• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chitra Imelda 51 ABSTRAK. Kata Kunci : Perlindungan hukum saksi korban, Tindak pidana Curanmor, Kebijakan Undang Undang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Chitra Imelda 51 ABSTRAK. Kata Kunci : Perlindungan hukum saksi korban, Tindak pidana Curanmor, Kebijakan Undang Undang."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

37

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI KORBAN DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Chitra Imelda51 ABSTRAK

Dalam perkara pidana pencurian kendaraan bermotor (Curanmor), kedudukan korban dan/atau saksi merupakan orang yang dirugikan dalam perkara pidana yang dialaminya, selama ini korban dan/atau saksi dari kejahatan seolah dilupakan, karena dalam praktek penyelenggaraan hukum pidana hanya memperhatikan bentuk balasan dalam arti kurungan badan kepada pelaku. Pentingnya perlindungan hukum di Indonesia terhadap setiap masyarakat menjadi salah satu alasan Pemerintah membentuk Undang-undang yang mengatur tentang Perlindungan hukum terhadap Saksi dan Korban, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perbedaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan rumusan KUHAP adalah bahwa status saksi korban dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban, memang lebih maju, karena berupaya memasukkan atau memperluas perlindungan hukum terhadap saksi dan/atau korban yang membantu dalam upaya penyelidikan tindak pidana yang berstatus pelapor atau pengadu dalam suatu tindak pidana yang dialaminya.

Kata Kunci : Perlindungan hukum saksi korban, Tindak pidana Curanmor, Kebijakan Undang – Undang.

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia memberikan perlindungan hukum yang memadai kepada seluruh rakyat dari semua bentuk kekerasan dan manipulasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, berikut ini merupakan ciri-ciri dari suatu negara hukum adalah52

51Fakultas Hukum Universitas Sjakhyakirti Palembang Jl. Sultan Muh. Mansyur Kebon Gede 32 Ilir Kota

Palembang E-mail : chitra.imelda@yahoo.com

(2)

38

a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

b. Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain yang tidak memihak.

c. Jaminan kepastian hukum, yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.

Menurut pendapat Barda Nawawi Arief, perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang juga mendapat perhatian dunia internasional. Perlindungan terhadap korban kejahatan sebagai bagian dari masalah perlindungan Hak -hak Asasi Manusia dan memang ada keterkaitan erat antara keduanya. Berdasarkan ketentuan Undang -Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa salah satu alat bukti yang Sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan atau korban yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Pada Saat korban menjadi saksi di pengadilan dan kemudian menjalani pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, korban adalah saksi pertama yang diperiksa. Ketika menjalani proses pemeriksaan, korban dituntut secara rinci mendeskripsikan kasus yang dialaminya, menceritakan mengenai kronologis peristiwa yang dialaminya disampaikan didepan pemeriksa di depan penyidik dan masih dikupas oleh pers secara rinci.53

Setelah korban memberikan kesaksiannya maka pemeriksaan dilanjutkan dengan saksi-saksi yang berkaitan dengan perkara. Berikut ini adalah Keistimewaan Korban yang bersaksi :

a) Saksi dan atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa (pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014)

b) Kesaksian biasa diberikan tertulis, kesaksian tertulis disampaikan di hadapan pejabat berwenang (penyidik) dan membubuhkan tanda tangan saksi korban pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut (pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014)

53 Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm.19

(3)

39

c) Kesaksian biasa didengar secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh penyidik (pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014).54

Penegakan hukum (law enforcement) terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam perkara pidana pencurian, pada dasarnya merupakan tindak pidana yang diatur di dalam pasal 362 hingga pasal 367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Seseorang diakatakan mencuri jika ia mengambil barang sesuatu yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Persoalan perlindungan saksi dan/atau korban atau saksi korban dalam tindak pidana pencurian kendaraan bermotor, merupakan hal yang sangat penting dan urgen untuk dikaji dan dianalisis. Karena keberadaan dan peran saksi korban dalam mengungkap suatu tindak pidana ternyata tidak sebanding dengan hak-hak yang diberikan dalam KUHAP.

Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Pelaksanaan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) sebagai upaya peningkatan Peradilan yang adil. Berbicara mengenai peradilan yang adil (fair trial) maka diperlukan adanya perlindungan terhadap hak-hak terdakwa, hak-hak korban dan hak-hak saksi secara baik sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai pemeriksaan di pengadilan sehingga pengadilan dapat berjalan secara transparan, independen dan adil .55

Dengan adanya keinginan dari korban bersedia menjadi saksi pada kasus yang menimpa dirinya, maka hal inilah yang disebut sebagai korban yan g menjadi saksi. Lain halnya dengan korban yang karena Traumatis berkepanjangan dan tidak ingin mengingat lagi apa yang terjadi pada dirinya, dan berkeinginan tidak mau menjadi saksi. Hal tersebut dapat menjadi suatu hal yang merugikan pada penuntut umum dalam melihat kadar pembuktian dan keterangan Saksi lainnya yang tidak didukung keterangan korban.56

Proses peradilan Indonesia sebagai negara hukum (rechstaa) menjunjung tinggi persamaan, namum dalam implementasinya terjadi kesenjangan antara pelaku dan korban,

54 Denny Kailimang, 2010, Jangan panik jika terjerat kasus Hukum, Bogor: Penebar Swadaya, hlm. 49 55 Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin, 2009, Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, hlm. 9.

(4)

40

dimana dalam KUHAP hak tersangka dan terdakwa sudah diatur mulai dari pasal 50 KUHAP sampai pasal 69 KUHAP tentang bantuan hukum, sedangkan dalam Undang - undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban, mengenai tugas dan kewenangan perlindungan hak-hak saksi dan korban diamanatkan kepada Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK), dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya dapat sinergis dengan tugas, fungsi, dan kewenangan lembaga penegak hukum yang berada dalam sistem peradilan pidana. Berbicara mengenai peradilan yang adil (fair trial), menurut pendapat Bambang Sunggono dan Aries Harianto bahwa, “Kebutuhan akan keadilan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang senantiasa didambakan oleh setiap orang, baik yang kaya atau yang miskin”.57

Perlindungan hukum terhadap korban terlah diatur dalam KUHAP terdapat dalam pasal 99 ayat (1) dan (2) dengan penekanan pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan atau korban. Menurut Gelaway tujuan inti dari pemberian ganti kerugian tidak lain untuk mengembangkan keadilan dan kesejahteraan korban sebagai anggota masyarakat, dan tolak ukur pelaksanaannya adalah dengan diberikannya kesempatan kepada korban untuk mengembangkan hak dan kewajiban sebagai manusia.58 Atas dasar itu, program pemberian ganti kerugian kepada korban

merupakan perpaduan usaha dari berbagai pendekatan, baik pendekatan dalam bidang kesejahteraan sosial, pendekatan kemanusiaan dan pendekatan sistem peradilan pidana.59

Dalam perkara pidana pencurian kendaraan bermotor (Curanmor), kedudukan korban dan/atau saksi atau saksi korban merupakan orang yang dirugikan dalam perkara pidana tersebut, selama ini korban dan/atau saksi atau saksi korban dari kejahatan seolah dilupakan. Ilmu hukum pidana dan praktek penyelenggaraan hukum pidana hanya memperhatikan bentuk balasan dalam arti kurungan badan kepada pelaku. Sebagai contoh dalam perkara

57 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 2009, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: CV Mandar Maju, hlm. 62.

58Muh. Zainul Arifin,Pengelolaan Anggaran Pembangunan Desa Di Desa Bungin Tinggi, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jurnal Thengkyang, Volume 1, Nomor

1 Tahun 2018

59 Rena Yulia, 2010, Viktimologi “ Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan”, Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm. 59 – 60.

(5)

41

pidana pencurian kendaraan bermotor (Curanmor) yang dialami oleh anak dibawah umur sebagai saksi dan/atau korban atau saksi korban, perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) melalui dilaksanakan melalui Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK), lebih lanjut berdasarkan ketentuan Undang -Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksii Dan korban, pasal 29A ayat (1), (2) dan (3) menyatakan bahwa :

1. Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban dapat diberikan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali.

2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan dalam hal:

a. orang tua atau wali diduga sebagai pelaku tindak pidana terhadap anak yang bersangkutan;

b. orang tua atau wali patut diduga menghalang-halangi anak yang bersangkutan dalam memberikan kesaksian;

c. orang tua atau wali tidak cakap menjalankan kewajiban sebagai orang tua atau wali;

d. anak tidak memiliki orang tua atau wali; atau

e. orang tua atau wali anak yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya.

