• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daftar Penggunaan Istilah. : futuristik. : persona pertama tunggal. P1jm : persona pertama jamak. : persona kedua tunggal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Daftar Penggunaan Istilah. : futuristik. : persona pertama tunggal. P1jm : persona pertama jamak. : persona kedua tunggal"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

xv Daftar Penggunaan Istilah

Perf. : perfektif Fut : futuristik

P1tg : persona pertama tunggal P1jm : persona pertama jamak P2tg : persona kedua tunggal P3jtg : persona ketiga tunggal

(2)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa diperlukan manusia sebagai makhluk sosial untuk melakukan kegiatan interaksi sebagai sarana menyampaikan buah pikiran kepada manusia lainnya. Bahasa merupakan sarana komunikasi antar anggota masyarakat yang berupa lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap manusia. Bahasa juga dapat membangun cara berpikir dan menciptakan dirinya sendiri (Keraf 1984: 16). Bahasa bukan sekadar daftar kata-kata yang digunakan manusia, bahasa juga merupakan simbol kebudayaan suatu masyarakat. Bahasa sebagai sarana komunikasi menjadi suatu pelengkap manusia dalam memenuhi hasrat kebudayaan demi kelangsungan hidup.

Bahasa itu sendiri, seperti dikemukakan Dardjowidjojo (2003:16) merupakan suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. Sebagai sebuah sistem rentetan simbol arbitrer yang memiliki arti, bahasa akan benar-benar berfungsi apabila pikiran, gagasan, konsep yang diungkapkan berada dalam satu kesatuan bidang, artinya penutur maupun petutur berada dalam suatu bidang yang sama.

Dalam studi sosiolinguistik, bahasa tidak hanya dipahami sebagai sistem tanda saja, tetapi lebih dari itu juga dipandang sebagai salah sistem sosial dan sebagai

(3)

2

bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Oleh karena itu, di dalam penelitian bahasa dengan ancangan sosiolinguistik senantiasa akan melihat bagaimana pemakaiannya di dalam masyarakat yang dipengaruhi berbagai faktor sosial.

Masyarakat sebagai penutur bahasa merupakan sekelompok manusia yang heterogen. Sebagai kumpulan manusia yang heterogen mereka mempunyai kegiatan interaksi sosial yang berbeda-beda. Keberagaman interaksi sosial itulah yang menyebabkan munculnya variasi bahasa. Berdasarkan faktor sosial situasi, muncul beragam bahasa dari kelompok-kelompok sosial tertentu yang dalam penggunaannya tercipta dari berbagai macam sandi atau kode yang rahasia dengan rumus yang beraneka ragam. Di samping itu, pemakai bahasa juga dipengaruhi oleh faktor situasional yaitu, siapa pembicara, dengan siapa, kapan dan dengan ragam apa, serta mengenai masalah apa. Adanya berbagai variasi bahasa atau lebih tepatnya pemakaian bahasa itu bersifat aneka ragam. Dalam kehidupan bermasyarakat akan bermunculan berbagai macam kelompok-kelompok yang kemudian secara tidak langsung akan memunculkan bahasa yang khas dalam kelompok mereka.

Oleh sebab itu bahasa kerap kali ‘dimunculkan’ sebagai persoalan lalu dicari jawabannya kemudian oleh para peneliti bahasa. Persoalan tersebut sebenarnya berasal dari tiga aspek penting yang dapat dicari jawabannya oleh para linguis. Dalam Wijana (2010:1), ketiga aspek tersebut ialah bentuk, makna, dan fungsi.Bentuk menyangkut wujud formal satuan lingual. Makna menyangkut hubungan antara ‘bentuk’, ‘konsep’, dan segala yang ditunjukkannya. Terakhir, aspek fungsi

(4)

3

menyangkut hubungan antara ‘peran sosial’ yang dijalankan oleh ‘satuan lingual’ tersebut di dalam peristiwa komunikasi. Seluruh aspek tersebut mewakili satu hal, yaitu proses berbahasa.

Hal yang terkait dengan kemaknaan adalah dasar dari proses berbahasa. Dalam proses tersebut terdapat tuturan berisi makna yang dipahami oleh peserta tutur, yakni penutur dan lawan tutur. Pada diri si penutur, sebaiknya ia memahami terlebih dahulu tuturan yang hendak dituturkannya. Di samping itu, si lawan tutur hendaknya dapat menginterpretasikan makna tuturan tersebut secara tepat, sehingga terjadi komunikasi yang seimbang.

Di samping itu, bahasa pun digunakan sebagai lambang identitas diri dan sosial. Dengan demikian, bahasa daerah akhirnya dilindungi oleh undang-undang justru karena fungsinya yang sangat penting sebagai lambang identitas suku (Sumarsono, 2007:67). Dalam kaitan ini, data akurat dari Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah suku di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 1340 suku. Dengan demikian, jumlah bahasa daerah diketahui semakin beragam, sehingga semakin banyak pulalah interaksi antara individu atau kelompok bersuku tertentu dan lainnya.

Dengan keanekaragaman masyarakat tutur di Indonesia, maka bukan hal yang mustahil jika dalam suatu daerah terdiri atas dua atau lebih suku. Dengan demikian,maka tidak dimungkiri adanya suku yang berinteraksi secara intensif dan kemudian saling berakulturasi, yang pada akhirnya menghasilkan budaya campuran.

(5)

4

Di Sulawesi Selatan misalnya, terdapat lima suku besar yang terdiri dari Bugis, Makassar, Toraja, Kajang, dan Duri. Dua di antaranya adalah suku terbesar yang menyebar pada hampir seluruh Sulawesi Selatan, yaitu Bugis dan Makassar. Kedua suku ini telah lama saling berinteraksi, yaitu sejak zaman kesultanan Bugis-Makassar. Tidak berhenti sampai di situ saja, kedua suku ini bersama-sama menolak kebudayaan asing dari luar dan berusaha mempertahankan kebudayaannya. Meskipun demikian, kontak budaya terhadap India membuktikan budaya asing ini berhasil masuk ke dalam suku tersebut, dibuktikan dengan sistem penulisan kuno yang kini dikenal dengan Aksara Lontara yang diadopsi dari penulisan Brahmi, India. Melalui aksara ini, kedua suku tersebut kemudian dapat menghasilkan leksikon-leksikon yang masing-masing dapat dipahami.

Seiring dengan perkembangan kedua budaya tersebut, masyarakat ini kemudian memiliki beberapa leksem serupa dan mirip, seperti pada kata mandre (Bugis), dan ngandre (Makassar) yang berarti ‘makan’. Pada akhirnya, ketika masa kemerdekaan, bahkan jauh lebih dini lagi, yakni 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa Nasional sehingga beberapa suku dan kerajaan melebur ke dalam NKRI. Sebuah fenomena yang berdampak pada suku-suku di Sulawesi Selatan yang kemudian terpecah; suku Mandar memisahkan diri dan membentuk provinsi baru, yaitu Sulawesi Barat, sedangkan Suku Luwu terpecah menjadi dua bagian yang terpisah.

(6)

5

Hingga saat ini, masyarakat sekitar tak mampu lagi melawan arus modernisasi, pola kehidupan masyarakat di beberapa bagian pedalaman di Sulawesi Selatan menjadi semakin konsumtif, termasuk ke dalam penggunaan bahasa sekitar yang memprioritaskan atau mengunggulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa berprestise.

Dewasa ini, penulis menemukan perkembangan penggunaan bahasa Indonesia yang sangat pesat di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar. Perkembangan penggunaan bahasa Nasional bukan dimaksudkan sebagai hal negatif, jika terdapat proporsi penggunaan bahasa yang ‘seimbang’. Yang menjadi hal negatif di sini adalah jika masyarakat penutur bahasa daerah meninggakan bahasa daerah secara massal dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu.

Sampai saat ini, penulis melihat penggunaan bahasa Indonesia ditemukan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat tersebut, seperti pada lingkup perkantoran hingga pasar tradisional di Makassar. Meskipun demikian, tetap saja ditemukan unsur dialek lokal yang disertai penyisipan kosakata daerah ke dalam pertuturan bahasa Indonesia ini, misalnya penggunaan partikel mi, ji dan pi. Dalam ragam informal misalnya, penggunaan partikel mi ditemukan dalam kalimat “Lama mi suratnya dikirim” ‘(sudah) sejak lama suratnya dikirim’. Untuk penggunaan partikel ji dapat ditemukan pada kalimat “Dua hari ji batas pengajuan berkas” ‘Dua hari (saja)batas pengajuan berkas’. Terakhir, penggunaan partikel pi terdapat pada kalimat “Nanti sorepi saya antarkan makalahnya.” ‘nanti (setelah) sore (saja) saya antarkan

(7)

6

makalahnya”. Seluruh contoh partikel tersebut diketahui memiliki intentitas penggunaan yang sangat tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh kebiasaan masyarakat penutur bahasa ini yang selalu ingin memastikan sebuah pernyataan melalui partikel-partikel tersebut sebagai penanda penegas sebuah kalimat. Meskipun demikian, diperlukan adanya analisis lebih lanjut untuk mengungkap fungsi partikel-partikel tersebut.

Hal berbeda ditemukan apabila sebuah partikel tertentu diikuti penanda subjek secara langsung. Kaidah sintaksis dalam kalimat berbahasa Indonesia, “pergi ka’. ”, oleh masyarakat penutur bahasa Indonesia dialek Bugis-Makassar, berubah menjadi “pergi ka’.” Kata ka’ tersebut merupakan penanda subjek pertama tunggal. Jadi, dapat dikatakan secara fungsi sintaksis, pada kalimat tersebut terdiri atas P + S + pel. Hal tersebut serupa dengan penerapan penanda subjek terhadap bentuk partikel mi, ji, dan pi. Penanda subjek tersebut digabungkan dengan bentuk partikel menjadi, mi+ka; mi+ko; mi+ki; ji+ka; ji+ko; ji+ki, pi+ka; pi+ko; pi+ki (penanda subjek ka ‘saya’; ko ‘kamu’; ki ‘kita’ dan juga bisa ‘kamu’ sebagai penanda yang lebih halus), maka perubahan partikel tersebut secara berurut menjadi; maka; mako; maki; jaka; jako; jaki; paka; pako; dan paki. Penjelasan perihal perubahan ini akan dilanjutkan pada bab pembahasan pertama.

Meskipun telah digambarkan secara ringkas fungsi penegas dalam partikel tersebut, terdapat banyak makna yang ditemukan dalam setiap penggunaan partikel ini jika digunakan dalam jenis kalimat tertentu seperti kalimat berita, kalimat tanya,

(8)

7

kalimat perintah dan kalimat negasi serupa dengan yang ditemukan dalam bahasa Indonesia. Oleh sebab itu diperlukan analisis lebih mendalam dalam mendeskripsikan fungsi partikelmi, jidan piini.

Seperti yang telah dijabarkan di atas, fenomena dominasi penggunaan bahasa Indonesia berada di atas bahasa daerah dimungkinkan tidak hanya terjadi di Makassar, gejala interferensi bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia dipastikan juga terjadi ke dalam bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia. Hal ini dimungkinkan terjadi karena masyarakat penutur bahasa daerah sepertinya belum dapat terlepas sepenuhnya dari kebiasaan bertutur dalam bahasa daerah masing-masing budaya. Di samping itu, sebagai contoh yang telah dipaparkan di atas, diketahuipenggunaan partikel mi, jidan pidari dialek Bugis-Makassar begitu intens digunakan, dan merupakan salah satu contoh bentuk interferensi bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun konteks penggunaan bahasa Indonesia dalam ragam formal tidak banyak ditemukan, tidak demikian halnya dalam ragam nonformal. Ditemukan banyak sekali gejala pengintegrasian bentuk partikel Bugis-Makassar ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini seperti melahirkan sebuah ragam bahasa baru terhadap masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya di ibu kota Makassar.

Berdasarkan perbedaan fungsi partikel tersebut, penulis semakin tertarik meneliti status linguistik atau perilaku morfosintaksis partikel-partikel tersebut ke dalam penggunaan bahasa Indonesia. Di samping itu, penulis memiliki anggapan bahwa penggunaan partikel tersebut oleh masyarakat penutur bahasa Bugis-Makassar,

(9)

8

dianggap menjadi sangat penting, berdasarkan kedudukan fungsi partikel tersebut yang tidak memiliki padanan esensial terhadap kosakata bahasa Indonesia (seperti fungsi yang menandakan perfektif, futuristik, emphasis atau penegasan ). Sehubungan dengan isu tersebut, penulis tertarik meneliti persoalan perilaku morfosintaksis partikel mi, ji dan pi pada satu pihak, dan bagaimana itu bergejala interferensi secara semantik gramatikal pada pihak lain di dalam penggunaan bahasa Indonesia di Makassar. Dengan ini dibuatlah sebuah penelitian berjudul “Penggunaan Partikel

Mi, Ji, dan Pi dalam Tuturan Bahasa Indonesia Dialek Bugis-Makassar oleh

Pengguna Facebook di Makassar: Analisis Interferensi Gramatikal Bahasa Bugis-Makassar”.

Mengapa Facebook? Hal ini didasarkan pada fungsi media sosial tersebut yang dapat memberikan informasi kepada setiap pengguna akun Facebook dalam berkomunikasi tiada batas kepada pengguna situs secara aktual. Di samping itu, kedudukan media jejaring sosial Facebook kini memiliki jumlah pengguna akun terbanyak di Indonesia dan merupakan salah satu sumber data faktual yang tentunya menarik untuk diteliti oleh peneliti-peneliti bahasa sehingga pada akhirnya menjadi populer sebagai ‘laboratiorium bahasa’ para linguis. Hal tersebut menjadi semakin beralasan dengan fenomena modernisasi dan globalisasi tiada henti oleh pihak pengembang jejaring sosial yang semakin beragam dan menjadi salah satu akses sumber informasi utama sekaligus wadah ‘pencurahan pikiran’ bagi penggunanya. Tidak pelak lagi, maraknya pengguna media jejaring sosial yang diketahui berasal

(10)

9

dari kalangan muda hingga dewasa, secara aktif memanfaatkan teknologi informasi ini. Terlebih lagi, penulis beranggapan bahwa tidak ada lagi elemen masyarakat pada generasi muda yang tidak mengenali situs Facebook ini. data yang diunggah oleh pengguna situs ini merupakan hasil pemikiran atau tanggapan yang diwujudkan berupa tulisan yang diunggah oleh penggunanya (data transkriptif). Dengan demikian, data yang diperoleh menjadi semakin akurat berkat transkripsi tersebut. Oleh sebab itu, penulis memilih sumber data penelitian ini berdasarkan penggunaan bahasa di Facebook. Di samping itu, penulis memilih pengguna situs ini secara purposif berdasarkan lokasi atau tempat asal pengguna, yakni di Makassar, dan suku asli yang dimiliki pengguna tersebut, yaitu Bugis atau Makassar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, terdapat beberapa hal pokok yang perlu diupayakan jawabannya dalam penelitian ini. Dengan ini, terangkum beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pembentukan partikel mi, jidan pi dan penggunaannya sebagai perwujudan interferensi bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia? 2. Bagaimana menentukan makna berdasarkan spesifikasi semantis partikel mi, ji dan pi?

3. Bagaimana menentukan faktor penyebab masyarakat Makassar menggunakan partikel mi, ji dan pi ke dalam bahasa Indonesia?

(11)

10 1.3 Ruang Lingkup Masalah

Penelitian ini memiliki cakupan pembahasan yang terbatas.Hal yang berhubungan dengan penggunaan partikel mi, ji dan pi,variasi morfofonemik, dan latar belakang penggunaan partikel tersebut merupakan pokok pembahasan penelitian ini. Sebaliknya, hal yang berhubungan dengan fenomena peralihan bahasa daerah menjadi bahasa Indonesia sebagai gejala sosial tidak ditemui pada pembahasan penelitian ini. Hal ini berhubungan dengan fokus pembahasan terhadap analisis semantik gramatikal yang menjadi pisau bedah penelitian ini. Meskipun demikian, teori perihal interferensi bahasa yang terkandung dalam sosiolinguistik dapat menjadi landasan teori tambahan dalam penelitian ini.

Penulis memilih meneliti secara spesifik penggunaan salah satu bentuk kosakata daerah yang terdapat dalam tuturan masyarakat Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Sehubungan dengan itu, penelitian ini hanya mencakup interferensi kedua bahasa daerah tersebut ke dalam bahasa Indonesia, sebagai bentuk atau ragam bahasa Indonesia nonformal di Makassar.

(12)

11 1.4Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini diuraikan sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan proses morfologis pembentukan partikel mi, ji dan pi dalam bahasa Bugis-Makassar sebagai perwujudan interferensi bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.

2. Mendeskripsikan makna berdasarkan spesifikasi semantis partikel mi, ji dan pi?

3. Mendeskripsikan faktor penyebab masyarakat Bugis-Makassar menggunakan partikel tersebut ke dalam komunikasi berbahasa Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian berisi uraian tentang tujuan penelitian secara spesifik yang ingin dicapai dari penelitian yang hendak dilakukan (Mahsun, 2007: 41).Untuk itu, penulis mengklasifikasi manfaat penelitian ini menjadi dua bagian, yakni (1) manfaat secara teoretis dan (2) manfaat secara praktis. Manfaat teoretis berhubungan dengan kontribusi keilmuan yang didapatkan dari hasil penelitian ini, yaitu suatu telaah linguistik tentang fenomena pemanfaatan fungsi kosakata daerah ke dalam bahasa Indonesia sebagai perwujudan interferensi gramatikal. Manfaat praktisnya ialah berupa kontribusi hasil penelitian yang diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan corak bahasa Indonesia yang berperspektif sosiolek regional.

(13)

12 1.6 Tinjauan Pustaka

Dalam tinjauan pustaka dimuat uraian sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan (Mahsun, 2007: 42).Dalam penelitian ini, ditemukan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan kemaknaan bahasa Bugis-Makassar. Beberapa penelitian serupa sehubungan dengan pembahasan penelitian ini antara lain; sebagai berikut; (1)Bugis and Makassar: Two Short Grammars (2012), sebuah ringkasan materi bahasa Sulawesi Selatan yang dibukukan oleh Campbell Macknight; (2) Interferensi Morfologis Penutur Bahasa Bugis dalam Berbahasa Indonesia, sebuah Makalah Seminar Internasional, oleh Masrurah Mokhtar (2012); (3) Morfologi dan Sintaksis Bahasa Bugis, oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1979); dan terakhir (4) tesis berjudul “Berbahasa dalam Situasi Diglosik: Kajian Tentang Kendala Pemilihan dan Pemilahan Bahasa di dalam Masyarakat Tutur Jawa di Tiga Kelurahan Kodya Surakarta” oleh Suwito (1987) .

Pada penelitian (1), penelitian dilakukan oleh Campbell Manknight dengan membuat sebuah translasi artikel penelitian dari Belanda ke dalam bahasa Inggris.Penelitian ini memuat serangkaian kaidah morfofonemik dalam bahasa Bugis dan Makassar.Secara keseluruhan, cakupan karya ilmiah ini adalah kajian terhadap hasil penelitian peneliti Belanda, yakni Makkassarcsh-Hollandsch Woodenboek yang mengungkapkan kaidah morfologis afiks-afiks dalam bahasa Bugis-Makassar. Perbedaan mendasar terhadap penelitian penulis adalah objek kajian penelitian ini

(14)

13

mengkhususkan pembahasan pada penggunaan bentuk bahasa berupa partikel mi, ji dan pi dikaitkan dengan interferensi partikel tersebut ke dalam bahasa Indonesia.

Pada penelitian (2) dibahas masalah perilaku partikel mi, jidan pi sebagai salah satu bentuk interferensi bahasa Bugis-Makassar ke dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, disinggung pula pengunaan variasi bentuk partikel tersebut seperti maka, maki, jaka, jaki, jako, paka, pako, dan pi, tetapi tidak dilakukan analisis yang menafsirkan apakah partikel-partikel yang telah disebutkan adalah ekamorfem atau polimorfem. Dalam hal ini, penelitian-penelitian terdahulu menganggap partikel mi, ji dan pi tersebut masing-masing sebagai satu morfem enklitika, padahal menurut pengamatan penulis, partikel-partikel tersebut merupakan polimorfem. Partikel mi merupakan vaiasi dari penggabungan partikelma ‘aspek perfektif’ dan –i ‘pemarkah pronomina persona ketiga tunggal’. Demikian pula partikel ji merupakan penggabungan partikel ja ‘emphasis juga’ dan –i ‘pemarkah pronomina persona ketiga tunggal’. Hal sama berlaku pula pada penggunaan partikelpi. Partikel ini merupakan penggabungan dua morfem, yaitu partikel pa ‘aspek futuristis’ dan- i ‘pemarkah pronomina persona ketiga tunggal’. Apabila dikaitkan dengan penggunaan pronomina persona kedua tunggal, partikel mi, ji dan pi akan berubah menjadi mako, jako, dan pako. Artinya partikel mi, ji dan pi akan mengalami perubahan bentuk secara sistemik sesuai dengan peristiwa gramatikal yang dialaminya, yaitu terintegrasi dengan penggunaan bentuk pronomina persona bahasa Makassar.

(15)

14

Pada penelitian (3), agak berbeda dengan pustaka sebelumnya. Bersama Effendi, Ide Said, Rasdiana, Adnan, dkk, yang merupakan peserta penelitian Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sulawesi Selatan (1977), membuat penelitian dengan judul Morfologi dan Sintaksis Bahasa Bugis (1979). Pada akhirnya hasil penelitian ini diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Di dalamnya dibahas proses morfologis dan sintaksis Bahasa Bugis, yang diketahui memiliki kesamaan dengan proses morfologis dan sintaksis bahasa Indonesia. Kesamaan tersebut berdasarkan pembahasan morfologi yang menyangkut afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan bahasa Bugis. Pembahasan sintaksis menyangkut konstruksi frasa, kalimat dasar, struktur kalimat dasar, proses sintaksis, dan kalimat majemuk dalam bahasa Bugis. Hal yang menjadi perbedaan dengan penelitian yang dilakukan penulis ialah objek penelitian yang berbeda. Pada penelitian ini, penulis mengambil objek penelitian bahasa Indonesia dialek Bugis-Makassar. Berbeda halnya dengan penelitian oleh Effendi dkk, yang mengambil objek penelitan bahasa daerah (Bugis dan Makassar). Di samping itu, penelitian tersebut tidak menyinggung perihal interferensi bahasa.

Penelitian (4) dilakukan Suwito pada tahun 1987 berjudul “Berbahasa dalam Situasi Diglosik: Kajian tentang Kendala Pemilihan dan Pemilahan Bahasa di dalam Masyarakat Tutur Jawa di Tiga Kelurahan Kodya Surakarta” dijelaskan bahwa pada masyarakat Surakarta masih banyak ditemukan adanya penyimpangan di dalam

(16)

15

tuturan sehingga memberikan kesan akan adanya ketumpangtindihan antara penggunaan bahasa yang satu dan penggunaan bahasa yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan belum mantapnya situasi diglosik pada masyarakat yang bersangkutan.

Dikemukakan pula bahwa tingkat kemampuan bahasa penutur sangat menentukan kemampuan berbahasa khususnya pada pemilihan bahasa. Seorang penutur yang memiliki perbendaharaan kata yang cukup memadai akan dapat memilah variasi bahasa dengan lebih tepat dibandingkan penutur lain yang memiliki perbendaharaan bahasa yang terbatas. Selanjutnya, ia menyatakan terdapat beberapa kendala dalam hal pemilihan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa yang tidak cocok dengan keperluan dan situasi tutur menimbulkan kejanggalan dan ketidakwajaran yang pada taraf tertentu dapat mengganggu jalannya komunikasi. Pemakaian bahasa yang diwarnai oleh penyesuaian tuturan dengan keperluan dan situasi seperti itu menunjukkan gejala adanya pemilihan bahasa. Hal tersebut dikatakan dapat terjadi karena adanya faktor-faktor sosial, kultural, dan situasional yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pada bagian simpulan dinyatakan bahwa dalam masyarakat tutur Jawa di daerah Surakarta ini, yang menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, diketahui memiliki kecenderungan untuk memilih dan memilahkan kedua bahasa tersebut beserta berbagai ragam bahasa yang ada. Namun, dalam situasi diglosik terebut ternyata gejala interferensi hampir terjadi pada semua tataran kebahasaan di dalam wujud tumpang tindihnya pemilihan dan pemilahan bahasa. Hal

(17)

16

demikian menunjukkan situasi diglosik pada masyarakat tersebut belum mantap. Berdasarkan uraian di atas, kiranya dapat dipertegas bahwa penelitian ini mengarah kepada suatu penelitian yang berbeda. Kemiripan pokok pembahasan soal interferensi bahasa dan juga penggunaan partikel sebagai klitika yang telah dilakukan peneliti terdahulu, yang memang agak relevan dengan pembahasan penelitian ini. Walaupun demikian, penulis melihat ada celah yang tidak dikaitkan dalam pembahasan, yakni metode analisis data yang menggunakan perspektif semantik gramatikal dalam menjabarkan identitas linguistik partikel mi, ji dan pi tersebut. Di samping itu, pada penelitian ini terungkap bagaimana dalam satu tuturan, yaitu tuturan bahasa Indonesia terdapat kontak atau pertemuan dua kode bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Bugis-Makassar yang dianalisis dalam perspektif semantik gramatikal.

1.7 Kerangka Teori

Pada penelitian ini, penulis memilih dua teori yang berbeda dalam menganalisis dua hal yang juga tidak sama. Teori pertama yaitu semantik untuk mengungkap makna satuan bahasa yang diteliti. Teori selanjutnya ialah sosiolinguistik dalam menungkap penggunaan satuan bahasa yang diteliti dan dihubungkan dengan masyarakat penuturnya. Dengan demikian dapat diungkap faktor penentu yang menyebabkan masyarkat penutur bahasa Indonesia dialek Bugis-Makassar menggunakan bentuk partikel mi, ji, dan pi.

(18)

17 1.7.1 Semantik

Terdapat berbagai pengertian semantik yang serupa. Menurut Verhaar(1996: 385), semantik adalah cabang linguistik yang meneliti arti atau makna. Dalam hal ini, Pateda (2001: 2) menyebut semantik itu sebagai istilah teknis yang mengacu pada makna.Hal serupa diuraikan pula oleh Sumarsono(2007:1), yang menyebut semantik sebagai studi tentang makna kata. Begitulah bahwa secara umum pengertian semantik mengarah pada kegiatan studi tentang arti atau makna satuan bahasa tertentu.

1.7.2 Makna Leksikal dan Gramatikal

Leksikon merupakan suatu komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa atau daftar kata yang tersusun seperti kamus tetapi memiliki penjelasan yang singkat dan praktis. Dalam penelitian dalam bidang leksikon pasti tidak bisa terlepas dari peranan bidang-bidang yang lain seperti bidang morfologi, semantik, dan sosiolinguistik. Semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna. Menurut Pateda (2001:74) semantik leksikal adalah kajian semantik yang lebih memuaskan pada pembahasan sistem makna yang terdapat pada kata. Dalam studi semantik leksikal sebuah kata dapat mempunyai berbagai macam makna yang terkandung. Berhubungan dengan makna, semantik leksikal membahas tentang perubahan makna.

Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain; makna leksikal ini dimiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri, terlepas dari konteks (Djajasudarma, 1993: 13).Seperti pada kata

(19)

18

rumahyang dalam KBBI dikategorikan ke dalam kelas kata benda (kb) yang berarti (1) bangunan untuk tempat tinggal; (2) bangunan pada umumnya, seperti gedung. Hal berbeda jika kata ini dirangkaikan dengan kata lain seperti kata duka menjadi rumah duka, yang diterangkan dalam KBBI sebagai (1) rumah tempat orang yang berduka cita karena ada yang meninggal; (2) bangunan tempat jenazah disemayamkan sebelum dikubur karena jenazah itu tidak dibawa pulang. Serangkaian kata tersebut, baik sebagai partikel dasar maupun sebagai partikel gabungan leksikal yang ada dalam kamus, disebut makna leksikal. Ada juga yang menyebut istilah tersebut sebagai kata dengan makna kamus.

Hal yang berkaitan dengan makna kamus dijelaskan pula oleh Verhaar (1996).Disebut di dalamnya bahwa makna leksikal berkaitan dengan semantik leksikal. Untuk bidang yang meneliti semantik leksikal menurut asas-asasnya disebut “leksikologi”. Tugas yang lebih praktis ialah menyusun kamus atau dikenal dengan sebutan leksikografi.

(20)

19

Sehubungan dengan ini, Verhaar (1996: 386) menggambarkan kedudukan semantik dalam sistematika bahasa:

Pada subkolom berwarna merah, diketahui bahwa ia tidak memiliki unsur semantik dan secara negatif dinyatakan fonetik tidak memiliki peran secara semantis. Berbeda halnya dengan fonologi, fonem-fonem sebagai satuan terkecil unit bahasa, jelas tidak membawa arti, namun berperan sebagai pembeda arti (lihat subkolom berwarna kuning). Pada subkolom berwarna hijau, morfem (kajian morfologi) dianggap sebagai satuan pembawa makna terkecil yang bersifat gramatikal berupa morfem terikat seperti afiks. Meskipun demikian, untuk morfem yang termasuk termasuk ke dalam monomorfemis, diketahui memiliki arti juga, tetapi tetap digolongkan sebagai semantik leksikal (lihat kolom merah muda). Menariknya, pada

Sistematika bahasa

Sintaksis

Fungsi tidak memiliki semantik

Peran gramatikalSemantik

Kategori GramatikalSemantik

Morfologi GramatikalSemantik

Fonologi tidak ada semantiknya, tetapi fonem berperan sebagai pembeda makna Fonetik tidak memiliki semantik

(21)

20

subkolom sintaksis, terdapat tiga subkolom lagi, yakni fungsi, kategori dan peran yang salah satunya tidak memiliki unsur semantik, yaitu fungsi.

Dalam Wijana (2010: 28-29) diungkapkan perbedaan antara makna leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal ialah makna satuan-satuan kebahasaan yang dapat diidentifikasikan tanpa satuan itu bergabung dengan satuan lingual yang lain. Makna leksikal ini disebut sebagai suatu konsep yang mengacu di luar bahasa seperti makna ayah, ibu, tidur, dan lantai, yang memiliki definisi secara berturut-turut yakni; ‘orangtua laki-laki’; ‘orangtua perempuan’; kegiatan merebahkan tubuh dengan memejamkan mata’; ‘bagian dasar rumah yang terbuat dari semen atau ubin’. Satuan seperti ayah, ibu, tidur, dan lantai disebut sebagai leksem, yakni satuan bahasa yang memiliki kemampuan dalam mengacu dan mempredikasi.Misalnya, tidur, tertidur, ketiduran, tidur-tiduran, menidurkan, meniduri, dan sebagainya. Diketahui kata-kata tersebut adalah kata dengan makna yang berbeda-beda, tetapi terbentuk dari leksem yang sama, yakni tidur. Leksem dapat memiliki bentuk dan makna. Bentuk-bentuk leksem secara auditif dipersepsi berupa rentetan bunyi bahasa yang memiliki makna, sementara secara visual dapat tergambar melalui deretan huruf. Selanjutnya, diketahui makna memiliki gambaran mental atau konsep yang dihubungkan oleh bentuk leksem itu sendiri.

Istilah leksem digunakan oleh Kridalaksana (1989: 11). Leksem itu merupakan suatu dasar dalam leksikon. Ia merupakan ‘bahan dasar’ atau input yang setelah mengalami ‘pengelohan gramatikal’ akan keluar menjadi output kata dalam

(22)

21

subsistem gramatikal. Pengertian di sini leksem terbatas pada satuan yang diwujudkan dalam gramatika dalam partikel morfem dasar atau kata. Statusnya adalah sebagai input dalam proses morfologis. Adapun rangkuman karakteristik leksem adalah sebagai berikut:

• satuan terkecil leksikon

• satuan yang berperan sebagai input dalam proses morfologis • bahan baku dalam proses morfologis

• unsur yang diketahui adanya dari partikel yang setelah disegmentasikan dari partikel kompleks merupakan partikel dasar yang lepas dari proses morfologis

• partikel yang tidak tergolong proleksem atau partikel.

Sekarang jelaslah bahwa kata itu sebagai satuan gramatikal yang berperan sebagai output. Dengan demikian, kata merupakan kesatuan yang benar-benar bebas dan karena kebebasannya itu dapat langsung berperan sebagai unsur utama dalam satuan yang lebih besar.

(23)

22

Dengan konsep leksem tersebut, Kridalaksana (1989:12) mengenalkan enam proses morfologis, yaitu sebagai berikut.

• derivasi Zero • afiksasi • reduplikasi • abreviasi • komposisi, dan • derivasi balik.

Berdasarkan uraian tersebut, diketahui bahwa makna itu disebut sebagai sesuatu yang mengacu pada konsep yang berada di luar bahasa. Jika suatu leksem bergabung dengan satuan lingual lain dan membentuk kalimat, satuan-satuan lingual yang berkenaan harus mengacu pada kaidah gramatikal dalam mengungkap kemaknaan tiap-tiap satuan yang dimaksud. Berbagai kaidah gramatikal ini kemudian disebut sebagai makna gramatikal. Terdapat berbagai cara dalam mengungkap makna gramatikal, di antaranya dengan menyusun kata; melakukan analisis makna kata fungsional; analisis makna morfem terikat, reduplikasi, dan juga dengan analisis intonasi kalimat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa makna gramatikal merujuk pada makna yang diperoleh dari penggabungan satuan-satuan lingual beserta ciri-ciri prosodi yang menyertainya.

(24)

23 1.7.3 Konsep Interferensi

Interferensi sangat erat kaitannya dengan gejala bahasa yang terjadi pada lingkungan sosial masyarakat penutur bahasa. Istilah interferensi ini pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut suatu perubahan sistem bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan suatu bahasa dengan unsur bahasa lain yang digunakan oleh penutur bilingual (Chaer dan Agustina, 2004: 120). Sehubungan dengan itu, Nababan (1984:35) menganggap interferensi ini sebagai wujud dari pengacuan unsur bahasa.Oleh Parera(1993: 63) interferensi dianggap sebagai wujud gangguan atau kesalahan.

Berkaitan dengan penelitian ini, penulis menganggap penggunaan partikel mi, ji dan pi ke dalam bahasa Indonesia sebagai gejala interferensi berupa gangguan. Sehubungan dengan ini, penulis menemukan penggunaan partikel tersebut ke dalam ragam bahasa Indonesia nonbaku di Facebook oleh penutur Bugis-Makassar. Meskipun demikian, terdapat beberapa aspek yang mendasari penggunaan partikel tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut berkenaan dengan muatan fungsi yang dimiliki tiap-tiap partikel, seperti futuristik, perfektif, progresif, komisif, atau emphasis (penegas). Gejala interferensi ini dimungkinkan terjadi akibat akrabnya kedua bahasa yang berbeda (bahasa Indonesia dan bahasa Bugis-Makassar) yang digunakan oleh warga masyarakat penutur yang menguasai kedua bahasa tersebut.

Dalam kaitan ini, Crystal (198:188) menjelaskan bahwa interferensi merupakan sebuah istilah yang digunakan dalam sosiolinguistik dan pembelajaran

(25)

24

bahasa asing yang mengacu pada kesalahan yang dilakukan oleh seorang penutur pada saat menuturkan satu bahasa sebagai hasil kontak dengan bahasa lain seperti situasi multilingualisme.

Pendapat pakar sosiolinguistik yang lainnya dikemukakan secara lebih rinci oleh Alwasilah (1985:131). Disebutkan olehnya bahwa interferensi dapat mencakup:

• interferensi tata bahasa, maksudnya interferensi yang terjadi karena dwibahasawan terpengaruh oleh tata bahasa ibu pada saat menggunakan bahasa kedua;

• interferensi kosakata ialah interferensi yang di dalamnya dwibahasawan cenderung menggunakan atau memanfaatkan kosakata bahasa pertamanya pada saat menggunakan bahasa kedua;

• interferensi pengucapan ialah interferensi di mana dwibahasawan cenderung menggunakan lafal bahasa ibu pada saat mengucapkan bahasa kedua;

• interferensi makna ialah interferensi yang terjadi pada saat memahami makna bahasa kedua: dwibahasawan berpikir dengan pola bahasa ibu atau bahasa pertama.

Berdasarkan jabaran yang telah dikemukakan di atas, penulis melihat adanya kemungkinan interferensi sesuai dengan jabaran Alwasilah pada tiap-tiap aspek yang telah disebutkan sehubungan penggunaan partikel mi, ji, dan pi dalam tuturan bahasa Indonesia penutur bahasa Bugis-Makassar. Sehubungan dengan itu, penulis mencoba

(26)

25

menerapkan semantik gramatikal sebagai pisau bedah utama dalam menganalis data bahasa, sehingga terungkap bagaimana gejala tersebut dikatakan sebagai interferensi. Untuk itu, perlu dijabarkan pula hal-hal yang berkenaan dengan interferensi gramatikal.

1.7.4 Interferensi Gramatikal

Sebelum masuk ke dalam konsep interferensi gramatikal, sebaiknya diketahui terlebih dahulu konsep tentang gramatika. Dalam Kridalaksana (1984:59) mendefinisikan gramatika sebagai subsistem dalam organisasi bahasa yang satuan-satuannya bermakna dan bergabung dalam membentuk satuan-satuan yang lebih besar. Lebih lanjut diuraikan, gramatika terbagi atas morfologi dan sintaksis dan terpisah dari fonologi, semantik, dan leksikon. Hal serupa dijabarkan pula oleh Radford (2003:1) yang mengatakan bahwa gramatika dapat dibagi menjadi dua area studi yang berkaitan, yaitu morfologis dan sintaksis. Senada dengan paparan sebelumnya, Widdowson (2008: 48) mengungkapkan bahwa morfologi berkaitan dengan pembentukan kata dan sintaksis menjelaskan bagaimana kata-kata tersebut dikombinasikan antara satu sama lain dalam suatu konstruksi yang bernama kalimat. Kedua tataran ini berkaitan dan merupakan kajian utama dalam tata bahasa.

Baik morfologi maupun sintaksis, kedua-duanya merupakan bagian dari ilmu bahasa. Ramlan (2001: 23:24) menyatakan bawa morfologi mempelajari seluk-beluk kata dan satuan yang paling kecil yang dapat diselidiki adalah morfem, sedangkan satuan yang paling besar ialah kata. Adapun sintaksis mempelajari hubungan antara

(27)

26

kata/ frasa/ klausa/ kalimat dan satuan lainnya. Disimpulkan oleh Ramlan bahwa persoalan kata dalam morfologi adalah persoalan utama sedangkan dalam sintaksis kata itu merupakan satuan terkecil karena masih ada lagi satuan yang lebih besar yang disebut frasa, klausa, dan kalimat.

Sehubungan dengan konsep interferensi yang dihubungkan dengan konsep gramatika tersebut, dapat diketahui bahwa interferensi gramatikal adalah gangguan bahasa yang terjadi pada seorang bilingual atau sekelompok bilingual yang disebabkan oleh masuknya pengaruh gramatika, tata bahasa, atau unsur bahasa asal ke dalam bahasa tujuan.

Charles Carpenter Fries membedakan tiga macam fungsi semantik gramatikal ke dalam sebuah kalimat.Ketiga macam fungsi makna itu antara lain (1) makna butir-butir gramatikal; (2) makna fungsi-fungsi gramatikal; (3) makna yang berhubungan dengan nosi-nosi umum kalimat. Dicontohkan dalam (1) terkhusus pada makna/ fungsi gramatikal dari partikel dan makna kategori gramatikal seperti kategori jumlah, genus, atau kategori aspek, modus, dan sebagainya.Dalam (2) fungsi dimaksudkan terhadap fungsi subjek, predikat, objek, dan keterangan.Selanjutnya makna peran gramatikal seperti agens, benefaktif, faktitif dimasukkan pula ke dalam makna fungsi gramatikal sebagai tambahan dari perkembangan analisis sintaksis. Terakhir, dalam (3) makna dimaksudkan kepada hal yang berhubungan dengan nosi-nosi umum kalimat, seperti pada kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah (Parera, 2004: 92).

(28)

27 1.7.5 Kedwibahasawan

Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan kedwibahasaan, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau kode bahasa. Untuk dapat menggunakan dua bahasa, tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertama (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut dwibahasawan.

Kedwibahasaan menurut Nababan (1984:27) adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Suwito (1985:40) berpendapat bahwa istilah kedwibahasaan pengertiannya bersifat nisbi (relatif). Kenisbian tersebut karena batas seseorang untuk dapat disebut dwibahasawan itu bersifat arbitrer (tidak ada batas pemisahnya) dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. Hal ini disebabkan karena pandangan orang terhadap kedwibahasaan berbeda-beda. Selanjutnya ia mengutip pendapat beberapa orang mengenai dwibahasawan, antara lain : menurut pendapat Haugen (1968:10) yang mengemukakan kedwibahasaan sebagai tahu dua bahasa, rumusan itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa dalam kedwibahasaan, seorang dwibahasawan tidak harus menguasai dua bahasa secara aktif, tetapi ia cukup mengetahui secara pasif kedua bahasa tersebut. Sangatlah sulit menemukan orang yang bilingualitas sejati, dalam artian kemampuannya dalam kedua bahasa tersebut sama benar dan mampu menggunakannya secara seimbang, yang oleh Halliday (1964) disebut sebagai bilingualitas seimbang yang dalam peristilahan kita

(29)

28

dinamakan ambilingualitas. Bahasa Inggris merupakan bahasa asing pertama yang wajib diajarkan kepada siswa-siswa sekolah. Hal yang wajar jika masyarakat Indonesia menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai bahasa pertama, kemudian mereka akan mengenal bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua di sekolah atau secara informal dalam masyarakat. Dan pada jenjang yang lebih tinggi mereka akan mengenal dan mempelajari bahasa asing. Kemultibahasaan inilah yang menyebabkan timbulnya pencampuran bahasa dalam situasi pemakaian bahasa.

1.7.6 Variasi Bahasa

Variasi bahasa adalah jenis ragam bahasa yang pemakaiannya disesuaikan dengan fungsi dan situasi tanpa menghasilkan kaidah-kaidah pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan (Suwito, 1985: 29). Variasi bahasa berkenaan dengan penggunannya, pemakainya atau fungsinya disebut fungsiolek ragam atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan gaya atau tingkat keformalan dan sarana penggunaan (Nababan melalui Chaer, 1995: 89-90).

Adanya faktor-faktor sosial dan faktor situasional yang memengaruhi pemakaian bahasa menimbulkan variasi-variasi bahasa. Dengan timbulnya variasi bahasa menunjukkan bahwa bahasa itu bersifat aneka ragam dan manasuka.

Soeparno dalam Dasar-dasar Linguistik (2003:55-61) mengemukakan bahwa variasi bahasa terdiri dari variasi kronologis, variasi geografis, variasi sosial, variasi fungsional, variasi gaya/style, variasi kultural, dan variasi individual.

(30)

29 a. Variasi Kronologis

Variasi kronologis adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh faktor keurutan waktu atau masa. Perbedaan pemakaian bahasa telah mengakibatkan perbedaan wujud pemakaian bahasa. Wujud nyata pemakaian bahasanya dinamakan kronolek.

b. Variasi Geografis

Variasi geografis adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh perbedaan geografis atau faktor regional, oleh karenanya juga sering disebut variasi regional. Wujud/varietasnya dinamakan dialek atau dialek regional. Contoh dialek dalam bahasa Jawa, yaitu dialek Banyumas, dialek Tegal, dialek Osing, dialek standar, dan sebagainya.

c. Variasi Sosial

Variasi sosial adalah variasi bahasa yang disebabkan oleh perbedaan sosiologis. Variasi sosial ini sering disebut sosiolek. Beberapa sosiolek antara lain sebagai berikut.

1) Akrolek adalah realisasi variasi bahasa yang dipandang lebih bergengsi atau lebih tinggi dari varietas-varietas yang lain. Sebagai contoh, bahasa Bagongan yang khusus dipakai oleh para bangsawan di kalangan kraton Jawa.

2) Basilek adalah realisasi variasi bahasa yang dipandang kurang bergengsi atau bahkan dipandang rendah. Misalnya, pada bahasa yang dipakai oleh para kuli pasar, bahasa Jawa krama ndesa, dan lain-lain.

(31)

30

3) Vulgar adalah wujud variasi bahasa yang ciri-cirinya menunjukkan pemakaian bahasa oleh penutur yang kurang terpelajar atau dari kalangan orang-orang bodoh. Bagi kalangan yang kurang terpelajar dalam berbahasa cenderung langsung mengungkapkan maksudnya tanpa mempertimbangkan bentuk bahasanya. Oleh karena itu bahasa yang dipergunakan adalah bahasa dengan kata-kata kasar.

4) Slang adalah wujud atau realisasi variasi bahasa yang bersifat khusus dan rahasia. Berarti dipakai oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas dan tidak boleh orang di luar kelompoknya mengerti. Sebagai langkah untuk menjaga kerahasiaan, slang akan diubah/berubah, jadi bersifat temporal.

5) Kolokial adalah bahasa percakapan sehari-hari yang biasanya dipergunakan oleh kelompok sosial kelas bawah.

6) Jargon adalah wujud variasi bahasa yang pemakaiannya terbatas pada kelompok-kelompok sosial tertentu. Berbentuk istilah-istilah khusus namun bersifat rahasia. Misalnya, bahasa tukang batu, bahasa montir, bahasa kernet dan sopir.

7) Argot adalah wujud variasi bahasa yang pemakaiannya terbatas pada profesi- profesi tertentu dan bersifat rahasia. Misalnya bahasa para pencuri, pencopet, penggarong, dan sebagainya. Letak kekhususannya biasanya terletak pada kosakata, misalnya pada kalangan preman, sangek ‘nafsu’, cipok ‘cium’, pecun ‘tunasusila’,

(32)

31 mokat ‘mati’, dan lain-lain.

8) Ken (cant) adalah wujud variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu dengan lagu yang dibuat-buat supaya lebih menimbulkan kesa “memelas”. Misalnya bahasa yang digunakan oleh para pengemis.

d. Variasi Fungsional

Variasi ini disebabkan oleh perbedaan fungsi pemakaian bahasa. Sampai seberapa jauh fungsi-fungsi bahasa itu dimanifestasikan akan tampak pada wujud variasi fungsional atau yang disebut fungsiolek.

e. Variasi Gaya/Style

Variasi ini disebabkan oleh perbedaan gaya. Gaya adalah cara berbahasa seseorang dalam performansinya secara terencana maupun tidak, secara lisan maupun tertulis. Mario Pei (dalam Alwasilah, 1985:53) mengemukakan adanya lima macam gaya, yakni: (1) gaya puisi, (2) gaya prosa, (3) gaya ujaran baku, (4) gaya kolokial, atau gaya percakapan kelas rendah, dan (5) gaya vulgar dan slang, sedangkan Martin Joss (1967) membedakan lima macam gaya di dalam bukunya “The Five Clocks” (dalam Soeparno, 2003:58) berdasarkan tingkat kebakuan. Kelima macam gaya tersebut adalah.

(33)

32 1) Gaya Frozen

Gaya ini disebut juga gaya beku, sebab bentuk pemakaiannya tidak pernah berubah dari masa ke masa dan oleh siapa pun penuturnya. Misalnya, pada suluk pada doa mantra, dan lain-lain.

2) Gaya Formal

Gaya ini disebut juga gaya baku. Pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar dan pemakaiannya dirancangkan pada situasi resmi. Gaya semacam ini biasa digunakan pada lembaga-lembaga pendidikan, kantor-kantor pemerintah, pidato, ceramah, buku-buku pelajaran, rapat dinas, dan lain-lain.

3) Gaya Konsultatif

Gaya ini disebut juga setengah resmi atau gaya usaha. Disebut demikian karena bentuknya terletak di antara gaya formal dan gaya informal. Pemakaian gaya konsultatif kebanyakan dipergunakan oleh para pengusaha atau kalangan bisnis, selain itu juga biasa digunakan dalam pembicaraan di sekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi.

4) Gaya Kasual (casual)

Gaya ini disebut juga gaya informal atau santai. Ciri gaya ini antara lain banyak dipergunakan bentuk alegro, yakni bentuk yang diperpendek baik pada level kata, frasa, maupun kalimatnya. Ciri lain ialah banyaknya unsur leksikal dialek dan unsur daerah. Gaya bahasa ini biasa dipergunakan oleh

(34)

33

para pembicara di warung kopi, di tempat-tempat rekreasi, di pinggir jalan, dan pembicaraan santai lainnya.

5) Gaya Intim (Intimate)

Gaya ini disebut juga gaya akrab, karena biasa dipergunakan oleh para penutur dan hubungannya sudah amat akrab. Cirinya hampir sama dengan gaya santai, akan tetapi pada gaya akrab ini pemakaian alegronya sudah keterlaluan sehingga tidak mungkin dimengerti oleh orang lain tanpa mengetahui situasinya. Gaya intim ini biasa dipakai oleh antaranggota keluarga, teman dekat, dan lain-lain.

f. Variasi Kultural

Variasi ini disebabkan oleh perbedaan budaya masyarakat pemakainya. Suatu bahasa yang dipergunakan oleh penutur asli atau oleh penutur pribumi kadang-kadang mengalami perubahan dengan masuknya budaya lain. Varietas yang termasuk sebagai variasi kultural ini antara lain:

1) Vernakular adalah bahasa asli atau bahasa penduduk pribumi di suatu wilayah.

2) Pidgin adalah bahasa yang struktur maupun kosakatanya merupakan struktur campuran sebagai akibat percampuran dua budaya yang bertemu. 3) Kreol adalah pidgin yang sudah berlangsung turun temurun sehingga struktur maupun kosakatanya menjadi mantap. Bahkan kreol dapat diangkat menjadi bahasa resmi suatu negeri.

(35)

34

budayanya untuk dipakai bersama-sama sebagai alat komunikasi. Misalnya bahasa Arab di Timur Tengah, bahasa Indonesia di Nusantara, bahasa Melayu di Nusantara pada zaman Sriwijaya, dan lain-lain.

g. Variasi Individual

Variasi ini disebabkan oleh perbedaan perorangan. Wujud variasinya dinamakan idiolek. Setiap individu penutur memiliki ciri tuturan yang berbeda dengan penutur lain. Ciri pembeda tersebut terletak pada warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Itulah sebabnya kita dapat mengenal seseorang lewat tuturannya, meskipun tidak melihat si penutur. Sementara itu, Nababan dalam Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya) (1987:9-17) menjelaskan bahwa bahasa mempunyai bentuk-bentuk yang sesuai dengan konteks dan keadaan. Bentuk-bentuk yang berbeda itu disebut ragam bahasa (language variety). Ada empat macam variasi bahasa tergantung pada faktor yang berhubungan atau sejalan dengan ragam bahasa itu.

a. Faktor-faktor geografis, yaitu di daerah mana bahasa itu dipakai sebagai bahasa daerah (regional variety).

b. Faktor-faktor kemasyarakatan, yaitu golongan sosioekonomik mana yangmemakai bahasa itu sebagai bahasa golongan (social variety).

c. Faktor-faktor situasi berbahasa, ini mencakup: penutur dan mitra tutur, tempat berbahasa (di rumah, di sekolah, di balaisidang dan sebagainya), topik yang dibicarakan, jalur berbahasa (lisan,tulisan, telegram, dan sebagainya). Ini disebut bahasa situasi (functionalvariety).

(36)

35

d. Faktor-faktor waktu, yaitu di mana-mana (kurun waktu dalam perjalanan sejarah suatu bahasa) bahasa itu dipakai sebagai bahasa zaman (temporal atau chronological variety).

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Nababan membagi variasi bahasa menjadi empat, yaitu sebagai berikut.

a. Ragam Dialek

Ragam bahasa yang berhubungan dengan daerah tempat penuturnya (faktor-faktor geografis) disebut dialek. Perbedaan dialek terdapat pada seluruh aspek bahasa, yaitu fonologi, ejaan dan lafal, morfologi dan sintaksis, kosakata dan peribahasa (idiom) dan juga dalam pragmatik (penggunaan bahasa). Contoh: Bahasa Bugis memiliki beberapa ragam dialek, sepeti dialek Bugis-Sidrap, Bugis-Bone, atau Bugis-Soppeng. Ketiganya memiliki ujaran yang berbeda, khususnya pada penekanan kalimat.

b. Ragam Sosiolek

Ragam bahasa yang berkaitan dengan golongan sosial penutur-penuturnya disebut sosiolek. Misalnya, sosiolek golongan atas (hartawan dan orang-orang berada), dan golongan menengah yang sebagian terdiri dari orang-orang terpelajar.

c. Ragam Fungsiolek

Kelompok ragam bahasa yang ketiga berkaitan dengan situasi berbahasa, siapa-siapa pemeran serta berbahasa itu serta topik dan jalur (tulisan, lisan, dan sebagainya) berbahasa itu. Faktor-faktor ini menentukan

(37)

36

tingkat formalitas (keresmian) berbahasa, dan sejalan dengan itu dikembangkanlah apa yang disebut ragam-ragam fungsional (fungsiolek). Seperti halnya dalam Chaer&Leonie (2004), Nababan mengemukakan bahwa Martin Joss, seorang linguis Amerika yang banyak mengkaji penggunaan bahasa Inggris, membagi ragam fungsiolek ini menjadi lima subragam, yaitu:

1) Ragam beku (frozen) adalah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara-upacara resmi. Dalam bentuk tertulis ragam beku ini terdapat dalam dokumen bersejarah, seperti undang-undang dasar dan dokumen-dokumen penting lainnya.

.2) Ragam resmi (formal) adalah ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi, rapat dinas, atau rapat resmi pimpinanan suatu badan.

3) Ragam usaha (consultative) adalah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat usaha yang berorientasi kepada hasil atau produksi, dengan kata lain, ragam ini berada pada tingkat yang paling operasional. Contohnya bahasa yang digunakan guru ketika mengajar,

4) Ragam santai (casual) adalah ragam bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang, rekreasi, berolah raga, dan sebagainya.

5) Ragam akrab (intimate) adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa

(38)

37

secara lengkap dengan artikulasi terang, tetapi cukup dengan ucapan-ucapan yang pendek. Hal ini disebabkan oleh adanya saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain. Dalam tingkat inilah banyak dipergunakan bentuk-bentuk dan istilah-istilah (kata-kata) khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab.

d. Ragam Kronolek

Ragam bahasa yang berhubungan dengan perubahan bahasa dalam berlalunya waktu disebut kronolek. Ragam kronolek disebut juga variasi bahasayang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa tertentu.

1.8 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yakni penelitian yang semata-mata berdasarkan atas fakta nyata atau fenomena yang secara empiris hidup pada masyarakat penutur bahasa, sehingga yang dihasilkan atau dicatat ialah berupa pemerian bahasa yang dikatakan sifatnya sebagai potret (Sudaryanto, 1988: 62). Dalam penelitian deskriptif, terdapat setidaknya tiga tahapan dalam melakukan penelitian, yaitu (1) tahap pengumpulan dan penyediaan data; (2) tahap penganalisisan data; dan (3) tahap penyajian hasil penelitian (Mahsun, 2005:30). Ketiga tahapan tersebutsecara berturut-turut diuraikan berikut ini.

(39)

38 1.8.1 Tahap Pengumpulan atau Penyediaan Data

Data kebahasaan dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa berupa wacana, kalimat, klausa, atau frasa yang di dalamnya terdapat unsur penggunaan partikel mi, ji dan pi, baik secara lisan maupun tulisan. Pada sumber data lisan diperoleh percakapan yang dilakukan di lingkungan penutur bahasa di Makassar, sedangkan data tertulis diperoleh dari media jejaring sosial Facebook.

Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini ialah metode simak libat cakap. Metode ini dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa dari seseorang atau beberapa orang yang menjadi atau dijadikan informan dengan melibatkan diri dalam komunikasi atau tuturan yang diteliti.Keterlibatan penulis dalam percakapan dimaksudkan untuk memancing kemunculan data bahasa yang hendak diteliti, dalam hal ini penggunaan partikel mi, ji, dan pi dalam tuturan bahasa Indonesia.

Selanjutnya,penulis menggunakan alat perekam dalam menghimpun data bahasa. Pada sumber data lisan digunakan tape recorder, yaitu alat perekam suara secara digital. Di samping itu alat tersebut, data juga dikumpulkan dengan cara mencatat data secara langsung pada saat menemukan penggunaan partikel mi, ji, dan pi. Untuk sumber tertulis seperti di Facebook, alat yang dipergunakan untuk merekam data bahasa ialah fitur ScreenCapture. Fitur ini merupakan salah satu teknologi digital berupa aplikasi yang berfungsi ‘memotret’ tampilan layar secara aktual dan menghasilkan data berupa potongan gambar (mirip foto) yang berisikan data bahasa

(40)

39

sesuai dengan tampilan di Facebook. Pada penelitian ini, penulis mengumpulkan sepuluh akun dari pengguna Facebook. Pemilihan akun tersebut dilakukan secara purposif berdasarkan lokasi pengguna aktif Facebook, yaitu di Makassar. Hasil rekaman ScreenCapture tersebut dapat ditemukan pada bagian lampiran tesis ini.

1.8.2Tahap Analisis Data

Pada tahap ini, hasil pengumpulan data yang telah ditranskripsikan dan dikelompokkan selanjutnya dianalisis. Proses ini dilakukan dengan cara menemukan kaidah berdasarkan penggunaan partikel mi, ji, dan pi ke dalam bahasa Indonesia. Partikel-partikel tersebut masing-masing dipadankan dengan kosakata yang sesuai dalam bahasa Indonesia. Padanan tersebut diperoleh dari kesamaan fungsi kata yang setidaknya dapat menggantikan keberadaan partikel-partikel mi, ji, dan pi. Setelahi tu penulis kemudian menentukan kaidah yang berlaku terhadap setiappartikel.Penentuan kaidah diperoleh dari jenis kalimat yang dapat menggunakan partikel-partikel tersebut. Setelah kaidah-kaidah dirumuskan, diperolehlah makna dan fungsi yang terkandung di dalam penggunaan kalimat.Pada analisis terakhir, penulis menggunakan teori interferensi bahasa dalam menemukan faktor penentu mengapa masyarakat penutur di Makassar lebih memilih menggunakan corak bahasa kedaerahan tersebut ke dalam tuturan berbahasa Indonesia mereka.

1.8.3 Penyajian Hasil Analisis Data

(41)

40

informal, yaitu dengan menuliskan hasil penelitian dalam partikel paragraf.Analisis data disajikan dengan memunculkan kaidah dan rumusan tertentu berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini. Penulis menyajikan transkripsi data bahasa melalui tabulasi data secara sistematis untuk kemudian jabaran analisis diuraikan satu per satu.

1.9 Sistematika Penyajian Hasil Penelitian

Sistematika hasil penelitian berhubungan dengan cara menyajikan hasil penelitian. Jika diurutkan, terdapat empatbab yang terdiri atas subbab-subbab yang relevan, yakni (i) Bab I: Pendahuluan; (ii) Bab II: Pembahasan Pertama; dan (iii) Bab III: Pembahasan Kedua; (iv) Simpulan. Pada (i) Bab I berisi pendahuluan yang merangkum latar belakang pemilihan topik penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Selanjutnya, pada (ii) Bab II berisi pembahasan penggunaan partikelmi, jidan piyang dirangkum ke dalam dua subpokok pembahasan sebagai berikut; (1) pembahasan perihal kaidah dasar pembentukan partikel mi, ji dan pi dalam bahasa daerah; selanjutnya, (2) diuraikan penggunaan partikel tersebut ke dalam bahasa Indonesia dan analisis makna terhadap penggunaan masing-masing partikel tersebut. Terakhir, pada (iii) Bab III berisi analisis atau penilaian penulis perihal faktor penyebab masyarakat Bugis-Makassar menggunakan partikel-partikel tersebut ke dalam percakapan atau tuturan bahasa Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Inti Sebelum peserta didik memahami pentingnya peranan lembaga peradilan, guru dapat menjelaskan secara umum dasar hukum peranan lembaga peradilan di Indonesia. Peserta didik

Jika dilihat secara keseluruhan, lebih dari 50% siswa melakukan kelima perilaku metakognisi selama pemecahan masalah dengan rincian: memeriksa setiap langkah pada

Tidak menyenangkan apabila: publik tidak setuju akan informasi yang disampaikan Jokowi selaku juru kampanye partai, dan menyatakan diri tidak akan mendukung

• Karena waktu adalah uang, maka sangat bijaksana jika analis sistem menggunakan sebuah strategi penemuan fakta untuk memaksimalkan waktu yang digunakan dengan pengguna akhir.

· Lepaskan selalu daya listrik AC dengan mencabut kabel daya dari colokan daya sebelum menginstal atau melepaskan motherboard atau komponen perangkat keras lainnya.. ·

Dengan pola yang semacam ini akan tetap memberikan ruang bagi pesantren untuk dapat berkreasi, melestarikan tradisi yang khas serta mampu berbicara dalam konteks

Pentingnya informasi kebijakan dividen bagi investor dan pemegang saham perusahaan juga telah dibuktikan pada penelitian sebelumnya, Laitupa (2007) dalam penelitiannya

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyowati, Zahroh, dan Widjasena (2014) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara beban kerja