• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM AKSELERASI PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERBASIS PEDESAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM AKSELERASI PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERBASIS PEDESAAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRAM AKSELERASI PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN

BERBASIS PEDESAAN

Kaman Nainggolan

Kepala Badan Ketahanan Pangan

PENDAHULUAN

Undang-undang No. 7 tahun 1996 ten-tang pangan mengartikan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan dilaksanakan melalui Per-aturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 2002 tentang ketahanan pangan, yang menyatakan bahwa penyediaan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu melalui: (a) pengembangan sistem produksi pangan yang bertumpu pada sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal; b) pengembangan efisiensi sistem usaha pangan; (c) pengembangan teknologi produksi pangan: (d) pengembangan sarana dan pra-sarana produksi pangan; dan (e) memperta-hankan dan mengembangkan lahan produktif.

Operasionalisasi pelaksanaan PP No. 68 tahun 2002 tersebut pada hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat, yang ber-arti meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif dalam mewu-judkan penyediaan, distribusi, dan konsumsi pangan dari waktu ke waktu dengan meman-faatkan kelembagaan sosial ekonomi yang telah ada dan dapat dikembangkan di tingkat pedesaan dengan fokus utamanya adalah ru-mah tangga pedesaan.

Perwujudan ketahanan pangan nasio-nal dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil yaitu pedesaan sebagai basis kegiatan pertanian. Basis pembangunan pedesaan ber-tujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam suatu wilayah yang mempunyai keter-paduan sarana dan prasarana dari aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan untuk mencukupi dan mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Disamping itu memba-ngun daerah pedesaan sangat penting teruta-ma dalam hal penyediaan bahan pangan untuk

penduduk, penyedia tenaga kerja untuk pem-bangunan, penyedia bahan baku untuk industri, dan penghasil komoditi untuk bahan pangan dan ekspor. Karena itu, desa merupakan salah satu entry point untuk masuknya berbagai program yang mendukung terwujudnya keta-hanan pangan di tingkat rumah tangga, yang secara kumulatif akan mendukung terwujudnya ketahanan pangan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.

Ada sepuluh alasan pokok pentingnya melakukan pengembangan pedesaan, yaitu: (a) masih adanya masyarakat yang memiliki kemampuan rendah dalam mengakses pangan yang disebabkan oleh keterbatasan penguasa-an sumberdaya alam, sehingga kurpenguasa-ang mem-punyai peluang dalam berusaha di bidang pertanian; (b) masih adanya kemiskinan struk-tural, sehingga meskipun telah berusaha tetapi pendapatan yang diperoleh belum memenuhi kebutuhan keluarga; (c) masih minimnya sa-rana dan prasasa-rana (pengairan, jalan desa, sarana usahatani, air bersih, listrik dan pasar) yang dimiliki; (d) masih terbatasnya pengeta-huan tentang pangan beragam, bergizi dan berimbang; (e) belum optimalnya fungsi kelem-bagaan aparat dan masyarakat/ kelompok tani; (f) masih terbatasnya akses masyarakat terhadap lembaga permodalan; (g) masih rendahnya akses masyarakat desa terhadap lembaga pemasaran; (h) masih terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi dan teknologi; (i) rendahnya tingkat pendidikan ma-syarakat; (j) terbatasnya lapangan pekerjaan di pedesaan. Hal tersebut dapat mendorong terjadinya kerawanan pangan dan kemiskinan di pedesaan. Salah satu upaya untuk menga-tasi masalah kerawanan pangan dan kemis-kinan di pedesaan adalah melalui Program Aksi Desa Mandiri Pangan.

KEBIJAKAN UMUM KETAHANAN PANGAN

Kebijakan umum ketahanan pangan merupakan penjabaran dari strategi pemba-ngunan nasional Rencana Pembapemba-ngunan

(2)

Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009. Doku-men RPJM juga merupakan rencana pelak-sanaan Undang-Undang Dasar 1945, serta perangkat hukum di bawahnya yaitu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya, serta pelaksanaan berbagai kesepa-katan nasional dan internasional yang terkait dengan pembangunan di bidang pangan.

Substansi dasar dalam kebijakan umum ketahanan pangan (KUKP) adalah konsep filosofi serta keterkaitan ketahanan pangan dengan bidang/sektor pembangunan lainnya, komponen sistem ketahanan pangan dan keseimbangan antar berbagai komponen di dalamnya yang meliputi ketersediaan, dis-tribusi dan konsumsi, pelakunya serta aras kepentingannya mulai dari tingkat rumah tang-ga, regional wilayah hingga nasional. Pemba-hasan diawali dengan penjelasan konsep dasar ketahanan pangan dan kondisi ketahanan pangan periode 2000-2004, kondisi lingkungan strategis pembangunan ketahanan pangan mencakup masalah, tantangan dan peluang, hingga kebijakan umum dan kebijakan opera-sional atau rencana aksi ketahanan pangan 2005-2009.