Lebih lanjut dijelaskan didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Pasal 1 ayat (6) mengatur tentang anak dibawah umur yang menjadi saksi korban dalan suatu tindak pidana, keterangan yang anak tersebut berikan harus bebas dari rasa takut. Keterangan yang diberikan dalam perkara pidana anak berhadapan dengan hukum, harus terbebas dari, ancaman dari segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung sehingga Saksi dan/atau Korban merasa takut atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana. Perbuatan kriminal yang dilakukan oleh anak berhadapan hukum (ABH) tergolong delik commissionis, delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan atau berbuat sesuatu yang dilarang.60

Proses penjatuhan dan pilihan mengenai pidana bagi anak sepenuhnya merupakan kewenangan bagi hakim untuk memutuskan setiap perkara. Hal ini dikarenakan setiap perkara dan kasus memiliki pertimbangan dan tindakan hukum yang berbeda pula, pilihan penjatuhan pidana penjara terhadap anak diserahkan kepada kebijakan hakim,

60 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, hlm. 66.

(6)

42

sedangkan pembedaan perlakuan dan pidana tentunya didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.61

Bentuk perlindungan hokum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam perkara pidana pencurian kendaraan bermotor (Curanmor), Pencurian dengan kekerasan dalam keadaan memberatkan dengan pemberatan ini disebut juga pencurian dengan kualifikasi (gequalificeerde deifstal) atau pencurian khusus dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu sehingga bersifat lebih berat dan maka dari itu diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih tinggi yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun, menurut P.A.F. Lamintang, bahwa gequalificeerde deifstal adalah pencurian yang mempunyai unsur-unsur dari perbuatan pencurian di dalam bentuknya yang pokok, karena ditambah dengan lain-lain unsur, sehingga ancaman hukumannya menjadi diperberat.62

Ketidak adilan jika seorang anak Indonesia yang kemudian diduga melakukan tindak pidana, tetapi tindakan tersebut tidak diatur secara rinci, pasti, dan cermat dalam Undang-Undang, dijatuhi pidana yang hal tersebut merupakan tindakan mengkriminalisasi terhadap semua anak di Indonesia. Padahal tujuan asas legalitas adalah untuk melindungi setiap orang dari tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum dalam menangkap, manahan, atau menuntut seorang anak ke pengadilan tanpa menyebutkan ketentuan atau peristiwa pidana yang dilanggar. Tujuan akhir dari hukum pidana adalah perlindungan tertib hukum, sehingga perbuatan apapun yang secara sosial dipandang berbahaya maka dianggap sebagai tindak pidana

Perlindungan hukum yang dijalankan oleh LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban atau saksi korban yang tidak memerlukan izin orang tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permintaan LPSK. Dalam kasus tertentu sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan korban, pasal 5 ayat (1), melalui keputusan LPSK, hak-hak yang diberikan kepada Saksi dan Korban meliputi :

61Dikutip dari situs internet

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan%20nomor%201.P UU.2010%20%20_Edit%20Pan itera_.pdf, diakses pada tanggal 02 Oktober 2015.

(7)

43

a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c) memberikan keterangan tanpa tekanan; d) mendapat penerjemah;

e) bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f) mendapat informasi mengenai perkembangan kasus. g) mendapat informasi mengenai putusan pengadilan h) mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan i) dirahasiakan identitasnya

j) mendapat identitas baru;

k) mendapat tempat kediaman sementara; l) mendapat tempat kediaman baru;

m) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; n) mendapat nasihat hukum;

o) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau

p) mendapat pendampingan.

Berkaitan dengan korban yang menjadi saksi, maka terdapat suatu pandangan dari penegak hukum, dimana korban dianggap sebagai bagian dari su atu proses berlangsungnya penyelesaian suatu kasus. Bagi Jaksa, pemikiran mengenai korban adalah sebagai suatu bentuk status tentang keadaan seseorang yang berada pada pihak yang langsung mengalami suatu tindak pidana yang menjadikannya mempunyai hak untuk mendapat perlindungan hukum. Suatu pendapat yang menganggap bahwa korban adalah pihak yang akan bersaksi di Pengadilan dengan status saksi korban adalah pendapat yang mengakomodir bahwa seorang jaksa memerlukan suatu keterangan dari saksi korban tentang suatu peristiwa yang terjadi yang menimpa dirinya.63

Permasalahan lain mengenai korban yaitu permasalahan istilah, dimana istilah saksi korban tidak tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana sebagai bentuk hukum acara bagi hukum pidana Indonesia. Pemakaian keterangan korban di depan Pengadilan akan dianggap sebagai keterangan yang akan dibuat oleh saksi, oleh karena itu harus dihubungkan dengan ketentuan yang berlaku bagi seorang saksi yang akan memberikan kesaksian di Pengadilan. Konsekwensinya maka korban harus tunduk pada peraturan yang mengharuskan korban hadir apabila dipanggil oleh penuntut umum di Persidangan dan apabila tidak hadir dapat diberi sanksi sandera.64

Kedudukan saksi dan korban atau saksi korban dalam mengungkap suatu tindak pidana pencurian kendaraan bermotor (Curanmor) sangat penting, sehingga hal tersebut

63 Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin, op cit, hlm. 233. 64 Ibid.

