• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Donggala merupakan salahsatu wilayah yang terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah dengan luas wilayah 10.472 km² yang terdiri atas 16 wilayah kecamatan. Daerah ini memiliki potensi pariwisata yang sudah dikenal hingga mancanegara seperti Taman Nasional Lore Lindu, Taman Wisata Laut Pulau Pasoso, dan Pantai Tanjung Karang. Disamping lokasi-lokasi tersebut, daerah ini juga memiliki potensi lokasi wisata lainnya yang secara tradisional sudah dimanfaatkan oleh masyarakat seperti Air Terjun Loli, Air Terjun Vera, Air Panas Mantikole, Pantai Parimpi, Pantai Pusentasi, Danau Talaga, dan Danau Rano.

Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah Kabupaten Donggala menetapkan pariwisata sebagai salahsatu sektor unggulan disamping pertanian, perkebunan, dan perikanan (Pemda Kabupaten Donggala, 2005). Rencana tata ruang Kabupaten Donggala tahun 1999-2009 menetapkan lokasi-lokasi tersebut sebagai kawasan pengembangan pariwisata. Penetapan tersebut didasarkan pada minat masyarakat untuk berkunjung juga disebabkan lokasi-lokasi tersebut memiliki pemandangan alam yang indah, potensi budaya yang dimiliki oleh masyarakat sekitarnya, dan potensi flora dan fauna yang dimilikinya (Bappeda Kabupaten Donggala, 1999).

Salahsatu lokasi tujuan wisata di Kabupaten Donggala yang saat ini sedang berkembang adalah Kawasan Wisata Pantai Tanjungkarang dan Pusentasi yang terletak di wilayah Kecamatan Banawa. Kegiatan pariwisata di kawasaan pantai ini telah berlangsung sejak lama, dan secara tradisional merupakan lokasi wisata masyarakat Donggala dan sekitarnya, termasuk yang berasal dari Kota Palu. Karena potensi alam yang dimiliki, maka saat ini lokasi tersebut telah dikelola oleh pemerintah dan swasta serta dijadikan sebagai salah satu lokasi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang cukup dikenal terutama yang berasal dari Eropa.

Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala dalam rencana strategis pembangunan pariwisata telah menetapkan salahsatu arahan kebijakan

(2)

pembangunan pariwisata, yaitu meningkatkan peran aktif masyarakat di dalam mengelola dan mengembangkan kegiatan pariwisata (Disparsenibud Donggala, 2002). Kebijakan ini memang sangat beralasan karena pada dasarnya kawasan yang dikembangkan menjadi obyek wisata tersebut merupakan wilayah usaha masyarakat setempat yang dilakukan dengan berbagai aktifitas seperti perikanan, pertanian dan peternakan. Disamping itu pada kawasan ini juga terdapat kegiatan industri rumah tangga penduduk setempat berupa pembuatan sarung tenun Donggala, yang merupakan ciri khas sarung tenunan lokal Sulawesi Tengah serta potensi sosial budaya masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi produk-produk wisata. Meskipun demikian, berdasarkan studi yang telah dilakukan pada lokasi wisata Tanjungkarang dan sekitarnya menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat belum terlibat langsung pada kegiatan pengelolaan pariwisata (Agusniatih, 2002).

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, penelitian ini berusaha untuk menggali dan mempelajari aspek-aspek yang berkaitan dengan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, konsep dan kebijakan pemerintah serta keterlibatan pihak lain diluar masyarakat dan pemerintah seperti pihak swasta yang bergerak di bidang pariwisata dan lembaga swadaya masyarakat. Studi ini beranjak dari asumsi bahwa berbagai persoalan yang timbul dari suatu pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pariwisata, disebabkan tidak dilibatkannya masyarakat berdasarkan kepentingan dan potensi sosial budaya yang dimilikinya. Padahal, menurut Huguinen (2000) masyarakat memiliki pengalaman empirik dan pengetahuan yang berkaitan dengan kondisi sumber daya alam yang terdapat disekitar lingkungan kehidupannya. Pengetahuan tersebut kemudian, menurut Flyman (2002) membentuk sistim pengelolaan oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupannya.

