8 2.1 Tinjauan Teoretis
2.1.1 Tinjauan Umum Bank Syariah
Bank syariah adalah bank yang menjalankan prinsip usahanya berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Syariah merupakan ketentuan umat Islam yang mengatur aktivitas umat manusia yang berisi perintah dan larangan, baik yang menyangkut hubungan interaksi vertikal dengan Tuhan maupun interaksi horisontal dengan sesama makhluk (Wiroso, 2013: 13).
Menurut Sudarsono (2008: 27) kata bank berasal dari kata banque dalam bahasa Perancis, dan dari kata banco dalam bahasa Italia yang berarti peti atau lemari. Pada umumnya yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan yang tugas utamanya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran yang kegiatannya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Menurut Siamat (2005) bank syariah atau bank Islam adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang saat ini telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha
syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Bank syariah sebenarnya berlaku umum untuk semua orang atau universal. Syariah sendiri hanya sebuah prinsip atau sistem yang sesuai dengan aturan-aturan atau anjuran-anjuran Islam.
Menurut Muhammad (2004: 1) bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan atau perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Quran dan Hadist Nabi SAW. Dengan kata lain, bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariah.
2.1.2 Dasar Hukum Bank Syariah di Indonesia
Ketentuan-ketentuan tentang bank syariah di Indonesia dibatasi oleh pengawasan yang dilakukan Dewan Pengawas Syariah (DPS), DPS bertugas untuk mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan (Wiroso, 2013: 18). Dengan kata lain, sebelum produk-pruduk bank syariah diperkenalkan kepada masyarakat harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Pengawas Syariah. Adanya Undang-undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998, dengan tegas mengakui keberadaan dan berfungsinya bank bagi hasil atau bank Islam. Untuk menjalankan
undang-undang tersebut maka dikeluarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat tahun 1999. Aturan yang berkaitan dengan Bank Umum berdasarkan prinsip syariah diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 (Muhammad, 2004: 5). Dalam hal ini, secara teknis BPR Syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah. 2.1.3 Ciri-ciri Bank Syariah
Menurut Sumitro (1996) dalam Sudarsono (2004: 41) bank syariah mempunyai ciri yang berbeda dengan bank konvensional, adapun ciri-ciri bank syariah tersebut adalah, pertama beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan dalam bentuk nominal, yang besarnya tidak kaku dan dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar menawar dalam batas wajar. Beban biaya tersebut hanya akan dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesepakatan kontarak. Kedua, penggunaan presentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindari, karena presentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu telah berakhir. Ketiga, dalam kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti yang ditetapkan dimuka, karena pada hakikatnya yang mengetahui tentang ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanyalah Allah semata. Keempat, pengerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito tabungan dianggap sebagai titipan (al-wadi’ah). Kelima,
Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain itu manajer dan pimpinan bank harus menguasai dasar-dasar muamalah Islam. Keenam, fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana diambil pemiliknya.
2.1.4 Peran dan Kegiatan Usaha Bank Syariah
Perwataatmadja (1997) dalam Muhammad (2011: 17) menyatakan bahwa peranan bank syariah antara lain; 1) memurnikan operasional perbankan syariah sehingga lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat; 2) meningkatkan kesadaran syariah umat Islam sehingga dapat memperluas segmen dan pangsa pasar perbankan syariah; 3) menjalin kerjasama dengan para ulama, karena bagaimanapun peran ulama khususnya di Indonesia sangat dominan bagi kehidupan umat Islam. Kegiatan usaha bank syariah menurut penjelasan Undang-undang Perbankan Syariah No. 3 tahun 2006 Pasal 19 meliputi; 1) menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; 2)
menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; 3) menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah,
musyarakah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
4) menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, salam dan
istishna atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; 4)
menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan jual beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
2.1.5 Tujuan Bank Syariah
Beberapa tujuan bank syariah diantaranya adalah pertama mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalat secara Islam, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis usaha atau perdagangan lain yang mengandung unsur gharar (tipuan), dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat. Kedua, bank syariah bertujuan untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana. Ketiga, untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang usaha yang lebih besar teruta ma kelompok miskin yang diarahkan pada kegiatan usaha yang produktif sehingga tercipta kemandirian usaha.
