• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMATIKA PUTUSAN PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD (STUDI KOMPARATIF PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NO. 138/Pdt.G/2006/PA. SALDAN NO. 0356/Pdt.G/2011/PA. SAL) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PROBLEMATIKA PUTUSAN PERCERAIAN KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD (STUDI KOMPARATIF PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NO. 138/Pdt.G/2006/PA. SALDAN NO. 0356/Pdt.G/2011/PA. SAL) - Test Repository"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

PROBLEMATIKA PUTUSAN PERCERAIAN

KARENA SALAH SATU PIHAK MURTAD

(STUDI KOMPARATIF PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA

NO. 138/Pdt.G/2006/PA. SALDAN NO. 0356/Pdt.G/2011/PA. SAL)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam

Oleh

IRMA SURYANI

21210001

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI

AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Setia pada proses. Sesulit apapun sebuah proses selama berusaha dan jalani ikhlas semua pasti tercapai.

PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada:

Untuk orang tuaku yang selalu mendoakan dengan tulus ikhlas dan senantiasa memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil

Terima kasih untuk para dosen atas ilmu dan bimbingan yang diberikan kepada saya semoga ilmu berguna dan bermanfaat. Amiin.

Sahabat-sahabat perjuanganku AS angkatan 2010, semoga sukses selalu.

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah, senatiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada semua hambaNYA, sehingga sampai saat ini kita masih mendapatkan ketetapan iman dan Islam. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada beliau Nabi Agung Muhammad SAW yang senantiasa kita ikuti sunnah-sunnahnya dan semoga kita selalu mendapatkan syafaatnya di dunia dan di akhirat.

Dalam penjelasan skripsi ini tentulah tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam ide, kritik, saran maupun dalam bentuk lainnya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga

2. Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si selaku Ketua Program Studi Ahwal

Al-Syakhshiyyah.

3. Moh. Khusen, M.Ag., M.A selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu tenaga dan fikiran guna memberikan bimbingan serta arahan dengan penuh kesabaran dan akademis.

4. Drs. H. Umar Muchlis selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga.

5. Drs. Muhdi Kholil, S.H., M.M selaku Wakil Ketua Pengadilan Agama Salatiga sekaligus Hakim Pembimbing.

6. Segenap Dosen Jurusan Syari‟ah

7. Segenap staf Pengadilan Agama Salatiga

8. Kedua orang tua yang saya sayangi dan hormati, yang selalu mendoakan. 9. Teman Angkatan 2008, 2010 terima kasih atas kritik, saran dan masukan yang

(7)

vi

10.Pihak-pihak yang belum dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral dan material sehingga selesainya proses belajar di STAIN Salatiga

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi, maupun analisisnya, sehingga kritik dan saran sangat diharapkan penulis demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Salatiga, 14 Februari 2015

(8)

vii ABSTRAK

Suryani, Irma. 2015. Problematika Putusan Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad (Studi Komparatif Putusan Pengadilan Agama Salatiga Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL dan Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL).

Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Sekolah

Tinggi Agma Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Moh. Khusen, M.Ag., M.A

Kata Kunci: perceraian dan murtad

Penelitian Problematika Putusan Perceraian Karena Murtad adalah studi komparatif putusan antara dua putusan dengan tema yang sama tetapi memiliki perbedaan pada putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui alasan perceraian di Pengadilan Agama Salatiga. Pertanyaan utama yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah Hakim Pengadilan Agama Salatiga menangani perkara perceraian karena salah satu pihak murtad? (2) Mengapa terjadi perbedaan putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang perkara perceraian karena salah satu pihak murtad antara putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL? (3) Bagaimanakah implikasi dari putusan perceraian yang berbeda antara putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL?

Penulis untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam penelitian didasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif-yuridis. Pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum Islam yaitu Al-Qur‟an dan Hadits serta fenomena yang terjadi di lapangan. Pendekatan yuridis adalah pendekatan dengan didasarkan pada tata aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yurisprudensi. Penelitian yurisprudensi termasuk dalam jenis penelitian kajian pustaka. Penelitian dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga. Sumber data yang didapat dari data primer maupun sekunder. Data primer didapat dari dokumen dan informan. Data sekunder didapat dari sumber yang bukan asli memuat informasi atau data dalam penelitian.

Hasil dari penelitian yang didapat yaitu tentang cara Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menangani perkara adalah Hakim memeriksa dan mempelajari petitum atau alasan-alasan perceraian yang diajukan dalam gugatan tersebut, identifikasi alasan dalam perceraian dalam gugatan, menerapkan asas personalitas keislaman kemudian mencari fakta pembuktian yang menjadi alasan utama. Hasil penelitian yang selanjutnya adalah sebab terjadi perbedaan putusan dapat ditinjau dari alasan utama perceraian masing-masing putusan. Putusan fasakh pada No. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL alasan utama perceraian adalah murtad sebagai satu-satunya alasan sehingga menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Putusan Thalaq

(9)

viii

(10)

ix

H. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF FIQH DAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 17