Salah satu sifat dari kegiatan pariwisata adalah “konsumsi dilakukan di tempat dan pada saat yang sama dengan produksi”, sehingga wisatawan yang datang akan mempengaruhi tempat tujuan wisata secara ekonomi, sosial dan budaya (Cooper et al., 1999). Hal ini menunjukkan bahwa kepariwisataan sangat potensial untuk dikembangkan pada saat krisis karena disamping untuk

(3)

meningkatkan devisa dari pertukaran dengan nilai mata uang asing dan mendorong investasi, pariwisata juga merangsang diversifikasi kegiatan ekonomi dan lapangan kerja bagi masyarakat (Sashidaran et al., 2002).

Akibat positif dari pembangunan pariwisata tersebut ternyata juga menghasilkan berbagai akibat negatif yang berkaitan dengan aspek sosio-kultural dan lingkungan pada banyak lokasi tujuan wisata, terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Akibat-akibat negatif yang diakibatkan oleh kegiatan pariwisata dapat berupa peningkatan harga lahan, degradasi budaya dan akulturasi, masuknya spesies asing ke dalam flora dan fauna lokal, kerusakan lokasi warisan budaya, kerusakan terumbu karang, sampai pada pencemaran akibat pembuangan sampah dan kotoran pada lokasi tujuan wisata yang terkenal dan padat pengunjung (Sashidaran et al., 2002). Keadaan tersebut hanya merupakan beberapa akibat negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata. Akibat lainnya yang sangat penting terutama bagi kelestarian potensi sumber daya alam yang menjadi salahsatu daya tarik wisata adalah perebutan atau konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya alam oleh berbagai pihak seperti masyarakat lokal, pihak swasta yang berasal dari luar dan pemerintah.

Salah satu upaya untuk mengatasi berbagai dampak negatif dan konflik tersebut adalah dengan mengembangkan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Karena kegiatan pariwisata merupakan kegiatan usaha yang menitik beratkan aspek sumberdaya alam dan budaya sebagai bahan baku produknya maka pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk mengkaji dan mengembangkan konsep tersebut. Menurut Adhikari (2001) pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat, termasuk didalamnya pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, merupakan suatu konsep pengelolaan yang dilakukan oleh, untuk, dan dengan masyarakat lokal dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup, jaminan dan penguatan masyarakat lokal serta untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap sumberdaya alam tersebut. Sehingga pariwisata berbasis masyarakat dapat dipandang sebagai suatu alat untuk konservasi sumberdaya alam dan budaya serta untuk pembangunan masyarakat (Harris dan Vogel, 2004) .

(4)

1.2. Rumusan Masalah

Penerapan konsep pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu alternatif untuk mengatasi akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh konsep tersebut mendapat dukungan dari kondisi sosio-kultural masyarakat setempat, kebijakan pemerintah dan keterlibatan pihak lain seperti swasta dan LSM yang berkepentingan terhadap kegiatan tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka pertanyaan pokok yang diangkat didalam penelitian ini adalah ” bagaimana bentuk pengelolaan pariwisata berdasarkan persepsi masyarakat yang dapat dikembangkan ”, yang dibagi menjadi beberapa pertanyaan dan diharapkan dapat mendukung ditemukannya jawaban bagi pertanyaan pokok tersebut, sebagai berikut :

1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut.

2. Sejauhmana masyarakat masih memiliki kelembagaan (pranata) sosial, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaaan sumber dayaalam yang dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berdasarkan persepsi masyarakat.

3. Bagaimana pemerintah dan pihak lainnya diluar masyarakat lokal memandang pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.

1.3. Kerangka Pemikiran

Kegiatan pariwisata sebagai salahsatu bentuk pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang tersedia saat ini telah semakin berkembang. Perkembangan ini melibatkan semua komponen yang terdapat didalam suatu masyarakat, baik masyarakat lokal maupun individu ataupun kelompok usahawan/swasta yang berasal dari luar suatu wilayah tertentu, termasuk pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan pembangunan.

