• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSIAL REDOKS (Eh) DAN KELARUTAN Fe DAN Mn SERTA KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN PADI PADA BUDIDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSIAL REDOKS (Eh) DAN KELARUTAN Fe DAN Mn SERTA KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN PADI PADA BUDIDAYA"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSIAL REDOKS (Eh) DAN KELARUTAN Fe DAN Mn SERTA KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN PADI PADA BUDIDAYA SISTEM KONVENSIONAL DAN SYSTEM of RICE INTENSIFICATION

OLEH

DANNY SURACHMAN A24102103

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(2)

RINGKASAN

DANNY SURACHMAN. Potensial Redoks (Eh) dan Kelarutan Fe dan Mn serta Kaitannya dengan Pertumbuhan dan Produksi Padi pada Budidaya Padi Sistem Konvensional dan System of Rice Intensification (S.R.I.). Dibawah bimbingan DYAH T. SURYANINGTYAS dan RAHAYU WIDYASTUTI

Peningkatan jumlah penduduk berdampak dengan meningkatnya permintaan akan bahan pangan seperti beras. Namun meningkatnya permintaan beras tidak diimbangi dengan produksi beras yang dihasilkan. Pemerintah melalui Departemen Pertanian telah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri. Salah satu usaha yang memiliki potensi untuk meningkatkan produksi beras adalah System of Rice Intensification (S.R.I.). S.R.I. dikembangkan sejak tahun 1980an di Madagaskar oleh Fr. Henri de Laulanie. Konsep dasar S.R.I. adalah penanaman bibit muda umur 7-15 hari, jarak tanaman yang lebar dengan 1 bibit per lubang tanaman dengan posisi akar horizontal, dan pengairan tidak tergenang tetapi cukup jenuh. Proses penggenangan pada budidaya padi konvensional mempengaruhi nilai Eh tanah, dimana pada umumnya jika penggenangan tanah dilakukan secara terus menerus akan mengakibatkan rendahnya niai Eh yang akan mengakibatkan terlarutnya unsur mikro seperti Fe dan Mn

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh sistem budidaya padi terhadap sifat kimia tanah seperti pH, Eh, kandungan Fe dan Mn dalam tanah, pertumbuhan dan produksi padi. Penelitian ini menggunaan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan yaitu konvensional, S.R.I. anorganik, S.R.I. organik, dan S.R.I. semiorganik. Nilai pH dan Eh diukur dengan menggunakan pH dan Eh meter, sedangkan Fe dan Mn didapat dengan cara mengekstrak tanah dengan HCl 0.1 N lalu diukur dengan AAS

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode konvensional dan S.R.I. tidak mempengruhi nilai pH tanah dimana nilainya berkisar 6.20-6.77. Umumnya S.R.I. dapat menekan rendahnya nilai Eh tanah, hal ini dikarenakan perbedaan sistem pengairan lahan, dimana pada sistem konvensional selalu tergenang dan S.R.I. tidak tergenang. Pada metode S.R.I. rata-rata nilai Fe tanah sekitar 3000 ppm dan Mn pada tanah 350-400 ppm, sedangkan sistem konvensional nilai Fe tanah mencapai 5000 ppm dan Mn tanah sekitar 700 ppm. S.R.I. Anorganik dan Semi-Organik secara nyata dapat meningkatkan tinggi tanaman, jumlah batang per rumpun, panjang malai, dan jumlah bulir permalai dibandingkan metode konvensional. S.R.I. organik memiliki nilai parameter pertumbuhan dan hasil panen yang rendah dibanding dengan konvensional, hal ini dikarenakan pada budidaya S.R.I. organik input yang digunakan hanya kompos sebanyak 5 ton/Ha, yang diduga tidak mencukupi kebutuhan unsur hara selama masa pertanaman.

(3)

SUMMARY

Danny Surachman. Redox Potential (Eh) and the Solubilization of Fe and Mn and Their Relation to Growth and Production of Rice in Cultivation of Conventional Rice Farming Systems and System of Rice Intensification (S.R.I.). Supervised by Dyah Tj. Suryaningtyas and Rahayu Widyastuti.

The increase of population is resulting the increased of demand for staple food such as rice. But the increasing demand of rice is not balanced with the production of rice. Indonesian government through the Ministry of Agriculture has made various efforts to increase domestic rice production. One of the efforts that have potential to increase rice production is the System of Rice Intensification (S.R.I.). S.R.I. was developed since 1980’s in Madagascar by Fr. Henri de Laulanie. The basic concept of SRI is the planting young seedlings (7-15 day olds), a wider range of plants with 1 seed per hill, roots with a horizontal position, and irrigation is intermittent.

This research aims to study the effects of different rice farming system on several soil chemical properties (pH, Eh, Fe and Mn) and on growth and rice production. This research was arranged according to Randomized Block Design (RBD) with four treatment they are conventional, inorganic S.R.I., organic S.R.I., and semi-organic S.R.I., each treatment was repeated 4 times, pH and Eh were measured by using pH and Eh meter, while Fe and Mn were extracted with HCl 0.1 N then measured with AAS.

The results showed that the conventional method and the S.R.I. did not affect soil pH value where the value ranged between 6.20-6.77. S.R.I. generally could suppress the low value of soil Eh, this was due to differences in land irrigation systems, where the conventional system was always flooded while in S.R.I. cultivation soil was in humid condition. In SRI method the average value of Fe and Mn in soil were 3000 ppm and 350-400 ppm, respectively whereas in conventional systems Fe values reaches 5000 ppm soil and soil Mn approximately 700 ppm. Inorganic S.R.I. and semi-organic S.R.I. could significantly increase the plant height, number of stems per hill, panicle length, and number of grains rice than conventional methods. Organic S.R.I had lower plant growth and yield compared to conventional system. This was due to organic S.R.I., the input used only compost with the dose of 5 ton/ha, that probably inadequate to the need of nutrient for plant growth.

(4)

POTENSIAL REDOKS (Eh) DAN KELARUTAN Fe DAN Mn SERTA KAITANNYA DENGAN PERTUMBUHAN PADI PADA BUDIDAYA SISTEM KONVENSIONAL DAN SYSTEM of RICE INTENSIFICATION

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

OLEH

DANNY SURACHMAN A24102103

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Potensial Redoks (Eh) dan Kelarutan Fe dan Mn Serta Kaitannya Dengan Pertumbuhan Padi Pada Budidaya Sistem Konvensional dan System of Rice

Intensification Nama Mahasiswa : Danny Surachman Nomor Pokok : A24102103

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Dr.Ir Dyah T. Suryaningtyas.,MApp Sc Dr. Rahayu Widyastuti M.Sc NIP. 19660622 199103 2 001 NIP. 19610607199002 2001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian IPB

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 19571222 1982 03 1002

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 2 Mei 1983, merupakan anak ke 5 dari 5 bersaudara pasangan M. Ardani Sarman dan Susilah.

Penulis memulai pendidikan di SDN 1 Pondok Petir pada tahun 1989 dan pada tahun 1995 melanjutkan ke SLTPN 1 Ciputat. Tahun 1998 penulis melanjutka pendidikan di SMUN 1 Barabai dan lulus pada tahun 2001.

Pada tahun 2002 penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) ke Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Agrogeologi dan Survei dan Evaluasi Lahan.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik. Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Dyah T. Suryaningtyas., Mapp Sc selaku pembimbing I dan Dr Rahayu Wydiastuti M.Sc selaku dosen pembimbing ke II atas bantuan, bimbingan, nasehat dan masukan masukan yang menambah pengetahuan penulis. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

• Dr Darmawan M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberi pengarahan, nasehat, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

• Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas M.Sc yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk ikut serta pada Program Percepatan Difusi dan Pemanfaatan IPTEK Kementrian Riset dan Teknologi sehingga saya mendapatkan data-data untuk menyeleaikan penelitian ini.

• Bapak, ibu dan kakak-kakak saya berserta seluruh keluarga dimanapun berada, terima kasih yang tidak terhingga atas kesabaran, kasih sayang dan dukungannya.

• Seluruh dosen yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh pendidikan S1 dan staf Departemen Ilmu Tanah.

• Seluruh teman-teman soil IPB angkatan 38, 40, 41, 42, dan 43.

• Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah ikut serta membantu demi kelancaran penelitian dan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2010

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v DAFTAR GAMBAR ... vi I.PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 1.3 Hipotesis ... 2

II.TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Tanaman Padi ... 3

2.2 System of Rice Intensification (S.R.I.) ... 4

2.3 Tanah Sawah ... 8

2.4 Potensial Redoks ... 12

2.5 Besi di Dalam Tanah ... 14

2.6 Mangan di Dalam Tanah ... 15

III.METODOLOGI ... 18

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

3.2 Bahan dan Alat ... 18

3.3 Metode Penelitian... 18

3.3.1 Sistem Pertanian Padi ... 19

3.3.2 Pengukuran pH dan Eh Tanah ... 20

3.3.3 Analisis Fe dan Mn………... 20

3.3.4 Analisis Statistik……… 20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Kondisi Tanah ... 21

(9)

4.1.2 Nilai pH dan Eh ... 21

4.1.3 Fe dan Mn ……….. 22

4.2 Pertumbuhan Tanaman ... 24

4.2.1 Tinggi dan Jumlah Batang per Rumpun ... 24

4.2.2 Hasil Panen... 26

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

5.1 Kesimpulan ... 29

5.2 Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(10)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Tinggi Tanaman ... 26

2. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Jumlah Batang per Rumpun ... 26

3. Pengaruh Sistem Jumlah Budidaya Terhadap Anakan Produktif , Panjang Malai, Gabah Per Malai, Gabah Hampa, dan Gabah Bernas ... 28

4. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Produksi Gabah ... 28

Lampiran 1. Analisis pendahuluan ... 32

2. Analisis kompos ... 32

3. Analisis Bio-Organik Fertilizer fertismart ... 32

4. Pengukuran pH dan Eh Tanah Pada Masa Pertanaman ... 34

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Nilai pH Tanah Selama Masa Pertanaman ... 22

2. Nilai Eh Tanah Selama Masa Pertanaman ... 22

3. Nilai Fe Tanah Selama Masa Pertanaman ... 24

4. Nilai Mn Tanah Selama Masa Pertanaman ... 24

Lampiran 6. Keracunan Fe pada tanaman padi ... 39

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Metode S.R.I. (System of Rice Intensification) dikembangkan oleh Henri de Laulanie ketika masa kekeringan terjadi di Madagaskar pada awal tahun 1980. Di Madagaskar, pada beberapa tanah kurang subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, dengan metode S.R.I. bisa mencapai 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha (Berkelaar 2001).

Pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di Malagasy untuk memperkenalkan S.R.I.. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan S.R.I. di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. S.R.I. telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif (Mutakin 2008). S.R.I. dikembangkan sejak tahun 1980an di Madagaskar oleh Fr. Henri de Laulanie. Konsep dasar S.R.I. adalah penanaman bibit muda umur 7-15 hari, jarak tanaman yang lebar dengan 1 bibit per lubang tanaman dengan posisi akar horizontal, dan pengairan tidak tergenang terapi cukup jenuh.

Hingga tahun 2007 pengembangan budidaya S.R.I. telah dilakukan di 36 negara yang mencakup kawasan Afrika, Amerika Tengah, Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara Termasuk Indonesia (Uphoff, 2008). Di Indonesia, gagagsan S.R.I. telah diuji coba dan diterapkan di Jawa, Sumatra, Bali, Nusa

(13)

Tenggara Barat, Kalimantan, Sulawesi, serta Papua yang sebagian besar dipromosikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (Anugrah et al,. 2008).

Salah satu perbedaan cara penanaman padi pada S.R.I. adalah kondisi tanah yang tidak tergenang. Proses penggenangan mempengaruhi nilai Eh tanah, nilai Eh tanah menggambarkan kondisi oksidasi-reduksi dalam tanah. Reaksi redoks terjadi pada hampir semua tanah, reaksi oksidasi berkaitan dengan kondisi dengan tanah berdrainase baik, sedangkan proses reduksi berkaitan dengan kondisi tanah dengan sistem dreinase yang buruk atau terdapat air yang berlebih seperti pada kondisi sawah. Kondisi redoks tanah mempengaruhi stabilitas senyawa-senyawa besi dan mangan. Mangan dan besi di dalam tanah memiliki karakteristik yang unik, kelarutannya sangat dipengaruhi oleh nilai potensial redoks (Eh), bentuk mangan dan besi dalam tanah dan penambahan bahan organik.

Akibat proses penggenangan pada budidaya konvensional, maka nilai Eh tanah akan turun yang mengakibatkan meningkatnya besi dan mangan dalam tanah yang berpotensi meracuni tanaman padi.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan mempelajari hubungan potensial redoks dengan perilaku Fe dan Mn serta pertumbuhan dan produksi padi pada empat sistem pertanian padi yaitu konvensional, S.R.I. ( System of Rice Intensification) anoganik, S.R.I.-organik dan S.R.I.-semi organik.

1.3Hipotesis

Sistem pertanian padi yang berbeda akan memiliki sifat kimia tanah dan hasil produksi yang berbeda. Sistem pertanian padi S.R.I. akan memiliki sifat

(14)

kimia tanah dan hasil produksi yang lebih baik dibandingkan dengan sistem konvensional.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Padi

Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman pertainan kuno ini berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika Barat. Bukti sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada 3000 tahun SM. Fosil bulir padi dan gabah ditemukan di Hastinapur Uttar Pradesh India sekitar 100-800 SM. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi adalah Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, dan Vietnam. Pusat penanaman padi di Indonesia adalah Pulau jawa, Bali, dan Sulawesi ( Siregar 1981).

Tanaman padi tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 45o LU-45oLS dengan cuaca panas dan kelembapan tinggi dengan musim hujan 4 bulan per tahun. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun. Padi memerlukan ketinggian sekitar 0-650 m dpl dengan temperatur 22-27oC. Padi sawah ditanam pada tanah berliat berat dan berlumpur yang subur dengan ketebalan 18-22 cm dan pH antara 4.0-7.0 (Aksi Agraris Kanisius 1990).

Matsushima (1963) membagi periode pertumbuhan tanaman padi menjadi dua periode, yaitu periode pertumbuhan vegetatif dan periode pertumbuhan generatif. Fase vegetatif dibagi menjadi fase vegetatif aktif dan fase vegetatif lambat. Fase vegetatif aktif dimulai dari transplanting sampai jumlah anakan maksimum. Selama fase ini jumlah anakan, tinggi tanaman dan berat jerami terus meningkat. Peningkatan jumlah anakan pada fase ini juga terjadi dengan cepat. Fase vegetatif lambat dimulai dari jumlah anakan maksimum sampai dengan pertumbuhan malai. Beberapa anakan pada fase ini mati dan jumlah anakan

(16)

keseluruhan akan berkurang. Kenaikan tinggi tanaman dan berat jerami terus meningkat akan tetapi tidak secepat pada saat fase vegetatif aktif.

Menurut Matsushima (1963) periode pertumbuhan generatif dibagi menjadi dua, yaitu fase pemanjangan malai yang dimulai dari inisiasi malai sampai antesis dan fase pembuahan dari saat setelah antesis sampai matang. Umumnya varietas berumur pendek akan matang kira-kira 35-40 hari setelah antesis.

2.2 System of Rice Intensification (S.R.I.)

System of Rice Intensification (S.R.I.) merupakan metode yang dikembangkan oleh Henri de Laulanie ketika masa kekeringan terjadi di Madagaskar pada awal tahun 1980. Di Madagaskar, pada beberapa tanah kurang subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, dengan metode S.R.I. bisa mencapai 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha (Berkelaar 2001).

Pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat di Malagasy untuk memperkenalkan S.R.I.. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan S.R.I. di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. S.R.I. telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, S.R.I. Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif (Mutakin 2008).

Melalui percobaan di beberapa Negara yaitu Madagaskar, Cina, Indonesia, Bangladesh, S.R.I. Lanka, Gambia, dan Kuba diketahui produktivitas padi S.R.I.

(17)

sebesar 5,4-15 ton/ha dan non S.R.I. 3,12-5 ton/ha, terjadi peningkatan produktivitas padi antara 30-219 % (Suryanata, 2007). Di Indonesia sendiri, metode S.R.I. mulai dikembangkan melalui pengujian dan evaluasi di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat. Pengujian dilakukan pada dua musim tanam yaitu pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (Hasan dan Sato, 2007). S.R.I. juga sudah diuji coba dan diterapkan di beberapa Kabupaten di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, serta Sulawesi. Pada wilayah Indonesia bagian timur S.R.I. dapat meningkatkan produksi padi sebesar 78 %, penurunan penggunaan benih sebesar 80 %, penghematan penggunaan air sebesar 40 % serta menurunkan biaya produksi sebesar 20 % (Hasan dan Sato, 2007).

Penyebaran S.R.I. dibawa oleh Norman Uphoff, ketua CIIFAD, ke luar Madagaskar pada tahun 1997. Uphoff meyakini S.R.I. sebagai salah satu pilihan dalam metodologi intensifikasi pertanian yang murah, mudah, dan ramah lingkungan. Setelah turut mengamati perkembangan petani Madagaskar menerapkan S.R.I., Uphoff memutuskan untuk mempopulerkannya di belahan bumi lain. Hingga saat ini, S.R.I. telah diterapkan di India, S.R.I. Langka, Polandia, Vietnam, Jepang, dan Kuba. Di Indonesia, S.R.I. berkembang sejak awal tahun 2000, antara lain di daerah Cianjur yang diprakarsai oleh Medco Foundation dan Yayasan Alik.