A. Perceraian Menurut Fiqh ... 17

1. Pengertian Perceraian ... 18

2. Dasar Hukum Perceraian ... 15

3. Bentuk-Bentuk Perceraian ... 22

4. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian ... 30

5. Akibat Perceraian ... 33

B. Perceraian Menurut Perundang-Undangan... 35

(11)

x

2. Sebab dan Alassan Perceraian ... 36

3. Tata Cara Perceraian ... 38

4. Akibat Perceraian ... C. Fasakh ... 42

1. Fasakh Menurut Fiqh ... 42

2. Fasakh dalam Perundang-Undangan ... 47

3. Fasakh Sebagai Alasan Perceraian ... 52

D. Murtad Sebagai Alasan Perceraian ... 53

1. Pengertian Murtad ... 53

2. Hukum Murtad ... 56

3. Murtad Sebagai Alasan Perceraian ... 58

BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA SALATIGA DAN DUA PUTUSAN PERCERAIAN KARENA MURTAD ... 60

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga ... 60

1. Profil Lembaga Pengadilan Agama Salatiga... 60

2. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga... 66

B. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga ... 75

C. Putusan Kasus Gugatan Perceraian Karena Murtad ... 79

1. Putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL ... 79

2. Putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL ... 86

3. Pertimbangan Hakim ... 93

BAB IV ANALISA KASUS CERAI GUGAT KARENA MURTAD ... 97

A. Penanganan Kasus Gugat Cerai Karena Murtad ... 97

1. Teknis Administrasi Secara Umum ... 97

2. Dasar Hukum Materiil... 100

B. Perbedaan Putusan No. 138/Pdt. G/2006 dan Putusan No. 0356/Pdt. G/2011 ... 103

(12)

xi

BAB V PENUTUP ... 109

A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 112

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perceraian pada prinsipnya tidak dikehendaki dalam Islam. Perkawinan merupakan ikatan yang kuat, diharapkan dalam perkawinan dapat terwujud keluarga yang bahagia dan kekal sesuai ajaran Islam. Meskipun demikian Islam juga tidak menutup diri terhadap perceraian yang terjadi antara suami istri dengan berbagai alasan serta dengan melalui bentuk perceraian yang ada. Mengacu tetap pada satu prinsip yaitu kaidah fiqh menghindari timbulnyakeburukan harus didahulukan daripada menarik kebaikan, sehingga perceraian adalah merupakan pintu darurat dari ikatan perkawinan, yaitu yang berbunyi:

ادِ دِاا دَ دَ لْااأادِ لْ دَ اًدَ دَ مٌ ادَ قَّ رُ ادِ دَضا دَ دَ لْاأ رُ دَ

Islam memahami dan menyadari tentang hal perceraian. Islam membuka kemungkinan perceraian dengan jalan talak maupun jalan fasakh demi menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan manusia (Latif, 1985:29)

Suatu perkawinan dapat putus karena tiga hal sesuai dengan pasal 113 KHI,

“karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan”. Dalam pasal 114 KHI

disebutkanbahwa, “putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat

(14)

2

Dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun

1989 Pasal 2 disebutkan, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.

UU No. 50 tahun 2009 ayat 1 sampai ayat 6 dijelaskan bahwa amar putusan dalam cerai talak hanya menetapkan memberi ijin pemohon untuk menjatuhkan talak terhadap termohon, mengakibatkan bahwa putusnya perkawinan karena cerai talak dihitung sejak diucapkannya ikrar talak, baik saat dihadiri oleh termohon atau tidak.

Pemohon yang riddah dalam hal ikrar talak berkaitan dengan syari‟at Islam,

sudah tidak memiliki hak dalam mengucapkan ikrar talak. Hukum putusnya perkawinan antara suami dan istri mengacu pada putusan majelis Hakim, tanpa adanya ikrar talak disebabkan karena peralihan agama tersebut.

Dalam hasil rakernas (rapat kerja nasional) MARI (Mahkamah Agung Republik Indonesia) tahun 2005 bagian c Bidang Uldilag (urusan lingkungan Peradilan Agama) angka 3 huruf (a) yang dinyatakan bahwa, “Pengadilan Agama berwenang mengadili seseorang (pihak) yangsudah murtad, karena yang menjadi ukuran untuk menentukan berwenang atau tidaknya Pengadilan Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan, dan bukan berdasarkan agama yang dianut pada saat sengketa terjadi” (IKAHI, hal 134).

(15)

3

Islam) di mana pada awal pernikahan adalah seorang mu‟allaf namun ketika pernikahan berlangsung suami kembali pada agama semula yaitu katolik.

Ditinjau dari hukum Islam jelas di sini hukum perkawinan tersebut menjadi fasakh. Fasakh berarti merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah berlangsung yang disebabkan ada hal-hal yang membatalkan akad nikah atau karena suatu hal yang baru dialami sesudah akad nikah dan perkawinan berlangsung (Basyir, 1999:85). Fasakh karena terjadinya hal yang baru dialami sesudah akad nikah dan perkawinan berlangsung, yaitu salah satunya suami istri beragama Islam kemudian suami murtad. Apabila telah diusahakan agar kembali Islam, tetapi suami tetap mempertahankan murtad, hubungan perkawinan diputuskan sebab terdapat penghalang perkawinan yaitu larangan menikah antara perempuan muslimah dengan laki-laki nonmuslim (Basyir, 1999:86)

Observasi pendahuluan yang dilakukan di Pengadilan Agama Salatiga ditemukan dua putusan tentang kasus perceraian karena salah satu pihak murtad. Putusan pertama adalah No. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL denganamar putusan yaitu

menjatuhkan talak satu ba‟in sughro tergugat kepada penggugat.Pertimbangan dan

(16)

