• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECERNAAN SERAT PAKAN PADA DOMBA GARUT BETINA YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN NILAI NISBAH KATION ANION DAN KROMIUM BERBEDA SKRIPSI BENY KURNIA UMBARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KECERNAAN SERAT PAKAN PADA DOMBA GARUT BETINA YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN NILAI NISBAH KATION ANION DAN KROMIUM BERBEDA SKRIPSI BENY KURNIA UMBARA"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

KECERNAAN SERAT PAKAN PADA DOMBA GARUT BETINA

YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN NILAI NISBAH

KATION ANION DAN KROMIUM BERBEDA

SKRIPSI

BENY KURNIA UMBARA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(2)

ii

RINGKASAN

BENY KURNIA UMBARA. D24052284. 2009. Kecernaan Serat Pakan pada Domba Garut Betina yang Mendapat Ransum dengan Nilai Nisbah Kation Anion dan Kromium Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Institut Pertanian Bogor

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat M. Agr. Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Asep Sudarman M.Rur.Sc.

Kecernaan nutrien didefinisikan sebagai jumlah nutrien yang tidak dieskresikan melalui feses dengan asumsi bahwa nutrien tersebut dicerna oleh hewan. Kecernaan nutrien dapat dipengaruhi oleh umur ternak, tingkat pemberian, dan kadar nutrien pakan. Ternak ruminansia dapat menggunakan sebagian karbohidrat struktural yang berupa selulosa dan hemiselulosa dengan bantuan mikroba rumen. Kation dan anion ransum telah digunakan untuk dimanipulasi metabolisme Ca, sedangkan kromium (Cr) dapat digunakan untuk meningkatkan metabolisme glukosa. Pengaruh pengaturan kadar kation anion ransum dan suplementasi Cr terhadap kecernaan terhadap aktifitas mikroba dan kecernaan nutrien belum banyak diketahui khususnya pada ternak domba di wilayah tropis. Penelitian ini dirancang untuk menganalisis kecernaan serat pakan pada domba Garut betina dengan pemberian suplementasi Cr organik yang dihasilkan dari Ganoderma lucidum dan dengan nilai nisbah kation-anion ransum yang berbeda

Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan September 2008 sampai bulan Januari 2009, yang bertempat di laboratorium lapang milik Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 24 ekor domba Garut betina dengan rata-rata bobot badan 27,7 ± 2,24 kg. Domba dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan bobot badan dan diberi enam perlakuan yaitu: RA= Ransum Basal (RB), RB= RB + 3 ppm anorganik, RC= RB + 3 ppm Cr-organik jerami padi, RD= RB + 3 ppm Cr-Cr-organik sawit, RE= R PKAR -10 + 3 ppm organik jerami padi, RF= R PKAR -10 + 3 ppm organik sawit. Pemberian pakan dilakukan pada pukul 07.00 dan pukul 14.00 WIB. Penimbangan ternak dilakukan setiap satu minggu sekali dan pengambilan sampel feses dilakukan selama tujuh hari berturut-turut setelah masa preliminary. Peubah yang diamati pada penelitian ini yaitu: konsumsi pakan, palatabilitas, pertambahan bobot badan, dan kecernaan serat pakan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola searah dengan enam perlakuan dan empat ulangan. Data diolah dengan sidik ragam (ANOVA). Apabila hasil analisis menunjukkan berbeda nyata maka selanjutnya diuji menggunakan uji jarak Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan ransum komplit yang disuplementasi dengan Cr dan mempunyai nilai nisbah kation anion berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi, palatabilitas, pertambahan bobot badan dan kecernaan serat pakan. Hal ini dapat diakibatkan oleh level pemberian Cr yang masih terlalu kecil. Sementara itu nilai nisbah kation anion hingga bernilai -10 belum

(3)

mempengaruhi pertumbuhan bakteri pemecah serat pakan pada domba garut yang mendapat ransum berkonsentrat 65%.

(4)

iv

ABSTRACT

Dietary Fiber Digestibility in Garut Sheep Breed Offered Rations with Different Cation Anion Balance and Chromium Level

B. K. Umbara , T. Toharmat , A. Sudarman

The experiment was aimed at evaluating dry matter intake and nutrient digestibility in Garut breed ewes offered ration differing in dietary cation anion ratio and supplemented with organic chromium (Cr) from Ganoderma lucidum. Twenty four female Garut breed sheep aged two years with initial weight of 27.70 ± 2.24 kg were alocated into a Randomized Block Design. The sheep were grouped into 4 weight groups based on their initial weight and allocated into six experimental rations. The experimental rations were: 1) RA = basal diet, 2) RB = basal diet + 3 ppm inorganic cromium, 3) RC = basal diet + 3 ppm organic Cr from rice straw, 4) RD = basal diet + 3 ppm organic Cr from oil palm by fiber, 5) RE = basal diet with DCAB –10 +3 ppm organic Cr from rice straw and 6) RF = basal diet with DCAB – 10 + 3 ppm organic Cr from oil palm fiber. There were no effect of dietary cation anion ratio and organic Cr supplementation on dry matter intake, palatability, daily gain and nutrient digestibility. The result indicated that manipulation of dietary anion cation balance and supplementation of Cr at those levels were had no effect on palatability of feed, dry matter intakes, weight gain and nutrient digestibility.

(5)

KECERNAAN SERAT PAKAN PADA DOMBA GARUT BETINA

YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN NILAI NISBAH

KATION ANION DAN KROMIUM BERBEDA

BENY KURNIA UMBARA D24052284

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(6)

vi

KECERNAAN SERAT PAKAN PADA DOMBA GARUT BETINA

YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN NILAI NISBAH

KATION ANION DAN KROMIUM BERBEDA

Oleh

BENY KURNIA UMBARA D24052284

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 28 Agustus 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc. NIP. 195909021983031003 NIP. 196404241989031001

Dekan Ketua Departemen

Fakultas Peternakan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr. Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. NIP. 196701071991031003 NIP. 196705061991031001

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 20 Desember 1985 di Conggeang Sumedang, Jawa Barat. Penulis adalah anak ke-2 dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak Abudin dan Ibu Mimin Rohayati. Alamat orang tua Kp. Kutamara, 07/02 Desa Pasiripis, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Pendidikan dasar diselesaikan tahun 1999 di SDN Sukamaju 1 Cibingbin Kuningan, pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SLTPN 1 Cikajang Garut, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMAN 1 Garut Jawa Barat.

Tahun 2005, Penulis masuk Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah satu tahun berada di asrama TPB-IPB, kemudian penulis diterima di Fakultas Peternakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan.

Selama mengikuti pendidikan formal penulis aktif di Dewan Penggalang di SLTPN 1 Cikajang, dan anggota OSIS di SMAN 1 Garut. Selama belajar di IPB penulis aktif di lembaga kemahasiswaan yaitu menjadi anggota HIMASITER selama dua tahun yaitu periode 2006-2007 dan 2007-2008 divisi Biro Khusus Magang (BKM). Penulis juga menjadi ketua Kelompok Pecinta Alam Fakultas Peternakan IPB (KEPAL-D) periode 2007-2008. Selain aktif di lembaga kemahasiswaan penulis juga pernah menjadi anggota paduan suara Graziono Simphonia pada tahun 2006, kemudian penulis juga aktif di Himpunan Organisasi Mahasiswa Daerah Garut (HIMAGA). Selain itu penulis pernah menjadi panitia kegiatan Domba Cup pada tahun 2007 dan 2008 yang diselenggarakan oleh mahasiswa daerah.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat serta hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi berjudul ”Kecernaan Serat Pakan pada Domba Garut Betina yang Mendapat Ransum dengan Nilai Nisbah Kation Anion dan Kromium Berbeda” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan September 2008 hingga Januari 2009 di laboratorium lapang Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini disusun dengan harapan pemberian suplementasi kromium organik dan pengaturan nilai nisbah kation anion ransum dapat dimanfaatkan oleh ternak ruminansia untuk meningkatkan metabolis dan dapat meningkatkan daya kerja mikroba rumen sehingga dapat mencerna pakan berserat lebih baik lagi. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga skripsi ini bermanfaat terutama di dunia peternakan Amin.

.

