22 HASIL DAN PEMBAHASAN
Ukuran-Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata
Rataan, simpangan baku, koefisien keragaman berbagai ukuran kokon panjang kokon, lingkar bagian medial kokon, lingkar ¼ bagian posterior kokon, lingkar ¼ bagian anterior kokon, diameter bagian medial kokon, diameter ¼ bagian posterior kokon dan diameter ¼ bagian anterior kokon pada C. trifenestrata disajikan pada Tabel 1. Koefisien keragaman sifat-sifat ukuran linear kokon C. trifenestrata berkisar antara 11%-15%. Koefisien keragaman tertinggi ditemukan pada diameter kokon ¼ bagian anterior yaitu 14,57%; sedangkan terendah pada lingkar kokon bagian medial yaitu 11,40%.
Tabel 1.Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman berbagai Ukuran Kokon, Panjang Kokon, Diameter Bagian Medial Kokon, Diameter ¼ Bagian Posterior Kokon, Diameter ¼ Bagian Anterior Kokon, Lingkar Bagian Medial Kokon, Lingkar ¼ Bagian Posterior Kokon dan Lingkar ¼ Bagian Anterior Kokon, pada C. trifenestrata
Peubah n* Rata-Rata ± SB (mm) Koefisien Keragaman (%) Panjang kokon 129 37,688 ± 5,226 13,87
Diameter Bagian Medial Kokon 129 14,715 ± 1,956 13,29 Diameter ¼ bagian Posterior Kokon 129 12,779 ± 1,779 13,92 Diameter ¼ bagian Anterior Kokon 129 12,901 ± 1,880 14,57 Lingkar Bagian Medial Kokon 129 48,155 ± 5,489 11,40 Lingkar ¼ bagian Posterior Kokon 129 40,372 ± 4,669 11,56 Lingkar ¼ bagian Anterior Kokon 129 40,589 ± 4,858 11,97
Keterangan:* Jumlah kokon yang diukur; SB= simpangan baku
Dolezal et al. (2007) menyatakan secara umum bahwa intensitas cahaya dan lama panjang hari mempengaruhi pertumbuhan serangga. C. trifenestrata diklasifikasikan ke dalam kelas insekta yang menurut (Borror et al., 1992) serangga merupakan hewan berdarah dingin (poikilotermik) dengan pertumbuhan yang sangat dipengaruhi lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya dan angin (sirkulasi udara). Panjang kokon C. trifenestrata yang diperoleh pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Sudaryanto (1986). Sudaryanto (1986)
23 melaporkan bahwa panjang kokon C. trifenestrata pada daun muda dan daun tua tanaman alpukat (Persea americana M.) masing-masing sebesar 32,28 ± 3,06 mm dan 32,70 ± 6,43 mm dengan koefisien keragaman masing-masing sebesar 9,48% dan 19,66%. Sudaryanto (1986) melakukan pengamatan pada ruang tertutup, sehingga daun alpukat yang disediakan tidak dalam kondisi segar. Diameter kokon C. trifenestrata yang diperoleh pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Sudaryanto (1986). Sudaryanto (1986) melaporkan diameter kokon C. trifenestrata pada daun muda dan daun tua tanaman alpukat (Persea americana M.) masing-masing sebesar 15,25 ± 2,16 mm dan 15,38 ± 2,00 mm dengan koefisien keragaman masing-masing sebesar 14,16% dan 13,00%.
Perbedaan panjang dan diameter kokon C. trifenestrata pada penelitian ini lebih disebabkan perbedaan kondisi pakan dan lingkungan tempat pengokonan. Kondisi pakan pada lingkungan alami untuk pengokonan; terjadi pada penelitian ini; sedangkan Sudaryanto (1986) menggunakan pakan dalam kondisi tidak langsung dari pohon (tidak segar) dan lokasi pengokonan buatan pada ruang tertutup. Hal tersebut berakibat pada perbedaan bentuk kokon, dengan bentuk lebih lonjong ditemukan pada penelitian ini (panjang kokon lebih besar dan diameter kokon lebih pendek). Katsumata (1964) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan ukuran panjang dan lebar kokon adalah tipe alat pengokon dan bahan alat pengokon. Panjang dan lebar kokon (dalam hal ini diameter bagian medial) pada penelitian ini terjadi secara alami dan tidak dipengaruhi alat pengokon buatan. Kokon dalam koloni alami dibiarkan bergantung bebas pada ranting pohon alpukat sehingga peran floss penting. Gaya gravitasi bumi berakibat pada bentuk kokon yang lebih lonjong, sehingga diameter kokon menjadi lebih kecil. Hal yang terjadi pada semua jenis ulat sutera emas secara alami. Floss yang dibentuk secara alami, ditemukan dalam bentuk koloni yang menggantung pada pohon inang sehingga pertumbuhan kokon tidak terhalang. Perbedaan hasil ini juga karena perbedaan kondisi pakan. Penelitian ini tidak membedakan daun tua dan daun muda tanaman alpukat (Persea americana M.).