Kemajuan dari kegiatan pariwisata telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat dan pemerintah. Manfaat tersebut disamping untuk meningkatkan devisa dari pertukaran dengan nilai mata uang asing dan mendorong investasi, pariwisata juga merangsang diversifikasi kegiatan ekonomi

(5)

dan lapangan kerja bagi masyarakat. Pada kenyataannya disamping memberikan manfaat, kegiatan pariwisata juga memberikan akibat yang negatif terutama bagi masyarakat yang terdapat di sekitar wilayah/lokasi kegiatan pariwisata. Dengan kata lain, bahwa perkembangan kegiatan pariwisata di suatu wilayah/lokasi belum tentu dapat dirasakan oleh semua pihak, terutama masyarakat lokal, yang disebabkan oleh konsep atau sistim pengelolaan yang belum memberikan peluang bagi semua pihak untuk mengambil peran dan mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, suatu konsep yang memberikan kesempatan kepada semua pihak terutama masyarakat lokal, telah ditawarkan dan dikembangkan pada berbagai tempat didunia, yang disebut dengan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Menurut Harris dan Vogel (2004) konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat pada dasarnya adalah sebuah pendekatan pengelolaan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai pemeran utama dalam pengambilan keputusan-keputusan pengelolaan. Konsep tersebut dikembangkan berdasarkan pada persepsi masyarakat terhadap usaha yang akan dikembangkan. Peran masyarakat tersebut tidak terlepas dari interaksinya dengan pemerintah dan pihak lain yang berasal dari luar. Disamping itu potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi dan budaya menjadi modal bagi pengembangan konsep tersebut.

Konsep pariwisata berbasis masyarakat menunjuk pada adanya dua pilar sosial sebagai subyek pelaku, yaitu pengusaha wisata dan masyarakat lokal. Kegiatan pariwisata berbasis masyarakat adalah proses interaksi sinergis kekuatan-kekuatan sosial ekonomi dari kedua pilar tersebut serta keberadaan pemerintah sebagai sebagai pemegang kendali kebijakan. Secara skematis, kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

(6)

Pemerintah Masyarakat lokal Pengusaha wisata

Pengelolaan pariwisata berbasis

masyarakat Potensi sumberdaya

alam dan sosial budaya masyarakat Konsep dan kebijakan pemerintah Persepsi, harapan, dan potensi masyarakat Persepsi/pandangan pengusaha dan LSM

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengembangkan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat berdasarkan :

1. Pandangan/persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut.

2. Kearifan masyarakat lokal terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.

3. Konsep pemerintah dan pihak lainnya diluar masyarakat lokal dalam kaitannya dengan pengembangan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.

(7)

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi :

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan perencana lainnya dalam melakukan perencanaan pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. 2. Sebagai sumber informasi bagi kepentingan pengembangan ilmu

pengetahuan yang berkaitan dengan perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat.

Gambar

Gambar 1.  Kerangka pemikiran penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Reaktivitas : Tidak ada data tes khusus yang berhubungan dengan reaktivitas tersedia untuk produk ini atau bahan bakunya... Stabilitas

Berdasarkan hasil statistik yang telah dilakukan serta hasil uraian pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu variabel pertumbuhan kredit dan

Hasil dari tahap ini, terbentuk sebuah pola perilaku jaringan pada kondisi normal sebagai model awal untuk deteksi atas anomali yang disebabkan oleh

Sebab mutu sendiri memilik pengertian yang berbeda-beda, di antaranya mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan atau keinginan (Deming dalam Rubaman, Maman. Mei, 2008), Ace

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Cuplikan percakapan berikut sebagai contoh adanya penggunaan kode yang berwujud bahasa asing dalam percakapan novel Ney Dawai Cinta Biola karya Hadi S.. Arifin

kot ke pelaku pasar (Identifikasi Persoalan) Pembentukan lembaga khusus Penataan Terpadu Kawasan Arjuna sbd perwakilan stakeholder Persiapan Penilaian (Tahap Perencanaan)

1) Mengembangkan kurikulum mata pelajaran IPS. a) Menelaah prinsip-prinsip pengembangan kurikulum IPS. b) Memilih pengalaman belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran IPS.