• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI Perempuan dalam Film Menurut Laura Mulvey

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI Perempuan dalam Film Menurut Laura Mulvey"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Perempuan dalam Film Menurut Laura Mulvey

Dalam tulisannya, Visual Pleasure and Narrative Cinema, Laura Mulvey menyatakan bahwa film yang beredar dalam masyarakat merupakan hasil bentukan dari sistem patriarki sosial. Menggunakan pendekatan psychoanalytic, Mulvey mengkritisi bahwa keberadaan tokoh perempuan dalam film bukanlah sebagai pencipta makna, melainkan hanyalah pembawa makna. Dengan berperan sebagai pembawa makna, perempuan dapat memiliki peran dalam masyarakat patriarkal yang dibentuk oleh laki-laki. Dalam memenuhi partisipasi tersebut, perempuan memainkan perannya dengan menjadi seorang ibu, yaitu dengan melahirkan anak-anaknya.

Walaupun demikian, keberadaan perempuan tidak dapat dihapuskan dari sistim masyarakat patriarkal. Untuk dapat disebut sebagai pihak yang dominan, laki-laki membutuhkan perempuan yang diibaratkan sebagai the castrated women16. Kekurangan yang terdapat pada perempuanlah yang membuat laki-laki menempati posisi tertinggi dalam status sosial patriarki. Laki-laki dapat mewujudkan semua fantasi dan obsesinya dengan adanya perempuan, sementara perempuan masih terbelenggu dengan statusnya sebagai pembawa makna.

Mulvey juga mengangkat salah satu teori Freud, scopophilia, yaitu kenikmatan yang diperoleh subjek saat menjadikan orang lain sebagai objek pandangan. Menurut Freud, scopophilia dapat dilihat pada perilaku voyeuristic anak-anak. Mereka mendapat kepuasan dengan melihat diam-diam dan berusaha agar tidak diketahui oleh orang lain. Hal yang demikian dapat dilakukan oleh 16Perempuan adalah makhluk yang terkebiri. Hal inilah yang menyebabkan perempuan

(2)

penonton yang menonton film di bioskop. Penonton terisolasi dari keberadaan penonton lain. Selain itu, bioskop yang gelap membuat penonton dapat menikmati adegan-adegan dalam layar tanpa mengkhawatirkan pandangan penonton lain. Scopophilia dalam film –dengan bantuan kamera untuk mengendalikan pandangan penonton—merupakan kenikmatan yang diperoleh penonton saat memandang objek (perempuan) dalam film. Penonton mengidentifikasikan kamera dengan diri mereka sendiri. Dengan scopophilia, penonton seolah-olah memiliki kuasa atau kendali atas apa yang mereka lihat dalam layar. Dalam praktiknya, hal ini menempatkan laki-laki sebagai pihak yang aktif dan perempuan sebagai objek yang pasif.

Selain scopophilia, terdapat perilaku penonton yang lain, yaitu narcisstic identification. Narcisstic identificationadalah penonton yang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh utama laki-laki yang ada dalam scene. Dengan pengidentifikasian tersebut, penonton laki-laki seolah-olah mendapatkan kendali penuh atas pemeran perempuan dan aksi yang terdapat pada film. Penonton laki-laki dapat memuaskan egonya untuk berkuasa dan merasa sebagai pemegang kendali atas apa yang dilihat oleh tokoh utama laki-laki dalam layar. Laki-laki, sebagai figur yang aktif, membutuhkan perilaku narcisstic identification untuk mengontrol fantasi-fantasi mereka atas perempuan yang pada akhirnya akan dipuaskan oleh film yang mereka nikmati.

