• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II. Kerangka Kerja Teoretik. II.2 Penyelenggaraan Sensus sebagai Produksi Fakta Publik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab II. Kerangka Kerja Teoretik. II.2 Penyelenggaraan Sensus sebagai Produksi Fakta Publik"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II. Kerangka Kerja Teoretik

II.1 Pendahuluan

Dalam bagian ini disampaikan kerangka konsep-konsep teoretik dan analitik yang dipergunakan dalam pelaksanaan penelitian ini. Kerangka kerja yang disusun mencakup konsep tentang statistik sebagai fakta publik, Teori Jejaring Aktor (Actor

Network Theory/ANT) sebagai sarana analisis fenomena sosioteknis, dan

konsep-konsep yang terkait dengan pelaksanaan penelitian kualitatif. Pada bab ini dipaparkan pula sejarah pelaksanaan sensus penduduk di Indonesia dan modernisasi pelaksanaan sensus pada tiap sensus penduduk yang sudah dilaksanakan di Indonesia, sehingga diharapkan paparan ini dapat menggambarkan keseluruhan realita sampai dengan munculnya permasalahan yang kemudian dirumuskan dalam penelitian ini.

II.2 Penyelenggaraan Sensus sebagai Produksi Fakta Publik

Sensus penduduk merupakan kegiatan penghitungan resmi populasi penduduk sebuah negara yang dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu melalui pencacahan terhadap setiap rumah tangga dan penduduk di wilayah geografis Indonesia. Sensus penduduk memberikan fakta tentang ukuran populasi dan karakteristik demografi seperti usia, jenis kelamin, status pernikahan, suku bangsa, pendidikan, dan pekerjaan. Negara-negara di dunia melaksanakan sensus penduduk secara reguler. Agar data sensus penduduk dapat dibandingkan dengan data sensus penduduk dari negara-negara lainnya serta agar perbandingan data sensus penduduk antar waktu dapat dilakukan, maka dalam pelaksanaannya sensus penduduk selalu mengacu kepada rekomendasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan kerjasama ekonomi untuk Asia dan Pasifik, khususnya mengenai konsep, definisi maupun jenis data yang dikumpulkan. Untuk negara berkembang, sensus penduduk merupakan metode yang terbaik untuk mengumpulkan data kependudukan karena

(2)

cakupan dan kualitas registrasi penduduk masih belum memadai sebagai sumber data kependudukan. Dengan tersedianya data kependudukan yang akurat, lengkap dan tepat waktu serta obyektik melalui sensus penduduk, perencanaan program serta evaluasi pembangunan di berbagai bidang dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisiensi. Sebagai gambaran, hasil sensus penduduk tidak hanya menghasilkan angka total penduduk Indonesia, hasil data kependudukan tentang banyaknya penduduk usia sekolah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sangatlah dibutuhkan oleh Departemen Pendidikan dalam menyediakan sarana dan program-program pendidikan, selain itu data tentang usia angkatan kerja dan penduduk yang bekerja dibutuhkan Departemen Tenaga Kerja dalam menyusun kebijakan tentang lapangan pekerjaan dan mengatasi masalah pengangguran. Tidak kalah penting juga, dari sensus penduduk kita dapat melihat berapa jumlah dan keberadaan penduduk Indonesia yang berada di luar negeri atau pun penduduk asing yang berada di negeri ini, baik mereka yang berijin resmi ataupun legal.

Penyelenggaraan sensus dapat pula dikatakan sebagai kegiatan untuk menghasilkan ’fakta sosial’ (social fact) tentang masyarakat di sebuah negara. Badan pelaksana sensus melaksanakan sensus untuk mendapatkan pengetahuan dan membuat pernyataan tentang masyarakat. Pernyataan-pernyataan ini disebarluaskan ke berbagai pihak untuk diterima dan ditafsirkan sebagaimana ’apa adanya’. Meskipun lembaga-lembaga lain seperti media massa, LSM, dapat pula melaksanakan kegiatan untuk menghasilkan informasi tentang masyarakat, jika pernyataan-pernyataan yang dihasilkan lembaga-lembaga ini disebarluaskan pihak-pihak yang menerima pernyataan ini akan menafsirkan sesuai dengan konteks-konteks penafsiran yang beda, sehingga makna pernyataan-pernyataan tersebut menjadi berbeda-beda. Berbeda dengan ini, suatu hasil sensus, sebagai informasi resmi tentang masyarakat yang dibuat melalui prosedur resmi tertentu, memiliki sifat sebagai fakta sosial.

Dengan UU Statistik No.16 Tahun 1997, BPS secara ’legitimate’ menjadi lembaga penyelenggara kegiatan sensus dan survei untuk memproduksi fakta dalam angka yang disebut statistik. Sebagai lembaga yang memproduksi fakta, masyarakat adalah

(3)

obyek dalam kegiatan sensus/survei BPS, dan fakta karakteristik masyarakat yang dihasilkan oleh BPS akan bersikulasi dan dikomunikasikan dalam jejaring yang menghubungkan banyak pihak, baik Bappenas dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, LSM/Parpol, perusahaan swasta dan agen-agen internasional.

Masyarakat sebagai obyek sensus/survei Kuesioner/ Angket BPS Statistika Bappenas /Depkeu Lembaga Pemerintah lain Agen-agen Internasional Swasta LSM/ Parpol

Gambar II.1 Posisi BPS dalam menghasilkan Statistika, yang bersikulasi ke sejumlah pihak.