KUKP memuat butir-butir kebijakan yang terdiri dari 14 elemen penting yang diha-rapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta dan elemen masyarakat untuk ber-sama-sama mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, tingkat wilayah dan tingkat nasional.

Empat belas elemen penting tersebut adalah:

1. Menjamin ketersediaan pangan melalui kegiatan: (a) pengembangan lahan abadi 15 juta ha beririgasi dan 15 juta ha lahan kering; (b) pengembangan konsesrvasi dan rehabilitasi lahan; (c) pelestarian sumber daya air dan pengelolaan daerah aliran su-ngai; (d) pengembangan dan penyediaan benih, bibit unggul dan alsintan; (e) penga-turan pasokan gas untuk produksi pupuk; (f) pengembangan skim permodalan yang kondusif bagi petani dan nelayan; (g) pe-ningkatan produktivitas melalui perbaikan genetis dan teknologi budidaya; (h) pening-katan efisiensi penanganan pascapanen dan pengolahan; (i) penyediaan insentif investasi di bidang pangan; dan (j) pe-nguatan penyuluhan, kelembagaan petani/ nelayan dan kemitraan.

2. Menata pertanahan dan tata ruang/wilayah: (a) pengembangan reforma agraria; (b) penyusunan tata ruang daerah dan wila-yah; (c) perbaikan administrasi pertanahan dan sertifikasi lahan; dan (d) penerapan sistim perpajakan progresif bagi pelaku konversi lahan pertanian subur dan pem-biaran lahan pertanian terlantar.

3. Pengembangan cadangan pangan: (a) pe-ngembangan cadangan pangan pemerin-tah; dan (b) pengembangan lumbung pa-ngan masyarakat.

4. Mengembangkan sistim distribusi pangan yang efisien: (a) pembangunan dan rehabi-litasi sarana dan prasarana; (b) pengha-pusan retribusi produk pertanian dan per-ikanan; (c) pemberian subsidi transportasi bagi daerah sangat rawan dan daerah terpencil; dan (d) pengawasan sistim per-saingan perdagangan yang tidak sehat. 5. Menjaga stabilitas harga pangan: (a)

pemantauan harga pangan pokok secara berkala; dan (b) pengelolaan pasokan pangan dan cadangan pangan penyangga untuk stabilisasi harga.

6. Meningkatkan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan: (a) pemberdayaan ma-syarakat miskin dan rawan pangan; (b) peningkatan efektivitas program raskin; dan (c) penguatan lembaga pengelola pangan di pedesaan.

7. Melaksanakan diversifikasi pangan: (a) peningkatan diversifikasi konsumsi pangan dan gizi seimbang; (b) pengembangan tek-nologi pangan; dan (c) diversifikasi usaha-tani dan pengembangan pangan lokal 8. Meningkatkan mutu dan keamanan

pa-ngan: (a) pengembangan dan penerapan sistem mutu pada proses produksi, olahan dan perdagangan pangan; (b) peningkatan kesadaran mutu dan keamanan pangan pada konsumen; dan (c) pencegahan dini dan penegakan hukum terhadap pelang-garan aturan mutu dan keamanan pangan. 9. Mencegah dan menangani keadaan rawan

pangan dan gizi: (a) pengembangan isyarat dini dan penanggulangan keadaan rawan pangan dan gizi (SKPG); (b) peningkatan keluarga sadar gizi; (c) pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluar-ga; dan (d) pemanfaatan cadangan pangan pemerintah untuk penanggulangan keada-an rawkeada-an pkeada-angkeada-an dkeada-an gizi.

(3)

10. Memfasilitasi penelitian dan pengemba-ngan: (a) alokasi anggaran yang memadai untuk penelitian dan pengembangan; dan (b) peningkatan kerja sama kemitraan antarlembaga penelitian.

11. Meningkatkan peran serta masyarakat. 12. Melaksanakan kerja sama internasional:

(a) pelanggaran kerja sama internasional dalam melawan kelaparan dan kemiskinan; dan (b) perbaikan kinerja diplomasi eko-nomi, politik, sosial dan budaya untuk me-ningkatkan ketahanan pangan.

13. Mengembangkan sumberdaya manusia: (a) perbaikan program pendidikan, pela-tihan dan penyuluhan di bidang pangan; (b) pemberian muatan pangan dan gizi pada pendidikan formal dan nonformal; dan (c) pemberian jaminan pendidikan dasar dan menengah khususnya bagi perempuan dan anak-anak di pedesaan.