Pengamatan lingkar kokon bagian medial pada C. trifenestrata dilakukan karena dihubungkan dengan keliling permukaan kulit kokon, tempat filamen (serat sutera) terpaut. Rumus keliling lingkaran merupakan perkalian antara jari-jari
24 dikalikan dengan 2 dan Π atau 22/7 (Suhartono et al., 2010). Diameter kokon merupakan dua kali panjang jari-jari. Dengan demikian, pengamatan diameter kokon berhubungan tidak langsung terhadap keliling lingkaran.
Penelitian pada ¼ bagian anterior dan ¼ bagian posterior pada lingkar dan diameter kokon A. Atlas, telah dilaporkan oleh Baskoro (2008). Penelitian ini menggunakan kokon C. trifenestrata yang mempertimbangankan luasan permukaan kokon tempat filamen atau serat sutera dihasilkan. Dengan demikian dapat memberikan gambaran mengenai seberapa jauh bentuk oval dari kokon C. trifenestrata dibandingkan dengan bentuk oval kokon jenis lain.
Bobot Kulit Kokon dan Bobot Floss pada C. trifenestrata
Bobot kulit kokon merupakan bagian terpenting dari kokon dalam pemeliharaan ulat sutera. Kulit kokon adalah sekumpulan serat-serat yang diproduksi ulat sutera yang dijalin sedemikian rupa dan dijadikan tempat pupa berlindung. Hasil analisis deskriptif pada Tabel 2 menunjukkan bahwa bobot kulit kokon C. trifenestrata adalah 75,42 ± 15,84 mg dengan keragaman sebesar 21,10%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan bobot kokon C. trifenestrata pada pohon jambu mete (Anacardium occidentale L.) seperti yang dilaporkan Prihatin dan Situmorang (2001). Prihatin dan Situmorang (2001) melaporkan bahwa bobot kulit kokon C. trifenestrata pada pohon jambu mete ditemukan sebesar 30,1 mg. Perbedaan hasil ini dimungkinkan karena perbedaan kandungan kimiawi daun alpukat dan daun jambu mete. Kandungan anti nutrisi pada daun alpukat ditemukan lebih sedikit. Zat anti nutrisi menurut Maryati et al. (2007) dan Dalimartha (2005) meliputi tanin dan saponin. Kandungan protein daun alpukat juga ditemukan lebih tinggi (Dewi, 2009). Tjitrosoepomo (2000) melaporkan bahwa secara morfologis daun alpukat memiliki struktur yang lebih lunak dibandingkan dengan daun jambu mete. Struktur yang lunak dipengaruhi komposisi dan jenis jaringan penyusun, ketebalan lapisan lignin (serat) dan kandungan kadar air.
Persentase bobot kulit kokon jenis ulat C. trifenestrata pada penelitian ini ditemukan lebih besar dibandingkan dengan jenis ulat sutera lain yang dikembangkandi Indonesia yaitu Attacus atlas. Baskoro (2008) melaporkan persentase bobot kulit kokon A. atlas sebesar 72,39%. Baskoro (2008) melakukan metode penelitian yang sama dengan penelitian ini. Hal ini mengindikasikan bahwa
25 sutera yang dihasilkan C. trifenestrata lebih besar. Nilai persentase bobot kulit kokon ditentukan bobot kokon dan bobot kulit kokon. Persentase bobot kulit kokon berhubungan sangat erat dengan persentase filamen penghasil serat sutera yang merupakan salah satu tolok ukur atau acuan penentuan harga kokon.
