STANDAR MINIMUM BLK
DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN PELATIHAN DAN
PRODUKTIVITAS
Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 51 Tlp.
021-52900925
DAFTAR ISI
HALAMA
N
KATA PENGANTAR
... 1
BAB I
PENDAHULUAN .
... 3
A.
LATAR BELAKANG
...
3
B.
TUJUAN ...
4
C.
SASARAN ... 4
D.
RUANG LINGKUP ...
4
E.
DASAR HUKUM ... 4
F.
PENGERTIAN ... 5
BAB II
PERTIMBANGAN UMUM
... 7
A.
PERSYARATAN UMUM ... 7
1. Ketenagakerjaan ... 7
2. Perekonomian ... 11
3. Infrastruktur Pendidikan dan Pelatihan ...
13
4. Pembangunan Daerah ... 14
5. Syarat Umum Pembangunan BLK ...15
BAB III
STANDAR MINIMUM BLK
...
25
A. TANAH ... 25
1. Lokasi Tanah yang Diperlukan ... 25
2. Lokasi Tanah yang akan Dibangun ...25
3. Prospek Pengembangan Lokasi ... 25
B. BANGUNAN ... 26
1. Bangunan Kantor ... 26
2. Bangunan Workshop ... 26
3. Bangunan Asrama ... 27
4. Fasilitas Pendukung ... 27
C.
PROGRAM PELATIHAN ...
28
1. Peralatan Pelatihan ... 28
2. Kebutuhan Instruktur ...
160
3. Materi Pelatihan ...
160
D. KEBUTUHAN PEGAWAI ... 161
E. PEMBIAYAAN ... 165
BAB IV
PENILAIAN KELAYAKAN PEMBANGUNAN BLK
...
165
A.
ASPEK KETENAGAKERJAAN ...
165
B.
ASPEK PEMBANGUNAN DAERAH ...
165
C.
ASPEK KEMAMPUAN DAERAH ...
165
D.
ASPEK
PEMBIAYAAN PELATIHAN KERJA
...
166
BAB V
PENUTUP .
...
170
KATA PENGANTAR
Lembaga Pelatihan Kerja (BLK/LLK) sebagai salah satu instrumen peningkatan
kompetensi tenaga kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mentransformasikan pengetahuan, keterampilan dan etos kerja produktif, dalam
rangka meningkatkan kualitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia. Sejalan
dengan perubahan teknologi informasi dan sistem produksi yang begitu cepat di
lingkungan industri, telah mendorong perubahan kualifikasi keterampilan tenaga
kerja dengan tingkat kompetensi yang semakin tinggi. Oleh karena itu, agar lulusan
lembaga pelatihan dapat terserap di pasar kerja, lembaga pelatihan dituntut untuk
merubah
paradigma dari pelatihan konvensional (supply driven) yang bersifat
birokratis, sentralistis serta berorientasi pada APBN/APBD, menuju pelatihan yang
fleksibel, kompetitive, responsif serta berorientasi kepada kebutuhan pasar kerja
(demand driven) dan mampu mendayagunakan sumber daya pelatihan secara
efisien dan efektif.
Untuk menjaga eksistensi dan pertumbuhannya maka lembaga
pelatihan kerja tidak lagi cukup mengandalkan sumber-sumber konvensionalnya,
tetapi harus mampu menggali, mendayagunakan dan mengembangkan
sumber-sumber dan peluang baru yang menjamin tersedianya sumber-sumber keuangan untuk
mendanai operasional pelatihan.
Sejak digulirkannya Otonomi Daerah, sangat besar pengaruhnya terhadap
perubahan sistem pembinaan lembaga pelatihan dari sentralisasi ke desentralisasi.
Pasca Otonomi Daerah banyak BLK-LLK yang dialihfungsikan menjadi fungsi lain
diluar kegiatan pelatihan sehingga sangat berpengaruh terhadap degradasi kualitas
pengelolaan BLK/LLK. Otonomi Daerah berdampak pada kualitas pengelolaan dan
penyelenggaraan BLK/LLK yang sangat bervariasi sesuai dengan potensi, kondisi,
karakteristik dan prioritas pemerintah masing–masing daerah karena belum adanya
acuan dan pedoman yang jelas sebagai akibat belum adanya Standar Minimal
Pendirian BLK. Namun demikian, disisi lain perkembangan pasca otonomi daerah
yang dibarengi dengan pemekaran daerah, maka banyak permintaan daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota yang baru terbentuk atau belum memiliki BLK/LLK untuk
mendirikan BLK/LLK baru.
Agar keberadaan BLK/LLK baru di daerah dapat berfungsi secara optimal dalam
rangka peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, maka perlu disusun
Standar Minimal Pendirian BLK/LLK yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi
pemerintah daerah dalam mendirikan BLK yang baru maupun merevitalisasi BLK
yang sudah ada. Untuk itu, saya menyambut baik dengan tersusunnya Standar
Minimal Pendirian BLK, kiranya dapat digunakan sebagai acuan, pedoman dan
referensi untuk mendirikan BLK baru di daerah.
Direktur Jenderal
Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas
Ir. Besar Setyoko, MM.
NIP. 160031190
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Globalisasi ekonomi dan perdagangan, telah memacu perubahan struktur
ekonomi dan industri yang secara otomatis akan mempengaruhi struktur
kebutuhan tenaga kerja baik jenis maupun kualifikasinya yang cenderung pada
kompetensi yang semakin tinggi agar mampu bersaing di pasar nasional,
regional dan internasional.
Indonesia saat ini masih menghadapi permasalahan ketenagakerjaan yang
sangat komplek. Jumlah pengangguran secara akumulatif terus meningkat
secara tajam sejalan dengan meningkatnya jumlah lulusan pendidikan sekolah,
disisi lain pemberdayaan Balai Latihan Kerja (BLK) yang ada belum optimal
dalam membekali pencari kerja untuk dapat memperoleh pekerjaan. BLK
sebagai salah satu instrumen pengembangan sumber daya manusia yang
diharapkan dapat menjadi
“Agent of Change“
untuk
mentransfer
pengetahuan,
keterampilan dan etos kerja produktif belum dapat melaksanakan fungsi secara
maksimal dan memberikan kontribusinya secara optimal guna menghasilkan
tenaga kerja kompeten sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dalam rangka
mengatasi pengangguran.
Kondisi BLK/LLK pada saat ini berdasarkan hasil pemetaan (Mapping) yang
dilakukan oleh Ditjen Binalatas (2006) bahwa pada umumnya kualitas lulusan
BLK/LLK belum sesuai dengan kebutuhan pasar kerja (
demand driven
) karena
program pelatihan masih konvensional dan belum berbasis kompetensi (CBT),
sarana dan prasarana pelatihan kurang memadai dan tidak dipelihara dengan
baik serta tenaga kepelatihan dan instruktur yang kurang kompeten. Sejak
digulirkannya Otonomi Daerah sangat besar pengaruhnya terhadap
perubahan sistem pembinaan lembaga pelatihan dari sentralisasi ke
desentralisasi (UU No. 22 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah). Pasca Otonomi Daerah banyak
BLK-LLK yang dialihfungsikan menjadi fungsi lain diluar kegiatan pelatihan
(pengembangan kualitas SDM) sehingga sangat berpengaruh terhadap
degradasi kualitas pengelolaan BLK/LLK.