Metode S.R.I., seperti dijelaskan Uphoff, adalah pilihan yang bisa membantu manajemen pertanian baik dari sisi alam maupun materi pertanian itu sendiri. S.R.I. mampu menghasilkan produksi padi hingga dua kali lipat dari hasil produksi padi non S.R.I.. Pengelolaan lahan sawah pun menjadi lebih bijak. Air

(18)

dan tanah dapat dikelola dengan lebih bijaksana dan ramah lingkungan (Anonim 2008). Terciptanya ragam budidaya tanaman padi dan teknologinya adalah upaya penyesuaian tanaman padi dengan lingkungan tumbuhnya (Ismunadji dan Roechan. 1988)

Menurut Rabenandrasana (1999) dalam Uphoff dan Randriamiharisoa (2002), pada S.R.I. terdapat beberapa cara yang berbeda dengan penanaman yang biasa dilakukan oleh para petani, di antaranya yaitu:

1. Bibit dipindah lapang (transplantasi) lebih awal.

Transplantasi bibit muda, biasanya ketika berumur 8 – 12 hari, dan kurang dari 15 hari. Sebenarnya, masa transplantasi ini lebih ditentukan oleh proses biologi yang diukur dengan munculnya pilokron dan bukan oleh hitungan kalender. Petani melakukan transplantasi ketika terdapat dua daun kecil pada bibit. Transplantasi awal mempertahankan kemampuan pertumbuhan akar yang dapat hilang jika transplantasi dilakukan ketika pilokron keempat telah muncul.

2. Bibit ditanam satu tiap lubang.

Penanaman bibit tunggal pada setiap lubang tanam. Pada kondisi tanah tertentu, terkadang dilakukan juga penanaman dua bibit pada satu lubang. Hal ini bertujuan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya atau nutrisi dalam tanah.

3. Jarak tanam yang lebar.

Penanaman bibit dilakukan dengan bentuk persegi dalam jarak yang cukup lebar. Jarak tanam yang direkomendasikan mulai dari 25 x 25 cm, tetapi, pada

(19)

tanah yang kaya akan sumber biologi, jarak tanam yang lebih lebar (30 x 30 cm atau 40 x 40 cm, sampai 50 x 50 cm) dengan jumlah tanaman lebih sedikit per m2 memberikan hasil yang lebih tinggi. Menurut Berkelaar (2001), sebaiknya petani mencoba berbagai jarak tanam, karena jarak tanam yang optimum tergantung pada struktur, nutrisi, suhu, kelembaban, dan kondisi tanah yang lain.

4. Penanaman dilakukan dengan posisi akar horizontal secara cepat, dangkal dan hati-hati.

Saat menanam, bibit dibenamkan dalam posisi horizontal agar ujung-ujung akar tidak menghadap ke atas (ini terjadi jika bibit ditanam vertikal ke dalam tanah). Ujung akar membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh ke bawah. Transplantasi bibit muda secara hati-hati dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama tahap pertumbuhan vegetatif.

5. Kondisi tanah tetap lembab tetapi tidak tergenang air.

Secara tradisional, penanaman padi biasanya selalu digenangi air. Padi memang mampu bertahan dalam lahan yang tergenang, akan tetapi sebenarnya penggenangan itu membuat sawah menjadi hypoxic (kekurangan oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan. Dengan S.R.I., tanah cukup dijaga tetap lembab selama fase vegetatif untuk memberikan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Sesekali tanah harus dikeringkan sampai retak agar oksigen dari udara mampu masuk ke dalam tanah dan mendorong akar untuk “mencari” air. Kondisi tidak tergenang akan

(20)

menghasilkan lebih banyak udara masuk ke dalam tanah dan akar akan berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak.

6. Pendangiran

Pendangiran (membersihkan gulma dan rumput) dilakukan minimal sebanyak 2x. Pendagiran pertama dilakukan 10 – 12 hari setelah transplantasi dan diulangi pada 10 – 12 hari berikutnya. Tiga sampai empat kali pendagiran direkomendasikan untuk meningkatkan aerasi tanah.

7. Asupan organik

Pada awalnya, S.R.I. dikembangkan dengan menggunakan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil panen pada tanah-tanah tandus di Madagaskar. Tetapi saat subsidi pupuk dicabut pada akhir tahun 1980-an, petani disarankan untuk menggunakan kompos dan ternyata hasilnya lebih bagus. Pemberian kompos dapat menambah nutrisi tanah secara perlahan-lahan, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan diversitas mikroorganisme dalam tanah.

2.3 Tanah Sawah

Tanah sawah merupakan tanah yang digunakan atau berpotensi digunakan untuk penanaman padi. Berdasarkan definisi tersebut, setiap tanah pada zona iklim apa pun dengan suhu yang sesuai untuk menanam padi satu masa tanam dalam setahun dapat disebut tanah sawah jika tersedia air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tanaman sepanjang pertumbuhannya (Kyuma 2004a). Tanah sawah bukan merupakan salah satu jenis tanah, akan tetapi istilah ini lebih merupakan salah satu jenis penggunaan lahan (Dudal 1958 dalam De Datta 1981)..

(21)

Menurut Kyuma (2004b), pada umumnya tanah sawah digenangi selama beberapa bulan dalam setahun, baik itu disebabkan oleh proses alami atau pun karena perbuatan manusia. Beberapa manfaat yang diperoleh melalui proses penggenangan pada tanah sawah di antaranya adalah:

1. Peningkatan ketersediaan nitrogen, basa-basa dan silika. 2. Peningkatan P tersedia dalam tanah.

3. Adanya perubahan sifat fisik tanah. 4. Detoksifikasi kelebihan unsur-unsur hara.

5. Detoksifikasi senyawa-senyawa kimia pertanian. 6. Tahan terhadap erosi tanah.

7. Relatif aman dari gulma.

Tanah yang disawahkan memiliki sifat fisik, kimia, dan biologi yang berbeda dengan tanah yang tidak disawahkan. Menurut De Datta (1981), perbedaan yang nyata dalam hal ini adalah munculnya horison berwarna keabuan akibat proses reduksi di dalam tanah.

Menurut Moorman dan van Breemen (1978), perubahan sifat yang terjadi pada tanah sawah dapat bersifat sementara atau permanen. Perubahan sifat tanah yang bersifat sementara dipengaruhi oleh pelumpuran dan reduksi oksidasi (redoks). Keuntungan proses pelumpuran diantaranya yaitu penanggulangan gulma relatif mudah, meningkatkan daya menahan air dan meningkatkan kelarutan basa-basa. Tetapi, pelumpuran juga menimbulkan kerugian seperti menurunkan laju perkolasi, menurunkan nilai potensial redoks dan merusak struktur tanah. Penurunan nilai Eh menyebabkan mobilitas besi dan mangan lebih

(22)

penerasan, perubahan sifat fisik akibat pengolahan tanah, perubahan sifat kimia dan mineralogi tanah akibat pengaruh air, dan perubahan regim kelembaban tanah.

De Datta (1981) mengemukakan bahwa beberapa sifat fisik, kimia fisik, dan biokimia mengalami perubahan seiring dengan proses penggenangan tanah. Beberapa perubahan sifat kimia dan elektrokimia yang penting akibat penggenangan tanah yaitu:

1. Keterbatasan oksigen dalam tanah.

Ketika tanah digenangi, air akan menggantikan udara dalam pori tanah. Selain pada lapisan tipis di permukaan tanah, dan terkadang di lapisan bawah tapak bajak, kebanyakan lapisan tanah berada dalam kondisi bebas oksigen dalam beberapa jam setelah penggenangan. Pada kondisi seperti ini, mikroorganisme tanah menggunakan bagian oksidatif tanah dan beberapa metabolit organik untuk menggantikan peran oksigen sebagai aseptor elektron pada proses respirasi mikroorganisme tersebut sehingga membentuk kondisi reduktif dalam tanah. Kondisi anaerob ini mempengaruhi ketersediaan beberapa unsur hara dan zat-zat bersifat racun dalam tanah.

2. Penurunan potensial redoks tanah.

Penggenangan tanah memberikan kondisi reduksi dan menurunkan nilai potensial redoks tanah hingga stabil dengan nilai Eh +0,2 sampai +0,3 V

tergantung pada tanah, tetapi nilai Eh di permukaan air dan beberapa mm dari

top soil tetap berkisar antara +0,3 sampai +0,5 V (Ponnamperuma 1972 dalam De Datta 1981).

(23)

3. Perubahan nilai pH tanah

Penggenangan tanah dalam beberapa minggu menyebabkan peningkatan pH pada tanah masam dan penurunan pH tanah berkapur dan tanah sodik. Perubahan pH ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya yaitu perubahan ferri menjadi ion Fe2+, akumulasi amonium, perubahan sulfat menjadi sulfida, dan perubahan karbon dioksida menjadi metana dalam kondisi reduksi.

4. Reduksi Fe(III) menjadi Fe(II)

Setelah proses penggenangan, Fe(III) oksida hidrat tereduksi menjadi senyawa Fe(II). Hal ini menyebabkan warna tanah mengalami perubahan dari cokelat menjadi abu-abu, dan sejumlah besar Fe(II) terlarut ke dalam larutan tanah. Faktor lain yang mempengaruhi kadar Fe(II) dalam tanah tergenang yaitu alam dan kadar Fe(III) oksida hidrat, pH tanah, dan suhu.

