• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pajanan Formaldehid Akut per Oral terhadap Gambaran Sel Piramidal Korteks Seberi Tikus Putih Galur Wistar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Pajanan Formaldehid Akut per Oral terhadap Gambaran Sel Piramidal Korteks Seberi Tikus Putih Galur Wistar"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

Pengaruh Pajanan Formaldehid Akut per Oral terhadap Gambaran Sel Piramidal Korteks Seberi Tikus Putih Galur Wistar

Abidah Bazlinah Dermawan1, Heru Fajar Trianto2, Andriani3, Mistika Zakiah2 1

Program Studi Pendidikan Dokter, FK UNTAN 2

Departemen Histologi Medik, PSPD FK UNTAN 3

Departemen Biokimia Medik, PSPD FK UNTAN Abstrak

Latar Belakang. Formaldehid banyak disalahgunakan sebagai bahan pengawet makanan dan beredar luas dimasyarakat.. Penggunaan formaldehid berlebihan dapat menyebabkan kerusakan berbagai jaringan, termasuk otak. Metodologi. Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap posttest only control group design. Dua puluh lima tikus jantan galur wistar dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kontrol normal (K(N)); perlakuan 1 (P1); perlakuan 2 (P2); perlakuan 3 (P3); dan perlakuan 4 (P4). Kelompok perlakuan diberikan akuades 1,5 ml, formaldehid dosis 25, 50, 100, dan 200mg/kgBB selama 14 hari. Setelah perlakuan, hewan coba dimatikan dan dibuat preparat histologi otak dengan pewarnaan Hematoksilin- Eosin. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop cahaya pada perbesaran objektif 40x. Variabel data adalah rerata jumlah sel piramidal normal dan rusak. Data dianalisis menggunakan Kruskal Wallis dan dilanjutkan Post hoc Mann- Whitney Test. Hasil. Analisis menunjukkan terdapat penurunan signifikan rerata jumlah sel piramidal normal dan peningkatan signifikan rerata jumlah sel piramidal rusak pada kelompok perlakuan terhadap kelompok kontrol normal setelah pajanan formaldehid akut per oral. Perubahan gambaran sel piramidal yang ditemukan berupa penyusutan badan sel, piknosis nukleus, hilangnya substansi Nissl dan sitoplasma eosinophilia. Kesimpulan. Pajanan formaldehid akut per oral menyebabkan perubahan gambaran sel piramidal pada korteks serebri.

Background. Formaldehyde was used in the wrong way to preserve food and widely used in society. Excessive consumption of formaldehyde resulted in damage to various tissues, including brain. Method. This study was an experimental study with a randomized and posttest only control group design. Twenty-five male wistar rats were divided into five groups: normal control group, treatment group 1, 2, 3, and 4. Treatment groups were given aquadest 1,5ml and formaldehyde at a rate of 25, 50, 100, and 200 mg/kgBW/day for 14 days. At the end of the treatment, the brain tissue samples were dissected into microscopic preparations and stained with H&E and observed under light microscopic with a magnification of 40x objective lens. Measured variables include normal and abnormal pyramidal cells. Data were analyzed using Kruskal Wallis Test and followed by Mann-Whitney Test. Result. The analysis showed that there were significant decrease in the average number of normal pyramidal cells and there were significant increase in the average number of abnormal pyramidal cells between treatment groups and normal control group (p<0,05). Histological changes were observed including cell body shrinkage, pyknotic nucleus, loss of Nissl substance and intensely stained eosinophilic cytoplasm.

Conclusion. Acute oral formaldehyde exposure resulted in histological changes of cerebral cortex pyramidal cells.

(2)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

PENDAHULUAN

Perkembangan pengolahan pangan saat ini makin beragam. Namun seiring dengan perkembangan teknik pengolahan pangan yang sangat pesat, penambahan bahan-bahan aditif pada produk pangan sulit untuk dihindarkan, salah satunya adalah dengan pemakaian berbagai macam bahan pengawet. Salah satu bahan pengawet makanan yang sering digunakan oleh masyarakat akhir-akhir ini adalah formalin1.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada tahun 2006 mengemukakan bahwa dari sejumlah sampel yang diambil di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan penyalahgunaan formalin2. Laporan hasil sampling dan uji bahan makanan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Kalimantan Barat pada tahun 2013 dan 2014, ditemukan berbagai jenis tahu, mie kuning dan mie putih, ikan gembung, bihun jagung, manisan nanas, dan buah ceri merah postif mengandung formalin

di beberapa pasar tradisional yang dijadikan percontohan di wilayah Pontianak dan Mempawah3,4.

Konsumsi formaldehid memberikan efek negatif terhadap kesehatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa formaldehid menginduksi efek neurotoksik terutama pada neuron korteks5,6.Penelitian yang dilakukan oleh Malek et al (2003), dipaparkan bahwa asam format ditemukan di cairan cerebrospinalis (CSF), karena senyawa ini dengan mudah menembus sawar darah otak (blood-brain barrier), dan dengan demikian mempengaruhi neuroglia dan sel neuron7. Morawietz et al (2004) menyatakan bahwa salah satu area di otak yang diketahui rentan terhadap neurotoksisitas adalah korteks serebri8. Korteks serebri memiliki peran penting sebagai pusat belajar, memori, integrasi sensorik, analisa informasi, dan inisiasi dari respon motorik. Korteks serebri manusia mengandung miliaran neuron yaitu sekitar (1010) sel-sel saraf9,10.

(3)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

Sel saraf yang paling banyak adalah sel piramidal dan merupakan sel yang mudah diamati secara mikroskopik11.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin mengetahui tentang pengaruh pajanan formaldehid akut per oral terhadap gambaran sel piramidal korteks serebri tikus putih galur wistar .

METODE

Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan eksperimental murni yang dilakukan secara in vivo dengan rancangan penelitian

post test only.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain adalah sonde, gelas kimia, kaca objek, mikroskop, mikrotom, bak bedah, alat bedah minor, staining jar, dan piranti komputer

ImageJ dan AxioCam.

Bahan perlakuan antara lain adalah formalin 37%, akuades, dan eter. Bahan pemeriksaan histopatologis

antara lain adalah formalin buffer 10%, alkohol (70%, 80%, 90%, 95%), alkohol absolut, larutan xilol, parafin cair, dan pewarna Hematoksilin dan Eosin (HE).

Prosedur Penelitian

Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar sebanyak 25 ekor dibagi ke dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol normal (K(N)), perlakuan 1 (P1), perlakuan 2 (P2), perlakuan 3 (P3) dan perlakuan 4 (P4). Hewan uji memiliki kriteria umur 2-3 bulan dan berat badan 150-250 g. Tikus diberi minum dan makan pakan standar ad libitum. Selanjutnya, kelompok kontrol normal diberikan 1,5 ml akuades sedangkan pada kelompok perlakuan diberikan formaldehid per oral dalam dosis bertingkat masing-masing 25, 50, 100, dan 200 mg/kgBB selama 14 hari. Setelah itu hewan uji dimatikan dengan cara dimasukkan ke dalam wadah tertutup

(4)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

berisi eter jenuh. Selanjutnya dilakukan pembedahan untuk pengambilan jaringan otak dan dibuat preparat histologis dengan ketebalan irisan 3 m menggunakan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE).

Pengamatan dilakukan dengan teknik double blinded di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x pada sepuluh lapang pandang. Sel piramidal normal dan rusak dihitung pada lapisan piramidal korteks serebri. Perhitungan jumlah sel dilakukan dengan aplikasi imageJ. Data rerata jumlah sel piramidal masing-masing kelompok kemudian diolah dengan menggunakan software SPSS (version 23). Pengujian data dilakukan dengan uji

Kruskal Wallis dan dilanjutkan dengan uji

Mann-Whitney.

HASIL

Pengamatan histologis dilakukan pada setiap kelompok. Hasil pengamatan gambaran histologis dalam penelitian ini

bervariasi, antara lain sel piramidal normal ditandai dengan badan sel yang relatif besar, nukleus dengan nukleoli yang jelas, dan terdapat substansi Nissl, sedangkan sel piramidal rusak yang ditandai dengan terjadinya perubahan gambaran morfologi sel piramidal berupa penyusutan badan sel, piknosis nukleus, hilangnya substansi Nissl dan sitoplasma eosinophilia.

Rerata Jumlah Sel Piramidal Normal Hasil menunjukkan rerata jumlah sel piramidal normal dari setiap kelompok. Dapat diketahui bahwa kelompok kontrol normal memiliki rerata jumlah sel piramidal normal tertinggi, dan kelompok perlakuan 4 memiliki rerata jumlah sel piramidal normal terendah dibandingkan dengan kelompok lain. Hasil analisa uji normalitas data dan homogenitas varian menunjukkan terdapat kelompok yang distribusi datanya tidak normal (p<0,05) dan variasi data tidak normal (p<0,05). Data dianalisis menggunakan uji Kruskal

(5)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017 Wallis dan dilanjutkan uji Mann-Whitney

sebagai uji alternatifnya. Analisis data dengan uji Kruskal Wallis menunjukkan paling tidak terdapat dua kelompok yang mempunyai perbedaan rerata jumlah sel piramidal rusak yang bermakna pada kelompok penelitian (p<0,05).

Hasil menunjukkan, rerata jumlah sel piramidal normal pada kelompok kontrol normal (K(N)) yaitu sebesar 38,47±1,26; kelompok perlakuan 1 (P1) sebesar 17,92±3,24; kelompok perlakuan 2 (P2) sebesar 10,44±5,81; kelompok perlakuan 3 (P3) sebesar 2,06±0,27; dan kelompok perlakuan 4 (P4) sebesar 1,9±0,74. Rerata jumlah sel piramidal normal mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya dosis formaldehid yang diberikan. Rerata jumlah sel piramidal normal secara statistik memiliki perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan terhadap kelompok kontrol normal (Post Hoc Test Mann-Whitney,

p<0,05).

Rerata Jumlah Sel Piramidal Rusak Hasil menunjukkan bahwa kelompok kontrol normal memiliki rerata jumlah sel piramidal rusak terendah, dan kelompok perlakuan 4 memiliki rerata jumlah sel pyramidal rusak tertinggi dibandingkan dengan kelompok lain. Hasil analisa uji normalitas data dan homogenitas varian menunjukkan data terdistribusi normal (p>0,05) tetapi variasi data tidak normal (p<0,05). Data dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis dan dilanjutkan uji Mann-Whitney

sebagai uji alternatifnya. Analisis data dengan Kruskal Wallis Test menunjukkan paling tidak terdapat dua kelompok yang mempunyai perbedaan rerata jumlah sel piramidal rusak yang bermakna pada kelompok penelitian (p<0,05).

Hasil rerata kerusakan sel piramidal yang diperoleh yaitu pada kelompok kontrol normal (K(N)) sebesar 28,45±2,62; kelompok perlakuan 1 (P1) sebesar 52,2±7,42; kelompok perlakuan 2 (P2) sebesar 58,42±0,76; kelompok

(6)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

perlakuan 3 (P3) sebesar 62,77±4,78; kelompok perlakuan 4 (P4) sebesar 73,97±4,55. Rerata jumlah sel piramidal rusak meningkat seiring dengan bertambahnya dosis formaldehid yang diberikan. Rerata jumlah sel piramidal rusak secara statistik memiliki perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan terhadap kelompok kontrol normal (Post Hoc Test Mann- Whitney,

p<0,05).

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pemberian pajanan formaldehid akut secara oral terhadap hewan coba dengan dosis bertingkat yaitu 25 mg/kgBB, 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB. Dosis yang diberikan ini jika dikonversikan setara dengan 0,56 mg, 1,68 mg, 2,08 mg dan 5,6 mg pada manusia dengan berat badan 70 kg. Menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety) dosis ini melebihi toleransi tubuh terhadap formaldehid

yang diterima secara oral yaitu sebesar 0,2 mg/hari12. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan sel piramidal pada korteks serebri hewan coba akibat efek neurotoksik formaldehid yang dipajan dengan dosis yang melebihi toleransi tubuh. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya perubahan gambaran sel piramidal pada korteks serebri hewan coba.

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan menghitung sel piramidal normal dan sel piramidal rusak pada korteks serebri hewan coba. Hasil uji statistik sel piramidal normal menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol normal terhadap kelompok perlakuan, yang mana kelompok kontrol normal memiliki rerata sel piramidal normal tertinggi, dan kelompok perlakuan 4 memiliki rerata sel piramidal normal terendah dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini

(7)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

menunjukkan bahwa terjadi penurunan rerata sel piramidal normal secara bertahap seiring dengan bertambahnya dosis formaldehid yang diberikan pada kelompok perlakuan.

Pengamatan pada hasil uji statistik sel piramidal rusak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol normal terhadap kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan 4 memiliki rerata kerusakan tertinggi dan kelompok kontrol normal memiliki rerata kerusakan terendah. Hal ini menunjukkan bahwa pajanan formaldehid akut yang diberikan secara oral dapat mengakibatkan kerusakan sel piramidal secara bertahap seiiring dengan bertambahnya dosis yang diberikan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Laymena (2012) yang menyatakan bahwa terdapat perubahan gambaran histologis sel otak tikus wistar setelah dipajan formaldehid secara oral selama 12 minggu pada dosis bertingkat yaitu

50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB13.

Hasil penelitian ini menunjukkan pada kelompok kontrol normal yang tidak dipajan formaldehid juga ditemukan kerusakan sel piramidal. Hal ini diduga dapat terjadi akibat adanya faktor stress yang dialami oleh hewan coba yang berkaitan dengan perlakuan fisik saat pemberian formaldehid dengan sonde, saat menimbang hewan coba, kondisi lingkungan hewan coba dan interaksi hewan coba di dalam kandang dimana dalam satu kandang terdapat 5 hewan coba. Menurut Balcombe, dkk14, prosedur laboratorium noninvansif seperti handling, lifting, dan saat membersihkan atau memindahkan kandang hewan coba dapat berpotensi mengubah parameter fisiologis terkait stres secara signifikan seperti konsentrasi kortikosteron, glukosa, prolaktin, frekuensi jantung, tekanan darah, dan perilaku pada hewan coba.

(8)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

Respon stres pada tikus percobaan terkait kondisi lingkungan dapat diinduksi oleh berbagai hal seperti kepadatan ruang, kondisi kandang, intensitas pencahayaan, temperatur ruangan yang terlalu tinggi atau rendah, dan tingkat kebisingan14.

Kondisi stress dapat menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah dan reaktifitas vasomotor, sehingga metabolisme otak dapat terganggu dan akan mempengaruhi neuron otak, termasuk sel piramidal melalui kaskade iskemik15-17. Pada keadaan stress, kelenjar adrenal akan menghasilkan adrenalin dan melepaskan kortisol. Pada kondisi stress yang terjadi terus menerus menyebabkan kadar kortisol menetap dalam jumlah besar. Akumulasi berlebihan hormon kortisol di otak inilah yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sel piramidal meskipun tanpa diberikan pajanan formaldehid18-19.

Formaldehid, setelah administrasi, secara cepat berdifusi ke banyak jaringan, termasuk otak. Pada studi

postmortem formaldehid dan metabolitnya, metanol dan asam format, ditemukan pada konsentrasi yang sama di otak20. Mekanisme neurotoksisitas formaldehid belum dijelaskan secara rinci. Metabolit formaldehid yaitu asam format dapat melewati blood- brain barrier yang dapat mengakibatkan toksisitas sistem saraf pusat21. Hal ini juga dinyatakan oleh Shcherbakova et al

(1986) bahwa terjadi peningkatan konsentrasi formaldehid dua kali lipat di jaringan otak dan tiga kali lipat di CSF setelah diberikan injeksi intra-arterial formaldehid. Penelitian lain menyebutkan bahwa formaldehid bebas dalam jumlah sedikit dapat mencapai sistem saraf pusat dan berinteraksi langsung dengan sel-sel neuron22.

Kerusakan sel piramidal pada korteks serebri terjadi akibat efek neurotoksik dari pajanan formaldehid yang berlebihan. Hal ini telah dilaporkan oleh beberapa penelitian, diantaranya penelitian oleh Arici et al

(9)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

(2014) yang menyatakan bahwa terjadi kerusakan neuronal akibat proses apoptosis pada korteks dan hippocampus otak kelinci yang diberikan pajanan formaldehid akut secara oral23.

Penelitian oleh Songur et al

(2003) menunjukkan neurotoksisitas formaldehid yang mana terjadi peningkatan jumlah neuron piknotik pada lapisan sel piramidal hippocampus tikus yang dipajan forlmaldehid secara inhalasi pada dosis 6 ppm dan 12 ppm24. Efek neurotoksik formaldehid juga ditunjukkan oleh Zararsiz et al (2007) yang menyatakan bahwa terjadi kerusakan oksidatif yang dibuktikan dengan menurunnya kadar SOD dan GSH-Px (enzim antioksidan oksidatif), sebaliknya terjadi peningkatan kadar MDA yang merupakan parameter kerusakan oksidatif dan sebagai marker peroksidasi lipid jaringan pada korteks prefrontal tikus yang dipajan formaldehid melalui injeksi intraperitoneal25.

Efek klinis akibat pajanan formaldehid secara inhalasi ditunjukkan oleh Kilburn et al (1987) dan Songur et al

(2003) pada manusia yang melaporkan terjadinya gangguan neurobehavioral

berupa malaise, sakit kepala, gangguan pencernaan, gangguan keseimbangan dan tidur, serta gangguan mental dan memori22,24. Pada penelitian dengan menggunakan tikus dilaporkan bahwa pajanan formaldehid memperlambat aktivitas motorik26,27.

Penelitian oleh Zararsiz et al (2006) menunjukkan tikus yang secara sistemik dipajan dengan formaldehid menunjukkan bebera gejala yang ditandai dengan penurunan konsumsi makanan dan minuman, letargi, hilangnya nafsu makan, dan aktivitas motorik yang melambat28.

Neurotoksisitas formaldehid mempengaruhi sistem oksidan / antioksidan otak dan mengakibatkan kerusakan oksidatif. Reactive Oxygen Species (ROS) penting dalam

(10)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

berbagai proses biologis dan diproduksi secara fisiologis. Kelebihan produksi dan akumulasi ROS dapat berbahaya bagi sel dan jaringan. ROS merupakan mediator penting pada cedera sel dan berperan saat kondisi toksiksisitas terjadi. ROS dapat mengakibatkan tidak seimbangnya antara sistem pro-oksidan dan antioksidan. Ketika pembentukan ROS tidak seimbang pada proporsi antioksidan protektif, kelebihan ROS menyebabkan efek toksik dan menurunkan antioksidan Superoxyde Dismutase (SOD) dan glutation tereduksi (GSH) yang mengakibatkan kematian sel29,30.

Pembentukkan ROS dapat merusak susunan membran lipid, protein, dan asam nukleat. Otak dan sistem saraf pusat rentan terhadap kerusakan oksidatif, karena otak mengandung lemak tak jenuh (unsaturated fatty acids) dengan konsentrasi tinggi yang mudah terperoksidasi dan membutuhkan jumlah oksigen yang sangat tinggi. Membran

yang terasosiasi Polyunsaturated fatty-acids dapat dengan mudah ditempeli oleh ROS yang mengakibatkan peroksidasi lipid. Peroksidasi membran lipid dapat mengganggu fluiditas membran dan kompartemen sel, yang menyebabkan sel menjadi lisis. Pajanan formaldehid ini menyebabkan cedera neuronal akibat akumulasi ROS yang menyebabkan kerusakan oksidatif. Selain itu, otak memiliki tingkat aktivitas metabolik oksidatif relatif tinggi dan aktivitas enzim antioksidan yang rendah. Dengan demikian, sel-sel saraf lebih rentan terhadap toksik yang terjadi pada sistem saraf pusat29-31.