Pada gambar diatas sekelompok masyarakat akan dibingkai karakteristiknya oleh BPS. Informasi karakteristik masyarakat direkam oleh BPS melalui kuesioner/ angket yang disirkulasikan di masyarakat oleh petugas BPS. Hasil rekaman tersebut oleh BPS disajikan dalam bentuk fakta dalam angka yang disebut statistika yang dibutuhkan pemerintah di semua tingkatan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk menyusun perencanaan program-program layanan publik, untuk itu lembaga pemerintah berkoordinasi dengan Bappenas/Depkeu dalam perencanaan kegiatannya. Dalam melakukan koordinasi lembaga pemerintah dan Bappenas membutuhkan statistika agar proses perencanaan kegiatan dapat berjalan dengan memenuhi skala prioritas dan penyediaan dana yang tepat. Masyarakat sebagai objek pembangunan menempatkan dirinya dalam mengawasi proses pembangunan dan memberi respon terhadap kebijakan dan kegiatan yang dilaksanakan pemerintah melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ataupun Partai Politik, dan untuk itu LSM/Parpol menggunakan statistika sebagai acuan dalam berkomunikasi dengan pemerintah. Para pengusaha swasta menggunakan statistik data sensus (terutama sensus ekonomi) untuk membuat keputusan-keputusan investasi. Semakin intensifnya kerja sama antar bangsa, hasil sensus diperbandingkan antara satu negara dan negara lain, untuk memutuskan mana negara yang lebih baik dan mana yang kurang baik.

(4)

Jadi, BPS sebagai lembaga yang memiliki legitimasi untuk produksi fakta publik menjadi intermediary antara masyarakat yang akan dibingkai karakteristiknya dengan pihak-pihak yang membutuhkan fakta publik. BPS menyediakan inskripsi-inskripsi dalam bentuk teks, yang bersikulasi dan menghubungkan banyak pihak yang lain.

II.3 Perkembangan Sensus Penduduk di Indonesia

Sensus Penduduk di Indonesia pertama kali dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930. Sedangkan dibawah Pemerintah Indonesia sensus penduduk telah diselenggarakan sebanyak 5 (lima) kali yaitu pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990 dan 2000. Perkembangan sensus penduduk di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut :

II.3.1 Sensus Penduduk 1930

Sebelum Perang Dunia II, pada masa dimana bangsa Indonesia masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda, sensus penduduk dilakukan pada tahun 1930 secara serentak di seluruh wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang mencakup seluruh penduduk. Pengolahan data hasil pencacahan penduduk dilakukan secara manual. Sampai saat ini belum ditemukan dokumen yang lengkap mengenai sensus penduduk yang menggambarkan bagaimana persiapan dalam pelaksanaan sensus, termasuk bagaimana petugas dipilih dan dilatih untuk melakukan pencacahan. Tetapi berdasarkan pengamatan terhadap jenis daftar isian dalam Sensus Penduduk 1930, diduga pelaksanaan sensus di lapangan dikoordinasikan oleh para Bupati, Camat dan Kepala Desa. Hambatan utama dalam pelaksanaan sensus penduduk pada waktu itu adalah besarnya jumlah penduduk yang dicacah yang bertempat tinggal di ribuan pulau. Hambatan itu juga dikarenakan sarana transportasi dari satu daerah ke daerah yang lain pada waktu itu masih sangat terbatas. Disamping itu, perekrutan petugas lapangan di berbagai daerah yang sesuai dengan persyaratan yang

(5)

ditentukan juga menghadapai kendala, dikarenakan saat itu sangat terbatasnya penduduk yang berpendidikan1.

II.3.2 Sensus Penduduk 1961

Dalam mempersiapkan pelaksanaan Sensus Penduduk 1961 (SP61), Undang-Undang tentang sensus terdahulu yang dibuat sebelum perang Dunia II dibaharui dengan Undang-Undang No.6 Tahun 1960 tentang Sensus dan Undang-Undang No.7 Tahun 1960 tentang Statistik, yang menjadi landasan kuat bagi BPS untuk menyelenggarakan sensus penduduk dan sensus-sensus lain dan sensus penduduk harus dilaksanakan setiap 10 tahun. Berdasarkan undang-undang tersebut maka BPS mengadakan reorganisasi di dalam tubuh BPS, yaitu dengan pembentukan kantor cabang BPS di setiap propinsi dan kabupaten/kotamadya di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu BPS juga meminta tenaga ahli dari PBB untuk ditempatkan di BPS dan membantu dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan penyajian data sensus. Dengan baru terbentuknya kantor-kantor cabang BPS di daerah, pada waktu itu BPS banyak menghadapi masalah, misalnya kurangnya sarana fisik seperti gedung, ruang kerja dan fasilitas kantor lainnnya. Dan untuk mengatasi masalah ini BPS banyak meminjam berbagai fasilitas dari pemerintah daerah setempat dalam kurun waktu tertentu.

Sensus Penduduk 1961 dilaksanakan pada tanggal 31 Oktober 1961. Informasi yang dikumpulkan adalah keterangan rumahtangga dan keterangan individu yang meliputi nama, hubungan dengan kepala rumahtangga, jenis kelamin, umur, status perkawinan, kewarganegaraan, agama, bahasa, tempat lahir, pendidikan, dan keterangan sekolah. Pada pengolahan hasil SP61, BPS belum mempunyai komputer. Sepuluh persen dari hasil pencacahan dikirimkan dan diolah di BPS Pusat dan 90% diolah di BPS daerah. Pengolahan dilakukan secara mekanik dengan mesin sortir. Karakteristik data disimpan dalam kartu punch (punch card) dan disortir dengan tabel yang diinginkan. Pada waktu itu, BPS juga menghadapi masalah dikarenakan faktor kurangnya tempat untuk penyimpanan dokumen. Kurang nya tempat

1

SGM Mamas, Sejarah Sensus Penduduk, outline 0f SP2000, Penggunaan Data SP untuk Perencanaan, hal 3-4

(6)

penyimpanan menyebabkan banyak dokumen yang tidak diletakkan di ruangan, namun di lorong-lorong, sehingga ketika hujan datang banyak dokumen yang terkena air hujan sehingga menjadi rusak dan tidak bisa diolah.

Pengolahan di daerah pun menemui berbagai permasalahan yang diantaranya adalah keterbatasan penyediaan dana, karena perekonomian pemerintah Indonesia saat itu buruk, hal ini menyebabkan proses pengolahan di daerah tidak dapat diselesaikan. Hal ini menyebabkan hasil SP61 tidak dapat dipublikasikan dan dapat dikatakan bila pelaksanaan SP61 gagal. Tetapi kegagalan ini menjadi pelajaran bagi pelaksanaan sensus penduduk di kemudian hari.

II.3.3 Sensus Penduduk 1971

Sensus penduduk kedua direncanakan pada tahun 1970, tetapi karena pelaksanaannya dikaitkan dengan persiapan Pemilu 1971, maka pelaksanaan pencacahannya dilakukan pada tahun 1971 pada bulan September sampai Oktober. Sensus Penduduk 1971 (SP71) lebih maju daripada Sensus Penduduk 1961 (SP61) dari segi perencanaan, pelaksanaan lapangan, dan pengolahannya. Kegagalan SP61 utamanya disebabkan karena kurang baiknya manajemen dokumen dan kegagalan dalam tahap pengolahan data. Kelemahan dalam pengolahan data terletak pada tahap penyalinan data dari kuesioner ke dalam kartu punch. Pada SP71, tahap pengolahan data menjadi hal yang penting. Untuk itu BPS membeli pertama kali mesin yang bernama komputer. Komputer yang dibeli saat itu adalah komputer merek ICL buatan Inggris. Proses pengolahan data SP71 dilakukan secara komputerisasi, pemasukan data ke dalam komputer (data capturing) menggunakan mesin scanner (jenis Optical Mark Reader, OMR), menggantikan kartu punch. Penggunaan mesin OMR mensyaratkan kertas kuesioner /angket dengan sifat bahan dan ketebalan khusus. Karena Indonesia pada saat itu belum mampu mencetak maka pencetakan kertas kuesioner/dokumen terpaksa dilakukan di luar negeri yaitu di Australia.

Pengolahan data dengan komputer pada SP71 dilakukan selama 6 bulan. Walaupun hasil sensus dapat dipublikasikan namun dalam pengolahan data tetap masih

(7)

menghadapi masalah, yaitu masalah bagaimana menangani dan memperlakukan dokumen dengan baik agar dapat diolah. Agar dokumen dapat diolah maka dokumen tidak boleh rusak (terlipat, robek, lembab dan kotor). Untuk itu dalam pengirimannya, dokumen disimpan dalam kotak yang tiap kotaknya memuat 500 lembar dokumen. Walaupun cara pengiriman dokumen sudah diusahakan sebaik mungkin namun karena medan dan lokasi pencacahan secara geografis cukup sulit menyebabkan 2 sampai 3 persen data tidak dapat diolah. Data-data yang tidak dapat diolah tersebut harus disalin secara manual atau dihapus dan tidak diolah. Hal ini menjadi kelemahan pengolahan data pada SP71.

II.3.4 Sensus Penduduk 1980

Sensus Penduduk 1980 (SP80) adalah sensus yang dilakukan tepat waktu sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yaitu pada tahun dengan akhiran nol (0). Selain menghitung bangunan dan rumahtangga, SP80 juga mengumpulkan keterangan individu mencakup nama, hubungan dengan kepala rumahtangga, jenis kelamin, umur, status perkawinan, kewarganegaraan, agama, dan status sekolah bagi anak usia 7-12 tahun, dan pengusahaan pertanian. Karena tahun 1981 merupakan tahun cacat internasional maka dalam sensus 1980 juga dikumpulkan keterangan mengenai kecacatan.

Pada SP80, sejumlah pihak pengguna data meminta BPS untuk menyajikan data hasil sensus dapat disajikan kedalam kategori kabupaten, kecamatan, dan juga desa. Untuk merespon permintaan tersebut, pada penyelenggaraan SP80 BPS menggunakan komputer jenis baru (Processor for SUN ; x64/Opteron) yang dibeli dari Jepang dan menerapkan sistem verifikasi yang melibatkan peran kantor-kantor daerah.

II.3.5 Sensus Penduduk 1990

Sensus Penduduk 1990 (SP90) merupakan sensus penduduk ke empat yang dilakukan pemerintah Indonesia. Pada SP90 tidak banyak perubahan yang prinsip

(8)

dalam pelaksanaan sensus. Saat itu, BPS sudah lebih memiliki pengalaman dalam melaksanakan sensus penduduk. Hal-hal yang membuat pelaksanaan SP90 lebih baik adalah :

 Pengalaman BPS dalam melaksanakan sensus penduduk sebelumnya sebanyak 3 kali (1961, 1971, 1980) memberikan banyak pengalaman kepada BPS.

 Jumlah staf BPS yang sudah terlatih baik melalui pendidikan formal maupun non formal lebih banyak dari sensus penduduk sebelumnya.

 Fasilitas pengolahan di kantor-kantor statistik daerah pada tahun 1990 sudah lebih diperlengkapi, diantaranya dengan Komputer (Processor x86/Xeon), sehingga sebagian pengolahan dapat dilakukan di daerah.

 Sarana transportasi pada tahun 1990 sudah jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

II.3.6 Sensus Penduduk 2000

Dalam mempersiapkan pelaksanaan kegiaan Sensus Penduduk 2000 (SP2000), kerangka kerja legislasi bagi penyelenggaraan statistik nasional diperbarui melalui Undang-Undang No.16 tahun 1997 tentang Statistik dan Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik. Dengan berpijak pada landasan legislasi tersebut, BPS menetapkan tujuan penyelenggaraan Sensus Penduduk 2000 yang ingin dicapai, mencakup :

 Menyediakan data dasar kependudukan dan perumahan sampai ke tingkat wilayah administrasi terkecil (desa/kelurahan).

 Menyediakan data kependudukan yang lebih rinci dan mendalam untuk perkiraan parameter kependudukan.

 Menyediakan data Potensi Desa di seluruh Indonesia.

 Menyusun Kerangka Contoh Induk (KCI) yang akan digunakan sebagai dasar perencanaan sensus / survei lain sebelum sensus penduduk yang berikutnya; dan  Menyusun sistem informasi geografis.

Dalam melaksanakan SP2000, banyak tuntutan yang ditujukan kepada BPS. Hal yang banyak dituntut dari kinerja BPS sebagai lembaga pemerintah yang

(9)

bertanggung jawab terhadap penyediaan data diantaranya adalah kecepatan dalam publikasi data hasil sensus dan survei, dan penyajian data yang lebih spesifik dan pada area yang lebih kecil (small area statistics), dan validitas data.

Untuk menghadapi tuntutan ini, maka BPS melakukan berbagai upaya sebelum dilaksanakannya SP2000, diantaranya adalah dengan melakukan re-strukturisasi di tubuh BPS sendiri yaitu dengan membentuk sebuah unit baru yaitu P3S (Pengolahan, Penyajian dan Pelayanan Statistik) sampai pada kantor-kantor BPS di daerah. Bidang P3S menjadi bidang yang bertanggung jawab terhadap proses pengolahan data. Dengan dibentuknya unit ini maka Direktorat Pengolahan data yang ada di BPS Pusat dihapus. Dengan struktur yang baru maka kewenangan pengolahan data terdistribusi ke kantor-kantor BPS di daerah dan tidak lagi terpusat di BPS Pusat Jakarta. Hal ini dimaksudkan agar kecepatan pengolahan data dan pelayanan statistik ke masyarakat bisa lebih ditingkatkan.

Upaya lainnya adalah dalam hal memperlengkapi infrastruktur teknis dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang dapat mempercepat pengolahan data. Untuk itu BPS melakukan kerjasama dengan kantor statistik dan lembaga negara lain khususnya Jepang yang bernama Statistic Beareau of Japan (SBJ) dan Japan

International Cooperation Agency (JICA). Dalam diskusi dan penelitian bersama,

muncul usulan untuk kemungkinan diimplementasikannya teknologi scanner jenis

Intelegent Character Recognation (ICR) untuk pengolahan data sensus. Pihak

Jepang (yaitu SBJ), telah memiliki pengalaman dalam menggunakan scanner jenis ICR untuk pengolahan data-data survei, dan kemudian bersama dengan JICA, kedua lembaga Jepang tersebut bersedia mendukung penggunaan mesin tersebut dalam penyelenggaraan SP2000.

Berikut Tabel Perkembangan pada kegiatan sensus penduduk di Indonesia meliputi kerangka legislasi, teknologi pendukung pengolahan data sensus dan daerah pusat pengolahan data dilaksanakan, sejak sensus penduduk tahun 1961 sampai dengan sensus penduduk tahun 2000.

(10)

Tabel II.1 Perkembangan Sensus Penduduk di Indonesia, 1961-2000 Tahun Kerangka Legislasi Teknologi Pendukung Pusat Pengolahan 1961 - UU. No.6 Th.1960 tentang Sensus, - UU. No.7 Th.1960 tentang Statistik. - Mesin sortir mekanik - Punch card - BPS Pusat - BPS Propinsi 1971 - UU. No.6 Th.1960 tentang Sensus, - UU. No.7 Th.1960 tentang Statistik. - Komputer ICL - Mesin OMR - Kertas kuesioner dengan sifat dan ketebalan khusus. - BPS Pusat - BPS Propinsi 1980 - UU. No.6 Th.1960 tentang Sensus, - UU. No.7 Th.1960 tentang Statistik. - Komputer buatan Jepang (Processor for SUN;x64/opteron) - BPS Pusat - BPS Propinsi 1990 - UU. No.6 Th.1960 tentang Sensus, - UU. No.7 Th.1960 tentang Statistik. - Komputer (Processor x86/Xeon) - BPS Pusat - BPS Propinsi - BPS Kabupaten/Kota 2000 - UU. No.16 Th.1997 tentang Statistik, - PP. No.51 Th.1999 tentang Penyelenggaraan Statistik. - Komputer (Processor Pentium) - Mesin scanner ICR - Kertas kuesioner dengan sifat dan ketebalan khusus.