5. Reduksi Mn(IV) menjadi Mn(II)

Pada tanah tergenang, reduksi mangan dengan bilangan oksidasi yang lebih tinggi terjadi secara simultan dengan proses denitrifikasi. Dalam hal ini, mangan berperan sebagai aseptor elektron dari proses respirasi mikroorganisme dan oksidan bagi produk reduksi.

6. Peningkatan ketersediaan nitrogen.

Ketersediaan nitrogen dalam tanah tergenang lebih tinggi daripada tanah yang tidak digenangi. Ketersediaan nitrogen tersebut mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan kadar nitrogen dalam tanah, pH tanah, suhu dan lama waktu pengeringan tanah pada periode sebelumnya (Ponnamperuma 1965 dalam De Datta 1981).

(24)

2.4 Potensial Redoks Tanah

Oksidasi-reduksi merupakan reaksi pemindahan elektron dari donor elektron kepada aseptor elektron. Donor elektron akan teroksidasi karena pelepasan elektron, sedangkan aseptor elektron akan terduksi karena penambahan elektron. Proses ini berlangsung secara simultan, sehingga sering disebut sebagai reaksi redoks (Kyuma 2004a). Potenisial redoks juga dipengaruhi oleh aktivitas mikro organisme, dimana menurut Yoshida (1978), aktivitas mikro organisme tidak hanya mempengaruhi proses transformasi senyawa-senyawa organik dan anorganik, tetapi juga mempengaruhi kemasaman dan potensial redoks tanah.

Menurut Tan (1982), keseimbangan redoks biasanya dinyatakan dengan konsep potensial redoks (Eh). Secara umum, reaksi sel-paruh dari suatu sistem

oksidasi-reduksi dapat digambarkan sebagai berikut:

Bentuk teroksidasi + ne- Bentuk tereduksi

Potensial sel-paruh dari reaksi di atas dapat dirumuskan menurut hukum Nernst sebagai berikut:

Eh = E0 + RT/nF log (bentuk teroksidasi)/(bentuk tereduksi)

Potensial redoks (Eh) adalah potensial elektroda standar sel-paruh diukur

terhadap suatu elektroda penunjuk standar, yaitu elektroda hidrogen. Sedangkan E0 adalah suatu tetapan, yang disebut potensial redoks baku dari sistem, dan RT/F=0.0592 pada 25oC. Jika aktivitas dari spesies-spesies teroksidasi dan tereduksi sama dengan satu, rasio tersebut menjadi=1, dan nilai log-nya = 0, maka Eh = E0. Oleh karena itu, potensial redoks baku didefinisikan sebagai potensial

redoks dari sistem dengan aktivitas spesies teroksidasi dan tereduksi sama dengan satu (Tan 1982).

(25)

Selain Eh, reaksi redoks juga dicirikan oleh aktivitas elektron, e-. Jumlah e

-atau aktivitas elektron menentukan proses oksidasi-reduksi. Berdasarkan reaksi di atas, jika proses reduksi dominan, maka jumlah elektron akan meningkat. Hubungan antara potensial redoks dengan aktivitas elektron dapat dirumuskan sebagai berikut:

Eh = (2,3RT/F) pe

Aktivitas elektron dinyatakan dengan pe, dimana pe = -log [e-], R = konstanta gas, T = temperatur absolut(K), dan F = tetapan Faraday. Pada suhu 298 K (25oC), maka rumus tersebut menjadi:

Eh = 0.059 pe

Menurut Ponnamperuma (1978), nilai Eh atau pe yang tinggi dan positif

menunjukkan kondisi oksidatif, sebaliknya nilai Eh atau pe yang rendah bahkan negatif menunjukkan kondisi reduktif. Potensial redoks mempengaruhi status N dalam tanah, ketersediaan P dan Si, kadar Fe2+, Mn2+, dan SO42- secara langsung

dan kadar Ca2+, Mg2+, Cu2+, Zn2+ dan MoO42- secara tidak langsung, dan

dekomposisi bahan organik dan H2S.

Pengukuran Eh pada tanah-tanah reduktif memiliki beberapa keterbatasan.

Sistem tanah sangat heterogen dan sulit untuk memperoleh potensial keseimbangan yang tepat. Selain itu, beberapa pasangan redoks yang penting, seperti NO3-/ NH4+, SO42-/S2-, CO2/CH4, dan pasangan redoks organik, tidak

bersifat elektroaktif, tetapi dapat mengganggu pengukuran Eh dengan

menghasilkan potensial campuran (Kyuma 2004a).

Menurut Stumm dan Morgan (1970) dalam Kyuma (2004a), pengukuran Eh hanya dapat dilakukan dengan tepat untuk pasangan Fe3+/Fe2+ dan Mn4+/Mn2+

(26)

dengan kadar lebih tinggi dari 10-5 M dalam air alami. Menurut Lindsay (1979), elektroda platina biasa digunakan untuk pengukuran potensial redoks dalam tanah. Akan tetapi, elektroda tersebut tidak berfungsi dengan baik pada tanah yang berada pada kondisi oksidatif.

Reaksi redoks terjadi pada hampir semua tanah. Biasanya, reaksi oksidasi berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase baik, sedangkan proses reduksi berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase buruk atau apabila terdapat air berlebih. Kondisi redoks tanah mempengaruhi stabilitas senyawa-senyawa besi dan mangan.

2.5 Besi di Dalam Tanah

Senyawa besi di dalam tanah terdiri dari berbagai bentuk. Besi merupakan unsur utama berbagai mineral dan bahan organik tanah. Sumber unsur Fe di dalam tanah bisa berupa batuan yang mengandung Fe-silikat, mineral sulfida, dan senyawa Fe oksida atau hidroksida. Selain itu, pada beberapa bagian di dalam tanah, Fe ditemukan di lapisan alumino-silikat: nontronit, montmorilonit, vermikulit, dan klorit (Orlov 1992).

Senyawa Fe di dalam tanah diklasifikasikan oleh Zonn dalam Orlov (1992), sebagai berikut:

1. Fe-silikat

2. Fe-nonsilikat (bebas)

Senyawa Fe terkristalisasi; terkristalisasi kuat dan lemah; Senyawa Fe amorf; berikatan dan tidak berikatan dengan humus. Reaksi senyawa Fe yang terjadi di dalam tanah yaitu mobilisasi senyawa Fe melalui proses dekomposisi (pelapukan) mineral-mineral Fe dan mineralisasi senyawa organik, reaksi oksidasi-reduksi,

(27)

pembentukan senyawa organomineral (umumnya merupakan senyawa kompleks), interaksi adsorpsi, dan pembentukan senyawa-senyawa hidroksida, sulfida, dan fosfat.

Umumnya, Fe dalam bentuk Fe (II) dan Fe(III), ion hidroksida, beberapa fosfat dan sulfida menjadi bagian dalam reaksi oksidasi-reduksi. Nilai potensial oksidasi normal untuk Fe3+ - Fe2+ yaitu 0,771 V pada suhu 25oC. Berikut ini adalah persamaan reaksi redoks dalam tanah untuk senyawa Fe:

1. Fe(OH)3 + 4H+ + e- Fe2+ + 3H2O

2. α-FeOOH + 3H+ + e- Fe2+ + H2O 3. α-Fe2O3 + 6H+ + 2e- 2Fe2+ + 3H2O

Ponnamperuma (1978) menyatakan bahwa penggenangan membatasi difusi oksigen ke dalam tanah, sehingga mereduksi Fe oksida dan meningkatkan kadar Fe(II) dalam larutan tanah dari 0,07 sampai 6600 ppm. Peningkatan kadar Fe2+ yang terlarut dalam tanah memberikan keuntungan pada tanah sawah karena mengatasi defisiensi Fe pada tanah alkali dengan bahan organik rendah dan menekan keracunan Mn2+ pada tanah masam.

2.6 Mangan di Dalam Tanah

Mangan memiliki bilangan oksidasi yang bervariasi dengan kisaran +2 sampai +7. Mangan yang terdapat di alam umumnya yaitu mangan dengan bilangan oksidasi +2, +3, dan +4 (Kyuma 2004a). Menurut Orlov (1992), mangan ditemukan di dalam tanah dalam bentuk ion (Mn2+) dan oksida (MnO2).

Sedangkan Mn3+ bersifat kurang stabil di dalam tanah. Senyawa Mn dengan bilangan oksidasi yang lebih tinggi seperti +5, +6, dan +7 tidak ditemukan di dalam tanah.

(28)

Mn menyusun mineral-mineral dalam bentuk oksida, karbonat, silikat, dan sulfat (Taylor et al., 1964 dalam Lindsay 1979). Sedangkan di dalam tanah, selain terdapat sebagai senyawa oksida dan hidroksida yang mudah larut, Mn juga membentuk garam-garam dengan senyawa organik dan silikat dengan berbagai tingkat kelarutan (Orlov 1992). Senyawa Mn(II) meliputi garam-garam mudah larut dan Mn2+ dapat dipertukarkan, yang umumnya ditemukan pada tanah-tanah masam dan agak masam.