Bogor, Agustus 2009

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... ii

ABSTRACT ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Deskripsi Domba Garut ... 3

Ransum Komplit ... 3

Perbandingan Kation Anion ... 4

Konsumsi Ransum ... 5

Palatabilitas ... 5

Kebutuhan Nutrisi Domba... 6

Kecernaan Nutrien ... 6

Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia Besar ... 9

Suplementasi Mineral ... 10

Mineral Dalam Pakan Ternak ... 10

Ganoderma Lucidum... 12

METODE ... 13

Waktu dan Tempat ... 13

Materi ... 13

Hewan Percobaan ... 13

Alat yang Digunakan ... 13

Ransum Percobaan ... 13

Rancangan Percobaan ... 15

Prosedur ... 16

Peubah yang Diamati ... 16

Analisis Data ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

(10)

x

Palatabilitas ... 20

Pertambahan Bobot Badan ... 22

Kecernaan Nutrien ... 25

Kecernaan Bahan Kering ... 25

Kecernaan Serat Kasar ... 26

Kecernaan NDF ... 27

Kecernaan ADF ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

Kesimpulan ... 29

Saran ... 29

UCAPAN TERIMA KASIH ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Bahan Pakan dan Kandungan Nutrien Ransum ... 14 2 Kandungan Kromium pada Ransum Percobaan ... 14 3. Kandungan Garam-Garam dalam Ransum Percobaan ... 15 4. Konsumsi dan Pertambahan Bobot Badan Domba Garut Betina

terhadap Ransum yang Mengandung Kromium Organik dan

Anorganik dengan Neraca Kation Anion yang Berbeda ... 18 5. Palatabilitas Domba Garut Betina terhadap Ransum Berkromium

yang mempunyai Nilai Kation Anion berbeda pada Pagi dan Siang

Hari ... 21 6. Keadaan Lingkungan Selama Penelitian ... 21 7. Kecernaan Nutrien pada Domba Garut Betina yang mendapat

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Skema Pembagian Hijauan Menurut Van Soest ... 9 2. Konsumsi Ransum Percobaan yang Disuplementasi Kromium

dengan Nilai Nisbah Kation Anion Berbeda ... 19 3. Palatabilitas Domba Garut Betina terhadap Ransum Berkromium

dengan Nilai Nisbah Kation Anion Berbeda pada Pagi dan Siang hari ... 22 4. Pertambahan Bobot Badan Domba Garut Betina yang

Disuplementasi Kromium dan Nilai Nisbah Kation Anion Berbeda . 23 5. Hubungan Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi ... 24 6. Hubungan Kecernaan Bahan Kering dan Serat Kasar ... 26

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Konsumsi Bahan Kering ... 35

2. Data Palatabilitas Pagi Hari... 35

3 Data Palatabilitas Siang Hari ... 35

4 Data Pertambahan Bobot Badan ... 35

5 Data Kecernaan Bahan Kering ... 36

6 Data Kecernaan Serat Kasar ... 36

7 Data Kecernaan NDF ... 36

8 Data Kecernaan ADF ... 36

9 Hasil Analisis Ragam Konsumsi Bahan kering ... 37

10 Hasil Analisis Ragam Palatabilitas Pagi ... 37

11 Hasil Analisis Ragam Palatabilitas Siang ... 37

12 Hasil Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan ... 37

13 Hasil Analisis Ragam Kecernaan Bahan Kering ... 38

14 Hasil Analisis Ragam Kecernaan Serat Kasar ... 38

15 Hasil Analisis Ragam Kecernaan NDF... 38

(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ternak domba banyak dijumpai di daerah tropis karena mempunyai daya tahan terhadap kekeringan dan mempunyai daya adaptasi tinggi (Ensminger et al.,

1990). Domba Garut memiliki sifat prolifik, kualitas daging dan performans yang baik. Domba Garut sangat disukai oleh peternak di Jawa Barat sebagai domba pedaging dan aduan. Performans domba yang baik dapat dicapai dengan pemberian pakan yang berkualitas baik dengan jumlahnya yang mencukupi. Performans domba Garut pada tingkat peternak saat ini sangat bervariasi. Hal tersebut diperkirakan terkait dengan takaran pemberian pakan yang tidak sama antar peternak. Kekurangan pakan selain menyebabkan pertumbuhan dan reproduksi ternak yang tidak optimum, kekebalan tubuh domba akan menurun dan rentan terhadap gangguan penyakit, sehingga dibutuhkan suplementasi pakan yang berkualitas untuk meningkatkan laju metabolisme dalam tubuh.

Pemanfaatan glukosa darah yang kurang maksimal sebagai sumber energi metabolisme menyebabkan fungsi sejumlah asam amino dan asam lemak berubah menjadi sumber energi. Rendahnya kemempuan ternak dalam meningkatkan laju aliran glukosa darah kedalam sel untuk energi metabolisme erat kaitannya dengan aktivitas kinerja hormon insulin yang kurang optimal, hormon insulin akan bekerja dengan efektif jika ada kromium (Cr) dan Cr berperan sebagai kofaktor insulin, dengan demikian aktivitas kromium di dalam organisme paralel dengan fungsi insulin.

Unsur Cr merupakan mikronutrien yang esensial bagi ternak dan juga manusia. Unsur Cr berperan dalam proses metabolisme dan penting dalam fungsi kekebalan tubuh dan mencegah stres, selain itu Cr berperan dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan asam nukleat. Cr-organik dapat dihasilkan dengan memanfaatkan fungi Ganoderma lucidum yang diketahui mempunyai kemampuan untuk menginkorporasikan Cr kedalam selnya (Yang dan Su, 2006), dan mengubahnya ke dalam bentuk Cr-organik baik di dalam miselium maupun di dalam tubuh buahnya.

Domba Garut telah teradaptasi dengan lingkungan daerah pegunungan yang sejuk. Terkait dengan performans domba Garut yang lebih unggul dari domba lokal

(15)

lainnya, domba Garut banyak dikembangkan di daerah dataran rendah yang mempunyai lingkungan panas. Kondisi lingkungan panas menyebabkan ternak yang teradaptasi di lingkungan sejuk mengalami cekaman yang lebih tinggi. Kondisi cekaman menyebabkan cairan tubuh yang lebih basa dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh lebih lamban. Unsur Cr dalam bentuk organik dapat mengurangi cekaman panas dan ransum dengan nisbah kation anion yang rendah dapat menurunkan pH cairan tubuh. Pada penelitian ini pemberian pakan yang mengandung mineral Cr-organik yang dihasilkan dari Ganoderma lucidum pada domba Garut diharapkan meningkatkan kualitas metabolisme dalam tubuh dan pemberian ransum dengan nilai nisbah kation anion yang rendah dengan nilai -10 diharapkan dapat menurunkan pH cairan tubuh yang sekaligus mengahasilkan air liur yang mampu memelihara bahkan meningkatkan efisiensi kecernaan fermentatif sehingga dapat meningkatkan kecernaan serat pakan.

Tujuan

Penelitian ini dirancang untuk mengkaji kecernaan serat pakan pada domba Garut betina dengan ransum yang disuplementasi kromium organik yang dihasilkan dari Ganoderma lucidum dan mempunyai nilai nisbah kation-anion ransum yang berbeda.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi dasar tentang kemampuan domba Garut dalam mencerna serat pakan dengan atau tanpa suplementasi Cr dan pada kondisi ransum dengan nilai nisbah kation anion yang berbeda. Informasi tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi domba Garut betina.

(16)

3

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Domba Garut

Domba diklasifikasikan dalam: kingdom: Animal; philum: Chordata

(bertulang belakng); kelas: Mamalia (menyusui); ordo: Artiodactyla (berkuku genap); sub ordo: Ruminansia; famili: Bividae; genus: Ovis ; spesies : Ovis aries

(Devendra dan McLeroy, 1992). Domba Garut telah dibudidayakan masyarakat Garut sejak lama. Domba yang memiliki fisik yang besar dan kuat ini, melahirkan seni atraksi laga domba di daerah Bayongbong Garut. Domba Garut merupakan hasil persilangan antara domba asli Indonesia, domba Merino dari Asia Kecil dan domba ekor gemuk dari Afrika. Domba ini dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Domba Garut, atau domba priangan dan nama domba Priangan lebih popular (Natasasmita

et al.,1986).

Ciri-ciri fisik domba Garut antara lain: badan agak besar; domba jantan dewasa mempunyai bobot 60-80 kg, sedangkan yang betina mempunyai bobot 30-40 kg; domba jantan memiliki tanduk yang besar, melengkung kearah belakang, dan ujungnya mengarah ke depan sehingga berbentuk seperti spiral. Pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu, domba betina tidak memiliki tanduk; ekornya pendek dan pangkalnya agak besar (gemuk); lehernya kuat, bentuk telinganya ada yang panjang, pendek dan sedang yang terletak di belakang pangkal tanduk; bulunya lebih panjang dan halus jika dibandingkan dengan domba asli, berwarna putih, hitam, cokelat, atau kombinasi dari ketiga warna tersebut; domba ini baik untuk penghasil daging (Balai Informasi Pertanian, 1990).

Ransum Komplit

Ransum komplit merupakan campuran dari berbagai bahan pakan sesuai proporsinya untuk mendapatkan nutrien yang lengkap. Bahan pakan yang dicampur antara lain hijauan, butiran, konsentrat, suplemen vitamin, dan bahan aditif lain yang memenuhi kebutuhan nutrisi bagi ternak (Owen, 1966). Selanjutnya Ensminger et al. (1990) menyatakan bahwa ransum merupakan campuran jenis pakan yang diberikan kepada ternak untuk sehari semalam selama hidupnya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuhnya. Ransum yang sempurna harus mengandung nutrien seimbang, disukai ternak dan mudah dicerna.

