• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek , daerah atau fenomena untuk menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji adalah Penginderaan Jauh (Lillesand dan Kiefer,1999). Teknologi penginderaan jauh banyak dimanfaatkan pada berbagai bidang sejak pengembangan sensor dan satelit pada tahun 1960-an. Mulai dari inventarisasi dan pengelolaan sumber daya, pengawasan dan rehabilitasi lingkungan, pengembangan wilayah, perencanaan transportasi, tata ruang, perencanaan bisnis, mitigasi bencana hingga kepentingan militer. Penginderaan jauh terus berkembang dengan pesat meliputi aspek sensor, wahana, jenis citra, liputan area, ketersedian alat, analisis data, jumlah pengguna serta bidang penggunaannya (Soetanto, 1992).

Pemanfaatan citra penginderaan jauh yang memiliki berbagai macam resolusi dapat digunakan pada bidang kesehatan. Keunggulan citra penginderaan jauh yang dapat menujukkan kenampakan fisik sama seperti pada keadaan asli di lapangan. Citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial tinggi dapat digunakan untuk menyadap data kondisi lingkungan pada suatu wilayah dalam periode tertentu yang mempengaruhi kesehatan manusia. Citra penginderaan jauh juga dapat menghemat waktu dan biaya dalam melakukan penelitian karena dapat menujukkan kenampakan yang ada di permukaan bumi.

Citra penginderaan jauh yang digunakan untuk menyadap data kondisi fisik berupa citra resolusi spasial tinggi, seperti citra GeoEye dengan resolusi spasial 1,65 meter. Citra satelit GeoEye menujukkan kenampakan permukaan bumi secara detail. Kondisi fisik rumah dapat diekstraksi dengan pendekatan penginderaan jauh. Pengolahan hasil interpretasi citra satelit GeoEye

(2)

2 memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) agar menghasilkan informasi yang lebih akurat dan informatif.

Sistem Informasi Geografis (SIG) banyak digunakan di berbagai bidang, salah satunya di bidang kesehatan, yaitu epidemiologi. Pemanfaatan SIG pada bidang kesehatan pertama kali dipelopori oleh John Snow pada saat pembuatan peta penderita kolera ketika terjadi wabah kolera pada abad ke-19. Saat ini SIG dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan masyarakat dan para professional, termasuk pembuat kebijaksanaan, epidemiologi, serta para petugas medis (Jasmin and Johnson, 1999).

Epidemiologi spasial (Spatial Epidemiology) merupakan studi mengenai variasi kejadian suatu penyakit (spasial insiden) atau faktor risikonya (Ostfeld et all, 2005). Unsur-unsur ekologis pada suatu wilayah menyebabkan munculnya pola-pola khas pada faktor risiko atau keterjangkitan penyakit pada suatu wilayah. Sebagai contoh, keberadaan reservois yang terlokalisir, tersebar hingga membentuk pola memanjang. Pola-pola tersebut merupakan kenampakan yang tersembunyi (tersirat) sebagai hasil dari suatu bentuk pemodelan dengan menggunakan beberapa pendekatan, contohnya suatu model peta risiko untuk suatu wilyah geografis tertentu atau kronologis penyebaran suatu penyakit (Gilbert, 2005: Neteler, 2004).

Peranan pokok dari epidemiologi spasial, yaitu untuk mengetahui variasi spasial dari kejadian suatu penyakit maupun faktor risikonya, namun pada kajian lebih lanjut tentang epidemiologi spasial juga dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh atau determinasi dari suatu komposisi dan konfigurasi bentanglahan (landscape) terhadap penyebaran penyakit maupun timbulnya suatu penyakit. Seorang parasitologis asal Rusia yang bernama Pavlovsky pada tahun 1930 (dalam Murti 1997) mengemukakan konsep pemikiran “landscape epidemiologi”, pendekatan yang digunakan oleh Pavlovsky ini

sebanyak 3 pendekatan, yaitu:

1. Suatu penyakit (diseases) cenderung dibatasi secara geografis.

2. Variasi spasial terbangun dari variasi fisik atau biologis yang mendukung

(3)

3 3. Jika kondisi biotik dan abiotik ini dapat didelineasi pada peta dan keduanya dapat dipadukan secara bersamaan, maka dapat digunakan untuk mengetahui penyebab faktor risiko suatu penyakit dan memprediksi penyebarannya di masa yang akan datang.

