• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK

MURTAD

(STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR 0356/pdt.G/2011/PA.SAL)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam

Oleh

NASTANGIN

NIM : 21108016

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(2)
(3)

PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK

MURTAD

(STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR 0356/pdt.G/2011/PA.SAL)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam

Oleh

NASTANGIN

NIM : 21108016

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(4)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara:

Nama : Nastangin

NIM : 21108016

Jurusan : Syari’ah

Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah

Judul : PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK

MURTAD (STUDI PUTUSAN DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR 0356 /PDT.G /2011 / PA .SAL)

Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.

Salatiga, 29 juli 2012 Pembimbing

Evi Ariyani MH

(5)

KEMENTRIAN AGAMA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

Jl. Tentara Pelajar 02 Telp. 323706 Fax. 323433 Kode Pos. 50721 Salatiga http//www.salatiga.ac.id e-mail:akademik@stainsalatiga.ac.id

SKRIPSI

PERCERAIAN KERENA SALAH SATU PIHAK MURTAD (STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR

0356/pdt.G/2011/PA.SAL)

DISUSUN OLEH NASTANGIN NIM: 21108016

Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada tanggal 31 Agustus

2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Hukum Islam

Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M. Ag Sekretaris Penguji : Abdul Azis,N.P MM Penguji I : Lutfiana Zahriyani, MH Penguji II : Ilya Muchsin, MSI Penguji III : Evi Ariyani, MH

Salatiga, 11 September 2012 Ketua STAIN Salatiga

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nastangin

NIM : 21108016

Jurusan : Syari’ah

Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan yang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 29 Juli 2012 Yang menyatakan,

(7)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil, tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna.

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Bapak dan ibu tercinta, yang selalu mendoakan dengan tulus ikhlas dan senantiasa memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil. Terimakasih yang tiada habis kepada mereka berdua. Para dosen, terimakasih atas ilmu yang telah bapak dan ibu berikan kepada saya, semoga menjadi ilmu yang berfanfaat. Amin Adik-adikku tercinta dan sepupu-sepupuku, belajar yang sungguh-sungguh dan

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulilah, senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada semua hambaNya, sehingga sampai saat ini kita masih mendapatkan ketetapan iman dan islam.

Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada beliau Nabi agung Muhammad Saw yang senantias kita ikuti sunah-sunahnya dan semoga kita selalu mendapatkan syafaatnya di dunia dan di akhirat. Amin.

Dalam penjelasan skripsi ini tentulah tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam ide, kritik, saran maupun dalam bentuk lainnya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag. Selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga

2. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga 3. Ketua Pengadilan Agama Salatiga

4. Bapak Ilya Muchsin SHI. MSI. selaku kepala program studi AS

5. Ibu Evi Ariyani MH, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya guna memberikan bimbingan serta arahan dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.

6. Bapak Noerhadi MH selaku hakim pembimbing 7. Segenap dosen jurusan syari’ah

8. Segenap staf Pengadilan Agama Salatiga

9. Kedua orang tuaku yang saya sayangi dan cintai, yang selalu mendoakan saya, mendukung serta memberi bantuan baik materiil maupun non materiil. 10. Untuk Someone yang selalu dihatiku, terimaksih atas semua yang telah kamu

berikan kepadaku, memberikan semangat dan selalu mendoakanku.

(9)

12. Om budi, Bpk Suyitno, Bpk Mujiono, Mas fahrodin, yang selalu mendoakan,memberi dukungan dan masukan dalam hidup.

13. Teman-teman kontrakan, Mas Abu, Mas Ghozali, Abi, ipul, Muzun, Sinang kamu semua adalah sahabat yang terbaik.

14. Keluarga besar Formatas jangan sampai putus ditengah jalan, semangat dan maju terus.

15. Sahabat-sahabat PMII Kota Salatiga, Ustadzun, Arif Maslah dan Anas dan tidak bisa saya sebutkan semuanya yang telah memberi pelajaran banyak tengtang bagaimana berorganisasi dan hal-hal yang lain.

16. SEMA 2010-2011 yang memberi pengetahuan bagaimana caranya mengurus sebuah tatanan suatu negara dikampus. Semoga sukses terus

17. Teman-teman KKN Cebongan, dulu sampai sekarang kita adalah keluarga. Kenangan kita tidak akan pernahku lupakan samapi tua nanti.

18. Teman-teman seperjuangan AS angkatan 2008 19. Teman-teman futsal sapu angin

20. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral dan material hingga selesainya proses belajar.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi maupun analisisnya, sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi inibermanfaat bagi kita semua. Amin

Salatiga, 29 Juli2012

Penulis

(10)

ABSTRAK

Nastangin. 2012. Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad (Studi Putusan di Pengadilan Agama Salatiga), Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Evi Ariyani MH

Kata Kunci: perceraian dan murtad

Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan perceraian di Pengadilan Agama Salatiga. Pertanyaan utama yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah (1) apa pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam memutus perkara perceraian karena salah satu pihak murtad? (2) apa akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad?

Penulis dalam penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif. Penelitian pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian ini yang akan di cari perihal tentang perkara perceraian karena salah satu pihak murtad. Jenis penelitian ini secara spesifik lebih bersifat yurisprudensi, metode ini di maksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang objek yang diteliti dalam hal ini untuk menggambarkan proses penyelesaian perceraian karena salah satu pihak murtad.