14. Kebijakan makro dan perdagangan yang kondusif: (a) kebijakan fiskal yang membe-rikan insentif bagi usaha pertanian; (b) alokasi APBN dan APBD yang memadai untuk pengembangan sektor pertanian dan pangan; dan (c) kebijakan perdagangan yang memberikan proteksi dan promosi bagi produk pertanian strategis.

KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Upaya pemberdayaan masyarakat sa-ngatlah kompleks. Upaya pemberdayaan ma-syarakat bukan hanya mempersoalkan struktur interaksi yang terjalin di antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, melainkan juga mempersoalkan sistem yang seharusnya men-jadi spirit struktur interaksi tersebut, dan ter-sedianya sumber-sumber ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung keberadaan struktur interaksi serta bekerjanya sistem terse-but. Alternatif model pemberdayaan masyara-kat sekurang-kurangnya perlu memuat dua hal, yaitu: (1) strategi yang perlu dibangun untuk memberikan dukungan proses pemberdayaan masyarakat, mencakup: bentuk dukungan, pe-ningkatan kapasitas manusia, penguatan kapa-sitas kelembagaan, jaringan kelembagaan, (2) mobilisasi dan pengelolaan dana yang dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan masyara-kat, mencakup metode memobilisasi sumber lokal serta membangun keterkaitan sumber dari luar dengan sumber lokal.

Dalam upaya pemberdayaan masyara-kat beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain adalah: (1) bentuk atau model dukungan; (2) peningkatan Kapasitas Manusia; (3) penguatan Kapasitas Kelembagaan; (4) re-orientasi Birokrasi; dan (5) mobilisasi dan pengelolaan sumber dana.

Beberapa model pemberdayaan ma-syarakat di pedesaan yang dapat diimplemen-tasikan adalah sebagai berikut.

Pemberdayaan Kelembagaan Lumbung Pangan Masyarakat

Pemberdayaan kelembagaan lumbung pangan masyarakat merupakan wujud nyata dari upaya pemerintah untuk memberdayakan masyarakat agar mampu memberikan kontri-busi terhadap perwujudan ketahanan pangan. Dalam rangka pemberdayaan kelembagaan lumbung pangan ada beberapa tujuan dan sasaran yang ingin dicapai serta kriteria lokasi dan kelompok sasaran yang harus dipenuhi.

Ada dua alasan pokok pentingnya melakukan pemberdayaan kelembagaan lum-bung masyarakat, yaitu: 1) kelembagaan alternatif yang pernah diupayakan untuk gantikan peran lumbung pangan dengan meng-integrasikan seluruh lembaga sosial ekonomi pedesaan dalam satu organisasi modern tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan dan menyebabkan petani selalu dalam kondisi yang lemah; 2) lumbung pangan terbukti memiliki potensi dan daya adaptasi yang lebih tinggi dari jenis-jenis kelembagaan yang diintervensi dari luar. Hanya lumbung pangan yang efektif melayani kebutuhan pangan anggotanya ter-utama pada saat krisis pangan lokal dan mela-yani kebutuhan finansial anggotanya.

Pengembangan Pangan Lokal

Salah satu upaya dalam pengemba-ngan konsumsi papengemba-ngan dilaksanakan melalui pengembangan pangan lokal. Hal ini dilakukan karena pangan lokal merupakan pangan yang sudah dikenal, mudah diperoleh, jenisnya beragam dan dapat diusahakan baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk dijual. Dengan demikian, pengembangan pa-ngan lokal diharapkan dapat meningkatkan konsumsi pangan yang beragam di tingkat rumah tangga sekaligus meningkatkan penda-patan keluarga. Dalam rangka pengembangan

(4)

pangan lokal tersebut ada beberapa tujuan dan sasaran yang ingin dicapai serta kriteria lokasi dan kelompok sasaran yang harus dipenuhi.

Pengembangan pangan lokal dilaksa-nakan dengan menerapkan model pengemba-ngan pada lokasi yang direncanakan berdasar-kan hasil identifikasi. Penerapan model ter-sebut diharapkan dapat dijadikan contoh bagi lingkungannya dalam memproduksi dan me-ngolah bahan pangan yang sama dengan pangan yang diusahakan oleh kelompok tani pelaksana model baik pangan subtitusinya, pangan komplementernya maupun pangan olahan lainnya. Mekanisme pengembangan semacam ini dapat diikuti dengan perguliran bantuan/modal, pengembangan kredit mikro dan pengembangan pola kemitraan. Kompo-nen model pengembangan ini mencakup tiga komponen, yaitu: pelatihan, penguatan modal dan pendampingan.

Pemanfaatan Pekarangan

Untuk meningkatkan gizi terutama gizi mikro masyarakat pada umumnya dan keluarga pada khususnya, dapat dilakukan dengan me-manfaatkan sumberdaya yang tersedia di ling-kungannya, salah satunya yaitu dengan pe-manfaatan pekarangan. Usaha pekarangan jika dikelola secara intensif sesuai dengan potensi pekarangan, disamping dapat memenuhi kebu-tuhan konsumsi rumah tangga, juga dapat memberikan sumbangan pendapatan bagi keluarga. Dari hasil penelitian (Peny, DH dan

Benneth Ginting, 1984) secara umum

pekara-ngan dapat memberikan sumbapekara-ngan penda-patan antara 7 sampai 45 persen.

Dalam rangka pengembangan pangan pemanfaatan pekarangan ada beberapa tujuan dan sasaran yang ingin dicapai serta kriteria lokasi dan kelompok sasaran yang harus di-penuhi.

Pemberdayaan Daerah Rawan Pangan

Kerawanan pangan dapat diartikan se-bagai kondisi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk me-menuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakat. Keadaan kerawanan pangan baik yang bersifat kronis maupun transien harus dapat dideteksi sedini mungkin dan segera dapat diketahui penyebab terjadinya kerawan-an pkerawan-angkerawan-an, sehingga dapat diambil lkerawan-angkah-

langkah-langkah kegiatan pemberdayaan di daerah rawan pangan. Ada beberapa tujuan dan sa-saran yang ingin dicapai serta kriteria lokasi dan kelompok sasaran yang harus dipenuhi dalam pemberdayaan daerah rawan pangan.

Pengembangan Model Sistem Tunda Jual

Pada saat panen raya, volume hasil panen yang dijual ditingkat petani jauh melebihi permintaan. Akibatnya, para petani mengha-dapi harga jual yang rendah. Pada usahatani padi, harga gabah ditingkat petani umumnya berada di bawah Harga Dasar Pembelian Pe-merintah (HDP). Sebaliknya, pada musim pa-ceklik ketersediaan pangan di tingkat produsen (petani) sangat rendah sehingga tingkat harga cukup tinggi. Dampak ketajaman fluktuasi ter-sebut sangat berpengaruh terhadap penda-patan petani, yang pada gilirannya juga berdampak pada tingginya risiko ketahanan pangan ditingkat rumah tangga petani.

Salah satu upaya untuk mengurangi fluktuasi harga dan over supply hasil pertanian pada saat panen raya adalah dengan me-ngembangkan model sistem tunda jual yang sesuai dengan kondisi lokal spesifik. Dengan berkembangnya model tunda jual yang tepat guna tersebut, maka diharapkan bahwa posisi tawar dan nilai jual petani akan meningkat.

Model Pengembangan Masyarakat di Lahan Kering (PIDRA)

Program PIDRA (Participatory

Integ-rated Development In Rainfed Areas) adalah

kegiatan yang dipusatkan di kawasan pertanian yang berpenduduk miskin di lahan kering, ta-dah hujan, dan kurang mendapat kesempatan dalam proses pembangunan yaitu masyarakat miskin di pedesaan yang hidup serba terbatas berusahatani secara tradisional, dukungan fasilitas sarana dan prasarana masih belum memadai, dan kemampuan modal usaha sangat minim. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan produksi pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan, serta memperbaiki taraf hidup 100.000 penduduk berpenghasilan rendah.

Implementasi program berpedoman kepada prinsip desentralisasi, dengan prioritas program diarahkan kepada mekanisme peren-canaan dari bawah secara partisipatif. Adapun yang menjadi komponen program antara lain: pengembangan masyarakat yang berperspektif

(5)

jender, pengembangan pertanian dan peter-nakan, pengelolaan prasarana dan lahan pedesaan, serta dukungan kelembagaan dan manajemen.

Dalam proses penguatan kelompok, PIDRA memberikan pendampingan melalui pelatihan-pelatihan, baik pelatihan pembangun-an kapasitas sumberdaya mpembangun-anusipembangun-anya serta pelatihan-pelatihan pengembangan teknis pe-ngelolaan potensi dan sumberdaya alam di desa. Dengan pendampingan tersebut kelom-pok diharapkan mampu menjadi organisasi yang mandiri dan berlanjut sebagaimana se-buah organisasi yang baik yang ditandai dengan 6 (enam) ciri pokok, yaitu: (1) mem-punyai visi dan misi; (2) manajemen organisasi; (3) manajemen keuangan; (4) akuntabilitas organisasi; (5) jejaring; dan (6) pembelajaran dan evaluasi.

Special Programme For Food Security (SPFS)

Dalam mewujudkan ketahanan pangan tantangan utama yang dihadapi adalah ter-batasnya sumberdaya alam dan kemampuan sumberdaya manusia. Secara umum penge-tahuan masyarakat pertanian di daerah rawan, masih sangat terbatas khususnya dalam me-manfaatkan teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat untuk meningkatkan produk-tivitas pertanian. Disamping itu, kemampuan kelembagaan pelayanan pertanian dan kelem-bagaan petani dalam pembangunan usaha bersama, juga masih lemah. Hal ini berdampak pada rendahnya pendapatan petani dan ke-tidakmampuan mereka untuk mencukupi kebu-tuhan pangannya, dari produksi sendiri mau-pun menjangkaunya dari pasar.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Departemen Pertanian bekerja sama dengan FAO telah meluncurkan Program SPFS. Seca-ra umum, kegiatan SPFS adalah merevitalisasi dan mengembangkan kapasitas produksi pa-ngan secara berkelanjutan melalui : (1). Identifikasi hambatan sosial ekonomi terhadap produksi dan pemasaran komoditas pangan; (2) pengelolaan sumberdaya air secara mikro; (3) meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman, peternakan dan perikanan; dan (4) mengembangkan diversifikasi usaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Pelaksanaan Special Programme for Food Security (SPFS) memberikan penekanan pada peningkatan kapasitas, baik bagi aparat

maupun petani. Peningkatan kapasitas terse-but dimaksudkan untuk meningkatkan pengeta-huan, perbaikan sikap dan kemampuan dalam menyelenggarakan usahatani. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui proses pembe-lajaran melalui pengalaman di lapangan

(field-based experiental learning).

FAO melalui Special Programme for Food Security bekerja sama dengan Departe-men Pertanian RI merintis program yang salah satu komponennya adalah revolving fund atau dana bergulir. Hal ini dilakukan berdasarkan pemahaman bahwa masyarakat pedesaan khu-susnya pengusaha mikro telah terbiasa dengan kegiatan usaha bersama, antara lain adalah gotong royong. Mereka juga telah melakukan kegiatan menabung bersama melalui arisan dan kegiatan dana bergulir lainnya. Mereka telah menerapkan sistem manajemen yang sederhana yang mempunyai potensi untuk dikembangkan. Program dana bergulir dapat dikembangkan secara berkelanjutan di kelom-pok-kelompok masyarakat miskin agar nantinya menjadi lembaga keuangan mikro alternatif di pedesaan. Untuk itu perlu dilakukan pelatihan tentang pengelolaan keuangan mikro kepada para pelaksana SPFS dan petugas teknis dari instansi terkait di kabupaten pelaksana SPFS.

PROGRAM AKSELERASI PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERBASIS

PEDESAAN

Dalam rangka akselerasi pemantapan ketahanan pangan berbasis pedesaan bebe-rapa program yang telah dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan antara lain adalah: (1) Pengembangan Desa Mandiri Pangan; (2) Kegiatan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP); dan (3) Pemberdayaan Daerah Rawan Pangan (PDRP). Ketiga kegiatan ini dilaksanakan di pedesaan dengan sepuluh alasan yang telah dijelaskan pada bab terdahulu.

Pengembangan Desa Mandiri Pangan

Desa Mandiri Pangan adalah desa yang masyarakatnya mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi melalui pengembangan subsistem ketersedia-an, subsistem distribusi, dan subsistem kon-sumsi dengan memanfaatkan sumberdaya setempat secara berkelanjutan. Tujuan

(6)

pelak-sanaan Desa Mandiri Pangan adalah mening-katkan ketahanan pangan dan gizi (mengu-rangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelemba-gaan dan budaya lokal di pedesaan. Sasaran-nya adalah terwujudSasaran-nya ketahanan pangan dan gizi tingkat desa yang ditandai dengan berkurangnya tingkat kerawanan pangan dan gizi. Lokasi desa mandiri pangan desa rawan pangan yang merupakan titik-titik potensi penyebab rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia (daerah dan nasional) dan kelompok sasaran.

Beberapa kondisi yang diperlukan da-lam pengembangan dan pembangunan Desa Mandiri Pangan adalah melibatkan masyarakat secara efektif, membangun skenario berbasis pemberdayaan masyarakat, dukungan infra-struktur ekonomi yang tangguh dan memihak kepada kepentingan orang banyak, serta adanya fasilitator yang bervisi jauh ke depan dan terampil mengelola program tersebut.

