• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK ATRIKA JALAN KARTINI RAYA NO. 34 JAKARTA PUSAT PERIODE 1 APRIL 10 MEI 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK ATRIKA JALAN KARTINI RAYA NO. 34 JAKARTA PUSAT PERIODE 1 APRIL 10 MEI 2013"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK ATRIKA

JALAN KARTINI RAYA NO. 34 JAKARTA PUSAT

PERIODE 1 APRIL – 10 MEI 2013

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

ILMA NAFIA, S.Farm.

1206313192

ANGKATAN LXXVI

PROGRAM PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK ATRIKA

JALAN KARTINI RAYA NO. 34 JAKARTA PUSAT

PERIODE 1 APRIL – 10 MEI 2013

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Apoteker

ILMA NAFIA, S.Farm.

1206313192

ANGKATAN LXXVI

PROGRAM PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

(3)

ESAH HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Praktek Kerja Profesi ini diajukan oleh : Nama : Ilma Nafia, S. Farm.

NPM : 1206313192

Program Studi : Apoteker – Fakultas Farmasi UI

Judul Laporan : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Atrika Jalan Kartini Raya No. 34, Jakarta Pusat Periode 1 April – 10 Mei 2013

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. Harmita, Apt. ( ... )

Pembimbing II : Dr. Nelly D. Leswara, M.Sc., Apt. ( ... )

Penguji I : ... ( ... ) Penguji II : ... ( ... ) Penguji III : ... ( ... ) Ditetapkan di : Depok Tanggal : AN

Laporan Praktek Kerja Profesi ini diajukan oleh :

Dewi, S.Farm 1106046793 Lisa Naftali,S.Farm 1106047083

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanyalah untuk Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat Dalam ruang yang terbatas ini, dengan segala rasa hormat dan kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S. selaku Dekan Fakultas Farmasi UI.

2. Bapak Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi UI sekaligus tenaga pembimbing dari Apotek Atrika yang telah memberikan waktu, bimbingan dan arahan kepada penulis selama pelaksanaan dan penulisan laporan PKPA.

3. Dr. Nelly D. Leswara, M.Sc., Apt. selaku pembimbing dari Fakultas Farmasi UI yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan nasehat yang begitu bermanfaat kepada penulis selama pelaksanaan dan penulisan laporan PKPA. 4. Bapak Winardi Hendrayanta selaku Pemilik Sarana Apotek Atrika.

5. Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S. selaku Dekan Fakultas Farmasi UI. 6. Para karyawan Apotek Atrika (Mbak Ratna, Ibu Meta, Ibu Mimin, Ibu Tuti,

Mbak Ponah, dan staf Apotek Atrika lainnya) atas ilmu, arahan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis melaksanakan PKPA di Apotek Atrika. 7. Seluruh dosen dan staf tata usaha Fakultas Farmasi UI atas ilmu dan bantuan

yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan di Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UI.

8. Keluarga tercinta atas doa, perhatian, kasih sayang, dan dukungan yang tiada berbatas untuk penulis dalam menyelesaikan pendidikan profesi Apoteker dan penyusunan laporan PKPA ini.

9. Rekan-rekan PKPA di Apotek Atrika yang telah banyak membantu, berbagi ilmu dan pengalaman selama pelaksanaan PKPA.

10. Seluruh sahabat dan teman yang telah bekerja sama dan memberikan dukungan serta semangat kepada penulis selama menjalankan pendidikan Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UI.

(5)

kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang. Tak ada yang penulis harapkan selain sebuah keinginan agar laporan PKPA ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya.

Penulis

2013

di : Apoteker – Departemen Farmasi FMIPA UI

Judul Laporan : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Atrika Jalan Kartini Raya No. 34, Jakarta Pusat Periode Februari dan Maret 2012

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Apoteker, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. Harmita, Apt. ( ... ) Pembimbing II : Dra. Juheini Amin, M.Si ( ... ) Penguji I : ... ( ... ) Penguji II : ... ( ... )

(6)

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

BAB 2 TINJAUAN UMUM APOTEK ... 3

2.1 Definisi Apotek ... 3

2.2 Landasan Hukum Apotek ... 3

2.3 Tugas dan Fungsi Apotek ... 4

2.4 Persyaratan Sarana dan Prasarana Apotek ... 4

2.5 Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek ... 5

2.6 Pengalihan Tanggung Jawab Pengelolaan Apotek ... 7

2.7 Tata Cara Perizinan Apotek ... 8

2.8 Pencabutan Surat Izin Apotek ... 11

2.9 Tenaga Kerja di Apotek ... 13

2.10 Sediaan Farmasi di Apotek ... 14

2.11 Pengelolaan Apotek ... 23

2.12 Pengadaan Persediaan Apotek ... 27

2.13 Pengendalian Persediaan Apotek ... 29

2.14 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek ... 31

BAB 3 TINJAUAN KHUSUS APOTEK ATRIKA ... 38

3.1 Sejarah dan Lokasi ... 38

3.2 Tata Ruang ... 38

3.3 Struktur Organisasi ... 39

3.4 Tugas dan Fungsi Jabatan ... 39

3.5 Kegiatan di Apotek Atrika ... 43

BAB 4 PEMBAHASAN ... 52

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1 Kesimpulan ... 58

5.2 Saran ... 58

(7)

Gambar 2.1 Logo golongan obat ... 15 Gambar 2.2 Tanda peringatan pada kemasan obat bebas terbatas ... 16 Gambar 2.3 Matriks VEN – ABC ... 30

(8)

Lampiran 1a. Peta lokasi Apotek Atrika ... 62

Lampiran 1b. Papan nama Apotek Atrika ... 63

Lampiran 2a. Tampak luar Apotek Atrika ... 64

Lampiran 2b. Ruang depan Apotek Atrika ... 64

Lampiran 2c. Denah ruangan Apotek Atrika ... 65

Lampiran 3a. Lemari penyimpanan obat topikal di Apotek Atrika... 66

Lampiran 3b. Lemari penyimpanan obat oral padat di Apotek Atrika ... 66

Lampiran 3c. Lemari penyimpanan obat oral cair dan obat mendekati kadaluwarsa di Apotek Atrika ... 67