Senyawa Mn juga dipengaruhi oleh sistem oksidasi-reduksi yang terjadi di dalam tanah, terutama jika tanah berada dalam kondisi anaerob seperti tanah-tanah yang tergenang (tanah sawah). Van Breemen dan Brinkman (1976) dalam Tan (1982), menyatakan bahwa penggenangan tanah pada awalnya akan mereduksikan NO3- dalam tanah, setelah NO3- hilang, Mn akan direduksi, kamudian disusul oleh

Fe. Sistem Mn4+/Mn2+ mempunyai nilai Eh +1510 mV dan sistem Fe3+/Fe2+

mempunyai nilai Eh +771 mV, sehingga Mn lebih mudah tereduksi daripada Fe.

Berikut ini adalah persamaan reaksi redoks dalam tanah untuk senyawa Fe: 1. MnO2 + 4H+ + 2e- = Mn2+ + H2O

2. Mn2O3 + 6H+ + 2e- = 2Mn2+ + 3H2O

3. Mn3O4 + 3H+ + 2e- = 3Mn2+ + 4H2O

Sebagaimana Fe, kelarutan Mn dalam tanah meningkat seiring dengan peningkatan kemasaman dan kondisi reduksi. Ponnamperuma (1978) menyatakan bahwa penggenangan dapat meningkatkan kadar Mn2+ dalam larutan tanah dari 1 sampai 100 ppm. Peningkatan kadar Mn dalam kondisi reduktif dapat bersifat racun bagi tanaman, terutama apabila kadar Mn mudah direduksi di dalam tanah mencapai 300 ppm (Kyuma 2004a) dan Mn2+ dalam larutan tanah melebihi 2 ppm

(29)

(IRRI 2000 dalam Food and Fertilizer Technology Center 2001). Tanaman yang mengalami keracunan Mn, khususnya padi, menunjukkan gejala seperti pertumbuhan lambat, adanya noda berwarna coklat kekuningan diantara urat daun, ujung daun mengering pada saat tanaman berumur 8 MST, klorosis pada daun muda, pertumbuhan yang lambat, dan hasil produksi rendah.

(30)

III. METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Peneliltian lapang dilaksanakan di Desa Curugbarang (Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang), pada Bulan April sampai dengan Agustus 2009, sedangkan analisis sifat kimia tanah dilaksanakan di Laboratorium Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari contoh tanah, pereaksi untuk analisis kimia, dan bahan organik. Contoh tanah yang digunakan berasal dari Desa Curugbarang (Kec. Cipeucang, Kab Banten) yang merupakan salah satu lokasi Program Percepatan Difusi dan Pemanfaatan IPTEK Kementrian Riset dan Teknologi. Tanah Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia diantaranya yaitu alat-alat gelas, Eh dan pH-meter, kertas saring, dan AAS.

3.3 Metode penelitian

Pada penelitian ini dibandingkan 4 sistem pertanian padi yaitu konvensional, S.R.I. (System of Rice Intensification) anoganik, S.R.I.-organik dan S.R.I.-semi organik. Contoh tanah diambil dari tiap-tiap sistem pertanian lalu di ukur Eh dan pH tanahnya dan dianalisis untuk mendapatkan nilai Fe dan Mn. Nilai Eh digunakan untuk mengetahui apakah tanah tersebut dalam keadaan reduktif atau oksidatif, sedangkan nilai pH sebagai indikator keasaman tanah.

(31)

Nilai Fe dan Mn digunakan untuk menentukan kandungan Fe dan Mn terlarut dalam tanah.

3.3.1. Sistem pertanian padi

Penelitian terdiri dari empat jenis sistem budidaya padi, yaitu konvensional, S.R.I. ( System of Rice Intensification) anorganik, S.R.I. organik, dan S.R.I. semi-organik. Ukuran petak yang digunakan adalah 4 × 5 m dengan 4 kali ulangan untuk masing-masing sistem penanaman padi ( Gambar Lampiran 2). Keempat macam budidaya padi tersebut adalah:

1. Budidaya padi konvensional dilakukan dengan menanam bibit berumur 30 hari setelah semai, menanam 8 bibit dalam satu lubang dengan jarak 20 cm, penggenangan dilakukan secara kontinu dengan ketinggian air sekitar 5 cm. Pemupukan dengan dosis 250 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha. 2. Budidaya padi S.R.I. anorganik dilakukan dengan cara menanam bibit berumur 8 hari setelah semai, menanam satu bibit per lubang dengan jarak 30 cm. Transplantasi bibit dari persemaian ke lahan yang disiapkan dilakukan dengan cara hati-hati dan cepat (kurang dari 30 menit). Bibit ditanam pada kedalaman 2 cm dengan posisi akar horizontal. Pengairan diatur sampai tanah mencapai kondisi lembab tapi tidak tergenang. Pupuk yang digunakan sama dengan budidaya padi konvensional.

3. Budidaya Padi S.R.I. organik, seperti S.R.I. anorganik tetapi pupuk yang diberikan 100% organik berupa takaran kompos 5 ton/ha. Pemakaian kompos 5 ton/ha mengikuti petani setempat.

(32)

4. Budidaya padi semi-organik perlakuannya sama dengan S.R.I. anorganik, tetapi takaran pupuk anorganikmya 50% dan diberi bio-organik fertilizer (pupuk organik hayati) Fertismart sebanyak 300 kg/ha.

5.

3.3.2. Pengukuran Eh dan pH tanah

Pengukuran Eh dan pH tanah dilakukan di lapang dengan cara memasukkan alat Eh dan pH meter kedalam tanah dengan kedalaman sekitar 20 cm, lalu dibiarkan beberapa saat sehingga angka yang tertera pada layar menjadi konstan. Pengukuran Eh dan pH tanah dilakukan pada 0 HST, 55HST, dan 108 HST.

3.3.3. Analisis Fe dan Mn

Untuk pengukuran Fe dan Mn, contoh tanah diambil dari tiap plot. Pengambilan dilakukan pada saat 0 HST, 55 HST, dan 108 HST. Analisis Fe dan Mn dilakukan dengan cara menimbang 5 gram sampel tanah, lalu ditambahkan 50 mL HCl 0.1 N, dan dishaker sekitar 30 menit, lalu disaring dan diukur dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectophotometry)

3.3.4. Analisis Statistik

Analisis statistik yang digunakan adalah uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan selang kepercayaan 5% dimana uji ini digunakan untuk mengukur perbedaan parameter tinggi tanaman, jumlah batang per rumpun dan hasil panen dari empat jenis sistem budidaya padi.

(33)

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Tanah

4.1.1. Sifat Kimia dan Fisik Tanah

Berdasarkan analisis pendahuluan tanah (Tabel Lampiran 1), sebelum penelitian diketahui bahwa nilai pH adalah 6.28 atau termasuk agak masam, kandungan C-organik tergolong sedang yaitu 2.23%, N total tergolong sedang yaitu 0.32%, kandungan P tergolong sangat rendah yaitu 7.18 ppm, K tergolong sangat tinggi yaitu 2.45 me/100g,dan kejenuhan basa tergolong sangat rendah yaitu 17.06%. Tekstur tanah pada plot percobaan mengandung 8.36% pasir, 34.4% debu dan 57.20% liat, sehingga dikelaskan kedalam kelas tekstur liat. 4.1.2. Nilai pH dan Eh

Nilai pH tanah selama masa pertanaman terlihat pada Gambar 1. Nilai pH terlihat cukup stabil berkisar 6.20-6.77 selama masa pertanaman. Pengaruh perlakuan tidak menyebabkan perbedaan yang nyata pada nilai pH, karena pH tanah yang disawahkan akan mendekati netral.

Pada pengukuran Eh pada (Gambar 2), terlihat pada 0 HST perlakuan

S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik memiliki nilai Eh yang paling rendah yaitu -135 mV dan -129 mV, lebih rendah dibanding dengan perlakuan konvensional

yang memiliki nilai -128 mV, hal ini dikarenakan adanya penambahan bahan organik sebanyak 5 ton/ha pada perlakuan S.R.I. organik dan penambahan bio-organik fertilizer ( Fertismart ). Penambahan bahan-bahan tersebut dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme tanah yang akan mengakibatkan pemakaian oksigen tanah yang tinggi, sehingga mengakibatkan terjadinya

(34)

penurunan nilai Eh pada tanah. Namun pada 55 HST kenaikan nilai Eh pada perlakuan S.R.I. organik dan semi-organik cukup tinggi, tetapi tidak pada perlakuan konvensional yang hanya naik sedikit, hal ini di karenakan perlakuan konvensional lahan selalu digenangi, sehingga oksigen sulit masuk kedalam pori tanah. Pada 108 HST nilai pH dan Eh pada tiap-tiap perlakuan hampir seragam, hal ini dikarenakan pada 108 HST merupakan masa pemasakan bulir padi, sehinga baik lahan konvensional maupun S.R.I. dikondisikan kering.

