• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI PERCERAIAN A Perceraian menurut Fiqh

B. Perceraian Menurut Perundang-undangan 1.Pengertian Perceraian 1.Pengertian Perceraian





ا

9. dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.

B. Perceraian Menurut Perundang-undangan 1. Pengertian Perceraian

Dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 38 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena a. kematian, b. perceraian dan c. atas putusan pengadilan.Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia. Sedangkan untuk sebab perceraian, UUP memberikan aturan-aturan yang telah baku, terperinci,

36

dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan keputusan pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama.

Dalam KHI juga disebutkan tentang putusnya perkawinan pada pasal 113 yaitu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kemudian pada pasal 114 yaitu bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Dilanjutkan pada pasal 115 yaitu disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Menurut PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UUP No. 1 tahun 1974 dalam pasal 18 disebutkan bahwa perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.

2. Sebab dan Alasan Perceraian

UUP No. 1 tahun 1974 dan KHI memiliki persamaan dari hal sebab putusnya perkawinan, hanya saja di dalam KHI alasan-alasan perceraian lebih dijelaskan secara terperinci. UUP No. 1 tahun 1974 pasal 38 dan dalam KHI Pasal 113 sebab putusnya perkawinan ada tiga yaitu kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan.

37

Sedangkan untuk alasan perceraian dalam KHI terdapat pasal 116, perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Alasan perceraian yang terdapat pada PP No. 9 tahun 1975 diatur dalam pasal 19 yang berbunyi bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, pemadat, dan sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

38

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

3. Tata Cara Perceraian

Tata cara perceraian diatur di dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 39 dan pasal 40. Dalam pasal 39 disebutkan bahwa:

a) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak

b) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antar suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. c) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam

peraturan perundangan tersendiri.

Selanjutnya dalam pasal 40 disebutkan sebagai berikut: a) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan

b) Tata cara menjalankan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri

Dalam KHI diatur tentang tata cara perceraian di bagian kedua dari pasal 129 sampai dengan pasal 148. Pasal 129 menyebutkan bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan atau tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri atau disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 130 menyebutkan bahwa Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.

39

Pasal 131 menjelaskan secara terperinci tentang tata cara perceraian yaitu sebagai berikut:

a) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.

b) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan, untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup dalam rumah tangga. Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.

c) Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya.

d) Bila suami tidak mengikrarkan talak dalam tempo enam bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikar talak baginya mempunyai kekuatan hukm yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang telah utuh, e) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama

membuatpenetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian baik bekas suami dan istri.

Pasal 132 berisi tentang tata cara gugatan yang dilakukan oleh pihak istri. Pasal 133 berisi tentang gugatan perceraian berdasarkan alasan pasal 116 huruf b. Pasal 134 tentang tata cara gugatan perceraian berdasarkan pasal 116 huruf f. Pasal 135 dijelaskan tentang gugatan perceraian yang dimaksud dalam pasal 116 huruf c.

Pasal 136 berisikan tentang hal-hal sebagai berikut:

a) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

40

b) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:

1. menentukan nafkah yang harus ditanggungkan oleh suami. 2. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin

terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atas barang-barang yang menjadi hak milik suami atas barang-barang yang menjadi hak istri.

Sedangkan pasal 137 yaitu gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 138 berisi tentang aturan tempat tinggal baik penggugat ataupun tergugat. Untuk tata cara pemeriksaan gugatan dan sidang perceraian diatur dalam pasal 141, 142, 143, 144 dan 145. Pembacaan putusan dan penjelasan tentang salinan putusan diatur dalam pasal 146, 147, dan pasal 148.

Menurut pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 menjelaskan tentang perihal tata cara perceraian sebagai berikut seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Dilanjutkan pada pasal 15 bahwa Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dalam pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan

41

dengan maksud perceraian itu. Pasal 16 dan pasal 17 menjelaskan tentang ketentuan sidang di Pengadilan. Untuk gugatan perceraian dan jalannya sidang di Pengadilan diatur lebih terperinci pada pasal 20 sampai dengan pasal 36. 4. Akibat Perceraian

Ditinjau dari UUP No. 1 tahun 1974 pasal 41, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Ditinjau dari KHI BAB XVII bagian kesatu pasal 149 yaitu bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa

uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama

dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz

dan dalam keadaan tidak hamil.

c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila qobla al dukhul.