Efek toksik formaldehid pada sistem saraf pusat dilaporkan oleh beberapa penelitian dapat mengakibatkan perubahan morfologi pada otak tikus25,29. Hasil pengamatan gambaran histologis dalam penelitian ini bervariasi, antara lain sel piramidal normal ditandai dengan badan sel yang relatif besar, nukleus dengan nukleoli yang jelas, dan

(11)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

terdapat substansi Nissl, sedangkan sel piramidal rusak yang ditandai dengan terjadinya perubahan gambaran morfologi sel piramidal berupa penyusutan badan sel, piknosis nukleus, hilangnya substansi Nissl dan sitoplasma eosinophilia. Badan sel yang mengalami penyusutan ditandai dengan berkurangnya ukuran sel, serta sitoplasma dan organela sel yang memadat. Piknosis nukleus terjadi akibat kondensasi kromatin32. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan penurunan jumlah neuron normal dan meningkatnya neuron piknosis pada korteks frontal dan hippocampus akibat pajanan formaldehid33.

Tulpule dan Dringen (2013) menunjukkan bahwa pajanan formalidehid yang berlebihan sangat mempengaruhi sifat basal metabolik astrosit dan neuron dengan menstimulasi jalur glikolitik dan ekspor antioksidan tripeptida GSH dari sel-sel otak34.

Peningkatan jalur glikolitik ini disebabkan oleh asam format berlebih yang menghambat enzim sitokrom c oksidase mitokondria35.

Penghambatan aktivitas sitokrom c oksidase menyebabkan penurunan sintesis adenosine triphosphate (ATP). ATP merupakan sumber energi sel yang diproduksi oleh fosforilasi oksidatif

Adenosine Diphosphate (ADP) dalam sistem transpor elektron mitokondria. Penyebab utama penurunan ATP adalah kurangnya pasokan oksigen dan nutrisi, kerusakan mitokondria, dan pajanan berlebihan oleh zat toksin. Jaringan dengan kapasitas glikolisis yang lebih besar (mis. hati) dapat bertahan lebih baik saat kekurangan oksigen dan menurunnya fosforilasi oksidatif dibandingkan dengan jaringan yang memiliki kapasitas glikolisis yang terbatas seperti otak. Deplesi ATP secara signifikan dapat meningkatkan kompensasi glikolisis anaerob dalam upaya untuk mempertahankan sumber

(12)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

energi sel, dan sebagai konsekuesinya dapat terjadi akumulasi laktat, yang dapat mengakibatkan menurunnya pH intraselular dan aktivitas enzim-enzim selular36.

Deplesi ATP ini juga akan menyebabkan beberapa efek pada sel, yaitu berkurangnya aktivitas dari membran plasma pompa Na+K+ ATPase sehingga menyebabkan akumulasi Na+ intraselular dan keluarnya K+, kegagalan pompa Ca2+ ATPase sehingga menyebabkan masuknya Ca2+ ke dalam sel yang dapat mengakibatkan kerusakan pada sejumlah komponen selular, dan dapat menyebabkan gangguan secara struktural pada apparatus sintesis protein.36 Dengan demikian, efek neurotoksik formaldehid dapat dibuktikan dengan perubahan gambaran histologis sel piramidal pada korteks serebri hewan coba. Efek neurotoksik ini berhubungan dengan volume dan konsentrasi dari formaldehid yang berikan. Pada

penelitian ini, semakin tinggi dosis formaldehid yang dipajan maka semakin besar efek kerusakan formaldehid terhadap otak hewan coba37.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat perubahan gambaran histologi sel piramidal pada korteks serebri tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar akibat pajanan akut formaldehid per oral berupa penyusutan badan sel, piknosis nukleus, hilangnya substansi Nissl dan sitoplasma eosinophilia. Selain itu, rerata jumlah sel piramidal normal yang dipajan formaldehid akut per oral dosis 25, 50, 100 dan 200 mg/kgBB menurun sesuai dengan peningkatan dosis formaldehid yang dipajankan. Rerata jumlah sel piramidal rusak yang dipajan formaldehid akut per oral dosis 25, 50, 100 dan 200 mg/kgBB meningkat sesuai dengan peningkatan dosis formaldehid yang dipajankan. Dosis minimal formaldehid

(13)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

yang menyebabkan perubahan gambaran sel piramidal pada korteks serebri (Rattus norvegicus) galur Wistar adalah 25 mg/kgBB.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cahyadi W. Analisis dan aspek kesehatan bahan tambahan pangan. Jakarta: Bumi Aksara; 2006.

2. Badan POM RI. Penyalahgunaan

formalin untuk pengawet mie basah, tahu, dan ikan. InfoPOM. 2006;7(1):8–9.

3. BPOM Kalimantan Barat. Laporan hasil

sampling dan uji bahan makanan yang

mengandung formalin di pasar

tradisional percontohan. Balai Besar BPOM Kalimantan Barat; 2013.

4. BPOM Kalimantan Barat. Laporan hasil

sampling dan uji bahan makanan yang

mengandung formalin di pasar

tradisional percontohan. Balai Besar BPOM Kalimantan Barat; 2014 .

5. Song M, Baker G, Dursun S, Todd K. The antidepressant phenelzine protects

neurons and astrocytes against

formaldehyde-induced toxicity. J

Neurochem. 2010;114:1405–13.

6. Luo F, Zhou J, Lv T, Qi L, Wang S.

Induction of endoplasmic-reticulum

stress and the modulation of

thioredoxin-1 in formaldehyde-induced

neuro-toxicity. Neurotoxicology. 2012;33:290– 8.

7. Malek F, Mörtiz K, Fanghanel J. A study

on specific behavioral effects of

formaldehyde in the rat. J Exp Anim Sci. 2003;43:160–70.

8. Morawietz G, Fehlert C, Kittel B, Bube A, Keane K, Halm S, et al. Revised guides for organ sampling and trimming in rats and mice – Part 3. Exp Toxic Pathol. 2004;55:433–49.

9. Snell R. Clinical Neuroanatomy.

Lippincott Williams & Wilkins; 2010. 564 p.

10. Sporns O, Tononi G, Kotter R. The

human connectome: Astructural

description of the human brain. Plos Comput Biol. 2005;1:245–51.

11. Mescher A. Histologi Dasar Junqueira: Teks dan Atlas. 12thed. Jakarta:EGC; 2009. 147 p.

12. IPCS. Formaldehyde. Geneva: World

Health Organization, International.

Programme on Chemical Safety; 1989. (Environmental Health Criteria 89).

13. Laymena EH. Pengaruh formalin

peroral dosis bertingkat selama 12

minggu terhadap gambaran

histopatologis otak tikus Wistar [skripsi]. Semarang: Univ Diponegoro; 2012

14. Balcombe JP, Barnand ND, Sandusky

C. laboratory routines cause animal stress. Contemp Top Lab Anim Sci. 2004;43:42-51.

15. McVeigh C, Passmore P. Vascular

dementia prevention and treatment.

Review Clinical Intervention in Aging. 2006;1(3):229-35.

16. De Jong GI, Stiensa CM, Plass JRM, Keijser JN, de Latore JC, Luiten PGM. Cerebral hypoperfusion yields capillary damage in the hippocampal CA1 area that’s correlates with spatial memory impairment.

Neuroscience.1999;91(1):203-10.

17. Tiemeier H, Bekker SLM, Hofman A, Kaudstaal PJ, Breteler MMB.

Cerebral haemodynamics and

depression in the elderly. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2002;73:34-9. 18. Sandi C. Stress, cognitive impairment

and cell adhesion molecules. Neurosci. 2004;5:917-30.

19. McEwen BS. Stress and hippocampal plasticity. Annu Rev. Neurosci. 1999;22:105-22,116.

20. Nishi K, Yamada M, Wakasugi C.

Formaldehyde poisoning: report of an autopsy case. Nippon Hoigaku Zasshi. 1988;42:85–9.

21. Zitting A, Savolainen H. Biochemical effects of subacute formic acid vapor exposure. Res Commun Chem Pathol Pharmacol. 1988; 27:157-62.

22. Kilburn KHR, Warshaw, Thornton JC.

Formaldehyde impairs memory, equilibrium, and dexterity in histology technicians: effects which persist for days after exposure. Arch Environ Health. 1987; 42: 117-20.

23. Arici S, Karaman S, Dogru S, Cayli S, Arici A, Suren M, et al. Central nervous system toxicity after acute oral formaldehyde exposure in rabbits: An experimental study. Hum Exp Toxicol. 2014; 1-9.