Mulvey menambahkan dalam tulisannya, sejak zaman sinema klasik Hollywood, perempuan hanyalah berfungsi sebagai ikon. Perempuan adalah objek erotik untuk laki-laki, baik untuk karakter laki-laki dalam film maupun untuk penonton laki-laki sebagai penikmat film. Hanya tokoh laki-laki dalam film dan penonton laki-laki yang dapat menempatkan diri sebagai subjek yang aktif. Laki-laki, baik aktor maupun penonton, hadir untuk mengeksplorasi objek. Sinema klasik Hollywood berfungsi untuk mengangkat ego laki-laki dan menekan hasrat alami perempuan. Perempuan tidak akan pernah menjadi sebuah subjek. Perempuan dilarang untuk memiliki hasrat pada objek, atau lebih tepatnya, dilarang menjadikan laki-laki sebagai objek mereka. Laki-laki dalam film merupakan representasi atas kekuasaan itu sendiri.

(3)

Tidak berbeda dengan film horor, perempuan berperan sebagai objek erotis dan voyeouristic sebelum dibunuh untuk memuaskan hasrat sadistis penonton yang berhubungan dengan identitas perempuan sebagai karakter yang tidak memiliki phallus. Hal ini yang membuat sistem sosial patriarki menempatkan perempuan sebagai kelas nomor dua setelah laki-laki. Alasannya, perempuan tidak memiliki apa yang dimiliki oleh laki-laki, dan disebut juga dengan istilah penis-envy. Ini membuat perempuan memiliki dua fungsi yaitu sebagai pemuas hasrat laki-laki dan simbol atau lambang dari ketakutan atas castration atau pengebirian. Fungsi yang kedua mendorong laki-laki memandang perempuan sebagai karakter yang harus menanggung beban kesalahannya. Keinginan untuk menghukum karakter perempuan atas kesalahan tersebut, mendorong perilaku sadistis laki-laki. Perilaku sadistis tersebut, yang memiliki sifat mengontrol dan mendominasi, sesuai dengan karakter male-gaze penonton laki-laki yang dibentuk oleh sinema klasik Hollywood. Selain memicu hasrat sadistis penonton laki-laki, fungsi yang kedua tersebut juga menimbulkan efek fetishistic scopophilia yang menyebabkan perilaku scopophilia seperti yang telah dipaparkan oleh Freud pada penjelasan di atas.

Sarah Leia menyebutkan dalam tulisannya,It’s a Man’s World – the Male Gaze in the Film Industry17, dominasi laki-laki terhadap tokoh perempuan dan aksi dalam film adalah sesuatu yang sulit diubah, karena selama ini kita hidup dan terkungkung dalam dunia laki-laki, lingkungan sosial yang dikendalikan oleh sistem patriarkal. Hal inilah yang menyebabkan kamera selalu menjadi representasi dari male-gaze dalam film klasik Hollywood. Kamera tidak pernah memposisikan diri sebagai representasi dari female-gaze untuk mengekspos laki-laki dan menempatkan mereka sebagai objek demi memuaskan penonton perempuan. Leia menyimpulkan dari pemikiran Mulvey, bahwa sistem tersebut hanya dapat diubah dengan adanya dekonstruksi strategi perfilman Hollywood klasik dengan metode alternatif secara besar-besaran.

Monster atau hantu dalam film horor mewakili sudut pandang penonton laki-laki. Monster atau hantu tersebut menyiksa korban demi memuaskan

(4)

kesenangan mereka18. Kamera bekerja sebagai representasi atas sudut pandang pembunuh ataupun monster yang menyerang tokoh perempuan. Dengan demikian, penonton laki-laki ‘dipaksa’ untuk menikmati dan berpartisipasi dalam sisi voyourism pembunuh atau monster tersebut. Mereka membunuh untuk memenuhi hasrat seksual dari male-gaze yang mereka wakili. Berbeda dengan film horor yang mengalami perkembangan, dimana perempuan menempati peran sebagai hantu atau monster. Mereka membunuh bukan untuk kesenangan. Pembunuhan dan penyiksaan lebih disebabkan oleh emosi, bukan karena faktor pemuasan hasrat seksual19. Perilaku sadistis tersebut juga bisa muncul sebagai hukuman atas kurangnya ketergantungan tokoh laki-laki kepada tokoh perempuan.

