menghasilkan
data yang memperlihatkan variasi sekaligus berdinamika untuk saling
memperkuat data.
Subjek yang termasuk dalam kategori ‘orang biasa’ merupakan sample
awal yang dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau
dipersiapkan terlebih dahulu. Dengan kata lain informasi yang diberikan
merupakan informasi faktual yang didasarkan pada pengalaman pribadi
(Bungin, 2008). Dua orang subjek dalam kategori tersebut juga diharapkan
dapat membantu peneliti untuk melacak variasi informasi yang mungkin ada
serta memperluas deskripsi informasi. Selanjutnya data yang diperoleh dari
subjek 3 (data ahli) dapat digunakan sebagai penguat atas tema-tema yang
28
C.Fokus Penelitian
Penelitian ini akan berfokus pada cerita orang mengenai peristiwa
petrus yang merupakan bagian dari sejarah masyarakat secara umum dan
menjadi peristiwa kehidupan yang secara individu bersifat khusus. Dengan
menangkap detail dari narasi, perasaan, dan sudut pandang subjek, peneliti
akan dapat mengetahui bagaimana subjek merekonstruksi ulang peristiwa
tersebut dan menempatkan makna-makna baru yang khas maupun bersifat
kolektif.
D.Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini akan dilakukan secara intensif dengan mengolah temuan
yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan
berbagai macam sarana. Dalam dasar-dasar penelitian kualitatif yang disusun
oleh Strauss (2003) disebutkan bahwa sarana pengumpulan data dalam
prosedur kualitatf meliputi: pengamatan, wawancara, namun bisa juga
mencakup dokumen, buku, kaset video, dan data sensus. Selain itu keutamaan
dari penelitian kualitatif adalah dengan mengumpulkan data yang bersifat
meluas dan dari berbagai sumber (Creswell, 1998) dengan tetap berfokus pada
pengalaman masyarakat mengenai petrus.
1. Wawancara
Wawancara merupakan sumber utama bagi penelitian naratif (Smith, 2009).
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode wawancara
semi-terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan empiris yang telah disusun
sebelumnya. Namun peneliti tidak menutup kemungkinan adanya perluasan
pertanyaan pada saat wawancara dilakukan.
Peneliti bermaksud untuk memperoleh testimoni dari subjek-subjekpenelitian.
Kepentingan testimoni adalah memberikan ruang bagi seorang pelaku atau korban
untuk menceritakan peristiwa yang dilihat atau dialami secara bebas dan alami
melalui obrolan (Creswell, 1998). Nilai testimoni tidak terletak pada
kemampuannya sebagai alat untuk klarifikasi atau penyelidikan, tetapi sebagai
mediasi truth-telling.
Daftar Pertanyaan
1. Tolong Anda ceritakan mengenai peristiwa petrus?
2. Bagaimana suasana di sekitar Anda pada saat itu?
3. Apakah saat ini Anda masih sering teringat peristiwa tersebut?
4. Kalau Anda diberi kesempatan untuk bersaksi di pengadilan atas kasus
ini, apa yang ingin Anda sampaikan ?
5. Bagaimana pikiran dan perasaan Anda sekarang terhadap kejadian itu?
6. Bagaiman perasaan Anda terhadap pemerintah?
E. Metode Analisis Thematic Narrative
Analisis thematic narrative merupaka sebuah pendekatan dalam
mengolah data narasi dalam bentuk transkrip wawancara dengan melibatkan
penciptaan dan penerapan kode untuk data. Analisis tematik sendiri harus
30
Tordes (2003) mengidentifikasi usaha memberikan tema merupakan salah satu
ketrampilan umum yang harus dimiliki dalam berbagai macam penelitian
kualitatif (dalam Braun, 2006).
Karakteristik analisis tematik adalah fleksibilitas, dimana fleksibilitas
tersebut dapat berguna atau berpotensi untuk memberikan laporan yang kaya
dan rinci dari sebuah data yang kompleks (Braun, 2006). Tema dalam analisis
ini dapat menangkap sesuatu yang penting di dalam data dalam kaitannya
dengan pertanyaan penelitian dan mewakili beberapa tingkat dan kategori
respon atau makna yang saling berlainan.
1. Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan data narasi dan
deskripsi yang berasal dari transkrip wawancara semi terstruktur.Langkah
awal yang dilakukan peneliti adalah membaca narasi yang telah ditranskrip
tersebut dengan cermat, sebelum melakukan pengelompokan data.
2. Pengkodean (coding)
Coding mengacu pada penciptaan kategori dalam kaitannya dengan
data. Secara lebih jelas dalam penelitian kualitatif semacam itu, model
analisis yang biasa dipakai adalah analisis induktif, dimana peneliti akan
membuat kategori-kategori, tema-tema, dan pola-pola tertentu yang
bersumber dari data (Denzin & Lincoln,1997). Dengan kata lain disini
peneliti akan melakukan pengelompokan contoh-contoh dari fakta yang
berada di bawah istilah umum yang dapat memungkinkan data-data
tersebut dimasukkan sebagi ‘dari jenis yang sama’.
Pendekatan induktif yang digunakan dalam analisis data bertujuan
untuk (1) menyingkat data yang luas dan beragam teks yang masih kasar
ke dalam format rinkasan yang singkat, (2) membangun jaringan yang
jelas antara tujuan penelitan dan ringkasan hasil temuan yang berasal dari
data yang masih kasar, dan (3) mengembangkan teori tentang model atau
struktur yang mendasari penelitian atau proses yang menjelaskan data
mentah (David R Thomas, 2003).
3. Intepretasi dan Pembahasan
Setelah fase deskripsi, peneliti masuk ke dalam fase interpretative
dimana peneliti akan mengaitkan narasi dengan kerangka teoristis (Smith,
2009) dan menuliskan analisis penelitiannya ke dalam bentuk narasi.
Peneliti lebih tertarik untuk menyebutnya sebagai analisis dan bukan
‘hasil’ karena analisis dalam penelitian kualitatif merupakan suatu
rangkaian penafsiran yang terbuka terhadap pertanyaan (Parker, 2008).
Peneliti akan memasukkan pengalaman personal kedalam narasi
kesimpulan tanpa mengubah alur dan inti dari analisis penelitian
(Creswell, 1998), serta mencantumkan berbagai referensi dan beberapa
perspektif baru sehingga memungkinkan untuk pengembangan sebuah
32
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Dari ketiga wawancara tersebut muncul tema-tema besar yang mucul dari
gejala yang berbeda-beda di antara ketiga subjek. Masing masing tema tersebut
saling berkaitan satu sama lain. Garis besar dari tema-tema tersebut muncul
sebagai bentuk umum dari narasi itu sendiri yang menjelaskan bagaimana
pengalaman mengenai peristiwa petrus menjadi sebuah ingatan kolektif serta
tema-tema yang muncul dari ingatan kolektif tersebut.
A. Identifikasi Peristiwa Petrus Sebagai Pengalaman Kolektif
1) Penguatan
Memori kolektif akan terbentuk jika masyarakat terus menerus
membicarakan dan memikirkan suatu kejadian hingga mencapi level yang
tinggi. Social sharing (rasa berbagi secara sosial) tentang
kejadian-kejadian tersebut juga akan membantu mempertajam persepsi masyarakat
mengenai kejadian tersebut sehingga sebuah cerita yang menjadi
konsensus pun muncul (Pannebaker & Banasik, 1997).
a. Peristiwa tersebut dibicarakan secara terus menerus dengan orang lain
Pada saat peristiwa petrus terjadi banyak orang yang
membicarakannya, baik dengan teman maupun keluarga.Kabar
mengenai peristiwa ini pun telah menyebar ke seluruh
Indonesia.Meskipun sebagian masyarakat merasa tidak setuju dengan
32
petrus, namun mereka tidak berani memprotes atau membicarakan
penilaian mereka secara terbuka.Jadi, meski kejadian ini sering
dibicarakan, namun pembicaraan mengenai petrus hanya dilakukan
dengan orang-orang terdekat saja.