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

42

Selanjutnya menurut PP No. 9 tahun 1975 pasal 24 ayat 2, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat:

a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami

b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak

c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang-barang-barang yang menjadi hak istri.

C. Fasakh

1. Fasakh menurut Fiqh

Putusnya perkawinan selain disebabkan karena talak, juga dapat disebabkan karena fasakh. Meskipun talak dan fasakh sama-sama dapat menyebabkan putusnya suatu perkawinan namun latar belakang penyebabnya dan dampak hukum yang ditimbulkan berbeda.

a. Pengertian Fasakh

Secara bahasa (etimologis), fasakh berasal dari kata al-faskh yang berarti batal atau fasid atau rusak. Sedangkan secara definitif konseptual (terminologis) adalah mencabut hukum dari asalnya hingga seakan-akan tidak pernah terjadi(Supriatna, 2009:60). Sebagaimana yang diutarakan oleh Wahbah az Zuhaili, fasakh berarti:

43

اادِةدَ لْوّساأدَوادِدلْوّساأادَنلُْدَبادِدأدَوّساأادِط دَبدَ ا لْندَعادِدأدَردِفلْلاأارُ دَبدَطدُِدِ واةًقلَْدِرلْ دَترُغأدَررُ لْادَأ

(

)

ا امٌعلْىدَقدَو

قلَْدِردَطاندَعلْودَ ارُهدَطلْ دَنرُ أدَوقَّساأارُ دِ لْ دَُدَفادَثادِ لْ دَُلْ دَأدَ دَردِا

(

ب

الٍْدِتقَّاأدَواةًقدِادَلااٍدِ أدَ الٍْدِتّادَأادِثأدَ لْادَ دِلْدَأدِودَ ادِء دَُلْش لْلْدَأ

اقَّردِ دَتلْطدَُدِ ارُندَ دِ رَُ دَلادَةقَُّدِ لْوقَّساأادِةدَ دِبأّراأاًدَا ا لْ دَ دَ

“batal, putus, dan lepasnya ikatan perkawinan antara suami dan istri

yang disebabkan oleh (a) terjadinya kerusakan atau cacat yang terjadi pada akad nikah itu sendiri maupun oleh (b) hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang datang kemudian yag menyebabkan ikatan perkawinan

itu tidak dapat dilanjutkan”. (Az Zuhaili, 1989:349).

Pendapat Imam Muhammad Abu Zahroh dalam kitabnyaAhwal Al-Syakhshiyyahmenyebutkan:

ادِقُدِ لْ دَ رُ أدَردِ رُتلْضدِأادَكدِاأدَذا لْن دِلِدَ دَنرُ ةً دِا دَلاادَثادِ دَ رَُلْودَ اظٍةدَفلْورُرلْ دَ رُرلُْدَ دَُدِ ادَةدَ لُْدِبقَّ اأارُ لْطدَ ادَأ

اةً دِط دَبادَ لْ دَ لْاأادَ دَ دَ اٌدِذقَّاأادَ لْ دَ لْاأارُ دِا دَ رُ اٍدِتاأظٍءلٍْدَشادِةدَفادِرلْ دَ دِاامٌةدَ لُْدِتدَ دَىرُ لْو دِدأدَوقَّسادَأ

Artinya:

“fasakh hakikatnya adalah sesuatu yang diketahui atau terjadi

belakangan, bahwa terdapat sebab yang menghalangi langgengnya pernikahan, atau merupakan konsekuensi dari diketahuinya sesuatu yang mengiringi akad yang menjadikan akad tersebut tidak sah” (Abu Zahroh, 1957:347).

Dari definisi-definisi di atas, penulis memiliki kesimpulan tentang pengertian fasakh. Fasakh dalam perkawinan yaitu membatalkansuatu hubungan ikatan perkawinan antara suami dan istri karena tidak terpenuhinya syarat-syarat dan rukun ketika berlangsung akad nikah. Fasakh juga bisa

44

terjadi karena hal-hal yang lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.

b. Sebab-Sebab Terjadinya Fasakh Dalam Suatu Perkawinan

Menurut fiqh suatu pernikahan yang sudah terjalin dengan sah dapat mengalami fasakh atau rusak tanpa harus adanya keputusan Hakim dengan dua sebab utama yaitu sebagai berikut:

1) Rusaknya atau adanya cacat ketika akad nikah dilangsungkan.