(8)

44

harus ditunjang dengan pemberian perlindungan dan hak-hak yang memadai kepada seorang saksi dan korban atau saksi korban untuk menemukan pelaku kejahatan yang sesungguhnya sehingga proses keamanan didalam masyarakat dapat tercipta, sesuai tujuan dari asas persamaan di depan hukum (equality before the law) yang merupakan salah satu ciri negara hukum. Karena proses keadilan yang bertujuan menciptakan perdamaian harus diciptakan, oleh karena itu perlindungan terhadap kedudukan saksi dan korban atau saksi korban harus sebanding dengan pentingnya keterangan yang diberikan untuk terciptanya proses peradilan yang lancar. Sejalan dengan Asas persamaan dimuka hukum tersebut (equality before the law) memberi jaminan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut diatas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap saksi korban pada tindak pidana pencurian kendaraan bermotor berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban ?

2. Faktor apa saja yang menjadi kendala-kendala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam perlindungan hukum terhadap saksi korban ?

Pembahasan

A. Perlindungan hukum terhadap saksi korban pada tindak pidana pencurian kendaraan bermotor berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga masyarakat. Apabila hukum dirasakan telah responsif dan aspiratif, para pemimpin negara telah memberikan teladan mentaati dan menghargai hukum, memberikan saluran keadilan yang dapat memuaskan

(9)

45

masyarakat, maka dengan sendirinya masyarakat akan lebih menghargai hukum.65 Sarana perlindungan hukum ada dua bentuk, yaitu sarana perlindungan hukum Preventif dan Represif. Implementasi pemberian Hak dan perlindungan saksi dalam sistem hukum acara pidana dalam trend dan praktek berbagai hukum acara di dunia saat ini di bedakan dalam dua cara Pertama adanya pemberian hak dan perlindungan saksi dalam kondisi biasa dan kedua adalah adanya pemberian hak dan perlindungan saksi dalam kelompok khusus. Kelompok khusus ini bisa di kategorikan yaitu :

1) saksi yang rapuh dan rentan sebagai akibat dari karakteristik personal seperti kerusakan intelejensia dan fungsi sosial yang signifikan atau kelainan mental atau fisik atau kecacatan fisik.

2) saksi yang sangat mungkin mengalami trauma emosional, atau mereka yang sangat terintimidasi atau tertekan sehingga mereka tidak bisa memberikan kesaksian terbaik tanpa di bantu oleh aparat Negara

3) saksi yang memang berada dalam ancaman.66

Masalah perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang juga mendapat perhatian dunia internasional. Dalam kongres PBB VII/1985 di Milan (tentang the prevention of crime and the treatment of offenders) dikemukakan bahwa, hak-hak korban seyogianya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (victims’ rights should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice

system).67

Terhadap anak yang menjadi Saksi Korban Dalam Perkara Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor (Curanmor), berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, pasal 29A ayat 1 menerangkan bahwa, “Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban dapat diberikan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali”. Selanjutnya menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan

65 Saipuddin Zuhri, 2016, Problema Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Palembang: Tunas Gemilang Press, hlm. 167

66 Supriyadi W.Eddyono, 2006, Catatan kritis atas Rancangan Undang-Undang perlindungan saksi, Jakarta: ELSAM, hlm. 6.

67 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 53

(10)

46

Saksi dan Korban, Pasal 29A ayat 2, hurup (a,b,c,d &e), izin sebagaimana dimaksud tidak diperlukan dalam hal sebagai berikut :

a) orang tua atau wali diduga sebagai pelaku tindak pidana terhadap anak yang bersangkutan;

b) orang tua atau wali patut diduga menghalang-halangi anak yang bersangkutan dalam memberikan kesaksian;

c) orang tua atau wali tidak cakap menjalankan kewajiban sebagai orang tua atau wali; d) anak tidak memiliki orang tua atau wali; atau

e) orang tua atau wali anak yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya.

Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban yang tidak memerlukan izin orang tua atau wali sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, diberikan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permintaan LPSK.