Dalam perkembangannya, tokoh yang disebut sebagaifinal girldalam film horor mulai diperkenalkan oleh Carol Clover20. Clover, yang mempublikasikan Men, Women and Chainsaws: Gender in the Modern Horror Film memaparkan kehadiran final girl yang menggantikan posisi the male hero sebagai penyelamat dalam sebuah film. Final girl pada awalnya merupakan korban yang harus menghadapi teror dan ketakutan, namun kemudian dia bisa bangkit untuk melawan dan menang. Biasanya final girlmerupakan korban terakhir yang masih hidup, yang kemudian berfungsi untuk menuturkan cerita kepada orang lain. Itulah sebabnya tokoh ini muncul dalam wujud karakter perempuan, karena karakter laki-laki bukan karakter yang diciptakan untuk menderita akibat teror atau rasa takut.

Walaupun demikian, final girl masih juga mewakili cara pandang film horor Hollywood klasik yang konservatif. Sebagai pahlawan dalam film,final girl sering digambarkan sebagai tokoh perempuan yang masih perawan, atau gadis yang tidak populer, atau perempuan dengan penampilan tidak menarik dan tidak seksi. Final girl bahkan sering muncul dengan nama yang unisex. Final girl mewakili tokoh dalam teori Freud dianggap sebagai perwujudan dari castrated

18Juga dijelaskan dalamGirls on Film: How Women Shaped Horroryang ditulis oleh Monika

Bartyzel, diunduh dari http://blog.moviefone.com/bloggers/monika-bartyzel/, selain itu juga disinggung dalamFeminist Horror Film Theory, yang diunduh dari website

http://everything2.com/title/Feminist+Horror +Film+Theory

19Bersumber dari http://ptpotts.wordpress.com/, yang mengambil contoh film dengan judul Auditionoleh sutradara Takashi Miike.

20Disebutkan dalam tulisan yang berjudulFeminist Horror Film Theory, yang diunduh dari

(5)

women Untuk melawan pembunuh yang telah memburunya sejak awal, final girl akan menggunakan benda-benda yang melambangkan maskulinitas sebagai senjata, seperti pistol atau gergaji mesin. Dengan demikian, final girl akan dibentuk menjadi tokoh yang lebih maskulin saat dia berperan sebagai penyelamat. Selain itu, musuh dari final girl biasanya merupakan karakter laki-laki yang mengalami krisis pada identitas maskulinitasnya.

2.2.Male-gazedanMise-en-Scene

Mise-en Scenemerupakan aspek-aspek utama –selain aktor—yang muncul dalam sebuah frame untuk menciptakan suasana yang diinginkan. Mise-en Scene terdiri atas empat aspek utama:setting21, kostum danmake-up, pencahayaan, serta staging22. Gabungan dari keempat unsur tersebut menciptakan efek yang diharapkan dapat mempengaruhi penonton sesuai dengan keinginan pembuat film. Aspek pertama adalah setting, yang digunakan untuk mempermudah pehamaman terhadap alur cerita. Warna merupakan faktor penting dalam pembentukan setting. Setting juga terdiri atas props –atau property--, yang merupakan objek-objek yang memiliki ‘andil’ atas aksi yang dilakukan tokoh. Props juga bisa dipandang sebagai motif atas suatu kejadian. Selain itu, props dapat juga berfungsi untuk membuat satu tokoh lebih menonjol dibandingkan tokoh yang lain.

Aspek kedua adalah kostum dan make-up. Kostum menggambarkan kondisi dan karakter tokoh. Kostum merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mencerminkan perilaku dan cara pandang tokoh terhadap dunia luar maupun tokoh lainnya. Kostum dapat juga digunakan untuk menarik male-gaze terhadap tokoh perempuan pada scene tersebut. Tokoh perempuan yang hanya mengenakan bikini di pantai ataupun tokoh perempuan dengan gaun yang memperlihatkan bagian dada dan lekuk tubuh perempuan pada sebuah pesta

21Settingmerupakan tempat dimana sebuah adegan difilmkan (bersumber dariFilm: an Introductionkarya William H. Phillips).