Lampiran 3d. Lemari penyimpanan obat generik di Apotek Atrika ... 68

Lampiran 4. Struktur organisasi Apotek Atrika ... 68

Lampiran 5a. Isi buku pemasukan barang ... 69

Lampiran 5b. Isi buku faktur ... 69

Lampiran 5c. Kartu pemasukan barang (kartu stok besar) ... 70

Lampiran 6a. Alur penanganan resep ... 71

Lampiran 6b. Salinan resep Apotek Atrika ... 72

Lampiran 6c. Etiket Apotek Atrika ... 73

Lampiran 6d. Label HTKP (Harga, Timbang, Kemas dan Penyerahan) ... 73

Lampiran 7. Surat Pesanan (SP) Apotek Atrika ... 74

Lampiran 8a. Surat Pesanan (SP) narkotika... 75

Lampiran 8b. Surat Pesanan (SP) psikotropika ... 75

Lampiran 9. Laporan penggunaan obat golongan narkotika ... 76

Lampiran 10. Laporan penggunaan obat golongan psikotropika ... 76

(9)

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan. Hal ini menjadi dasar atas diselenggarakannya pembangunan kesehatan. Selain itu, pembangunan kesehatan juga diselenggarakan berdasarkan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. Oleh karena itu, setiap orang memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan serta pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau (Kementerian Kesehatan, 2009).

Bagian dari pelayanan kesehatan yang memerlukan peningkatan dan pembangunan salah satunya adalah pelayanan kefarmasian, yaitu berupa kegiatan dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Kegiatan pelayanan kefarmasian ini semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi, namun saat ini telah bergeser orientasinya menjadi pelayanan yang komprehensif berupa pharmaceutical care. Sebagai konsekuensi pergeseran orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat dan mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik (Kementerian Kesehatan, 2004).

Pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang optimal membutuhkan sarana pelayanan kefarmasian yang baik. Salah satu sarana tempat melaksanakan pelayanan kefarmasian adalah apotek, yang dikelola oleh minimal seorang apoteker yang disebut Apoteker Pengelola Apotek (APA). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/Menkes/SK/X/2002, apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Selain sebagai sarana pelayanan kefarmasian, apotek juga memiliki nilai bisnis

(10)

berupa perolehan keuntungan dari hasil penjualan obat. Oleh karena itu, dalam pengelolaan apotek dibutuhkan seorang yang tidak hanya ahli dan terampil dalam bidang kefarmasian serta pelayanan kesehatan, namun juga mampu mengelola apotek sesuai dengan prinsip bisnis yang dapat memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan (stake holder) tanpa harus menghilangkan fungsi sosialnya di masyarakat (Umar, 2011).

Mengingat pentingnya peran apoteker tersebut maka calon apoteker perlu melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di apotek sehingga calon apoteker memperoleh gambaran tentang peran Apoteker di apotek dan mendapatkan pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek. Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) kali ini diselenggarakan di Apotek Atrika, Jalan Kartini Raya No. 34, Jakarta Pusat.

1.2 Tujuan

Tujuan dari Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apotek Atrika adalah sebagai berikut:

a. Memahami tugas pokok, fungsi, dan peran apoteker di apotek. b. Memahami sistem manajemen dan administrasi di Apotek Atrika.

(11)

2.1 Definisi Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002, apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Sediaan farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan, dan kosmetika, sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009, pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.

2.2 Landasan Hukum Apotek

Apotek memiliki landasan hukum yang diatur dalam: 1. Undang – Undang Negara, yaitu:

a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. b. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

c. Undang-Undang Kesehatan RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Peraturan Pemerintah, yaitu:

a. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 tentang perubahan atas PP No.26 Tahun 1965 tentang Apotek.

b. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. 3. Peraturan Menteri Kesehatan, yaitu:

a. Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Kententuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

b. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.

(12)

4. Keputusan Menteri Kesehatan, yaitu:

a. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

b. Keputusan Kementerian Kesehatan RI No. 1027/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

2.3 Tugas dan Fungsi Apotek

Menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980, tugas dan fungsi apotek adalah:

a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.

b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.

c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

d. Sebagai sarana tempat pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.

2.4 Persyaratan Sarana dan Prasarana Apotek (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/MENKES/SK/ IX/2004)

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/MENKES/SK/ IX/2004, apotek harus berlokasi pada daerah yang mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata “APOTEK”. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya. Hal tersebut berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi risiko kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh Apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling.

(13)

Kebersihan lingkungan apotek harus dijaga. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga, dan hama. Apotek harus memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban, dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.

Apotek harus memiliki:

a. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.

b. Tempat untuk menempatkan informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur atau materi informasi.

c. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien.

d. Ruang racikan.

e. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.

2.5 Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002, disebutkan bahwa Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker. Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian harus telah terdaftar dan memiliki izin kerja atau praktek. Sebelumnya, Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian harus memiliki surat izin berupa Surat Penugasan (SP) atau Surat Izin Kerja (SIK) bagi Apoteker. Namun sejak tanggal 1 Juni 2011, diberlakukan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889/Menkes/PerV/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Berdasarkan Permenkes ini, setiap Tenaga Kefarmasian wajib memiliki surat tanda registrasi. Untuk tenaga kefarmasian yang merupakan seorang Apoteker, maka wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). Setelah memiliki STRA, Apoteker wajib memiliki surat izin sesuai tempat kerjanya. Surat izin tersebut dapat berupa Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) untuk Apoteker yang bekerja di fasilitas pelayanan

(14)

kefarmasian atau Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) untuk Apoteker yang bekerja di fasilitas produksi atau distribusi farmasi.

Apoteker yang telah memiliki SP atau SIK wajib mengganti SP atau SIK dengan STRA dan SIPA/SIKA dengan cara mendaftar melalui website Komite Farmasi Nasional (KFN). Setelah mendapatkan STRA, Apoteker wajib mengurus SIPA dan SIKA di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan. STRA dikeluarkan oleh Menteri, dimana Menteri akan mendelegasikan pemberian STRA kepada KFN. STRA berlaku selama lima tahun dan dapat diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan.

Untuk memperoleh SIPA atau SIKA, Apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan. Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan:

a. Fotokopi STRA yang dilegalisisr oleh KFN;

b. Surat pernyataan mempunyai tempat praktek profesi atau surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran;

c. Surat rekomendasi dari organisasi profesi;

d. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak dua lembar dan 3 x 4 cm sebanyak dua lembar.

Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping harus dinyatakan permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA atau SIKA paling lama dua puluh hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap.

Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah Apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA). Seorang Apoteker Pengelola Apotek harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut:

a. Memiliki ijazah yang telah terdaftar pada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

b. Telah mengucapkan sumpah atau janji sebagai Apoteker. c. Memiliki SIK dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

(15)

d. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan tugasnya sebagai Apoteker.

e. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi secara penuh dan tidak menjadi APA di apotek lain.

Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, APA harus menunjuk Apoteker Pendamping. Apabila APA dan Apoteker Pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk Apoteker Pengganti. Penunjukan tersebut harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 (dua) tahun secara terus menerus, SIA atas nama Apoteker bersangkutan dicabut.

2.6 Pengalihan Tanggung Jawab Pengelolaan Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.922/MenKes/Per/X/1993 pasal 23 dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MenKes/SK/X/2002 pasal 24, pengalihan tanggung jawab pengelolaan apotek dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Pada setiap pengalihan tanggung jawab pengelolaan kefarmasian yang disebabkan karena penggantian APA kepada Apoteker pengganti, wajib dilakukan serah terima resep, narkotika, obat dan perbekalan farmasi lainnya serta kunci-kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika (Pasal 23 ayat 1);

b. Pada kegiatan serah terima tersebut wajib dibuat berita acara serah terima sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap empat yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (Pasal 23 ayat 2);

c. Apabila APA meninggal dunia, dalam jangka waktu dua kali dua puluh empat jam, ahli waris APA wajib melaporkan kejadian tersebut secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Pasal 24 ayat 1).

d. Apabila pada apotek tersebut tidak terdapat Apoteker pendamping, pada pelaporan dimaksud Pasal 24 ayat (1) wajib disertai penyerahan resep,

(16)

narkotika, psikotropika, obat keras, dan kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika (Pasal 24 atay 2);

e. Pada penyerahan yang dimaksud pada pasal 24 ayat (1) dan (2), dibuat berita acara seperti yang dimaksud pasal 23 ayat (2) dan dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Balai POM setempat (Pasal 24 ayat 3).

2.7 Tata Cara Perizinan Apotek (Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1332/MENKES/SK/X/2002)

Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002 disebutkan bahwa SIA adalah surat izin yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker atau Apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana untuk menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu. Izin apotek diberikan oleh Menteri, kemudian Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

Sesuai dengan pasal 7 dan 9 Keputusan Menteri Kesehatan tersebut, ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek adalah sebagai berikut:

a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

b. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan.

c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat. d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam poin (b) dan (c) tidak

(17)

melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi.

e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud poin (c), atau pernyataan dimaksud, poin (d) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotek.

f. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM dimaksud poin (c) masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan.

g. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam poin (f), Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Penundaan.

h. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasan-alasannya.

Secara umum persyaratan izin apotek untuk Apotek yang bekerja sama dengan pihak lain adalah sebagai berikut:

a. Surat permohonan APA yang ditujukan kepada Kepala Suku Dinas Kesehatan setempat sebanyak 3 (tiga) rangkap, 1 (satu) rangkap di atas materai Rp 6000,00.

b. Fotokopi akte notaris badan hukum dan fotokopi pengesahan badan hukum dari Departemen Kehakiman dan HAM bila dalam bentuk PT yang disahkan/terdaftar pada Departemen Kehakiman dan HAM RI.

c. Fotokopi KTP DKI dari APA.

d. Fotokopi Surat Izin Kerja (SIK)/ Surat Penugasan (SP) Apoteker, dengan lampiran surat keterangan selesai masa bakti apoteker bagi non pegawai negeri.

(18)

e. Fotokopi surat status kepemilikan tanah: Fotokopi sertifikat, bila gedung milik sendiri; fotokopi surat perjanjian kontrak bangunan minimal 2 (dua) tahun dan KTP pemilik bangunan yang masih berlaku minimal dua tahun, bila kontrak/sewa.

f. Fotokopi Undang-Undang Gangguan (UUG). g. Fotokopi Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

h. Surat keterangan domisili dari kelurahan setempat.

i. Surat pernyataan pemohon yang menyatakan akan tunduk serta patuh kepada peraturan perundangan yang berlaku di atas materai Rp 6000,00.

j. Peta lokasi dan denah ruangan.

k. Surat pernyataan dari pemilik sarana apotek tidak pernah terlibat dan tidak akan terlibat dalam pelanggaran peraturan di bidang farmasi/obat dan tidak akan ikut campur dalam pengelolaan obat di atas materai Rp 6000,00.

l. Surat pernyataan APA bahwa yang bersangkutan tidak bekerja pada bidang farmasi lain di atas materai Rp 6000,00.

m. Surat pernyataan tidak melakukan penjualan narkotika, obat keras tertentu tanpa resep di atas materai Rp 6000,00.

n. Struktur organisasi dan tata kerja/tata laksana (dalam bentuk Organogram). o. Daftar ketenagaan berdasarkan pendidikan.

p. SIK Asisten Apoteker/D3 farmasi. q. Rencana jadwal buka apotek. r. Daftar peralatan peracikan obat.

s. Buku wajib peraturan perundangan di bidang farmasi. t. Formulir pelaporan narkotika dan psikotropika.

u. Akte notaris perjanjian kerjasama APA dan PSA (asli/legalisir). v. Surat izin atasan bagi apoteker Pegawai Negeri Sipil.

Persyaratan izin apotek praktek profesi adalah sebagai berikut:

a. Surat permohonan apoteker praktek profesi ditujukan kepada Kepala Suku Dinas Kesehatan setempat sebanyak 3 (tiga) rangkap, 1 (satu) rangkap diatas materai Rp 6000,00.

(19)

b. Surat rekomendasi dari Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) DKI Jakarta yang menyatakan bahwa yang bersangkutan layak untuk melakukan apotek profesi yang diterbitkan setiap tahun sekali.

c. Fotokopi KTP DKI Apoteker apotek praktek profesi.

d. Status kepemilikan bangunan, IMB, dan surat sewa menyewa minimal 2 tahun.

e. Denah bangunan beserta peta lokasi. f. Daftar peralatan peracikan, etiket, dll. g. Fotokopi NPWP apoteker.

h. SIK/SP Apoteker dan pas foto 2x3 sebanyak 2 lembar dengan melampirkan surat selesai masa bakti Apoteker.

i. Surat pernyataan dari apotek bahwa selama buka apotek harus ada apotekernya (bila tidak ada apotekernya maka harus tutup).

j. Jadwal buka apotek bersama dengan petugas/apoteker yang lain yang ikut melakukan praktek profesi dengan melampirkan SIK dan KTP DKI Jakarta.

2.8 Pencabutan Surat Izin Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat wajib melaporkan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek dalam jangka waktu setahun sekali kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Surat izin apotek dapat dicabut oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota apabila:

a. Apoteker tidak lagi memenuhi kewajibannya untuk menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin. Sediaan farmasi yang sudah dikatakan tidak bermutu baik atau karena sesuatu hal tidak dapat dan dilarang untuk digunakan seharusnya dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri.

b. APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus menerus.

(20)

c. Pelanggaran terhadap Undang-Undang Obat Keras Nomor, St. 1937 N. 541, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, serta ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

d. Surat Izin Kerja APA dicabut.

e. Pemilik Sarana Apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang obat.

f. Apotek tidak dapat lagi memenuhi persyaratan mengenai kesiapan tempat pendirian apotek serta kelengkapan sediaan farmasi dan perbekalan lainnya baik merupakan milik sendiri atau pihak lain.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebelum melakukan pencabutan surat izin apotek berkoordinasi dengan Kepala Balai POM setempat. Pelaksanaan pencabutan surat izin apotek dilaksanakan setelah dikeluarkan:

a. Peringatan secara tertulis kepada APA sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan.

b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan apotek.

Pembekuan izin apotek sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) di atas, dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ini. Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dari Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Apabila SIA dicabut, APA atau Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengamanan tersebut wajib mengikuti tata cara sebagai berikut:

a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras tertentu dan obat lain serta seluruh resep yang tersedia di apotek.

b. Narkotika, psikotropika, dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci.

c. Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Wilayah Kantor Kementerian Kesehatan atau petugas yang diberi wewenang

(21)

olehnya, tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud dalam huruf (a).

2.9 Tenaga Kerja di Apotek

Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 menyebutkan bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri dari Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi dan tenaga menengah farmasi/Asisten Apoteker. Tenaga pendukung untuk menjamin kelancaran kegiatan pelayanan kefarmasian di suatu apotek, yaitu Apoteker Pengelola Apotek (APA), Asisten Apoteker, juru resep, kasir, dan pegawai administrasi/tata usaha.

APA adalah Apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek. APA bertanggung jawab penuh terhadap semua kegiatan yang berlangsung di apotek, juga bertanggung jawab kepada pemilik modal (jika bekerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek). Tugas dan kewajiban APA di apotek adalah sebagai berikut: a. Memimpin seluruh kegiatan apotek, baik kegiatan teknis maupun non-teknis

kefarmasian sesuai dengan ketentuan maupun perundangan yang berlaku. b. Menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu

baik dan yang keabsahannya terjamin.

c. Mengatur, melaksanakan, dan mengawasi administrasi.

d. Mengusahakan agar apotek yang dipimpinnya dapat memberikan hasil yang optimal sesuai dengan rencana kerja dengan cara meningkatkan omset, mengadakan pembelian yang sah dan penekanan biaya serendah mungkin. e. Melakukan pengembangan apotek.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332 tahun 2002, dalam melakukan tugasnya, seorang APA dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti. Apoteker Pendamping yaitu Apoteker yang bekerja di apotek selain APA dan/atau menggantikan APA pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan APA jika APA

(22)

berhalangan hadir selama lebih dari tiga bulan secara terus-menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak bertindak sebagai APA di tempat lain.

Tenaga pendukung lainnya untuk menjamin kelancaran kegiatan pelayanan kefarmasian di suatu apotek adalah Asisten Apoteker. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002, Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai Asisten Apoteker. Tenaga pendukung yang tidak kalah pentingnya adalah juru resep, kasir dan pegawai administrasi atau tata usaha. Juru resep adalah orang yang membantu Asisten Apoteker dalam menyiapkan (meracik) obat menurut resep. Kasir merupakan petugas yang mencatat penerimaan dan pengeluaran uang yang dilengkapi dengan kuitansi, nota, tanda setoran, dan lain-lain. Pegawai administrasi atau tata usaha bertugas membantu Apoteker dalam kegiatan administrasi seperti membuat laporan harian.

2.10 Sediaan Farmasi di Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/ X/2002, sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan, dan kosmetika. Obat merupakan satu di antara sediaan farmasi yang dapat ditemui di apotek. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Obat-obat yang beredar di Indonesia digolongkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dalam 4 (empat) kategori, yaitu obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, dan obat golongan narkotika. Penggolongan ini berdasarkan tingkat keamanan dan dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terhadap peredaran dan pemakaian obat-obat tersebut. Setiap golongan obat diberi tanda pada kemasan yang terlihat.

(23)

Obat Bebas

Obat Bebas Terbatas

Obat Keras dan Psikotropika

Golongan Narkotika

Gambar 2.1 Logo golongan obat

2.10.1 Obat OTC (Over the Counter)

Obat-obat yang boleh dibeli oleh pasien tanpa resep dokter disebut obat OTC (Over the Counter). Contoh dari obat OTC ini adalah obat bebas dan obat bebas terbatas.

2.10.1.1 Obat Bebas

Obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter adalah obat bebas. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contohnya adalah parasetamol. (Kementerian Kesehatan, 2006).

2.10.1.2 Obat Bebas Terbatas

Obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter dan disertai dengan tanda peringatan disebut obat bebas terbatas. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam (Kementerian Kesehatan, 2006).

Wadah atau kemasan obat bebas terbatas perlu dicantumkan tanda peringatan dan penyerahannya harus dalam bungkus aslinya. Tanda peringatan tersebut berwarna hitam dengan ukuran panjang 5 cm dan lebar 2 cm (atau

(24)

dengan huruf berwarna putih (Kementerian Kesehatan, 2006). Terdapat enam golongan peringatan untuk obat bebas terbatas, yaitu:

a. P no.1: Awas! Obat Keras. Bacalah aturan memakainya. Contoh obat golongan ini adalah Stopcold, Inza, dan obat flu lainnya.

b. P no.2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan. Contoh obat golongan ini adalah Listerine dan Betadine Gargle.

c. P no.3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar badan. Contoh obat golongan ini adalah Rivanol dan Canesten.

d. P no.4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar

e. P no.5: Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan. Contoh obat golongan ini adalah Suppositoria untuk laksatif.

f. P no.6: Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan. Contoh obat golongan ini adalah Suppositoria untuk wasir.