Melalui Program Aksi Desa Mandiri Pangan diharapkan masyarakat desa mempu-nyai kemampuan untuk mewujudkan keta-hanan pangan dan gizi sehingga dapat men-jalani hidup sehat dan produktif dari hari ke hari, secara berkelanjutan. Upaya tersebut dila-kukan melalui proses pemberdayaan masya-rakat untuk mengenali potensi dan kemam-puannya, mencari alternatif peluang dan peme-cahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan sehing-ga tercapai kemandirian.

Kegiatan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP)

Upaya penguatan kelembagaan usaha ekonomi pedesaan yang bergerak dibidang pengolahan dan pemasaran gabah petani merupakan salah satu cara untuk mengatasi turunnya harga gabah petani pada saat panen raya, yang bersifat komplemen terhadap kebijakan pembelian gabah dalam negeri oleh pemerintah. Lembaga ini diharapkan dapat lebih berperan dalam membeli gabah petani dengan harga yang wajar, mengeringkannya, menyimpan kemudian menjualnya dalam bentuk gabah kering giling, atau menjualnya setelah diproses menjadi beras. Jika lembaga ini berfungsi dengan baik, maka akan terjadi kerja sama yang saling menguntungkan

(win-win collaboration) antara petani dan lembaga.

Petani mendapat manfaat karena menerima harga gabah yang wajar, sedangkan lembaga mendapatkan nilai tambah dari pengolahan, penyimpanan dan penjualan gabah/beras.

Permasalahannya adalah bahwa lem-baga ini pada umumnya belum dapat men-jalankan fungsinya dengan baik. Dari berbagai permasalahan yang dihadapi lembaga usaha ekonomi pedesaan, ada tiga permasalahan pokok yang dihadapi, yaitu: (a) kurang akses-nya lembaga terhadap sumber dana dari perbankan, (b) belum adanya aturan kerja sama yang saling menguntungkan dengan pihak petani produsen, dan (c) masih kurang-nya kemampuan manajemen usaha.

Pemerintah melaksanakan kegiatan penguatan modal usaha bagi lembaga usaha ekonomi pedesaan (LUEP) dengan penyaluran "dana talangan" (pinjaman tanpa bunga) untuk membeli gabah petani sesuai dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah. Melalui kegiatan ini, pemerintah berperan sebagai fasilitator bagi LUEP untuk memecahkan ketiga permasalahan pokok tersebut terdahulu, de-ngan harapan agar LUEP tersebut dapat men-jadi mitra usaha yang baik bagi petani/kelom-pok tani di wilayah setempat. Dengan demiki-an, berarti juga bahwa pemerintah, secara langsung ataupun tidak langsung, memberi penguatan terhadap posisi tawar petani di dalam pemasaran gabah hasil produksinya. Upaya ini diharapkan dapat menurunkan fluk-tuasi harga gabah di tingkat petani, mening-katkan kemampuan daerah dalam penga-manan ketersediaan pangan dan meningkat-kan pendapatan petani padi di wilayahnya. Jadi pemerintah membantu LUEP untuk dapat menolong petani.

Melalui DPM-LUEP ini kelompok tani ataupun lembaga yang bergerak di bidang per-tanian dapat memperoleh dana talangan yang berbentuk pinjaman tanpa bunga dan bukan pinjaman berbentuk “skim kredit” atau pinjaman dengan bunga lunak sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Dana yang diterima oleh LUEP harus dikembalikan pada batas waktu yang telah ditentukan untuk digulirkan kembali kepada LUEP untuk pembelian gabah petani tahun selanjutnya.

Dari kegiatan DPM-LUEP ini diharapkan LUEP dapat membantu dan menolong petani dari himpitan rendahnya harga yang diperoleh

(7)

oleh petani selama ini, dimana LUEP sendiri mempunyai kewajiban untuk membeli gabah langsung dari petani dengan harga dan kualitas sesuai ketentuan pemerintah sehingga dapat memperpendek jalur pemasaran. Selain itu, LUEP harus mengembalikan sejumlah dana yang diterima tepat pada waktunya.

Pemberdayaan Daerah Rawan Pangan

Kerawanan pangan mengacu konsep dalam UU No. 7 tahun 1996 tentang masalah pangan, mengandung beberapa permasalahan yaitu: (a) tidak adanya akses secara fisik maupun ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup; (b) tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan yang produktif individu/rumah tangga; dan (c) tidak terpenuhinya pangan secara cukup dalam jumlah, mutu, beragam, aman, dan terjangkau. Akibat rawan pangan menyebabkan kela-paran, gizi buruk, gangguan kesehatan, dan berbagai gangguan lain yang bersifat biologis dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Kondisi tersebut merupakan rawan pangan risiko tinggi yang dialami oleh individu/rumah tangga.