Ketentuan Pidana mengenai Perlindungan hukum terhadap saksi dan korban, diatur di dalam ketentuan pidana pasal 37 ayat 1, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menetapkan bahwa :

“Setiap Orang yang memaksakan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan atau cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh Perlindungan dalam hal memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya kemudian dirahasiakan identitas saksi dan korban, mendapat identitas baru, mendapat tempat kediaman sementara atau mendapat tempat kediaman baru, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.

Ketentuan pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pasal 37 ayat 2 menyatakan bahwa :

“Setiap Orang yang melakukan pemaksaan kehendak sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ketentuan pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pasal 37 ayat 3 menyatakan bahwa, “Setiap Orang yang melakukan pemaksaan kehendak sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

(11)

47

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban,Pasal 5 ayat 1, hurup (a-f) dan Pasal 8, ayat 1, menyatakan bahwa :

“Saksi dan/atau Korban berhak memperoleh Perlindungan hukum sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang seperti halnya yaitu, “perlindungan atas keamanan pribadi yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, memberikan keterangan tanpa tekanan dan bebas dari pertanyaan yang menjerat”.

Ketentuan Pidana dalam hal perlindungan hukum terhadap saksi dan/atau korban di dalam proses peradilan dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pasal 39 ayat 1 menyatakan bahwa, “Setiap Orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau Keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

B. Faktor apa saja yang menjadi kendala-kendala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam perlindungan hukum terhadap saksi korban .

Dalam perlindungan Hak Asasi Manusia berdasarkan asas equality before the law telah banyak perlindungan yang dengan tegas diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan, Posisi saksi dan/atau korban cenderung diperlakukan hanya sebagi salah satu alat bukti, saksi selalu saja didorong untuk bersuara di depan Pengadilan, sedangkan korban yang biasanya dijadikan sebagai seorang saksi korban hanya ditunjukkan di depan Pengadilan untuk mendukung argumentasi Jaksa Penuntut Umum. Setelah itu tidak ada upaya pemulihan yang memadai untuk memulihkan posisi saksi dan/atau korban seperti semula.68 Perlindungan hukum berdasarkan prinsip Asas Equality Before The Law dalam sistem hukum, ada beberapa faktor yang menentukan

68 Supriadi Widodo Eddyono, 2005, Perlindungan Saksi Dan Korban Pelanggaran HAM Berat, Jakarta: ELSAM, hlm. 2.

(12)

48

proses perlindungan hukum pada salah satu komponen akan berimbas pada faktor lainnya.69

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 1 ayat 5 bahwa, “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka penegakan hukum dan penanganan pelanggaran hak asasi manusia”. Perkembangan sistem peradilan pidana saat ini, tidak saja berorientasi kepada pelaku, tetapi juga berorientasi kepada kepentingan Saksi dan Korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disingkat LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Selanjutnya dijelaskan di dalam pasal 1 ayat 8, ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 11 ayat 1,2 dan 3 diatur ketentuan bahwa, “LPSK merupakan lembaga yang mandiri, berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan”. Selanjutnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 12A ayat 1, hurup (d, h dan i), mengatur ketentuan mengenai susunan, dan tata kerja perwakilan LPSK di daerah diatur dalam Peraturan Presiden. Dalam hal memperoleh informasi perkembangan kasus LPSK berwenang meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum, sampai dalam hal melakukan pengamanan, pengawalan, pendampingan Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan.

Posisi Saksi dan/atau korban yang dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya sehingga membutuhkan perlindungan kepada LPSK, Saksi dan/atau korban memiliki kewajiban untuk mengajukan permohonan kepada LPSK agar mereka mendapatkan perlindungan dari LPSK, disamping itu Saksi dan/atau korban harus

69 Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Jakarta: Genta Publishing,, hlm. 8.

(13)

49

memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh LPSK. Namun dari persyaratan tersebut terdapat beberapa ketentuan yang dipandang sulit untuk dilakukan oleh saksi dan/atau korban yang berada di daerah yang jauh dari ibu kota Jakarta. Kelemahan LPSK yang diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjadi salah satu penyebab menurunnya kinerja LPSK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 29 ayat 1, hurup (a,b & c) diatur mengenai Tata cara memperoleh Perlindungan hukum terhadap saksi dan/atau korban, yakni sebagai berikut :

a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;

b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan

c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan Perlindungan diajukan.

