• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Nisbah C/N Campuran Awal...Kabul Ibrahim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Nisbah C/N Campuran Awal...Kabul Ibrahim"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH NISBAH C/N CAMPURAN AWAL FESES SAPI POTONG DAN JERAMI PADI TERHADAP BIOMASSA CACING TANAH DAN BIOMASSA KASCING

HASIL VERMICOMPOSTING RESIDU PUPUK ORGANIK CAIR

THE INFLUENCE OF INITIAL C/N RATIO OF BEEF CATLE FECES AND RICE STRAWMIXTURE ON EARTHWOMRS BIOMASS AND VERMICOMPOST RESULTED FROM VERMICOMPOSTING OF LIQUID ORGANIC FERTILIZER

RESIDUE

Kabul Ibrahim*, TB Benito A Kurnani**, dan Wowon Juanda** Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

Jalan Raya Bandung Sumedang KM 21 Sumedang 45363 *Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran **Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

e-mail: kabul.ibrahim@rocketmail.com ABSTRAK

Penelitian tentang pengaruh nisbah C/N campuran awal feses sapi potong dan jerami padi terhadap biomassa cacing tanah dan kascing hasil vermicomposting residu pupuk organik cair telah dilaksanakan pada bulan juni 2014 sampai dengan juli 2014 di Laboratorium Mikrobiologi dan Penanganan Limbah, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh nisbah C/N dalam vermicomposting dengan feses sapi potong dan jerami padi sebagai media, terhadap biomassa cacing tanah dan kascing. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan nisbah C/N (P1 = 20, P2 = 25, P3 = 30) dan masing – masing diulang sebanyak enam kali. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Tukey (HSD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan nisbah C/N pada vermicomposting berpengaruh nyata terhadap biomassa cacing tanah dan kascing. Perlakuan C/N 30 memberikan pengaruh paling optimal terhadap biomassa cacing tanah (P3 = 677 gram) dan kascing (P1 = 2083.3 gram) dalam waktu 14 hari.

Kata kunci: Nisbah C/N, feses sapi potong, jerami padi, cacing tanah, Kascing. ABSTRACT

Research on the influence of the initial C/N ratio of beef cattle feces and rice straw mixture on earthworms biomass and vermicompost resulted from vermicomposting of liquid organic fertilizer residue had been carried from june, 2014 up to july 2014 in the Laboratory of Microbiology and Waste Management, Animal Husbandry Faculty, Universitas Padjadjaran. This study aims to determine the influence of initial ratio of beef cattle feces and rice straw mixture on eartworms biomass and vermicompost. This study used an experimental method with a completely randomized design with three treatments of the C/N ratio (P1 = 20, P2 = 25, P3 = 30) and respectively for each C/N ratio repeated six times. To determine differences between treatments the callected data were then analyzed using Tukey's test (HSD). The results show that the treatment ratios of C/N on vermicompost provide different eartworm biomass and vermicompost. The C/N ratio of 30 gives the most optimal effect on eartworm biomass (P3 = 677 grams) and vermicompost (P1 = 2083.3 gram) within 14 days.

(2)

PENDAHULUAN

Pencemaran lingkungan diketahui sudah terjadi sejak beberapa abad yang lalu, namun perhatian yang serius baru tampak setelah pencemaran tersebut dirasakan menimbulkan berbagai jenis kerugian, baik material maupun non-material. Hal ini terjadi karena limbah yang dihasilkan sudah melebihi ambang batas daya dukung lingkungan secara alami, dan tidak disertai dengan upaya pengelolaannya. Maka jika limbah tersebut tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.

Untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan akibat limbah organik yang berasal dari ternak, seperti limbah ternak sapi potong dapat diupayakan melalui pengolahan limbah menjadi pupuk organik padat dan pupuk organik cair. Pembuatan pupuk organik cair terdiri dari beberapa tahap, yaitu fermentasi subtrat padat, ekstraksi mikroorganisme, dan fermentasi lanjut hasil ekstraksi. Proses fermentasi subtrat padat dilakukan selama 2 minggu sampai limbah menjadi kompos setengah matang. Selanjutnya ekstraksi mikroorganisme dengan menggunakan air panas (suhu 80oC – 100oC) sehingga diperoleh larutan yang akan difermentasi lanjut sampai subtrat tidak berbau. Selain larutan tersebut, hasil ektraksi juga menghasilkan padatan sebagai hasil ikutan. Padatan tersebut masih mengandung nutrisi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan sekaligus media cacing tanah pada vermicomposting.

Vermicomposting adalah proses pengomposan sederhana, dengan memanfaatkan spesies cacing tanah untuk meningkatkan proses konversi limbah dan menghasilkan produk yang berkualitas (Ghandi et al. 1997). Vermicomposting menghasilkan dua macam produk utama, yakni cacing tanah dan kascing (Kurniadi, 2007). Biomassa cacing tanah yang dihasilkan dari vermicomposting dapat dimanfaatkan untuk vermicomposting selanjutnya dan dapat pula dijadikan sebagai sumber protein bagi pertumbuhan cacing selanjutnya, selain menghasilkan biomassa cacing tanah, vermicomposting juga mengasilkan kascing. Kascing banyak mengandung nitrogen, fosfat, kalsium, dan magesium (Gaddie and Douglas, 1975). Selain mengandung unsur hara tersebut, kascing juga mengandung zat pengatur tumbuh seperti auksin, giberelin, dan sitokinin. Selain itu juga ditemukan sejumlah mikroba yang bersifat menguntungkan bagi tanaman (Tomatti, Grapelli and galli, 1998). Oleh karena itu, sangat

(3)

bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan (Blasi and Maso, 2007)

Jenis cacing yang digunakan dalam vermicomposting dipilih dari jenis cacing tanah yang mampu beradaptasi dengan perlakuan manusia, seperti Lumbricus rubellus. Cacing ini sudah terbukti mudah beradaptasi dan lebih produktif dibanding jenis cacing tanah lainnya, serta sudah ada di Indonesia. Cacing tanah merupakan cacing yang mempunyai kemampuan memakan bahan organik yang sudah mengalami proses fermentasi dan di cerna menjadi bahan yang berguna bagi tubuh dan sisanya dikeluarkan melalui anus berupa feses (casting) yang merupakan hasil ekresi, sedangkan kascing merupakan casting yang bercampur dengan sisa bahan organik sebagai medianya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses biologis dalam pengomposan adalah nisbah C/N, kadar air, ketersediaan oksigen, mikroorganisme, temperatur, dan pH, namun dari faktor-faktor yang mempengaruhi pengomposan tersebut yang terpenting adalah nisbah unsur C dan N dalam bahan komposan (Merkel, 1981). Nisbah C/N yang baik untuk vermicomposting ialah 20 – 40 (Djuarnani, dkk, 2005). Vermicomposting yang berkualitas baik ditandai dengan warna hitam kecoklatan hingga hitam tidak berbau, bertekstur remah dan matang yaitu nisbah C/N 20 (Mashur, 2001).

Kadar air dalam subtrat sangat penting karena air merupakan bahan pelarut nutrisi. Apabila kadar air dibawah 40% maka akan memperlambat proses. Sedangkan kadar air lebih dari 60% maka proses yang terjadi cenderung pembusukan karena tidak cukup oksigen dalam subtrat sehingga proses yang terjadi cenderung menjadi anaerob, untuk itu kadar air yang di syaratkan ialah antara 50-55% (CSIRO, 1979)

(4)

Bahan dan Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2014, bertempat di Laboratorium Mikrobiologi dan Penanganan Limbah, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran.

Bahan Penelitian

Bahan organik yang digunakan adalah: (1) Feses sapi potong yang diperoleh dari kandang sapi potong Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Sumedang. (2) Jerami Padi yang diperoleh dari daerah kiara payung, Jatinangor. Sumedang. (3) Cacing tanah Lumbricus rubellus diperoleh dari peternak cacing tanah, Bapak Rianto, Cihanjuang. Cimahi. (4) Aquadest dan larutan buffer pH yang digunakan sebagai penetral pH, yang diperoleh dari toko Sakura, Jl. Pajajaran, Bandung

Peubah yang diamati

- Biomassa cacing tanah yang didapat dari berat cacing tanah setelah proses vermicomposting

- Biomassa kascing yang didapat dari berat kascing akhir setelah proses vermicomposting

-

Peubah pendukung adalah pH, dan suhu

Metode Penelitian

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan, sehingga diperoleh 18 sampel perlakuan. Untuk mengetahui pengaruh tiap perlakuan dilakukan analisis statistik dengan menggunakan metode sidik ragam, kemudian untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji Tukey. Adapun masing-masing perlakuan (P) tersebut adalah sebagai berikut:

P1 = campuran feses sapi potong dan jerami padi dengan nisbah C/N 20 P2 = campuran feses sapi potong dan jerami padi dengan nisbah C/N 25 P3 = campuran feses sapi potong dan jerami padi dengan nisbah C/N 30

(5)

Hasil dan Pembahasan

Pengaruh Nisbah C/N Campuran Awal Feses Sapi Potong dan Jerami Padi terhadap Biomassa Cacing Tanah dan Biomassa Kascing hasil Vermicomposting Residu Pupuk Organik Cair

Tabel 1. Rata – rata biomassa cacing tanah Lumbricus rubellus pada berbagai perlakuan (gram)

Ulangan

Perlakuan

P

1

P

2

P

3

...gram...