4

ketentuan Pasal 130 HIR dan PERMA No. 1 tahun 2008. Ketiga, mengetengahkan pendapat ahli yangtermuat dalam kitab Fiqh As-Sunnah bab Ath-Thalaq:

اا لْتدَتدَبلْحدَ ا لْندِ دَفادِ دَرّضاأأذدَهدِاا دَهدِ لْودَزادَنلُْدَبدَوا دَهدَنلُْدَبادَقلَْدِرلْ ّتاأا لْتدَب دَطدَواةدَ لْوقَّساأا لْتدَعقَّ اأأدَذدِأ

ا

اةًةدَندِا دَباةًةدَ لْ دَطا دَهدِ لْودَزا لْندِ اًدِا دَ لْاأا دَهدَ قَّ دَطادِ لْىرُهلْ دَ لْاأاًدَ دَعاةً دَ دِاأدَواةً قَّردَ لْىدَادَوادَ دَرّضاأ

ا

Artinya : jika seorang istri menggugat suami agar diceraikan dari suami, karena ada alasan (madharat) maka jika alasan (madharat) itu terbukti walau hanya satu kali, menurut pendapat yang masyhur, Hakim dapat menceraikan istri dari suaminya dengan jatuh talak bain sughro(Sabiq, 1980: 237).

Putusan kedua adalah putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dengan bunyi amar putusan yaitu memfasakhkan perkawinan Penggugat dan Tergugat. Dasar hukum dan pertimbangan Hakim adalah pertama, permohonan Pemohon terbukti dan beralasan secara hukum sesuai dengan ketentuan pasal 39 UU No. 1 tahun 1974 jo pasal 19 huruf (f) PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo pasal 116 huruf (f dan h) KHI, pasal 2 KHI dan oleh karenanya hubungan perkawinan Penggugat dan Tergugat harus difasakhkan karena murtad. Kemudian Majelis Hakim mengetengahkan lebih dahulupendapat pakar Hukum IslamImam al-Haramayn al-Juwayni dalam kitab Hidayah Matlab fi Dirayah al-Mazhab sebagai berikut:

ارُ لْ دَ لْاأادَ دِطرُفا دَ رُ رُ دَادَألْودَأادِن دَ لْودَساأاقَّ دَ لْ أأدَذدِأا

ا

“Jika kedua suami istri atau salah satunya murtad (keluar dari agama Islam)

(17)

5

Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas maka penulis akan melakukan kajian secara komparatif tentang problematika putusan perceraian yang disebabkan oleh salah satu pihak murtad.

B. Rumusan Masalah

Dari tema dan latar belakang masalah di atas, dapat diperinci rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Hakim Pengadilan Agama Salatiga menangani perkara perceraian karena salah satu pihak murtad?

2. Mengapa terjadi perbedaan putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang perkara perceraian karena salah satu pihak murtad antara putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusanNo. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL?

3. Bagaimanakah implikasi dari putusan perceraian yang berbeda antara putusanNo. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusanNo. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(18)

6

2. Untuk mengetahui perbedaan putusan Pengadilan Agama Salatiga tentang perkara perceraian karena salah satu pihak murtad antara putusanNo. 138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusan No.0356/Pdt. G/2011/PA SAL.

3. Untuk mengetahui implikasi dari putusan perceraian yang berbeda antara putusan No.138/Pdt. G/2006/PA.SAL dan putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA SAL.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaaan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penanganan perkara cerai karena salah satu pihak murtad yaitu dapat dijadikan model prototipe dalam penyelesaian perkara perceraian. 2. Sebagai wacana dan pengetahuan yang dapat dijadikan bahan analisis

komparatif antara putusan-putusan di Pengadilan khususnya dalam penanganan perkara cerai karena salah satu pihak murtad.

E. Penegasan Istilah

(19)

7

1. Cerai, secara bahasa bermakna melepas, mengurai atau meninggalkan; melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan (Supriatna, 2009:19). Tentang istilah perceraian yang dimaksud dalam penelitian ini adalahcerai talak yaitu pengajuan cerai dari pihak suami (beragama Islam) terhadap istri dengan mengucap ikrar di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131KHI. Cerai gugat adalah gugatan perceraian yang diajukan oleh istri dalam petitumnya berisi permohonan agar diputus perkawinan antara penggugat dan tergugat.

2. Murtadadalah keluar dari agama Islam; peralihan agama selain Islam; sama halnya dengan murtad keluar dari Islam (Yasyin, 1995:159).Murtad berarti juga kembali ke jalan asal. Di sini yang dikehendaki adalah kembalinya orang Islam yang berakal sehat dan dewasa kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan orang lain, baik laki-laki maupun perempuan (Sabiq, 1986:168). Istilah murtad dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan salah satu alasan penyebab perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama.

