• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan - EUFEMIA PADA HALAMAN DEPAN SURAT KABAR SUARA MERDEKA EDISI MARET – APRIL 2014 - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan - EUFEMIA PADA HALAMAN DEPAN SURAT KABAR SUARA MERDEKA EDISI MARET – APRIL 2014 - repository perpustakaan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian Relevan

Penelitian yang berjudul Eufemia Halaman Depan dalam Surat Kabar Suara Merdeka Edisi Maret-April 2014 memiliki penelitian yang relevan. Penelitian relevan ini digunakan peneliti untuk memberikan referensi atau acuan, guna membedakan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan ditulis agar tidak disangka plagiat. Penelitian yang relevan tersebut yakni penelitian yang dilakukan oleh Desi Ardianingsih mahasiswa Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMP. Skripsi Desi Ardianingsih (2008) dengan judul Eufemisme dalam Rubrik Seksologi dan Ginekologi Majalah Wanita. Skripsi yang akan diteliti oleh peneliti ini memiliki perbedaan dan persamaan dengan skripsi sebelumnya. Perbedaan dan persamaan tersebut antara lain sebagai berikut.

(2)

10

eufemisme dalam rubrik seksologi dan ginekologi Majalah Wanita (Kartini dan Femina) dan halaman depan surat kabar Suara Merdekasama-sama bertujuan menggantikan bentuk gramatik (kata, frasa, klausa) yang mengandung konotasi tidak baik.Penelitian ini tidak menggunakan referensi eufemisme yang mencakup keadaan, aktivitas, bagian tubuh, orang, benda dan penyakit sedangkan pada penelitian sebelumnya dalam rubrik seksologi dan ginekologi majalah menggunakan referensi eufemisme.

B. Bahasa

1. Pengertian Bahasa

(3)

11

2. Fungsi Bahasa

Bahasa memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan manusia,terutama fungsi komunikatif. Bahasa dapat menampilkan fungsi secara bervariatif dalam peristiwa komunikasi. Secara umum, bahasa dapat digunakan untuk mengekspresikan emosi. Selain itu, bahasa digunakan untuk menginformasikan suatu fakta, mempengaruhi orang lain, dan sebagainya. Berkaitan dengan fungsi bahasa dalam komunikasi, Keraf (2004: 3) mengungkapkan bahwa bahasa mempunyai empat fungsi yaitu: (a) sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, (b) sebagai alat komunikasi, (c) sebagai alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan (d) sebagai alat mengadakan kontrol sosial. Berikut uraian dari keempat fungsi bahasa tersebut:

a. Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri. Ekspresi diri berarti mengungkapkan segala hal yang dirasakan oleh pikiran dan perasaan manusia. Bahasa menyatakan secara terbuka segala yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antaralain untuk menarik perhatian orang lain terhadap kita, yaitu digunakan sebagai alat untuk mencari perhatian orang lain terhadap hal-hal yang sedang dirasakan. Selain itu bahasa untuk menyatakan ekspresi diri juga bertujuan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi. Artinya bahasa dapat mengontrol emosi yang terjadi pada diri manusia.

(4)

12

macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan penggunanya.

c. Sebagai alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Manusia dalam kehidupan bersosialisasi selalu membutuhkan eksistensi untuk diterima dan diakui oleh masyarakatnya. Pembentukan eksistensi itulah, manusia akan melakukan integrasi (pembaharuan) dan adaptasi (penyesuaian diri) dengan masyarakat. Pada proses integrasi dan adaptasi ini manusia selalu menggunakan bahasa sebagai perantaranya, dengan bahasa seorang anggota masyarakat akan mengenal dan belajar terhadap segala adat istiadat, tingkah laku dan tata krama masyarakatnya. Oleh karena itu, secara sosial kolektif bahasa mempunyai peran penting sebagai media untuk membentuk keharmonisan kehidupan masyarakat dalam proses integrasi dan adaptasi sosial.

d. Sebagai alat mengadakan kontrol sosial. Kontrol sosial itu sendiri adalah usaha untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan seseorang. Semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena diatur dengan mempergunakan bahasa. Tentunya keberhasilan seseorang dalam melakukan kontrol sosial sangat dipengaruhi oleh penggunaan bahasa yang tepat. Penggunaaan bahasa yang baik dan benar dapat mempengaruhi pikiran dan tindakan orang lain sesuai dengan apa yang diharapkan.