1

2

100

100

2

84

104

110

3

102

110

120

4

4

103

114

5

87

95

113

6

24

108

120

Jumlah

303

620

677

Rataan

50.5

103.3

112.83

Keterangan : P

1

= feses sapi potong dan jerami padi dengan C/N 20

P

2

=

feses sapi potong dan jerami padi dengan C/N 25

P

3

= feses sapi potong dan jerami padi dengan C/N 30

Pada Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa rata – rata biomassa cacing tanah Lumbricus rubellus berkisar antara 50.5 gram sampai dengan 112.83 gram. Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 1, Berdasarkan hasil penelitian ini, pertambahan biomassa cacing tanah tertinggi dicapai pada P3 (nisbah C/N 30) yaitu sebesar 113 gram. Tingginya pertambahan biomassa cacing pada P3 diduga karena sifat fisik dan kimia tanah (suhu, kadar air, pH, dan kadar organik) sebagai media hidup cacing tanah telah memenuhi syarat sehingga cacing tanah mampu bertahan hidup di media tersebut. Perlakuan nisbah C/N 30 menghasilkan komposan dengan kandungan nutrisi seimbang untuk pertambahan dan perkembangan mikroorganisme. Hal ini sesuai dengan pendapat Djuarnani, dkk. (2005) nisbah C/N yang baik untuk vermicomposting ialah 20 – 40, namun nisbah C/N yang ideal bagi kehidupan mikroorganisme dalam proses vermicomposting ialah sebesar 30. Pada lingkungan hidup tertentu dengan tersedianya nutrisi yang cukup dalam proses metabolisme mikroba akan diproduksi energi dan menghasilkan sel-sel baru. Proses dekomposisi dalam bahan komposan semakin meningkat seiring jumlah biomassa mikroorganisme pendekomposer semakin tinggi.

(6)

Pertambahan bobot badan cacing tanah pada penelitian ini menandakan bahwa kandungan nutrisi pada media yang terdiri dari campuran feses sapi potong dan jerami padi dapat mencukupi kebutuhan nutrisi bagi pertambahan cacing tanah Lumbricus rubellus. Hal ini sesuai dengan pendapat Munroe (2003), bahwa mikroorganisme akan mendegradasi bahan organik yang terdapat dalam bahan komponen seperti karbohidrat, protein dan lemak menjadi bentuk yang lebih sederhana seperti glukosa, asam amino, dan asam lemak. Bahan organik dalam bentuk sederhana ini dapat dengan mudah dicerna dan diserap cacing tanah, sehingga dapat dimanfaatkan secara efektif untuk pembentukan jaringan tubuh baru, hal ini ditandai dengan adanya peningkatan bobot badan cacing tanah.

Pada P3 (nisbah C/N 30) berbeda dengan P1 (nisbah C/N 20) terhadap pertambahan biomassa cacing tanah yang sangat rendah yaitu sebesar 51 gram, diduga karena sifat fisik dan kimia media dan kadar organik media kurang memenuhi syarat sebagai media hidup cacing tanah. Akibatnya semua pada perlakuan P1 banyak cacing tanah yang mati. Faktor lain diduga penyebab cacing tanah mati ialah padatan hasil sisa ekstraksi belum sempurna dan belum layak untuk penanaman cacing tanah pada P1, karena masih banyak mengandung kadar organik sehingga masih terjadi fermentasi aerob. Akibatnya cacing tanah banyak yang keracunan pada hari ke 3.

Kehidupan cacing tanah juga ikut ditentukan oleh pH. Fender (1990) menyatakan bahwa kemasaman media sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah sehingga menjadi faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya, umumnya cacing tanah tumbuh baik pH optimum sekitar 6 – 7,2 Sedangkan pH yang di dapat pada perlakuan P1 yaitu 6,8 – 10,6. Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu pH merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat hidup pada tanah tertentu. Penyebaran vertikal maupun horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah (Edward & Lofty, 1970).