24. Songur A, Aklopat N, Kus I, Ozen O, Zararsiz I, Sarsilmaz M. The effects of the inhaled formaldehyde during the

early postnatal period in the

(14)

Jurnal Kesehatan Khatulistiwa. Volume 3. Nomor 1. Januari 2017

and immunohistochemical study.

Neurosci Res Commun. 2003;33:168–78. 25. 25. Zararsiz I, Kus I, Ogeturk M, Aklopat N, Kose E. Melatonin

prevents formaldehyde-induced

neurotoxicity in prefrontal cortex of rats:

an immunohistochemical and

biochemical study. Cell Biochem Funct. 2007;25:413–8.

26. Usanmaz S, Akarsu E, Vural N.

Neurotoxic effect of acute and subacute formaldehyde exposures in mice. Env Toxicol Phar. 2002;11:93–100.

27. Boja J, Nilsen J, Foldvary E, Truitt E. Acute low-level formaldehyde behavioural and neurochemical toxicity in the rat. Prog Neuropsycopharmachol Biol Psychiatry. 1985;9:671–4.

28. Zararsiz I, Kus I, Aklopat N, Songur A, Ogeturk M. Protective effects of omega-3 essential fatty acids against formaldehyde-induced neuronal damage in prefrontal cortex of rats. Cell Biochem Funct. 2006;24:237–44.

29. Gurel A, Coskun O, Armutcu F,

Kanter M, Ozen O. Vitamin E against

oxidative damage caused by

formaldehyde in frontal cortex and

hippocampus: biochemical and

histological studies. J Chem

Neuroanat. 2005;29:173–8.

30. Bas O, Songur A, Sahin O, Mollaoglu H, Ozen O, Yaman M, et al. The protective effect of fish n-3 fatty acids on cerebral ischemia in rat hippocampus. Neurochem Int. 2007;50:548–54.

31. Irmark M, Fadillioglu E, Sogut S,

Erdogan H, Gulec M, Ozer M, et al. Effects of caffeic acid phenethyl ester and alpha-tocopherol on reperfusion injury in

rat brain. Cell Biochem Funct.

2003;21:283–9.

32. Tian J, Fu F, Geng M, Jiang J, Yang J, Jiang W, et al. Neuroprotective effect of 20(S)-ginsenoside Rg3 on cerebral

ischemia in rats. Neurosci Lett.

2005;374:92–7.

33. Garman RH. Histology of the Central

Nervous System. Toxicol Pathol.

2011;39(1):22–35.

34. Tulpule K, Dringen R. Formaldehyde in

brain: an overlooked player in

neurodegeneration? J Neurochem.

2013;127:7–21.

35. Scheiber I, Dringen R. Copper accelerates glycolytic flux in cultured astrocytes. Neurosci Res. 2011;36:894– 903.

36. Kumar V, Abbas A, Aster J. Robbins

Basic Pathology. 9thed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013.

37. Restani P, Galli CL. Oral toxicity of formaldehyde and its derivates. Crit Rev Toxicol. 1991; 21: 315-28.

Referensi

Dokumen terkait

So far, terrorist acts in the form of bomb attacks are actions planned by terrorist groups with exec- utors of single perpetrators, but the Surabaya bombings in May 2018 showed a

Dalam kasus bahasa Melayu, seorang penulis profesional dari Batavia, Muhammad Bakir, memiliki 76 judul naskah untuk disewakan pada akhir abad ke-19, sementara

[r]

Berdasarkan RTRW Kabupaten Cianjur 2005-2015, Kecamatan Pacet dan Cipanas termasuk kedalam simpul atau pusat dalam kawasan andalan sebagai pusat kegiatan lokal serta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model sistem yang cocok untuk institusi pendidikan tempat pengambilan data, menganalisis data yang diambil, serta

Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka akan diberikan pengetahuan melalui pelatihan cara memproduksi dan mengemas produk kripik berbasis sayuran yang higienis

Berdasarkan hasil penelitian dari 82 responden di Poliklinik Saraf RSU Anutapura Palu Tahun 2018 tentang hubungan derajat depresi dengan nyeri kepala pada penderita

Metode tutor sebaya adalah suatu metode pembelajaran yang dilakukan dengan cara memberdayakan siswa yang memiliki daya serap yang tinggi dari kelompok siswa itu sendiri untuk