(11)

DAFTAR ISI

SAMPUL ... i

LEMBAR BERLOGO ... ii

JUDUL ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN KELULUSAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... vi

MOTTO PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Kegunaan Penelitian ... 10

E. Metode Penelitian ... 11

F. Tinjauan Pustaka ... 16

G. Penegasan Istilah ... .. 18

(12)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Perkawinan ... 21

1. Pengertian Perkawinan ... 21

2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan ... 24

3. Dasar Hukum Nikah ... 26

4. Tujuan dan Hikmah Nikah ... 29

B. Perceraian Menurut Hukum Islam ... 34

1. Pengertian Perceraian ... 34

2. Hukum Perceraian ... 36

3. Rukun dan Syarat Perceraian ... 38

4. Bentuk-Bentuk Perceraian ... 40

5. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian ... 44

6. Akibat Perceraian ... 47

C. Perceraian Menurut Perundang-undangan di Indonesia ... . 48

1. Pengertian Perceraian ... 48

2. Tata cara perceraian ... 48

3. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian ... 50

4. Akibat Perceraian ... 51

D. Murtad Sebagai Alasan Perceraian ... 52

1. Pengertian Murtad ... 52

2. Hukum Murtad ... 55

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Tentang Pengadilan Agama Salatiga ... 58

1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Salatiga ... 58

2. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga... 61

(13)

4. Visi dan Misi ... 67

5. Struktur Organisasi ... 68

B. Prosedur dan Proses Penyelesaian Cerai Gugat di Pengadilan Agama Salatiga ... 69

C. Putusan Hakim dalam Perkara Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0356/pdt.G/2011/ PA.SAL... 73

D. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim dalam Kasus Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0356/pdt.G/2011/ PA.SAL ... 74

E. Akibat Hukum Putusan Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0356/pdt.G/2011/ PA.SAL ... 76

BAB IV ANALISA DATA A. Analisis Hasil Putusan Hakim Terhadap Perkara Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad ... 79

B. Analisis Pertimbangan dan Dasar Hukum Putusan Hakim Terhadap Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad ... 82

C. Analisis Akibat Hukum terhadap Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad ... 86

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

SALINAN PUTUSAN NOTA PEMBIMBING SURAT IZIN PENELITIAN

LEMBAR KONSULTASI PEMBIMBING LAPORAN SKK

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh Islam. Akad nikah diadakan adalah untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga tempat berlindung, menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik. Karena itu, maka dikatakan bahwa ikatan antara suami isteri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh. Dan tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu, lain daripada Allah sendiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami isteri dengan “mitsaqun-ghalidhun” (perjanjian yang kokoh) (Sabiq, 1980: 7).

Jika ikatan antara suami istri sedemikian kokoh dan kuat, maka tidak sepatutnya dirusakkan dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekannya dibenci oleh Islam, karena dianggap merusak kebaikan dan menghilangkan kemasalahatan antara suami istri (Wasman dkk, 2011: 84).

(16)

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari pengertian perkawinan menurut undang-undang perkawinan Nomor. 1 Tahun 1994 diatas, jelas bahwa tujuan pekawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang bahagia dalam kehidupan yang bahagia, itulah cita-cita dan idaman semua manusia baik laki-laki dan perempuan di dunia. Namun kebahagian itu tidak bisa ditebak, kadang datang dan pergi begitu saja tidak bisa diketahui oleh manusia.

Di dalam Agama Islam juga ditegaskan lagi dalam kompilasi hukum Islam Pasal 44 yang berbunyi sebagai berikut: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.

(17)

Tetapi dari sisi yang lain, suami istri itu tidak seayah dan seibu, belum tentu juga sesuku dan sekampung. Perbedaan karakter dan pandangan hidup mungkin saja terdapat pada suami istri. Tidak sekedar perbedaan, mungkin saja pertentangan yang prinsipil. Selain itu jiwa manusia bisa berubah. Perbedaan pandangan hidup dan perubahan hati bisa menimbulkan krisis merubah rasa cinta dan kasih sayang menjadi benci. Tidak selamnya keimanan dan lapang dada dapat mempertahankan hubungan suami istri bila timbul pertentangan yang sangat memuncak. Permasalahannya, kalau suami istri yang berbeda prinsip hidupnya dan pertentangannya sudah memuncak, telah merubah rasa cinta menjadi benci, persesuaian menjadi pertikaian, yang tidak memungkinkan lagi untuk berpadu menjadi satu, apakah tidak terlalu aniaya kalau keduanya dipaksa harus tetap bersatu (Supriatna dkk, 2009: 3).

(18)

Dengan melihat hal tersebut, bahwa perceraian itu walaupun diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaanya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir (darurat) yang ditempuh oleh suami istri, yaitu apabila terjadi persengketaan antara keduanya dan telah diusahakan jalan perdamaian sebelumnya, tetapi tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga tersebut (Wasman dkk, 2011: 84).

Perceraian dalam istilah Fiqh disebut “talaq atau furqah”, adapun arti dari pada talaq adalah membuka ikatan, membatalkan perjanjian sedangkan furqah artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul. Kemudian kedua kata itu dipakai oleh para ahli Fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami istri. Istilah talaq dalam Fiqh mempunyai dua arti, yaitu arti umum dan arti khusus. Talak menurut arti umum ialah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, dijatuhkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau istri. Sedangkam talaq dalam arti yang khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami saja. Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami istri itu ada yang disebabkan karena talaq, maka untuk selanjutnya istilah talaq di sini dimaksudkan sebagai talaq dalam arti khusus (Wasman dkk, 2011: 83).

(19)

bercerai merupakan kufur nikmat, karena perkawinan adalah suatu nikmat, sedangkan kufur terhadap nikmat Allah hukumnya haram, sehingga bercerai hukumnya adalah haram kecuali darurat. Madzhab Hambali lebih lanjut menjelaskannya secara terperinci mengenai hukum bercerai. Menurut mereka bercerai itu hukumnya yaitu: wajib, haram, dan sunnah (Wasman dkk, 2011: 85).

(20)

Nabi Muhammad SAW bersabda: bersabda, sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak”

Dari sabda Rasulullah SAW tersebut, jelas bahwa perceraian itu hukumnya adalah makruh.

Al-Qur’an menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami istri yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah tangga yang dapat berujung dalam perceraian. Keretakan dan kemelut rumah tangga tersebut bermula dari tidak berjalannya aturan yang ditetapkan Allah bagi kehidupan suami istri dalam bentuk hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi kedua belah pihak. Al-Qur’an menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan mengahadapi kemelut tersebut agar perceraian tidak sampai terjadi. Dengan demikian Al-Qur’an mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yang tidak mungkin dihindarkan (Supriatna dkk, 2009: 5).