(17)

Menurut Owen (1966), beberapa keuntungan pemberian pakan ransum komplit pada ternak antara lain; disusun sesuai dengan kebutuhan nutrisi dari suatu ternak tertentu sehingga benar-benar palatabel dan dapat menunjang fungsi fisiologis. Pemakaian hijauan dan konsentrat dapat bervariasi dan dalam penyusunannya dapat dicari bahan yang sesuai dengan nilai ekonomis. Sedangkan menurut Esminger et al. (1990) penggunaan ransum lengkap atau komplit akan memberikan beberapa keuntungan antara lain; 1) meningkatkan efisiensi pemberian pakan, 2) ketika hijauannya kurang palatabel maka jika dibuat campuran ransum komplit akan meningkatkan konsumsi, begitu juga sebaliknya jika ketersediaan konsentrat terbatas dapat dipakai hijauan sebagai campuran, 3) campuran ransum komplit dapat mempermudah ternak untuk mendapatkan nutrien lengkap.

Perbandingan Kation-Anion

Keseimbangan asam basa menyangkut pertukaran ion H+ dan komponen-komponen media internal yang mampu menyumbangkan atau menerima ion. Substansi yang mampu menyumbangkan ion H+ adalah asam, sedangkan yang mampu mengikat hidrogen adalah basa. Lingkungan internal salah satunya adalah cairan dalam tubuh hewan yang merupakan tempat hidup bagi sel penyusun tubuh. Kehidupan dapat dipertahankan jika hewan tersebut dapat mempertahankan stabilitas lingkungannya seperti pH, suhu tubuh, kadar garam dan kandungan nutrien. Stewart (1983) menyatakan bahwa keseimbangan ion-ion stabil seperti natrium, kalium, dan klor berperan utama sebagai penentu keseimbangan asam basa dalam cairan biologis. Menurut Haris dan Beede (1983), kation diet berasal dari sodium (Na) dan potasium (K) yang bersifat basa, sedangkan anion diet berasal dari khlor (Cl), sulfur (S), dan fosfor (P) yang bersifat asam. Proses perhitungan keseimbangan kation-anion tidak menghitung semua mineral dalam ransum, akan tetapi hanya beberapa mineral-mineral yang sering digunakan untuk menghitung keseimbangan kation-anion, yaitu Na dan K untuk kation dan Cl dan S untuk kation-anion, sehingga untuk mendapatkan ransum dengan nilai asam perlu dilakukan penambahan Cl dan S lebih banyak. Perbandingan kation-anion ialah perbedaan miliequivalen antara kation dan anion tertentu dalam ransum dengan cara pengurangan antara miliequivalen kation

(18)

5 dan miliequivalen anion dalam seluruh ransum. Perhitungan nilai PKA yang digunakan oleh Haris dan Beede (1983), adalah sebagai berikut :

PKA = (Na + K)-(Cl + S)(meq/100 gr BK ransum)

Keterangan : PKA = Perbandingan Kation Anion

Konsumsi Ransum

Ternak dapat mencapai tingkat penampilan produksi tertinggi sesuai dengan potensi genetiknya bila memperoleh nutrien yang dibutuhkannya. Nutrien tersebut diperoleh ternak dengan jalan mengonsumsi sejumlah makanan (Sutardi, 1980). Menurut Maynard dan Loosly (1962) tujuan ternak mengonsumsi ransum adalah untuk dapat hidup, tumbuh ataupun bereproduksi. Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan makanan. Selain itu aroma dari pakan yang digunakan akan meningkatkan konsumsi ransum (Pond et al., 1995). Beberapa keuntungan dari ransum komplit, yaitu: 1) meningkatkan efisiensi pemberian pakan, 2) ketika hijauannya kurang palatabel maka jika dibuat campuran ransum komplit akan meningkatkan konsumsi, begitu juga sebaliknya jika ketersediaan konsentrat terbatas dapat dipakai hijauan sebagai campuran, 3) campuran ransum komplit dapat mempermudah ternak untuk mendapatkan nutrien lengkap (Ensminger et al., 1990).

Palatabilitas

Palatabilitas didefinisikan sebagai respon yang diberikan oleh ternak terhadap pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi juga dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang diberikan (Church dan Pond, 1988).

Menurut Church (1974) palatabilitas sangat penting karena merupakan gabungan dari beberapa faktor yang berbeda yang dirasakan oleh ternak, yang mewakili rangsangan dari penglihatan, aroma, sentuhan dan rasa yang dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia dari ternak yang berbeda. Ternak domba tidak memiliki kemampuan membedakan warna merah dan biru, sehingga domba termasuk yang

(19)

buta warna. Pond et al. (1995) mendefinisikan palatabilitas sebagai daya tarik suatu pakan atau bahan pakan untuk menimbulkan selera makan dan langsung dimakan oleh ternak. Palatabilitas biasanya diukur dengan cara memberikan dua atau lebih pakan kepada ternak sehingga ternak dapat memilih dan memakan pakan yang lebih disukai.

Kebutuhan Nutrisi Domba

Kebutuhan hidup pokok merupakan kebutuhan akan nutrien yang digunakan untuk mengganti jaringan yang rusak dan mati serta menyediakan energi untuk kegiatan metabolisme (Lubis, 1963). Pemberian pakan yang kurang dari kebutuhan ternak menyebabkan efek negatif dan pada batas tertentu akan menyebabkan tidak adanya pertumbuhan dan produksi ternak. Hal ini disebabkan nutrien tersebut hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok saja.

Domba memerlukan lebih banyak makanan daripada sapi jika dibandingkan dengan bobot badan, ini berhubungan dengan beberapa faktor yaitu bahwa hewan kecil pada umumnya proses-proses pencernaannya berjalan lebih cepat dan rapi daripada hewan yang jauh lebih besar (Lubis, 1963). Diggins dan Bundy (1952) dan Lubis (1963), menyatakan bahwa makanan ternak ruminansia terutama domba adalah rumput dan hijauan lain yang umumnya berkadar serat kasar tinggi. Menurut NRC (1985), kebutuhan nutrien untuk hidup pokok pada domba dengan bobot badan 30 kg adalah TDN 65%, DE 2.9 Mcal/kg, ME 2.4 Mcal/kg, PK 13.5%, Ca 0.5 g/ekor/hari dan P 0.22 g/ekor/hari.

Kecernaan Nutrien

Kecernaan atau ketersediaan nutrien dalam bahan makanan untuk diserap oleh saluran pencernaan banyak tergantung pada status dan produktivitas atau fungsi fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Anggorodi (1994) mendefinisikan kecernaan sebagai bagian yang tidak diekskresikan dalam feses dimana bagian lainnya di asumsikan diserap oleh tubuh ternak yang dinyatakan dalam persen bahan kering. Williamson dan payne (1993) menyatakan bahwa nutrien yang dicerna adalah bagian nutrien yang tidak dikeluarkan dan diperkirakan diserap oleh hewan.

(20)

7 Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan dipengaruhi antara lain oleh jenis hewan, macam bahan pakan, jumlah ransum yang diberikan, cara penyediaan pakan, dan kadar nutrien yang terkandung (Ranjhan dan Pathak, 1979). Faktor yang berpengaruh lainnya, menurut Arora (1989) yaitu pengisian dan laju pengaliran rumen yang merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat dan tempat pencernaan, tingkat konsumsi mikroba, produksi akhir fermentasi dan penggunaan nitrogen. Sedangkan menurut Anggorodi (1994) faktor yang mempengaruhi daya cerna ransum yaitu suhu, laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari nutrien lainnya. Untuk mengetahui jumlah nutrien yang dikonsumsi yaitu dengan cara mengalikan jumlah bahan kering ransum dengan persentase kandungan nutrien dalam ransum, begitu juga untuk menghitung banyaknya nutrien didalam feses, sedangkan persentase nutrien dalam feses dan ransum diperoleh dari analisa proksimat. Kecernaan dapat diukur dengan teknik fermentasi in vitro (Tilley dan Terry, 1963).

Kecernaan Bahan Kering

McDonald et al. (1995) menyatakan bahwa kecernaan pakan didefinisikan sebagai proporsi yang tidak diekresikan lewat feses dan diasumsikan diserap oleh ternak. Salah satu faktor yang penting yang harus dipenuhi bahan makanan adalah tinggi rendahnya kecernaan bahan makanan itu yang berarti bahwa bahan makanan itu harus cukup mengandung zat-zat makanan dalam bentuk yang dapat dicerna didalam saluran pencernaan. Sutardi (1980) menyatakan bahwa pencernaan adalah proses perubahan fisik dan kimia yang dialami oleh bahan makanan dalam alat pencernaan, proses ini meliputi pencernaan mekanik hidrolitik dan fermentative. Kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh konsumsi dan kadar NDF (Neutral deterjen Fiber) ransum.