(5)

13

alat komunikasi, alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan alat mengadakan kontrol sosial antar manusia adalah untuk membedakan sopan tidaknya tuturan. Maka dari itu fungsi bahasa peneliti gunakan sebagai landasan teori.

3. Ragam Bahasa

Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu. Untuk situasi formal digunakan ragam bahasa yang disebut ragam baku atau ragam standar, untuk situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau ragam nonstandar. Berdasarkan sarana yang digunakan dapat dibedakan adanya ragam lisan dan ragam tulisan (Chaer, 2007: 56).Menurut Kridalaksana (2011: 206) ragam bahasa ialah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan. Berdasarkan pendapat di atas ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, serta medium pembicaraan.

(6)

14

C. Semantik

Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda yang berarti „tanda‟ atau „lambang‟. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti „menandai‟ atau „melambangkan‟. Kata semantik ini adalah istilah yang digunakan untuk bidang linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Dengan kata lain, bidang studi linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa (Chaer, 2013: 2). Makna dalam suatu bahasa merupakan objek kajian semantik. Menurut Palmer (dalam Fatimah 2008: 2-6) aspek makna dipertimbangkan dari fungsi dapat dibedakan atas aspek pengertian, aspek perasaan, aspek nada, dan aspek tujuan.

1. Aspek Pengertian

Aspek pengertian ini dapat dicapai apabila antara pembicara/ penulis dan lawan bicara berbahasa sama. Ketika berbicara kita mendengar lawan bicara menggunakan kata-kata yang mengandung ide atau pesan yang dimaksud.Pada suatu komunikasi tentu ada ragam lisan dan ragam tulis. Informasi atau apa yang diceritakan memiliki persoalan inti yang biasa disebut tema. Kita memahami tema di dalam informasi karena apa yang kita katakan atau apa yang kita dengar memiliki pengertian dan tema. Kita mengerti tema karena kita paham akan kata-kata yang melambangkan tema tersebut.

2. Aspek Perasaan

(7)

15

misalnya sedih, panas, dingin, gembira, jengkel. Pernyataan situasi yang berhubungan dengan aspek perasaan tersebut digunakan kata-kata yang sesuai dengan situasinya. Tidak akan muncul ekspresi „turut berduka cita‟ pada situasi gembira sebab ekspresi

tersebut slalu muncul pada situasi kesedihan. Kata-kata yang sesuai dengan makna perasaaan muncul dari pengalaman. Terkadang apa yang kita rasakan tanpa disadari keluar dari mulut kita yang diungkapkan dengan kata-kata yang melibatkan makna aspek perasaan.

3. Aspek Nada

Aspek nada adalah sikap pembicara terhadap lawan bicara atau dikatakan pula sikap penulis terhadap pembaca. Aspek nada ini melibatkan pembicara untuk memilih kata-kata yang sesuai dengan keadaan lawan bicara dan pembicaraan sendiri. Hubungan pembicara-pendengar akan menentukan sikap yang akan tercermin di dalam kata-kata yang digunakan. Aspek nada ini berhubungan pula dengan aspek perasaan, bila kita jengkel maka sikap kita akan berlainan dengan perasaan bergembira terhadap lawan bicara. Bila kita jengkel akan memilih aspek makna nada dengan meninggi, berbeda dengan aspek makna yang digunakan bila kita memerlukan sesuatu maka akan beriba-iba dengan nada merendah.