(21)

tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan akan banyak terjadinya perceraian liar, juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran Lembaga Pengadilan (Wasman dkk, 2011: 156).

Sehubungan dengan adanya ketentuan-ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi masyarakat yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, namun ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan tersebut, sebagaimana dijelaskan di dalam kaidah Fiqh dan didalam Al-Qur’an bahwa mentaati Pemerintah/Ulil Amri dianggap seperti taat kepada Rasul dan taat kepada Allah SWT (Wasman dkk, 2011: 156).

Disamping melihat atas ketentuan-ketentuan perceraian di atas, perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya walaupun perceraian dalam perkawinan itu tidak dilarang, namun orang tidak boleh begitu saja memutuskan hubungan perkawinan tanpa alasan yang kuat. Untuk mewujudkan tujuan dari pada perkawinan yaitu untuk selama-lamanya, oleh karenanya UUP No.1/1974 mempersulit terjadinya perceraian (Wasman dkk, 2011: 158).

(22)

karena murtad dari Pengadilan Agama Salatiga Nomor.0356/pdt.G/2011/PA.SAL.

Dalam perkara ini yang menjadi fokus utama adalah mengenai gugatan istri yang muslimah terhadap suami yang murtad, kemudian putusan yang dijatuhkan oleh hakim Pengadialan Agama mengenai perkara cerai gugat tersebut.

Istri yang hendak memutuskan hubungan perkawinan, pasal 14 sampai dengan 18 peraturan Pemerintah Nomor. 9 Tahun 1975, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu ( Ramulyo, 1996: 131).

Dalam hal ini Pengadilan Agama berfungsi sebagai tempat untuk menerima, memeriksa, menyidangkan dan memberi putusan atas perkara tersebut. Namun kadang Hakim dari Pengadilan memiliki pertimbangan tersendiri dalam memberikan putusan pada perkara tersebut, tanpa harus sama persis sesuai dengan peraturan yang ada, karena hakim memang mempunyai wewenang seperti itu.

(23)

mempersulit dan memperketat alasan-alasan perceraian, maka perceraian yang dilakukan di depan sidang Pengadilan dapat juga memperkecil jumlah perceraian. Di sisi lain, perceraian yang dilakukan dimuka sidang Pengadilan sering dirasakan ada beberapa kendalanya, terutama dalam dua hal: pembongkaran rahasia rumah tangga di muka orang banyak dan kelambatan proses yang sering kali dirasakan sebagai memperpanjang suasana perselisihan (Wasman dkk, 2011: 153).

(24)

B. Rumusan Masalah

Dari tema diatas, penulis memperinci permasalahan-permasalahan yang akan menjadi inti pembahasan pada penulisan ini. Diantara permasalahannya adalah sebagai berikut:

1. Apa pertimbangan dan dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam memutuskan perceraian karena salah satu pihak murtad?

2. Bagaimana akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad?

C. Tujuan Penelitian

Adapun hal-hal yang menjadi tujuan pokok dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pertimbangan dan dasar hukum hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam memutus perkara perceraian karena salah satu pihak murtad.

2. Untuk mengetahui akibat hukum perceraian karena salah satu pihak murtad.

D. Kegunaan Penelitian

Dari penulisan ini tentunya penulis berharap agar tulisan ini mempunyai kegunaan atau kemanfaatan, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berpikir

(25)

2. Sebagai upaya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan hukum perdata di lingkungan Peradilan Agama yang menyangkut dalam bidang perkawinan khususnya perkara perceraian. 3. Untuk menambah khasanah pengetahuan tentang pentingnya keutuhan,

keharmonisan dalam berkeluarga.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a. Metode Pendekatan

Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif. Penelitian pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian ini yang akan di cari perihal tentang perkara perceraian karena salah satu pihak murtad.

Jenis penelitian ini secara spesifik lebih bersifat yurisprudensi, metode ini di maksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti mungkin tentang objek yang diteliti dalam hal ini untuk menggambarkan proses penyelesaian perceraian karena salah satu pihak murtad.

(26)

b. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga yang beralamat di jl.Lingkar Selatan Dukuh Jagalan Rt. 14. Rw 05 Cebongan Salatiga. Telp (0298) 322853 Fax (0298) 325243.

c. Sumber Data 1) Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber primer, yakni sumber-sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut (Amirin,1990:132). Macam-macam data primer sebagai berikut:

a) Informan

(27)

b) Dokumen

Adalah setiap bahan tertulis ataupun film (Moloeng, 2002: 161). Sumber tertulis dapat terbagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi (Moloeng, 2002: 113). Dalam penelitian ini setiap bahan tertulis berupa data-data yang ada di Pengadilan Agama Salatiga berkaitan dengan penelitian seperti : buku register perkara perceraian, berita acara perceraian dan putusan perceraian.

2) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yag bukan asli memuat informasi atau data tersebut (Amirin,1990: 132). Sebagai data sekunder dari penilitian ini adalah sebagai berikut:

a) Undang-undang yang mengatur tentang perceraian b) Buku-buku yang terkait dengan penulisan penelitian ini c) Arsip-arsip yang mendukung

2. Prosedur Pengumpulan Data a. Wawancara (interview)

(28)

Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara dengan ketua Pengadilan Agama Salatiga yaitu Bapak Noerhadi MH untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya sesuai dengan rumusan masalah.

b. Observasi

Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrumen. Format yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi ( Arikunto, 2006: 229).

Dari peneliti berpengalaman diperoleh suatu petunjuk bahwa mencatat data observasi bukanlah sekedar mencatat, tetapi juga mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian ke dalam suatu skala bertingkat. Misalnya kita memperhatikan reaksi penonton televisi, bukan hanya mencatat bagaimana reaksi itu, dan berapa kali muncul, tetapi juga menilai reaksi tersebut sangat, kurang, atau tidak sesuai dengan yang kita kehendaki (Arikunto,2006:229).

(29)

Obyek yang diteliti adalah lokasi penelitian yaitu Pengadilan Agama Salatiga dan khususnya pada ketua Pengadilan Agama Salatiga.

c. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236).