Penurunan biomassa cacing tanah disebabkan oleh berkurangnya sumber makanan untuk cacing tanah karena sifat fisik dan kimia tanah juga mempengaruhi kehidupan cacing

(7)

tanah. Jika kondisi pertumbuhan tidak cocok, maka kecepatan konsumsi makanan akan menurun (Herbert, 2006). Hal ini sesuai dengan pendapat Catalan (1981) Faktor-faktor yang mendukung kehidupan cacing tanah antara lain : pakan, suhu, pH, kadar oksigen, kadar organik, media, cahaya, kepadatan, dan populasi.

Tabel 2. Rata – rata biomassa kascing berdasarkan pada berbagai perlakuan

Ulangan

Perlakuan

P

1

P

2

P

3

...gram...

1

2200

2000

2000

2

2000

2000

2000

3

2050

2000

2000

4

2100

1900

1850

5

2000

2000

2000

6

2150

2000

1900

Jumlah

12500

11900

11750

Rataan

2083.3

1983.3

1958.3

Keterangan : P

1

= feses sapi potong dan jerami padi dengan C/N 20

P

2

=

feses sapi potong dan jerami padi dengan C/N 25

P

3

= feses sapi potong dan jerami padi dengan C/N 30

Pada Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa rata – rata biomassa kascing berkisar antara 1958.3 gram sampai dengan 2083.3 gram. Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa semakin meningkat nisbah C/N, maka akan berpengaruh terhadap pertambahan biomassa kascing. Hal ini sesuai dengan pendapat Sihombing (2000), jumlah kascing dipengaruhi oleh tinggi rendahnya aktivitas cacing tanah. Pada cacing tanah dengan aktivitas yang lebih tinggi, kascing yang dihasilkan akan semakin rendah, sebaliknya cacing tanah dengan aktivitas yang lebih rendah akan menghasilkan kascing yang tinggi.

Rendahnya biomassa kascing yang dihasilkan pada vermicomposting dikarenakan pada nisbah C/N tersebut jumlah pakan untuk cacing sesuai dengan kebutuhan cacing sehingga jumlah konsumsinya tinggi dan kotoran yang dikeluarkan sedikit. Hal ini sesuai dengan pendapat Gaddie and Doughlas (1977), penyusutan media yang terjadi di akhir penelitian di anggap salah satu parameter yang menunjukan adanya aktivitas makan oleh cacing tanah dan mikroorganisme lainnya. Kascing adalah bekas media cacing ditambah media yang tidak

(8)

terkonsumsi, sedangkan menurut Simanungkalit (2006), kascing merupakan kotoran yang dapat berguna sebagai pupuk.

Pada perlakuan kascing yang memiliki biomassa paling rendah, menandakan bahwa media yang dimakan oleh cacing lebih banyak. Pakan yang dikomsumsi pada perlakuan tersebut digunakan oleh cacing tanah untuk meningkatkan bobot badannya sehingga sisa metabolismenya yang dihasilkan pun menjadi lebih rendah dibanding jumlah yang dikonsumsinya. Hal tersebut sependapat dengan Gaddie dan Doughlas (1977), bahwa bahan organik yang dimakan oleh cacing tanah mengalami perombakan dalam alat pencernaanya hingga menjadi halus dan setelah dicerna sisanya akan dieksresikan menjadi kotoran atau kascing.

Hasil pengamatan saat pemanenan, kascing yang dihasilkan pada perlakuan P1 tidak berbau, berwarna hitam dan berbentuk partikel-partikel kecil yang remah dan seragam sedangkan pada perlakuan P2 dan P3 kascing yang dihasilkan tidak berbau, berwarna hitam kecoklatan dan berbentuk partikel-partikel kecil yang remah dan seragam. Hal ini sesuai dengan pendapat Mashur (2001). Kascing yang dihasilkan melalui vermicomposting kaya akan nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan, warna hitam kecoklatan hingga hitam tidak berbau, bertekstur remah dan matang. Kascing juga memiliki nilai jual yang tinggi bila dibandingkan dengan kompos yang lainnya (Dickerson, G. W., 2001)

Berat awal media yang digunakan adalah 2,5 kg. Setelah 2 minggu media tersebut mengurang dengan sendirinya. Hal ini disebabkan oleh aktivitas cacing tanah yang mengakibatkan cacing tanah mendekomposisi bahan organik yang terdapat pada media untuk dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh dan energi, sehingga jumlah pakan yang tereduksi semakin tinggi setiap harinya yang menyebabkan biomassa kascing yang dihasilkan rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Abbot and Parker (1981) bahwa ketersediaan pakan yang semakin terbatas mendorong cacing tanah memakan media yang ada disekelilingnya lebih sering dengan maksud untuk memperoleh nutrisi lebih banyak.