4. Aspek Tujuan

(8)

16

deklaratif, persuasif, imperatif, naratif, politis, dan paedagogis (pendidikan). Kita dapat melihat di antara makna aspek tujuan tersebut di dalam penyuluhan pemerintah tentang kesehatan, dapat ditinjau dari makna aspek deklaratif “Pemeliharaan

kesehatan dapat menunjang program pemerintah di dalam memelihara lingkungan”.

Makna aspek persuasif “Dengan pola makan empat sehat lima sempurna di setiap

kampung akan menjamin kesehatan masyarakat”.

D. Makna

1. Pengertian Makna

Kata makna sebagai istilah mengacu pada pengertian yang sangat luas. Adapun batasan pengertian makna dalam pembahasan ini, makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Berdasarkan batasan pengertian itu dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni (a) makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar, (b) penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, dan (c) perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti. Makna merupakan suatu konsep, pengertian, ide, atau gagasan yang terdapat dalam sebuah satuan ujaran, baik berpa kata ataupun gabungan kata. Makna yang dimiliki oleh sebuah kata juga bersifat tidak statis, akan tetapi makna itu mempunyai kemungkinan akan berubah.

2. Jenis Makna

(9)

17

referensial, (c) makna denotatif dan makna konotatif, (d) makna kata dan makna istilah, (e) makna konseptual dan makna asosiatif, (f) makna idiomatik dan peribahasa. Pada penelitian ini, peneliti membatasi teori tentang makna denotatif, makna konotatif dan makna emotif. Hanya ketiga makna itu yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini. Hubungan teori dengan penelitian ini adalah eufemia menggantikan makna konotatif. Makna konotatif juga digunakan untuk membahas rumusan masalah kedua.

a. Makna Denotatif

Chaer (2002: 65) menjelaskan makna denotatif yaitu makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya. Pateda (2010: 98) menjelaskan makna denotatif (denotative meaning) adalah makna kata atau kelompok kata didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa yang diterapi satuan bahasa itu secara tepat. Makna denotatif adalah makna polos, makna apa adanya. Sifatnya objektif, makna denotatif didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan pada konvensi tertentu. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat diambil simpulan bahwa makna denotatif adalah makna lugas atau makna apa adanya yang sesuai dengan hasil observasi.

b. Makna Konotatif

1) Pengertian Makna Konotatif

(10)

18

sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju, tidak setuju, senang, tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar.Di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Menurut Warriner (dalam Tarigan, 1985:59) konotasi adalah kesan-kesan yang bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata di samping batasan kamus atau definisi utamanya.

2) Jenis Makna Konotatif

Tarigan (1985:59) mengklasifikasikan makna konotatif menjadi dua jenis yaitu konotasi individual dan konotasi kolektif. Konotasi individual adalah nilai rasa yang hanya menonjolkan diri bagi orang perseorang. Konotasi kolektif adalah nilai rasa yang berlaku untuk para anggota sesuatu golongan atau masyarakat. Dari pengertian di atas maka peneliti menggunakan konotasi kolektif. Penelitian ini membatasi pada makna konotasi kolektif, karena makna kolektif lebih bersifat umum.

Konotasi kolektif diklasifikasikan menjadi tiga yakni konotasi baik, konotasi tidak baik, dan konotasi netral atau biasa. Konotasi baik mencakup konotasi tinggi dan konotasi ramah. Konotasi tidak baik mencakup konotasi berbahaya, konotasi tidak pantas, konotasi tidak enak, konotasi kasar, dan konotasi keras. Konotasi netral atau biasa mencakup konotasi bentuk sekolah, konotasi kanak-kanak, konotasi hipokoristik, dan konotasi bentuk nonsens. Dari ketiga macam konotasi tersebut peneliti menggunakan dua konotasi yakni konotasi baik dan konotasi tidak baik.