Tabel 2. Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman Bobot Kulit Kokon dan Bobot Floss pada C. trifenestrata
Peubah Rata-rata ± SB Koefisien
Keragaman
Persentase ---(mg)--- ---(%)---
Bobot Kulit Kokon 75,420 ± 15,840 21,01 87,10
Bobot Floss 10,033 ± 4,816 47,98 11,59
Keterangan: SB= simpangan baku
Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan floss merupakan serat-serat penyanggah yang dikeluarkan ulat sutera pada saat akan mengokon. Kokon yang telah dipanen masih diselimuti serabut serat sutera (floss) yang apabila dibiarkan, akan mengabsorsi air dari udara dan menurunkan kualitas kokon. Kokon juga dapat menyatu satu sama lain membentuk kesatuan sehingga mempersulit penanganan. Penilaian bobot kokon dilakukan setelah serabut floss dibersihkan. Bobot floss yang dihasilkan sebesar 10,033 ± 4,186 mg atau 11,59% dari bobot kulit kokon utuh. Kualitas kokon dipengaruhi bobot floss, semakin besar bobot floss, semakin rendah kualitas kulit kokon. Baskoro (2008) menyatakan bahwa bobot floss pada A. atlas ditemukan sebesar 180 ± 50 mg atau 27,61% dari bobot kulit kokon dengan floss. Persentase bobot flossC. trifenestrata pada penelitian ini ditemukan sebesar 11,59%. Persentase bobot floss yang dihasilkan C. trifenestrata lebih kecil bila dibandingkan dengan A. atlas yang menurut Baskoro (2008) persentase bobot floss A. atlas ditemukan sebesar 27,61%. Perbedaan tingkah laku pengokonan merupakan alasan utama perbedaan tersebut. Persentase floss yang dihasilkan A. atlas lebih besar karena spesies ini tidak membentuk koloni saat pengokonan. Hal yang sebaliknya terjadi pada C. trifenestrata. Floss merupakan serat-serat penyanggah yang dihasilkan ulat sutera pada saat akan mengokon. Yuanita (2007) menyatakan bahwa tempat pengokonan berpengaruh terhadap jumlah serat-serat penyangga (floss) yang dihasilkan ulat sutera pada saat akan mengokon.
26 Bobot floss (BF) memiliki tingkat korelasi dengan bobot kulit kokon (BKK) dengan nilai sebesar 0,194. Keterkaitan ini bernilai positif yang diartikan peningkatan bobot floss akan meningkatkan bobot kulit kokon. Model persamaan regresinya yaitu BF (mg/kokon) = 5,583 + 0,059 BKK (mg/kokon) yang berarti bahwa setiap kenaikan 1 mg BF akan meningkatkan BKK sebesar 0,059 mg. Grafik sebaran data antara BF terhadap BKK dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Sebaran Data Bobot Floss terhadap Bobot Kulit Kokon Pengklasifikasian Kulit Kokon C. trifenestrata Berdasarkan Ukuran
Persamaan ukuran kulit kokon C. trifenestrata disajikan pada Tabel 3. Nilai keragaman total 71,5% dan nilai egien sebesar 5,0033 diperoleh pada persamaan tersebut. Diameter bagian medial kokon (X2), lingkar bagian medial kokon (X5) dan
lingkar ¼ bagian posterior kokon (X3); merupakan penciri ukuran kulit kokon karena
memiliki vektor eigen yang tinggi yaitu sebesar 0,407; 0,398 dan 0,392. Hal tersebut menunjukkan bahwa`peubah diameter bagian medial kokon (X2), lingkar bagian
medial kokon (X5) dan diameter ¼ bagian posterior kokon (X3) memberikan
pengaruh terbesar pada skor ukuran kulit kokon C. trifenestrata. Tabel 4 menyajikan korelasi antara ukuran kulit kokon terhadap peubah-peubah linear permukaan kulit
27 kokon yang diamati. Berdasarkan Tabel 4, diperoleh korelasi tertinggi ditemukan antara diameter bagian medial kokon (X2), lingkar bagian medial kokon (X5),
diameter ¼ bagian posterior kokon (X3) dan ukuran, yaitu sebesar 0,90973; 0,89115
dan 0,87752. Keterkaitan ini bernilai positif (nilai korelasi positif) yang diartikan bahwa peningkatan diameter bagian medial kokon, lingkar bagian medial kokon dan lingkar ¼ bagian posterior kokon akan berakibat pada peningkatan skor ukuran kulit kokon. Demikian pula sebaliknya.