“ waktu itu juga hanya ya sekedar dengan teman-teman itu juga
hanya .. waktu omong-omongan gitu lho” (S1)
“ orang-orang memang ini...orang-orang memang banyak
membicarakan tentang korban-korban yang ditembak itu..” (S2)
b. Petrus sebagai peristiwa yang selalu dipikirkan
Bagi subjek 3, peristiwa petrus merupakan peristiwa yang
menyisakan pertanyaan, hal tersebut terjadi karena nformasi yang
diperoleh melalui pembicaraan dengan keluarga dan orang-orang di
sekitar subjek akhirnya disimpan untuk kemudian kembali dipikirkan
(Pannebaker &Banasik, 1997). Informasi awal yang menimbulkan
banyak pertanyaan karena selalu dipikirkan adalah kerja kognitif yang
menjadi dasar bagi subjek untuk merekonstruksi ulang ingatan tentang
petrus. Melalui rekonstruksi tersebut subjek memperoleh penilaian
yang lebih berimbang mengenai komponen-komponen yang terlibat
dalam petrus seperti penilaian terhadap gali atau bagaimana subjek
34
“…..muncul dalam benak saya, saya kecil, dimasa kecil saya adalah
pertanyaan-pertanyaan ini kenapa to, ini kenapa to, ini kenapa, to?
Sampai pada tahapan tertentu, ee pada saat saya mulai membaca,
pada saat saya mulai menelusuri sedikit menelusuri tentang peristiwa
itu, saya melihat, oo, ternyata ada ketidakadilan, itu yang yang
mendorong saya untuk melakukan penelitian…”(S3)
c. Penguatan oleh media
Salah satu unsur yang berperan dalam pembentukan ingatan
kolektif adalah media (Pannebaker, 1997). Disebutkan dalam narasi
Subjek 3 dimana pada saat petrus terjadi banyak media hampir setiap
hari memberitakan tentang petrus dan secara eksplisit menunjukkan
bahwa petrus diagendakan dan dikerjakan oleh pemerintah sendiri.
“ Ee… salah satu versi yang muncul ini jelas versi media.
Versi-versiyang lain nanti kamu liat aja disini.ya dalam ee apa ini
pandangan saya ada disini. Eee, salah satu versi yang muncul versi
media tadi kamu juga sudah menyebutkan tentang Hasbi itu, kan?
Versi media yang banyak dimuat dimasa itu tu KR sama Tempo yang
saya temuka.yang salah satu muncul di Tempo itu pernyataan Hasbi
yang, ee, yang dia mengatakan itu... akhir maret… itu akhir matet
kalau saya liat akhir maret 83. Hasbi itu mengumumkan perang
terhadap gali…”(S3)
Memo:
Ingatan tentang peristiwa petrus merupakan ingatan kolektif karena
mengalami proses selalu dibicarakan dan dipikirkan baik secara
individual, komunal (anggota-anggota di dalam masyarakat), maupun
dengan melibatkan peran media.
2) Diperlihatkan secara umum
Mayat korban penembakan dibuang di tempat-tempat umum sehingga
dapat terlihat oleh masyarakat.
“…Ditaruh dimana-mana! Seperti di seperti contohnya seperti di got, di
sebelah got, atau ditengah hutan, dimana aja selama mereka mau…” (S1)
“…ada yang bilang menemukan dijalan meliat dijalan dan membiarkan
saja…” (S2)
“ Mayat korban penembakan dibuang ke tempat-tempat umum sehingga
36
Memo:
Petrus memiliki sasaran yang jelas (para pelaku kejahatan), namun metode
penyelesaian hasil eksekusi yang melibatkan ruang publik
mengkondisikan masyarakat umum sebagai saksi dari peritiwa
tersebut.Banyak orang yang pada akhirnya merekam dan menyimpan
ingatan mengenai peristiwa petrus dengan identifikasi mayat yang dibuang
di tempat-tempat umum.