(11)

19

konotasi baik digunakan pada penelitian ini. Macam konotasi baik dan konotasi tidak baik yaitu sebagai berikut:

a) Konotasi Baik

1) Konotasi Tinggi

Kata-kata ekstra dan klasik lebih indah dan anggun terdengar oleh telinga umum. Kita tidak perlu heran bahwa kata-kata seperti itu mendapat konotasi atau nilai rasa tinggi. Di samping itu kata-kata asing pada umumnya menimbulkan anggapan rasa segan, terutama bila orang kurang atau sama sekali tidak memahami maknanya, lantas memperoleh nilai rasa tinggi pula. Kata-kata yang mengandung nilai rasa konotasi tinggi biasanya digunakan pada kalangan tertentu. Penggunaan kata yang bernilai rasa tinggi biasa digunakan pada masyarakat yang bermartabat lebih tinggi. Misalnya kata aktif, figur, harta, hadiah, dan fiktif.

2) Konotasi Ramah

(12)

20

b) Konotasi Tidak Baik

1) Konotasi Berbahaya

Konotasi berbahaya yakni salah satu jenis nilai rasa kolektif yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terutama yang bersifat magis. Pada saat tertentu dalam keadaan masyarakat ada kata-kata yang pengucapannya harus hati-hati agar tidak terjadi hal-hal yang mungkin mendatangkan mara bahaya. Misalnya, pada saat kita berjalan di dalam hutan maka sangat terlarang untuk menyebut kata ular karena mungkin nanti kita bisa bertemu dengan ular. Dalam hal ini, kata ular mempunyai konotasi berbahaya karena erat sekali dengan kepercayaan masyarakat kepada hal-hal yang bersifat magis. Untuk itu kita dapat menyebut ular dengan tali untuk menghindari mara bahaya.

2) Konotasi Tidak Pantas

Konotasi tidak pantas yakni salah satu jenis nilai rasa kolektif yang berkaitan erat dengan kelas sosial dalam masyarakat. Pemakaian atau pengucapan kata-kata yang mempunyai rasa tidak pantas dapat menyinggung perasaan lawan bicara atau objek pembicaraan. Hal tersebut jika pembicara mempunyai martabat lebih rendah daripada lawan bicara atau objek pembicaranya. Hal tersebut dapat terjadi jika pembicara pembicara mempunyai martabat lebih rendah daripada lawan bicara atau objek pembicaraannya. Misalnya kata pelacur diganti dengan tuna susila, kata pencuri diganti dengan panjang tangan.

3) Konotasi Tidak Enak

(13)

21

hubungan yang kurang baik. Hubungan yang kurang baik akan menimbulkan kata-kata yang keluar dari pembicara tidak enak. Pemakaian atau pengucapan kata-kata-kata-kata yang mempunyai nilai rasa tidak enak ini kurang baik untuk diungkapkan. Suatu kata yang keluar dari pembicara, ketika hubungan tersebut kurang baik jelas dianggap tidak sopan. Misalnya licik, hajar, ludes, keluyuran, dan jalang.

4) Konotasi Kasar

Konotasi kasar yakni salah satu jenis nilai rasa kolektif yang sering digunakan oleh rakyat jelata yang biasanya berasal dari suatu dialek. Ungkapan-ungkapan tersebut sering diganti karena dianggap kurang sopan apabila digunakan dalam pembicaraan dengan orang yang disegani. Pemakaian atau pengucapan kata-kata yang berkonotasi kasar dapat menyinggung lawan bicara atau objek pembicaaran. Hal ini dikarenakan individu yang satu dengan yang lain berbeda, ungkapan yang diterima individu yang lain. Suatu ungkapan dianggap sopan dan halus pada lingkungan tertentu belum tentu dianggap sopan pada lingkungan lain. Oleh karena itu, agar dapat diterima pada semua lingkungan harus menghindari ungkapan-ungkapan yang berkonotasi kasar. Misalnya kata susu yang merupakan kata umum (semua kalangan) tidak cocok jika objek pembicaraannya orang yang disegani.