Rusaknya akad pernikahan antara suami istri misalnya disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

(a) Apabila setelah perkawinan berlangsung di kemudian hari diketahui bahwa ternyata antara suami istri adalah masih muhrim. Menurut para fuqaha, ketika keduanya mengetahui bahwa mereka ternyata masih muhrim maka disaat itu juga akad nikah (perkawinan) mereka batal dengan sendirinya tanpa perlu mengcapkan ikarar talak dan juga tanpa adanya putusan hakim. (b) Apabila wali (ayah atau kakek) menikahkan anak laki-laki atau

perempuan yang masih di bawah umur maka setelah pernikahan terjadi dan keduanya sudah menjadi dewasa, maka keduanya berhak secara bebas untuk mengakhiri pernikahan tersebut.

45

(a) Setelah pernikahan (rumah tangga) berlangsung, salah satu dari suami istri itu murtad (keluar dari agama Islam) dan pernikahannya batal dengan sendirinya.

(b) Jika pasangan suami istri dahulu menganut agama non Islam kemudian istri masuk Islam maka pernikahan batal karena wanita muslimah tidak boleh nikah dengan lelaki musyrik. Apabila suami masuk Islam dan istri menganut non Islam maka pernikahan tidak batal sebab lelaki muslim boleh nikah dengan wanita ahlulkitab

(Supriatna, 2009:60). c. Bentuk-Bentuk Fasakh

Bentuk-bentuk fasakh yang terjadi dengan sendirinya:

1) Fasakh terjadi karena rusak atau cacatnya akad pernikahan yang penyebabnya diketahui setelah pernikahan berlangsung.

2) Fasakh terjadi karena istri dimerdekakan dari status budak sedangkan suaminya tetap berstatus budak dan istri berhak untuk fasakh.

3) Fasakh yang terjadi karena perkawinan yang dilakukannya adalah

nikah mut‟ah.

4) Fasakh yang terjadi karena menikahi wanita yang masih dalam iddah. Bentuk-bentuk fasakh yang memerlukan campur tangan hakim atau Pengadilan antara lain adalah:

46

1) Fasakh yang disebabkan si istri merasa tidak sekufu (setara, sepadan) dengan suaminya.

2) Fasakh yang disebabkan karena li‟an yang berarti saling melaknat. Secara istilah adalah kesaksian-kesaksian yang diperkuat dengan sumpah, yang secara timbal balik dilakukan oleh suami atau istri menuduh istrinya berzina.

3) Fasakh yang terjadi karena istri masih musyrik dan tidak mau masuk Islam sedangkan istri menuntut perceraian dari suami.

4) Fasakh akibat salah satu dari suami atau istri menderita penyakit gila (Supriatna, 2009:62).

d. Perbedaan antara Fasakh dengan Talak

Sebagaimana telah sedikit disinggung, antara talak dan fasakh adalah sama-sama dapat memutuskan atau mengakhiri sebuah pernikahan namun antara keduanya memiliki beberapa perbedaan antara lain sebagai berikut:

Pertama, dari segi hakikatnya. Fasakh berarti pembatalan akad nikah serta menghilangkan seluruh akibat pernikahan secara otomatis ataupun sekaligus. Talak artinya upaya mengakhiri suatu pernikahan (rumah tangga) dan seluruh akibat-akibatnya serta baru habis apabila talak yang dijatuhkan itu adalah talak tiga.

Kedua, dari segi penyebabnya. Fasakh adakalanya disebabkan oleh adanya cacat pada akad nikah ketika pernikahan dilangsungkan atau

47

disebabkan oleh munculnya hal-hal tertentu yang menyebabkan pernikahan tersebut tidak bisa dilanjutan. Talak merupakan hak suami yang dipergunakan atas kehendak sendiri sementara akad nikah itu sendiri sama sekali tidak ada akadnya.

Ketiga, dari segi ada atau tidaknya kehendak untuk melepaskan ikatan pernikahan. Unsur kehendak dalam fasakh pada umumnya tidak ada kecuali dalam kasus khiyar al-bulug. Dalam talak, unsur kehendak untuk menjatuhkan talak dengan tujuan untuk mengakhiri pernikahan sangat menentukan.

Keempat, dari segi akibat atau dampak hukum, Putusnya pernikahan akibat fasakh tidak mengurangi bilangan talak. Sedangkan putusnya pernikahan akibat talak yang membawa akibat berkurangnya bilangan talak yang dimiliki suami (Supriatna, 2009:64).