- BPS Pusat - BPS Propinsi

- BPS Kabupaten/Kota

II.4 Fenomena , Sistem dan Fungsi

Menuru Saswinadi Sasmojo (2004), fenomena adalah segala sesuatu yang dapat kita lihat atau alami atau rasakan. Suatu fenomena dapat dirasakan, dilihat dan dialami oleh realita sosial disekitarnya salah satunya melalui efek-efek atau akibat-akibat yang ditimbulkan atau tercipta karena keberadaan fenomena tersebut. Fenomena dapat memberikan pengaruh (efek dan lain-lain) karena fenomena terbentuk dari

(11)

unsur-unsur yang memiliki hubungan keterkaitan satu dengan lainnya. Hal ini menurut Saswinadi Sasmojo disebut sebagai struktur suatu fenomena. 2

Ketika suatu fenomena telah terdefinisikan strukturnya atau telah dipastikan dan diketahui unsur-unsur dan hubungan keterkaitannya, maka fenomena tersebut dapat disebut sebagai sistem. Dengan diketahui struktur dari suatu sistem maka akan dapat dikaji lebih jauh kemampuan yang dimiliki oleh sistem atau fungsi suatu sistem tersebut yang memungkinkan sistem (a) melaksanakan berbagai operasi sehingga sistem tersebut dapat berperan di lingkungan keberadaannya, dan (b) mempengaruhi perkembangan keadaan lingkungannya. Dari hasil pengkajian tersebut, kita dapat mengenali fungsi-fungsi dari sistem dan selanjutnya seseorang dapat menggagas berbagai tindakan yang mungkin dilaksanakan untuk kemanfaatan sistem, baik secara langsung maupun setelah melakukan berbagai manipulasi (Sasmojo, 2004).

II.5 Adopsi Teknolgi

Adopsi teknologi merupakan suatu proses perubahan sosial baik yang berupa pengetahuan, sikap dan ketrampilan sejak mengenal teknologi sampai memutuskan untuk menerapkannya (Roger and Shomeker, 1971).

Pada tahap adopsi berlangsung kegiatan secara kolektif, dimana berbagai sumber sosial dan teknis dikerahkan, aktor-aktor sosial dan objek teknis terlibat, dan suatu konfigurasi sosio-teknis yang baru terbentuk - adopsi teknologi. Aktivitas adopsi menentukan apakah teknologi yang dikembangkan akan digunakan atau tidak.

II.5.1 Adopsi Teknologi Informasi

Perkembangan teknologi elektronika dan komputer diakhir abad ke 20 telah menghadirkan teknologi informasi yang tumbuh sangat pesat dan mengalami penetrasi luas ke dalam berbagai aspek kegiatan kemasyarakatan. Kehadiran teknologi informasi membuat terjadinya aliran informasi yang semakin tidak

2

Saswinadi Sasmojo, Sains, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan, Penerbit Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB, 2004.

(12)

dibatasi baik oleh waktu, ruang, maupun oleh sekat-sekat kebangsaan, sehingga memberikan akses pada sumber informasi bagi berbagai pihak. Teknologi informasi telah berperan penting dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Perkembangan bidang telekomunikasi, transportasi, pendidikan, dan sebagainya tidak mungkin terjadi tanpa hadirnya teknologi informasi. Dengan demikian teknologi informasi merupakan penggerak perubahan sosial dan pembangunan kemasyarakatan

Akan tetapi, pada implementasinya teknologi informasi tersebut tidak selalu memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat sebagai pengguna. Beberapa pihak/masyarakat mendapatkan manfaat berupa kemudahan akses komunikasi, peningkatan kinerja, dan sebagainya, dikarenakan berhasil mengimplementasikan teknologi informasi tersebut, namun fenomena penurunan kinerja juga terlihat akibat gagalnya mengimplementasikan teknologi informasi tersebut.

Pada kasus implementasi (adopsi) scanner untuk pengolahan data SP2000 oleh daerah-daerah penyelenggara SP2000, beberapa kantor BPS daerah mendapatkan manfaat peningkatan kinerja dengan hadirnya scanner, namun di beberapa kantor BPS daerah lainnya mengalami permasalahan yang akhirnya melemahkan kinerja pada proses pengolahan. Meskipun seluruh daerah menggunakan teknologi yang sama scanner dengan spesifikasi yang sama, namun kinerja yang berbeda dihasilkan dari kantor-kantor BPS daerah tersebut.

Kondisi-kondisi yang paradoksal ini menghadirkan suatu tantangan untuk memahami cara-cara bagaimana mengatur, mengkoordinasikan, dan mengarahkan implementasi teknologi informasi di masyarakat. Meskipun teknologi informasi merupakan penggerak perubahan, namun teknologi informasi tersebut mulai dari fase riset dan pengembangan, difusi di masyarakat sampai kebijakan teknologi, dipengaruhi oleh cara-cara bagaimana berbagai agen yang terkait diatur dan berinteraksi.

Dengan demikian, mempelajari bagaimana permasalahan adopsi teknologi di masyarakat mensyaratkan suatu kerangka analisis dimana teknologi dan masyarakat,

(13)

entitas teknis dan entitas sosial, diletakkan dalam sebuah kerangka analisis yang tunggal (mutual shaping antara teknologi dan masyarakat) (Bijker,1992; Rip,1995). Dimana dalam penelitian ini, pendekatan kerangka analisis didekatkan melalui studi sosial terhadap teknologi.