Menurut Syah (1984), menyatakan bahwa kandungan NDF yang rendah dalam ransum akan menyebabkan laju pengosongan saluran pencernaan menjadi lambat sehingga konsumsi bahan kering maupun bahan organik ransum menjadi rendah. Bahan makanan yang mengandung serat kasar tinggi akan menurunkan koefisien cerna zat-zat makanan lainnya, karena untuk mencerna serat kasar dibutuhkan banyak energi (Lubis 1963). Makin tinggi serat kasar, laju pergerakan zat

(21)

makanan dalam sekum makin tinggi, sehingga diperkirakan bahwa koefisien cerna zat makanan akan makin rendah (Cheeke dan Patton, 1980).

Kecernaan Serat

Menurut Ranjhan dan Pathak (1979) menyatakan bahwa kecernaan zat makanan dapat dipengaruhi oleh umur ternak, level pemberian, dan kadar zat makanan yang dikandungnya. Ternak ruminansia dapat memecah dan menggunakan sebagian karbohidrat structural (selulosa dan hemiselulosa) dengan bantuan mikroba rumen. Parakkasi (1999) juga manambahkan bahwa dengan adanya bantuan mikroba rumen akan meningkatkan kecernaan bahan makanan yang mengandung karbohidrat structural (karbohidrat pembangun); kandungan lignin dan silica pada bahan makanan dapat mempengaruhi produksi energi metabolis (ME), karena bahan makanan yang memiliki kandungan lignin dan silica yang tinggi akan lebih sulit dicerna, sehingga lebih banyak energi dari bahan makanan tersebut yang keluar melalui feses.

Tillman et al. (1989) mengatakan bahwa hewan tidak menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa dan hemiselulosa, tetapi mikroorganisme dalam suatu saluran pencernaan menghasilkan selulase dengan hemiselulase yang dapat mencerna selulosa dan hemiselulosa, juga dapat mencerna pati dan karbohidrat yang larut dalam air menjadi asam-asam asetat, propionat dan butirat

Serat adalah lignin dan polisakarida yang merupakan dinding sel tumbuhan dan tidak tercerna oleh cairan sekresi dalam saluran pencernaan. Kandungan serat dalam dinding sel dapat diekresikan dengan metode Netral Detergen Fiber (Arora, 1989) sehingga kemampuan serat dapat dipisahkan. Jika kandungan lignin dalam bahan pakan tinggi maka koefisien cerna pakan tersebut menjadi rendah (Sutardi, 1980).

NDF (Netral Detergent Fiber) dan ADF (Acid Detergent Fiber)

Secara garis besar bahan hijauan dibagi menjadi isi sel dan dinding sel (NDF). Isi sel terdiri dari fraksi-fraksi protein, karbohidrat non struktural, mineral dan lemak yang mudah larut dalam pelarut deterjen netral. Dinding sel yang tidak larut dalam dalam pelarut deterjent netral (NDF) dibagi menjadi beberapa fraksi

(22)

9 berdasarkan kelarutannya dalam pelarut detergen asam. Fraksi yang larut terdiri dari hemiselulosa dan protein dinding sel (N dinding sel), sedangkan yang tidak larut adalah selulosa, lignin, lignoseulosa, dan silica atau dikenal dengan serat detergent asam (Acid Detergent Fiber/ ADF). Selain bahan organik, dinding sel juga mengandung silika. Dinding sel (NDF) biasanya erat hubungannya dengan konsumsi sedangkan ADF erat hubungannya dengan kecernaan (Parakkasi, 1999).

Skema pembagian hijauan menurut Van Soest (1994), dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Bahan Air

Makanan Isi Sel Hemiselulosa Bahan (N dinding sel)

Kering Dinding Sel SiO2

(NDF)

Lignoselulosa

Lignin

Deterjen Asam Gambar 1. Skema Pembagian Hijauan Menurut Van Soest

Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia

Pencernaan merupakan proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan pakan dalam alat pencernaan. Proses pencernaan tersebut meliputi : pencernaan mekanik, pencernaan hidrolitik, dan pencernaan fermentatif. Pencernaan mekanik terjadi di mulut oleh gigi melalui proses pengunyahan dengan tujuan memperkecil ukuran, yang kemudian akan masuk kedalam perut dan usus untuk melalui pencernaan hidrolitik, dimana nutrien akan diuraikan menjadi molekul yang lebih sederhana oleh enzim pencernaan yang dihasilkan oleh hewan (Sutardi, 1980).

Pencernaan berlangsung dari suatu saluran yang terentang dari mulut ke anus (Frandson,1996). Nutrien tersebut dalam saluran pencernaan mengalami perombakan menjadi zat-zat yang siap untuk diserap tubuh hewan (Tilman et al, 1989). Sistem pencernaan ruminansia sangat tergantung pada perkembangan populasi mikroba yang mengalami retikulorumen dalam mengolah setiap bahan pakan yang dikonsumsi. Mikroba tersebut berperan sebagai serat dan sumber protein. Adanya mikroba yang berperan dalam pencernaan pakan di dalam rumen menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna pakan berserat yang berkualitas rendah,

(23)

sehingga kebutuhan asam amino untuk ternak tidak sepenuhnya tergantung pada protein pakan yang diberikan (Sutardi, 1980). Sumber energi utama ruminansia adalah asam lemak terbang (VFA) yang merupakan produk akhir dari fermentasi dalam rumen.

Suplementasi Mineral

Penambahan mineral pada ternak dalam ransum dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mineralnya seperti dengan melakukan penambahan suplemen pada bahan makanan ternak. Suplemen merupakan suatu bahan makanan atau campuran bahan makanan yang dicampur pada bahan lain, untuk meningkatkan keserasian dalam makanan akhir. Suplemen dapat diberikan tanpa dicampur dengan bahan lain, diberikan secara bebas bersama makanan lain secara terpisah, atau dicampur dengan bahan makanan lain untuk membentuk makanan yang lengkap (Hartadi et al., 1990).

Ransum yang tersusun dari bahan makanan biasa dapat defisiensi terhadap unsur mineral, kecuali bila ditambahkan dengan sumber mineral seperti tepung tulang dan kalsium. Bila terjadi defisiensi maka fungsi tubuh akan menurun tetapi bila diberikan dalam jumlah yang berlebihan dimana sistem regulasi tidak dapat dipertahankan maka akan terjadi keracunan (Parakkasi, 1985).

Mineral Dalam Pakan Ternak

Mineral merupakan elemen-elemen atau unsur-unsur kimia selain karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen jumlahnya mencapai 95% berat badan (Piliang, 2002). Elemen mineral secara umum dibagi menjadi dua yaitu mineral mikro dan mineral makro. Mineral makro dibutuhkan dalam jumlah besar dan terdapat dalam jumlah besar didalam jaringan tubuh hewan, yang termasuk dalam mineral makro adalah kalsium, phospor, sodium, klorin, potasium, magnesium, dan belerang.

Mineral mikro dibutuhkan dalam jumlah kecil dan didalam jaringan tubuh terdapat sedikit, yang termasuk dalam mineral mikro adalah kobalt, Cu, iodium, besi, mangan, molibdenum, selenium, dan seng (NRC,1989). Untuk menjaga kelestarian proses hidup, kebutuhan mineral harus disediakan dalam perbandingan yang tepat dan dalam jumlah yang cukup, selain itu menurut Sutardi (1980) beberapa peran dari mineral yaitu (1). Memelihara kondisi ion dalam tubuh, (2). Memelihara

(24)

11 keseimbangan asam basa dalam tubuh khususnya keseimbangan antara anion dan katio, (3). Memelihara tekanan osmotik dalam tubuh, (4). Menjaga kepekaan syaraf dan otot, (5). Mengatur transport zat makanan dalam sel, (6). Mengatur permeabilitas membran, (7). Kofaktor enzim dan metabolisme.

Kebutuhan Cr (Kromium)

Fungsi utama kromium adalah untuk meningkatkan aktifitas insulin dalam metabolisme glukosa, dan untuk mempertahankan transpor glukosa dari darah kedalam sel. Kromium membentuk suatu komplek dengan insulin dan reseptor insulin memfasilitasi respon jaringan yang sensitif terhadap insulin (Committee on Animal Nutrition (1977). Kromium selain esensial dalam metabolisme karbohidrat, juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein, asam nukleat dan mencegah cekaman.

Suplementasi Cr ke dalam pakan lebih menguntungkan apabila diberikan dalam bentuk Cr organik. Kromium dalam bentuk trivalent (Cr+3) yang tidak beracun sangat sulit diserap. Dalam beberapa kasus, Cr anorganik yang dikonsumsi manusia lewat makanan 98% tidak diserap dan dikeluarkan lewat fases (Offenbachter et al., 1986). Sebaliknya ketersedian Cr organik cukup tinggi antara 25 sampai 30%. Astuti (2006) menyatakan bahwa penggunaan Cr organik asal Rhizopus orizae dalam ransum sebesar 1 dan 3 mg/kg memberikan hasil tertinggi pada kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in vitro.

Mineral Cr merupakan unsur mikro yang bersifat paling kurang beracun (Groff dan Gropper, 2000). Peranan Cr dalam metabolisme antara lain meningkatkan potensi aktifitas insulin, yakni sebagai komponen dari GTF yang dapat meningkatkan asupan glukosa ke dalam sel. Peran Cr terkait dengan kinerja hormon insulin, yaitu memacu pembentukan glikogen sebagai energi cadangan yang berasal dari kelebihan glukosa sebagai sumber energi metabolisme baik di organ hati maupun di otot. Suplementasi Cr dapat meningkatkan pasokan glukosa oleh sel, produksi CO2 dari

oksidasi glukosa dan pembentukan glikogen dari glukosa. Glukosa yang berasal dari hasil hidrolisa karbohidrat di saluran pencernaan akan masuk ke dalam darah yang sebagian dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam sel dan sebagian lagi disimpan

(25)

sebagai energi cadangan dalam bentuk glikogen baik dihati maupun didaging (Underwood,1971).

Defisiensi Cr dapat menyebabkan rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati dan menyebabkan gangguan untuk pengikatan asam amino, diantaranya glisin, serin dan metionin. Pada sel kelenjar ambing hewan ruminansia, pengambilan glukosa tidak ditentukan oleh insulin, namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan asam amino khususnya asam aspartat, valin, isoleusin, leusin, metionin, lisin, asam glutamat, treonin, aspargin dan tirosin (Underwood, 1971).

Ganoderma lucidum

Ganoderma lucidum (Lingzhi di China, Reishi, Manentake atau Shachitake di Jepang dan Youngzi di Korea) merupakan spesies dari kelas Basidiomisetes, yang memiliki famili Polyperaceae (ganodermataceae) dari ordo Aphyllophoracles. Umumnya dikenal sebagai sebagai jamur pelapuk kayu (wood decaying fungus),

yang menyebabkan busuk putih (white rot) pada tanaman dan karena itu disebut juga sebagai phytophatogenic fungus (Chang dan Miles, 2004).

Kompleks Ganoderma lucidum terdiri dari tubuh buah yang tebal, bergabus dan berwarna kuning kemerahan pada awalnya dan kemudian berubah menjadi berwarna kecoklatan pada saat masaknya. Pada batas tubuh buah biasanya tipis berwarna putih pada awalnya dan menjadi coklat terang pada tahap akhirnya. Bentuknya bervariasi, bundar semi bundar dan bentuk kipas atau seperti ginjal (Chang dan Miles, 2004). G. lucidum mengandung zat aktif berupa β-D-glukan pada miselium dan tubuh buah yang berfungsi sebagai stimulator kekebalan, selain itu juga mengandung protein ling zhi-8 pada miselium yang berfungsi sebagai imunomodulator.

(26)

13

METODE Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2008 sampai Januari 2009. Semua kegiatan dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Hewan Percobaan

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 24 ekor domba Garut betina dengan rata-rata bobot badan domba 27,7 ± 2,24 Kg, berumur rata-rata 2 tahun dan telah beranak satu kali.

Alat yang Digunakan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang metabolis individu, tempat pakan, tempat minum, wadah penampung feses, kain kasa,

stopwatch, termometer digital, timbangan 100 kg, timbangan pakan 5 kg, tambang dan timbangan analitik 500 g dengan ketelitian 0,0001 g.

Ransum Percobaan

Ransum yang digunakan berupa ransum basal dengan bahan-bahan terdiri atas jagung kuning, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dedak padi, minyak jagung, urea, ZnSO4 dan jerami jagung. Jerami jagung yang digunakan sebelumnya dicacah,

dijemur dibawah terik matahari selama ± 5-6 hari. Jerami jagung yang telah kering kemudian digiling sampai halus.

Pengaturan nilai Nisbah Kation Anion Ransum (NKAR) dilakukan menggunakan CaSO4 dan CaCl2 sehingga nilai NKAR menjadi -10. Suplemen

Cr-organik yang digunakan dihasilkan melalui fermentasi jerami padi dan serat sawit yang telah diberi Cr hingga 3000 ppm dengan Ganoderma lucidum.

Bahan baku dan komposisi ransum percobaan yang digunakan selama penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

(27)

Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan dan Kandungan Nutrien Ransum Bahan Pakan Jumlah (%BK)

Konsentrat Jagung kuning 19,65 Bungkil kedelai 13,60 Bungkil kelapa 8,00 Dedak padi 21,50 Minyak jagung 2,00 Urea 0,25 Hijauan Jerami jagung 35,00 Total 100,00 Nutrien Bahan Kering 86,53 Protein Kasar 13,50 Serat Kasar 17,00 NDF 66,74 ADF 42,18 TDN 67,60

Tabel 2. Kandungan Kromium pada Ransum Penelitian* Mineral (g/kg BK ransum) Perlakuan RA RB RC RD RE RF Anorganik 3ppm Organik Jerami Sawit 3ppm 3ppm Organik Jerami padi 3ppm 3ppm * Hasil Perhitungan

Keterangan : RA = Ransum Basal (RB), RB = RB + 3ppm Anorganik, RC = RB + 3ppm Organik Jerami Padi, RD = RB + 3ppm Organik Sawit, RE = RPKAR + 3ppm Cr-Organik Jerami Padi, RF = RPKAR + 3ppm Cr-Cr-Organik Sawit.

Pengaturan nilai Neraca Kation Anion Ransum (NKAR) menggunakan CaSO4 dan CaCl2 sehingga nilai NKAR menjadi -10. Kandungan garam dari ransum

(28)

15 Tabel 3. Kandungan Garam-Garam dalam Ransum Penelitian*

Mineral (g/kg BK ransum) Perlakuan RA RB RC RD RE RF CaSO4 9,88 9,88 ZnSO4 0,124 0,124 0,124 0,124 0,124 0,124 CaCl2 0,159 0,159 * Hasil Perhitungan

Keterangan : RA = Ransum Basal (RB), RB = RB + 3ppm Anorganik, RC = RB + 3ppm Organik Jerami Padi, RD = RB + 3ppm Organik Sawit, RE = RPKAR + 3ppm Cr-Organik Jerami Padi, RF = RPKAR + 3ppm Cr-Cr-Organik Sawit.

RancanganPercobaan

Percobaan meggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan enam perlakuan dan empat kelompok. Pengelompokan domba didasarkan pada bobot badan ternak. Perlakuan yang diberikan adalah: RA = Ransum Basal (RB), RB = RB + Kromium anorganik, RC = RB + Kromium organik jerami, RD = RB + Kromium organik sawit, RE = Ransum PKAR + Cr Organik jerami padi, RF = Ransum PKAR + Cr organik sawit. Ransum percobaan diberikan kepada setiap kelompok domba secara acak. Model matematis yang digunakan sebagai berikut:

Yij = μ + pi + kj + єij

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan kelompok ke-j,. μ = Nilai rataan umum

pi = Efek perlakuan ransum ke-i (1,2,3,4,5,6), kj = Efek kelompok ternak ke-j (1,2,3,4),.

єij = Pengaruh galat percobaan yang mendapat perlakuan ke-i pada kelompok ke-j

(29)

Prosedur

Produksi Kromium Organik

Suplemen kromium organik didapatkan dari laboratorium nutrisi ternak perah. Kromium organik dihasilkan melalui fermentasi jerami padi dan serat sawit yang telah diberi kromium anorganik dengan Ganoderma lucidum.

Pemeliharaan Ternak

Ternak dipelihara dalam kandang metabolis selama delapan minggu. Tiga minggu pertama sebagai masa adaptasi pakan (preliminary) dan lima minggu selanjutnya dilakukan pengambilan data. Pemberian pakan (BK) 3% dari bobot badan, dilakukan pada pukul 07.00 – 07.30 WIB dan pukul 14.00 – 14.30 WIB, sedangkan air minum diberikan secara ad libitum.

Koleksi Feses

Koleksi feses dilakukan selama tujuh hari berturut-turut setelah ternak domba melewati masa preliminary selama tiga minggu. Feses ditampung dengan menggunakan kain kasa yang dipasang di bawah lantai kandang metabolis dan setiap 24 jam feses ditimbang. Sampel feses dari setiap ekor domba diambil sebanyak 100 g. Sampel feses kemudian dikeringkan pada terik matahari sebelum dibawa ke laboratorium. Selama periode pemberian pakan, sampel pakan diambil dan disatukan pada akhir percobaan. Pada akhir percobaan sampel feses yang sudah kering dari setiap domba digabungkan kemudian digiling menggunakan saringan 2 mm. Kadar air dan kadar serat pakan dan feces dianalisis di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan.

Peubah yang Diamati Konsumsi

Ternak dapat mencapai tingkat penampilan produksi tertinggi sesuai dengan potensi genetiknya bila memperoleh nutrien yang dibutuhkannya sehingga pengukuran konsumsi sangat penting. Pengukuran konsumsi ransum setiap hari

(30)

17 selama penelitian. Konsumsi ransum harian dihitung dengan cara mengukur jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan pakan sisa.

Palatabilitas

Palatabilitas didefinisikan sebagai respon yang diberikan oleh ternak terhadap pakan yang diberikan. Palatabilitas pakan diukur dengan memberikan sejumlah besar pakan secara serentak pada pagi hari selama 15 menit. Sisa pakan kemudian ditimbang sehingga diketahui jumlah pakan yang dikonsumsi.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan dinyatakan dalam gram/ekor. Pertambahan bobot badan merupakan selisih antara bobot badan akhir dikurangi dengan bobot badan awal selama penelitian.