Tabel 3. Persamaan Ukuran dan Bentuk Ulat Sutera Emas C. trifenestrata
Persamaan Keragaman Total Nilai Eigen Ukuran = 0,378 X1 + 0,407 X2 + 0,392 X3 + 0,375 X4 + 0,398 X5 + 0,348 X6 + 0,342 X7 71,5% 5,0033 Bentuk = − 0,254 X1 − 0,281 X2 − 0,332 X3 − 0,274 X4 + 0,125 X5 + 0,550 X6 + 0,593 X7 8,9% 0,6233
Keterangan: X1 = Panjang Kokon, X2 = Diameter Bagian Medial Kokon, X3 = Diameter ¼ Bagian Posterior Kokon, X4 = Diameter ¼ Bagian Anterior Kokon, X5 = Lingkar Bagian Medial Kokon, X6 = Lingkar ¼ Bagian Posterior Kokon, X7 = Lingkar ¼ Bagian Anterior Kokon
Penetapan diameter bagian medial kokon (X2), lingkar bagian medial kokon
(X5) dan diameter ¼ bagian posterior kokon (X3) sebagai penciri ukuran,
menunjukkan bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam penentuan skor ukuran. Diameter bagian medial kokon (X2), lingkar bagian medial kokon (X5) dan
diameter ¼ bagian posterior kokon (X3) berpengaruh pada jumlah filamen yang
dihasilkan karena filamen terpaut pada ketiga peubah tersebut. Penciri ukuran tersebut mempermudah pemenen dalam melakukan grading tanpa harus melakukan penimbangan. Pengklasifikasian kulit kokon C. trifenestrata dilakukan berdasarkan perolehan skor ukuran. Skor ukuran kulit kokon pada penelitian ini diperoleh berdasarkan persamaan ukuran atau persamaan komponen utama pertama yang diturunkan dari matriks korelasi melalui Analisis Komponen Utama. Hal tersebut disajikan pada Tabel 3.
28 Tabel 4. Koefisien Korelasi Ukuran dan Bentuk terhadap Peubah-Peubah Permukaan
Linear Kulit Kokon C. trifenestrata
Peubah Ukuran Bentuk
Panjang kokon (X1) 0,84659 -0,20053
Diameter kokon bagian medial (X2) 0,90973 -0,22185
Diameter kokon ¼ bagian posterior (X3) 0,87752 -0,26369
Diameter kokon ¼ bagian anterior (X4) 0,83891 -0,21632
Lingkar kokon bagian medial (X5) 0,89115 0,09869
Lingkar kokon ¼ bagian posterior (X6) 0,77944 0,43422
Lingkar kokon ¼ bagian anterior (X7) 0,76390 0,46817
Pengklasifikasian ukuran (size) kulit kokon menjadi tinggi, sedang dan rendah; ditujukan untuk menentukan kualitas kulit kokon yang berpengaruh terhadap harga jual. Kulit kokon C. trifenestrata yang diklasifikasikan berukuran tinggi diperlihatkan dengan perolehan skor ukuran lebih dari 2,237; berukuran sedang diperlihatkan dengan peroleh skor ukuran -2,237 sampai dengan 2,237 dan berukuran kecil diperlihatkan dengan peroleh skor ukuran kurang dari dari -2,237. Hasil pengklasifikasian mengindikasikan sebanyak 20,93% kulit kokon berkualitas tinggi; sebanyak 57,36% kulit kokon berkualitas sedang dan sebanyak 21,70% kulit kokon berkualitas rendah. Hasil pengklasifikasian disajikan pada Tabel 5. Pengklasifikasian berdasarkan grade pada bobot kulit kokon tanpa floss telah dilakukan oleh Baskoro (2008) pada A. Atlas dari perkebunan teh di daerah Purwakarta. Baskoro (2008) membedakan grade bobot kulit kokon tanpa floss menjadi A, B, C, D dan E dengan masing-masing proporsi sebesar 19,2%; 19,16%; 21,2%; 20,0% dan 20,0%.
Tabel 5. Pengklasifikasian Kulit Kokon C. trifenestrata Berdasarkan Ukuran Pengklasifikasian Ukuran Kokon Jumlah Kokon (buah) Persentase (%)
Kecil ( < -2,237) 28 21,70
Sedang ( -2,237 – 2,237) 74 57,36
Besar ( > 2,237) 27 20,93
29 Gambar 11. menjelaskan diagram kerumunan kulit kokon ulat sutera emas C. trifenestrata berdasarkan skor ukuran dan skor bentuk pada masing-masing individu kokon. Penentuan skor bentuk akan dibahas pada bagian tersendiri. Pengklasifikasian kokon dilakukan berdasarkan skor ukuran, menjadi kelompok kecil, sedang dan besar.