Dalam penelitian ini, scanner dipandang sebagai artifak teknologi, yang pemfungsiannya dalam penyelenggaraan SP2000 dipengaruhi oleh cara-cara berbagai aktor dan organisasi yang terkait diatur dan berinteraksi. Cara-cara yang dilakukan di suatu lokal yang merupakan hasil keputusan oleh aktor-aktor sosial di lokal tersebut akhirnya dapat memberikan dampak berbeda terhadap kinerja mesin

scanner dan kinerja organisasi antar lokal dalam mencapai hasil kegiatan SP2000.

Dan untuk mempelajari bagaimana permasalahan implementasi teknologi scanner saat penyelenggaraan SP2000 di beberapa lokasi didekatkan dengan studi sosial terhadap teknologi, yang dipusatkan pada teori jejaring aktor (Actor-network theory; ANT).

II.6 Teori-teori Sosial tentang Teknologi

Studi sosial terhadap teknologi berkembang sejak 1980-an, yang melibatkan disiplin sosiologi, antropologi, sejarah, filsafat teknologi, yang dirintis oleh Michel Callon, Bruno Latour, John Law, Wiebe Bijker, Susan Leigh Star, dan lain-lain. Hipotesis yang melandasi perkembangan keilmuwan ini adalah bahwa perubahan sosial dan perubahan teknis terjadi secara serentak dan saling mempengaruhi (mutual shaping), membentuk proses ko-evolusioner (Bijker, 1992; Bijker, 1987; Rip, 1995). Dalam situasi demikian, upaya untuk memahami salah satu mempersyaratkan pemahaman keduanya. Para pelopor di bidang ilmu multidisiplin ini memusatkan perhatiannya pada proses-proses yang membawa pada difusi teknologi yang stabil, dan kestabilan sosial yang menyangga difusi tersebut.3

3

S.Yuliar, M.A.Anggorowati, pada paper : Governance Tekologi di Masyarakat : Sebuah Pendekatan Jejaring Aktor, Jurnal Sosioteknologi Edisi 7 Tahun 5, April 2006.

(14)

Perkembangan penelitian ini melahirkan teori atau model tentang ko-evolusi teknologi dan masyarakat (Bijker, 1987), yang salah satunya adalah teori jejaring aktor. Dalam pandangan teori jejaring aktor (Hughes, 1987), sistem-sistem teknologi yang beskala besar berkembang mengikuti fase-fase tertentu (invensi, inovasi dan kompetisi, konsolidasi), pada setiap fase ini, inventor, entrepreneur, manager,

engineer, melakukan negosiasi dan menentukan pilihan-pilihan. Melalui proses

konstruktif demikian sistem-sistem tenologi memperoleh karakter lokal/nasional. Dalam pandangan teori jejaring aktor (Actor-Network Theory; ANT), fenomena sosioteknis dijelaskan dengan menggunakan konsep jejaring relasi yang melibatkan elemen yang heterogen (Latour, 1999; Law, 1999; Callon, 2003).

II.6.1 Konsep-konsep Teoretik dalam ANT

Untuk memahami bagaimana ANT (Actor-Network Theory) menerangkan fenomena sosioteknis, terlebih dahulu dijabarkan penggunaan makna ’jejaring’ dalam frase ’jejaring aktor’. Pertama, ’jejaring’ disini bukan merupakan kanal-kanal yang fixed dan finalized, dan tidak memiliki simpul-simpul yang pre-established. Ini berbeda dari makna ’jejaring’ dalam istilah-istilah teknis seperti ’jejaring transportasi’ dan ’jejaring komputer’. Kedua, makna ’jejaring’ disini juga berbeda dari makna ’jejaring’ dalam teori-teori sosial seperti dalam istilah ’jejaring sosial’, dimana perhatian kajiannya ditujukan pada relasi-relasi sosial dari individu-individu (aktor manusia), seperti frekuensi, distribusi dan homogenitas dari relasi-relasi ini. Perhatian ANT tertuju pada relasi-relasi heterogen yang tidak hanya mencakup entitas manusia namun juga entitas-entitas bukan manusia. Jadi, ’jejaring-aktor’ berbeda maknanya dengan ’jejaring aktor-aktor’, yang menunjuk pada aktor-aktor otonom/mandiri yang berelasi dalam struktur yang fixed. ’Jejaring-aktor’ merupakan konsep ontologis4 yang menunjuk pada suatu fenomena becoming, yaitu bagaimana sesuatu menjadi dan menghasilkan efek-efek.

Dalam kerangka kerja teoretik ANT, berfungsinya teknologi di masyarakat dijelaskan sebagai produk atau efek dari jejaring relasi-relasi heterogen yang

4

(15)

mencakup agen-agen dan lembaga-lembaga sosial, mesin-mesin, objek-objek teknologi dan organisasi-organisasi. ANT mempelajari bagaimana proses penyusunan dan penataan relasi-relasi heterogen, dimana elemen-elemen sosial, teknikal, konseptual, tekstual, dipadankan satu pada yang lain, sehingga mengalami konvesi atau translasi membentuk suatu jejaring-aktor, yang menghasilkan efek-efek, seperti organisasi, fungsi ataupun kinerja.