Keempat, untuk menanggulangi masalah kemiskinan yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Kelima, untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah akan mampu menghindari inflasi dan menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan. Keenam, bank syariah bertujuan untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank non syariah (Sudarsono, 2004: 40).
2.1.6 Riba
Antonio (2001) dalam Sumar’in (2012: 21) menyatakan bahwa riba secara bahasa bermakna ziyadah atau tambahan, dalam pengertian lain riba juga berarti tumbuh atau membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
Sementara para ulama fikih mendefinisikan riba dengan kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya. Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat jatuh tempo (Muhammad, 2004: 42).
Antonio (2004: 43) menjelaskan bahwa pengertian riba menurut Al-Quran sebagaimana tercantum dalam surat Ar-Rum ayat 39, “riba adalah nilai atau harga yang ditambahkan kepada harta atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain”. Ayat ini merupakan dasar Allah dalam menerapkan hukum larangan riba pada ayat yang diturunkan kemudian.
Sudarsono (2003: 1) mengatakan bahwa riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran yang diterima pemberi pinjaman dari jumlah pinjaman pokok sebagai imbalan karena menagguhkan atau berpisah dari sebagian modalnya selama periode tertentu. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Islam menganggap riba sebagai salah satu unsur buruk yang merusak masyarakat secara ekonomi, sosial maupun moral. Riba mengakibatkan seseorang menjadi rakus dan mementingkan diri sendiri. Riba juga dapat melahirkan rasa benci, marah dan dengki dalam diri orang-orang yang terpaksa membayar riba. Oleh karena itu, Allah melarang umat Islam memberi atau memakan riba. Menurut Sudarsono (2004: 15) secara garis besar riba dapat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba hutang piutang dan riba jual beli. Riba hutang piutang terbagi menjadi riba qardh
dan riba jahiliyyah, sedangkan riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan
riba nasi’ah. Riba qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan
tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. Riba jahiliyyah adalah hutang yang dibayar lebih dari pokoknya karena peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba Fadhl adalah riba yang terjadi karena pertukaran antar barang yang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi. Riba nasi’ah adalah riba yang terjadi akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria. Riba nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya . Menurut Muhammad (2011: 46) riba merupakan keadaan keharaman yang bukan karena zatnya, tetapi karena transaksi yang dilakukan (haram lighairihi).
Riba juga dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi masyarakat, menurut Sudarsono (2003: 12) dampak-dampak yang dapat ditimbulkan dengan adanya riba adalah pertama, riba dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengurangi semangat kerjasama dan saling tolong menolong dengan sesama manusia. Kedua, riba membuat bisnis menjadi lesu, kurang bergairah dan tidak produktif. Dalam pandangan petualang bisnis atau dalam berniaga, mereka sangat spekulatif. Bisa untung dan bisa juga rugi, bahkan bangkrut. Sementara mental petualang riba hanya berfikir untung tanpa mengenal rugi, walaupun orang lain dirugikan. Ketiga, yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Bagi orang yang mempunyai pendapatan lebih akan banyak mempunyai kesempatan untuk menaikkan pendapatannya dengan membungakan pinjaman pada orang lain. Sedangkan bagi yang mempunyai pendapatan cukup tidak hanya kesulitan dalam membayar cicilan hutang tetapi harus memikirkan pembayaran bunga. Keempat, riba pada kenyataannya adalah pencurian, karena uang tidak melahirkan uang. Uang tidak memiliki fungsi selain alat tukar yang mempunyai sifat stabil, karena nilai uang dan barang
sama. Kelima, riba menimbulkan tumbuhnya mental pemboros dan pemalas. Dengan membungakan uang, kreditur bisa mendapatkan tambahan penghasilan tanpa melakukan usaha. Sehingga hal tersebut dapat menurunkan kreativitas dan inovasi dalam kerja.
