• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

17

ANALISIS TEKNIS DAN EKONOMI AGRIBISNIS AYAM BURAS SISTEM SEMI INTENSIF-INTENSIF

(Studi kasus di KUB “Ayam Kampung Unggul” Desa Krengseng, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang)

Dian Maharso Yuwono dan F. Rudi Prasetyo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah

dianmy@yahoo.com ABSTRAK

Komoditas lokal yang paling banyak ditemui di masyarakat adalah ayam kampung (bukan ras/buras). Ayam buras dipelihara sebagai usaha sambilan untuk memanfaatkan pekarangan, umumnya dipelihara secara tradisional. Fungsi ayam buras dalam hal ini untuk memanfaatkan lahan pekarangan dan limbah dapur untuk pakan, sekaligus sebagai penghasil telur dan daging, serta sebagai sumber pendapatan rumah tangga atau tabungan hidup yang sewaktu-waktu dapat diuangkan. Pemeliharaan sistem tradisional menyebabkan produktivitas rendah dan tingkat mortalitas tinggi. Budidaya ayam buras secara lebih intensif dapat dijadikan titik ungkit bagi peningkatan perekonomian masyarakat, karena dengan penerapan teknologi akan meningkatkan produktifitas ayam buras. Terkait dengan hal tersebut, telah dilakukan penelitian untuk menganalisis secara teknis dan ekonomi agribisnis ayam buras sistem semi intensif-intensif. Penelitian dengan metode survai dilaksanakan pada Agustus-September 2011 di KUB ―Ayam Kampung Unggul‖ Desa Krengseng, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, respondennya adalah seluruh anggota KUB (25 orang). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara teknis anggota KUB telah menerapkan komponen teknologi terkait dengan budidaya ayam buras, diindikasikan dengan penerapan teknologi pada perkandangan dan pakan maupun vaksinasi yang secara teratur. Berdasarkan analisis ekonomi, pemeliharaan penggemukan ayam buras mampu menghasilkan R/C rasio 1,37, sedangkan pada perbibitan ayam buras mampu menghasilkan R/C rasio 1,24.

Kata kunci : analisis, teknis, ekonomi, agribisnis, ayam buras, semi intensif-intensif PENDAHULUAN

Komoditas lokal yang paling banyak ditemui di masyarakat adalah ayam kampung (bukan ras/buras). Ayam buras merupakan komoditi yang potensial untuk dikembangkan dengan menggunakan sumberdaya lokal. Penyebaran ayam buras yang meluas disebabkan pemeliharaannya relatif mudah karena tidak membutuhkan persyaratan yang cukup berat, dan sebagai sebagai ternak lokal ayam buras telah beradaptasi pada berbagai lingkungan (Soediroatmojo, 1984). Bagi pemiliknya, ayam buras ayam buras merupakan sumber penghasilan atau tabungan hidup yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk keperluan mendesak (Rasyid 2002; Mardiningsih et al. 2004). Mengingat populasinya yang cukup tinggi, sehingga secara nasional ayam buras turut berperan sebagai penyedia protein hewani bagi masyarakat. Terkait dengan

(2)

18

hal tersebut pemerintah menempatkan posisi ayam buras sebagai komoditi utama dalam kebijaksanaan pembangunan peternakan di Indonesia (Ditjennak, 2001).

Keunggulan ayam kampung adalah rasa dagingnya yang khas, mempunyai pangsa pasar tersendiri, sehingga bukan merupakan saingan bagi produk ayam ras. Besarnya pangsa pasar ayam kampung tercermin dari semakin banyaknya restauran/outlet/gerai yang menggunakan daging ayam kampung sebagai andalan (Priyanti et al., 2005). Pemenuhan kebutuhan konsumen terhadap ayam kampung terkendala oleh rendahnya pasokan, yang disebabkan reproduksi dan pertumbuhan bobot badannya yang lambat (Muryanto dan Subiharta, 1993). Ayam buras umumnya dipelihara secara tradisonal (minim teknologi), sebagai usaha sambilan, untuk memanfaatkan lahan pekarangan dan sisa dapur. Pemeliharaan sistem tradisional menyebabkan produktivitas rendah dan tingkat mortalitas tinggi. Ayam lokal pada umumnya (80%) dipelihara secara ektensif sebagai usaha sampingan dengan sistem umbaran (mencari makan sendiri) dan sisanya (20%) dipelihara secara semi intensif dan intensif (Ditjennak, 1997).

Untuk meningkatkan populasi, produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha ayam buras, sistem pemeliharaannya harus ditingkatkan dari tradisional ke arah yang lebih intensif dengan menerapkan teknologi. Hasil penelitian menunjukkan pada pemeliharaan sistem semi intensif dengan mengimplementasikan kandang umbaran terbatas produksi telur ayam buras mencapai 18,4% hen day, sedangkan pada pemeliharaan intensif dengan kandang batere produksi telurnya dapat mencapai 34,8% hen day (Muryanto et al. 1994; Muryanto et al. 1995c). Peningkatan produksi telur tersebut diantaranya dikarenakan meningkatnya frekuensi bertelur ayam buras. Sinurat et al. (1992) melaporkan bahwa pemeliharaan ternak ayam buras dengan cara semi intensif meningkatkan frekuensi bertelur menjadi 6 kali/tahun, atau meningkat 2 kali dibanding pola pemeliharaan tradisional yang frekuensi bertelurnya hanya 3 kali/tahun.

Budidaya ayam buras secara lebih intensif diharapkan dapat menjadi titik ungkit bagi peningkatan perekonomian masyarakat, karena dengan penerapan teknologi akan meningkatkan produktifitas ayam buras dan pendapatan petani. Makalah ini membahas untuk mengetahui kinerja agribisnis ayam buras yang dipelihara secara sistem semi intensif-intensif, baik dari aspek teknis maupun ekonomi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dengan tujuan untuk mengetahui kinerja teknis dan ekonomis ayam buras yang dipelihara secara sistem semi intensif-intensif, dilakukan di Kelompok Usaha Bersama (KUB) ―Ayam Kampung Unggul‖ Desa Krengseng, Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang. Penelitian dilakukan pada Agustus-September 2011 melalui metode survey melalui wawancara terhadap seluruh anggota KUB (25 orang), dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan terlebih dahulu. Analisisa teknis dilakukan dengan melihat sampai sejauh mana penerapan komponen teknologi dan penampilan produksinya. Analisa ekonomi dilakukan dengan

(3)

19

analisa input-output, kelayakan usaha ayam buras sistem semi intensif-intensif diukur dengan Revenue Cost Ratio (RC Ratio) dengan rumus sebagai berikut :

(Soekartawi, 1995) dimana:

R/C Ratio = Revenue Cost Ratio TR = Total Penerimaan TC = Total Biaya

Nilai R/C Ratio lebih besar dari satu (R/C Ratio > 1) maka agribisnis ayam buras semi intensif-intensif, sedangkan nilai R/C Ratio kurang dari satu (RCR <1) dapat diartikan agribisnis ayam buras sistem semi intensif-intensif mengalami kerugian dan tidak layak untuk dilaksanakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah kepemilikan ayam buras di masing-masing peternak paling sedikit 24 ekor, paling banyak adalah 481 ekor, dimana persentase paling banyak (88%) adalah pada kepemilikan maksimal 200 ekor. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya jumlah tersebut lebih tinggi apabila dibanding tingkat kepemilikan peternak pada berbagai program pengembangan ayam buras, seperti SPAKU, PRT, UPSUS dan SWAKARSA yakni berkisar 30-44 ekor/peternak (Gunawan, 2005).

Seluruh peternak (100,00%) telah menerapkan teknologi pisah anak, yakni setelah anak ayam menetas langsung dipisahkan dari induknya dan ditempatkan dalam kandang indukan/box yang dilengkapi lampu pemanas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi pisah anak terbukti meningkatkan pertumbuhan anak ayam dan menurunkan mortalitas karena umumnya disertai cara pemeliharaan yang lebih baik (Prasetyo et al., 1985). Selain itu, pisah anak juga terbukti meningkatkan produktivitas induk karena induk akan dapat segera bertelur kembali sementara anak dipelihara terpisah dengan pakan yang cukup tersedia dalam kandang indukan.

Meskipun ayam buras yang dimiliki masing-masing peternak terdiri dari anak, muda, dan dewasa namun tujuan produksi sebagian besar peternak di lokasi pengkajian utamanya adalah menghasilkan ayam buras siap potong. Tingginya permintaan pasar menyebabkan pemenuhan kebutuhan day old chick (DOC) sebagian besar (+80%) masih dipasok dari luar desa. Kondisi ini tentunya merupakan peluang besar bagi pengembangan usaha untuk menghasilkan telur tetas dan penetasan ayam buras di lokasi pengkajian.

Pemeliharaan ayam buras di lokasi pengkajian untuk periode muda (grower) 48,00% menerapkan sistem intensif, selebihnya (52,00%) menerapkan sistem semi intensif, sedangkan untuk periode dewasa (finisher) sebagian besar peternak (80,00%) menerapkan sistem semi intensif, sisanya (20%) menerapkan sistem intensif. Pada

(4)

20

sistem pemeliharaan semi intensif ayam buras tidak lagi berkeliaran bebas namun sudah menerapkan umbaran terbatas, induk mengerami telur, setelah menetas anak dipisahkan dari induknya. Pada pemeliharaan sistem intensif ayam buras dikurung/dikandangkan sepanjang hari, induk tidak diberikan kesempatan mengerami telurnya, telur ditetaskan dengan menggunakan mesin tetas.

Pakan merupakan aspek sangat penting pada pemeliharaan sistem semi intensif maupun intensif, dan pakan sangat tergantung pada peternaknya. Kelompok ternak di lokasi pengkajian membuat sendiri pakan ternak (on farm feed) dengan bahan-bahan yang mudah dibeli di sekitar lokasi, untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. Pakan yang diberikan peternak sampai anak ayam berumur 1 bulan sepenuhnya berupa pakan konsentrat untuk anak ayam (poor), selanjutnya berangsur-angsur dicampur dengan bahan pakan yang lainnya hingga komposisi pakan seperti pada periode grower. Pakan yang digunakan untuk periode grower dan finisher terdiri dari campuran konsentrat, bekatul, aking, dan tepung jagung, beberapa peternak menambahkan tepung ikan sebagai sumber protein. Kualitas pakan untuk periode finisher cenderung lebih baik dibanding dengan periode grower, terlihat dari lebih banyaknya persentase peternak yang menggunakan tepung ikan pada periode finisher.

Bahan pakan yang digunakan di lokasi pengkajian tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian lainnya, seperti yang dilaporkan (Iskandar et al., 1991) bahwa susunan pakan ayam buras di lapangan sangat bervariasi, umumnya terdiri dari konsentrat, jagung giling, bekatul, beberapa diantaranya menambahkan hijauan, grit, dan vitamin B12, dimana kandungan protein berkisar 12,8-16,8% dengan energi metabolis 2614 – 2750 kkal/kg pakan. Dirdjopratono et.al. (1995) melaporkan bahwa bahan yang banyak digunakan adalah bekatul yaitu 50 - 62,5%, jagung 18 - 35% dan konsentrat 7,5 - 20%.

Peternak peserta pembelajaran agribisnis ayam buras di Desa Krengseng dengan dikoordinir kelompok telah melakukan upaya pencegahan penyakit melalui vaksinasi ND (tetelo) dan gumboro secara rutin. Rata-rata mortalitas di lokasi pengkajian pada periode starter 11,09%, grower 2,24% dan finisher 1,25%. Tingkat mortalitas tersebut lebih rendah dibanding beberapa hasil penelitian lainnya. Juarini et al. (2005) melaporkan mortalitas ayam buras pada sistem intesif berkisar 7,6 – 12,2%, sedangkan Nataamidjaja et al. (1990) menyampaikan tingkat mortalitas ayam buras pada pemeliharaan tradisional hingga umur 6 minggu mencapai 68% akibat serangan penyakit menular, pemberian pakan dengan jumlah dan kualitas rendah, kecelakaan, dan serangan predator. Berdasarkan informasi peternak, penyakit yang sering dijumpai di lokasi pengkajian meliputi ND, gumboro, snot, dan pulorum, terutama terjadi pada Februari dan Maret. Tindakan peternak yang dilakukan terhadap ayam yang terserang penyakit adalah dengan memberikan antiotik maupun ramuan/jamu dari rempah-rempah yang diproduksi sendiri oleh peternak.