Punktualisasi (Punctualization)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak selalu menyadari keberadaan jejaring di balik suatu aktor atau institusi. Misalnya, sebuah televisi yang merupakan objek tunggal yang koheren dengan beberapa komponen yang terlihat. Namun ketika televisi itu rusak, ia segera berubah menjadi sebuah jejaring komponen-komponen elektronik dan intervensi-intervensi manusia. Dari ilustrasi ini digambarkan bahwa jejaring yang menopang sebuah aktor tidak lah mudah dikenali dalam pengamatan sehari-hari. Menurut ANT, terlihatnya kesatuan dan menghilangnya jejaring berkaitan dengan pembingkaian (framing) dan penyederhanaan. Hal ini dikarenakan, semua fenomena sosial/teknis merupakan efek atau produk dari jejaring yang heterogen. Namun, dalam pengamatan sehari-hari kita tidak dalam posisi yang siap untuk mendeteksi kompleksitas jejaring. Yang terjadi adalah, ketika sebuah jejaring beraksi sebagai sebuah kesatuan unit, maka jejaring tersebut seolah-olah menghilang, dan digantikan oleh aksi itu sendiri atau representatif dari aksi tersebut (punctualization). Pada saat yang sama, cara-cara bagaimana efek dihasilkan juga menghilang. Jadi, sesuatu yang lebih sederhana seperti televisi yang bekerja baik, bank yang terkelola dengan baik, menjadi tabir yang menutupi jejaring yang menghasilkannya.

Translasi (Translation)

Dalam ANT, analisis ditujukan untuk menggali dan mendeskripsikan proses pembentukan pola-pola secara lokal, temporal: social orchestration, ordering and

resistance. ANT menggali proses (yang sering disebut translasi) yang

membangkitkan efek pranata seperti devices, agents, institutions, organisations. Persoalan inti yang menjadi perhatian ANT adalah (Latour, 1987; Law, 1999):

(16)

bagaimana para aktor memobilisasi, merangkaikan dan memegang bersama elemen-elemen heterogen; bagaimana mereka dapat menyembunyikan proses translasi itu sendiri dan mengubah jejaring dari sekumpulan heterogen - masing-masing dengan kecenderungannya sendiri-sendiri - ke dalam sesuatu yang tampil sebagai aktor yang terpunktualisasikan.

II.6.2 Konsep-konsep Analitik dalam ANT

ANT menerangkan fenomena sosioteknis (seperti difusi inovasi) dengan melibatkan elemen-elemen heterogen (lembaga-lembaga sosial, mesin scanner, jejaring komputer) di dalam sebuah jejaring yang tertata dan terpola, dengan resistansi-resistansi yang sebelumnya muncul telah teratasi. Beberapa kaidah empiris yang dapat digunakan untuk menjelaskan pola-pola pembentukan jejaring-aktor adalah sebagai berikut (Bijker 1992; Latour 1987) :

• Pertama, beberapa jenis material bersifat lebih durable dari pada yang lain sehingga mampu memelihara pola-pola relasional lebih lama. Sebagai ilustrasi, percakapan dapat dilakukan tanpa media material, tetapi ketika percakapan termaterilkan ke dalam bahan elektrik-magnetik (media rekaman), percakapan tersebut akan lebih durable. Oleh karena itu, strategi, strategi penataan/ penstrukturan yang baik adalah mewujudkan relasi-relasi ke dalam material-material yang durable. Akan tetapi, durability itu sendiri merupakan efek relasional. Benda-benda material yang durable dapat digunakan dalam cara-cara yang berbeda, dan efek-efeknya berubah ketika ditempatkan dalam jejaring relasi-relasi yang baru.

• Jika durability berkenaan dengan penataan pada dimensi waktu, mobilitas merupakan penataan pada dimensi ruang. Khususnya, mobilitas berkenaan dengan cara-cara untuk beraksi dari jauh (acting at a distance). Akan tetapi pusat-pusat dan periferi-periferi juga merupakan efek relasional yang dihasilkan melalui pengawasan dan kontrol. Teks, peraga elektronik, statistik, sistem perbankan, dan lain-lain, merupakan immutable mobiles; objek-obyek yang bersirkulasi dan membawa elemen-elemen heterogen dalam suatu jalinan relasi-relasi.

(17)

• ANT berargumen bahwa dalam kondisi relasional yang tepat, efek-efek kalkulasional tertentu dapat dihasilkan, sehingga meningkatkan ketegaran jejaring. Akan tetapi kalkulasi bukan suatu deus ex machina.

Calculativeness itu sendiri merupakan sekumpulan relasi heterogen. Kalkulasi

hanya dapat bekerja melalui representasi material, pembingkaian (framing), pengawasan dan kontrol, yang juga merupakan efek-efek relasional.

• Yang terakhir, penstrukturan berlangsung dalam lingkup lokal dan temporal. Akan tetapi dalam situasi tertentu strategi translasi menjalar dan bereproduksi dalam jejaring dari jejaring-jejaring (network of networks). Jika ini terjadi, ini akan berlangsung secara implisit, dan memberikan efek makro/global.

Kalkulasi - Kualifikasi

Kalkulasi adalah watak penting dari keagenan dan aksi, dalam arti bahwa setiap aksi suatu agen tersebut selalu melibatkan kalkulasi dalam satu atau lain bentuk. Selain kalkulasi, beberapa ahli juga mengatakan bahwa non-kalkulasi juga dapat ditemukan pada agen tersebut. Foucalt menjelaskan, kalkulasi dan non kalkulasi dengan konsep

mutually constitutive, yang saling melekat, saat kalkulasi dibangun keberadaannya

melawan non-kalkulasi.