22

Stagingmerupakan gerakan, posisi, dan penampilan yang ditunjukkan dalam layar, dan diatur oleh sutradara (bersumber dariFilm Art: an Introductionoleh David Bordwell dan Kristin Thompson).

(6)

sengaja dihadirkan untuk memuaskan rasa penasaran dan hasrat dari male-gaze penonton.

Make-up digunakan untuk memperkuat karakter. Dalam film horor Jepang, tokoh hantu selalu digambarkan sebagai perempuan dengan rambut terurai panjang. Menurut kepercayaan tradisional Jepang, perempuan baik-baik adalah perempuan yang tampil dengan rambut tergelung rapi. Setiap perempuan yang membiarkan rambutnya terurai di depan umum akan dianggap sebagai orang yang kerasukan. Jika tidak, dia akan dianggap sebagai perempuan yang tidak normal, atau aneh. Disamping itu, rambut terurai pada film Jepang juga digunakan untuk menarik male-gaze penonton laki-laki. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan masyarakat tradisional Jepang, bahwa perempuan Jepang yang membiarkan rambutnya tergerai saat ada laki-laki didekatnya, memperlihatkan tanda yang menunjukkan keintiman. Perempuan Jepang yang mengurai rambutnya di depan tokoh laki-laki, digambarkan memiliki maksud untuk menggoda laki-laki tersebut.

Aspek ketiga adalah pencahayaan. Permainan pencahayaan berfungsi untuk mengarahkan perhatian dan arah pandang penonton serta membantu penonton untuk memberikan kesan-kesan tertentu terhadap suatu adegan. Ada empat unsur utama yang perlu diperhatikan dalam pengaturan pencahayaan, yaitu kualitas, arah pencahayaan, sumber cahaya, dan warna. Cahaya yang suram sering digunakan dalam film horor. Kesan dingin dan tidak aman akan didapatkan oleh penonton dengan bantuan pencahayaan yang suram.

Teknik pencahayaan juga efektif untuk mendukung representasi male-gaze dalam film. Cahaya yang fokus pada satu tokoh perempuan dan membuat tokoh-tokoh lain terkesan muram otomatis akan menarik perhatian penonton terhadap tokoh tersebut. Teknik pencahayaan yang tepat dapat menonjolkan bagian-bagian tubuh yang menarik minat laki-laki pada seorang tokoh perempuan. Teknik pencahayaan juga dapat menonjolkan ekspresi-ekspresi tertentu pada karakter perempuan.

Selain itu, permainan cahaya digunakan untuk membedakan antara tokoh protagonis dan antagonis. Cahaya yang lebih terang digunakan untuk menggambarkan tokoh protagonis, sementara cahaya yang lebih redup digunakan

(7)

untuk kemunculan tokoh antagonis. Akan tetapi, sistim pencahayaan yang demikian tidak hanya digunakan dalam film horor. Teknik ini juga digunakan untuk menunjukkan perilaku rasial dan juga pembedaan gender. Seringkali dalam film Hollywood, pencahayaan yang terang akan digunakan untuk membedakan antara tokoh Amerika dan non-Amerika.

Aspek terakhir adalah staging atau pementasan. Staging lebih berfokus kepada gerak dan penampilan tokoh-tokoh dalam suatu adegan. Staging tidak hanya berpusat tentang aktor, namun juga berfokus pada objek-objek lain pendukung cerita. Ekspresi dan sikap merupakan salah satu faktor dalam staging yang penting untuk memuaskan male-gaze. Contohnya, male-gaze penonton akan mengikuti gerakan tangan tokoh perempuan, terutama jika tokoh tersebut menyentuh bagian-bagian tubuhnya sendiri, seperti kaki ataupun leher. Contoh lain, tokoh perempuan dapat memanipulasi ekspresinya sedemikian rupa sehingga dapat membuat penonton laki-laki membayangkan bahwa tokoh tersebut ingin mengajak mereka berciuman. Tokoh perempuan yang memandang kamera secara langsung akan memberikan kesan intim terhadap penonton. Penonton akan merasa bahwa tokoh tersebut benar-benar memandang mereka secara langsung, sehingga perasaan yang lebih personal akan terjalin.