Gambar 1. Nilai pH Tanah Selama Masa Pertanaman

Gambar 2. Nilai EhTanah Selama Masa Pertanaman 4.1.3. Fe dan Mn

Nilai Fe dan Mn dalam tanah yang diekstrak dengan HCl 0.1 N dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Nilai ini merupakan kadar Fe dan Mn total pada tanah yang termasuk Fe dan Mn tersedia, Fe dan Mn terlarut, dapat dipertukarkan,

(35)

dan mudah tereduksi. Pada pengukuran 0 HST kadar Fe total pada lahan konvensional mencapai 3743 ppm, tanaman padi belum muncul gejala keracunan Fe, hal ini dimungkinkan karena kadar Fe tersedia dalam tanah kurang dari kadar yang meracuni tananaman Pada pengukuran 55 HST Fe total pada konvensional mencapai 4582 ppm, dimana pada budidaya konvensional timbul gejala keracunan

besi yang ditandai dengan daun berwarna coklat kemerahan (Gambar 1 Lampiran). Hal ini di karenakan pada budidaya konvensional lahan

digenangi secara terus–menerus sehingga tanah lebih bersifat reduktif (Gambar2) dibandingkan dengan sistem budidaya S.R.I. yang sistem pengairannya tidak tergenang, yang memungkinkan adanya oksigen masuk kedalam tanah, kondisi ini membuat tanah lebih bersifat oksidatif dibanding dengan sistem budidaya konvensional.

Pada Gambar 4 grafik nilai Mn pada tanah, pada awal pertanaman nilai Mn pada tiap-tiap perlakuan hampir seragam, namun pada 55 HST nilai Mn pada tiap-tiap perlakuan secara umum meningkat. Peningkatan nilai Mn yang tinggi terjadi pada lahan dengan budidaya konvensional akibat dari sistem budidaya padi yang selalu tergenang. Pengukuran Mn pada 108 HST, secara umum terjadi penurunan kadar Mn pada lahan konvensional maupun S.R.I.. Hal ini dikarenakan pada 108 HST merupakan masa pemasakan bulir padi, sehingga lahan konvensional maupun S.R.I. dikondisikan kering. Pada 55 HST dan 108 HST kadar Mn pada tanah > 300 ppm, nilai ini dapat berpotensi meracuni tanaman, tetapi selama masa tersebut tanaman tidak menampakkan adanya gejala keracunan Mn. Hal ini mungkin dikarenakan Mn yang diekstrak dengan HCl 0.1 N merupakan Mn total pada tanah dan dimungkinkan kadar Mn tersedia dalam tanah

(36)

mungkin lebih rendah dari 300 ppm, disamping itu tingginya kadar Fe dalam tanah. Menurut Ponnamperuma (1978), tingginya kadar Fe dalam tanah dapat menekan keracunan Mn.

Gambar3. Nilai Fe Tanah Selama Masa Pertanaman

Gambar 4. Nilai Mn Tanah Selama Masa Pertanaman 4.2 Pertumbuhan Tanaman

4.2.1 Tinggi dan Jumlah Batang per Rumpun

Pertumbuhan tanaman diamati melalui tinggi tanaman (Tabel 1) dan jumlah batang per rumpun (Tabel 2). Pada 14 dan 28 HST tinggi tanaman pada budidaya konvensional lebih tinggi dibanding dengan budidaya S.R.I. (Tabel 1). Hal tersebut dikarenakan umur bibit pada budidaya konvensional lebih tua

(37)

dibanding dengan budidaya S.R.I.. Namun 42 HST tinggi tanaman pada S.R.I. anorganik mulai menyamai tinggi tanaman pada budidaya konvensional dan pada 56 HST tinggi tanaman pada S.R.I. anorganik menunjukkan nilai yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan budidaya konvensional, hal tersebut menunjukkan bahwa tanaman pada budidaya S.R.I. dapat tumbuh dengan lebih baik dan menyaingi pertumbuhan tanaman pada budidaya konvensional.

Tabel 1. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Tinggi Tanaman (cm)

PERLAKUAN UMUR TANAMAN (HST)

14 28 42 56 70

KONVENSIONAL 37.67 b 59.32 c 70.72bc 87.37 c 90.00 c

S.R.I. ANORGANIK 36.37 b 52.49 b 74.05 c 91.50 d 92.95 c

S.R.I. ORGANIK 30.24 a 44.08 a 59.22 a 66.78 a 68.95 a

S.R.I. SEMI ORGANIK 35.48 b 50.95 b 67.95 b 76.82 b 78.85 b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji duncan

Pada Tabel 2 dapat dilihat budidaya konvensional memiliki jumlah batang per rumpun yang lebih banyak dibandingkan dengan S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik pada 14 HST. Hal tersebut dikarenakan prinsip dasar S.R.I., yaitu bibit yang ditanam adalah 1 bibit per lubang tanam, sedangkan budidaya konvensional menerapkan 8 bibit per lubang. Pada 28 HST jumlah batang per rumpun pada S.R.I. anorganik mulai dapat menyamai jumlah batang per rumpun pada budidaya konvensial, dan pada 56 dan 70 HST, S.R.I. anorganik mulai menunjukkan perbedaaan yang nyata dengan konvensional, hal ini dikarenakan pada budidaya S.R.I. tanaman dapat tumbuh dengan optimal, karena pengaruh jarak tanam, dimana jarak tanam lebih lebar dan jumlah bibit yang

(38)

ditanam per lubang tanam dibanding dengan konvensional, sehingga tanaman mendapatkan sinar matahari dan penyerapan hara yang optimal.

Pembentukan batang dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti jarak tanam, radiasi matahari, hara mineral, dan berbagai cara budidaya termasuk pengaturan sistem irigasi (Manurung dan Ismunadji, 1988). Menurut Surowinoto (1983) penggenangan tanaman lebih tinggi dari 5 cm akan menekan pertumbuhan mata tunas menjadi anakan. Penggenangan dan jarak tanam yang sempit pada sistem budidaya konvensional meyebabkan pertumbuhan dan perkembangan mata tunasnya terhambat, sehingga jumlah batang yang dihasilkan sistem budidaya konvensional lebih rendah dibandingkan sistem budidaya S.R.I..

Pada 70 HST dapat kita lihat, jumlah batang per rumpun dari semua perlakuan baik konvensionak maupun S.R.I. mengalami penurunan. Menurut Hanum (2008), Setelah mencapai jumlah batang maksimum, pada fase berikutnya beberapa batang akan mati dan jumlah batang keseluruhan akan berkurang (Hanum, 2008).

Tabel 2. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Jumlah Batang Per Rumpun

PERLAKUAN UMUR TANAMAN (HST) 14 28 42 56 70 KONVENSIONAL 20.20 c 23.30 c 24.80 bc 24.80 a 16.50 a S.R.I. ANORGANIK 8.35 b 20.60 c 35.50 c 37.50 b 29.35 c S.R.I. ORGANIK 5.00 a 11.05 a 21.85 a 25.05 a 16.70 a S.R.I. SEMI ORGANIK 7.95 ab 15.70 b 28.30 b 29.00 a 24.45 b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

(39)

4.1.5. Hasil Panen

Hasil panen diamati melalui jumlah anakan produktif, panjang malai, bulir per malai, gabah kering panen (GPK), dan gabah kering giling (GKG). Pada petakan konvensional jumlah anakan produktif per rumpun sebanyak 14. Jumlah ini lebih sedikit dibanding dengan S.R.I. anorganik maupun S.R.I. semi-organik masing-masing 22 dan 18. Panjang malai pada S.R.I. anorganik dan S.R.I. semi-organik lebih panjang dibanding dengan konvensional. Umur bibit yang ditanam juga dapat mempengaruhi jumlah batang produktif per rumpun. Menurut Masdar et al., (2006) transplantasi yang dilakukan pada umur antara 7-14 hari akan menghasilkan batang produktif per rumpun lebih banyak. Hal ini diduga karena kondisi awal bibit umur 7-14 hari tidak mengalami stress saat pindah lapang yang akan berlajut selama pertumbuhan vegetatif dan reproduktif.

Tabel 3. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Jumlah Anakan Produktif , Panjang Malai, Gabah Per Malai, Gabah Hampa, dan Gabah Bernas Sistem Budidaya Σ Anakan Produktif Panjang Malai (cm) Σ Gabah/Malai Σ Gabah Hampa Σ Gabah Bernas

Konvensional 14.85a 22.21a 109.28a 19.30a 89.98a

S.R.I. Aorganik 22.50b 23.95a 147.00b 24.25b 122.25b

S.R.I. Organik 14.00a 22.39a 114.78a 12.72a 102.07a

S.R.I. Semi-Organik 18.40a 24.50a 158.70b 26.92b 131.78b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan

Pada S.R.I. organik jumlah anakan produktif dan panjang malai sama dengan konvensional. Hal ini dikarenakan pada budidaya S.R.I. organik hanya mengandalkan asupan unsur hara dari bahan organic berupa kompos, sehingga terjadi defisiensi unsur hara terutama unsur N. Nitrogen merupakan unsur hara yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman (Tisdale et al., 1990) dan (De Datta,

(40)

1981), dan menurut Sanchez (1993) penyediaan cukup N yang dapat diserap selama awal pertunasan menghasilkan lebih banyak anakan. Jumlah gabah per malai dan gabah bernas pada budidaya S.R.I. lebih banyak dibanding dengan budidaya konvensional. Hal ini mungkin dikarenakan tingginya kadar besi total dalam tanah mencapai 4500 ppm (Gambar 3) pada budidaya konvensional yang menyebabkan keracunan pada tanaman. Gejala keracunan Fe ditandai dengan gejala daun yang berwarna coklat kemerahan (Gambar Lampiran 1).