Keterangan: = Kecil, = Sedang, = Besar
Gambar 11. Diagram Kerumunan Kulit Kokon Ulat Sutera Emas C. trifenestrata pada Pengklasifiksian Kecil, Sedang dan Besar berdasarkan Skor Ukuran
Bentuk Kulit Kokon C. trifenestrata
Persamaan bentuk pada kulit kokon C. trifenestrata memiliki nilai keragaman total 9,8% dan nilai eigen sebesar 0,6233 (Tabel 3). Peubah lingkar ¼ bagian anterior kokon (X7) merupakan penciri skor bentuk karena memiliki vektor eigen
tertinggi sebesar 0,593. Hal ini menunjukkan bahwa peubah lingkar ¼ bagian anterior kokon (X7)memberikan pengaruh terbesar pada skor bentuk kulit kokon C.
trifenestrata. Tabel 4 menyajikan korelasi antara skor bentuk dan peubah-peubah linear permukaan kulit kokon C. trifenestrata. Berdasarkan tabel tersebut, korelasi tertinggi ditemukan antara peubah lingkar ¼ bagian anterior kokon (X7) dan skor
30 peningkatan lingkar ¼ bagian anterior kokon akan berakibat pada peningkatan skor bentuk kulit kokon. Bentuk kokon sangat penting dalam mencapai keseragaman ukuran filamen pada mesin pemintal.
Penciri bentuk lingkar ¼ bagian anterior kokon (X7) kemungkinan
disebabkan ukuran imago yang dihasilkan. Imago memerlukan jalan keluar dari kokon melalui lubang pada ujung anterior kokon yang telah dibentuk pada saat pembuatan kokon. Menurut Awan (2007) dan Sari (2010) imago keluar dari kokon tepat pada saat organogenesi sempurna, yaitu pada saat organ-organ imago terbentuk sempurna. Menurut Gullan dan Cranston (2000) sinyal hormon mengatur perubahan organisme dari larva menjadi imago yang secara genetik merupakan karakter dari suatu spesies. Dijelaskan lebih lanjut bahwa faktor lingkungan seringkali berinteraksi mempengaruhi proses metamorfosis. Peubah lingkar ¼ bagian anterior kokon yang merupakan penciri skor bentuk kokon C. trifenestrata sangat berkaitan erat dengan karakteristik ukuran imago yang akan keluar dari kokon, yang secara genetik berbeda dengan kokon spesies lain. Everitt dan Dunn (1998) menyatakan bahwa bentuk lebih banyak dipengaruhi secara genetik.
Pendugaan Bobot Kulit Kokon Berdasarkan Peubah-Peubah Permukaan Kulit Kokon C. trifenestrata
Bobot kulit kokon diduga berdasarkan persamaan Analisis Regresi Komponen Utama (ARKU). Semua peubah ukuran permukaan kulit kokon berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kulit kokon (P < 0,01). Tabel 6 menyajikan hasil perhitungan tersebut.
Tabel 6. Pengujian Koefisien Regresi Secara Parsial (Berdasarkan Pendekatan Analisis Regresi Komponen Utama) pada Ulat Sutera C. trifenestrata
Peubah t-hitung t-tabel Taraf
Signifikan
Panjang Kokon 161,998 2,576 P < 0,01
Diameter Bagian Medial Kokon 161,998 2,576 P < 0,01 Diameter ¼ Bagian Posterior Kokon 161,998 2,576 P < 0,01 Diameter ¼ Bagian Anterior Kokon 161,998 2,576 P < 0,01 Lingkar Bagian Medial Kokon 161,998 2,576 P < 0,01 Lingkar ¼ Bagian Posterior Kokon 161,998 2,576 P < 0,01 Lingkar ¼ Bagian Anterior Kokon 161.998 2,576 P < 0,01
31 Persamaan pendugaan bobot kulit kokon C. trifenestrata diperoleh sebagai berikut Y = − 22,3277 + 0,34429 (panjang kokon) + 0,99045 (diameter bagian medial kokon) + 1,04886 (diameter ¼ bagian posterior kokon) + 0,94947 (diameter ¼ bagian anterior kokon) + 0,34514 (lingkar bagian medial kokon) + 0,35478 (lingkar ¼ bagian posterior kokon) + 0,33510 (lingkar ¼ bagian anterior kokon). Koefesien determinasi yang dihasilkan hanya diperoleh 45,1%; yang mengindikasikan kekuatan perubahan peubah-peubah ukuran permukaan linear kulit kokon terhadap bobot kulit kokon. Sebanyak 54,9% perubahan pada bobot kulit kokon dipengaruhi faktor selain peubah-peubah permukaan linear kulit kokon yang diamati.