Pembuatan epidemiologi spasial juga memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk pembuatan data spasial. Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) semakin lama semakin meningkat sejak tahun 1980-an. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sebuah sistem yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personil yang dirancang untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis serta menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi pada geografi. Basis analisis dari SIG merupakan data spasial dalam bentuk digital yang dapat diperoleh dari citra satelit (penginderaan jauh) maupun data lainnya (Nuarsa, 2004).

Salah satu contoh pemanfaatan SIG pada bidang kesehatan adalah pemetaan Estimasi Angka Insidensi TB Tahun 2011 yang dilakukan oleh WHO. WHO merilis data mengenai penyakit tuberculosis karena penyakit tersebut merupakan salah satu penyakit penyebab kematian terbesar menurut data dari WHO tahun 2011, diperkirakan terdapat 8,7 juta kasus baru TB dengan 13% diantaranya merupakan co-infeksi HIV serta 1,4 juta orang meninggal akibat TB (termasuk hampir 1.000.000 jiwa mengalami kematian diantaranya penderita tidak terinfeksi HIV dan 430.000 merupakan penderita yang terinfeksi HIV). Penderita TB juga merupakan salah satu penyebab kematian wanita dengan 300.000 kematian wanita tidak terinfeksi HIV dan 200.000 kematian terinfeksi HIV pada tahun 2011.

(4)

4 Gambar 1.1 Estimasi Angka Insidensi TB Tahun 2013 (Sumber: WHO, 2014)

Data yang dirilis oleh WHO dalam laporan Global Tuberculosis Report, 2012 menunjukkan bahwa kasus TB di Indonesia pada tahun 2011 berdasarkan angka insidensi, prevalensi, dan mortalitas kasus TB seperti pada grafik dibawah ini:

Gambar 1.2 Gambar Estimasi Beban Tuberculosis Per 100.000 Penduduk pada Tahun 2011 di Indonesia (Sumber: WHO, 2012)

Besarnya insidensi tertinggi kasus TB di Indonesia adalah 222 per 100.000 penduduk, sedangkan besarnya insidensi terendah adalah 155 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi tertinggi kasus TB di Indonesia, yaitu sebesar 489 per 100.000 penduduk, sedangkan angka prevalensi terendah, yaitu sebesar 130 per 100.000 penduduk. Besarnya angka kematian tertinggi

(5)

5 adalah 48 per 100.000 penduduk, sedangkan besarnya angka kematian terendah adalah 12 per 100.000 penduduk. Grafik tersebut menunjukkan bahwa kasus TB Paru di Indonesia tergolong cukup tinggi (WHO, 2012).

Sistem survelians TB di Indonesia secara nasional di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen. P2 dan PL) Departemen Kesehatan. Surveilans TB di tingkat kabupaten/kota bergantung pada pengawas surveilans tuberkulosis (wasor) yang berada di dinas kesehatan kabupaten/kota yang juga bekerjasama dengan unit pelayanan kesehatan, seperti Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, dan Laboratorium.

Gambar 1. 3 Grafik Case Notification Rate (CNR) Tuberkulosis Per 100.000 Penduduk Di Indonesia (Sumber: Ditjen PPPL, Kemkes RI: Laporan Kinerja

Triwulan III Tahun 2013).

Grafik tersebut menujukkan bahwa Case Notification Rate (CNR) TB pada semua kasus di seluruh Provinsi di Indonesia sampai dengan triwulan 3 tahun 2013. Grafik tersebut menujukkan bahwa Provinsi Papua menujukkan posisi teratas sedangkan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menempati urutan terbawah.

Penderita TB di Kabupaten Bantul tergolong cukup tinggi bila dibandingkan dengan kabupaten maupun kota lainnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

(6)

6 Gambar 1.4 Grafik Tren Prevalensi TB DIY Tahun 2000 hingga 2012

(Sumber:Profil Kesehatan Provinsi DIY Tahun 2012)

Penderita tuberkulosis di Kecamatan Banguntapan yang paling tinggi se Kabupaten Bantul. Persebaran penderita tuberkulosis masih dalam bentuk tabuler. Pembuatan pemetaan mengenai persebaran penderita tuberkulosis dapat membantu dalam menanggulangi serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran tuberkulosis.