Hasil panen menunjukkan bahwa budidaya S.R.I. anorganik dengan konvensional tidak berbeda nyata, namun hasil GKP S.R.I. anorganik lebih tinggi dibandingkan dengan konvensional. Hal ini dikarenakan S.R.I. memiliki keunggulan seperti transplantasi bibit yang lebih muda dan secara hati-hati yang akan mengurangi stres pada akar. Sehingga tanaman dapat menyerap unsur hara dengan optimal. Pada Tabel 4 terlihat bahwa S.R.I. organik memiliki nilai GKP dan GKG paling rendah, hal ini dikarenakan pada perlakuan ini unsur hara yang ditambahkan hanya bahan organik sebanyak 5 ton per hektar dan tanpa adanya input pupuk lain, sehingga pada perlakuan ini terjadi kekurangan unsur hara yang menyebabkan rendahnya hasil panen. Tabel 4. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Produksi Gabah

Sistem Budidaya GKP (ton/ha) GKG (ton/ha)

Konvensional 5.95c 4.27c

S.R.I. Anorganik 6.09c 4.60c

S.R.I. Organik 2.16a 1.49a

S.R.I. Semi-Organik 4.75b 4.30b

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 berdasarkan uji Duncan.

(41)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Secara umum budidaya S.R.I. dan konvensional tidak mempengaruhi nilai pH tanah, namun budidaya S.R.I. dapat menekan penurunan nilai Eh tanah, kadar Fe dan Mn total dibandingkan dengan budidaya konvensional. Tingginya kadar besi total dalam tanah pada budidaya konvensional berhubungan dengan adanya bercak coklat kemerahan pada daun tanaman yang merupakan gejala keracunan besi pada tanaman.

Budidaya S.R.I. anorganik dapat meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif dibandingkan dengan budidaya konvensional, serta dapat meningkatkan produksi gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG). Pertumbuhan padi pada S.R.I. organik kurang optimum, ditandai dengan rendahnya tinggi tanaman, jumlah batang per rumpun, anakan produktif, dan hasil panen.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian ini disarankan perlu adanya penambahan takaran kompos pada budidaya S.R.I. organik, sehingga pertumbuhan tanaman dapat optimal.

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Aksi Agraris Kanisius. 1990. Budidaya Tanaman Padi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Anugrah, I. S., Sumedi dan I. P. Wardana. 2008. Gagasan dan Implementasi System of Rice Intensification (S.R.I.) dalam kegiatan budidaya padi ekologis (BPE). Analisis Kebijakan Pertanian 6(1) : 75-99

Anonim, 2008. S.R.I., Teknologi Ramah Lingkungan.//www .portalhr. com/cetak.php?cid=1&id=1033&url=http%3A%2F%2Fwww.portalhr. com%2 Fmajalah%2Fedisiterbaru %2Fteknologi%2F1id1033.html [09.01.09]

Berkelaar, D., 2001. Sistem Intensifikasi Padi (The System of Rice Intensification – S.R.I.): Sedikit dapat Memberi Lebih Banyak. www. Elsppat .or.id/ download/file/S.R.I. -echo%20note.htm [08 juni 2009]

De Datta, S. K. 1981. Principles and Practice of Rice Production. John Willy & sons. New York

Food and Fertilizer Technology Center, 2001. Asian Crops and Micronutrient Toxicity. //www. agnet.org/ library/ bc /51008/ [19 Jan 2009].

Hasan, M. dan S. Sato. 2007. Water Saving for Paddy Cultivation Under the System of Rice Intensification (S.R.I.) in Eastern Indonesia. J. Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 : hal. 57-62.

Hanum, C. 2008. Teknik Budidaya Tanaman Jilid 2. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Mananajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Ismunadji, M dan S. Roechan. 1988, Lingkungan Tumbuh Padi, dalam Padi Buku 1. Bogar. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian PPT. Bogor Kyuma, K., 2004a. Paddy Soil Science. Kyoto University Press and Trans Pasific

Press, Tokyo and Melbourne.

Kyuma, K., 2004b. Paddy Soils Around The World. In Rice is Life: Scientific Perspective for The 21st Century. Proceedings of The World Rice Research Conference, Tsukuba-Japan.

Lindsay, W. L., 1979. Chemical Equilibria in Soils. John Wiley & Sons, New York.

Manurung, S. O., dan M. Ismunadji. 1988. Morfologi dan Fisiologi Padi. Dalam Padi. PPPTP, Bogor. p. 55-98.

(43)

Masdar, K. Musliar, R. Bujang, H. Nurhajati, Helmi. 2006. Tingkat Hasil dan Koponen Hasil Sistem Intensifikasi Padi ( S.R.I.) Tanpa pupuk Organik di Daerah Curah Hujan Tinggi. Jurnal lmu-ilmu Pertanian Indonesia vol 8 no 2 hlm 126-131.

Matsushima, S. 1963. Theory of Plant Growth. In Matsubayasi (Ed). Theory and Practice of Growing Rice. Fuji Publishing Co. Ltd., Tokyo. p. 73-99. Moorman, F. R., and van Breemen, N., 1978. Rice: Soil, Water, Land.

International Rice Research Institute, Los Banos – Philippines.

Mutakin, J., 2008. Budidaya dan Keunggulan Padi Organik Metode S.R.I. (System of Rice Intensification). www. garutkab .go .id / download_files/ article / ARTIKEL % 20 S.R.I. .pdf [08 juni 2009] Orlov, D. S., 1992. Soil Chemistry. A. A. Balkema Publishers, Brookfield.

Ponnamperuma, F. N. 1978. Electrochemical Changes in Submerg Soil. In IRRI, Soil and Rice. IRRI, Los Banos, Philipines.

Sanchez, P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika Jilid 2. Amir Hamzah (penerjemah). ITB. Bandung.

Siregar, H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di indonesia. Sastra Handoyo. Jakarta Surowinoto, S. 1983. Budidaya Tanaman Padi. Jurusan Agronomi, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suryanata, Z. D. 2007. Pengembangan System of Rice Intensification, Sistem Budidaya Padi Hemat Air Irigasi dengan Hasil Tinggi. Prosiding Kongres IX Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI). Bandung, 15-17November 2007.

Tan, K. H., 1982. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York. Tisdale, S. L., W. L. Nelson, and J. P. Beaton. 1990. Soil Fertility and Fertilizer.

Fourth Edition. MacMillian Publishing Company. Ney York.

Uphoff, N. and Randriamiharisoa, R., 2002. Reducing Water Use in Irrigated Rice Production with The Madagaskar System of Rice Intensification (S.R.I.). In Water-wise Rice Production. IRRI, Phillipines.

Uphoff , N. 2008. The System of Rice Intensification : making land, labor, water, and Capital More Productive for Meeting Food Needs. Presentation Material on One Day Semninar of The System of Rice Intensification. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Yoshida, T. 1978. Mictobial Metabolism In Rice Soil. In : E. A. Paul and A.D maclaen (eds). Soil and Rice. Los Banos, Laguna : The Internasional Rice Institute. 445-465p.

(44)

Tabel Lampiran 1. Analisis Pendahuluan

Parameter Nilai

Kimia pH H2O (1:1)

pH KCl (1:1)

C-oraganik (%) (Walkley and Black)

N total (%) C/N P2O5 Bray 1 ppm Basa-basa : K (me/100gr)(NH4OAcpH 7.0) Na (me/100gr)(NH4OAcpH 7.0) Mg (me/100gr)(NH4OAcpH 7.0) Ca (me/100gr)(NH4OAcpH 7.0) KTK (me/100gr) Kejenuhan basa % : Fe (ppm)(HCl 0.1N) Mn (ppm)(HCl 0.1N) 6.28 5.81 0.32 2.23 6.97 7.18 2.45 3.87 2.72 2.64 16.67 70.06 1387 134 Fisik Tekstur : % pasir % Debu % Liat 8.36 34.44 57.20

Tabel Lampiaran 2. Analisis Kompos

Parameter Nilai (%) N total 1.10 P 1.07 K 1.02 Ca 0.40 Mg 0.34

Tabel Lampiran 3. Analisis Bio-organik Fertilizer Fertismart

Parameter Nilai

(45)