Dari sisi kemasyarakatan, riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil (bathil). Sistem bunga lebih banyak digunakan masyarakat karena bertujuan untuk mengoptimalkan kebutuhan diri sendiri, sedangkan sistem bagi hasil lebih kepada sistem yang berorientasi pada kemaslahatan. Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan non Islam dan Islam adalah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah. Sehingga terdapat istilah bunga dan bagi hasil (Muhammad, 2004: 3). Sistem bagi hasil sebagai identitas bank syariah mempunyai mekanisme dan sistem operasional yang berbeda dibandingkan dengan prinsip bunga pada bank konvensional. Keuntungan dan pendapatan dalam sistem bagi hasil dilihat berdasarkan untung dan rugi dari bisnis yang dijalankan. Sistem bunga yang diterapkan bank konvensional lebih mengedepankan hitungan tetap sedangkan bagi hasil pada bank syariah sangat fleksibel dan tidak bisa diprediksikan (Sumar’in, 2012: 59). Bagi hasil merupakan sistem yang berorientasi dalam pemenuhan kemaslahatan hidup umat manusia. Perbedaan mendasar antara sistem bunga dan sistem bagi hasil dapat diketahui pada tabel berikut:
Tabel 1
Perbedaan Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil
Hal Sistem Bunga Sistem Bagi Hasil
Penentuan Sebelumnya Sesudah berusaha, sesudah ada
besarnya hasil untungnya
Yang ditentukan Bunga, besarnya Menyepakati pembagian proporsi sebelumnya nilai rupiah untung untuk masing-masing
pihak. Misalnya, 50:50, 40:60, 35:65, dst
Jika terjadi Ditanggung Ditanggung kedua belah pihak, kerugian nasabah saja nasabah dan lembaga
Dihitung dari Dari dana yang Dari untung yang bakal diperoleh, mana? dipinjamkan, fixed, belum tentu besarnya
tetap
Titik perhatian Besarnya bunga Keberhasilan proyek/ usaha jadi Proyek/ usaha yang harus dibayar perhatian bersama, nasabah dan
nasabah/ pasti lembaga diterima bank
Berapa Pasti: Proporsi (%) kali jumlah untung yang
besarnya? (%) kali jumlah belum diketahui= belum diketahui pinjaman yang telah
pasti diketahui
Status hukum Berlawanan dengan Melaksanakan QS. Luqman: 34 QS. Luqman: 34
Sumber: Muhammad (2004: 4)
2.1.7 Gambaran Umum BPR Syariah
Menurut Keppres No. 38 tahun 1988 yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah jenis bank yang tercantum dalam ayat (1)
pasal 4 Undang-undang No. 14 tahun 1967 yang meliputi bank desa, lumbung desa, bank pasar, bank pegawai, dan bank lainnya. UU No. 10 tahun 1998 yang merubah UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan nampak lebih jelas dan tegas mengenal status perbankan syariah, sebagaimana disebutkan dalam pasal 13, Usaha Bank Perkreditan Rakyat. Pasal 13 huruf C berbunyi, menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Muhammad, 2004: 5).
BPR Syariah tidak jauh berbeda dengan BPR pada umumnya, BPR Syariah merupakan lembaga keuangan syariah yang bergerak di bidang perbankan yang menerapakan sitem ekonomi Islam dalam kegiatan operasionalnya. Kegiatan operasional BPR Syariah dengan BPR Konvensional tidak jauh berbeda, perbedaan yang mendasar terletak pada konsep dasar kegiatan operasionalnya. BPR Konvensional menerapkan sistem bunga dalam pembagian keuntungan, sedangkan pada BPR Syariah tidak menerapkan sistem bunga (riba) tetapi menerapkan sistem bagi hasil dalam pembagian hasil usahanya karena BPR Syariah berlandaskan prinsip-prinsip Islam dalam setiap kegiatan operasionalnya. Menurut Undang-undang Perbankan No. 10 tahun 1998, Bank Perkreditan Rakyat adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.