5) Konotasi Keras

(14)

22

kaya dapat diganti Saudagar itu uangnya berpeti-peti.Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa konotasi yang bentuknya harus digantikan dengan bentuk eufemia yaitu konotasi berbahaya, konotasi tidak pantas, konotasi tidak enak, konotasi kasar, dan konotasi keras.

c. Makna Emotif

Makna emotif (Inggris:emotive meaning) adalah makna yang melibatkan perasaan (pembicara dan pendengar; penulis dan pembaca) ke arah yang positif. Makna ini berbeda dengan makna kognitif (denotatif) yang menunjukan adanya hubungan antara dunia konsep (reference) dengan kenyataan, makna emotif menunjuk sesuatu yang lain yang tidak sepenuhnya sama dengan yang terdapat dalam dunia kenyataan. Makna emotif di dalam bahasa Indonesia cenderung berbeda dengan makna konotatif; makna emotif cenderung mengacu kepada hal-hal (makna) yang positif, sedangkan makna konotatif cenderung mengacu kepada hal-hal (makna) yang negatif (Pateda, 2010:101). Menurut Shipley (dalam Pateda, 2010: 101) makna emotif adalah makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara mengenai apa yang dipikirkan atau dirasakan. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa makna emotif adalah makna yang timbul akibat adanya reaksi pembicara atau sikap pembicara yang cenderung mengacu pada hal-hal (makna) positif.

E. Eufemia

1. Nilai Rasa Kata

Setiap kata selain memiliki makna leksikal juga memiliki „nilai rasa‟. Ada

(15)

23

yang sebaiknya tidak digunakan atau jika ingin digunakan juga harus diperlakukan dengan hati-hati karena bernilai negatif, dan ada juga kata yang sangat baikunuk digunakan karena bernilai positif. Nilai rasa ini berkaitan erat dengan norma-norma keagamaan, kepercayaan, sosial, budaya, dan pandangan hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat. Pada pembicaraan mengenai nilai rasa kata, kita berhadapan dengan konotasi, eufemia, disfemia, tabu, peyorasi, dan ameliorasi. Nilai rasa kata yang di bahas pada penelitian ini adalah eufemia. Oleh karena itu, bisa dikatakan nilai rasa kata ini harus dilihat dari norma-norma tersebut yang mungkin berbeda antara suatu kelompok masyarakat di satu tempat dengan kelompok masyarakat di tempat lain (Chaer, 2007:151).

2. Pengertian Eufemia

Pengertian eufemia (dalam kepustakaan lain lazim disebut eufemisme).Kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani euphemisme yang artinya berbicara baik. Eufemisme juga berarti elegan, halus, lemah lembut, meletakkan rapi dan baik yang dinyatakan. Sufiks –isme dalam eufemisme berasal dari Yunani -ismos, Latin -ismus, Perancis Kuna -isme, dan Inggris -ism. Akhiran ini menandakan suatu faham atau ajaran atau kepercayaan. Ada juga tokoh yang menyebutkan eufemisme dengan kata lain eufemiakarena yakni Abdul Chaer. Jika dilihat dari lawan katanya yakni disfemia bukan disfemisme.

(16)

24

Pemasyarakatan. Kata korupsi diganti dengan menyalahgunakan jabatan, dan sebagainya. Eufemia ini termasuk ke dalam perubahan makna. Menurut Chaer perubahan makna dapat disebabkan oleh faktor-faktor yakni, perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan sosial budaya, perbedaan bidang pemakaian, pertukaran tanggapn indera, perbedaan tanggapan, adanya proses gramatikal, dan adanya pengembangan istilah. Selain eufemia yang merupakan bagian dari perubahan makna, ada juga beberapa istilah lain yang juga merupakan bagian dari perubahan makna yaitu makna peyoratif dan makna amelioratif. Kata-kata yang nilainya merosot menjadi rendah disebut dengan peyoratif. Kata-kata yang nilainya naik menjadi tinggi disebut amelioratif. Misalnya kata istri dianggap amelioratif dari kata bini yang dianggap peyoratif.