4. Telaah Pustaka

(20)

8

beberapa penelitian dengan tema yang sama yang dilakukan oleh peneliti lain. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Nastangin, yang berjudul Perceraian Karena Salah Satu Pihak Murtad (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0356/pdt. G/2011/PA. SAL) tahun 2012 di Pengadilan Agama Salatiga. Penelitian ini berisi tentang tujuan penelitian, metode penelitian dan hasil penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan perceraian di Pengadilan Agama Salatiga, melalui dua fokus penelitian yaitu pertama tentang bagaimana pertimbangan dan dasar hukum Hakim dalam memutus perkara perceraian karena salah satu pihak murtad. Kedua, apa akibat hukum dari perceraian karena salah satu pihak murtad. Metode penelitian yang digunakan adalah yurisprudensi dengan pendekatan normatif. Hasil penelitian ini adalah bahwa pertimbangan hakim yaitu keluarga Penggugat dan tergugat tidak harmonis karena tergugat telah keluar dari agama Islam dan sebelumnya mediasi telah dilakukan tetapi hasilnya gagal. Kemudian yang menjadi dasar hukum yaitu pasal 116 KHI hruf (h) dan ijtihad dengan berpedoman pada kitabFiqh As-Sunnah bab Ath-Thalak. Akibat hukum sama dengan akibat hukum perceraian secara umum, yaitu menjadikannya putus tali perkawinan, masih berlaku iddah, suami masi berkewajiban menanggung hadhanah dan memberi nafkah sampai dewasa (usia 21 tahun).

Penelitian yang kedua dilakukan oleh Mir‟atul Hidayah, berjudul Fasakh Suatu Perkawinan karena Murtad(Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No.

(21)

9

menjelaskan tentang tujuan dari penelitian, metode yang digunakan dan hasil dari penelitian tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui konsep fasakhnya perkawinan karena murtad menurut fiqh dan perUndang-undangan di Indonesia. Kedua, untuk mengetahui alasan atau dasar dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga pada kasus gugat cerai oleh masyarakat non muslim dengan putusan fasakh. Ketiga, unutk mengetahui akibat hukum karena putusan fasakh. Metode yang digunakan adalah penelitian kasus (case study) yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendalam tetapi memiliki sifat penelitian kasus yang lebih mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah pertama, konsep fasakh perkawinan menurut fiqh didasarkan pada Kitab Al-Muhadzdzab Juz II halaman 54. Fasakhnya suatu perkawinan karena murtad tidak memerlukan keputusan Hakim, yaitu fasakh atau batal seketika itu juga, sedangkan dalam KHI pasal 116 (h)

bahwa, “putusnya perkawinan dapat terjadi karena peralihan agama atau murtad yang

(22)

10 G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif-yuridis. Pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum Islam yaitu

Al-Qur‟an dan Hadits serta fenomena yang terjadi di lapangan. Pendekatan

yuridis adalah pendekatan dengan didasarkan pada tata aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yurisprudensi. Penelitian yurisprudensi termasuk dalam jenis penelitian kajian pustaka. Penelitian yurisprudensi adalah penelitianyang mengkaji tentang putusan-putusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau tingkat banding dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi, kecuali putusan tersebut sudah melalui proses eksaminasi dan notasi Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.

(23)

11

Data primer adalah data utama yang diperoleh dari sumber-sumber primer, yaitu sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut berupa kata-kata, tindakan, selebihnya sumber data tertulis seperti dokumen (Moleong. 2008:157). Macam-macam data primer sebagai berikut:

1) Dokumen

Dokumen artinya barang-barang tertulis seperti buku-buku, majalah, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya (Arikunto, 2010:201). Dokumen biasanya dibagi atas dokumen pribadi dan dokumen resmi (Moleong, 2008:217). Dokumen dalam penelitian yang dipakai adalah dua putusan tersebut Dalam penelitian ini setiap tahun tertulis data-data di Pengadilan Agama Salatiga yang berkaitan dengan penelitian seperti : buku register perkara perceraian, berita acara perceraian dan putusan perceraian.

Dokumen utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah putusan perceraian yang di mana putusan tersebut merupakan putusan Pengadilan Agama sebagai Tingkat I dan suadh incrah karena setelah putusan, tidak ada lagi upaya banding.

2) Informanatau Responden

(24)

12

melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui angket (Arikunto, 2010:172).

Informan dalam penelitian ini adalah Ketua majelis hakim yang mengadili perkara di Pengadilan Agama Salatiga dan Wakil Penitera Pengadilan Agama Salatiga.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli memuat informasi atau data dalam penelitian. Sumber data sekunder dapat berupa buku atau majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi (Moleong, 2008:159).

3. Prosedur Pengumpulan Data a. Observasi

Observasiadalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian.Observasi dapat dilakukan dengan tes, kuesinoer, rekaman gambar, rekaman suara (Arikunto, 2010:199). Obyek yang diteliti adalah lokasi penelitian yaitu Pengadilan Agama Salatiga dan khususnya pada ketua Pengadilan Agama Salatiga. Observasi dilakukan dengan ikut serta dalam sidang perceraian. b. Dokumentasi

(25)

13

rapat, catatan harian (Arikunto, 2010:201), benda-benda peninggalan seperti prasasti dan simbol-simbol (Arikunto, 2010: 202).

Dokumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengambilan data tentang perceraian oleh majelis hakim di Pengadilan Agama Salatiga dengan perkara cerai salah satu murtad yaitusalinan putusan No. 138/Pdt. G/2006/PA. SAL dan No. 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL.Bukti otentik yang dipakai penggugat dan tergugat adalah akta nikah.

c. Wawancara (Interview)

Wawancara (interview) adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2008:186)untuk memperoleh informasi dari terwawancara atau interviewee (Arikunto, 2002:132). Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama, Ketua majelis hakim, Wakil Panitera Pengadilan Agama Salatiga. 4. Analisis Data

Analisis data adalah suatu cara yang dipakai untul menganalisa (data analysis) dan mengolah data yang sudah terkumpul, sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang kongkrit tentang permasalahan yang diteliti dan dibahas (Arikunto. 2010:278).