Elastisitas tertinggi bobot kulit kokon terhadap peubah-peubah ukuran kulit kokon pada C. trifenestrata, disajikan pada Tabel 7. Elastisitas terbesar adalah pada peubah lingkar bagian medial kokon (X5) yang menunjukkan peubah bobot kulit
kokon lebih sensitif pada perubahan lingkar bagian medial kokon (X5).
Tabel 7. Tingkat Sensitivitas (Elastisitas) Bobot Kulit Kokon terhadap Peubah-Peubah Ukuran Kulit Kokon C. trifenestrata berikut Peningkatan Bobot Kulit Kokon pada Setiap Peningkatan Ukuran Peubah yang Diamati
Urutan Peubah Kulit Kokon Nilai Elastisitas*
Peningkatan Bobot Kulit Kokon pada Setiap Peningkatan
Satu mm Ukuran Peubah yang Diamati ---(mg)--- Lingkar bagian medial kokon (X5) 0,220 0,354
Diameter bagian medial kokon (X2) 0,193 0,934
Lingkar ¼ bagian posterior kokon (X6) 0,190 0,350
Lingkar ¼ bagian anterior kokon (X7) 0,180 0,342
Diameter ¼ bagian posterior kokon (X3) 0,178 1,077
Panjang kokon (X1) 0,172 0,342
Diameter ¼ bagian anterior kokon (X4) 0,162 0,923
Keterangan*: Diukur dari yang tertinggi
Nilai elastisitas tertinggi ini dapat dijadikan acuan dalam upaya seleksi terhadap bobot kulit kokon. Pengaruh setiap peubah ukuran linear permukaan kulit
32 kokon terhadap bobot kulit kokon disajikan pada uraian berikut ini; karena setiap peubah ukuran linear permukaan kulit kokon berpengaruh sangat nyata terhadap peubah bobot kulit kokon (P < 0,01).
Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Panjang Kokon (X1)
Peubah panjang kokon berpengaruh terhadap bobot kulit kokon, yang diperlihatkan dengan nilai elastisitas sebesar 0,172. Hal ini disajikan pada Tabel 8. Hal tersebut diartikan bahwa setiap peningkatan 1% panjang kokon (X1) akan
meningkatkan 0,172% bobot kulit kokon atau disetarakan dengan peningkatan satu mm panjang kokon (X1) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,342 mg.
Menurut Baskoro (2008) panjang kokon berkorelasi positif terhadap bobot kulit kokon tanpa floss pada jenis ulat sutera lain yaitu A. atlas sebesar 0,548. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Setiorini (2009) dengan nilai korelasi sebesar 0,598. Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Diameter Bagian Medial Kokon (X2)
Peubah diameter bagian medial kokon (X2) berpengaruh terhadap bobot kulit
kokon, dengan nilai elastisitas sebesar 0,193 (Tabel 8). Setiap peningkatan 1% diameter bagian medial kokon (X2) akan meningkatkan 0,193% bobot kulit kokon
atau disetarakan dengan peningkatan satu mm diameter bagian medial kokon (X2)
akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,934 mg. Baskoro (2008) menyatakan bahwa diameter bagian medial kokon berkorelasi positif dengan bobot kulit kokon tanpa floss pada jenis ulat sutera liar lain A. atlas yaitu sebesar 0,573. Setiorini (2009) juga menyatakan bahwa diameter bagian medial kokon berkorelasi positif dengan bobot kulit kokon sebesar 0,574.
Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Diameter ¼ Bagian Posterior
Kokon (X3)
Peubah diameter ¼ bagian posteriorkokon (X3) berpengaruh terhadap bobot
kulit kokon, dengan perolehan nilai elastisitas sebesar 0,178. Hal tersebut disajikan pada Tabel 8. Perolehan nilai elastisitas sebesar 0,178 diartikan bahwa setiap peningkatan 1% diameter ¼ bagian posteriorkokon (X3) akan meningkatkan 0,178%
bobot kulit kokon. Hal ini menyimpulkan bahwa peningkatan satu mm diameter ¼ bagian posterior kokon (X3) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 1,077 mg.