Pengolahan register tuberkulosis di Kabupaten Bantul masih terbatas dalam bentuk data tabular dan grafik. Analisis sebaran kasus masih berupa agregasi di tingkat desa dan kecamatan ataupun pemetaan di tingkat kecamatan bukan berupa data spasial yang berbasis lingkungan. Selain itu belum diketahui pola spasial yang rinci mengenai distribusi kasus tuberkolosis di Kabupaten Bantul.

Meningkatnya jumlah kasus TB paru disebabkan oleh adanya faktor risiko sebagai pemicu seperti faktor kesehatan lingkungan, demografi, sosial ekonomi, dan perilaku. Tinggal di rumah dengan kondisi tidak sehat akan mempercepat timbulnya penularan penyakit TB.

Tabel 1.1 Jumlah Pasien yang berobat ke Puskesmas Menurut Jenis Penyakit per Kecamatan di Kabupaten Bantul Tahun 2009

No Kecamatan TB Paru Pneumonia DBD Diare

1. Srandakan 109 4 4 421 2. Sanden 161 5 15 517 3. Kretek 139 - 27 270 4. Pundong 93 1 13 29 5. Bambanglipuro 130 2 12 587 6. Pandak 198 12 24 751 7. Bantul 207 1 46 777 8. Jetis 212 26 26 816

(7)

7 9. Imogiri 220 42 20 1.057 10. Dlingo 129 - 6 132 11. Pleret 163 - 27 494 12. Piyungan 157 46 15 873 13. Banguntapan 353 12 103 1.905 14. Sewon 275 14 114 928 15. Kasihan 158 31 150 1.295 16. Pajangan 112 12 12 125 17. Sedayu 85 6 14 931 Jumlah 2.979 232 17 12.021

Sumber: Bantul dalam Angka 2010

Salah satu contoh pemetaan tuberkulosis di tingkat kecamatan berupa penyebaran jumlah kasus TB di Kabupaten Bantul tahun 2013 pada gambar 1. 5. Peta tersebut menujukkan jumlah kasus penderita tuberkulosis di setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Bantul. Hal itu merupakan salah satu latar belakang peneliti untuk membuat data spasial berbasis lingkungan.

Gambar 1.5 Peta Penyebaran Jumlah Kasus TB di Kabupaten Bantul Tahun 2013 (Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Bantul Tahun 2014) 1.2. Rumusan Masalah

Permasalahan serta kendala yang sering ditemui dalam melakukan analisis spasial dari suatu penyakit, yaitu belum adanya data spasial mengenai kondisi lingkungan, unit pemetaan berdasarkan batas admininistrasi memiliki keterbatasan untuk diolah lebih lanjut, serta perlunya metode analisis spasial yang dapat merepresentasikan faktor-faktor risiko terjadinya suatu penyakit. Beberapa penelitian sebelumnya meneliti mengenai tuberkulosis namun

(8)

8 hingga sebatas analisisnya saja belum banyak yang membuat peta risiko kejadian penyakit tuberkulosis. Membuat data spasial mengenai resiko kejadian penyakit tuberkulosis yang berbasis lingkungan dapat memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG).

Salah satu faktor risiko lingkungan yang berperan menimbulkan kejadian penyakit tuberkulosis merupakan kondisi rumah. Parameter kondisi rumah pada penelitian tersebut tidak semuanya dapat diperoleh melalui penginderaan jauh, namun citra penginderaan jauh memiliki manfaat seperti dapat mempersingkat waktu, menghemat biaya, dan tenaga saat melakukan cek lapangan, serta memberikan gambaran pada area kajian sehingga akan mempermudah dalam melakukan pengamatan pada area kajian yang luas. Hubungan dari parameter-parameter tersebut tentunya berbeda-beda. Besar kecilnya hubungan tersebut dapat diperoleh melalui analisis statistik.

Penggunaan citra satelit GeoEye dengan resolusi spasial 1,65 meter untuk saluran multispektral cocok digunakan untuk mengekstraksi data kondisi rumah seperti kepadatan permukiman dan kondisi fisik bangunan karena citra satelit GeoEye dapat menunjukkan kenampakan kondisi fisik rumah secara jelas serta dapat diunduh secara gratis melalui google satelit.