Contoh tanda peringatan dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Tanda peringatan pada kemasan obat bebas terbatas

2.10.2 Obat Ethical

Obat yang dapat diperoleh oleh pasien dengan adanya resep dari dokter disebut obat ethical. Contoh dari obat ethical ini adalah obat keras, psikotropika, dan narkotika.

(25)

Obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter disebut obat keras. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Obat-obat yang masuk ke dalam golongan ini antara lain obat jantung, antihipertensi, antihipotensi, obat diabetes, hormon, antibiotika, psikotropika, dan beberapa obat ulkus lambung dan semua obat injeksi.

2.10.2.2 Psikotropika (Undang-Undang No. 5 Tahun 1997)

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika yang digolongkan menjadi:

a. Psikotropika golongan I

Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh dari obat psikotropika golongan I dalah ecstasy (MDMA), psilosin (jamur meksiko/jamur tahi sapi), LSD (lisergik deitilamid), dan meskalin (kaktus amerika).

b. Psikotropika golongan II

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh obat golongan psikotropika golongan II adalah amfetamin, metakualon, dan metilfenidat. Sekarang obat psikotropika golongan I dan II dikategorikan dalam obat narkotika golongan I. c. Psikotropika golongan III

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh obat psikotropika golongan III adalah amorbarbital, flunitrazepam, dan kastina.

d. Psikotropika golongan IV

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

(26)

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh obat psikotropika golongan IV adalah barbital, bromasepam, diazepam, estazolam, fenorbarbital, klobazam, dan klorazepam.

Pengelolaan psikotropika di apotek adalah sebagai berikut : a. Pemesanan

Surat Pesanan (SP) psikotropika harus ditandatangani oleh APA serta dilengkapi dengan nama jelas, stempel apotek, nomor SIPA dan SIA. Satu surat pesanan ini dapat terdiri dari berbagai macam nama obat psikotropika dan dibuat tiga rangkap. Berbeda dengan narkotika, pemesanan psikotropika dapat ditujukan kepada PBF mana saja yang menjual jenis psikotropika yang diperlukan.

b. Penyimpanan

Obat-obatan golongan psikotropika cenderung disalahgunakan sehingga disarankan agar menyimpan obat-obatan tersebut dalam suatu rak atau lemari khusus.

c. Penyerahan

Obat golongan narkotika dan psikotropika hanya dapat diserahkan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan kepada pengguna/pasien. Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas hanya dapat dilakukan kepada pengguna/ pasien. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan dilaksanakan berdasarkan resep dokter. Penyerahan psikotropika oleh dokter hanya boleh dilakukan dalam keadaan menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan, menolong orang sakit dalam keadaan darurat dan menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek. Psikotropika hanya dapat diserahkan oleh apotek dengan adanya resep dokter.

d. Pelaporan

Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan melaporkan kepada Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten setempat setiap satu bulan sekali, paling lambat tanggal 10, dengan tembusan kepada Balai Besar POM atau Balai POM setempat.

(27)

e. Pemusnahan

Pada pemusnahan psikotropika, Apoteker wajib membuat berita acara dan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk dalam tujuh hari setelah mendapat kepastian. Menurut pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997, pemusnahan psikotropika dilakukan apabila berkaitan dengan tindak pidana, psikotropika yang diproduksi tidak memenuhi standar dan persyaratan bahan baku yang berlaku, kadaluarsa, serta tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan. Pemusnahan psikotropika dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat tempat dan waktu pemusnahan; nama pemegang izin khusus; nama, jenis, dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; tanda tangan dan identitas lengkap penanggung jawab apotek dan saksi-saksi pemusnahan.

Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah untuk menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika dan memberantas peredaran gelap psikotropika.

2.10.2.3 Narkotika (Undang-Undang No. 35 Tahun 2009)

Definisi narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

a. Narkotika golongan I

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan ini adalah heroin, kokain, ganja, dan obat-obat psikotropika golongan I dan II.

(28)

Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan ini adalah morfin, petidin, dan metadon.

c. Narkotika golongan III

Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan ini adalah kodein.

Pengaturan narkotika dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor narkotika. Peraturan ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk:

a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan Bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.

Pengelolaan narkotika di apotek adalah sebagai berikut : a. Pemesanan

Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan di Pedagang Besar Farmasi (PBF) Kimia Farma dengan menggunakan Surat Pesanan Narkotika yang ditandatangani oleh APA, dilengkapi nama jelas, nomor SIK, dan stempel apotek. Satu lembar surat pesanan hanya dapat digunakan untuk memesan satu macam narkotika. Surat pesanan tersebut terdiri dari empat rangkap yang masing-masing akan diserahkan ke BPOM, Suku Dinas Kesehatan, distributor, dan untuk arsip apotek.

(29)

Penerimaan narkotika dilakukan oleh APA atau AA yang mempunyai SIK dengan menandatangani faktur, mencantumkan nama jelas, nomor SIA, dan stempel apotek (Kemenkes RI, 1978). Apotek harus mempunyai tempat khusus yang dikunci dengan baik untuk menyimpan narkotika. Tempat penyimpanan narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat. 2. Harus mempunyai kunci yang kuat.

3. Dibagi dua, masing-masing dengan kunci yang berlainan; bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin, dan garam-garamnya serta persediaan narkotika; bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.

4. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40x80x100 cm, maka lemari tersebut harus dibaut pada tembok atau lantai. 5. Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain

narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.

6. Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh penanggung jawab atau pegawai lain yang dikuasakan.

7. Lemari khusus harus ditempatkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum.

c. Pelayanan resep

Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, disebutkan bahwa narkotika hanya dapat diserahkan kepada pasien untuk pengobatan penyakit berdasarkan resep dokter. Selain itu, berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (sekarang Badan POM) No. 336/E/SE/1997 disebutkan bahwa apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep asli. Salinan resep dari narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Dengan demikian dokter tidak boleh menambahkan tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika.