Bentuk perlindungan hukum lain yang dapat diberikan kepada korban sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Retribusi, Dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban adalah melalui pemberian kompensasi, retribusi, dan rehabilitasi. Landasan hukum dalam pemberian bantuan hukum berdasarkan atas asas equality before the law, ditetapkan dalam kongres dan konvensi internasional, sebagai instrumen internasional yaitu ;

a. World Conference on the independence of justice c.q. Universal Declaration on the Independence of justice.

b. Eight United Nations Congress on the prevention of crime and the treatment of offenders pada bagian b. Other instrumens adopted by the congress tepatnya pada bagian 3. Basic principles on the role of lawyers tentang Access to Lawyers and legal service.

(14)

50

c. Convention Against Torture and Other Cruel, inhuman or degrading treatment of punishment pada tanggal 28 September 1998 yang berupa resolusi PBB nomor 39/40 tanggal 10 Desember 1984. Instrument Internasional yang melandasi pemberian bantuan hukum jika dikaji dan dianalisis, menunjukkan pengaturan yang baik dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan Asas equality before the law.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7A, ayat 1, mengatur ketentuan mengenai Restitusi yang merupakan bagian dalam sistem pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban tindak pidana. Mengenai tindak pidana sebagaimana yang dimaksud diatur dan ditetapkan dengan keputusan LPSK, Restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa :

a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau

c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 29 ayat 1, hurup (a,b&c), lebih lanjut mengatur mengenai peraturan LPSK tentang tata cara memperoleh Perlindungan hukum yang pada hakekatnya merupakan hak saksi dan korban, yakni sebagai berikut :

a) Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;

b) LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf (a).

c) Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan Perlindungan diajukan.

Dari pengembangan substansi di atas, Faktor yang menjadi kendala-kendala atau kelemahan dalam pelaksanaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam perlindungan hukum terhadap saksi korban khususnya mengenai :

(15)

51

a) kelembagaan yang belum memadai untuk mendukung tugas dan fungsi LPSK dalam memberikan Perlindungan terhadap Saksi dan Korban;

b) keterbatasan kewenangan yang menyangkut substansi penjabaran dari tugas dan fungsi LPSK yang berimplikasi pada kualitas pemberian layanan Perlindungan Saksi, Korban, Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli;

c) koordinasi antarlembaga dalam pelaksanaan pemberian Kompensasi dan Restitusi; dan d) Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang posisi anak tersebut

berada didaerah dan jauh dari ibu kota Jakarta. Sedangkan Perwakilan LPSK hingga saat ini untuk setiap daerah belum terealisasi karena belum adanya standar kerja, indikator kebutuhan dan standar prioritas bagi pendirian perwakilan LPSK di daerah-daerah (setiap propinsi).

e) Problem atas minimalnya kewenangan dari LPSK yang dalam prakteknya akan menyulitkan peran-peran dari LPSK dikarenakan status kemandirian ini tindak didukung dengan mandat atau kewengan yang cukup.

f) Belum adanya pendirian (rumah aman/Safe House) yang menyediakan akomodasi darurat jangka pendek (biasanya tidak lebih dari dua minggu) walaupun durasinya juga berbeda –beda, tergantung konteks kasus dan tergantung kebutuhan, untuk saksi maupun orang terkait dengan saksi misalnya keluarga. Anggaran menggunakan rumah aman belum ada dalam program perlindungan, Apakah LPSK akan membangun sendiri atau menyewa dari pihak-pihak lainnya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7A, ayat 3 mengatur tentang Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK. Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7A, ayat 4 yang menyatakan bahwa, “LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya”. Dalam hal permohonan Restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 7A, ayat 5, yang menyatakan bahwa, “LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan”. Dalam ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 12A, ayat 1, hurup (j), LPSK berwenang melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian Restitusi dan Kompensasi.

Dalam kenyataannya tugas dan kewenangan LPSK dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tugas dan kewenangan LPSK tidak diatur secara spesifik, dalam ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hanya mengatur mengenai tanggung jawab LPSK,

(16)

52

keanggotaan dan proses seleksi LPSK, dan pengambilan keputusan dan pendanaan namun tidak mengatur secara spesifik mengenai organisasi dan dukungan kelembagaan, administrasi, SDM, pengawasan, serta tranparansi dan akuntabilitas dari LPSK.70

Adapun faktor-faktor lain yang menjadi kelemahan dari berkembangnya kinerja LPSK ini adalah kurangnya sosialisasi bagi masyarakat yang berada di daerah, sehingga minimnya pengetahuan masyarakat daerah akan kehadiran LPSK ini walaupun telah ditetapkan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan korban dalam proses peradilan pidana tentunya tidak terlepas dari perlindungan korban menurut ketentuan hukum positif yang berlaku.71 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 28 ayat 1, hurup (a,b,c & d) mengatur tentang kewenangan perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban diberikan dengan syarat sebagai berikut :

a) sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;

b) tingkat Ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;

c) hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; dan d) rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.