Pada tingkat lebih rendah, risiko rawan pangan juga bisa ditunjukkan dalam bidang ekonomi seperti bertambahnya jumlah masya-rakat miskin, meningkatnya pengangguran, dan terjadi penurunan daya beli pangan di tingkat individu/rumah. Kasus rawan pangan di tiap daerah tidak selalu sama, meskipun gejala akhir dari dampak rawan pangan dapat serupa yaitu gizi buruk.

Dalam penanganan rawan pangan, in-dikator yang digunakan untuk penerapan Sis-tem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) meliputi: indikator pertanian, kemiskinan, dan kesehatan. Pengelompokan masing-masing indikator dibedakan menjadi 3, yang terdiri dari:

a) Kelompok pertama berkaitan dengan

pe-nyebab terjadinya rawan pangan akibat gejala kekurangan produksi serta cada-ngan pacada-ngan disuatu tempat. Penyebab rawan pangan yaitu: (1) terjadinya eksplosif serangan hama dan penyakit pada tanaman; (2) terjadinya kekeringan, banjir, gempa bumi, gunung meletus dan lain sebagainya; (3) terjadinya kegagalan pa-nen bahan pangan pokok; dan (4) ter-jadinya penurunan ketersediaan pangan setempat.

b) Kelompok kedua berkaitan dengan rawan

pangan akibat kurang gizi dan gangguan kesehatan yang meliputi: (1) berat badan tidak ideal cenderung menurun; (2) keku-rangan energi protein (KEP) atau kurang makan; (3) peningkatan jumlah penduduk sakit yang tercatat di Puskesmas; (4) peningkatan angka kematian balita; (5) pe-ningkatan BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) dibawah standar; dan (6) keterbatasan akses air bersih.

c) Kelompok ketiga berkaitan erat dengan

masalah sosial ekonomi masyarakat yang meliputi: (1) perubahan pola konsumsi ba-han pangan pokok; (2) peningkatan jumlah masyarakat yang menggadaikan aset; dan (3) peningkatan penjualan ternak, per-alatan produksi dan barang rumah tangga, serta 4) peningkatan kriminalitas.

Berdasarkan pengelompokan tersebut di atas, penetapan kebijakan penanganan rawan pangan dimulai dengan mengidentifikasi kondisi makro yang melatarbelakangi kejadian rawan pangan dan kondisi mikro pada tingkat individu/rumah tangga atau kelompok yang terkena gejala rawan pangan serta faktor-faktor penyebab kegagalan untuk memperoleh pa-ngan.

Berdasarkan penyebab terjadinya ra-wan pangan akibat terganggu ketersediaan pangan di tingkat daerah dan rendahnya kemampuan akses pangan oleh rumah tangga, maka kerawanan pangan dapat dibedakan menjadi 2 kondisi:

a) Rawan Pangan Kronis

Rawan pangan kronis dapat terjadi karena hasil identifikasi daerah rawan pangan melalui SKPG dengan cara peramalan, pengamatan maupun pemetaan situasi pangan dan gizi tidak ditindaklanjuti dan direkomendasikan oleh kepala daerah setempat untuk melakukan penanganan lebih intensif.

b) Rawan Pangan Transien

Rawan pangan transien dapat terjadi kare-na adanya bencakare-na alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir bandang, tsunami dan bencana sosial. Kejadian ra-wan pangan transien memerlukan pena-nganan yang segera, untuk itu perlu dilaku-kan pengumpulan data terutama menyang-kut data kerugian, data calon penerima

(8)

bantuan serta data kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya.

1. Investigasi

Investigasi dilakukan setelah adanya infor-masi rawan pangan kronis dari hasil pe-metaan situasi pangan dan gizi atau keja-dian rawan pangan transien. Investigasi ke lapangan dalam rangka cross check per-masalahan untuk menentukan lokasi sa-saran, calon penerima, dan jenis bantuan yang akan diberikan. Kemudian hasil inves-tigasi tersebut dapat dijadikan sebagai rekomendasi kepada kepala daerah untuk melakukan intervensi terhadap penanga-nan kerawapenanga-nan pangan sehingga interven-si lebih tepat sasaran.

2. Pencegahan Rawan Pangan

Pencegahan masalah pangan dan gizi dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kerawanan pangan. Pencegahan kera-wanan pangan kronis dilakukan melalui penerapan SKPG untuk melakukan pera-malan dengan cara: a) memantau, menga-nalisis, dan mengevaluasi ketersediaan pangan; b) memantau, menganalisis, dan mengevaluasi faktor yang mempengaruhi ketersediaan pangan; dan c) merencana-kan dan melaksanamerencana-kan program pence-gahan kerawanan pangan.