Tujuan yang dikehendaki dengan berdirinya BPR Syariah menurut Sudarsono (2008: 92) adalah pertama, meningkatkan kesejahteraan
ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan. Kedua, menambah lapangan pekerjaan terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi. Kehadiran BPR Syariah di kecamatan-kecamatan ikut memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat yang memiliki potensi perbankan, baik dalam permodalan maupun dalam hal tenaga ahli. Dengan semakin banyaknya BPR Syariah di kecamatan-kecamatan maka akan semakin banyak pula tenaga yang terserap disektor perbankan. Selain itu, pembiayaan-pembiayaan yang disalurkan BPR Syariah bagi masyarakat membuka peluang usaha dan kerja yang semakin luas, maka pada gilirannya kehadiran BPR Syariah akan menjadi penghambat bagi lajunya urbanisasi. Ketiga, membina semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai. Hal ini mengandung makna bahwa dalam BPR Syariah ditumbuhkan nilai ta’awun (saling membantu) antara pemilik modal dengan pemilik pekerjaan. Dengan nilai ta’awun inilah akan tumbuh kebersamaan antara bank dan nasabah yang merupakan faktor terpenting dalam mewujudkan ukhuwah islamiyah. Melalui kebersamaan tersebut usaha-usaha yang yang dila kukan masyarakat dengan modal yang diberikan oleh BPR Syariah bisa meningkatkan pendapatan masyarakat, maka pada tingkat yang lebih tinggi akan pula meningkatkan pendapatan perkapita baik lokal maupun nasional.
Sebagai lembaga keuangan syariah pada dasarnya BPR Syariah dapat memberikan jasa-jasa keuangan yang serupa dengan bank-bank umum syariah. Lubis (2000) dalam Sudarsono (2004: 85) menyebutkan dalam usaha pengerahan dana masyarakat, BPR syariah dapat memberikan jasa-jasa keuangan dalam berbagai bentuk, yang pertama adalah simpanan
amanah. Disebut dengan titipan amanah karena bentuk perjanjian adalah
wadi’ah, yaitu titipan yang tidak menanggung resiko. Namun demikian,
bank akan memberi bonus dari bagi hasil keuntungan yang diperoleh bank melalui pembiayaan pada nasabahnya. Kedua, tabungan wadi’ah. Dalam tabungan ini bank menerima tabungan (saving account) dari nasabah dalam bentuk tabungan bebas. Sedang akad yang diikat oleh bank dengan nasabah dalam bentuk wadi’ah. Titipan nasabah tersebut tidak menanggung resiko kerugian, dan bank memberikan bonus kepada nasabah. Bonus itu diperoleh bank dari bagi hasil dan kegiatan pembiayaan kepada nasabah lainnya. Bonus tabungan wadi’ah itu dapat diperhitungkan secara harian dan dibayarkan kepada nasabah setiap bulannya. Ketiga, deposito
mudharabah. Dalam produk ini bank menerima deposito berjangka (time
and investment account) dari nasabahnya. Akad yang dilakukan dapat
membentuk wadi’ah dan dapat pula berbentuk mudharabah. Jangka waktu deposito adalah 1, 3, 6, 12 bulan dan seterusnya sebagai bentuk penyertaan modal (sementara). Maka nasabah atau deposan mendapat bonus keuntungan dari bagi hasil yang diperoleh bank dari pembiayaan yang dilakukan nasabah-nasabah lainnya. Sementara dalam menyalurkan dana
masyarakat BPR Syariah dapat memberikan jasa-jasa keuangan yaitu, pertama pembiayaan mudharabah. Dalam pembiayaan mudharabah bank mengadakan akad dengan nasabah. Bank menyediakan pembiayaan modal usaha bagi proyek yang dikelola oleh pengelola. Keuntungan yang diperoleh akan di bagi (perjanjian bagi hasil) sesuai dengan kesepakatan yang telah diikat oleh bank dan pengelola tersebut. Kedua, pembiayaan
musyarakah. Dalam pembiayaan musyarakah ini bank dengan pengusaha
mengadakan perjanjian. Bank dan pengelola berjanji bersama-sama membiayai suaau proyek yang juga dikelola secara bersama-sama. Keuntungan yang diproleh dari usaha tersebut akan dibagi sesuai penyertaan masing-masing pihak. Ketiga, pembiayaan
Ba’ Bithaman Ajil. Dalam pembiayaan ini, bank mengikat perjanjian
dengan nasabah. Bank menyediakan dana untuk pembelian suatu barang atau aset yang dibutuhkan oleh nasabah guna unuk mendukung usaha atau proyek yang sedang diusahakan. Namun, sesuai dengan UU Perbankan No. 10 tahun 1998, BPR Syariah hanya dapat melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut, pertama menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan atau dalam bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Kedua, memberikan kredit. Ketiga, menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Keempat, menetapkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka atau tabungan pada bank lain (Sudarsono, 2004: 87).