Penutup

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :

1. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, dalam proses perkara pidana, menyatakan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari keadilan, dan jaminan perlindungan hukum kepada seluruh rakyat Indonesia, berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, Pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014

70Dikutip dari situs internet

http://repository.unand.ac.id/17037/1/FUNGSI_LEMBAGA_PERLINDUNGAN_SAKSI_DAN_KORBAN.p df. diakses pada tanggal 15 November 2015.

(17)

53

Tentang Perlindungan Saksi Dan korban, bahwa Perlindungan Saksi dan/atau Korban adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK. Sarana perlindungan hukum ada dua bentuk, yaitu sarana perlindungan hukum Preventif dan Represif. Pertama adanya pemberian hak dan perlindungan saksi dalam kondisi biasa dan kedua adalah adanya pemberian hak dan perlindungan saksi dalam kelompok khusus.

2. Perlindungan hukum terhadap Anak berhadapan hukum (ABH), terhadap larangan atas perbuatan pidana pencurian dengan kekerasan dalam keadaan memberatkan sehingga anak tersebut dihadapkan di muka sidang Pengadilan, maka anak tersebut wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuata hukum tetap dalan proses penyelesaian konflik tanpa kekerasan yang diselenggarakan oleh negara melalui Pengadilan, hakim berjuang untuk menyelesaikan konflik tanpa kepentingan pribadi dan memiliki persepsi yang berbeda dengan para pihak yang berkonflik, karena Peranan yang tidak kalah pentingnya dari lembaga pengadilan ini adalah menjadikan dirinya sebagai wadah integrasi dari berbagai kepentingan, baik kepentingan negara, kepentingan hukum, maupun kepentingan masyarakat.

B. Saran – Saran

Saran-saran yang dapat diberikan, sebagai berikut :

1. Dari kelemahan-kelemahan LPSK yang signifikan dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap saksi dan korban, diperlukan perubahan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, antara lain :

(18)

54

a) Penguatan kelembagaan LPSK, antara lain peningkatan sekretariat menjadi sekretariat jenderal dan pembentukan dewan penasihat.

b) Penguatan kewenangan LPSK c) Perluasan subjek perlindungan

d) Perluasan pelayanan perlindungan terhadap korban. e) Peningkatan kerjasama dan koordinasi antar lembaga.

2. LPSK seharusnya lebih siap dan lebih mampu bekerjasama dengan instansi terkait seperti : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisi an, dan instansi penegak hukum lainnya. Terkait dengan kerjasama antar lembaga atau instansi, maka perlu diperhatikan beberapa hal yaitu :

a) Para aparat penegak hukum dari lembaga dan instansi terkait dengan LPSK harus mampu memberikan tanggapan yang efektif dan konsisten. b) Walaupun kerjasama telah dilakukan namun dengan membatasi hubungan

dengan beberapa orang di setiap lembaga, maka resiko yang membahayakan saksi dan/atau korban kemungkinan dapat diperkecil. c) Hubungan antar lembaga yang kuat dan dibangun diantara staff maupun

Anggota LPSK dengan aparat lembaga dan instansi lain sangat penting saat menangani masalah-masalah yang mungkin timbul saat membantu para saksi dan/atau korban.

3. Terkait dengan kerjasama antar lembaga atau instansi, maka perlu diperhatikan beberapa hal yaitu :

a) Para aparat penegak hukum dari lembaga dan instansi terkait dengan LPSK harus mampu memberikan tanggapan yang efektif dan konsisten. b) Walaupun kerjasama telah dilakukan namun dengan membatasi hubungan

dengan beberapa orang di setiap lembaga, maka resiko yang membahayakan saksi dan/atau korban kemungkinan dapat diperkecil. c) Hubungan antar lembaga yang kuat dan dibangun diantara staff maupun

Anggota LPSK dengan aparat lembaga dan instansi lain sangat penting saat menangani masalah-masalah yang mungkin timbul saat membantu para saksi dan/atau korban.