Tabel Lampiran 4. Pengukuran pH dan Eh Tanah Pada Masa Pertanaman Plot 0 hst 55 hst 108 hst Eh pH Eh pH Eh pH T01 -105 6.4 -173 6.92 -84 6.45 T11 -53 6.65 -140 6.62 -10 6.28 T21 -111 6.49 -93 6.94 -69 6.31 T31 -117 6.28 -108 6.63 -79 6.17 T02 -178 6.71 -80 6.48 -56 6.22 T12 -95 6.03 -89 6.63 -45 6.18 T22 -135 6.62 -61 6.52 7 6.35 T32 -125 6.11 -37 6.41 -16 6.41 T03 -61 6.72 -65 6.54 2 6.31 T13 -24 6.64 -55 6.84 -14 6.25 T23 -134 6.52 -65 6.96 -34 6.37 T33 -140 5.9 -59 7.02 -16 6.54 T04 -171 6.34 -79 6.9 -41 6.23 T14 -95 6.03 -158 6.36 -62 6.26 T24 -162 6.24 -15 6.64 -87 6.32 T34 -134 6.52 -22 7.03 -58 6.33

(46)

Tabel lampiran 5. Bobot Gabah Kering Panen Perlakuan Non Ubinan (kg) Ubinan (kg) Total (kg) Total/Perlakuan (kg) ST DEV T01 5.51 3.57 9.08 40.04 0.8 T02 6.72 3.55 10.27 T03 6.82 4.14 10.96 T04 6.11 3.62 9.73 Rata-rata 6.29 3.72 10.01 T11 6.32 3.53 9.85 38.83 0.33 T12 5.97 4.08 10.05 T13 5.15 4.12 9.27 T14 6.15 3.51 9.66 Rata-rata 5.9 3.81 9.71 T21 3.56 1.47 5.03 19.59 0.22 T22 3.52 1.32 4.84 T23 3.14 1.48 4.62 T24 3.98 1.12 5.1 Rata-rata 3.55 1.35 4.9 T31 5.67 3.01 8.68 30.73 0.86 T32 5.12 2.98 8.1 T33 3.82 2.97 6.79 T34 4.24 2.92 7.16 Rata-rata 4.71 2.97 7.68

(47)

Tabel Lampiran 6. Data Panen

Perlakuan Sampel

Jumlah Anakan Produktif

Panjang Malai (cm) Σ Gabah/Malai (butir) Σ Gabah Hampa (butir) Σ Gabah Bernas (butir)

1 2 3 Rata-rata 1 2 3

Rata-rata 1 2 3 Rata-rata 1 2 3 Rata-rata

T01 1 18 21.5 25.0 24.5 23.7 101 124 115 113 21 15 20 19 80 109 95 95 2 14 22.5 21.5 22.0 22.0 102 100 108 103 20 27 35 27 82 73 73 76 3 17 22.5 19.0 22.0 21.2 104 99 105 103 10 5 19 11 94 94 86 91 4 15 22.0 20.5 24.0 22.2 98 106 112 105 18 16 20 18 80 90 92 87 5 15 26.0 24.0 25.5 25.2 134 125 136 132 13 15 19 16 121 110 117 116 22.8 111.3 18.2 93.1 T02 1 21 22.5 22.5 23.0 22.7 106 114 121 114 21 26 21 23 85 88 100 91 2 18 21.0 24.5 24.5 23.3 105 115 113 111 20 28 14 21 85 87 99 90 3 14 24.0 19.5 22.5 22.0 127 100 109 112 31 14 25 23 96 86 84 89 4 15 22.0 23.5 22.5 22.7 113 114 108 112 14 21 17 17 99 93 91 94 5 8 22.5 27.0 22.5 24.0 121 139 114 125 10 13 18 14 111 126 96 111 22.9 114.6 19.5 95.1 T03 1 15 22.5 23.0 24.5 23.3 103 106 119 109 20 24 26 23 83 82 93 86 2 16 21.5 22.0 21.0 21.5 108 106 120 111 23 20 19 21 85 86 101 91 3 20 21.5 22.5 21.5 21.8 98 102 97 99 15 25 17 19 83 77 80 80 4 13 20.5 22.0 23.5 22.0 96 104 106 102 15 16 10 14 81 88 96 88 5 13 22.0 19.0 18.0 19.7 106 107 111 108 21 27 14 21 85 80 97 87 21.7 105.9 19.5 86.5 T04 1 15 25.5 23.0 21.5 23.3 131 112 102 115 10 21 19 17 121 91 83 98 2 12 22.5 20.0 19.5 20.7 101 95 98 98 30 25 18 24 71 70 80 74 3 11 19.0 22.0 22.5 21.2 110 102 113 108 21 34 15 23 89 68 98 85 4 13 20.0 20.0 22.0 20.7 98 100 105 101 20 14 16 17 78 86 89 84 5 14 20.5 21.5 21.5 21.2 104 102 107 104 13 18 26 19 91 84 81 85 21.4 105.3 20.0 85.3

(48)

Tabel Lampiran 6. Lanjutan

Tabel Lampiran 6. Lanjutan Perlakuan Sampel

Jumlah Anakan Produktif

Panjang Malai (cm) Σ Gabah/Malai (butir) Σ Gabah Hampa (butir) Σ Gabah Bernas (butir) 1 2 3 Rata-rata 1 2 3 Rata-rata 1 2 3 Rata-rata 1 2 3 Rata-rata T11 1 18 21.5 25.0 24.5 23.7 101 124 115 113 21 15 20 19 80 109 95 95 2 14 22.5 21.5 22.0 22.0 102 100 108 103 20 27 35 27 82 73 73 76 3 17 22.5 19.0 22.0 21.2 104 99 105 103 10 5 19 11 94 94 86 91 4 15 22.0 20.5 24.0 22.2 98 106 112 105 18 16 20 18 80 90 92 87 5 15 26.0 24.0 25.5 25.2 134 125 136 132 13 15 19 16 121 110 117 116 22.8 111.27 18.20 93.07 T12 1 21 22.5 22.5 23.0 22.7 106 114 121 114 21 26 21 23 85 88 100 91 2 18 21.0 24.5 24.5 23.3 105 115 113 111 20 28 14 21 85 87 99 90 3 14 24.0 19.5 22.5 22.0 127 100 109 112 31 14 25 23 96 86 84 89 4 15 22.0 23.5 22.5 22.7 113 114 108 112 14 21 17 17 99 93 91 94 5 8 22.5 27.0 22.5 24.0 121 139 114 125 10 13 18 14 111 126 96 111 22.9 114.60 19.53 95.07 T13 1 15 22.5 23.0 24.5 23.3 103 106 119 109 20 24 26 23 83 82 93 86 2 16 21.5 22.0 21.0 21.5 108 106 120 111 23 20 19 21 85 86 101 91 3 20 21.5 22.5 21.5 21.8 98 102 97 99 15 25 17 19 83 77 80 80 4 13 20.5 22.0 23.5 22.0 96 104 106 102 15 16 10 14 81 88 96 88 5 13 22.0 19.0 18.0 19.7 106 107 111 108 21 27 14 21 85 80 97 87 21.7 105.93 19.47 86.47 T14 1 15 25.5 23.0 21.5 23.3 131 112 102 115 10 21 19 17 121 91 83 98 2 12 22.5 20.0 19.5 20.7 101 95 98 98 30 25 18 24 71 70 80 74 3 11 19.0 22.0 22.5 21.2 110 102 113 108 21 34 15 23 89 68 98 85 4 13 20.0 20.0 22.0 20.7 98 100 105 101 20 14 16 17 78 86 89 84 5 14 20.5 21.5 21.5 21.2 104 102 107 104 13 18 26 19 91 84 81 85 21.4 105.33 20.00 85.33

Gambar

Gambar 1. Nilai pH Tanah Selama Masa Pertanaman
Gambar 4. Nilai Mn Tanah Selama Masa Pertanaman  4.2 Pertumbuhan Tanaman
Tabel 1. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Tinggi Tanaman (cm)
Tabel 2. Pengaruh Sistem Budidaya Terhadap Jumlah Batang Per Rumpun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Strategi Pembiasaan Perilaku Religius di Sekolah ... Penerapan Pembiasaan Perilaku Religius di

PT Sinarmas Sekuri- tas or its affiliates may be involved in transactions contrary to any opinion herein or have positions in the securities recommended herein and may seek or will

Sebagaimana dijelaskan diatas, pikiran yang positif akan memandang berbagai aspek kehidupan dengan positif, bahkan mengolah hal-hal negatif (masalah dan kesulitan)

(3) Pendekatan sistem, yaitu bahwa pembelajaran merupakan sebuah sistem yang harus ditempuh oleh siswa, misalnya dalam pengajaran berprograma ada beberapa tahapan

Kajian Penggunaan Rumput Laut Eucheuma spinosum Sebagai Bahan Pengisi Terhadap Sifat Kimia, Fisik dan Sensori Es Krim.. Di bawah bimbingan

Kegiatan e-commerce ini merupakan aplikasi dan penerapan dari e-bisnis (e-business) yang berhubungan dengan transaksi komersial, misalnya: transfer dana secara

Dengan demikian, hasil pe- nelitian dapat digunakan sebagai landasan dalam membuat bahan ajar yang memberikan kemudahan bagi siswa dalam mempelajari penggunaan jejaring

- Jumlah hasil penelitian dan pengembangan di bidang Tanaman Obat dan Obat Tradisional - Jumlah laporan Dukungan Manajemen Litbang di bidang Tanaman Obat dan Obat Tradisional -