Kecernaan Nutrien

Kecernaan atau ketersediaan nutrien dalam bahan makanan untuk diserap oleh saluran pencernaan banyak tergantung pada status dan produktivitas atau fungsi fisiologis ternak. Pengukuran kecernaan nutrient meliputi kecernaan bahan kering, kecernaan serat pakan, kecernaan ADF dan kecernaan NDF.

Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan The SAS System for Windows 9.1 dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA). Apabila hasil analisis menunjukkan berbeda nyata maka perbedaan rataan konsumsi, palatabilitas, pertambahan bobot badan (PBB), dan kecernaan pada setiap perlakuan selanjutnya diuji menggunakan uji jarak DUNCAN (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan

Konsumsi ransum merupakan faktor esensial yang merupakan dasar untuk mencukupi hidup pokok dan menentukan tingkat produksi. Pakan yang dikonsumsi oleh ternak domba sangat diperlukan guna memenuhi kebutuhan zat makanan untuk hidup pokok dan produksi. Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan sisa pakan. Pakan yang baik dapat menunjang pertumbuhan yang optimal. Konsumsi pakan setiap ekor ternak berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks yang terdiri dari hewan, pakan yang diberikan, dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara (Parakkasi, 1999).

Pengaruh pemberian suplementasi kromium dan ransum dengan neraca kation anion berbeda selama penelitian disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Konsumsi dan Pertambahan Bobot Badan Domba Garut Betina

terhadap Ransum yang mengandung Kromium Organik dan Anorganik dengan Neraca Kation Anion yang Berbeda.

Perlakuan Konsumsi Bahan kering (g/e/hari)

Pertambahan Bobot badan (g/e/hari) RA 772 ± 68 50,22 ± 29,25 RB 750 ± 104 45,76 ± 27,61 RC 728 ± 85 81,47 ± 56,40 RD 721 ± 90 56,92 ± 14,29 RE 689 ± 79 47,99 ± 61,69 RF 932 ± 117 94,87 ± 35,60 765 ± 90 62,87 ± 37,47

Keterangan : RA= Ransum Basal, RB=RA+3ppm Cr-Anorganik, RC=RA+3ppm Cr Organik

Jerami Padi, RD=RA+3ppm Cr Organik Sawit, RE=RPKAR-10 + Cr Organik Jerami Padi, RF= RPKAR-10 + 3ppm Sawit

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rataan konsumsi bahan kering pada penelitian ini tidak berbeda nyata, baik untuk perlakuan maupun kelompok bobot badan. Hal ini dikarenakan suplementasi kromium dengan nilai kation anion berbeda pada umumnya tidak berpengaruh besar terhadap konsumsi tetapi lebih besar pengaruhnya terhadap metabolisme dalam tubuh sehingga dalam penelitian ini perlakuan tidak mempengaruhi dari konsumsi ternak. Sutardi (1980) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah palatabilitas, jumlah makanan yang tersedia dan kualitas atau komposisi kimia bahan makanan.

(32)

19 Ransum RF memiliki kecenderungan konsumsi bahan kering paling tinggi di antara perlakuan RA, RB, RC, RD dan RE. Hal ini menggambarkan ransum RF lebih disukai. Ransum RF memiliki kandungan suplementasi kromium organik serat sawit dan nilai kation anion ransum -10. Hal ini dimungkinkan karena domba mendapat pengaruh dari pemberian suplemen dari kromium organik dan pengaruh kadar kation anion sehingga dapat meningkatkan konsumsi dari domba, karena tujuan dari pemberian suplementasi kromium dan nilai kation anion ini untuk meningkatkan konsumsi, sehingga pemberian suplementasi kromium organik ini sebaiknya diberilan pada saat kondisi kation anion negatif yaitu -10, hal ini sesuai dengan Chan et al. (2005) yang menyatakan bahwa bertambahnya nilai kation anion ransum (NKAR) menyebabkan semakin menurunnya konsumsi bahan kering, sehingga penurunan nilai nisbah kation anion ransum dapat meningkatkan konsumsi ransum dari ternak.

Konsumsi Ransum 772 750 728 721 689 932 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 RA RB RC RD RE RF Perlakuan K on s um s i B a ha n K e ri ng (g/ M nt )

Gambar 2. Konsumsi Ransum Percobaan yang disuplementasi Kromium dengan Nilai Nisbah Kation Anion Berbeda

Konsumsi bahan kering ransum RE memiliki konsumsi yang paling rendah dari ransum yang lain, penambahan ransum dengan kromium organik jerami padi dengan neraca kation anion -10 ternyata tidak meningkatkan konsumsi bahkan cenderung menurunkan konsumsi pakan bila dibandingkan dengan ransum kontrol, hal ini dimungkinkan karena rendahnya level pemberian kromium sehingga diduga tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi ransum penelitian.

(33)

Gambar 2 diatas menunjukkan bahwa pemberian suplementasi kromium dengan nilai nisbah kation anion berbeda menunjukkan hasil yang berbeda, walaupun secara statistik tidak berpengaruh secara nyata, tetapi dari gambar dapat dilihat ransum mana yang lebih banyak disukai oleh ternak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian dari Anggraeni pada domba Garut jantan, yang menunjukan bahwa peningkatan PKAR bahan kering tidak mempengaruhi jumlah konsumsi ransum bahan kering (BK) sehingga dalam penelitian ini pemberian suplementasi kromium organik belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap ternak.

Palatabilitas

Palatabilitas didefinisikan sebagai respon yang diberikan oleh ternak terhadap pakan yang diberikan dan hal ini tidak hanya dilakukan oleh ternak ruminansia tetapi juga dilakukan oleh hewan mamalia lainnya terutama dalam memilih pakan yang diberikan (Church dan Pond, 1988). Pond et al., (1995) mendefinisikan palatabilitas sebagai daya tarik suatu pakan atau bahan pakan untuk menimbulkan selera makan dan langsung dimakan oleh ternak. Palatabilitas biasanya diukur dengan cara memberikan dua atau lebih pakan kepada ternak sehingga ternak dapat memilih dan memakan pakan yang lebih disukai.

Tabel 5 dibawah memperlihatkan nilai palatabilitas atau daya suka ternak terhadap pakan pada pagi dan siang hari, hasil analisis menunjukkan bahwa palatabilitas pagi hari dan siang hari tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Hal ini menguatkan nilai konsumsi yang hampir sama antar perlakuan, dan pemberian ransum dengan nilai kation anion -10 yang disuplementasi kromium tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai palatabilitas ternak pada pagi hari. Pengukuran palatabilitas pada siang hari menunjukan hasil yang sama yaitu tidak berbeda nyata (P>0,05), tetapi dari tabel dapat dilihat bahwa penambahan kromium dengan nilai kation anion berbeda ternyata dapat menurunkan tingkat palatabilitas hal ini dapat dilihat dari nilai palatabilitas siang hari perlakuan RE memiliki nilai paling kecil, penambahan Cr pada ransum asam menyebabkan ransum kurang palatabel sehingga menurunkan konsumsi bahan kering pada domba Garut, ini berarti bahwa selera makan domba Garut betina dapat dikatakan dipengaruhi oleh

(34)

21 lingkungan lain, seperti suhu lingkungan yang cenderung berbeda antara pagi dan sore hari.

Tabel 5. Palatabilitas Domba Garut Betina terhadap Ransum Berkromium yang mempunyai Nilai Kation Anion berbeda pada Pagi dan Siang hari

Perlakuan Palatabilitas (g/menit)

Pagi Siang Total

RA 6,62±0,79 6,29±0,87 12,91±1,66 RB 5,43±1,31 6,59±0,79 12,02±2,10 RC 6,76±2,29 7,35±1,96 14,11±4,25 RD 6,92±1,54 6,43±0,64 13,35±2,18 RE 6,02±3,43 4,33±2,43 10,35±5,87 RF 7,94±1,80 8,58±1,46 16,52±3,26 6,62±1,86 6,60±1,36 13,21±3,22

Keterangan : RA= Ransum Basal, RB=RA+3ppm Cr-Anorganik, RC=RA+3ppm Cr Organik

Jerami Padi, RD=RA+3ppm Cr Organik Sawit, RE=RPKAR-10 + Cr Organik Jerami Padi, RF= RPKAR-10 + 3ppm Sawit

Suhu siang hari pada umumnya lebih tinggi daripada pagi hari, dari tabel dapat dilihat ransum RF memiliki nilai paling tinggi, hal ini kemungkinan disebabkan kebutuhan ransum asam meningkat pada saat ternak mengalami cekaman atau berada pada suhu yang lebih tinggi untuk mempertahankan kondisi tubuhnya. Secara rata-rata nilai palatabilitas pagi dan siang hari memiliki nilai yang sama ini berarti pemberian pakan dapat dilakukan pada pagi dan siang hari.