Daniel Chandler dalam karya tulisnya, Notes on ‘The Gaze’23, mendeskripsikan beberapa macam ekspresi yang digunakan karakter perempuan untuk menarik perhatian penonton laki-laki dan memuaskan hasrat male-gaze mereka. Sedikit saja perbedaan dalam cara tersenyum, kemiringan kepala, dan cara memandang kamera, akan memberi dampak yang berbeda pula terhadap penonton. Chandler menyatakan, jarak seorang tokoh dengan kamera akan mempengaruhi besar kecilnya reaksi dan perasaan penonton terhadap tokoh tersebut. Phillips (1999:98) memperkuat dengan menuliskan bahwa cinematografer mengubah jarak tokoh dengan kamera untuk memberikan mood yang berbeda dan menyampaikan pesan yang baru24.

23Terdapat dalam website http://www.aber.ac.uk/media/Documents/gaze/gaze11.html. 24Diambil dari bukuFilm, an Introductionoleh William H. Phillips.

(8)

2.3.Male-gazedan Teknik Kamera

Sudut pandang penonton dalam sebuah film dikendalikan sepenuhnya oleh teknik kamera. Kamera mewakili apa yang harus dilihat dan dirasakan oleh penonton. Salah satu teknik untuk mengendalikan pandangan penonton adalah camera distance atau jarak kamera. Beberapa variasi jarak kamera seperti Close Up, Medium Close Up, Medium shot, Semi Long Shot, dan Extreme Long Shot dapat diperoleh dengan menggunakan berbagai ukuran lensa. Sebagai contoh, suasana pasar raya yang diambil dengan teknik Extreme Long Shot digunakan untuk menekankan bahwa tempat lebih penting daripada kerumunan yang ada. Extreme Long Shotjuga digunakan untuk mendukung mood yang melankolis.

Dalam film horor, Extreme Close Up sering digunakan untuk menimbulkan interaksi antara penonton dan tokoh dalam layar. Dengan Extreme Close Up, penonton hanya dapat melihat sebagian dari wajah tokoh –seperti mata atau bibir-- atau sebuah benda. Teknik ini juga dapat menimbulkan perasaan tegang pada penonton. Sesuai dengan yang diinginkan oleh sutradara, dengan teknik ini tokoh dalam layar dapat berbagi emosi dengan penonton. Mata atau bibir tokoh perempuan yang terekspos oleh Extreme Close Up secara otomatis akan menarik perhatianmale-gaze.

Selain itu, film horor juga sering menggunakan teknik Point of Viewshot (POV shot). POV shot memiliki fungsi untuk meningkatkan intensitas ketegangan dalam film horor. POV shot digunakan untuk menggambarkan kehadiran tokoh lain –hantu atau monster—yang tidak diketahui keberadaannya oleh tokoh utama. Suasana tegang terbentuk penonton turut merasakan ketakutan tokoh utama, yang tidak dapat mengetahui posisi hantu atau monster yang berada dalam satu ruangan dengan mereka, atau mungkin di belakang mereka.

Teknik yang lain adalah angle kamera. Angle kamera membantu untuk menggambarkan posisi atau kedudukan satu tokoh atas tokoh lainnya. Bordwell dan Kristin Thompson (2008:190) menjelaskan bahwa ada tiga kategori umum untuk angle kamera. Kategori tersebut adalah straight-on angle, high angle, dan low angle. Straight-on angle merupakan angle kamera yang paling umum digunakan dalam sebuah film, dimana kamera sejajar dengan tokoh dalam scene.