Otonomi Daerah berdampak pada kualitas pengelolaan dan penyelenggaraan
BLK/LLK yang sangat bervariasi sesuai dengan potensi, kondisi, karakteristik
dan prioritas pemerintah masing–masing daerah, karena belum adanya acuan
dan pedoman yang jelas sebagai akibat belum adanya Standar Minimal
Pendirian BLK. Untuk mengoptimalkan dan mendayagunakan fungsi BLK/LLK
menjadi lembaga yang
credible
,
acceptable
dan mandiri maka BLK/LLK perlu
direvitalisasi baik sistem, metode, program, sarana & prasarana maupun
sumber daya manusianya. Sejalan dengan revitalisasi BLK/LLK tersebut maka
diperlukan manajemen lembaga pelatihan kerja yang mampu mengelola dan
mendayagunakan sumber daya pelatihan secara optimal dengan menerapkan
program pelatihan berbasis kompetensi (CBT), sarana dan perasarana yang
terstandar, serta instruktur/tenaga kepelatihan yang kompeten.
Namun demikian, disisi lain perkembangan pasca otonomi daerah yang
dibarengi dengan pemekaran daerah, maka banyak permintaan daerah
(kabupaten dan kota yang baru terbentuk atau belum memiliki BLK/LLK) untuk
mendirikan BLK/LLK baru. Agar keberadaan BLK/LLK baru di daerah dapat
berfungsi secara optimal dalam rangka peningkatan kualitas dan produktivitas
tenaga kerja, maka perlu disusun Standar Minimal BLK/LLK yang dapat
dijadikan seabagai acuan bagi pemerintah daerah dalam mendirikan BLK
yang baru maupun merevitalisasi BLK yang ada.
B. TUJUAN
Tujuan disusunnya Standar Minimal BLK adalah sebagai acuan bagi
Pemerintah Daerah dalam rangka merevitalisasi dan atau mendirikan BLK
sebagai lembaga pelatihan kerja yang kredibel dan mampu menghasilkan
tenaga kerja yang kompeten serta mampu bersaing dalam tingkat nasional,
regional dan internasional.
C.
SASARAN
Terwujudnya BLK yang memenuhi Standar minimum dalam melaksanakan
pelatihan berbasis kompetensi melalui :
a.
Tersedianya sarana dan prasarana pelatihan yang memadai
b.
Tersedianya instruktur yang profesional
c.
Tersedianya program pelatihan berbasis kompetensi
d.
Terselenggaranya manajemen BLK yang handal
D.
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup Standar Minimal BLK meliputi berbagai aspek persyaratan
minimal yang digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam mendirikan dan
atau merevitalisasi BLK sebagai berikut :
1.
program pelatihan;
2.
infrasturktur/prasarana pelatihan;
3.
sarana/peralatan pelatihan;
4.
sumber daya manusia(SDM) pelatihan;
5.
manejemen pengelolaan pelatihan;
6.
pendanaan.
E. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan
Kerja Nasional;
4.
Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 2000 tentang Pembentukkan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.14/MEN/
VI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI;
6.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 229 Tahun
2003 tentang Tata Cara Perijinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan
Kerja;
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 225 Tahun
2003 tentang Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja;
8. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 36 Tahun
2003 tentang Jabatan Fungsional Instruktur dan Angka Kreditnya.
F.
PENGERTIAN
1.
Pelatihan Kerja,
adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi,
memperoleh, meningkatkan serta mengembangkan kompetensi kerja,
produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan
keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau
pekerjaan.
2.
Kompetensi Kerja,
adalah kemampuan kerja setiap individu yang
mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai
dengan standar yang ditetapkan.
3.
Lembaga Pelatihan Kerja,
adalah instansi pemerintah, badan hukum
atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan
pelatihan kerja.
4.
Balai Latihan Kerja
adalah tempat diselenggarakannya proses
pelatihan kerja bagi peserta pelatihan sehingga mampu dan menguasai
suatu jenis dan tingkat kompetensi kerja tertentu untuk membekali dirinya
dalam memasuki pasar kerja dan atau usaha mandiri maupun sebagai
tempat pelatihan untuk meningkatkan produktivitas kerjanya sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraannya.
5.
Pelatihan Berbasis Kompetensi Kerja
adalah pelatihan kerja yang
menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja yang mencakup
pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan standar yang
ditetapkan dan persyaratan di tempat kerja.
6.
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
yang selanjutnya
disingkat SKKNI adalah rumusan kemampuan yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang
relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.
Program Pelatihan,
adalah isi keseluruhan proses pelatihan yang
tersusun secara sistematis dan memuat tentang kurikulum pelatihan,
persyaratan peserta pelatihan, metode pelatihan, sarana pelatihan, tenaga
pelatihan, proses pelatihan, metode evaluasi pelatihan, pengendalian
pelatihan, penetapan kelulusan dan rencana penempatan lulusan pelatihan.
8.
Kurikulum,
adalah kumpulan setiap mata pelatihan yang disusun
secara sistematis dan terpadu yang meliputi : mata pelatihan teori dan
praktek serta mata pelatihan penunjang lainnya dan mengarah kepada
tercapainya kualifikasi kompetensi tertentu yang diinginkan.
9.
Silabus,
adalah rincian isi/materi pada mata pelatihan yang diuraikan
secara sistematis dan terpadu yang mengarah kepada tercapainya tujuan
dan kualifikasi yang ditetapkan dalam kurikulum pelatihan.
10.
Tenaga Kepelatihan,
adalah seseorang yang memiliki kualifikasi
keterampilan atau keahlian dan atau kompetensi tertentu yang ditugaskan
untuk melaksanakan tugas-tugas yang terkait dalam proses pelatihan
antara lain :
a. Mengelola lembaga pelatihan;
b. Mengadministrasikan proses pelatihan;
c. Merencanakan program pelatihan;
d. Melaksanakan penyuluhan pelatihan;
e. Memelihara sarana dan prasarana;
f. Memberi konsultasi pelatihan;
g. Memasarkan program dan hasil pelatihan;
h. Menyelia proses pelatihan;
BAB II
TINJAUAN UMUM
A.
KETENAGAKERJAAN
1.
Angkatan Kerja
Faktor angkatan kerja perlu dipertimbangkan untuk mendirikan BLK,
karena bahan baku (input) lembaga pelatihan (BLK) adalah angkatan kerja
yaitu orang yang sedang mencari pekerjaan (penganggur) atau pekerja
yang ingin meningkatkan kompetensi dan produktivitas kerjanya. Jumlah
dan tingkat pendidikan angkatan kerja sangat berpengaruh dalam
pendayagunaan kesempatan kerja tersedia. Angkatan kerja dengan
pendidikan yang terbatas akan membatasi pengisian kesempatan kerja
yang tersedia sehingga mendorong terjadinya migrasi tenaga kerja dari
daerah lain yang akan mengisi kesempatan kerja tersedia.
Tabel 2:1. Angkatan Kerja menurut Pendidikan dan Kota Desa Tahun 2005.
Pendidikan
Desa
Kota
Jumlah
Tamat/tdk tamat SD
15.449.548
15.499.548
56.944.886
SMTP
12.209.871
9.029.777
21.239.448
SMTA
7.147.173
14.612.827
21.760.000
Dilploma
752.616
1.743.443
2.496.059
Universitas
648.152
2.713.827
3.361.979
Jumlah
62.202.950
43.599.422
105.802.372
Sumber : BPS, Sakernas Februari 2005 (data diolah)
Proporsi angkatan kerja berpendidikan SD ke bawah dan SMTP lebih
banyak tinggal di pedesaan di bandingkan di perkotaan masing-masing
72,78 persen dan 57,49 persen.
2.
Tambahan Angkatan Kerja Baru lulusan pendidikan formal menurut
jenis pendidikan
Pada kondisi supply (penyediaan) lebih besar dari demand (permintaan)
tenaga kerja maka akan terjadi kelebihan tenaga kerja. Hal tersebut dapat
disebabkan bahwa setiap tahun lembaga pendidikan (SD, SLTP,SLTA,
Perguruan Tinggi) mengeluarkan hasil lulusan (output) yang tidak
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi merupakan
pertambahan angkatan kerja. Besaran pertambahan angkatan kerja baru
tersebut dapat menjadi indikator bagi daerah (Kabupaten/Kota) untuk
membangun lembaga pelatihan (BLK). Faktor pertambahan angkatan
kerja baru menjadi salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan untuk
mendirikan BLK.
Secara Nasional Jumlah angkatan kerja baik laki-laki maupun perempuan
pada tahun 2005 diperkirakan akan bertambah sebesar 2,01 juta yaitu dari
103,97 juta pada tahun 2004 menjadi sebesar 105,98 juta. Pertambahan
yang paling banyak adalah angkatan kerja berpendidikan SMTP sebanyak
21,26 juta pada tahun 2004, menjadi 21,93 juta pada tahun 2005.
Sedangkan pada tahun 2006 jumlah angkatan kerja mencapai 107,91 juta
orang atau bertambah sebesar 1,93 juta orang dari tahun sebelumnya.
Diperkirakan struktur angkatan kerja pada tahun 2006 akan berubah
dibandingkan dengan struktur angkatan kerja 2005. Jumlah angkatan
kerja berpendidikan SD diperkirakan akan menurun dari sebesar 56,38
juta pada tahun 2005 menjadi 56,05 pada tahun 2006. Sedangkan jumlah
angkatan kerja berpendidikan lainnya terutama SMTA diperkirakan akan
bertambah dari 7,25 juta pada tahun 2005 menjadi 7,75 juta orang pada
tahun 2006.
Tabel 2.2.
Proyeksi Angkatan Kerja Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2005 -
2006 (dalam ribu) *)
Pendidikan
Tahun 2005 Tahun 2006
SD
56.384
56.051
SMTP
21.928
22.478
SMTA UMUM
14.634
14.534
S SMTA Kejuruan
7.251
7.765
Diploma
2.609
3.014
Universitas
3.483
3.969
Jumlah
105.985
107.911
*) Diolah : Depnakertrans "Sumber Rencana Tenaga Kerja Naional Tahun 2005"
3.
Lapangan Kerja menurut sektor dan daya serap
Kesempatan kerja akan tercipta dengan sendirinya apabila ada investasi
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.
Pertambahan kesempatan kerja merupakan hasil dinamika dan akselerasi
setiap sektor yang berbeda dalam melakukan rangkaian aktivitasnya,
khususnya yang berkaitan dengan kegiatan yang membutuhkan tenaga
kerja.
Pada umumnya sektor tradisional dan konvensional akan lebih ramah
terhadap penyerapan tenaga kerja dibanding sektor yang dikelola secara
modern. Oleh karena itu sektor pertanian yang dijalankan secara
tradisional masih tetap sebagai sektor unggulan yang paling banyak
menciptakan kesempatan kerja atau menyerap tenaga kerja. Seiring
dengan membaiknya indikator makro ekonomi seperti kurs rupiah, inflasi,
tingkat suku bunga sertifikat Bank Indonesia, maka diperkirakan terjadi
pertambahan kesempatan kerja. Kontribusi sektor–sektor terhadap
penciptaan lapangan kerja disajikan seperti dalam tabel berikut ini :
Tabel 2.3. Proyeksi Kesempatan Kerja Menurut Sektor dan daya serap Tahun 2005 -
2006 (dalam ribu)*)
Sektor (Lapangan Usaha)
Tahun 2005
Tahun 2006
1. Pertanian
40.793
41.164
2. Pertambangan
1.036
1.039
3. Industri
11.404
11.764
4. Listrik, Air dan Gas
236
243
5. Bangunan
4.776
5.020
6. Perdagangan dan Hotel
19.903
20.767
7. Angkutan
5.715
6.001
8. Bank dan Keuangan
1.160
1.193
9. Jasa
10.776
11.056
Jumlah
95.800
98.247
*) Sumber : Depnakertrans
Dengan asumsi laju pertumbuhan ekonomi yang diukur dari nilai PDB
pada tahun 2006 adalah sebesar 6,1% atau lebih tinggi 0,3 persen
dibanding tahun 2005. Dengan tingkat pertumbuhan tersebut, diperkirakan
akan terjadi kenaikan penciptaan kesempatan kerja secara kumulatif
sebanyak 2,45 juta atau lebih banyak dibanding tahun sebelumnya yang
hanya berjumlah 2,08 juta. Dengan demikian secara kumulatif
kesempatan kerja nasional pada tahun 2006 menjadi berjumlah 96,25 juta.
Kesempatan kerja tahun 2006, sektor pertanian masih tetap memberikan
kontribusi yang paling besar dalam penyerapan tenaga kerja sebanyak
41,16 juta (41,90%), disusul sektor perdagangan dan hotel sebanyak
20,77 juta (21,12%), kemudian sektor industri sebanyak 11,76 juta
(11,97%) dan sektor jasa sebanyak 11,06 juta ( 11,25%).
Jumlah lapangan kerja, potensi ekonomi dan sektor unggulan di daerah
menjadi salah satu pertimbangan untuk mendirikan BLK khususnya
sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja sesuai dengan
kebutuhan pasar kerja. Identifikasi poetensi ekonomi dan sektor unggulan
daerah sangat penting untuk menentukan kejuruan dan program pelatihan
yang akan dikembangkan di BLK.
4.
Prospek pembangunan ketenagakerjaan.
Pengangguran merupakan masalah nasional yang masih akan dihadapi
bangsa kita dalam lima tahun mendatang. Badan Pusat Statistik (2006)
melaporkan bahawa saat ini jumlah pengangguran mencapai 11,1 juta
orang. Komposisi tenaga kerja dapat mencerminkan kemajuan dan
kelemahan pembangunan ekonomi bangsa kita. Data terbaru
menunjukkan bahwa dari 106,3 juta angkatan kerja, sebanyak 95,2 juta
orang berstatus sebagai pekerja (BPS, 2006). Hal tersebut
mengindikasikan bahwa sektor
ekonomi non formal
lebih prospektif dari
pada
sektor formal
, karena 69, 8% angkatan kerja ternyata bekerja di
sektor non formal. Sedangkan sisanya 30,2%, bekerja di sektor formal.
Data ini juga menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia masih didominasi
sektor pertanian.
Dengan memperhatikan potensi di masing-masing daerah seperti
ketersediaan lahan, sumber daya alam, perairan, infra struktur dan posisi
strategis lainnya, maka arah kebijakan pembangunan ketenagakerjaan
punya pilihan pasar domestik maupun pasar luar negeri. Berdasarkan
kondisi pasar tenaga kerja tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dapat memfokuskan arah pembangunan ketenagakerjaan untuk :
a.
Mendorong terwujudnya investasi di bidang infra struktur dan bidang
lainnya.
b.
Menyempurnakan sistem pengembangan SDM melalui link and
match antar pendidikan umum, pendidikan profesi dan pelatihan
kerja berbasisi kompetensi.
c.
Meningkatkan infrastruktur peningkatan kompetensi tenaga kerja.
d.
Melaksanakan Program
Three In One
(Training, Certification and
Placement).
e.
Menggalakkan Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran
(GNPP) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI tahun 2005.
f.
Penyusunan perencanaan tenaga kerja yang berbasisikan sumber
daya daerah kabupaten/kota.
g.
Pengembangan Sistem dan Informasi Ketenagakerjaan Nasional dan
disosialisasikan ke tingkat kabupaten/kota.
h.
Perluasan kesempatan kerja melalui pengembangan potensi daerah
baik dalam sektor formal maupun sektor infoirmal terutama di
daerah-daerah yang potensial peningkatan jumlah pengangguran.
i.
Peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja melalui
pemanfaatan sumber daya pelatihan yang berbasis kompetensi dan
pelatihan berbais masyarakat.
j.
Mempertahankan penyerapan tenaga kerja di sektor formal dan
bidang industri dan mencegah meluasnya pemutusan hubungan
kerja
k.
Konsistensi pelaksanaan kebijakan dan program pelatihan kerja
untuk pencari kerja (job seeker) oleh lembaga pelatihan yang dikelola
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam meningkatkan
kualitas, relevansi dan kompetensi tenaga kerja sesuai dengan
kebutuhan pasar kerja.
l.
Memberikan prioritas utama pada program pelatihan yang
memberdayakan para pencari kerja (penganggur) dan pekerja
berproduktivitas rendah dalam rangka mengatasi pengangguran dan
kemiskinan.
B.
PEREKONOMIAN
1.
Pertumbuhan PDRB
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan ukuran kinerja
makro kegiatan ekonomi di suatu wilayah atau daerah. PDRB suatu
wilayah menggambarkan strukur ekonomi daerah, peranan sektor-sektor
ekonomi dan pergeserannya yang didasarkan pada PDRB atas dasar
harga berlaku. Disamping itu PDRB menunjukkan laju pertumbuhan
ekonomi baik secara total maupun persektor dengan membandingkan
PDRB tahun berjalan terhadap tahun sebelumnya menggunakan atas
dasar harga tetap.
Tabel 2.4.
Produk Domestik Regional Bruto
Tahun 2003 – 2006
Lapangan Usaha
2003
2004
2005
2006
1. Pertanian
874,86
864,02
753,96
671,74
2. Pertambangan
50,33
53,96
56,69
54,20
3. Industri Pengolahan
3.375,56
3.903,84
4.251,37
3.199,65
4. Listrik, Gas, Air Bersih
259,96
306,64
334,96
304,84
5. Bangunan
361,21
398,71
419,81
230,08
6. Perdag. Hotel & Rest
955,04
1.015,56
1.063,02
935,49
7. Pengangkutan & Kom.
274,17
294,47
304,69
300,04
8. Keu. Perw. & Js Persh
193,01
203,57
217,58
171,96
9. Jasa-jasa
453,54
472,38
481,74
472,8
PDRB
6.679,69
7.513,14
7.883,72
6.340,80
2.
Potensi Wilayah
Potensi wilayah meliputi : 1) Sumber mata pencaharian sebagian besar
penduduk di wilayah lokasi BLK yang akan didirikan (misalnya nelayan,
petani kebun, tambak ikan, pengrajin, petani sawah, dan lain-lain); 2)
Ketersediaan infrastruktur seperti sarana transportasi dan komunikasi
antara lain jalan, jembatan, jaringan telepon, listrik, kawasan industri dan
sebagainya; 3) Potensi hasil alam, pertambangan, pertanian, perkebunan;
4) Tingkat pendapatan rata-rata penduduk; 5) Sektor lapangan usaha
yang berkembang (industri, perdagangan, agribisnis, agro industri, industri
rumah tangga, kerajinan dan sebagainya).
Potensi ekonomi dan sektor unggulan daerah menjadi dasar pertimbangan
untuk menetapkan jenis kejuruan, program pelatihan dan tingkat
keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja yang tersedia.
Seluruh aspek pembangunan ekonomi yang telah tertuang dalam rencana
pembangunan ekonomi di suatu wilayah, kabupaten/kota dan provinsi
merupakan data/informasi yang penting untuk dijadikan sebagai
pertimbangan mendirikan BLK. Pembangunan ekonomi suatu daerah,
berkolerasi positif dengan tersedianya tenaga kerja yang berkualitas dan
kompeten disegala bidang atau sektor
3.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Salah satu indikator untuk mengukur kemampuan ekonomi daerah adalah
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah Pasal 6 Ayat (1) dan (2), PAD bersumber dari Pajak daerah,
Retribusi Daerah, Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Lain-lain PAD yang sah yaitu : hasil penjualan kekayaan daerah yang
tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai
tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan, ataupun bentuk
lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/jasa
oleh Daerah.
Oleh karena itu pemerintah daerah harus dapat mengelola dan
mendayagunakan sumber-sumber pendapatan daerah seoptimal mungkin
untuk meningkatkan PAD nya secara berkesinambungan, sehingga
mampu membiayai pembangunan ekonomi, sosial serta sumber daya
manusia di daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian harus dihindari dan tidak dibenarkan oleh
Undang-undang bahwa dalam meningkatkan PAD melalui penetapan PERDA yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi, menghambat mobilitas penduduk, lalu
lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan import/eksport. Semakin
tinggi PAD suatu daerah akan semakin besar peluang daerah untuk
membangun dan memberdayagunakan sumber daya nya termasuk
pengembangan SDM melalui pembanguan BLK di daerah. Tingkat
pertumbuhan PAD per tahun menunjukkan kinerja pemerintah dalam
mengelola dan mendayagunakan potensi dan aset daerah.
4.
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)
RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada
Rencana Kerja Pemerintah (RKP), memuat rancangan kerangka ekonomi
Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja dan
pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah
maupun partisipasi masyarakat. RPKD menjadi prdoman penyusunan
RAPBD. RKPD mencerminkan komitmen pemerintah daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota dalam mengalokasikan anggaran untuk
membiayai pembangunan daerah diantaranya pengembangan SDM atau
pembangunan BLK.
5.
Perkembangan APBD
Besaran APBD merupakan salah satu indikator kemampuan ekonomi
daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk membiayai pembangunan.
Peningkatan APBD setiap tahun mencerminkan kemampuan daerah
(Kabupaten/Kota) untuk mengalokasikan anggaran untuk membiayai
kegiatan pembangunan daerah.
Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia khususnya
pendirian BLK baru di daerah peningkatan APBD merupakan faktor yang
perlu dipertimbangkan karena setiap tahun pemerintah daerah harus
mengalokasikan anggaran untuk membiayai operasional kegiatan
pelatihan, pemeliharaan peralatan BLK, peremajaan pelralatan dan
biaya-biaya lainnya yang jumlahnya cukup besar secara berkesinam
bungan. Hal tersebut cukup penting untuk menjamin kelangsungan
pembiayaan operasional BLK yang akan dibangun.
C.
INFRASTRUKTUR PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Salah satu indikator tingkat perkembangan mutu sumber daya manusia adalah
tersedianya tenaga kerja terdidik dalam jumlah yang memadai. Fungsi
pendidikan sebagai pemasok tenaga kerja terdidik dapat diuji bedasarkan
kemampuannya dalam memenuhi jumlah angkatan kerja yang dibutuhkan oleh
lapangan kerja yang telah dan/atau yang diperkirakan tersedia dalam suatu
sistem ekonomi. Untuk menguji kemampuan ini diperlukan suatu perbandingan
antara persediaan angkatan kerja (
labor force
) yang dihasilkan oleh sistem
pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja dalam lapangan kerja yang ada
menurut kategori tingkat pendidikan tenaga kerja. Berikut ini disajikan tabel
isian infrastruktur pendidikan dan pelatihan, untuk melakukan penilaian
terhadap kelayakan pembangunan Balai Latihan Kerja yang diusulkan
Kabupaten/Kota.
Tabel 2.5. Jumlah Sekolah menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten / Kota
Tahun 2005 - 2007
Tingkat Pendidikan
2005
2006
2007
1. S D
2. SLTP
3. SLTA
4. SMK
5. Perguruan Tinggi
Dukungan Infrastruktur pendidikan dan pelatihan di suatu daerah
(Kabupaten/Kota) seperti SD, SLTP, SLTA (Umum dan Kejuruan) mutlak
diperlukan untuk mendirikan BLK di daerah. Karena lulusan (output) lembaga
pendidikan merupakan masukan (input) bagi lembaga pelatihan (BLK).
Daftar isian di atas diisi sesuai dengan kondisi riil tingkat pendidikan suatu
Kabupaten/Kota yang mengusulkan pembangunan Balai Latihan Kerja sebagai
dasar untuk penilaian.
D.
PEMBANGUNAN DAERAH
Pembangunan daerah merupakan proyeksi sentral dari pembangunan
nasional, artinya pembangunan setiap daerah direncanakan dan dilaksanakan
sesuai dengan keadaan daerah, kemampuan daerah untuk berkembang serta
kemajuan yang ingin dicapai.
1.
Rencana pembangunan daerah jangka
menengah dan jangka panjang
Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) daerah merupakan
penjabaran visi, misi dan program Kepala daerah yang penyusunannya
berpedoman pada RPJP daerah yang memuat arah kebijakan keuangan
daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum dan program
satuan kerja perangkat daerah dan program kewilayahan disertai dengan
rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan
yang bersifat indikatif. Rencana pembangunan jangka panjang (RPJP)
daerah memuat visi, misi dan program daerah yang mengacu pada RPJP
Nasional.
Rencana kerja pemerintah (RKP) daerah merupakan penjabaran dari
RPJM, memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas
pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya baik yang
langsung oleh pemerintah maupun masyarakat. Rencana pembangunan
BLK sebaiknya sudah dimasukkan kedalam rencana pembangunan
jangka menengah.
Rencana kerja pemerintah daerah harus diarahkan untuk mendorong
pertumbuhan investasi di daerah (PMDN & PMA), penciptaaan lapangan
kerja baru untuk menyerap tenaga kerja serta membangun infra sruktur
sesuai dengan kbutuhan pembangunan daerah.
2.
Prioritas Pembangunan Daerah
Pengembangan sumber daya manusia harus menjadi prioritas utama
melalui program peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja.
Pembangunan daerah mengandung banyak aspek dan cakupan ruang
lingkup yang luas. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan
daerah perlu menetapkan skala prioritas dengan memanfaatkan potensi
dan sumber daya secara optimal yang berorientasi pada perluasan
kesempatan kerja dan kesempatan berusaha untuk meningkatkan
produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan perluasan
kesempatan kerja dan peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja
perlu menjadi skala prioritas untuk menanggulangi pengangguran dalam
kerangka pembangunan daerah. Sebagai contoh suatu daerah yang
memiliki potensi di sektor pertanian dapat mengembangkan agro industri
sebagai unggulan atau skala prioritas. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi
produk olahan dari komoditas dasar seperti karet, CPO/kelapa sawit, kopi
dan sebagainya. Identifikasi produk olahan ini diharapkan melahirkan
beberapa industri yang kemudian membutuhkan tenaga kerja untuk
pengolahannya. Kebijakan ini juga sebaiknya diikuti dengan menentukan
jenis-jenis keterampilan atau kompetensi yang dapat menunjang proses
industrialisasi agro industri tersebut. Selain itu peranan industri rumah
tangga dan industri kecil dalam penyerapan tenaga kerja sangat penting.