(26)

14

Metode komparatif disebut juga penelitian komparasi yaitu menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan dan membandingkan persamaan atau perbedaan tersebut terhadap pandangan orang, group atau negara, terhadap kasus, terhadap orang, peristiwa ataupun ide-ide (Arikunto, 2010:310).

Dalam penelitian ini yang dikomparatifkan adalahputusan-putusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Sebagai bahan analisis data adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; KHI; PP No. 9 tahun 1975; UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009 jo Pasal 14 s.d 36 PP No. 9 tahun 1975.

5. Tahap-Tahap Penelitian

(27)

15 H. Sistematika Penulisan

Secara sistematis penulisan penelitian ini adalah akan disusun sebagai berikut: BABPertamaberisi pendahuluan meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB Keduaberisiteori perceraian meliputi: Perceraian menurut fiqh yang diantaranya membahas tentang pengertian, dasar hukum, bentuk-bentuk perceraian, sebab-sebab terjadinya perceraian, serta akibat perceraian. Kemudian perceraian menurut perundang-undangan baik menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, PP No. 9 tahun 1975, dan KHI yang diantaranya membahas tentang pengertian, sebab dan alasan perceraian, tata cara perceraian serta akibat perceraian. Selanjutnya fasakh ditinjau dari fiqh dan perundang-undangan yang diantaranya membahas pengertian fasakh, sebab-sebab terjadinya fasakh, bentuk-bentuk fasakh, perbedaan fasak dengan talak, akibat fasakh dan fasakh sebagai alasan perceraian. Dan yang terakhir murtad sebagai alasan fasakh yang diantaranya membahas pengertian murtad, hukum murtad, murtad sebagai alasan perceraian.

(28)

16

BAB Keempatanalisis databerisi analisis data yaitu penanganan kasus gugat cerai karena murtad, perbedaan putusan No. 138/Pdt.G/2006/PA. SAL dan putusan No. 0356/Pdt. G/2011/PA. SAL, implikasi putusan perceraian karena murtad.

(29)

17 BAB II

TEORI PERCERAIAN A Perceraian menurut Fiqh

1. Pengertian Perceraian

Secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan, melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan (Supriatna, 2009:19).Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitab Al-Fiqh „ala al -Madzahib Al-Arba‟ah )ة ب لاأا أذ اأاً عاه اأ)talaq menurut istilah adalah:

اظٍ الْىرُ لْ دَ ظٍ لْ دَ دِبادِهةً دَااارُن دَ لْ رُ الْو ادَا دَ نِّناأارُةدَاأدَزدِأ

ا

Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan lafaz khusus” (Al-Jaziri, 1972:861)

Menghilangkan akad perkawinan maksudnya mengangkat akad perkawinan sehingga istri sudah tidak halal lagi bagi suami, seperti talak yang sudah tiga kali. Mengurangi pelepasan ikatan perkawinan maksudnya berkurangnya hak talak yang berakibat berkurangnya pelepasan istri, yaitu

dalam talak raj‟i dapat mengurangi pelepasan istri (Supriatna, 2009:20).

(30)

18

Oleh karena itu, jiwa peraturan tentang perceraian dalam hukum Islam senantiasa mengandung pendidikan, yakni pendidikan untuk tidak mempermudah perceraian. Moral Islam menghendaki untuk menjadikan perkawinan sesuatu yang berusia kekal dan abadi untuk selama hidup. Hanya kematian sajalah hendaknya satu-satunya sebab yang menjadi alasan bagi berpisahnya laki-laki dan wanita yang sudah menjadi satu kesatuan sebagai suami istri. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perceraian atau talak merupakan berakhirnya hubungan suami istri dengan kata-kata tertentu yang bermakna memutuskan tali perkawinan serta mempunyai akibat bagi suami istri tersebut.

2. Dasar Hukum Perceraian

Tentang hukum perceraian ini para ahli fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan hukum perceraian. Pendapat yang paling benar di antara semua itu adalah yang menyatakan bahwa perceraian itu “terlarang”, kecuali karena alasan yang benar. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah golongan Hanafi dan Hambali. Alasannya yaitu:

ادَمدَ دَضدَوادِهلُْدَ دَعااللهاًدَ دَصادِاللهارُللْىرُضادَ ادَل دَق

:

اظٍاا دَ لْ دِ اظٍاأقَّودَذاقَّ رُ ارُا دَندَ دَا

ا

Rasulullah saw. bersabda: “Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka

merasai dan bercerai.” (Maksudnya: suka kawin dan cerai).

(31)

19

tidak halal bercerai, kecuali karena darurat. Darurat yang membolehkan cerai yaitu bila suami meragukan kebersihan tingkah laku istri, atau sudah tidak memiliki cinta dengan suami. Tetapi jika tidak ada alasan apapun berarti kufur terhadap nikmat Allah dan jahat kepada istri, maka karena itu dibenci dan terlarang.