Dalam penelitian ini, dokumentasi yang dimaksud adalah pengambilan beberapa data tentang perceraian suatu perkawinan oleh majlis hakim di Pengadilan Agama Salatiga dengan alasan karena salah satu pihak murtad yakni dalam putusan Nomor. 0356/Pdt.G/2011/PA.SAL.

3. Analisis Data

Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis seperlunya agar diperoleh data yang matang dan akurat. Dalam penganalisaan data tersebut penulis menggunakan analisa kualitatif yaitu analisis untuk meneliti kasus setelah terkumpul kemudian disajikan dalam bentuk uraian ( Moleong, 2011:288).

4. Pengecekan Keabsahan Temuan

(30)

sehingga untuk mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknik untuk memeriksa keabsahan suatu data.

Keabsahan suatu data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber, menurut patton berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Moleong, 2002: 178).

5. Tahap-Tahap Penelitian

Setelah peneliti menentukan tema yag akan diteliti maka penulis melakukan penelitian pendahuluan ke Pengadilan Agama Salatiga dengan bertanya kepada panitera tentang perkara perceraian, sidang kasus tentang perceraaian di Pengadilan Agama Salatiga secara praktek.

F. Tinjauan Pustaka

Perceraian (Studi Kasus Tentang Perceraian karena Salah Satu Pihak Murtad di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2011) belum pernah diangkat menjadi skripsi. Meskipun demikian peneliti menemukan skripsi yang memiliki tema sama yang dijadikan alasan perceraian yaitu:

(31)

dalam rumah tangga di Pengadilan Agama Salatiga tahun 1999-2001 dan bagaimana sikap Pengadilan Agama Salatiga dalam penyelesaian proses perkara perceraian dengan alasan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga. Hasil penelitiannya yaitu: bentuk kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dapat berbentuk fisik dan psikis, motifnya dikarenakan masalah ekonomi, nilai budaya dan pemahaman agama yang kurang dan sikap hakim sangat bijaksana dan memberi keadilan kepada kedua belah pihak. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya.

(32)

sempurna. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya.

3. Mustagfiroh, Cacat Biologis sebagai Salah Satu Alasan Peceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2001), dengan fokus penelitian bagaimana pengaruh cacat boilogis yang diderita salah satu pihak baik suami maupun istri dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, bagaiaman jenis cacat biologis yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian menurut hukum Islam dan bagaimana sikap Pengadilan Agama Salatiga dalam menyelesaikan proses perkara perceraian dengan alasan cacat badan. Hasil penelitian ini yaitu cacat biologis dalam suatu pernikahan dapat mengakibatkan ketegangan suami istri dalam rumah tangga sehingga dapat menimbulkan ketidakrukunan, dalam Islam cacat biologi bagi istri dapat menyebabkan dibolehkannya suami beristri lebih dari seorang, sikap hakim kemungkinan besar gugatannya tidak dikabulkan jika gugatannya kurang kuat. Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis baik dari judul, fokus penelitian dan hasil penelitiannya.

G. Penegasan Istilah

(33)

1. Perceraian

Secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan (Supriatna, 2009: 19).

Secara istilah, ada beberapa rumusan yang dikemukakan para ulama, antara lain:

Menurut as-sayyid sabiq (2009:19) “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.

Menurut Abdur Rahman al-Jaziri “Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi ikatan pelepasannya dengan menggunakan lafadz khusus” (Supriatna dkk, 2009: 19-20).

2. Murtad

Riddah atau murtad ialah kembali ke jalan asal. Di sini yang dikehendaki dengan murtad ialah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa ke kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan orang lain, baik laki-laki maupun perempuan (Sabiq, 1984: 168).

H. Sistematika Penulisan

(34)

Bab II, dalam bab ini penulis mengemukakan dasar teori yang meliputi: Perkawinan, Konsep perceraian dalam hukum Islam, konsep perceraian menurut Perundang-undanganan di Indonesia, dan murtad sebagai alasan perceraian.

BAB III, dalam bab ini berisikan penjelasan mengenai gambaran umum Pengadilan Agama Salatiga, prosedur dan proses penyelesaian perkara cerai gugat di pengadilan Agama Salatiga, hasil putusan hakim terhadap perceraian karena salah satu pihak murtad di Pengadilan Agama Salatiga, pertimbangan dan dasar putusan hakim dalam memutus perkara perceraian karena salah satu pihak murtad di Pengadilan Agama Salatiga, akibat hukum putusan perceraian karena salah satu pihak murtad di Pengadilan Agama Salatiga.

BAB IV, dalam bab ini merupakan bagian inti dari penelitian skripsi yang berisikan pembahasan tentang analisis hasil putusan hakim terhadap perceraian karena salah satu pihak murtad, analisis pertimbangan dan dasar putusan hakim terhadap perceraian karena salah satu pihak murtad Pengadilan Agama Salatiga, analisis akibat hukum terhadap perceraian karena salah satu pihak murtad.

(35)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.

Perkawinan adalah merupakan sunnah Nabi, yaitu mencontoh tindak laku Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu bagi pengikut Nabi Muhammad yang baik maka mereka harus kawin. Selain itu perkawinan juga merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani (Sosroatmojo, 1975 :33).

Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.(QS An-Nisa:3).

(36)

Firman Allah SWT:

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.(Adz-Dzariat: 49).

Perkawinan suatu cara yang dipilih Allah sebagi jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.

Allah berfirman dalam QS An-Nisa ayat:1 yang berbunyi:

ﺎﻳ

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

(37)

dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhomat dan berdasarkan saling meridhai, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang dari adanya rasa ridha meridhai, dan dihadiri dengan para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. Peraturan perkawinan seperti inilah yang diridhai Allah dan diabadikan Islam untuk selamanya.

Kemudian selain itu perkawinan juga dapat diartikan merupakan suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia (Harjono,1968: 221). Dari definisi itu jelas bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian, ia mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara dua pihak yang saling mau berjanji berdasarkan prinsip suka sama suka. jadi ia jauh sekali dari segala yang dapat diartikan sebagai mengandung suatu paksaan. Oleh karena itu, baik pihak laki-laki maupun pihak wanita yang mau mengikat janji dalam perkawinan, mempunyai kebebasan penuh untuk menyatakan, apakah mereka bersedia atau tidak.