3. Penanggulangan Rawan Pangan

Penanggulangan kerawanan pangan dila-kukan dengan cara investigasi di lapangan untuk menentukan jenis intervensi yang sesuai dengan permasalahan. Hasil inves-tigasi dijadikan sebagai bahan rekomen-dasi terhadap penentu kebijakan (Kepala Daerah). Jenis intervensi disesuaikan de-ngan kondisi di lapade-ngan.

a) Intervensi Jangka Pendek

Intervensi jangka pendek adalah upaya penanggulangan rawan pangan yang sifatnya segera. Jenis bantuan yang diberikan sebagai antisipasi terhadap keadaan atau gejala yang menim-bulkan masalah pangan atau gizi untuk mencegah situasi yang lebih buruk. Intervensi jangka pendek dilakukan berdasarkan hasil pengamatan dan peramalan ketersediaan pangan dan gizi dalam suatu wilayah atau masya-rakat, melalui sistem kewaspadaan

pa-ngan dan gizi (SKPG). Intervensi jang-ka pendek dapat juga dilakujang-kan untuk penanggulangan bencana alam atau bencana sosial yang menimbulkan ra-wan pangan transien. Apabila dalam jangka waktu 3 bulan belum dapat mengatasi kondisi rawan pangan, da-pat direkomendasikan untuk melaku-kan intervensi jangka menengah. b). Intervensi Jangka Menengah

Intervensi jangka menengah adalah upaya untuk penanggulangan rawan pangan dan gizi yang dilakukan dalam jangka waktu 6 sampai 12 bulan. Intervensi tersebut berdasarkan anali-sis dan pemetaan SKPG untuk menen-tukan tingkatan resiko rawan pangan kronis, yang terdiri dari: a) risiko tinggi, b) risiko sedang, dan c) risiko rendah. Penanganan rawan pangan risiko rendah dan sedang dilakukan dengan intervensi jangka pendek, sedangkan penanganan rawan pangan risiko tinggi direkomendasikan melalui kepala dae-rah untuk melakukan intervensi jangka menengah. Untuk mengetahui dampak pelaksanaan intervensi tersebut dilaku-kan monitoring dan evaluasi. Apabila permasalahan yang dihadapi belum dapat terselesaikan secara tuntas, akan ditindaklanjuti dengan program intervensi jangka panjang.

c). Intervensi Jangka Panjang

Intervensi jangka panjang merupakan upaya penanggulangan rawan pangan kronis dengan cara memberikan ban-tuan rencana kegiatan atau banban-tuan keprograman untuk menanggulangi ra-wan pangan dengan kurun waktu di atas 1 tahun.

PENUTUP

Seluruh kegiatan yang dilakukan tersebut adalah dalam rangka pemantapan ketahanan pangan di seluruh tingkatan masyarakat. Karena itu diperlukan komitmen seluruh pihak untuk dapat mensukseskan pelaksanaan kegiatan tersebut.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat dari penelitian ini adalah dengan dibangunnya sistem yang terkomputerisasi ini, Kantor Urusan Agama Kecamatan Toboali dapat meningkatkan mutu pelayanan

Brosur merupakan salah satu media informatif yang terdiri dari satu atau beberapa halaman yang digunakan oleh banyak orang untuk promosi dan pengenalan, baik itu produk ataupun

Tujuan penelitian ini adalah untuk model hidrogeologi berupa sistem akuifer dan pola aliran air tanah pada sistem akifer batuan gunung api berdasarkan analisis perubahan sifat

Bilang isang mag-aaral, mapapaunlad ko ang aklat na ito sa pamamagitan ng pag- rekomenda sa iba pang mambabasa na tangkilikin o basahin ang aklat na ito na nilathala ni

 Untuk angkutan udara domestik, jumlah pesawat yang berangkat dari Bandara Ngurah Rai pada Bulan Januari 2017 sebanyak 3.528 unit penerbangan, atau turun 1,89 persen

Kesimpulan penelitian ini, yang menjadi ikon dalam karikatur pada Rubrik Om Kedip di Situs Matanews.com edisi Jumat 28 September 2011 ini ditunjukan dengan gambar

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang positif dan sigifikan antara kemandirian belajar dengan hasil belajar

Sayuran merupakan sumber pangan yang penting untuk dikonsumsi masyarakat setiap hari karena kandungan protein, vitamin, mineral dan serat yang dimiliki sayuran berguna