Penghalusan ini menampilkan kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus, atau lebih sopan daripada yang akan digantikan. Kecenderungan untuk menghaluskan makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat Bahasa Indonesia. Kata-kata yang dianggap kasar diganti dengan kata-kata yang lebih halus. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan eufemia, karena dalam kehidupan bermasyarakat kita memerlukan timbang rasa. Makna dapat dianalisis berdasarkan struktur kebahasaannya yaitu berupa kata, frasa, atau klausa. Selain itu juga dapat dianalisis berdasarkan segi sosial dan budaya seperti dalam penelitian. Eufemia sebagai salah satu cabang ilmu semantik dapat dikaitkan dengan ilmu bahasa lain.

(17)

25

yang maknanya kasar. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau menunjukkan kejengkelan. Namun, banyak juga kata yang sebenarnya bernilai kasar tetapi sengaja digunakan untuk lebih memberi tekanan tetapi tanpa merasa kekasarannya. Misalnya kata mencuri yang dipakai dalam Kontingen Suri name berhasil mencuri satu medali emas dari kolam renang padahal sebenarnya perbuatan mencuri adalah suatu tindak kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman penjara.

3. Bentuk Eufemia

Bentuk eufemia yang dimaksud disini adalah bentuk satuan-satuan gramatik yang digunakan sebagai eufemia. Satuan gramatik adalah satuan-satuan yang mengandung arti, baik leksikal maupun arti gramatik (Ramlan, 2009:27). Arti leksikal adalah arti yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun, sedangkan arti gramatik terjadi bila terjadi proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Satuan gramatik meliputi morfem, kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana. Satuan-satuan gramatik yang digunakan sebagai eufemia hanya berupa kata, frasa, dan klausa.

a. Kata

(18)

26

memiliki satu arti. Seperti pada contoh kata-kata berikut: nenek, meja, kantor, motor, dan kursi. Kata-kata tersebut kita akui merupakan sebuah kata karena setiap kata memiliki makna. Berbeda dengan kata ntaci, ajem, otmor, dan sikru. Kata tersebut bukan merupakan sebuah kata dari bahasa Indonesia karena tidak memiliki makna. Dalam penelitian ini peneliti mengamati bentuk eufemia yang berupa kata secara spesifik yaitu kata dasar dan kata bentukan sebagai berikut :

1) Kata Dasar

Tarigan (2009: 20) mengungkapkan kata dasar merupakan satuan terkecil yang menjadi asal atau permulaan suatu kata kompleks. Kata dasar merupakan kata yang belum mengalami proses afiksasi. Menurut Chaer (2008:26) kata dasar dalam pengertian ini disebut akar, dengan demikian kata dasar (asal/akar) merupakan kata tunggal. Kata tunggal merupakan satuan gramatik yang tidak terdiri dari satuan yang lebih kecil lagi sedangkan kata kompleks merupakan satuan gramatik yang terdiri dari satuan-satuan yang lebih kecil lagi (Ramlan, 2012: 28). Contoh eufemia yang berbentuk kata dasar misalnya kata donasi yang menggantikan kata bantuan dan kata istri yang menggantikan kata bini.