(38)

Di Indonesia, umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama Syafi’iyah. Sedang menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah, hukum melangsungkan perkawinan itu hukumnya sunnat.

Terlepas dari pendapat Imam Madzhab, berdasar nash-nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka perkawinan itu dapat dikenakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh maupun mubah (DEPAG, 1985: 59).

2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Perkawinan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad.

a. Rukun nikah

1) Mempelai laki-laki 2) Mempelai perempuan 3) Wali

(39)

Dari lima rukun nikah tersebut yang paling penting ialah ijab kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul.

b. Syarat Nikah 1) Syarat Suami

a) Bukan mahram dari calon istri b) Tidak terpaksa atas kemauan sendiri c) Orangnya tertentu, jelas orangnya d) Tidak sedang ihram

2) Syarat Istri

a) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah

b) Merdeka, atas kemauan sendiri c) Jelas orangnya

d) Tidak sedang dalam ihram 3) Syarat Wali

a) Laki-laki b) Baligh

(40)

f) Tidak sedang dalam ihram 4) Syarat Saksi

a) Laki-laki b) Baligh

c) Sehat akalnya d) Adil

e) Dapat melihat dan mendengar f) Bebas, tidak dipaksa

g) Tidak sedang dalam mengerjakan ihram

h) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul. Adapun syarat-syarat sighat (bentuk akad) hendaknya dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi. Sighat itu hendaknya terikat dengan batasan tertentu supaya akad itu bisa berlaku. Misalnya, dengan ucapan “saya nikahkan engkau dengan anak perempuan saya”. Kemudian pihak laki-laki menjawab “ya saya terima” akad ini sah dan berlaku.

Dari uraian di atas menjelaskan bahwa akad nikah atau perkawinan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukunnya menjadikan perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum.

3. Dasar Hukum Nikah

(41)

berhubungan dengan akibat perkawinan tersebut (Tihami & Sahrani, 2010: 8).

Di dalam undang-undang perkawinan Nomor.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga dijelaskan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”.

Perkawinan adalah sunatullah, yang merupakan sunatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat maslahatnya. Oleh karena itu, Imam Izzudin Abdussalam membagi maslahat menjadi tiga bagian yaitu:

a. Maslahat yang diwajibkan oleh Allah Swt bagi hambanya. Maslahat wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama), afdhal (paling utama) dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat yang paling utama adalah maslahat yang pada dirinya terkandung kemuliaan, dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, dan dapat mendatngkan kemaslahatan yang paling besar, kemaslahatan jenis ini wajib dikerjakan.

(42)

c. Maslahat mubah, bahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari kandungan nilai maslahat atau penolakan terhadap mafsadah. Imam Izzudin berkata “maslahat mubah dapat dirasakan secara langsung”. Sebagian di antaranya lebih bermanfaat dan lebih besar kemaslahatannya dari sebagian yang lain, maslahat mubah ini tidak berpahala.

Oleh karena itu, meskipun perkawinan pada asalnya mubah, namun dapat berubah menurut ahkamal-khamsah (hukum yang lima) menurut perubahan keadaan, yaitu:

1) Nikah Wajib.

nikah wajib yaitu nikah yang diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan menambah takwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksana kecuali dengan nikah.

2) Nikah Haram

(43)

3) Nikah Sunnah

Nikah sunnah yaitu nikah yang disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan yang haram, dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik daripada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.

4) Nikah Mubah

Nikah mubah yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.

5) Nikah Makruh

Nikah makruh yaitu bagi yang belum membutuhkannya dan khawatir jika menikah justru menjadikan kewajibannya terbengkalai.

Dari uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa dasar perkawinan menurut Islam pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah, dan mubah tergantung dengan keadaan maslahat atau mafsadatnya.

4. Tujuan dan Hikmah Perkawinan a. Tujuan Perkawinan

(44)

artinya membentuk kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri suami, istri, dan anak-anak. Membentuk rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam suatu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Bahagia artinya ada kerukunan hubungan antara suami dan istri, atau antara suami istri, dan anak-anak dalam rumah tangga. Kekal artinya berlangsung terus menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan menurut kehendak pihak-pihak. Perkawainan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya perkawinan tidak terjadi begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai mahluk beradab. Karena itu perkawinan dilakukan dengan berkeadaban pula, sesuai ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia (Muhammad, 1993: 75).

(45)

memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga serta meneruskan dan memelihara keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia, juga untuk mencegah perzinaan, dan juga agar terciptanya ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, keluarga dan masyarakat (Wasman,2011: 37).

Ny. Soemiyati, SH menyebutkan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi hajat tabi’at kemanusiaan, yaitu berhubungan laki-laki dan perempuan dalam mewujudkan suatu keluarga yang bahagia, dengan dasar kasih sayang, untuk memperoleh keturunan dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syari’ah. Sedangkan Mahmud Yunus, merumuskan secara singkat tujuan perkawinan menurut Pemerintah yaitu untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur (Wasman,2011: 38).

(46)

Allah SWT berfirman:

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS Arrum:21).

Zakiyah Darajat dkk mengemukakan lima tujuan dalam perkawinan, yaitu:

1) Mendapatkan dan melangsungkan keturunan

2) Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya

3) Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan

4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta yang kekayaan halal

(47)

b. Hikmah Perkawinan

Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia. Adapun hikmah pernikahan adalah:

1) Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati barang yang berharga. 2) Nikah jalan yang terbaik untuk membuat anak-anak menjdi

mulia, memperbanyak keturunan, melesterikan hidup manusia, serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan sekali.

3) Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta, dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. 4) Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak

(48)

mengeksploitasi kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi kepentingan hidup manusia.

5) Pembagian tugas di mana yang satu mengurusi rumah tangga, sedangkanyang lain bekerja di luar sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya.

6) Perkawinan dapat membuahkan diantaranya adalah tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat yang memang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang dan menyayangi merupakan masyarakat yang kuat serta bahagia.