Golongan Hambali menjelaskan secara terperinci tentang hukum talak dalam Islam adalah wajib, haram, mubah dan sunnah (Thalib, 1993:99): a. Talak wajib

Hukumnya talak wajib ada dua macam yaitu pertama talak yang dijatuhkan oleh hakam (penengah) karena perpecahan antara suami istri sudah sedemikian rupa dan menurut hakam talaklah jalan keluar yang paling baik sebagai upaya penyelesaian perselisihan antara suami istri (Sabiq, 1980:9).

Kedua, talak wajib dijatuhkan oleh hakimketika suami bersumpah illa‟

dan telah berlalu empat bulan tetapi suami tidak mau kembali kepada istrinya dengan membayar kafarah sumpah lebih dahulu dan istri akan mendapatkan madharat (Supriatna, 2009:24). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah: 226-227

























(32)

20

226. kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

227. dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

b. Talak sunnat

Talak sunnat yaitu dikarenakan istri mengabaikan kewajiban kepada Allah, seperti shalat dan sebagainya padahal suami tidak mampu memaksanya agar istri menjalankan kewajibannya atau istri kurang rasa malunya. Dalam hal keadaan seperti ini suami tidak salah untuk bertindak keras kepada istrinya, agar ia mau menebus dirinya dengan mengembalikan maharnya untuk bercerai. Sesuai dengan firman Allah SWT yang terdapat dalam Q.S An-Nisa:19

























































































ا

(33)

21

Hukumnya sunnat yaitu jika suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkah), atau perempuan tidak menjaga kehoramatan diri (Rasjid, 1986:402).

c. Haram

Yaitu jika dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan,sedangkan istri dalam keadaan suci atau keadaan haid tetapi pada masa suci tersebut istri sudah digauli (Saleh, 2008:320). Diharamkan karena merugikan bagi suami dan istri, dan tidak adanya kemashlatan yang mau dicapai dengan perbuatan talak itu. Jadi talaknya haram, seperti haramnya merusakkan harta benda (Sabiq, 1990:10). Sesuai dengan sabda Rasulullah saw sebagai berikut:

ادَ اأادَردِاا دَلاادَوادَ ادَردَاادَلاا ادَمقَّ دَضادَوادِهلُْدَ دَعارُااأاًدَ دَصادِااأارُلالْىرُضادَ ادَلا دَق

ا

Rasulullah saw bersabda: “Tidak (boleh) berbuat membahayakan dan tidak

(boleh) membalas dengan bahaya.”

d. Makruh

Yaitu hukum asal dari talak (Rasjid, 1986:403). Jika suami menjatuhkan talak kepada istri yang salehah dan berakhlak yang baik, karena hal yang demikian dapat mengakibatkan istri dan anak terlantar serta akan menimbulkan kemadharatan. Atas dasar alasan ini yang menjadikan hukum talak menjadi makruh.

Dalam riwayat lain dikatakan talak serupa ini dibenci

(34)

22

Nabi saw bersabda: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

3. Bentuk-Bentuk Perceraian

Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami istri atau yang disebut dengan perceraian. Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan sebagai berikut:

a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami istri. Dengan kematian ini dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan. Walaupun dengan kematian, hubungan suami istri tidak dimungkinkan disambung lagi, namun bagi istri yamg suaminya telah meninggal tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain sebelum masa iddahnya telah habis.

b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut talaq)اا اأ). Talaq adalah perbuatan yang halal tapi paling dibenci oleh Allah swt, hukum talaq lebih terperinci sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.

(35)

23

231. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Diantara bentuk-bentuk perceraian (talak) adalah sebagai berikut: 1) Perceraian ditinjau dari segi boleh tidaknya suami kembali kepada istri

setelah ditalak.

(a) Talak Raj‟I yaitu talak dimana suami masih memiliki hak untuk

kembali kepada istrinya (rujuk) sepanjang istri dalam masa iddah, baik istri bersedia dirujuk maupun tidak tanpa akad nikah baru (Wasman, 2011:92).

(b) Talak Ba‟in adalah talak yang tidak diberikan hak kepada suami

(36)

24

kepada mantan istrinya, harus dilakukan dengan akad nikah yang

baru yang memenuhi unsur dan syarat pernikahan. Talak ba‟in

menghilangkan tali ikatan suami istri.

2) Bentuk perceraian yang ditinjau dari waktu ikrar talak sebagai berikut: (a) Talak Sunni adalah talak yang sesuai dengan perintah Allah SWT

dan Rasulullah SAW, yaitu talak yang dilakukan ketika istri dalam keadaan suci dan belum disetubuhi kemudian dibiarkan sampai selesai menjalankan masa iddahnya (Wasman, 2011:95). (b) Talak Bid‟I adalah talak yang dilarang dan menyalahi ketentuan

agama, yaitu seperti mentalak tiga kali secara terpisah-pisah dalam satu tempat atau satu waktu, atau juga talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci namun sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (Wasman1, 2011:96).

3) Bentuk perceraian ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya.

(a) Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan lisan di hadapan istrinya dan istri mendengarkan secara langsung ucapan suaminya itu.

(37)

25

dan maksud dari tulisan tersebut. Menurut Sayyid Sabiq syarat sah talak secara tertulis bahwa tulisan harus jelas, tegas dan nyata ditunjukkan oleh suami terhadap istri secara khusus.