Analisa usaha penggemukan ayam buras untuk tujuan produksi ayam potong seperti tercantum pada Tabel 1. Penggemukan dilakukan sampai dengan ayam siap potong sesuai permintaan konsumen, yakni 3 bulan. Jumlah pakan yang diberikan

(5)

21

selama bulan pertama berupa konsentrat komersial dengan rata-rata konsumsi 0,37 kg/ekor, sedangkan pada bulan kedua dan ketiga konsentrat dicampur dengan bekatul dan tepung jagung, dengan tingkat konsumsi pada bulan kedua 0,70 kg/ekor/hari dan bulan ketiga 0,95 kg/ekor. Tingkat mortalitas ayam selama masa penggemukan sebesar 11%, dimana sebagian besar terjadi pada umur ayam berkisar 1-2 bulan. Output yang diperoleh adalah ayam buras hasil penggemukan dengan bobot badan berkisar 850-950 gr/ekor. Angka tersebebut tidak berbeda jauh dengan yang dilaporkan Iskandar (2005) bahwa bobot badan ayam buras yang dipelihara secara intesif pada umur 12 minggu sebesar 872 gr/ekor. Harga ayam buras hidup hasil penggemukan selama 3 bulan rata-rata Rp. 32.500,-/ekor.

Analisa kelayakan usaha penggemukan ayam buras menunjukkan nilai R/C sebesar 1,37, berarti usaha ini dinilai layak untuk diusahakan karena nilainya di atas 1. Hasil R/C rasio tersebut dapat diartikan bahwa setiap penambahan biaya Rp 1,- akan memperoleh penerimaan Rp 1,37,-. Pendapatan akan masih bisa bertambah diantaranya dengan menekan angka kematian ayam melalui manajemen kesehatan ternak yang lebih baik.

Tabel 1. Analisa penggemukan ayam buras jangka waktu 3 bulan (skala 100 ekor) No. Uraian Volume Satuan Harga/

satuan (Rp.) Jumlah (Rp.) A. Biaya 1. DOC 100 ekor 5.500 550.000 2. Pakan 109.500 - Bulan 1 (0,37 kg/ekor/bulan) 37 Kg 6.000 222.000 - Bulan 2 (0,70 kg/ekor/bulan) 62,3 Kg 4.000 249.200 - Bulan 3 (0,95 kg/ekor/bulan) 84,55 Kg 4.000 338.200

Total biaya pakan 809.400

3. Vaksin, vitamin 1 paket 50.000 50.000 4. Penyusutan kandang 1 paket 100.000 100.000 5. Tenaga kerja 3 bulan 250.000 750.000

Total biaya 2.259.400

B. Penerimaan

1. Penjualan ayam hasil penggemukan

89 Ekor 32.500 2.892.500 2. Kotoran ternak 1 paket 200.000 200.000

Total penerimaan 3.092.500

C. Keuntungan 833.100

D. R/C rasio 1,37

Sumber : analisis data primer, 2012

Analisa usaha pemeliharaan ayam buras petelur untuk tujuan produksi telur tetas dan telur konsumsi seperti tercantum pada Tabel 2, pada skala usahanya 100 ekor induk dan 10 ekor pejantan. Produksi telur rata-rata ditingkat peternak 130

(6)

22

butir/ekor/tahun atau 35,6%, tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Muryanto et al. (1995) sebesar 35,0+2,5%. Peruntukan produksi telur 50% sebagai telur tetas sedangkan sisanya dijual sebagai telur konsumsi.

Analisa kelayakan usaha menunjukkan nilai R/C sebesar 1,24, berarti usaha ayam buras petelur layak untuk diusahakan karena nilainya di atas 1. Hasil R/C rasio tersebut dapat diartikan bahwa setiap penambahan biaya Rp 1,- akan memperoleh penerimaan Rp 1,24,-. Keuntungan usaha masih dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya untuk meningkatkan produksi telur. Wibowo dan Sartika (2010) melaporkan bahwa ayam buras yang dipelihara secara intensif produksi telurnya dapat mencapai dapat mencapai 40,0%. Selain itu pendapatan masih bisa bertambah apabila bisa menekan biaya pakan dan efisiensi pejantan dengan Inseminasi Buatan (IB).