Untuk itu pemerintah daerah perlu mendorong dan memfasilitasi
peningkatan investasi kepada usaha-usaha yang sarat terhadap perluasan
kesempatan kerja.
Namun bagi daerah otonom yang lain dapat juga menjadikan daerah non
industri dan non pertanian bertumpu pada komoditi unggulan yang ada
disektor jasa, seperti pariwisata atau daerah dengan pusat-pusat
perdagangan. Penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kualitas
angkatan kerja harus diarahkan kepada peningkatan keterampilan dan
profesionalisme yang mendukung pengembangan komoditi unggulan
sektor jasa tersebut.
3.
Kebutuhan tenaga kerja kompeten
Kebutuhan tenaga kerja kompeten didasarkan pada pemikiran bahwa
tenaga kerja dalam masyarakat merupakan salah satu faktor yang
potensial untuk pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Kesempatan
kerja yang tersedia dan kualitas tenaga kerja yang digunakan akan
menentukan proses pembangunan ekonomi, dalam arti tenaga kerja
merupakan sumber daya untuk menjalankan proses produks, barang dan
jasa. Kebutuhan tenaga kerja kompeten tergantung dari kesempatan Kerja
dalam perekonomian. Kebutuhan tenaga kerja dapat dirinci menurut umur,
jenis kelamian, sektor, jenis pekerjan utama, status pekerjaan dan tingkat
pendidikan.
Pendirian BLK baru di daerah harus didasarkan pada suatu kondisi bahwa
daerah Provinsi/Kabupaten/Kota benar-benar memerlukan tenaga kerja
kompeten yang didasarkan pada :
a.
Investasi yang masuk baik PMDN maupun PMA ke daerah
bersangkutan atau menurut pertumbuhan sektor atau lapangan
usaha sebagai prasyarat untuk menyusun program pelatihan yang
berbasis kompetensi. Karena kebijakan pembangunan
ketenagakerjaan diarahkan kepada terwujudnya tenaga kerja yang
kompeten, mandiri dan berdaya saing tinggi sesuai dengan
kebutuhan pasar kerja. Sehingga keberadaan BLK di daerah harus
terkait dengan pertumbuhan ekonomi daerah yang secara otomatis
memerlukan tenaga kerja kompeten serta jumlah angkatan kerja
atau penganggur yang memerlukan pelatihan keterampilan.
b.
Hasil Analisis Kebutuhan Pelatihan (Training Need Analysis).
c.
Sumber daya pelatihan terdiri dari program-kurikulum pelatihan
(software) sarana dan prasarana (hardware) dan SDM pelatihan
(brainware).
d.
Berdasarkan Hasil analisis kebutuhan pelatihan diketahui jumlah dan
kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan di suatu daearh yang
dapat dijadikan sebagai pertimbangan acuan untuk menyusun
program pelatihan.
e.
Identifikasi kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh pasar kerja di
daerah ( sektor atau lapangan usaha) terutama jenis dan tingkat
kompetensi yang dibutuhkan oleh pembangunan/pasar kerja.
E.
SYARAT UMUM PEMBANGUNAN BLK.
1.
Kebutuhan Tenaga Kerja Kompeten untuk Pembangunan Daerah
Kebutuhan tenaga kerja adalah jumlah lapangan kerja dalam satuan
orang yang dapat disediakan oleh seluruh sektor ekonomi dalam kegiatan
produksi. Kebutuhan ini tidak hanya menyangkut jumlahnya, tetapi juga
kualitasnya (kompetensinya).
Kebutuhan tenaga kerja kompeten didasarkan pada pemikiran bahwa
tenaga kerja dalam masyarakat merupakan salah satu faktor yang
potensial untuk pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Kesempatan
kerja yang tersedia dan kualitas tenaga kerja yang digunakan akan
menentukan proses pembangunan ekonomi, dalam arti tenaga kerja
merupakan sumber daya untuk menjalankan proses produksi, barang dan
jasa. Kebutuhan tenaga kerja kompeten tergantung dari kesempatan Kerja
dalam perekonomian. Kebutuhan tenaga kerja dapat dirinci menurut umur,
jenis kelamin, sektor, jenis pekerjaan utama, status pekerjaan dan tingkat
pendidikan.
Pendirian BLK baru di daerah harus didasarkan pada suatu kondisi bahwa
daerah Provinsi/Kabupaten/Kota benar-benar memerlukan tenaga kerja
kompeten yang berpedoman pada :
a.
Investasi yang masuk baik PMDN maupun PMA ke daerah
bersangkutan atau menurut pertumbuhan sektor atau lapangan
usaha sebagai prasyarat untuk menyusun program pelatihan yang
berbasis kompetensi. Karena kebijakan pembangunan
ketenagakerjaan diarahkan kepada terwujudnya tenaga kerja yang
kompeten, mandiri dan berdaya saing tinggi sesuai dengan
kebutuhan pasar kerja. Sehingga keberadaan BLK di daerah harus
terkait dengan pertumbuhan ekonomi daerah yang secara otomatis
memerlukan tenaga kerja kompeten serta jumlah angkatan kerja
atau penganggur yang memerlukan pelatihan keterampilan.
b.
Kualifikasi tenaga kerja baik jenis dan tingkat kompetensi yang
sesuai dengan kebutuhan pasar kerja di daerah (sektor atau
lapangan usaha).
2.
Kebutuhan pelatihan dan ketersediaan input pelatihan
2.1. Kebutuhan pelatihan
Kebutuhan pelatihan tumbuh dan berkembang dalam jenis maupun
jumlahnya, sejalan dengan perubahan struktur kebutuhan tenaga
kerja sebagai dampak globalisasi dan perubahan struktur ekonomi
dan industri serta pertambahan angkatan kerja dan jumlah
pengangguran yang cenderung meningkat secara tajam.
Pelatihan adalah bagian integral dari pengembangan sumber daya
manusia. Pelatihan sebagai salah satu jalur peningkatan kualitas
SDM akan semakin penting perannya dalam menciptakan tenaga
kerja kompeten. Agar kualitas lulusan (output) lembaga pelatihan
(BLK) mempunyai relevansi dengan kebutuhan pasar kerja, maka
rancangan program pelatihan perlu dibuat sefleksibel mungkin
sehingga lebih mudah untuk menyesuaikan dengan perubahan
dunia kerja yang dinamis dan cepat berubah. Program pelatihan
harus disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan pelatihan
(Tarining Need Analisis) sehingga benar-benar sesuai dengan
kebutuhan pasar kerja. Dalam menyusun TNA harus melakukan
kerjasama dengan perusahaan/industri sebagai pengguna lulusan
pelatihan.
Bagi daerah yang membangun BLK baru, dapat melakukan hal-hal
sebagai berikut :
a.
Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan.