(c) Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan oleh suami yang tuna wicara dalam bentuk isyarat, sebab isyarat baginya sama dengan bicara yang dapat menjatuhkan talak, sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan. Para fuqaha mensyaratkan bahwa isyarat sah bagi tuna wicara.

(d) Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada istri melalui perantara orang lain sebagai utusan. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami yang menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak tersebut (Sabiq, 1980:27).

c. Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan sedangkan suami tidak berkehendak. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu. Putus perkawinan dengan cara ini disebut khulu‟(ع اأ(. Hukumnya khulu‟ menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah.

(38)

26









































































































ا

229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.

d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan atau pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh) ط اأ)(Syarifuddin, 2006:197).

(39)

27

Aisyah Radiyallahu „anhu berkata: Barirah disuruh memilih untuk melanjutkan kekeluargaan dengan suaminya atau tidak ketika ia merdeka. Muttafaq Alaihi dalam hadits panjang. Menurut riwayat Muslim tentang hadits Barirah bahwa suaminya adalah seorang budak. Menurut riwayat lain, suaminya orang merdeka. Namun yang

pertama lebih kuat Ibnu Abbas Radiyallahu „anhu riwayat Bukhari

membenarkan bahwa ia adalah seorang budak”. (Tim Pustaka Hidayah, 2008:1035).

Terdapat beberapa hal yang menyebabkan hubungan suami istri yang dihalalkan oleh agama tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan

hubungan perkawinan itu secara hukum syara‟. Terhentinya hubungan

perkawinan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk antara lain sebagai berikut: a. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan istrinya

dengan ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri bila si suami telah membayar kaffarah. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebut zhihar ( ا ه اأ). Hukumnya zhihar adalah haram sesuai dengan firman Allah swt Q.S Al-Mujadilah:2



















































(40)

28

2. orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

b. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia membayar kaffarah atas sumpahnya itu; namun perkawinan tetap utuh. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk kini disebut ila‟. Hukumnya ila‟ adalah boleh atau mubah.Secara terperinci ada dua macam hukum ila‟ yaitu hukum ukhrawi yaitu berdosa jika tidak kembali kepada istrinya, dan hukum duniawi yaitu perceraian setelah empat bulan menunggu sejak mengucapila‟ (Supriatna, 2009:36).

Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur‟an Q.S Al-Baqarah:226-227





































ا

226. kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 227.dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka

Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

(41)

29

li‟an dan perceraian di muka hakim. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini disebutli‟an (Syarifuddin, 2006:198).

Dasar hukumnya adalah Al-Qur‟an Q.S An-Nur:6-10

























6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.

7. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta[1030].

8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.

9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.

10. dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan).

4. Sebab-Sebab Terjadinya Talaq (Putusnya Perkawinan)

(42)

30

akan terjadi. Akan tetapi, Allah menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan menghadapi kemelut dari tiap penyebab tersebut agar tidak sampai terjadi perceraian.Sebab-sebab terjadinya talak atau perceraian adalah sebagai berikut:

a. Nusyuz Istri

Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti meninggi atau terangkat. Secara definitif nusyuzdiartikan dengan kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya (Syarifuddin, 2006:191).

Nusyuzmenjadi awal penyebab perceraian karena istri yang demikian telah lalai akan kewajiban dalam rumah tangga atas kehidupan suami dan istri. Atas perbuatan itulah pelaku mendapat ancaman diantaranya gugur haknya sebagai istri dalam masa nusyuz tersebut. Nusyuz itu haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui

Al-Qur‟an dan Hadits. Allah menetapkan beberapa cara menghadapi

kemungkinan nusyuznya seorang istri dalam Q.S An-Nisa:34

































(43)

31











































ا

34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

b. Nusyuz suami

Nusyuz suami yaitu pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istri. Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya, baik yang bersifat materi atau nafaqah

dan atau yang bersifat non materi di antaranya mu‟asyarah bi al-ma‟ruf

yaitu menggauli istrinya dengan baik.

(44)

32

Nusyuz suami merupakan salah satu penyebab perceraian karena pihak istri dirugikan dan jelas di sini keharmonisan rumah tangga tidak akan terwujud dan mengarah pada perceraian. Adapun tindakan istri apabila menemukan pada suaminya sifat nusyuz, dijelaskan oleh Allah dalam Q.S An-Nisa:128





















































































ا

128. dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

c. Syiqaq

Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya dihubungkan kepada suami istri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi antara suami dan istri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya. Syiqaq ini timbul apabila suami atau istri atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban yang mesti dipikulnya.

(45)

33

keluarga seperti ini Allah swt memberikan petunjuk untuk menyelesaikanny. Hal ini terdapat dalam firman Allah swt Q.S AN-Nisa:35

























































ا

35. dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Yang dimaksud dengan hakam dalam ayat tersebut adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut 5. Akibat Perceraian

Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya sebagai akibat dari perceraian tersebut antara lain:

a. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah, tidak boleh memandang apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaiman yang berlaku antara dua orang yang saling asing. Dengan kata lain mengembalikan status semula yang berarti haram ketika masih bergaul.