Tabel 2. Analisa input-output ayam buras petelur sistem ren jangka waktu 1 tahun (skala induk 100 ekor, pejantan 10 ekor)

No. Uraian Volume Satuan Harga/ satuan (Rp.) Jumlah (Rp.) A Biaya 1. Induk 100 Ekor 45.000 4.500.000 2. Pejantan 10 Ekor 75.000 750.000

3. Vaksin, vitamin, obat-obatan 1 Paket 150.000 150.000 4. Pakan 110 Ekor 109.500 12.045.000 5. Penyusutan kandang 1 Tahun 500.000 500.000 6. Tenaga kerja 12 Bulan 250.000 3.000.000

Total biaya 20.945.000

B. Penerimaan

1. Produksi telur

- Penjualan telur konsumsi 7.300 Butir 1.200

8.760.000 - Penjualan telur tetas 7.300 Butir 1.500

10.950.000 2. Betina afkir 100 Ekor 45.000 4.500.000 3. Pejantan afkir 10 Ekor 75.000 750.000 4. Kotoran ternak 1 Paket 1.000.000 1.000.000

Total penerimaan 25.960.000

C. Keuntungan 5.015.000

D. R/C rasio 1,24

KESIMPULAN SARAN

1. Berdasarkan penerapan teknologi pada perkandangan dan pakan maupun vaksinasi yang secara teratur dapat disimpulkan bahwa budidaya ayam buras di lokasi pengkajian telah mengarah pada sistem semi intensif-intensif.

2. Tujuan produksi sebagian besar peternak adalah menghasilkan ayam buras siap potong sesuai permintaan konsumen, yakni berumur 3 bulan, selebihnya bertujuan produksi telur (telur tetas dan telur konsumsi).

(7)

23

3. Secara ekonomi pemeliharaan ayam buras sistem semi intensif-intensif layak untuk dikembangkan lebih lanjut. Analisa kelayakan usaha penggemukan ayam buras menunjukkan nilai R/C sebesar 1,37, sedangkan pada usaha produksi telur dicapai R/C rasio 1,24.

4. Tingkat pendapatan penggemukan ayam buras masih bisa bertambah diantaranya dengan menekan angka kematian ayam melalui manajemen kesehatan ternak yang lebih baik. Keuntungan usaha produksi telur dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya untuk meningkatkan produksi telur, menekan biaya pakan dan dan efisiensi penggunaan pejantan melalui penerapan teknologi IB.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Peternakan 1997. Statistik Peternakan Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2001. Kebijakan pengembangan agribisnis unggas air di Indonesia. Makalah Lokakarya Nasional Unggas Air; Bogor, 6-7 Agustus 2001. Fakultas Peternakan-IPB kerjasama dengan Balai Penelitian Ternak-Puslitbangnak. Bogor.

Dirdjopratono, D., Muryanto, Subiharta, dan D.M. Yuwono. 1995. Penelitian model-model pemeliharaan ayam buras di daerah Pantura Jawa Tengah. Laporan hasil kegiatan penelitian. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Ungaran.

Gunawan. 2005. Evaluasi model pengembangan ayam buras di Indonesia: kasus di Jawa Timur. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Puslitbangnak-Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Iskandar, S.; Elizabeth Januarini; Desmayanti Zainudin; Heti Resniawati; Broto Wibowo; Sumanto., 1991. Teknologi Tepat Guna Ayam Buras. Pusat Penelitian Pengembangan Peternakan. Bogor.

Iskandar, S. 2005. Pertumbuhan ayam-ayam lokal sampai dengan umur 12 minggu pada pemeliharaan intensif. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Puslitbangnak-Badan Litbang Pertanian. Bogor. Juarini, E.; Sumanto, dan Zainuddin, D. 2005. Pengembangan ayam lokal dan

permasalahannya di lapangan. Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Puslitbangnak-Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Mardiningsih, D., T.M. Rahayuning, W. Roesali, dan D.J. Sriyanto. 2004. Tingkat produktivitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi tenaga kerja wanita pada peternakan ayam lokal intensif di Kecamatan Ampal Gading, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan

(8)

24

dan Veteriner 2004, Bogor, 4−5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Muryanto dan Subiharta. 1993. Penelitian sifat mengeram pada ayam buras (1) pengaruh perlakuan fisik terhadap lama mengeram dan aspeknya). Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Klepu 1 : 1– 6. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Ungaran.