(30)

Apotek berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan bulanan yang ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK, SIA, nama jelas dan stempel apotek. Laporan tersebut terdiri dari laporan penggunaan bahan baku narkotika, laporan penggunaan sediaan jadi narkotika, dan laporan khusus pengunaan morfin, petidin dan derivatnya. Laporan penggunaan narkotika ini harus dilaporkan setiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya yang ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten setempat dengan tembusan Balai Besar POM/Balai POM dan berkas untuk disimpan sebagai arsip.

e. Pemusnahan

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 28/Menkes/Per/I/1978 pasal 9 mengenai pemusnahan narkotika, APA dapat memusnahkan narkotika yang rusak, kadaluarsa, dan tidak memenuhi syarat untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan dan/ atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Pemusnahan narkotika dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat: tempat dan waktu (jam, hari, bulan, dan tahun); nama pemegang izin khusus, APA atau dokter pemilik narkotika; nama, jenis, dan jumlah narkotika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; tanda tangan dan identitas lengkap penanggung jawab apotek dan saksi-saksi pemusnahan. Berita acara pemusnahan narkotika tersebut dikirimkan kepada Suku Dinas Pelayanan Kesehatan setempat dengan tembusan kepada Balai Besar POM setempat.

2.10.3 Obat Wajib Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/MENKES/SK/ VII/1990, Obat Wajib Apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh Apoteker di apotek. OWA bertujuan untuk pelaksanaan swamedikasi di apotek. Swamedikasi adalah pelayanan farmasi yang memberikan kesempatan kepada pasien untuk memilih sendiri tindakan pengobatan berdasarkan penyakit yang diderita dengan bantuan rekomendasi dari apoteker. Obat-obat yang digunakan untuk pelaksanaan swamedikasi meliputi obat bebas, obat bebas terbatas, dan OWA. Swamedikasi bertujuan untuk:

(31)

a. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dengan ditunjang melalui sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional.

b. Meningkatkan peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/MENKES/PER/X/1993, obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia dua tahun, dan orang tua di atas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.

c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan/atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Dalam melayani pasien yang memerlukan OWA, Apoteker di apotek diwajibkan untuk :

a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam OWA yang bersangkutan.

b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

c. Memberikan informasi, meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

2.11 Pengelolaan Apotek

Sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, apotek harus dikelola oleh seorang Apoteker yang profesional. Dalam mengelola apotek, Apoteker harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisiplin, kemampuan

(32)

mengelola sumber daya manusia secara efektif, selalu belajar sepanjang karir, dan membantu memberikan pendidikan dan peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

Pengelolaan apotek dapat dibedakan atas pengelolaan teknis farmasi dan non teknis farmasi. Sebagai pengelola teknis farmasi, APA bertanggung jawab mengawasi pelayanan resep, mengawasi mutu obat yang dijual, memberikan pelayanan informasi obat dan membuat laporan mengenai penggunaan obat-obat khusus (narkotika dan psikotropika). Adapun sebagai pengelola non teknis farmasi, seorang APA bertanggung jawab terhadap semua kegiatan administrasi, keuangan, dan bidang lain yang berhubungan dengan apotek.

Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan, administrasi, dan pelayanan.

2.11.1 Perencanaan

Kegiatan perencanaan meliputi penyusunan rencana keperluan yang tepat, mencegah terjadinya kekurangan dan sedapat mungkin mencegah terjadinya kelebihan perbekalan farmasi yang tersimpan lama dalam gudang. Banyaknya jenis perbekalan farmasi yang dikelola mendorong diperlukannya suatu perencanaan yang dilakukan secara cermat sehingga pengelolaan persediaan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan pola penyakit, kemampuan masyarakat, dan budaya masyarakat.

2.11.2 Pengadaan

Pengadaan perbekalan farmasi harus diterapkan sebaik mungkin agar pengendalian, keamanan, dan jaminan mutu perbekalan farmasi dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Prinsip pengadaan tidak hanya sekedar membeli barang, tetapi juga mengandung pengertian meminta kerja sama pemasok dalam menyediakan barang yang diperlukan. Pengadaan harus sesuai dengan keperluan yang direncanakan sebelumnya dan harus sesuai dengan kemampuan atau kondisi

(33)

keuangan yang ada. Sistem atau cara pengadaannya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2.11.3 Penyimpanan

Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Ketika isi harus dipindahkan ke dalam wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru yang memuat sekurang-kurangnya nomor batch dan tanggal kadaluarsa. Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai untuk menjamin kestabilan bahan. Penataan perbekalan farmasi perlu memperhatikan peraturan yang berlaku dan kemudahan dalam melakukan kegiatan pelayanan serta memiliki nilai estetika. Penataan sedemikan rupa pada desain lemari harus menjamin kebersihan dan keamanan perbekalan farmasi senantiasa terjaga.

2.11.4 Administrasi

Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi administrasi umum dan administrasi pelayanan. Kegiatan administrasi umum meliputi pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika dan psikotropika, dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Administrasi pelayanan meliputi pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

2.11.5 Pelayanan

Pelayanan apotek diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MenKes/Per/X/1993 pasal 14 sampai dengan pasal 22, dan perubahan terhadap ketentuan pasal 19 dalam Peraturan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MenKes/SK/X/2002 pasal 19, yang meliputi :

a. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi, dan dokter hewan. Pelayanan resep ini sepenuhnya atas tanggung jawab APA dan sesuai dengan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat (Pasal 12 ayat 1 dan 2);

(34)

b. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat (Pasal 15 ayat 1); c. Apotek tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis dalam resep

dengan obat paten (Pasal 15 ayat 2);

d. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, Apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter penulis resep untuk pemilihan obat yang lebih tepat (Pasal 15 ayat 3);

Namun, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya/ obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.

e. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat (Pasal 15 ayat 4a dan 4b);

f. Apabila Apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, Apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila atas pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib melaksanakan secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep (Pasal 16 ayat 1 dan 2); g. Salinan resep harus ditandatangani oleh Apoteker (Pasal 17 ayat 1);

h. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu tiga tahun (Pasal 17 ayat 2);

i. Resep dan salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku (Pasal 17 ayat 3);

j. APA, apoteker pendamping, atau apoteker pengganti diijinkan untuk menjual obat keras yang dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) tanpa resep. DOWA ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI (Pasal 18 ayat 1 dan 2); k. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka Apotik, APA

(35)

l. Apabila APA dan Apoteker Pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, APA menunjuk Apoteker Pengganti (Pasal 19 ayat 2); m. Penunjukan dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) harus dilaporkan

kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten /Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi (Pasal 19 ayat 3);

n. Apoteker pendamping dan apoteker pengganti harus memenuhi persyaratan seperti persyaratan yang ditetapkan untuk APA (Pasal 19 ayat 4);

o. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus menerus, Surat Izin Apotek atas nama Apoteker bersangkutan dicabut (Pasal 19 ayat 5);

p. APA turut bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan Apoteker pendamping dan Apoteker pengganti dalam hal pengelolaan apotek (Pasal 20);

q. Apoteker Pendamping yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pelayanan kefarmasian selama yang bersangkutan bertugas menggantikan APA (Pasal 21);

r. Dalam pelaksanaan pengelolaan apotek, APA dapat dibantu oleh Asisten Apoteker (Pasal 22 ayat 1);

s. Asisten Apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian di Apotek di bawah pengawasan Apoteker (Pasal 22 ayat 2).