2.1.8 Murabahah
Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan). Bank Indonesia mengemukakan
murabahah sebagai jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Dalam ba’i murabahah penjual harus memberitahukan harga pokok yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya (Wiroso, 2011: 73).
PSAK 102 menjelaskan bahwa murabahah adalah menjual barang dengan harga jual sebesar harga perolehan ditambah dengan keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan harga perolehan barang tersebut kepada pembeli. Rusyd (1990) dalam Sudarsono (2004: 62) menyebutkan bahwa murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan nasabah. Penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atas laba dalam jumlah tertentu. Secara garis besar murabahah adalah jual beli barang yang harga dan keuntungannya disepakati oleh penjual maupun pembeli. Rukun jual beli menurut mahzab Hanafi adalah ijab dan qabul yang menunjukkan adanya pertukaran atau kegiatan saling memberi yang menempati kedudukan ijab dan qabul itu. Dengan kata lain merupakan pekerjaan yang menunjukkan keridhaan dengan melakukan pertukaran dua harta milik, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Menurut jumhur ulama ada 4 rukun dalam jual beli,
yaitu; 1) orang yang menjual; 2) orang yang membeli; 3) sighat (ijab dan
qabul); 4) barang atau sesuatu yang diakadkan (Wiroso, 2005: 16).
Sejalan dengan pengertian murabahah maka dasar hukum dari pembiayaan murabahah terdapat dalam Al-Qu’ran, yaitu dalam surat An-Nisaa dan surat Al-Baqarah. Surat An-An-Nisaa ayat 29 menyatakan “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Surat surat Al-Baqarah ayat 275 menyatakan “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat). Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. Dasar hukum murabahah juga terdapat dalam hadits Syuhaib ar-Rumi ra. dan Abu Sa’id Al-Khudri. Hadits dari Syuhaib ar-Rumi ra. Rasulullah SAW bersabda “tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, pertama menjual dengan tempo pembayaran
(murabahah), kedua muqaradhah (mudharabah), dan ketiga mencampur gandum untuk keperluan rumah bukan untuk dijual” (HR Ibnu Majah). Hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka” (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Majah).