Identifikasi kebutuhan pelatihan sangat diperlukan untuk
memenuhi tambahan kebutuhan tenaga kerja. Adapun
kebuthan tambahan tenaga kerja tersebut timbul karena
adanya kebutuhan untuk meningkatkan program pembangunan
di semua sektor terkait. Umumnya kondisi daerah yang akan
mengembangkan pembangunan daerah, biasanya diikuti
dengan pertambahan kebutuhan tenaga kerja dan yang
tersedesia belum tentu sesuai atau dapat memenuhi
persyaratan jabatan / pekerjaan. Keadaan inilah yang dapat
menjadi acuan kelayakan pendirian BLK di daerah
.
Pengembangan informasi ketenagakerjaan kabupaten/kota
meliputi data dan informasi tenaga kerja dan informasi Pasar
Kerja (IPK). Identifikasi dapat dilakukan dengan :
1)
Menyebarluaskan kuesioner ke perusahaan atau unit
usaha kecil menengah untuk mengumpulkan data dan
informasi tentang kebutuhan pelatihan;
2)
Melakukan observasi langsung ke perusahaan/industri;
3)
Interview (wawancara) dengan karyawan/pejabat yang
terkait dan kompeten;
4)
Mengadakan seminar, workshop untuk menghimpun
masukan-masukan tentang kebutuhan jabatan atau
kesempatan kerja di perusahaan;
5)
Penyusunan identifikasi kebutuhan pelatihan.
b.
Menyusun Kebutuhan Pelatihan
Berdasarkan hasil identifikasi pelatihan tadi disusun kebutuhan
pelatihan yang menjadi acuan dalam penyusunan program
pelatihan yang berbasis kebutuhan pasar atau berbasis
kompetensi.
2.2. Ketersediaan input pelatihan
Input pelatihan yang paling penting adalah angkatan kerja yaitu
tenaga kerja yang sedang bekerja untuk meningkatkan kompetensi
dan produktivitasnya maupun penganggur/pencari kerja untuk
membekali keterampilan/kompetensi agar mudah memperoleh
pekerjaan. Selain itu orang yang memerlukan pelatihan karena ingin
menyesuaikan dengan persyaratan jabatan yang baru (adjusment
training).
Semua angkatan kerja aktif dan potensial baik yang berpendidikan
atau lulusan sekolah dari segala jenis dan tingkat pendidikan yang
putus sekolah dapat mengikuti program pelatihan setelah melalui
seleksi. Setiap bidang dan tingkat program platihan, memerlukan
persyaratan tertentu seperti bakat, minat dan sebagainya.
Dalam membangun Balai Latihan Kerja harus dapat menjamin
tersedianya input pelatihan secara berkesinambungan. Sehubungan
dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu melakukan :
a. Pendataan jumlah dan komposisi Angkatan Kerja di daerah dan
kecenderungan pertambahannya seiring dengan proses
demografi menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan, umur,
jenis kelamin kabupaten perkotaan-pedesaan.
b. Pendataan jumlah penganggur menurut tingkat pendidikan yang
ditamatkan, umur, jenis kelamin, kabupaten
perkotaan-pedesaan.
Data-data tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dan bahan
pertimbangan untuk kelayakan mendirikan BLK di daerah
bersangkutan.
3.
Potensi daerah mendukung
Dalam kerangka pembangunan daerah, faktor potensi yang mendukung
atau dukungan Infrastruktur perlu dipertimbangkan sebagai salah satu
prasyarat pembangunan BLK, sebagai berikut :
a.
Kebijakan daerah dalam bentuk peraturan daerah (PERDA) yang
mendukung pengembangan SDM di daerah termasuk
kelembagaan pelatihan & BLK;
b.
Tersedianya sarana dan prasarana pisik lainnya antara lain sarana
transportasi, komunikasi;
c.
Dukungan kelembagaan dari asosissi pelatihan, asosiasi profesi,
Kadinda, dan asosiasi lainnya;
d.
Dukungan dari stakeholder antara lain perusahaan-perusahaan dan
pengguna jasa pelatihan.
4.
Kemampuan Anggaran Daerah
Pembangunan BLK memerlukan jumlah biaya/anggaran yang sangat
besar yang digunakan untuk membangun sarana dan prasarana
pelatihan yaitu gedung perkatoran, bengkel, pengadaan dan
pemeliharaan peralatan (mesin dan sarana lainnya) asrama, sarana
lainnya serta biaya operasional dan pelatihan secara berkesinambungan,
pengembangan SDN Instruktur dan tenaga kepelatihan dan sebagainya.
Untuk itu kemampuan keuangan dan anggaran daerah mutlak diperlukan
untuk membiayai baik pengadaan sarana dan prasaran maupun anggaran
operasional dan pemeliharaan yang jumlahnya cukup besar untuk setiap
BLK. Oleh karena itu pemerintah daerah harus mengalokasikan
anggaran melalui APBD untuk membiayai BLK secara berkesambungan.
5.
Prospek pembangunan ketenagakerjaan
Perekonomian Indonesia tahun 2005 menunjukan perkembangan yang
semakin mantap dibandingkan dengan tahun 2004. Pertumbuhan
ekonomi tahun 2004 yaitu sebesar 5,1 persen dan menjadi 5,7 persen
pada tahun 2005 dan 6,2 persen tahun 2006.
Nilai produk domestik bruto (PDB) tahun 2006 mencapai Rp.1.864 triliun
dengan peningkatan sekitar Rp.108 triliun dibandingkan dengan PDB
tahun 2005 yang sebesar Rp.1.756 triliun. Pertumbuhan ekonomi 2006
masih bertumpu pada sektor-sektor utama seperti industri pengolahan,
sektor bangunan, pengangkutan, keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan.
Tabel 2:6 : Perkiraan produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha Tahun
2005/2006 Atas dasar Harga Konstan tahun 2000 (Miliar Rupiah)
NO
Lapangan Usaha
2004**
2005***
2006***
1
Pertanian, Peternakan, Kehutanan
dan Perikanan
252,95
262,57
272,81
2
Pertambangan dan Pengggalian
160,65
162,26
165,51
3
Industri Pengolahan
469,12
500,55
535,59
4
Listrik, Gas dan air Bersih
11,07
11,72
12,45
5
Bangunan
97,47
105,26
114,21
6
Pedagangan,Hotel dan Restoran
271,81
282,07
304,87
7
Angkutan,Penggudangan
dan
Komunikasi
95,77
104,87
115,36
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa
perusahaan
150,94
162,71
176,05
9
Jasa-jasa
151,44
159,01
167,28
Produk Domestik Bruto
1.660,58
1.756.01
1.864.11
Pertumbuhan PDB
5,1
5,7
6,2
Keterangan : **) Sumber BPS (Angka Sangat Sementara)
***) Proyeksi PDB
Jumlah penduduk usia kerja tahun 2005 mengalami pertumbuhan yaitu
2.456 orang sehingga jumlah penduduk usia kerja menjadi 156.380
orang. Sedangkan pada tahun 2006 pertambahan sebanyak 4.179
sehingga penduduk usia kerja menjadi 160.550. Pada tahun 2005
terdapat pertambahan penduduk usia kerja sebanyak 2.456 orang.