3) Penggunaan kata “Kita”( penggunaan bahasa)
Subjek 1 dan 2 menggunakan kata ‘kita’ dan ‘kami’ untuk menyatakan
pendapat mereka.
“kita tidak tau apakah orang militer, polisi, atau pemerintah yang selalu
mencari-cari gali disana” (S1)
“ kami tidak tau siapa pelakunya, tapi selalu identik dengan, ini dengan
dengan di dengan di dengan apa…dengan peluru yang entah sapa
pelakunya.” (S2)
Memo:
Penggunaan kata tersebut erat kaitannya dengan identitas kolektif. ‘Kami’
berarti gambaran bahwa sebuat kelompok membangun dirinya sendiri
dan dengan itulah anggotanya mengidentifikasikan dirinya.
4) Silent event
Pada saat petrus terjadi subjek 1 atau pun masyarakat secara umum
tidak dapat membicarakannya dengan bebas karena tidak berani terhadap
aparat pemerintah yang bisa berbuat represif.
“…mengatakan diluar itu nggak berani .. “
“… kalau ngomong di luar, ya, harus hati-hati waktu itu..memang harus
hati-hati. Kalau tidak hati-hati, wah, kalo terdengar….” (S1)
Memo:
Kejadian petrus yang menjadi beban secara emosional, membuat
orang-orang harus berbicara dengan hati-hati karena karakter pemerintah yang
represif dan membawa konsekuensi-konsekuensi yang tidak diingankan.
Sementara semakin ingatan akan peristiwa itu disimpan dan dibicarakan
secara diam-diam maka ingatan tentang petrus akan semakin kuat dalam
38
B. Tema-Tema yang Muncul dari Ingatan Kolektif Mengenai Peristiwa Petrus
1. Pengalaman Individual a. Trauma
1) Pengalaman yang terasa perih dan mengerikan
Muncul perasaan ketakutan, perih, dan ngeri ketika diketahui
bahwa para gali yang ditangkap pasti akan dibunuh. Kemudian
mayat-mayat hasil pembunuhan tersebut akan dibungkus dengan
menggunakan karung sebelum dibuang.
“…tapi....di sisi lain… di sisi lain....ketakutan tu selalu ada karna
apa... sel...sel... selama... selama... ada gali...katakanlah gali itu
terpegang, tu nggak pernah pulang mesti trus meninggal tu, lho,
ha...meninggalnya tu kapan, di mana tu dia nggak pernah tau,
sepengetahuan saya ada di Wonosari...ha...kata di bawah
sanasudah meninggal mesti...di tembak mesti” (S 1)
“…Petrus seingat saya itu …ppp… perih pokoknya, hampir tiap
hari ya, hampir diseluruh rakyat Indonesia itu..ada mayat dan
mayat itu identik dengan dibungkus karung, entah dibuang
dimana…ngeri, pokoknya yang ada hubungannya sama itu haduh
kayaknya ngeri, merasa ngeri…ngeri dengan adanya mayat
dengan adanya pembunuhan dimana-mana …. “(S 2)
“...suasana apa namanya kematian yang muncul itu keresahan
pertama kemudian keresahan selanjutnya ya itu tadi banyaknya
mayat ditemukan” (S3)
Memo:
Peristiwa petrus merupakan pengalaman yang perih dan
mengerikan dimana masyarakat harus menyaksikan pembunuhan
dan kematian di mana-mana. Perasaan takut yang diceritakan oleh
subjek 1 merupakan reaksi atas tekanan yang datang dari otoritas
terhadap kelompok masyarakat tertentu, yang secara dinamis
bersama dengan reaksi-reaksi yang lain membentuk sebuah trauma
kolektif.
2) Perasaan selalu teringat dengan peristiwa petrus
Petrus merupakan sebuah peristiwa luar biasa yang selalu
diingat dan tidak terlupakan.
“… Oh slalu inget itu, itu tidak terlupakan itu, karna peristiwa itu
betul-betul luar biasa..”(S1)
“ saya sebagai saksi melihat itu memang benar-benar ngeri,