(9)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Bahwa perlakuan nisbah C/N 30 menghasilkan biomassa cacing tanah tertinggi 112.83

gram dan biomassa kascing terendah 1958.3 gram

2. Nisbah C/N yang menghasilkan biomassa cacing tanah dan kascing optimal adalah 30

Daftar Pustaka

Abbot, I and C.A. Parker. 1981. Interaction Between Earthworms dan Their Soil Environment. Soil Biology Biochemistry J. 13; 191 – 192.

Catalan, G.I. 1981. Earthworm a New Source of Protein. Philippine Earthworm Center. 6; 11 – 16.

CSIRO Division Soil, 1979. Composting Making Soil Imrover From Rubish. Discovering Soil. Dickerson G. W. 2001. Vermicomposting: Cooperative Extention Service. New Mexico State

University. USA.

Djuarnani, N., Kristian, dan Budi Dusilo Setiawan. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Cetakan Pertama. Agromedia Pusaka. Jakarta

Edwards, C. A. and J.R. Lofty. 1970. Biology of Earthworm. Champman and Hall, New York. USA

Fender WM, McKey-Fender D. 1990. Oligochaeta : megascolecidae and other eartworm from Western North America. Di dalam soil biologi guide. D.L, Dindal. Wiley-Interscience Publication. New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore

Gaddie, R. E, and D. E. Doughlas. 1975. Eartworms for Ecology and Profit. Vol. 1 Bookworm Publishing Company. Ontario, California.

____________________________,1977. Earthworms for Ecology and Profit. Vol. II. Bookworm Publishing Company. Ontario. California

Ghandi M, Sangwan V, Kapoor KK and Dilbaghi N. 1997. Composting of household wates with and without eartworm. Environment and Ecology 15(2): 432-434

Herbert, M. 2006. Composting with Worms. Cooperative Extention Service 1 – 4.

Kurniadi, M. I. (2007), “Efektifitas Penggunaan Jenis Wadahh Sarang Cacing Tanah (Eisenia Foetida) Dalam Proses Vermikomposting” Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor. Mashur, 2001, “Vermikompos Pupuk Organik Berkualitas dan Ramah Lingkungan”, Instalasi

Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

(10)

Maso, M. A. and Blasi, A. B. 2007. “Evaluation of Composting as a Strategy for Managing Organic Wastes from a Municipal Market in Nicaragua”. Bioresource Technology. Vol. 99 (5120 – 5124).

Munroe G. 2003. Manual of On-Farm Vermicomposting and Vermiculture. Organic Agriculture Centre of Canada (OACC). USA.

Sihombing, D.T.H. 2000. Potensi Cacing Tanah Bagi Sektor Industri dan Pertanian. Media Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Simanungkalit et al. 2006. Organic Fertilizer and Biofertilizer. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Tomatti, U. A., Grapelli and E. Galli. 1988. The Hormons Like Effect of Earthworm Casts On Plant Growth. Biol. Fertils Soils. 5: 228 – 294.

Gambar

Tabel  1.  Rata  –  rata  biomassa  cacing  tanah    Lumbricus  rubellus  pada  berbagai  perlakuan (gram)  Ulangan  Perlakuan  P 1  P 2  P 3  ................................gram.....................................
Tabel 2. Rata – rata biomassa kascing berdasarkan pada berbagai perlakuan

Referensi

Dokumen terkait

(2014) dalam penelitian menunjukkan bahwa dari 22 galur kacang Bogor yang digunakan sebagai bahan penelitian ini memiliki koefisien kemiripan antara 0,695-0,950

Fakta bahwa pH optimum adsorpsi ion logam berat oleh biomassa Azolla terjadi pada pH 4-5 tersebut menunjukkan adanya peran penting dari gugus asam lemah yang terdapat pada

Dengan demikian, buku ini dapat membantu siswa memahami materi yang diberikan guru.. Bagi guru, buku ini membantu dalam menyampaikan materi

dan dinyatakan sebagai Lethal Concentration (LC), ANOVA One Way untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak terhadap jumlah kematian larva dan uji Tukey untuk

Salah satu model regresi yang dapat digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel respon Y yang berupa data diskrit dengan variabel prediktor X berupa data

maksimal dan mengatasi masalah yang ada, penelitian dilakukan dengan mengikuti langkah- langkah ini : Data survey Wawancara Observasi Identifikasi Masalah Analisa

Karakteristik distrofi Meesmann ditandai adanya gelembung kecil yang jelas terlihat, pungtata dengan gambaran keruh berbentuk bulat sampai oval yang terbentuk di epitel sentral