Berdasarkan dengan dasar hukum murabahah maka pengakuan dan pengukuran murabahah dibagi atas akuntansi untuk penjual dan akuntansi untuk pembeli akhir. Pengakuan aset murabahah untuk penjual diakui sebagai persediaan sebesar biaya perolehan. Pengukuran aset murabahah setelah perolehan adalah; 1) jika murabahah pesanan mengikat, maka; a) dinilai sebesar biaya perolehan; b) jika terjadi penurunan nilai aset karena usang, rusak atau kondisi lainnya sebelum diserahkan ke nasabah, penurunan nilai tersebut diakui sebagai beban dan mengurangi nilai aset; 2)
murabahah tanpa pesanan atau murabahah pesanan tidak mengikat, maka;
a) dinilai berdasarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasi, mana yang lebih rendah; b) jika nilai bersih yang dapat direalisasi lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai biaya perolehan. Diskon pembelian asset murabahah diakui sebagai; 1) pengurang biaya perolehan asset murabahah, jika terjadi sebelum akad murabahah; 2) kewajiban kepada pembeli, jika terjadi setelah akad murabahah dan seseuai akad yang telah disepakati menjadi hak pembeli; 3) tambahan keuntungan murabahah, jika terjadi setelah akad
lain, jika terjadi setelah akad murabahah dan tidak diperjanjikan dalam akad. Pada saat akad murabahah, piutang murabahah diakui sebesar biaya perolehan asaet murabahah ditambah keuntungan yang telah disepakati. Pada akhir periode laporan keuangan, piutang murabahah dinilai sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi, yaitu saldo piutang dikurangi penyisihan kerugian piutang. Keuntungan murabahah diakui; 1) pada saat terjadinya penyerahan barang jika dilakukan secara tunai atau tangguh yang tidak melebihi satu tahun; 2) selama periode akad sesuai dengan tingakat resiko dan upaya untuk merealisasikan keuntungan tersebut untuk transaksi tangguh lebih dari satu tahun. Metode-metode berikut ini digunakan dan dipilih yang paling sesuai dengan karakteristik resiko dan upaya transaksi
murabahahnya; a) keuntungan diakui saat penyerahan aset murabahah; b)
keuntungan diakui proporsional dengan besaran kas yang berhasil ditagih dari piutang murabahah; c) keuntungan diakui saat seluruh piutang
murabahah berhasil ditagih. Potongan pelunasan piutang murabahah yang
diberikan kepada pembeli yang melunasi secara tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati diakui sebagai pengurang keuntungan
murabahah. Denda dikenakan jika pembeli lalai dalam melakukan
kewajibannya sesuai dengan akad, dan denda yang diterima diakui sebagai bagian dana kebajikan. Pengakuan dan pengukuran murabahah untuk pembeli akhir, hutang yang timbul dari transaksi murabahah tangguh diakui sebagai hutang murabahah sebesar harga beli yang disepakati (jumlah yang wajib dibayarkan), sedangkan aset yang diperoleh melalui
transaksi murabahah diakui sebesar biaya perolehan murabahah tunai. Selisih antara harga beli yang disepakati dengan biaya perolehan tunai diakui sebagai beban murabahah tangguhan. Beban murabahah tangguhan diamortisasi secara proporsional dengan porsi hutang murabahah. Diskon pembelian yang diterima setelah akad murabahah, potongan pelunasan dan potongan hutang murabahah diakui sebagai pengurang beban murabahah tangguhan. Denda yang dikenakan akibat kelalaian dalam melakukan kewajiban sesuai dengan akad diakui sebagai kerugian. Penyajian piutang
murabahah disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan, yaitu
saldo piutang murabahah dikurangi penyisihan kerugian piutang. Margin
murabahah tangguhan disajikan sebagai pengurang (contra account)
piutang murabahah. Beban murabahah tangguhan disajikan sebagai pengurang (contra account) hutang murabahah. Pengungkapan
murabahah, penjual mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan transaksi
murabahah, tetapi tidak terbatas pada; 1) harga perolehan aset murabahah;
2) janji pemesanan dalam murabahah berdasarkan pesanan sebagai kewajiban atau bukan; 3) pengungkapan yang diperlukan sesuai PSAK 101: Penyajian Laporan Keuangan Syariah. Pembeli mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan transaksi murabahah, tetapi tidak terbatas pada; 1) nilai tunai asset yang diperoleh dari transaksi murabahah; 2) jangka waktu
murabahah tangguh; 3) pengungkapan yang diperlukan sesuai PSAK 101:
Penyajian Laporan Keuangan Syariah (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 102).