B. Perceraian dalam Hukum Islam 1. Pengertian Perceraian

Secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan; melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan (Supriatna, 2009: 19).

Menurut istilah syarak talak ialah:

ﺣ

(49)

Adapun perceraian dalam istilah Ahli Fiqh disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian, sedangkan furqah berarti bercerai. Kemudian dua kata ini sering digunakan oleh ahli fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami dan isteri. Perkataan talak atau furqah dalam istilah Ahli Fiqh mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti umumnya adalah segala bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, perceraian yang ditetapkan oleh hakim dan perceraian alamiah seperti kematiam salah satu diantara suami atau isteri. Adapun arti khususnya adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja.

Perceraian adalah kata-kata Indonesia yang umum dipakai dalam pengertian yang sama dengan talak dalam istilah Fiqh yang berarti bubarnya nikah (Harjono,1987: 234).

Oleh karena itu, jiwa peraturan tentang perceraian dalam hukum Islam senantiasa mengandung pendidikan, yakni pendidikan untuk tidak mempermudah perceraian. Moral Islam menghendaki untuk menjadikan perkawinan sesuatu yang berusia kekal dan abadi untuk selama hidup. Hanya kematian sajalah hendaknya satu-satunya sebab yang menjadi alasan bagi berpisahnya laki-laki dan wanita yang sudah menjadi satu kesatuan sebagai suami istri (Harjono,1987: 235).

(50)

kebebasan sepenuhnya kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan segala sesuatunya dengan semasak-masaknya dalam batas-batas yang dapat dipertanggung jawabkan. Karena disamping banyaknya bencana yang dapat dibayangkan dari sesuatu perceraian yang menyangkut kehidupan kedua belah pihak dan terutama yang menyangkut anak-anak mereka, maka dapat pula dibayangkan betapa tersiksanya seseorang, terutama pihak wanita, yang kedamaian rumah tangganya sudah tidak dapat dipertahankan lagi, tetapi jalan perceraian tidak dibuka. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perceraian atau talak merupakan berakhirnya hubungan suami isteri dengan kata-kata tertentu yang bermakna memutuskan tali perkawinan serta mempunyai akibat bagi suami isteri tersebut.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

ﹺﻦﻋ

bersabda, sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak”. 2. Hukum Perceraian

(51)

terhadap nikmat Allah SWT yaitu perkawinan. Kufur terhadap nikmat yang diberikan Allah merupakan hal yang haram, kecuali karena darurat. kategori darurat yang membolehkan perceraian adalah apabila suami meragukan kebersihan tingkah laku isteri atau kerena sudah tidak saling mencintai lagi. Dalam pandangan para ulama perceraian mempunyai beberapa macam hukum sesuai dengan keadaan dan masalah yang dihadapi oleh keluarga tersebut, adakalanya wajib, mubah, makruh, dan haram (Sabiq,1980: 9).

Oleh karena itu, dengan menilik kemaslahatan dan kemudaratannya, maka hukum talak dalam Islam ada empat yaitu:

a. Wajib

Yaitu jika suami telah bersumpah tidak akan lagi menggauli istrinya hingga masa tertentu, sedangkan ia juga tidak mau membayar kafarah, sehingga pihak istri teraniaya karenanya (Saleh,2008: 320).

b. Sunnat

Yaitu apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya (Rasjid, 1994: 402).

c. Haram

(52)

d. Makruh

Yaitu jika suami menjatuhkan talak kepada isteri yang saleh dan berakhlak yang baik, karena hal demikian bisa mengakibatkan isteri dan anaknya terlantar dan akan menimbulkan kemudaratan. 3. Rukun dan Syarat Perceraian

Rukun perceraian (talak) ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tergantung adanya dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Masing-masing rukun tersebut harus memenuhi persyaratan. Syarat talak ada yang disepakati oleh para ulama tetapi ada pula yang diperselisihkan (Supriatna,2009:26-29).

Rukun dan syarat talak tersebut adalah sebagai berikut:

a. Suami yang sah akad nikah dengan isterinya, disamping itu suami dalam keadaan:

1) Baligh, sebagai suatu perbuatan hukum, perceraian tidak sah dilakukan oleh orang yang belum baligh

2) Berakal sehat, selain sudah baligh suami yang akan menceraikan isterinya juga harus mempunyai akal yang sehat, maka dari itu orang gila tidaklah sah untuk menjatuhkan talak kepada isterinya.

(53)

b. Istri, unsur yang kedua dari perceraian ialah istri. Untuk sahnya talak istri harus dalam kekuasaan suami, yaitu istri tersebut belum pernah ditalak atau sudah ditalak tetapi masih dalam masa iddah.

c. Shigat perceraian, yang dimaksud dalam hal ini adalah lafal yang diucapkan oleh suami atau wakilnya diwaktu menjatuhkan cerai kepada isterinya. Semua lafal yang artinya memutuskan ikatan perkawinan dapat dipakai untuk perceraian. Sighat perceraian ada diucapkan dengan menunjukan kepada makna yang jelas, disamping itu ada pula shigat yang diucapkan dengan kata-kata sindiran, baik sindiran itu dengan lisan, tulisan, isyarat (bagi suami tuna wicara), ataupun dengan suruhan orang lain. Kesemuanya ini dapat dianggap sah kalau suami dalam keadaan sadar serta atas kemauan sendiri. Shigat cerai dalam penjelasan tersebut dihukumi sah apabila:

1. Ucapan suami itu disertai dengan niat menjatuhkan cerai dengan isterinya.

(54)

4. Bentuk-Bentuk Perceraian

Perceraian (talak) dapat dibagi menjadi beberapa bentuk dengan melihat kepada waktu menjatuhkannya, kemungkinan suami kembali ke istrinya, cara menjatuhkannya, kondisi suami pada waktu mentalak, dan lain-lain (Supriatna, 2009: 31). Diantara bentuk-bentuk perceraian (talak) ialah sebagai berikut:

a. Perceraian apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami ruju’ kembali kepada isterinya setelah ditalak, maka perceraian ini ada dua bentuk, yaitu:

1) Talak Raj’i

Adalah talak yang si suami diberi hak untuk kembali kepada istri yang ditalaknya tanpa harus melalui akad nikah yang baru, selama istri masih dalam masa iddah. Talak Raj’i tidak menghilangkan ikatan perkawinan sama sekali. Yang termasuk kedalam talak raj’i ialah talak satu atau talak dua.

Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Talak ayat 1 yang berbunyi:

(55)

Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum-hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.

2) Talak Ba’in

Adalah talak yang tidak diberikan hak kepada suami untuk rujuk kepada istrinya. Apabila suami ingin kembali kepada mantan istrinya, harus dilakukan dengan akad nikah yang baru yang memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Talak ba’in ini menghilangkan tali ikatan suami istri. Talak ba’in ini dibagi menjadi dua macam yaitu talak ba’in sughra dan talak ba’in kubra.

a) Talaq Ba’in Sughra ialah talak yang tidak memberikan hak rujuk kepada suami tetapi suami bisa menikah kembali kepada istrinya dengan tidak disyaratkan istri harus menikah dahulu dengan laki-laki lain. Yang termasuk talak bain sughra ialah talak satu dan talak dua.

(56)

menikah dengan orang lain dan telah diceraikan. Yang termasuk talak ba’in kubra ialah talak yang ketiga kalinya. Allah SWT berfirman: kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (QS Al-baqarah ayat 230).

b. Adapun bentuk-bentuk perceraian yang ditinjau dari segi siapa yang berkehendak untuk melakukan perceraian ialah:

1) Talak, yaitu peceraian yang terjadi atas kehendak suami dengan mengunakan kata-kata talak kepada isteri (Wasman,2011: 86). 2) Khulu’, yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak isteri

dengan membayar iwad atau tebusan kepada suami (Wasman,2011: 100).

(57)

dengan ucapan selama-lamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih.

4) Dhihar, dhihar berasal dari kata zhahr, artinya punggung, maksudnya suami berkata kepada istri; “engkau dan aku seperti punggung ibuku”. Bahwa dhihar menurut istilah yaitu ucapan kasar yang dikatakan suami kepada istrinya dengan menyerupakan istri itu dengan ibu atau mahram suami, dengan ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan istri bagi suami. c. Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap isterinya,

dalam hal ini talak ada beberapa bentuk, baik dinyatakan dengan kata-kata atau ucapan, dengan surat atau tulisan kepada istrinya, dengan isyarat oleh orang yang bisu atau dengan mengirimkan seoarang utusan (Sabiq,1980: 27).

Diantara bentuk-bentuk tersebut ialah sebagai berikut:

1) Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan lisan dihadapan isterinya, dan isterinya mendengarkan secara langsung ucapan suaminya itu.

(58)

3) Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan oleh suami yang tuna wicara dalam bentuk isyarat, sebab isyarat baginya sama dengan bicara yang dapat menjatuhkan talak, sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan, para fuqaha mensyaratkan bahwa isyarat itu sah bagi tuna wicara.

4) Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada isterinya melalui perantara orang lain sebagai utusan. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami yang menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak itu.

5. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian

Dalam Islam sebab-sebab putusnya hubungan perkawinan, setidaknya ada sembilan macam, yaitu; talak, khuluk, syiqaq, fasakh, taklik talak, illa’, zhihar, li’an, dan kematian (Wasman,2011: 86). Sebab-sebab tersebut masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Thalaq

Yaitu peceraian yang terjadi atas kehendak suami dengan mengunakan kata-kata talak kepada isteri.

b. Khuluk

(59)

c. Syiqaq

Menurut istilah Fiqh, Syiqaq adalah: perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari seorang pihak istri.

d. Fasakh

Yaitu merusak atau melepaskan ikatan perkawinan. Fasakh dapat terjadi karena sebab yang berkenaan akad ( sah atau tidaknya) atau dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad.

e. Takli’ talaq

Yaitu suatu talaq yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan terlebih dahulu.

f. Illa’

Arti illa’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Di dalam Islam illa’ adalah sumpah dengan nama Allah untuk tidak menggauli istrinya.

g. Dhihar

(60)

h. Li’an

Li’an secara bahasa berarti jauh, laknat atau terkutuk. Sedangkan menurut istilah adalah orang yang menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, maka dia harus bersumpah dengan memakai nama Allah sebanyak empat kali bahwa dia benar dalam tuduhannya itu, dan ditambah dengan bersumpah satu kali lagi bahwa dia akan terkena laknat Allah jika dalam tuduhannya dia berdusta.

i. Kematian

Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau istri. Dengan kematian salah satu pihak, maka hak lain mempunya hak waris atas harta peninggalan yang meninggal. Walaupun dengan kematian, hubungan suami dan istri tidak dimungkinkan disambung lagi, namun bagi istri yang suaminya telah meninggal tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain sebelum masa iddahnya habis, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.

Kemudian, di dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan ini yang tercantum dalam pasal 116 yaitu: perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :

(61)

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.

6. Akibat perceraian

Di dalam Kompilasi Hukum Islam, akibat putusnya perkawinan karena perceraian di atur dalam pasal 156 dan pasal 157 yaitu:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhonah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu. 2. Ayah

3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari

ayah.

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

(62)

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk memelihara dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Dalam KHI pasal 157 “harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97, yaitu:

1) Pasal 96

a. Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

b. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

2) Pasal 97 yang berbunyi “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

C. Perceraian dalam Perundang-Undangan di Indonesia 1. Pengertian Perceraian

Mengenai pengertian perceraian secara jelas di dalam undang-undang perkawinan Nomor. 1 tahun 1974 tidak dijelaskan dengan terperinci, namun di dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan pada pasal 117 yaitu:

talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.

2. Tata Cara Perceraian

(63)

a. Tata cara perceraian dalam kompilasi hukum Islam di atur dalam pasal 129,130, dan 131 yaitu:

1) Pasal 129

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya harus mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

2) Pasal 130

Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.