4. Seharusnya untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap seluruh rakyat Indonesia, selain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan korban, pemerintah bersama LPSK harus membuat

(19)

55

peraturan Perundang- Undangan yang mengatur lebih jelas mengenai kerjasama LPSK dengan instansi terkait mengenai perlindungan hukum terhadap saksi dan/atau korban, baik itu tindak pidana ringan ataupun tindak pidana berat sehingga asas equality before the law dapat diterapkan kepada para pencari keadilan, dimulai dari tahap penyidikan (Kepolisian), Penuntutan (Kejaksaan), Pemeriksaan sidang pengadilan (Pengadilan), Bantuan hukum (Penasihat hukum/Advokat), Pemasyarakatan (Lembaga Pemasyarakatan) dalam setiap proses perkara pidana.

5. Seharusnya LPSK mendirikan perwakilan disetiap daerah-daerah di Indonesia dalam upaya untuk memberikan Perlindungan hukum terhadap saksi dan/atau korban yang berhadapan dengan hukum yang posisi saksi dan/atau korban tersebut berada didaerah dan jauh dari ibu kota Jakarta. Sedangkan Perwakilan LPSK hingga saat ini untuk setiap daerah belum terealisasi karena belum adanya standar kerja, indikator kebutuhan dan standar prioritas bagi pendirian perwakilan LPSK di daerah-daerah (setiap provinsi) dan mensosialisasikan program kerja tentang informasi yang memadai mengenai pemahaman hak -hak masyarakat dalam mendapatkan perlindungan hukum.

Daftar Pustaka Buku

Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta : Paradigma. Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Denny Kailimang, 2010, Jangan panik jika terjerat kasus Hukum, Bogor: Penebar Swadaya. Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin, 2009, Perlindungan Saksi Dan Korban

Dalam Sistem Peradilan Pidana, Surabaya: CV. Putra Media Nusantara.

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 2009, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: CV Mandar Maju.

(20)

56

Rena Yulia, 2010, Viktimologi “ Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan”, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama.

Muh. Zainul Arifin, Pengelolaan Anggaran Pembangunan Desa Di Desa Bungin Tinggi, Kecamatan Sirah Pulau Padang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jurnal Thengkyang, Volume 1, Nomor 1 Tahun 2018

P.A.F Lamintang, 1985, Hukum pidana Indonesia, Bandung: PT. Sinar Baru.

Saipuddin Zuhri, 2016, Problema Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Palembang: Tunas Gemilang Press.

Supriyadi W.Eddyono, 2006, Catatan kritis atas Rancangan Undang-Undang perlindungan saksi, Jakarta: ELSAM.

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Supriadi Widodo Eddyono, 2005, Perlindungan Saksi Dan Korban Pelanggaran HAM Berat, Jakarta: ELSAM.

Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Jakarta: Genta Publishing.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Internet

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/Putusan%20nomor%201.PUU.2010%20 %20_Edit%20Panitera_.pdf, diakses pada tanggal 02 Oktober 2015.

http://repository.unand.ac.id/17037/1/FUNGSI_LEMBAGA_PERLINDUNGAN_SAKSI_D AN_KORBAN.pdf. diakses pada tanggal 15 November 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tulisan ini akan dikaji hubungan antara pendapatan masyarakat (produk domestik regional bruto) DIY, jumlah penduduk DIY, dan pendapatan daerah DIY terhadap jumlah

Untuk konteks sekolah negeri tingkat dasar, pada dasarnya seluruh komponen biaya tersebut sudah ditanggung oleh pemerintah, termasuk untuk biaya operasi non

Dengan melihat kondisi angin yang seperti ini bisa dikatakan pada tanggal 9 November 2017 hujan berpotensi turun dalam waktu yang cukup lama sebab pergerakan angin seperti mendapat

[r]

hukum dalam memperoleh organ gigi manusia untuk kepentingan Pendidikan. Masyarakat mengetahui adanya hukum yang mengatur tentang jual beli organ. untuk kepentingan pendidikan.

No Nomor Peserta Nama Asal Sekolah

Proses pembuatan logam baja metal mall tipe DZA 117 W terbagi dalam beberapa tahap pengerjaan yaitu tahap I menyetting semua mesin produksi metal mall, tahap II memasukan bahan

SHQFHOXSDQXQLWNDELQNHGDODPEDNFDWWDKDSSHQJHF HNDQWDKDSSHPDVDQJDQSLQWX WDKDS SHQXWXSDQ VDPEXQJDQ SODW WDKDS SHQJHFDWDQ SULPHU WDKDS SHQJDPSODVDQ WDKDS SHPHULNVDDQ FDFDW SDGD