33 tanpa floss pada jenis ulat sutera liar lain A. atlas telah dilakukan Baskoro (2008) dengan perolehan nilai sebesar 0,534 dan Setiorini (2009) memperoleh nilai 0,509. Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Diameter ¼ Bagian Anterior
Kokon (X4)
Peubah diameter ¼ bagian anterior kokon (X4) berpengaruh terhadap bobot
kulit kokon dengan nilai elastisitas sebesar 0,162. Hal tersebut disajikan pada Tabel 8. Peningkatan 1% diameter ¼ bagian anterior kokon (X4) akan meningkatkan
bobot kulit kokon sebesar 0,162% atau setara dengan pernyataan peningkatan satu mm diameter ¼ bagian anterior kokon (X4) akan meningkatkan bobot kulit kokon
sebesar 0,932 mg. Baskoro (2008) melaporkan korelasi antara diameter ¼ bagian anterior kokon dan bobot kulit kokon tanpa floss sebesar 0,626 pada jenis ulat sutera liar lain A. atlas. Setiorini (2009) melaporkan hal yang sama dengan nilai korelasi 0,622.
Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Lingkar Bagian Medial Kokon (X5)
Peubah lingkar bagian medial kokon (X5) berpengaruh terhadap bobot kulit
kokon dengan nilai elastisitas dihitung sebesar 0,22. Hal ini disajikan pada Tabel 8. Peubah ini paling berpengaruh terhadap bobot kulit kokon C. trifenestrata yang diamati pada penelitian ini. Peningkatan 1% lingkar bagian medial kokon (X5) akan
meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,22% atau peningkatan satu mm lingkar bagian medial kokon (X5) akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,354 mg.
Penelitian Baskoro (2008) menyatakan bahwa lingkar bagian medial kokon pada ulat sutera liar jenis lain A. atlas berkorelasi positif dengan bobot kulit kokon tanpa floss, dengan nilai korelasi sebesar 0,681. Setiorini (2009) menyatakan bahwa hal sama dengan nilai korelasi sebesar 0,354.
Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Lingkar ¼ Bagian Posterior
Kokon (X6)
Peubah lingkar ¼ bagian posterior kokon (X6) berpengaruh terhadap bobot
kulit kokon dengan nilai elastisitas sebesar 0,190; seperti yang disajikan pada Tabel 8. Peningkatan 1% lingkar ¼ bagian posterior kokon (X6) akan meningkatkan
bobot kulit kokon sebesar 0,19% atau dapat pula dinyatakan bahwa peningkatan satu mm lingkar bagian posterior kokon (X6) akan meningkatkan bobot kulit kokon
34 antara lingkar ¼ bagian posterior kokon dan bobot kulit kokon tanpa floss pada ulat sutera liar jenis lain A. atlas. Setiorini (2009) melaporkan hal yang sama dengan nilai korelasi sebesar 0,505.
Hubungan antara Bobot Kulit Kokon (Y) dan Lingkar ¼ Bagian Anterior
Kokon (X7)
Peubah lingkar ¼ bagian anterior kokon (X7) berpengaruh terhadap bobot
kulit kokon dengan perolehan nilai elastisitas sebesar 0,18. Hal tersebut disajikan pada Tabel 8. Peningkatan 1% lingkar ¼ bagian anterior kokon (X7) akan
meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,18% atau dapat disimpulkan bahwa peningkatan satu mm lingkar ¼ bagian anterior kokon akan meningkatkan bobot kulit kokon sebesar 0,342 mg. Penelitian pada ulat sutera liar jenis lain A. atlas telah dilaporkan oleh Baskoro (2008). Penelitian Baskoro (2008) melaporkan korelasi sebesar 0,519 diperoleh antara lingkar ¼ bagian anterior kokon dan bobot kulit kokon. Setiorini (2009) melaporkan hal yang sama dengan nilai korelasi sebesar 0,223.
Berdasarkan Tabel 8 elastisitas bobot kulit kokon tertinggi pada lingkar bagian medial kokon (X5), mencerminkan tingkat kesensitifan terhadap bobot kulit
kokon, bukan mencermin respon peningkatan ukuran dalam satuan mm terhadap peningkatan bobot kulit kokon. Respon peningkatan yang tinggi terhadap bobot badan, belum tentu bersifat sensitif.