2.12 Pengadaan Persediaan Apotek (Quick, 1997; Seto, Yunita & Lily, 2004)

Pengadaan merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan farmasi berdasarkan fungsi perencanaan dan penganggaran. Tujuan pengadaan yaitu untuk memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup dengan kualitas harga yang dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu dan tempat tertentu secara efektif dan efisien menurut tata cara dan ketentuan yang berlaku.

Persyaratan yang perlu diperhatikan dalam fungsi pengadaan, yaitu:

a. Doematig, artinya sesuai tujuan atau rencana. Pengadaan harus sesuai kebutuhan yang sudah direncanakam sebelumnya.

(36)

c. Wetmatig, artinya sistem atau cara pegadaannya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku

Model pengadaan secara umum berdasarkan waktu adalah sebagai berikut: a. Annual purchasing, yaitu pemesanan satu kali dalam satu tahun.

b. Scheduled purchasing, yaitu pemesanan secara periodik dalam waktu tertentu misalnya mingguan, bulanan, dan sebagainya.

c. Perpetual purchasing, yaitu pemesanan dilakukan setiap kali tingkat persediaan rendah.

d. Kombinasi antara annual purchasing, scheduled purchasing, dan perpetual purchasing yaitu pengadaan dengan pemesanan yang bervariasi waktunya, seperti cara ini dapat diterapkan tergantung dari jenis obat yang dipesan. Misalnya obat impor yang mahal cukup dipesan sekali dalam setahun saja. Obat-obatan yang termasuk slow moving dapat dipesan secara periodik setiap tahun (scheduled purchasing), dan obat-obatan yang banyak diminati oleh pembeli maka pemesanan dilakukan secara perpetual purchasing.

Setelah menentukan jenis pengadaan yang akan diterapkan berdasarkan frekuensi dan waktu pemesanan maka pengadaan atau pembelian barang di apotek dapat dilakukan dengan cara:

a. Pembelian kontan atau kredit

Pembelian kontan adalah pihak apotek langsung membayar harga obat yang dibeli dari distributor, biasanya untuk apotek yang baru dibuka karena untuk melakukan pembayaran kredit apotek harus menunjukkan kemampuannya dalam menjual, sedangkan pembelian kredit adalah pembelian yang pembayarannya sampai jatuh tempo.

b. Pembelian konsinyasi (kredit atau titipan obat)

Pembelian konsinyasi adalah titipan barang dari pemilik kepada apotek, di mana apotek bertindak sebagai agen komisioner yang menerima komisi bila barang tersebut terjual. Bila barang tersebut tidak terjual sampai batas waktu kadaluarsa atau waktu yang telah disepakati maka barang tersebut dapat dikembalikan pada pemiliknya.

(37)

2.13 Pengendalian Persediaan Apotek

Aktivitas pengendalian persediaan bertujuan untuk pengaturan persediaan obat di apotek agar menjamin kelancaran pelayanan pasien di apotek secara efektif dan efisien. Unsur dari pengendalian persediaan ini mencakup penentuan cara pemesanan atau pengadaannya, menentukan jenis persediaan yang menjadi prioritas pengadaan, hingga jumlah persediaan yang optimal dan yang harus ada di apotek untuk menghindari kekosongan persediaan. Oleh karena itu, pengelolaan dan pengendalian persediaan obat di apotek berfungsi untuk memastikan pasien memperoleh obat yang diperlukan, mencegah risiko kualitas barang yang dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan, dan mendapatkan keuntungan dari pembelian dengan memilih distributor obat yang memberi harga obat bersaing, pengiriman cepat, dan kualitas obat yang baik.

Salah satu cara untuk menentukan dan mengendalikan jenis persediaan yang seharusnya dipesan adalah dengan melihat pergerakan keluar masuknya obat dan mengidentifikasi jenis persediaan yang menjadi prioritas pemesanan. Metode pengendalian persediaan dengan menyusun prioritas tersebut dapat dibuat dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut (Quick, 1997) :

a. Analisis VEN (Vital, Esensial, Non-esensial)

Pengendalian obat dengan memperhatikan kepentingan dan vitalitas obat yang harus selalu tersedia untuk melayani permintaan untuk pengobatan. Vital dalam analisis VEN maksudnya adalah obat untuk penyelamatan hidup manusia atau untuk pengobatan karena penyakit yang mengakibatkan kematian. Pengadaan obat golongan ini diprioritaskan. Contohnya adalah obat-obat hipertensi dan diabetes. Obat esensial adalah obat yang banyak diminta untuk digunakan dalam tindakan atau pengobatan penyakit terbanyak, yang resepnya sering datang ke apotek. Dengan kata lain, obat-obat golongan ini adalah obat yang fast moving. Obat non-esensial adalah obat pelengkap yang tidak banyak diminta dan tidak esensial.

b. Analisis Pareto (ABC)

Analisis pareto disusun berdasarkan penggolongan persediaan yang mempunyai nilai harga yang paling tinggi. Pareto membagi persediaan berdasarkan atas nilai rupiah sehingga untuk mengendalikan persediaan barang

(38)

difokuskan pada item persediaan yang bernilai tinggi daripada yang bernilai rendah. Kelas A merupakan persediaan yang memiliki volume rupiah yang tinggi. Kelas ini mewakili sekitar 70% dari total nilai persediaan. Meskipun jumlahnya hanya sekitar 20% dari seluruh ítem tetapi memiliki dampak biaya yang tinggi. Kelas B merupakan persediaan yang memiliki volume rupiah yang menengah. Kelas ini mewakili sekitar 20% dari total nilai persediaan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 30% dari seluruh item. Kelas C adalah persediaan yang memiliki volume rupiah yang rendah. Kelas ini mewakili sekitar 10% dari total nilai persediaan, tapi terdiri sekitar 50% dari seluruh item. Pengendalian persediaan untuk kelas A dilakukan secara intensif, untuk kelas B dilakukan secara moderat, dan kelas C dilakukan secara sederhana.