Kecamatan Banguntapan merupakan kecamatan di Kabupaten Bantul dengan jumlah penderita penyakit tuberkulosis tertinggi terlihat pada tabel 1.3 dan gambar 1.5 yang ada pada latar belakang, hal ini merupakan alasan pengambilan area kajian di Kecamatan Banguntapan.

1.3. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana kemampuan Penginderaan Jauh (PJ) citra satelit GeoEye dalam mengekstrak data kondisi rumah di Kecamatan Banguntapan?

2. Bagaimana kemampuan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mengetahui persebaran penderita penyakit tuberkulosis di Kecamatan Banguntapan?

3. Parameter apa saja yang paling mempengaruhi kejadian TB di Kecamatan Banguntapan?

(9)

9 4. Bagaimana kemampuan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mengetahui tingkat risiko penyakit tuberkulosis di Kecamatan Banguntapan?

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kemampuan Penginderaan Jauh (PJ) dalam mengekstraksi parameter kondisi fisik rumah di Kecamatan Bangutapan.

2. Mengkaji kemampuan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mengetahui persebaran penderita tuberkulosis di Kecamatan Banguntapan. 3. Mengetahui parameter kondisi rumah yang paling mempengaruhi kejadian

penyakit tuberkulosis.

4. Mengetahui kemampuan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk membuat peta risiko terjadinya penyakit tuberkulosis.

1.5. Kegunaan dan Manfaat Penelitian 1. Program Pengendalian TB Paru

Mengetahui persebaran penderita TB beserta faktor kondisi rumah akan memudahkan dalam pengawasan, pencegahan, dan pengendalian penyakit TB di Kecamatan Banguntapan.

2. Peneliti

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam ilmu penginderaan jauh dan sistem informasi geografis berupa analisis kewilayahan (spasial) pada bidang kesehatan khususnya ilmu kesehatan lingkungan untuk meningkatkan kewaspadaan tentang risiko penyakit tuberkulosis.

3. Instansi Terkait

Adanya pemetaan mengenai persebaran kejadian TB serta hubungannya dengan kondisi rumah dan lingkungan dapat digunakan sebagai acuan untuk menyusun perencanaan kesehatan khususnya dalam pencegahan dan pengendalian penyakit TB di Kecamatan Banguntapan.

Gambar

Gambar 1.2 Gambar Estimasi Beban Tuberculosis Per 100.000 Penduduk  pada Tahun 2011 di Indonesia (Sumber: WHO, 2012)
Gambar 1. 3 Grafik Case Notification Rate (CNR) Tuberkulosis Per 100.000  Penduduk Di Indonesia (Sumber: Ditjen PPPL, Kemkes RI: Laporan Kinerja
Tabel  1.1  Jumlah  Pasien  yang  berobat  ke  Puskesmas  Menurut  Jenis  Penyakit per Kecamatan di Kabupaten Bantul Tahun 2009
Gambar 1.5 Peta Penyebaran Jumlah Kasus TB di Kabupaten Bantul Tahun  2013 (Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Bantul Tahun 2014)  1.2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan di teliti. 32 Populasi dalam penelitian adalah Semua pelaku industri rumah tangga pada makanan

algoritma kompresi LZW akan membentuk dictionary selama proses kompresinya belangsung kemudian setelah selesai maka dictionary tersebut tidak ikut disimpan dalam file yang

Selama perawatan tanaman hortikultura, digunakan pupuk organik dan biopestisida yang dihasilkan dari pengolahan sampah organik.. Sampah atau limbah organik tersebut

PENAWARAN MATA KULIAH SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK 2012/2013 JURUSAN TARBIYAH PRODI PAI. PROGRAM KUALIFIKASI S1 (LULUSAN D2)

Asas nemo judex idoneus in propria causa merupakan salah satu asas hukum beracara Mahkamah Konstitusi yang digunakan dalam setiap proses peradilan di Indonesia karena asas

Dengan mengambil alih kedudukan agama tersebut, manusia modern pada hakikatnya telah menghilangkan hal yang sakral dan suci dari alam, sehingga manusia modern menganggap

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan ketepatan shooting menggunakan punggung kaki antara pemain depan dengan pemain tengah pada siswa yang mengikuti