2) Kata Bentukan

a) Kata Berimbuhan (berafiks)

(19)

27

kategori turunan lainnya (Chaer, 2012:8). Afiks ialah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memilikikesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata lain untuk membentuk kata baru. Menurut Ramlan (2012: 65) afiks terbagi menjadi empat yakni prefiks (meN-, ber-, di-, ter-, peN-, pe-, se-, per-, ke-, maha-, para-), infiks (-el-, -er-, -em-), sufiks (-kan, -an,- i, -wan), dan simulfiks (ke-an, peN-an, per-an, ber-per-an, se-nya). Hasil pengimbuhannya menghasilkan kata berimbuhan (kata turunan). Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kata berimbuhan adalah kata yang telah mengalami pengimbuhan atau afiksasi. Contoh eufemia yang berbentuk kata berimbuhan misalnya kata dialihkan yang menggantikan kata dipindahkan.

b) Kata Majemuk

Kata majemuk adalah bergabungnya dua kata dasar atau lebih secara padu menimbulkan arti yang relatif baru (Muslich, 2009: 57). Menurut Chaer(2012: 104) kata majemuk adalah kata yang terdiri dari dua bagian tetapi ditulis serangkai. Kata majemuk tidak bisa disisipi (akan, telah, sedang, belum). Kata majemuk tidak bisa disisipi “dan” bila konstruksi itu sejajar. Menurut Ramlan (2012: 77) kata majemuk

memiliki dua ciri yakni salah satu atau semua unsunya berupa pokok kata dan unsur-unsurnya tidak mungkin dipisahkan, atau tidak mungkin diubah strukturnya. Contoh eufemia yang berbentuk kata majemuk pembantu rumah tangga yang menggantikan babu.

c) Kata Bentukan di Luar Proses Morfologis (Akronim)

(20)

28

pengekalan huruf-huruf pertama, berupa pengekalan suku-suku kata dari gabungan leksem, atau bisa juga secara tak beraturan. Akronim adalah pemendekan dua kata atau lebih menjadi satu kata saja, dengan kata lain akronim merupakan kata, maknanya merupakan kepanjangan kata tersebut (Pateda, 2001:150). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa akronim merupakan pemendekan dua kata atau lebih menjadi satu kata saja atau dapat dilafalkan sebagai kata. Contoh eufemia yang berbentuk kata bentukan di luar proses morfologis (akronim) misalnya lapas yang menggantikan penjara.

b. Frasa

Frasa didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis (Chaer, 2007:222). Menurut Ramlan (2005: 138) frasa merupakan unsur klausa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih. Contoh eufemia yang berbentuk frasa yaitu pemutusan hubungan kerja yang menggantikan bentuk pemecatan. Berdasarkan beberapa pendapat ahli diatas dapat disimpulkan frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi.

1) Jenis Frasa

(21)

29

sintaksisnya. Jenis frasa dalam Kridalaksana (1994:125)terbagi menjadi sembilan (9) yaitu :

a) Frasa verbal merupakan frasa yang mempunyai distribusi dengan kata verbal.Frasa verbal memiliki ciri-ciri : (1) verbal memiliki fungsi utama sebagai predikat, (2) verbal mengandung makna perbuatan, proses, keadaan yang bukan sifat atau kualitas, (3) verbal, khususnya yang bermakna keadaan tidak dapat diberi prefiks ter- yang berarti „paling‟, (4) pada umumnya verbal tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan kesangatan tidak ada bentuk agak belajar, sangat pergi(Alwi, dkk, 2003: 87).

b) Frasa ajektifalmerupakan frasa yang mempunyai distribusi dengan kata ajektifal. Frasa ajektifal memiliki ciri-ciri : (1) bergabung dengan partikel tidak, (2) mendampingi nomina, (3) didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, (4) mempunyai ciri-ciri morfologis, seperti –er (dalam honorer), (5) dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-an, seperti adil – keadilan (Kridalaksana, 1994:59). c) Frasa nominalmerupakan frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata

nominal. Frasa nomina memiliki ciri-ciri : (1) nominal tidak dapat diingkarkan dengan kata tidak. Kata pengingkarnya adalah bukan, (2) dalam kalimat yang predikatnya verba, nominal cenderung menduduki fungsi subjek, objek, atau pelengkap, (3) nomina umumnya diikuti oleh ajektival, baik secara langsung maupun dengan diantarai oleh kata yang(Alwi dkk, 2003:213).