3) Pasal 131

a) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan damaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak

b) Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk menikrarkan talak.

c) Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya.

d) Bila suami tidak mengikrarkan ikrar talak dalam tempo enam bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak bagiya mempunyai kekuatan hukm yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang telah utuh.

e) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian baik bekas suami dan istri.

(64)

b. Tata cara perceraian di dalam undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 dalam pasal 39 telah dijelaskan bahwa:

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.

3. Tata cara perceraian di depan sidang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

c. Perceraian menurut UUP Nomor 1 tahun 1974 pasal 14, 15, 16, 17, dan pasal 19 mengenai penjelasan atas undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenai tata cara perceraian bahwa, seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya dengan disertai alasan-alasanya serta meminta kepada Pengadilan Agama agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

3. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian

Untuk dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan, harus disertai dengan alasan-alasan yang cukup sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan dalam UUP No.1 tahun 1974, dalam hal ini dijelaskan dalam pasal 39 ayat 2 dan dipertegas dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 19 yaitu sebagai berikut:

(65)

b. Salah satu piha meninggalkan pihak yang lain selama dua tahun brturut-turut, tanpa izin pasangannya, dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekerasan atau penganiayaan berat yang membahayakan pasangannya.

e. Salah satu pihak medapat cacat badan atau penyakit dengan akibaat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

4. Akibat Peceraian

Setelah perceraian terjadi ada beberapa hal yang perlu dilakukan baik oleh pihak suami maupun pihak istri, sebagaimana diatur dalam pasal 41 UUP No 1 tahun 1974 sebagai berikut:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarka kepentingan anak. Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.

b. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak napak, kecuali dalam kenyataanya bapa dalam keadaa tidak mampu, sehingga tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

(66)

D. Murtad Sebagai Alasan Perceraian 1. Pengertian Murtad

a. Murtad sebagai Alasan Perceraian Menurut Islam

Murtad (riddah) dari segi bahasa berarti ruju’ (kembali). Menurut istilah riddah adalah orang yang kembali dari agama Islam, pelakunya disebut murtad. Yakni ia secara berani menyatakan kafir setelah beriman. Murtad (riddah) adalah kembali ke jalan asal. Disini yang dikehendaki dengan murtad adalah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa ke kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Baik yang kembali itu orang lelaki maupun orang perempuan (Sabiq,1984: 168).

Allah berfirman dalam QS Ali-Imran ayat 85 yang berbunyi:

ﻦﻣﻭ

“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.

Dalam hal ini Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat yaitu pendapat yang pertama mengatakan bahwa bila ada orang kafir pindah ke agama lainnya yang juga kafir, maka ia tidak dapat diterima kecuali masuk Islam atau ia dibunuh. Kemudian pendapat yang kedua

(67)

Jika orang Islam bertindak murtad atau berpindah agama maka terdapatlah perubahan-perubahan dan akibat dalam segi muamalah yaitu ada tiga:

1) Hubungan Perkawinan

Jika suami atau istri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka. Karena riddahnya salah satu dari suami istri merupakan suatu hal yang mengharuskan pisahnya mereka. Dan bila salah satu dari suami istri yang murtad itu bertaubat dan kembali lagi ke dalam Islam, maka untuk mengadakan hubungan perkawinan seperti semula, mereka haruslah memperbaharui lagi akad nikah dan mahar.

2) Hak Waris

Orang murtad tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat muslimnya. Karena orang murtad itu adalah orang yang tidak beragama. Jika ia tidak beragama, maka tentu saja ia tidak boleh mewarisi harta peninggalan kerabat-kerabat muslimnya. Dan bila ia mati atau dibunuh, maka harta peninggalannya diambil alih oleh para pewarisnya yang beragama Islam.

3) Hak Kewaliannya

(68)

b. Murtad sebagai Alasan Perceraian Menurut Undang-Undang di Indonesia.

Murtad dijadikan alasan perceraian artinya jika salah pihak keluar dari agama Islam, maka suami atau istri dapat mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan ( Nuruddin,2006: 222).

Kemudian, di dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan mengenai sebab-sebab putusnya perkawinan ini yang tercantum dalam pasal 116 yaitu: perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.

(69)

Sedangkan akibat hukum perceraian dengan alasan pindah agama menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sama halnya dengan perceraian dengan alasan yang lain. Perkawinan yang telah putus dengan alasan pindah Agama atau murtad mempunyai beberapa akibat hukum sebagai berikut : Terhadap status perkawinan, terhadap hak dan kewajiban pemeliharaan anak, terhadap harta yang diperoleh selama masa perkawinan berlangsung.

2. Hukum Murtad

Riddah (murtad) adalah merupakan dosa besar yang dapat menghapus amal-amal shaleh sebelumnya. Dan dosa ini dibalas dengan hukuman yang pedih diakhirat.

Allah SWT berfirman: dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.(QS Al-Baqarah ayat 217).

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda halnya dengan bulan September dimana hampir seluruh wilayah teluk Senggrong dicirikan dengan salinitas yang tinggi berkisar antara 34 ppm hingga 35 ppm

K0 : Kontrol (Perlakuan Konvensional, sesuai dengan kebiasaan petani setempat) K1 : SRI. K2 : SRI kombinasi sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan sisip. K3 : SRI kombinasi

Kedua, Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di RSUD Panembahan Senopati Bantul tahun 2010, sebagian besar tidak melahirkan BBLR yaitu sebanyak 68%. Ketiga, ada hubungan

Selain itu, guna memperjelas pelaksanaan tugas pada setiap satuan kerja, perlu dilengkapi dengan tatalaksana dan tata hubungan kerja antar satuan kerja, serta

Faktor ekstern dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat. a) Faktor Keluarga berupa cara orang tua mendidik, relasi

Peningkatan efisiensi mitokondria akan meningkatkan jumlah oksigen yang dapat mengoksidasi molekul nutrien untuk menghasilkan energi sehingga akan meningkatkan

Putusan hakim berupa rehabilitasi diberikan kepada pecandu yang melakukan tindak pidana pada Pasal 127 ayat (1) tidak menjadi acuan SEMA 4 Tahun 2010 disebutkan surat