Tabel 6. Keadaan Lingkungan Selama Penelitian

Pada ternak ruminansia faktor yang mempengaruhi palatabilitas adalah kecerahan warna hijauan, rasa, tekstur, dan kandungan nutrisi (Ensminger, 1990). Menurut Church et al. (1974), palatabilitas sangat penting karena merupakan gabungan dari beberapa factor yang berbeda yang dirasakan oleh ternak, yang mewakili rangsangan dari penglihatan, aroma, sentuhan dan rasa yang dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia dari ternak yang berbeda. Ternak domba tidak memiliki

Mikro - Klimat Pagi (Pukul 07.00 WIB) Siang (Pukul 14.00 WIB)

Suhu (0C) 27,25 ± 0,32 27,33 ± 0,39

(35)

kemampuan membedakan warna merah dan biru, sehingga domba termasuk yang buta warna.

Gambar 3 dibawah menunjukan palatabilitas antar perlakuan, hasil analisis menunjukan bahwa perlakuan pagi hari tidak mempengaruhi secara nyata begitu juga dengan siang hari perlakuan tidak mempengaruhi secara nyata, tetapi dapat dilihat bahwa pada kedua kondisi perlakuan RF memiliki nilai palatabilitas lebih tinggi, hal ini sesuai dengan banyaknya konsumsi ransum pada ransum RF yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ransum RF lebih disukai, hal ini dimungkinkan ada pengaruh dari nilai kation anion dan suplementasi kromium organik pada ransum sehingga konsumsi ransum RF meningkat dibandingkan ransum kontrol. 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 RA RB RC RD RE RF Perlakuan P a la ta b il it a s ( g /m n t)

Palatabilitas Pagi Palatabilitas Siang

Gambar 3. Palatabilitas Domba Garut Betina terhadap Ransum Berkromium

dengan Nilai Nisbah Kation Anion Berbeda pada Pagi dan Siang hari.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan dapat digunakan sebagai ukuran kecepatan pertumbuhan yang mana merupakan salah satu cermin dari kemampuan untuk mencerna makanan. Anggorodi (1985) mendefinisikan pertumbuhan adalah pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan seperti otot, tulang, jantung, dan semua jaringan tubuh lainnya. Titus dan Fritz (1971) menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan dari seekor hewan dipengaruhi oleh beberapa faktor, tetapi yang sangat

(36)

23 mempengaruhi adalah spesies, jenis kelamin, umur hewan, keseimbangan pakan, dan jumlah pakan yang dikonsumsi.

Tingkat konsumsi yang tinggi biasanya diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi pula. Banyaknya bahan pakan yang dapat dikonsumsi oleh seekor hewan berhubungan erat dengan bobot badannya, semakin tinggi bobot badannya maka kemampuan dari seekor hewan akan tinggi pula dalam mengkonsumsi pakan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pada perlakuan yang memiliki konsumsi paling tinggi diikuti dengan pertambahan bobot badan yang tinggi pula.

Pertambahan bobot badan paling tinggi terdapat pada perlakuan RF yaitu sebesar 94,87 gram/hari, sedangkan pertambahan bobot badan paling kecil terdapat pada perlakuan RB yaitu sebesar 45,76 gram/hari. Tabel 4. diatas menunjukkan bahwa pemberian suplementasi kromium dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dibandingkan dengan ransum kontrol, tetapi pemberian suplementasi kromium anorganik juga dapat menurunkan pertambahan bobot badan hal ini terlihat pada perlakuan RB (45,76 gram/hari), kromium anorganik memiliki nilai pertambahan bobot yang kecil, hal ini disebabkan kromium anorganik lebih sulit dicerna oleh tubuh dibandingkan dengan kromium organik.

50.22 45.76 81.47 56.92 47.99 94.87 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 RA RB RC RD RE RF Perlakuan P e rt a m ba ha n B ob ot B a da n (g/ e /ha r)

Gambar 4. Pertambahan Bobot Badan Domba Garut Betina yang disuplementasi Kromium dan Nilai Nisbah Kation Anion Berbeda.

(37)

Pertambahan bobot badan harian domba yang mendapat enam jenis ransum perlakuan menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata, hal ini sesuai dengan konsumsi bahan kering dari keenam perlakuan yang tidak berbeda nyata. Pertambahan bobot badan sangat dipengaruhi oleh konsumsi pakan sehingga semakin tinggi konsumsi pakannya, maka makin tinggi pula pertambahan bobot badan (Rianto et al., 2006).

Pertambahan bobot badan sangat berhubungan dengan konsumsi bahan makanan, sehingga memiliki hubungan yang linear antara pertambahan bobot badan dan konsumsi bahan kering, hal ini dapat dilihat dari Gambar 5 dibawah ini. Dalam kajian ini terdapat hubungan yang linear antara konsumsi bahan kering dengan pertambahan bobot badan, semakin tinggi konsumsi maka semakin tinggi pula pertambahan bobot badannya.

Gambar 5. Hubungan Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi

Dari Gambar 5 diatas dapat disimpulkan bahwa setiap peningkatan satu satuan konsumsi bahan kering akan meningkatkan pertambahan bobot badan sebesar 0,13 gram/hari. Walaupun tidak nyata antar pelakuan, perlakuan ransum RF memiliki konsumsi paling tinggi (932 ± 117 gram/hari) sehingga pertambahan bobot badannya dari perlakuan ini paling tinggi pula (94,87 ± 35,60 gram/hari). Sedangkan perlakuan RE memiliki konsumsi paling rendah (689 ± 79 gram/hari) sehingga pertambahan bobot badannya dari perlakuan ini paling rendah (47,99 ± 61,69 gram/hari).

(38)

25

Kecernaan Nutrien

Kecernaan atau ketersediaan nutrien dalam bahan makanan untuk diserap oleh saluran pencernaan banyak tergantung pada status dan produktivitas atau fungsi fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Faktor yang mempengaruhi daya cerna ransum menurut Anggorodi (1994) yaitu suhu, laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari nutrien lainnya. Penambahan suplementasi kromium dan nilai kation anion ransum dalam bahan pakan ini dimaksudkan untuk memperbaiki laju dari proses pencernaan terhadap pakan berserat, terutama pada ternak ruminansia sehingga dapat memanfaatkan pakan berserat menjadi energi yang lebih berguna untuk tubuh. Pakan berserat hanya dapat dicerna oleh ternak ruminansia dengan bantuan mikroba yang ada di rumen. Data hasil penelitian kecernaan serat pakan disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 7. Kecernaan Nutrien pada Domba Garut Betina yang mendapat Ransum dengan Nilai Nisbah Kation Anion dan Kromium Berbeda

Kecernaan (%) Ransum Perlakuan RA RB RC RD RE RF Rataan BK 72,08±5,35 66,09±1,59 62,44±8,19 68,98±7,07 65,61±5,95 67,85±5,77 67,18±5,65 SK 38,88±10,41 25,35±0,33 17,03±12,89 29,42±18,30 22,26±9,81 23,07±8,86 26,00±10,00 NDF 65,33±8,60 57,86±1,47 54,56±8,57 62,30±8,66 56,36±7,80 57,00±4,67 58,90±6,63 ADF 61,69±11,89 51,12±6,58 41,04±10,82 51,34±11,84 44,34±16,46 46,39±6,70 49,32±10,72

Keterangan : BK = Bahan Kering, SK= Serat Kasar, NDF= Neutral Detergen Fiber, ADF= Acid Detergen Fiber

RA= Ransum Basal, RB=RA+3ppm Cr-Anorganik, RC=RA+3ppm Cr Organik Jerami Padi, RD=RA+3ppm Cr Organik Sawit, RE=RPKAR-10 + Cr Organik Jerami Padi, RF= RPKAR-10 + 3ppm Sawit

Hasil analisa menunjukan bahwa setiap perlakuan tidak menunjukan hasil yang nyata pada kecernaan bahan kering, serat kasar, ADF dan NDF.

Kecernaan Bahan Kering

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering secara nyata. Hal ini sejalan dengan konsumsi ransum yang menunjukan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi konsumsi secara nyata. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh kecernaan pakan (Arora, 1989), semakin tinggi

(39)

kecernaan pakan, semakin tinggi pula konsumsinya. Tidak adanya perbedaan kecernaan ini diduga menyebabkan laju pertumbuhan populasi mikroba rumen tidak berbeda atau tidak dipengaruhi oleh adanya perlakuan ransum, dan pada akhirnya kemampuan mikroba untuk mencerna pakan, terutama serat kasar juga tidak berbeda.

Gambar 6. Hubungan Kecernaan Bahan Kering dan Serat Kasar

Hasil analisa regresi kecernaan bahan kering dan serat kasar memiliki hubungan yang erat seperti yang ditampilkan pada gambar diatas. Gambar 6 menunjukkan hubungan yang erat antara kecernaan bahan kering dan serat kasar, itu artinya setiap peningkatanan kecernaan bahan kering satu satua akan meningkatkan kecernaan sebesar 0,5 % serat kasar. Selain itu dari tabel 7 diatas dapat dilihat bahwa nilai kecernaan bahan kering ransum kontrol paling besar dibandingkan ransum dengan perlakuan, hal ini memperkuat bahwa perlakuan tidak memepengaruhi aktifitas mikroba rumen dalam memecah bahan kering ransum, selain itu pengaturan nilai nisbah kation anion ransum tidak mengubah lingkungan dari mikroba rumen.