(46)

34

jumlah mahar tidak ditentukan, tidak wajib suami memberi mahar, namun diimbangi dengan suatu pemberian yang disebut mut‟ah. Mengenai hukum

mut‟ah sendiri berbeda pendapat antara golongan Zahiriyah dan golongan ulama Malikiyah.Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mut‟ah itu hukumnya sunnah. Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa mut‟ah itu wajib, dasar wajibnya adalah Q.S Al-Baqarah:241





















ا

241. kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ahmenurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.

c. Melunasi hutang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa perkawinan, baik dalam bentuk mahar atau nafaqah, yang menurut sebagian ulama wajib dilakukannya bila pada waktunya didak dapat membayarnya. Begitu pula mahar yang belum dibayar atau dilunasinya, harus dilunasi setelah bercerai.

d. Berlaku ketentuaniddah atas istri yang dicerai. Iddah berasal dari kata

(47)

35

Dasar hukum „iddah sendiri telah diatur dalam Q.S Al-Baqarah:228 dan

234, Ath-Thalaq:4(Supriatna, 2009:68).

e. Hadhanah yaitu pemeliharaan terhadap anak. Secara bahasa hadhanah

berarti erat, secara istilah berarti memelihara, mengasuh, mendidik anak-anak yang masih kecil untuk menjaga kepentingannya dan melindunginya dari bahaya yang mengancamnya karena dia belum bisa berdiri sendiri. Dasar ajaran tentang hadhanah adalah Q.S An-Nisa:9



































ا

9. dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.

B. Perceraian Menurut Perundang-undangan 1. Pengertian Perceraian

(48)

36

dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan keputusan pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama.

Dalam KHI juga disebutkan tentang putusnya perkawinan pada pasal 113 yaitu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kemudian pada pasal 114 yaitu bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Dilanjutkan pada pasal 115 yaitu disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Menurut PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UUP No. 1 tahun 1974 dalam pasal 18 disebutkan bahwa perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.

2. Sebab dan Alasan Perceraian

(49)

37

Sedangkan untuk alasan perceraian dalam KHI terdapat pasal 116, perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Alasan perceraian yang terdapat pada PP No. 9 tahun 1975 diatur dalam pasal 19 yang berbunyi bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, pemadat, dan sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

(50)

38

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

3. Tata Cara Perceraian

Tata cara perceraian diatur di dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 39 dan pasal 40. Dalam pasal 39 disebutkan bahwa:

a) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

b) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antar suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. c) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam

peraturan perundangan tersendiri.

Selanjutnya dalam pasal 40 disebutkan sebagai berikut: a) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan

b) Tata cara menjalankan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri

(51)

39

Pasal 131 menjelaskan secara terperinci tentang tata cara perceraian yaitu sebagai berikut:

a) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.

b) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan, untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup dalam rumah tangga. Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.

c) Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya.

d) Bila suami tidak mengikrarkan talak dalam tempo enam bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikar talak baginya mempunyai kekuatan hukm yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang telah utuh, e) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama

membuatpenetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian baik bekas suami dan istri.

Pasal 132 berisi tentang tata cara gugatan yang dilakukan oleh pihak istri. Pasal 133 berisi tentang gugatan perceraian berdasarkan alasan pasal 116 huruf b. Pasal 134 tentang tata cara gugatan perceraian berdasarkan pasal 116 huruf f. Pasal 135 dijelaskan tentang gugatan perceraian yang dimaksud dalam pasal 116 huruf c.

Pasal 136 berisikan tentang hal-hal sebagai berikut:

(52)

40

b) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:

1. menentukan nafkah yang harus ditanggungkan oleh suami. 2. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin

terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atas barang-barang yang menjadi hak milik suami atas barang-barang yang menjadi hak istri.

Sedangkan pasal 137 yaitu gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 138 berisi tentang aturan tempat tinggal baik penggugat ataupun tergugat. Untuk tata cara pemeriksaan gugatan dan sidang perceraian diatur dalam pasal 141, 142, 143, 144 dan 145. Pembacaan putusan dan penjelasan tentang salinan putusan diatur dalam pasal 146, 147, dan pasal 148.

Gambar

Tabel 3.1Wilayah Yurisdiksi atau Wilayah Hukum Pengadilan Agama Salatiga
Tabel 3.2Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Salatiga sejak berdirinya sampai dengan sekarang
Tabel 4.1Perbedaan Akibat Hukum Perceraian karena Fasakh dan Perceraian karena Talaq ba’in Sughro

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi sumber dan triangulasi teknik dan triangulasi waktu, yaitu menggunakan lebih dari satu informan dan teknik

Karya musik baru berjudul Pencon Kekek merupakan sebuah karya yang terinspirasi dari gending tayub Walang Kekek yang populer di Kabupaten Grobogan dengan

Peran guru PAI berikutnya sebagai fasilitator dalam membentuk akhlak mulia siswa di SMAN 1 Sutojayan Blitar adalah mengadakan kegiatan yang bisa memudahkan siswa untuk

Menganalisis hubungan antara tingkat dinamika kelompok dengan tingkat kemandirian kelompok pada Kelompok tani jeruk Limau Kahade III dan Kelompok Kerunse di Desa

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pertumbuhan dan

Gambar 4.7 Persentase Tarif yang Dibayar Penumpang Minibus L-300 Koperasi APS pada Hari Kerja

Dengan selesainya penelitian ini, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Padang akan dapat memberikan informasi yang dapat dipakai sebagai bagian upaya penting

Presenta se = 76% Pengaruh tergolong sedang Besarnya pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) terhadap hasil belajar Fiqih Peserta didik