(22)

30

siapa yang menjadi pendengar atau apa yang dibicarakan, (2) pronomina menduduki posisi yang diduduki oleh nomina, seperti subjek, objek, dan dalam macam kalimat tertentu juga predikat (Alwi dkk, 2003:249).

e) Frasa numeraliamerupakan frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata numeralia. Frasa numeralia memiliki ciri-ciri yakni dibentuk dengan kata penggolong.

f) Frasa adverbia koordinatif, misalnya lebih kurang (sama). g) Frasa interogativa koordinatif, misalnya apa dan siapa. h) Frasa demonstrativa koordinatif, misalnya sini, sana, ini, itu. i) Frasa preposisional koordinatif, misalnya dari, ke, oleh, dan untuk.

c. Klausa

(23)

31

F. Surat KabarSuara Merdeka

1. Pengertian Surat Kabar

Surat kabar adalah media komunikasi yang berisi informasi aktual dari berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, kriminal, seni, olahraga, luar negeri, dalam negeri, dan sebagainya. Surat kabar merupakan salah satu ragam dari ruang lingkup jurnalisme cetak. Surat kabar lebih menitikberatkan pada penyebaran informasi (fakta maupun peristiwa) agar diketahui publik. Surat kabar pada umumnya terbit harian, sekalipun ada juga surat kabar mingguan. Dari segi ruang lingkupnya, ada surat kabar lokal atau surat kabar nasional (Yunus, 2010:29).

2. Suara Merdeka

(24)

32

kemudian diubah menjadi "Perekat Komunitas Jawa Tengah" yang mencerminkan posisi pemasaran surat kabar tersebut.

( http://id.wikipedia.org/wiki/Suara_Merdeka).

3. Halaman Depan Surat Kabar

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, Depdiknas, 2007: 383) halaman merupakan muka dari lembaran-lembaran buku (majalah, surat kabar, dsb). PadaKamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, Depdiknas, 2007: 253) depan adalah hadapan atau muka. Jadi, halaman depan merupakan muka dari lembaran buku. Halaman depan surat kabar yakni muka dari lembaran-lembaran yang ada pada surat kabar yang memuat berita utama serta tampilan rubrik-rubrik yang akan dibahas dalam surat kabar tersebut. Sebagian besar halaman depan surat kabar berisi straight news yakni berita langsung, apa adanya, ditulis secara singkat dan lugas (ditegaskan dalam kutipan pada

(25)

33

Menyempit Pengasaran Penghalusan Peyorasi

Referensi

Dokumen terkait

Pada bobot segar tajuk terlihat bahwa pemberian Bion-UP dan/atau tidak secara bersama-sama dengan Bokelas Plus berbeda secara signifikan dengan perlakuan kontrol

Prilikom istraživanja provjereni su utjecaji kretanja inflacije, gospodarske aktivnosti, kamatnih stopa nacionalnih centralnih banaka, bankovne aktivnosti, monetarne mase,

These thus indicated that National Examination had positive as well as negative washback on teaching learning activities of XII-grade students of some vocational senior

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan HidayahNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi

Dari beberapa penjelasan mengenai perkembangan vokasional diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan vokasional adalah sikap mempersiapkan diri dalam memasuki pekerjaan

DAN LAMA WAKTU PENYEDUHAN TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KANDUNGAN SENYAWA ALKALOID PADA TEH CELUP DAUN SIRSAK( Annona muricata L.) ” ,ini tidak terdapat karya

pada anak Kelompok B di TK Satu Atap Jogoboyo, Purwodadi, Purworejo. Jenis penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas kolaboratif. Subjek dalam penelitian ini adalah

Berbagai isu yang telah dipaparkan di atas diangkat menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimanakah pengaruh informasi terkait kompensasi yang