Kecernaan Serat Kasar

Serat kasar merupakan salah satu komponen karbohidrat yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kandungan serat kasar yang tinggi pada suatu bahan pakan akan sukar dimanfaatkan oleh ternak. Kecernaan nutrien pakan secara in vivo pada ternak ruminansia ditentukan oleh kandungan serat kasar pakan (faktor

(40)

27 eksternal) dan aktivitas mikroba rumen (faktor internal), terutama bakteri dan interaksi kedua faktor tersebut.

Keenam perlakuan pada penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap kecernaan serat kasar, tetapi dari data diatas memperlihatkan nilai yang jauh berbeda antar perlakuan, hal ini mungkin diakibatkan dari aktifitas mikroba yang tidak dipengaruhi oleh perlakuan dan error yang cukup tinggi mengakibatkan simpangan baku yang diperoleh cukup besar antar perlakuan sehingga perlakuan tidak mempengaruhi secara nyata. Sumber energi utama ruminansia adalah asam lemak terbang (VFA) yang merupakan produk akhir dari fermentasi dalam rumen. Mikroba rumen membantu ternak ruminansia dalam mencerna pakan yang mengandung serat tinggi menjadi asam lemak terbang (Volatile Fatty Acids = VFA’s) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat serta asam isobutirat dan asam isovalerat. Serat adalah lignin dan polisakarida yang merupakan dinding sel tumbuhan dan tidak tercerna oleh cairan sekresi dalam saluran pencernaan. Kandungan serat dalam dinding sel dapat diekresikan dengan metode Netral Detergen Fiber (Arora, 1989) sehingga kemampuan serat dapat dipisahkan.

Kecernaan NDF

Ternak ruminansia mempunyai keistimewaan dalam mencerna dan menggunakkan materi dinding sel tanaman atau NDF. Materi dinding sel tanaman ini sebagian besar terdiri dari hemiselulosa, selulosa, lignin dan silica. Hemiselulosa dan selulosa dapat dicerna oleh mikroba rumen dalam waktu relative lama, sedangkan lignin dan silica tidak dapat dicerna. Hasil analisa menunjukan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi kecernaan NDF secara nyata berarti pemberian suplementasi kromium dan nilai kation anion yang berbeda tidak mempengaruhi kecernaan NDF secara nyata. Kadar ADF yang rendah menunjukkan daya cerna yang tinggi, sama dengan kadar NDF, jika kadarnya rendah menunjukkan kecernaan yang tinggi. Dinding sel (NDF) biasanya erat hubungannya dengan konsumsi.

Tabel 7 diatas memperlihatkan bahwa kecernaan NDF lebih besar dari kecernaan ADF, hal ini karena kandungan hemiselulosa dari NDF cukup besar dimana seperti diketahui bahwa hemiselulosa lebih mudah dicerna karena dari segi

(41)

strukturnya hemiselulosa termasuk polisakarida atau heteropolisakarida yang tersusun dari bermacam-macam monomer salah satunya adalah glukan dan manan sedangkan dalam ADF sebagian besar mengandung selulosa yang tersusun dari satu maca monomer pembentuk glukosa sehingga sulit untuk dicerna.

Pemberian suplementasi kromium dan nilai kation anion ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk pertumbuhan dan aktifitasnya sehingga dapat meningkatkan kecernaan serat kasar NDF dan ADF yang kemudian diubah menjadi energi dalam bentuk VFA sebagai sumber energi ruminansia. Hasil penelitian. Astriana (2009), membuktikan bahwa pemberian kromium organik dapat meningkatkan kecernaan serat kasar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian kromium.

Kecernaan ADF

ADF merupakan komponen dinding sel yang terdiri dari 3 komponen yaitu selulosa, lignin dan silika. Menurut Parakkasi (1999), ADF erat hubungannya dengan kecernaan, sehingga apabila kecernaannya tinggi maka ADF yang tercerna akan tinggi pula. Komponen ADF yang mudah dicerna adalah selulosa, sedangkan lignin sulit dicerna karena memiliki ikatan rangkap, jika kandungan lignin dalam bahan pakan tinggi maka koefisien cerna pakan tersebut menjadi rendah (Sutardi, 1980).

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap kecernaan ADF, sehingga dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa pemberian suplemenasi kromium dan nilai nisbah kation anion dalam ransum tidak mempengaruhi kecernaan ADF secara nyata, perlakuan tidak mempengaruhi aktivitas dan lingkungan dari mikroba rumen sehingga daya kerja bakteri selulolitik di rumen dalam memecah selulosa tidak terpengaruh oleh perlakuan ini. Kecernaan selulosa sangat ditentukan oleh populasi dan aktivitas mikroba rumen, khususnya mikroba yang mampu dan mempunyai aktivitas selulolitik.

(42)

29

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Pemberian suplementasi kromium organik dan anorganik sebesar 3 ppm dengan perbandingan nilai nisbah anion kation -10 tidak berpengaruh terhadap konsumsi, palatabilitas, pertambahan bobot badan, serta kecernaan pada pakan yang berserat, karena level pemberiannya yang terlalu sedikit.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, untuk dapat diketahui pengaruh dari suplementasi kromium agar memberikan pengaruh secara nyata dengan memperhatikan kadar toleransi kromium yang tepat.

(43)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang pada hakikatnya Dialah pemilik ilmu pengetahuan. Hanya karena pertolongan dan kemudahan, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir Toto Toharmat M.Agr.Sc, selaku pembimbing Utama dan Dr. Ir. Asep Sudarman M.Rur.Sc selaku pembimbing anggota atas bimbingan, nasehat dan pengarahannya dalam perencanaan, pelaksanaan dan penyelesaiaan tugas akhir ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc dan Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA selaku dosen penguji sidang.

Sujud syukur dan terima kasih yang tiada terhingga penulis haturkan kepada Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan kepercayaan, kasih sayang, dukungan serta doanya untuk kesuksesan penulis. Kepada kakakku tersayang Eka Jaya Permana beserta keluarga dan adikku tercinta Eva Puspa Rahmawati, yang senantiasa memberikan motivasi, terima kasih atas semuanya, atas keceriaan dan atas kebersamaannya.

Saya ucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Asep Sudarman M.Rur.Sc. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, masukan dan motivasi selama penulis mengenyam pendidikan di Fakultas Peternakan. Tidak lupa juga rekan satu tim dalam penelitian Ibu Fauziah Agustin dan Maman Suherman atas kerjasama dan kekompakannya selama penelitian sampai penulisan tugas akhir ini, teman ditempat kost Feri Kurniawan beserta Raissa Wisudawan yang telah memberikan semangat, tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada ibu kost beserta keluarga yang telah banyak membantu selama ini , Lela Nurlela yang telah menemani selama ini baik suka maupun duka.

Penulis berharap hasil penelitian ini berguna bagi yang memerlukan. Akhir kata, semoga Allah SWT meridhoi semua yang telah dikerjakan untuk menyusun sebuah karya kecil ini. Amin.

Bogor, Agustus 2009

(44)

31

Gambar

Gambar 1. Skema Pembagian Hijauan Menurut Van Soest
Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan dan Kandungan Nutrien Ransum   Bahan Pakan                    Jumlah (%BK)
Gambar  2.  Konsumsi  Ransum  Percobaan  yang  disuplementasi  Kromium
Tabel  5.  Palatabilitas  Domba  Garut  Betina  terhadap  Ransum  Berkromium  yang  mempunyai  Nilai  Kation  Anion  berbeda  pada  Pagi  dan  Siang  hari
+6

Referensi

Dokumen terkait

deskriptif terhadap terhadap evolusi evolusi dari dari industri industri yang yang berteknologi berteknologi tinggi

[r]

Pengawas Sekolah atau Kepala Sekolah , agar guru lain mau meniru dan mencoba pembaharuan pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru

Tingkat pendidikan seseorang menunjukkan tingkat pengetahuan dan wawasan yang dimiliki, sehingga akan berpengaruh pada kemampuan analisis terhadap suatu permasalahan

[r]

Pengendalian Kualitas Statistic (Pendekatan Kuantatif dalam Manajemen Kualitas).Yogyakarta: Andi Offset. Metode Analisis Untuk Peningkatan Kualitas,

Berdasarkan hasil penelitian 18 responden, perilaku bidan & perawat dalam penanganan asfiksia ringan dan sedang pada bayi baru lahir di RSUD dr. Harjono

Merupakan prioritas utama yang perlu diperhati- kan dalam menilai pentingnya kualitas pelayanan suatu perusahaan, adalah sejauh mana pelayanan itu dapat menciptakan tingkat