Analisis pareto dilakukan dengan menghitung nilai investasi dari tiap sediaan obat dengan cara menghitung total investasi tiap jenis obat kemudian mengelompokan berdasarkan nilai investasi dan diurutkan mulai dari nilai investasi terbesar hingga terkecil. Kelompok A memiliki nilai investasi 70% dari total investasi obat keseluruhan, kelompok B memiliki nilai investasi 20% dari total investasi obat keseluruhan dan kelompok C memiliki nilai investasi 10% dari total investasi obat keseluruhan.

c. Analisis VEN-ABC

Mengkategorikan item berdasarkan volume dan nilai penggunaannya selama periode waktu tertentu, biasanya 1 tahun. Analisis VEN-ABC menggabungkan analisis pareto dan VEN dalam suatu matriks sehingga analisis menjadi lebih tajam. Matriks dapat dibuat sebagai berikut:

V E N A VA EA NA B VB EB NB C VC EC NC

Gambar 2.3 Matriks VEN - ABC

Matriks di atas dapat dijadikan dasar dalam menetapkan prioritas untuk menyesuaikan anggaran atau perhatian dalam pengelolaan persediaan. Semua

(39)

obat vital dan esensial dalam kelompok A, B, dan C hendaknya disediakan, tetapi kuantitasnya disesuaikan dengan kebutuhan konsumen apotek. Untuk obat non-esensial dalam kelompok A tidak diprioritaskan, sedangkan kelompok B dan C pengadaannya disesuaikan dengan kebutuhan.

2.14 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Pharmaceutical care (PC) seringkali diartikan sebagai Asuhan Kefarmasian atau Pelayanan Kefarmasian. Pharmaceutical care adalah tanggung jawab farmakoterapi dari seorang Apoteker untuk mencapai dampak tertentu dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. PC diimplementasikan dengan Good Pharmacy Practice (Cara Praktek di Apotek yang Baik). Dengan demikian Good Pharmacy Practice merupakan suatu pedoman yang digunakan untuk menjamin bahwa layanan yang diberikan Apoteker kepada setiap pasien telah memenuhi kualitas yang tepat. Pedoman tersebut perlu disusun secara nasional dengan inisiatif dari organisasi profesi Apoteker dan pemerintah. Dengan adanya pedoman tersebut diharapkan bahwa masyarakat dapat menggunakan obat-obatan dan produk serta jasa kesehatan dengan lebih tepat sehingga tercapai tujuan terapi yang diinginkan.

Pelaksanaan Good Pharmacy Practice di farmasi komunitas adalah sebagai berikut:

a. Melakukan serah terima obat kepada pasien atas resep dokter dengan beberapa kriteria.

b. Melakukan pemilihan obat pada pasien dalam upaya pengobatan diri sendiri (swamedikasi).

c. Memonitor kembali penggunaan obat oleh pasien akan tujuan yang optimal melalui telepon atau kunjungan residensial.

d. Melakukan ceramah tentang kesehatan dan obat, memberdayakan masyarakat tentang penggunaan obat yang baik dan upaya dalam pencegahan penyakit di masyarakat.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi peayanan resep, promosi dan edukasi, serta pelayanan residensial (home care).

(40)

1. Pelayanan Resep a. Skrining resep

Apoteker melakukan skrining resep yang meliputi persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Skrining terhadap persyaratan administratif meliputi nama, SIP dan alamat dokter; tanggal penulisan resep; tanda tangan/paraf dokter penulis resep; nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis dan jumlah yang minta; cara pemakaian yang jelas; dan informasi lainnya. Skrining kesesuaian farmasetik meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Skrining pertimbangan klinis meliputi adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

b. Penyiapan obat

Penyiapan obat dimulai dengan peracikan. Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat, serta penulisan etiket yang benar. Etiket harus jelas dan dapat dibaca. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh Apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas, serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya

(41)

penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya.

Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, Apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.

2. Promosi dan Edukasi

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet atau brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.

3. Pelayanan Residensial (Home Care)

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini Apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

2.14.1 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)

Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) di bidang kefarmasian merupakan rangkaian kegiatan interaksi positif antara Apoteker dengan pasien, keluarga pasien, atau dengan tenaga kesehatan. Tujuannya adalah untuk membangun hubungan dan kepercayaan dengan pasien, mendapatkan informasi dari pasien, memberikan instruksi pada pasien yang berkaitan dengan obat, serta untuk memberikan dukungan maupun semangat kepada pasien supaya penyakitnya cepat sembuh.

Konseling dan informasi yang diberikan berupa informasi mengenai efek samping, dosis, cara penggunaan, interaksi obat, harga obat, dan lain-lain. Seorang Apoteker harus dapat menyarankan pengobatan yang rasional dan dapat

Gambar

Gambar 2.1   Logo golongan obat ......................................................................
Gambar 2.1 Logo golongan obat
Gambar 2.2 Tanda peringatan pada kemasan obat bebas terbatas
Gambar 4.1 Ketikan Ulang Resep    .....................................................................
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dari segi tampilan di panggung ketika dilaksanakan pentas akhir mereka lebih percaya diri, karena telah siap dari segi materi: sastra sudah urut karena dipandu dengan

Kepada seluruh pihak, saudara, sahabat dan teman penulis lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas semua semangat, motivasi dan

Dari pengamatan perilaku makan diperoleh bahwa bekantan memanfaatkan bagian daun tumbuhan sebagai pakan utamanya yaitu sebesar 95,64 %, diikuti oleh bagian buah

Oleh karena itu, upaya memaknai Tumpek Wayang menyongsong Tahun Baru 2017 adalah sebuah usaha untuk mengungkap hal-hal yang tersembunyi di dalam teks budaya

Berdasarkan komposisi bahan yang tertera dalam kemasan, kamu dapat mengetahui bahan apa saja yang digunakan untuk membuat makanan tersebut, termasuk bahan utama

Kerenyahan sereal dengan proporsi kecambah jagung yang lebih tinggi cenderung memberikan tingkat kesukaan panelis yang lebih baik, hal ini dipengaruhi oleh kandungan amilosa

Penelitian oleh whitlock et al.,(2006), pada pasien paska cardiopulmonary bypass dengan memberikan steroid dosis rendah untuk menghilangkan kejadian SIRS, pasien