(9)

Posisi high angle menggambarkan tokoh yang menunduk untuk melihat sesuatu dengan letak yang lebih rendah. Posisi ini juga untuk menggambarkan tokoh lain yang memiliki kedudukan lebih rendah dari tokoh utama. Penonton yang memandang tokoh perempuan dengan posisi high angle akan mendapat kesan bahwa mereka lebih dominan daripada tokoh tersebut. Denganhigh angle, seolah-olah tokoh perempuan tersebut tidak berdaya dan lemah di hadapan male-gaze penonton.

Posisi ketiga yang disebutkan oleh Bordwell dan Thompson adalah low angle. Posisilow anglemenimbulkan kesan yang berkebalikan dengan posisihigh angle. Dengan low angle, penonton serasa memandang tokoh lain yang memiliki kedudukan lebih tinggi atau ditakuti oleh tokoh utama. Angle ini juga digunakan untuk menggambarkan benda atau sesuatu yang sulit didapatkan oleh tokoh utama.

Teknik lain adalah gerak kamera. Dalam teknik ini, bisa berupa kamera yang berpindah tempat (traveling shot atau dolly shot) ataupun kamera tetap ditempat dan hanya menengok kearah yang diinginkan (panning). Dolly shot digunakan saat kamera mengikuti objek atau tokoh yang bergerak. Teknik pengambilan ini menggunakan alat yang dijalankan di atas sebuah rel, atau yang dikenal dengan sebutan dolly25. Kamera harus bergerak mengikuti tokoh utama, agar tidak mengurangi makna tokoh dalam cerita. Seperti yang telah dijelaskan di atas, berubahnya jarak tokoh dengan kamera dapat mempengaruhi dan mengubah makna yang ingin disampaikan dalam scene tersebut.

Panningumum digunakan untuk mengikuti pandangan tokoh, saat mereka meneliti sebuah objek dari atas ke bawah atau dari kiri ke kanan. Teknik ini tidak hanya untuk mengamati objek yang berupa benda, namun juga lingkungan sekitar. Dalam film horor, teknik ini digunakan untuk menimbulkan efek yang mengejutkan. Contohnya, saat kamera merepresentasikan pandangan tokoh utama yang sedang diburu oleh hantu atau monster. Di tempat persembunyiannya, sang tokoh utama tersebut sudah merasa aman. Ternyata saat sang tokoh memandang berkeliling, hantu yang mengincarnya sudah berdiri di belakangnya. Teknik ini juga digunakan kamera dalam fungsinya sebagai representasi male-gaze. Kamera

(10)

melakukanpanninguntuk mengamati tubuh tokoh perempuan dari atas ke bawah. Kamera juga dapat berhenti sejenak pada beberapa bagian yang dapat menarik lebih banyak minat penonton laki-laki, misalnya bagian dada atau wajah tokoh perempuan.

Referensi

Dokumen terkait

3.  Jelaskan  Kerja  Sama  Internasional  Ororitas  Pasar  Modal  yang  dilakukan  antara  BAPEPAM dengan Securities and Exchange Commission! Apa  manfaatnya 

Saat AC sedang dalam keadaan mati, bukalah jendela agar udara segar dan cahaya matahari dapat menembus ruangan; (2) kurangi menyemprot pewangi ruangan yang mengandung

Kita harus memiliki kecukupan fi nansial bahkan kalau bisa lebih dari cukup, karena tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam benak setiap orang pasti mendambakan kekayaan fi nansial

Pada grafik percobaan menggunakan selang dengan diameter 3/4 tekanan tertinggi mencapai 0.28 pada variasi 7 dimana katup 1 ditutup penuh dan katup 2 ditutup 45 derajat, hal ini

Uji beda rata-rata digunakan untuk membandingkan antara hasil produksi dan pendapatan usahatani cabai merah yang diperoleh petani sebelum perubahan iklim dengan

Demikian halnya dengan seseorang yang minat terhadap tayangan talk show, mereka akan belajar bagaimana menjadi seorang pembawa acara talk show/ presenter talk show yang

Apabila pemain menggunakan aksi untuk memilih area selanjutnya, maka area yang ada dalam area tersebut akan dimuat, jika pemain memilih untuk berpindah ke area tersebut,