Berdasarkan jenisnya murabahah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pertama murabahah tanpa pesanan, murabahah tanpa pesanan adalah ada yang beli atau tidak, ada yang pesan atau tidak bank syariah menyediakan barang dagangannya. Penyediaan barang dagangan pada murabahah ini tidak terpengaruh atau terkait langsung dengan ada tidaknya pesanan atau pembeli. Kedua, adalah murabahah berdasarkan pesanan, maksudnya adalah bank syariah baru akan melakukan transaksi
murabahah atau jual beli apabila ada nasabah yang memesan barang
sehingga penyediaan barang baru akan dilakukan jika sudah ada pesanan.
Murabahah berdasarkan pesanan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
murabahah berdasarkan pesanan mengikat, adalah apabila sudah pesan
harus dibeli. Murabahah berdasarkan pesanan tidak mengikat, maksudnya meskipun nasabah telah memesan barang namun nasabah dapat menerima atau membatalkan barang tersebut (Wiroso, 2005: 65). Sedangkan jika dilihat dari cara pembayarannya, murabahah dapat dilakukan dengan cara tunai atau dengan pembayaran tangguh (Wiroso, 2005: 38).
Menurut Zuhaili (1999: 4) dalam Wiroso (2005: 65) dalam transaksi
murabahah yang diperjualbelikan adalah barang, sehingga barang yang
akan diperjualbelikan harus memenuhi empat syarat yaitu, pertama barang harus ada, tidak boleh melakukan akad jual beli barang sebelum barang ditemukan dan barang yeng terancam tidak ada. Misalkan, jual beli buah sebelum ada pada pohonnya dan jual beli anaknya anak onta karena keduanya meragukan antara ada dan tidak ada. Kedua, barang berupa harta
yang jelas harganya, tidak boleh melakukan jual beli untuk barang yang tidak berupa harta yang tidak diketahui secara jelas harganya. Misalkan, manusia yang merdeka dan babi bagi muslim. Ketiga, barang yang dimiliki sendiri. Barang yang akan diperjualbelikan adalah apa-apa yang ada di halaman pemiliknya, tidak boleh jual beli barang yang tidak dimiliki pemiliknya. Misalkan, hewan-hewan yang masih ditempat liar, sinar matahari, air dan udara. Keempat, barang dapat diserahkan sewaktu akad. Tidak diperbolehkan mengadakan jual beli apabila barang sulit diserahkan saat akad. Misalkan hewan yang lari, kecuali jika sudah berada ditangan pemiliknya.
Menurut Antonio (2001: 106) murabahah memberikan manfaat kepada bank syariah, salah satunya adalah keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Sistem pembiayaan murabahah sangat sederhana sehingga sangat memudahkan penanganan administrasi pada bank syariah. Namun, selain memberikan manfaat murabahah juga mempunyai kemungkinan resiko yang harus diantisipasi yaitu; 1) kelalaian (default), yaitu apabila nasabah sengaja tidak membayar angsuran; 2) fluktuatif kompetitif, ini terjadi bila harga pasar naik setelah bank membelikan barang kepada nasabah, sedangkan bank tidak dapat mengubah harga jual beli tersebut; 3) penolakan nasabah, nasabah dapat menolak barang yang dikirim karena berbagai sebab; 4) nasabah menjual barang yang baru saja dibelinya dari bank, jika ini terjadi maka resiko terjadinya default akan semakin besar (Antonio, 2001: 107).