Muryanto, Subiharta, Yuwono DM., Dirdjopratono W. 1994. Optimalisasi produksi telur ayam buras melalui perbaikan pakan dan tatalaksana pemeliharaan. Jurnal Ilmiah Penelitian ternak Klepu. 2 : 9 – 14.

Muryanto, Yuwono, D.M., Subiharta, Wiloeto, D., Sugiyono, Musawati, I. dan Hartono. 1995. Teknik inseminasi buatan pada pada penelitian ayam buras. Sub Balitnak Klepu. Ungaran. Jawa Tengah.

Nataamidjaja, G., H. Resnawati, T. Antawijaya, I. Barehilla, dan D. Zainuddin. 1990. Produktivitas ayam buras di dataran tinggi dan dataran rendah. Jurnal Ilmu dan Peternakan 4(3).

Prasetyo T., Subiharta, Wiloeto D, dan M. Sabrani, 1985. Pengaruh memisahkan anak ayam dari induknya terhadap kepasitas produksi telur. Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak, Ciawi, Bogor, 19 – 20 Maret 1985.

Priyanti, A., A.R. Setioko, Y. Yusdja dan R.A. Saptati. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis ternak unggas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Rasyid, T.G. 2002. Analisis perbandingan keuntungan peternak ayam buras dengan system pemeliharaan yang berbeda. Bulletin Nutrisi dan Makanan Ternak 3(1).

Sinurat, A. P., Santoso. E. Juarini, Sumanto, T. Mursari dan B. Wibowo. 1992. Peningkatan produktivitas ayam buras melalui pendekatan sistem usahatani pada ternak. Ilmu dan Peternakan. Vol – 5 No. 2. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Soekartawi, 1995. Analisa Usahatani. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Sudiroatmojo. M.D.S. 1984. Beternak Ayam kampung. Badan Penerbit Karya Bani. Jakarta.

Wibowo, B dan Sartika, T. 2010. Analisa kelayakan usaha pembibitan ayam kampung (lokal) penghasil day old chick (doc) di tingkat petani (study kasus kelompok peternak ayam buras "Barokah" di Ciamis).

Gambar

Tabel 1. Analisa penggemukan ayam buras jangka waktu 3 bulan (skala 100 ekor)  No.   Uraian  Volume  Satuan  Harga/
Tabel  2.  Analisa  input-output  ayam  buras  petelur  sistem  ren  jangka  waktu  1  tahun  (skala induk 100 ekor, pejantan 10 ekor)

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi pembebanan awal adalah kondisi pembebanan pada saat gaya prategang mulai bekerja (ditransfer pada beton) dimana pada saat tersebut beban beban yang terjadi

Para guru SMA Negeri 1 Talang Kelapa dalam hal ini dituntut untuk tidak terjadi batasan-batasan komunikasi antar paraguru agar dapat memenuhi tujuan yang telah

Capaian sasaran strategis tahun 2013 ditunjukkan oleh capaian IKU dominan, “jumlah Sistem Informasi yang dimanfaatkan secara efektif” yang diukur dengan jumlah

(2) Penerapan fungsi evaluasi terhadap kegiatan dakwah masjid Agung Kendal yaitu dengan mempelajari segala bentuk kegiatan dakwah yang diselenggarakan di Masjid

Jika proses pendataan telah dilakukan maka akan diberikan kepada tim analis untuk mengetahui apakah data peserta tersebut aktif serta rencana dan manfaat yang diajukan dalam

Karakteristik termohidrolika reaktor TRIGA berbahan bakar silinder dan TRIGA Konversi Untuk memberikan ilustrasi mengenai perbedaan karakteristik termohidrolika reaktor

Perbandingan persentase kenaikan kemampuan, baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen dapat dilihat dari selisih rata-ratanya. Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa:

Danang