Jumlah PUK atau penduduk yang berusia 15 tahun keatas kelompok tua
(55 ke atas) lebih didominasi tinggal di pedesaan (61,03%). Jumlah PUK
kelompok dewasa (25-54 tahun) lebih banyak tinggal di pedesaan dari
pada di perkotaan masing-masing berjumlah 49,82 juta dan 40,47 juta
orang. Sedangkan jumlah PUK atau penduduk yang berusia 15 tahun
masih didominasi berpendidikan SD ke bawah terutama yang tinggal di
pedesaan sekitar 36, 90 persen, yang berpendidikan tinggi hanya 0,49
persen dari total nasional.
Secara nasional penduduk umur 15 ke atas yang tinggal di Pulau Jawa
lebih besar (60,61%) dibanding pulau yang lain. Di Pulau Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan lainnya penduduk berumur 15 tahun ke atas
lebih banyak tinggal di pedesaan dengan jumlah rata-rata 2 kali penduduk
berumur 15 tahun ke atas di perkotaan. Sehubugan dengan hal tersebut,
pembangunan BLK di masing-masing daerah harus disesuaikan dengan
potensi pertambahan penduduk, antara lain penduduk menurut usia
kerja dan pendidikan, karena penduduk usia kerja merupakan maukan
(input) bagi lembaga pelatihan.
Tabel 2:7a. Penduduk Usia Kerja menurut Golongan Umur dan Desa – Kota
Tahun 2005
Golongan
Umur
Desa
Kota
Jumlah
15-24
22.743.032
19.573.500
42.315.532
25-34
20.630.899
17.641.387
38.272.286
35-44
17.284.868
13.677.633
30.962.501
45-54
11.906.122
9.155.296
21.061.418
55 >
13.997.476
8.939.511
22.936.987
Jumlah
86.562.397
68.987.327
155.549.724
Sumber :BPS,Sakernas Februari 2005 (data diolah Balitfo)
Tabel 2:7b. Penduduk Usia Kerja menurut Pendidikan dan Desa – Kota Tahun 2005
Pendidikan
Desa
Kota
Jumlah
< SD
57.401.309
25.585.807
82.987.116
SMTP
18.594.357
17.284.639
35.878.996
SMTA
9.031.178
20.965.899
29.997.077.
Akademi/Dip.
834.181
2.090.635
2.924.816
Universitas
701.372
3.060.347
3.761.719
Jumlah
86.562.397
68.087.327
155.549.724
Sumber :BPS,Sakernas Februari 2005 (data diolah Balitfo)
Tabel 2:7c. Penduduk Usia Kerja menurut Pulau dan Desa – Kota Tahun 2005
PULAU
Desa
Kota
Jumlah
Sumatera
19.777.071
11.279.295
31.056.366
Jawa
46.600.327
47.673.188
94.273.515
Kalimantan
5.064.656
3.071.412
8.136.068
Sulawesi
7.710.187
3.293.003
11.003.200
Papua
1.255.394
409.004
1.664.398
Dll
6.154.752
3.261.425
9.416.177
Jumlah
86.562.397
68.087.327
155.549.724
Sumber :BPS,Sakernas Februari 2005 (data diolah Balitfo)
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) secara umum semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya umur. TPAK menurut umur
akan mulai meningkat pada usia 25 tahun dan mencapai nilai tertinggi
sampai umur 55 tahun. Rata-rata nilai TPAK pada tahun 2005 menurut
golongan umur meningkat menjadi sebesar 67,81%, sedangkan pada
tahun 2006 menurun menjadi 67,55%.
Struktur TPAK menurut pendidikan akan mengalami perubahan terutama
TPAK lulusan SMTP yang pada tahun 2004 hanya 59,66% meningkat
menjadi 50,38% pada tahun 2005. Sedangkan TPAK lulusan tingkat
pendidikan lainnya menurun, terutama TPAK lulusan Diploma menurun
dari 84,76% tahun 2004 menjadi 84,11% pada tahun 2005. Namun TPAK
pada tahun 2006 meningkat, yaitu TPAK lulusan SMTP dari 60,38%
(2005) menjadi 60,95% (2006).
Pada tahun 2005 jumlah angkatan kerja bertambah sebesar 1,16 juta
atau dari sebanyak 65,93 juta pada tahun 2004, menjadi 65,93 juta pada
tahun 2005. Angkatan Kerja pada tahun 2006 meningkat sebanyak 1,19
juta atau sebanyak 107,91 juta, dengan struktur yang tidak berbeda
dibandingkan dengan periode tahun 2004-2005. Jumlah angkatan kerja
berpendidikan SD menurun dari 45,38 juta pada tahun 2005 menjadi
sebesar 56,05 pada tahun 2006. Sedangkan jumlah angkatan kerja
berpendidikan lainya akan meningkat. Jumlah angkatan kerja yang
bertambah secara signifikan adalah yang berpendidikan SMTA kejuruan
yaitu sebesar 7,25 juta pada tahun 2005 menjadi 7,76 juta tahun 2006.
Kesempatan kerja mencakup lapangan pekerjaan yang sudah diisi dan
semua lapangan pekerjaan yang belum diisi. Perkiraan kesempatan kerja
harus memuat dua aspek yaitu aspek kuantitas dan kualitas. Perkiraan
kesempatan kerja merupakan indikasi perkiraan kebutuhan tenaga kerja
oleh setiap sektor ekonomi yang bermanfaat sebagai masukan dan
evaluasi bagi perencanaan pendidikan dan pelatihan, sehingga luaran
(output)nya sesuai dengan kebutuhan pasar kerja atau tuntutan syarat
pekerjaan.
Kesempatan kerja pada tahun 2005 akan naik menjadi 95,80 juta, atau
dengan laju pertumbuhan sebesar 2,33% dari tahun sebelumnya.
Kemudian tahun 2006, jumlah angkatan kerja menjadi 98,25 juta atau
bertambah sebesar 2,55% dari tahun 2005. Berikut disajikan Proyeksi
Kesempatan Kerja menurut pendidikan Tahun 2005 - 2006 (dalam ribu).
Tabel 2:8. Proyeksi Kesempatan Kerja menurut Pendidikan Tahun 2005 - 2006
(dalam ribu)
Pendidikan
2005
2006
1. SD
52.766
52.626
2. SMTP
19.824
21.276
3. SMTA Umum
11.921
12.493
4. SMTA Kejuruan
6.030
6.167
5. Diploma
2.176
2.313
6. Universitas
3.083
3.371
Jumlah
95.800
98.247
Sumber : Balitfo Depnakertrans "Rencana Tenaga Kerja Nasional (2006)