Murabahah dalam perbankan syariah dikategorikan kedalam
murabahah produktif dan murabahah konsumtif. Pembiayaan produktif
adalah pembiayaan yang terkait dengan modal kerja dan investasi, sedangkan pembiayaan konsumtif adalah pembiayaan yang diperlukan untuk keperluan konsumsi nasabah. Menurut Antonio (2004) murabahah merupakan pembiayaan konsumtif. Pembiayaan konsumtif adalah pembiayaan yang diberikan untuk keperluan konsumsi pribadi, seperti pembelian kendaraan, rumah dan peralatan rumah tangga. Objek yang dibeli merupakan barang-barang yang dibutuhkan nasabah untuk memenuhi kebutuhannya. Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis digunakan untuk kebutuhan tersebut. Untuk menghitung jumlah pembiayaan yang diberikan, bank tidak menetapkan metode pengukuran yang rumit seperti dalam analisis kebutuhan untuk pembiayaan produktif (Laksmana, 2009: 133). Menurut Ascarya (2008: 127), kebutuhan pembiayaan konsumtif dapat dipenuhi dengan berbagai cara, pertama dengan bagi hasil yaitu kebutuhan barang konsumsi, perumahan, atau properti dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola bagi hasil dengan akad musyarakah mutanaqisah, misalnya pembelian mobil, sepeda motor, rumah, apartemen dan sebagainya. Kedua, jual beli. Kebutuhan barang konsumsi, perumahan atau properti apa saja secara umum dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola jual beli dengan akad murabahah. Dengan akad ini bank syariah memenuhi kebutuhan nasabah dengan membelikan aset yang dibutuhkan nasabah dari
supplier kemudian menjual kembali kepada nasabah dengan mengambil margin keuntungan yang diinginkan. Ketiga, sewa. Kebutuhan barang konsumsi, perumahan atau properti dapat juga dipenuhi dengan pembiayaan berpola sewa dengan akad ijarah muntahiya bittamlik. Dengan akad ini bank syariah membeli asset yang dibutuhkan nasabah kemudian menyewakannya kepada nasabah dengan perjanjian pengalihan kepemilikan di akhir periode dengan harga yang disepakati di awal akad. 2.2 Rerangka Pemikiran
Bank syariah atau bank Islam adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Bank Syariah melarang adanya peminjaman atau pemungutan pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta melarang investasi pada usaha-usaha yang berkategori terlarang (haram). BPR Syariah adalah salah satu lembaga keuangan perbankan syariah, yang pola operasionalnya mengikuti prinsip–prinsip syariah. Prinsip-prinsip syariah yang berlaku pada BPR Syariah terdiri atas transaksi pendanaan (pengerahan dana) dan pembiayaan (penyaluran dana). Transaksi pembiayaan dibagi menjadi sistem sewa, sistem bagi hasil dan sistem jual beli. Sistem jual beli merupakan salah satu pola penyaluran dana Lembaga Keuangan Syariah, dimana dalam sistem jual beli ini dilakukan dengan prinsip murabahah. Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit.
Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
Widodo (2009) dalam “Analisis Perlakuan Akuntansi terhadap Pembiayaan Murabahah pada BPR Syariah Bhakti Haji Malang” membuktikan bahwa masih terjadi ketidaksesuaian pada penyajian potongan pelunasan dan besarnya margin murabahah. Bukti lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bahwa BPR Syariah Bhakti Haji Malang memberikan surat kuasa kepada nasabah dalam proses realisasi pembiayaan murabahah yang diidentifikasi dapat terjadi kecurangan sehingga dapat merugikan BPR Syariah Bhakti Haji Malang. Prapansyah (2008) dalam “Pelaksanaan Pembiayaan Murabahah Konsumtif pada PT. BNI Syariah Cabang Padang” membuktikan bahwa adanya unsur penundaan dan kesengajaan yang dilakukan oleh nasabah dengan tidak membayar angsuran atau hutang-hutangnya. Taufiqi (2011) dalam “Analisis Perlakuan Akuntansi atas Kesesuaian Prinsip Jual Beli pada Transaksi Murabahah di PT. BPR Syariah Jabal Nur Berdasarkan PSAK 102” ditemukan bahwa dalam pembuatan laporan keuangan secara periodik terkait dengan aktivitas operasional bank syariah tidak dilakukan secara transparan.
Berdasarkan penelitian terdahulu maka bisa dikatakan perbankan syariah yang ada di Indonesia masih belum ideal karena sebagian besar
kegiatannya hanyalah untuk memperoleh keuntungan tanpa menghiraukan prinsip syariah. BPR Syariah Pembiayaan (penyaluran dana) Pendanaan (pengerahan dana) Pembiayaan dengan sistem jual beli Pembiayaan dengan
sistem sewa Pembiayaan dengan sistem bagi hasil
Ijarah As Salam Istishna Murabahah
Murabahah Konsumtif