2. Fasakh Menurut Perundang-undangan.

Undang-undang di Indonesia juga mengatur tentang batalnya perkawinan baik UUP No. 1 tahun 1974, KHI maupun PP No. 9 tahun 1975. a. Pengertian Fasakh

Dalam BAB VI Pasal 37 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan.

48

Penulis tidak menemukan definisi pembatalan perkawinan dari PP ini, namun dari pasal tersebut penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang batal karena sebab-sebab tertentu yang pembatalannya harus diajukan ke Pengadilan dan harus melalui keputusan sah Pengadilan.

Dalam UU perkawinan tidak disebutkan tentang istilah fasakh

melainkan pembatalan perkawinan. Pada BAB IV Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pengertian kata dapat pada pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal yaitu tergantung apakah dengan sebab-sebab yang nantinya terjadi itu, menurut hukum agamanya masing-masing itu tidak menentukan lain.

Sebagaimana dalam PP No. 9 tahun 1975 dan UU No. 1 tahun 1974, di dalam KHI juga tidak disebutkan sama sekali tentang istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Dalam KHI juga tidak diberikan pengertian secara rinci mengenai definisi pembatalan perkawinan, tetapi dari penjelasan-penjelasan pada BAB XI pasal 70 KHI, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami dan istri sesudah dilangsungkan akad nikah yang disebabkan karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi. Apabila setelah akad ditemukan rukun

49

yang tidak terpenuhi maka pernikahan tersebut tidak hanya batal tetapi tidak sah.

b. Sebab-Sebab Fasakh

Di dalam UU No. 1 tahun 1974 menjelaskan tentang sebab-sebab pembatalan nikah dan berhubungan dengan pembatalan nikah. Pada pasal 22 dijelaskan perkawinan dapat batal apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat (pada pasal 6-12) untuk melangsungkan perkawinan. Maksud dari pasal ini suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh Pengadilan apabila terbukti syarat dari para pihak tidak terpenuhi. Pasal 26 dan pasal 27 menjelaskan tentang sebab-sebab dibatalkannya suatu perkawinan. Pasal 26 ayat 1 menjelaskan tentang perkawinan dapat batal karena tiga hal. Pertama, perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah yang tidak resmi dan berwenang. Kedua, Wali dalam nikah tidak sah atau di luar nasab. Ketiga, perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi. Pembatalan dapat dimintakan oleh keluarga garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa, suami atau istri.

Pasal 26 ayat 2 menjelaskan tentang gugurnya hak untuk membatalkan oleh suami atau istri yang terdapat pada pasal 26 ayat 1. Ada dua hal yang menyebabkan gugur hak pembatalan nikah yaitu apabila pasangan suami dan istri telah hidup bersama sebagai suami istri. Kedua, memiliki akte

50

perkawinan yang dibuat pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang sehingga perkawinan tersebut harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27 ayat 1 menyebutkan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Hak pembatalan nikah akan gugur termuat dalam pasal 27 ayat 2 yaitu apabila terdapat tiga hal, pertama ancaman berhenti. Kedua yang bersalah sangka menyadari keadaannya. Ketiga, dalam jangka waktu enam bulan pasangan suami istri telah hidup bersama dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan pembatalan pernikahan.

Di dalam KHI juga dijelaskan tentang pembatalan perkawinan. Pada bab XI pasal 70 menyebutkan sebab-sebab pembatalan nikah. Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila yang pertama suami melakukan perkawinan sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj‟i. Kedua seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li‟annya. Ketiga seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah lagi dengan pria lain kemudian bercerai lagi dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya. Kemudian keempatperkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungandarah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yangmenghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No. 1 tahun 1974, yaitu:

51

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara neneknya.

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.

4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

Kelima yaitu istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

c. Akibat difasakhnya Suatu Perkawinan

Akibat dari pembatalan perkawinan dapat kita temui dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 28 yaitu batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.Kedua putusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, suami atau istri yang

bertindak dengan i‟tikad baik kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan

perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu, orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk anak-anak dan suami atau istri yaitu sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan i‟tikad baik sebelum

keputusan tentang pembatalan mempunyai hukum tetap.

Dalam pasal 76 KHI menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan suatu hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Selain itu juga disebutkan dalam pasal 75 KHI bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut kepada perkawinan yang batal

52

karena salah satu suami atau istri murtad, anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Selanjutnya pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh

hak-hak dengan beri‟tikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan

mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 3. Fasakh Sebagai Alasan Perceraian

Di dalam perundangan Islam maupun perundangan umum, fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhi syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan