• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Istilah banjir rob awalnya dipakai untuk mengatakan banjir dari pasang air laut yang sering terjadi di daerah Semarang. Banjir rob atau pasang merupakan fenomena meluapnya air laut ke daratan. Tarikan bulan dan matahari menjadi jauh lebih besar dibandingkan waktu-waktu lainnya ketika Bulan, Bumi, dan Matahari berada satu garis, atau pada saat bulan purnama atau bulan baru,. Inilah saat terjadinya pasang besar (spring tide). Kenaikan muka air laut akibat pasang merupakan fenomena alam biasa dan bisa diprediksi.

Kejadian pasang surut tersebut akibat pergerakan matahari, bumi, bulan dan benda-benda langit lainnya dan juga pergerakan benda-benda langit. Gelombang pasang akibat kenaikan muka air laut disebabkan oleh pasang-surut, disamping itu juga diakibatkan oleh faktor-faktor lain atau eksternal force

seperti dorongan air, swell (gelombang yang ditimbulkan dari jarak jauh), badai dan badai tropis yang merupakan fenomena yang sering terjadi di laut. Gabungan atau interaksi dari it u semua menimbulkan anomali muka air laut yang menyebabkan banjir Rob.

Kejadian banjir rob akhir-akhir ini melanda sejumlah daerah di Indonesia, diantaranya di wilayah Jakarta Utara tepatnya di kawasan Muara Baru yang terjadi pada bulan Januari tahun 2008 yang menyebabkan terjadinya genangan air setinggi 30 cm . Sedangkan di daerah Semarang yang merupakan daerah yang sering mengalami banjir pasang merendam kawasan yang berjarak sekitar tiga kilometer dari pesisir pantai utara Semarang dengan ketinggian air di atas mata kaki orang dewasa.

Di wilayah utara Jakarta banjir pasang tersebut perlu untuk dikaji karena banyak faktor yang megakibatkan kejadian tersebut. Selain faktor alami, kejadian banjir di wilayah tersebut juga diperparah dengan menurunnya muka atau permukaan tanah di utara Jakarta, serta perubahan penggunaan lahan dari kawasan bakau menjadi lahan perumahan.

Istilah banjir Rob tersebut ramai kembali dibicarakan karena semakin parah akibat yang ditimbulkan banjir tersebut dan isu tentang

global warming yang mengakibatkan naiknya muka air laut s ehingga banyak dikatakan bahwa banjir rob terjadi akibat tinggi muka air laut yang meningkat serta penurunan muka tanah.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menghitung tinggi dan luas

genangan banjir rob di DAS Sunter dan kemudian memetakan daerah banjir tersebut.

2. Menghitung limpasan permukaan DAS Sunter dengan metode SCS (Soil Conservation Service).

3. Mengetahui hubungan antara limpasan permukaan DAS Sunter dan keadaan pasang yang dapat menyebabkan banjir di wilayah tersebut.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hujan dan Limpasan Permukaan 2.1.1 Hujan

Hujan merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling penting. Hujan adalah peristiwa jatuhnya cairan (air) dari atmosfer ke permukaan bumi. Hujan merupakan salah satu komponen input dalam suatu proses dan menjadi faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi pada suatu kawasan (DAS). Peran hujan sangat menentukan proses yang akan terjadi dalam suatu kawasan dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhi proses yang terjadi didalamnya (Mayong 2006).

2.1.2 Limpasan Permukaan

Salah satu bagian dalam siklus hidrologi adalah limpasan permukaan atau yang biasa dikenal sebagai run off. Ward (1967) menyatakan limpasan permukaan adalah air yang mengalir di permukaan, baik sebagai aliran suatu kanal, anak sungai menuju ke sungai utama.

Limpasan permukaan dapat juga dinyatakan sebagai kedalaman air dalam suatu tangkapan yaitu dalam satuan mm/hari atau mm/bulan. Seyhan (1990) menyatakan bahwa limpasan permukaan dibagi menjadi dua berdasarkan sumbernya, yaitu air yang mengalir di atas permukaan tanah dan air yang menginfiltrasi dan mencapai lapisan yang impermeabel kemudian sebagiannya mengalir ke sungai (limpasan bawah permukaan). Limpasan permukaan yang mengalir di atas permukaan tanah dan tidak dapat langsung terinfiltrasi dapat diartikan sebagai banjir karena dapat merugikan manusia.

(2)

2.1.3 Faktor-Faktor Penentu Limpasan Permukaan

Sosrodarsono dan Takeda (2003) menjelaskan faktor-faktor dari daerah pengaliran yang berhubungan dengan daerah limpasan, antara lain :

1. Kondisi penggunaan lahan; daerah yang memilki laju infiltarsi yang besar akan memilki limpasan permukaan yang kecil, begitu pun sebaliknya.

2. Daerah pengaliran; debit banjir diharapkan berbanding terbalik dengan daerah pengaliran.

3. Kondisi topografi dalam daerah pengaliran ; daerah pengaliran dipengaruhi oleh corak, elevasi, gradien dan arah dari daerah pengaliran itu sendiri.

4. Jenis tanah; corak, bentuk butir serta cara mengendap adalah faktor y ang mempengaruhi laju infiltrasi, sehingga limpasan juga dipengaruhi faktor-faktor tersebut.

5. Faktor lain yang memberi pengaruh ; faktor lain diantaranya yaitu karakteristik jaringan sungai, daerah pengaliran tidak langsung dan drainase buatan.

Curah hujan dan daerah aliran sungai merupakan faktor yang mempengaruhi limpasan permukaan (Asdak 2005). Pengaruh dari DAS terhadap limpasan permukaan yaitu melalui bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi dan keadaan tataguna lahan (vegetasi). Sedangkan curah hujan mempengaruhi air larian melalui lama waktu hujan, intensitas dan penyebaran hujan. Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah tanah, iklim dan persentase luas DAS.

2.1.4 Hubungan Curah Hujan dan Limpasan Permukaan

Air yang berlebih akan mulai mengumpul di tempat yang dapat menyimpan di permukaan bumi ketika curah hujan telah

melampaui infiltrasi pada suatu permukaan. Curah hujan pendek dengan intensitas lemah yang jatuh pada permukaan tanah sangat permeabel (lolos air) dan sangat kering akan memberikan peluan g terjadinya aliran permukaan kecil atau bahkan nol, sementara itu untuk permukaan kedap atau jenuh, presipitasi yang sama dapat menghasilkan debit relatif besar. Aliran permukaan merupakan faktor penting terjadinya debit puncak.

2.1.5 Metode Perhitungan Limpasan Permukaan dengan SCS (Soil

Conservation Service)

Metode SCS dikembangkan oleh Dinas Konservasi Tanah Amerika atau US Soil Conservatio Service melalui pengamatan hujan bertahun-tahun di beberapa daerah pertanian di Amerika Serikat. Metode ini menghubungkan karakteristik DAS seperti tanah, vegetasi, tata guna lahan dengan nilai bilangan kurva (curve number) limpasan permukaan untuk mengetahui potensi limpasan permukaan untuk nilai curah hujan tertentu.

Asdak (1995) menjelaskan bahwa metode SCS berlaku hanya untuk DAS yang lebih kecil dari 13 km2 dengan rata-rata kemiringan DAS kurang dari 30 %. SCS sebagai lembaga yang melahirkan konsep Bilangan Kurva telah mengembangkan hubungan antara Bilangan Kurva terhadap jenis penggunaan atau penutupan lahan beserta perlakuan konservasinya, kondisi hidrologi dan jenis tanahnya. Pengembangan tersebut diwujudkan dalam bentuk tabel. K husus untuk kajian ini jenis tanah dibagi jadi empat kelompok besar. Masing-masing kelompok mendiskripsikan karakteristik tekstur tanahnya yang sekaligus mencerminkan sifat atau potensi limpasannya, serta laju infiltrasi akhir dari tanah tersebut. Empat pengelompokan berdasarkan jenis tanah tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

(3)

Tabel 1. Hubungan laju infiltrasi minimum dengan jenis tanah menurut SCS (Asdak 1995) Kelompok Hidrologi Tanah Laju Infiltrasi (mm/jam) Karakteristik Tanah A 8-12 Potensi limpasan

paling kecil, tanah pasir dengan unsur debu dan liat

B 4-8 Potensi limpasan kecil, tanah berpasir dangkal, lempung berpasir C 1-4 Potensi limpasan sedang, lempung berliat, lempung berpasir dangkal, berkadar organik rendah dan kadar liat tinggi.

D 0-1 Potensi limpasan

tinggi, kebanyakan tanah liat, tanah yang mengambang jika basah, liat berat, plastis dan tanah bergaram tertentu

2.2 Teori Pasang Surut

Pasang surut atau disingkat pasut menurut Wibisono (2005) merupakan suatu gejala alam yang tampak nyata di laut, yakni suatu gerakan vertikal dari seluruh partikel massa air laut di permukaan sampai bagian terdalam dari dasar laut yang disebabkan oleh pengaruh dari gaya tarik bumi dengan benda-banda angkasa terutama matahari dan bulan. Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa tenaga pembangkit pasang surut terjadi akibat adanya gaya tarik menarik antara dua tenaga yang terjadi di lautan, yang berasal dari gaya sentrifugal yang disebabkan perputaran bumi pada sumbunya dan gaya gravitasi yang berasal dari bulan.

Gaya gravitasi bumi dan matahari dibandingkan dengan gaya gravitasi bumi dan bulan jauh lebih kecil, walaupun ukuran matahari jauh lebih besar dari bulan. Hal itu disebabkan jarak bulan yang lebih dekat ke bumi dibandingkan jarak matahari ke bumi sehingga gaya tarik-menarik antara bumi dan matahari hanya sekitar 46% sedangkan gaya tarik-menarik antara bumi dan bulan sekitar 54%. Dengan demikian fenomena pasang surut di bumi lebih dominan dipengaruhi gaya tarik terhadap bulan.

Posisi bulan terhadap bumi sangat mempengaruhi kondisi pasang surut, seperti pada saat bulan bulan purnama (full moon) terjadi rata-rata pasang tertinggi (spring tide) sedangkan pada saat pasang perbani (neap tide).

Pada saat purnama, Pasang surut purnama (spring tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang sangat tinggi dan pasang rendah yang sangat rendah. Pasang surut purnama ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama. Pasang surut perbani (neap tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari membentuk sudut tegak lurus. Pada saat itu akan dihasilkan pasang tinggi yang rendah dan pasang rendah yang tinggi. Pasang surut perbani ini terjadi pasa saat bulan seperempat dan tiga perempat.

K ejadian pasang surut juga bergantung pada bentuk perairan dan konfigurasi banjir lantai samudera. Faktor lain yang mempengaruhi kejadian tersebut adalah efek sentrifugal yaitu merupakan dorongan faktor luar pusat rotasi (Nontji 2007).

Posisi jarak bulan dan matahari yang berubah relatif juga mempengaruhi kejadian pasang surut di bumi. Misalnya pada saat bulan berada dalam posisi Perigee yang berjarak 375.200 km dari bumi dibandingkan dengan jarak dalam posisi Apogee yang berjarak 405.800 km dari bumi maka pasang tertinggi akan terjadi pada saat Perigee. Begitu juga pada saat posisi Perihelion (pada bulan Januari) yang berjarak ± 148.500.000 km dibandingkan pada saat posisi Apehelion yang berjarak ± 152.200.000 km dari bumi, maka pasang tertinggi terjadi pada saat Perihelion yaitu jarak terdekat antara bumi dengan matahari (Wibisono 2005).

Perbedaan antara puncak pasang tertinggi (High Water/HW) dengan air surut terendah (Low Water/LW) disebut tunggang air (tidal range) yang tingginya dari beberapa meter hingga mencapai puluhan meter. Tunggang air di setiap pantai tidak sama tingginya sehingga orang mencatat tinggi pasang surut yang kemudian dibuat peta tematik pasang surut. Tinggi rata-rata muka air laut (Mean Sea Level) merupakan nilai tengah antara nilai pasang dan surut yang terjadi di suatu lokasi.

Mean Sea Level dalam skala global dipengaruhi oleh geologi, meteorologis, dan elemen-elemen hidrologi.

Ada empat jenis (tipe) pasang surut, yaitu sebagai berikut :

1. Pasang surut tipe harian tunggal : bila dalam waktu 24 jam terdapat 1 kali

(4)

pasang dan 1 kali surut. Disebut juga sebagai Diurnal Type.

2. Pasang surut tipe harian ganda : bila dalam 24 jam terdapat 2 kali pasang dan 2 kali surut. Disebut juga sebagai Semi Diurnal Type.

3. Pasang surut tipe campuran condong ke harian tunggal (mixed tide, prevailing diurnal) : bila dalam waktu 24 jam terdapat bentuk campuran yang condong ke tipe harian tunggal.

4. Pasang surut tipe campuran condong ke harian ganda (mixed tide, prevailing semidiurnal) : bila dalam waktu 24 jam terdapat bentuk campuran yang condong ke tipe harian ganda.

Pasang surut mempunyai arti pent ing dalam pelayaran, karena seorang nahkoda harus tahu pasang surut agar kapal yang dibawanya dapat selamat. Selain itu fenomena pasang surut dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan pertambakan bahkan dapat membangkitkan tenaga listrik.

2.3 Pasang Surut di Pe rairan Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang panjang sehingga

banyak wilayah di Indobesia yang mengalami fenomena pasang surut terutama daerah pesisir. Pasang surut di Indonesia berbeda jenis atau tipe untuk berbagai lokasi. Pasang surut tipe harian tunggal misalnya terdapat di daerah Selat Karimata, untuk tipe harian ganda misalnya terdapat di Selat Malaka sampai laut Andaman sedangkan tipe campuran terdapat di Indonesia Timur (Nontji 2007).

Kisaran pasang surut di lokasi yang berbeda juga memiliki nilai yang berbeda. Misalnya di Tanjung Priok (Jakarta) kisaran tinggi tunggang air hanya sekitar 1 meter, di ambon kisaranya 2 meter, Bagan Siapi-api sekitar 4 m, dan yang paling tinggi di Papua bagian selatan yang mencapai 7-8 meter.

Pasang surut tidak hanya mempengaruhi di bagian teratas dari suatu perairan tetapi juga seluruh massa air. Energinya pun sangat besar terutama di teluk-teluk atau selat -selat. Berbeda dengan arus yang disebabkan oleh angin yang terjadi di lapis an tipis permukaan, arus pasang surut mencapai lapisan lebih dalam, misalnya di perairan Indonesia timur yang menunjukkan pasang surut dapat diukur di kedalaman 600 m.

(5)

2.4 Kondisi Teluk dan Pantai Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan perairan yang berada di utara Jakarta, sebagai tempat bermuaranya 13 sungai yang melewati Jakarta. Perairan tersebut dimanfaatkan oleh penduduk untuk berbagai kegiatan seperti tempat lalu lintas kapal laut karena terdapat pelabuhan Tanjung Priok, juga sebagai sumber mata pencaharian untuk nelayan.

Sungai-sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta menyebabkan perairan tersebut menjadi tempat pembuangan cemaran-cemaran aktivitas manusia. Pada perairan tersebut, musim mem pengaruhi kondisi

perairan karena menentukan arah dan kecepatan arus air laut. Perairan Teluk Jakarta dipengaruhi oleh massa air laut Jawa, seperti pada musim Baratan (Desember-Februari) massa air dari Laut Natuna mempengaruhi massa air teluk Jakarta sedangkan pada musim timuran (Juni-Agustus) arus berasal dari Jawa Timur (Praseno dan Kastoro 1980).

Pada musim baratan umumnya curah hujan sangat tinggi, sehingga zat-zat pencemar yang berasal dari daratan juga meningkat akibat proses pencucian oleh air hujan. Selain itu pada musim baratan, juga sering terjadi arus pasang akibat arah arus yang dipengaruhi angin pada musim baratan seperti pada gambar berikut.

Gambar 2. Pola angin pada musim baratan (Sumber : BMG 2008)

Kondisi pantai di utara Jakarta yang merupakan muara dari 13 sungai di Jakarta menyebabkan daerah tersebut menjadi daerah langganan banjir akibat luapan sungai. Daerah pantai di utara Jakarta juga merupakan tempat industri, pemukiman, serta tempat wisata pantai seperti yang ada di daerah Ancol. Sebagai daerah yang

berbatasan langsung dengan laut, pantai Jakarta sering mengalami pasang air laut. Pasang tersebut merendam beberapa kawasan di Jakarta Utara bahkan kawasan jalan tol menuju bandara Soekarno -Hatta seperti yang terlihat pada gambar 3, genangan akibat pasang air laut tersebut biasa disebut sebagai banjir rob atau banjir pasang.

(6)

Gambar 3. Banjir Rob di Tol Sedyatmo tahun 2008 2.5 Banjir Rob (Pasang) di Jakarta Utara

Nasir (1995) menjelaskan cuaca adalah nilai sesaat dari atmosfer , serta perubahan alam jangka waku pendek (kurang dari satu hingga 24 jam). Proses terbentuknya cuaca merupakan akibat dari proses -proses yang terjadi di atmosfer. Proses cuaca dapat mempengaruhi banyak hal, salah satunya oseanografi karena selain itu meteorologi dan oseanografi mempunyai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Proses meteorologi dapat mempengaruhi proses yang akan terjadi di laut, begitupun sebaliknya proses oseanografi dapat memberikan dampak proses di atmosfer.

Contoh dari interaksi meteorologi dan oseanografi adalah faktor meteorologi yang mempengaruhi proses terjadinya pasang-surut di lautan selain dari faktor gravitasi benda-benda angkasa. Pasang surut air laut merupakan hal terjadi secara berkala dan telah terjadi berpuluh-puluh tahun lalu namun akhir-akhir ini kejadian pasang mulai merugikan masyarakat.

Kenaikan muka air laut akibat pasang surut merupakan fenomena alam biasa dan bisa diprediksi, adalah akibat pergerakan matahari, bumi, bulan dan benda-benda langit lainnya. P asang tinggi dan surut terendah mempunyai periode panjang 18.6 tahun, disamping itu juga ada periode-periode pendek misalnya 12 jam, 24 hari, 6 bulan, 1 tahun. Semua itu juga akibat pergerekan benda-benda langit. Dalam memprediksi tingginya gelombang pasang harus memperhitungkan periode-periode tersebut, jika periode 6 bulan berinteraksi

dengan periode harian, maka tinggi gelombang akan bertambah, tetapi tingginya sebenarnya tidak signifikan sebesar kurang dari 10 cm. Karena itu pada bulan November-Desember terjadi gelombang maksimum dan nanti akan terjadi lagi pada bulan Mei-Juni.

Pada tahun 2008, kejadian banjir pasang terjadi pada bulan Januari, Juni dan Desember. Pada Bulan Januari dan Desember, banjir pasang yang terjadi di utara Jakarta disebabkan bert epatan dengan musim baratan, sehingga angin baratan membawa massa air menuju daratan. Selain itu, pada bulan Januari posisi matahari berada pada jarak terdekat ke bumi (perihelion) sehingga menyebabkan pasang yang cukup tinggi. Untuk bulan Juni, kejadian pasang di utara Jakarta disebabkan oleh siklus 18,6 tahunan periode pasang surut.

Fenomena banjir pasang adalah fenomena alam yang terjadi di banyak tempat di wilayah Indonesia, yakni di daerah pesisir atau pantai yang tidak terlalu jauh dibelakangnya terdapat pegunungan, misalnya di wilayah DKI Jakarta dengan pegunungan berada 40 km dari wilayah tersebut. Begitu pula di beberapa kota lain seperti Medan, Semarang, Brebes, Tegal bahkan hingga ke Papua (Soehoed 2002). Keadan tersebut akan diperparah jika kondisi hutan yang gundul di pegunungan tersebut. Contoh dari kejadian banjir pasang yang terjadi di utara Jakarta dapat dilihat pada gambar 4.

(7)

Gambar 4. Kejadian Banjir Rob di Muara Baru, Jakarta Utara

Sumber : www.kompas.com (16 November 2008)

Hasil penelitian drainase kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Palembang, Pontianak, Medan menunjukan prasarana dan sarana drainase kota-kota tersebut kurang tanggap terhadap banjir air balik (back water) akibat pasang laut (Legowo dan Damanhuri 1992). Kapasitas drainase kawasan pantai tidak bisa dihitung atau ditetapkan berdasarkan aliran seragam. Efek muka air laut (kecepatan nol), aliran di muara menjadi tidak seragam (non uniform). Penampang muara sungai / saluran drainase bertambah melebar secara lambat laun (gradually) ke arah laut. Perluasan penampang basah dimuara tidak efektif jika dilakukan dengan memperdalam muara, tetapi lebih efektif memperlebar alur. Cara efektif adalah dengan cara memperlebar muara sungai alami yaitu seperti lidah yang menjulur dari laut ke darat (lidah laut). Hasil penelitian juga menunjukan kapasitas sungai atau saluran drainase harus diperbesar akibat aliran tertahan pasang laut untuk menampung volume air selama waktu pasang. Besar penambahan penampang sungai harus sebanding dengan air yang berhenti akibat air pasang, kapasitas tampungan sungai/drainase harus tanggap atau mampu menampung air selama pasang laut.

Kejadian back water di daerah Jakarta terutama di Jakarta Utara adalah akibat dari air sungai yang sampai di muara atau laut membawa sedimen lalu bertemu dengan arus pasang air laut. Pada saat bulan penuh maka pasang air laut akan tinggi sekali kemudian bertubrukan dengan dengan arus dari sungai sehingga mendorong arus ke daratan bahkan dapat membawa banjir kembali dan menggenangi daratan (Soehoed 2002).

2.6 Daerah Aliran Sungai (DAS) Sunter 2.6.1 Kondisi DAS Sunter

Sungai Sunter merupakan salah satu dari 13 sungai yang melewati DKI Jakarta. Sungai ini memiliki daerah aliran di sebelah timur Jakarta. Luas DAS sunter yaitu sebesar 15.337 ha atau sekitar 18% dari total keseluruhan DAS di Jakarta (Ria 2008). Hulu sungai Sunter berada di daerah Cimanggis, Depok dan bagian hilir berada di daerah Bogasari, Koja Selatan. Seperti pada umumnya DAS di Jakarta, di sekitar DAS Sunter digunakan sebagai pemukiman oleh masyarakat sehingga daerah sekitar sungai tidak dapat berfungsi sebagai daerah limpasan ketika banjir. Pada gambar 5 terlihat hanya sebagian kecil daerah yang menjadi kebun, ladang, ataupun sawah. Penutupan lahan di daerah tersebut yang berupa pemukiman mengakibatkan sering terjadi banjir di daerah tersebut, baik banjir dari sungai maupun banjir dari laut.

Banjir dari luapan sungai Sunter biasanya menggenangi daerah sekitar aliran sungai, karena penggunaan lahan di sekitar sungai yang dijadikan pemukiman maka tanah tidak mampu menginfiltrasi luapan dari sungai dan justru menggenangi kawasan pemukiman di daerah tersebut. Sedangkan banjir dari pasang air laut pada muara sungai Sunter dapat menyebabkan air dari sungai tidak dapat keluar menuju laut akibat pasang air laut sehingga dapat menimbulkan fenomena back water yaitu arus air dari sungai tidak ke laut melainkan kembali lagi dan akhirnya menggenangi daerah di pinggir sungai.

Gambar

Tabel 1. Hubungan laju infiltrasi minimum  dengan jenis  tanah menurut SCS  (Asdak 1995)   Kelompok  Hidrologi  Tanah  Laju  Infiltrasi  (mm/jam)   Karakteristik Tanah  A  8-12  Potensi limpasan  paling kecil, tanah  pasir dengan unsur  debu dan liat   B
Gambar 1. Sistem Pasang Surut (Supangat&Susana 2008).
Gambar 2. Pola angin pada musim baratan  (Sumber : BMG 2008)
Gambar 3. Banjir Rob di Tol Sedyatmo tahun 2008
+2

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun terjadi banyak pergantian kabinet, pemerintah pada masa Demokrasi Liberal berhasil menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) untuk pertama kali di Indonesia. Pemilu pertama

Pada kendaraan yang memiliki dua gandar/axle (4X2), WB adalah jarak antara garis tengah dari gandar depan dan belakang... gandar depan dan titik tengah antara gandar

Tata letak fasilitas produksi pabrik tahu Srikandi juga memiliki kekurangan seperti pada penempatan ruang perendaman setelah ruang penggilingan yang tidak sesuai

Sejalan dengan Chancellor (1991) dan Grambinger (1996) yang menyatakan bahwa kelompok kecil membuat sistem pendukung guna mengadaptasi situasi-situasi asing sama baiknya

Hasil regresi variabel kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen dan keberadaan komite audit terhadap

Sekaitan dengan pandangan tersebut, maka latar belakang yang disajikan dalam makalah ini akan didasarkan pada beberapa “ isu “ utama, antara lain: (1) kebutuhan akan perubahan

Karena proses pendaftaran sinaptika kemarin itu, setelah melakukan pendaftaran dan konfirmasi pembayaran tidak ada notifikasi diwebsite untuk memastikan dia sudah bayar

Tabel 4.2 Keteraturan makan pada anak dengan obesitas 36 Tabel 4.3 Penyediaan variasi masakan rumah pada anak dengan obesitas 37 Tabel 4.4 Kebiasaan sarapan pada anak