Law dan Callon, memberikan pengertian yang lebih luas pada definisi kalkulasi5 sebagai suatu proses yang melibatkan tiga tahap. Pertama, entitas-entitas yang relevan dipilih, dilepaskan, dan diperagakan dalam sebuah ruang (ruang ini dalam beragam bentuk seperti ruang pengolahan, ruang penyimpanan dokumen, dan banyak kemungkinan lain). Kedua, entitas-entitas tersebut dimanipulasi dan ditransformasikan. Hubungan-hubungan dijalin antara mereka dalam beragam bentuk. Dan ketiga, hasilnya diekstraksi atau ditotalisasi. Entitas baru dihasilkan: totalisasi atau keputusan. Entitas yang baru ini, merupakan relasi-relasi dan manipulasi-manipulasi yang telah dilaksanakan di sepanjang proses.

5

Pengertian lebih luas definisi kalkulasi mencakup judgement atau kualifikasi. Dalam bahasa Latin computing dan judging terkait erat. Putare, yaitu akar kata dari computing, merujuk ke proses melepaskan dan menyatukan kembali objek-objek untuk mendapatkan hasil. Sedangkan ducere, yaitu akar kata dari judgement, berarti sampai pada kesimpulan melalui tinjauan atas unsur-unsur masalah.

(18)

Pada prosesnya, kalkulasi maupun kualifikasi keduanya membutuhkan upaya-upaya, transformasi-transformasi, mekanisme-mekanisme dan devais-devais. Kalkulasi mustahil dilakukan tanpa susunan-susunan material : kertas dan alat tulis, meja kerja, dan lain-lain. Intinya, proses kalkulasi selalu melibatkan material: melibatkan jaringan kompatibilitas, jaringan keserupaan, dan jaringan pebedaan. Komparabilitas merupakan efek dari kestabilan konfigurasional. Jadi perbedaan antara berbagai bentuk kalkulasi terletak pada susunan-susunan material yang memungkinkan dilakukannya kalkulasi, atau yang membuat kalkulasi menjadi tidak mungkin.

Selanjutnya untuk menjelaskan kalkulasi (rasional) yang dibedakan dengan non kalkulasi (non-rasional), Law dan Callon menyarankan bahwa yang menjadi pertanyaan bukan pembeda antara rasional dan non-rasional, melainkan antara yang terkalkulasikan dan yang tidak terkalkulasikan. Pembedaan ini berkenaan dengan bagaimana entitas-entitas dilepaskan dari ikatan-ikatan awalnya, dari konteks awalnya, diperagakan, dijalin kembali hubungan-hubungan yang baru, dimanipulasi, ditransformasikan, dan dijumlahkan dalam sebuah ruang. Banyak kemungkinan cara untuk melakukan ini: metoda kuantitatif, prosedur kualitatif, dan lain sebagainya. Dan bagaimana ini semua dilakukan bergantung pada susunan material di mana mereka dihasilkan. Sistem pemeriksaan dokumen, sistem pengelolaan dokumen, dan lain-lain, semua ini merupakan contoh dari susunan-susunan material yang menghasilkan ruang dimungkinkannya kualkulasi (qualculation).

Batas antara bentuk-bentuk kalkulasi ditentukan oleh susunan material dan praktik-praktik material yang sangat bervariasi. Berbeda dari ruang kualkulasi, ruang non-kualkulasi bekerja untuk menolak kapasitas untuk mengenumerasi, mendaftar, memeragakan, menghubungkan, mentransformasikan, memeringkat dan menjumlah yang sudah tersedia. Ini dapat terjadi dalam dua cara. Pertama, proses rarefaction, di mana peluang kualkulasi dilemahkan dengan menarik sumber-sumber yang dibutuhkan. Kedua, proses proliferasi, dimana peluang kualkulasi dilemahkan dengan pelibatan begitu banyak sumber-sumber yang saling berinteraksi dan saling melemahkan satu pada yang lain.

(19)

Pada kasus implementasi scanner, ruang kualkulasi ditentukan oleh praktek-praktek pemeriksaan dokumen, pencatatan-pencatatan pengiriman dan pemasukan dokumen, pengaturan sirkulasi dokumen, dan lain-lain. Dimana praktek-praktek tersebut membutuhkan mekanisme-mekanisme, devices (devais-devais) yang membuat kalkulasi menjadi mungkin dalam menghasilkan totalisasi.

II.7 Metode Kualitatif

Sebagai suatu metode penelitian, metode kualitatif merupakan multimethod bagi peneliti, baik dalam melihat suatu masalah, dalam melakukan intepretasi dan dalam melakukan pendekatan. Beberapa metode yang dapat dilakukan pada penelitian kualitatif adalah studi kasus, pengalaman pribadi, interview, observasi, dan lain-lain. John W. Croswell mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai berikut:

Qualitatif research is an inquiry process of understanding based on distinc methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher built a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed views of informans, and conducts the study in a natural settings.

(Croswell, 1998).

Dalam penelitian kualitatif dikenal suatu metode yang disebut studi kasus. Studi kasus adalah salah satu cara dalam melakukan eksplorasi terhadap suatu sistem yang dibatasi oleh waktu dan tempat tertentu, baik pada satu kasus (within case) maupun beberapa kasus (multiple case). Sistem yang dibatasi dapat merupakan suatu program, kejadian atau aktivitas. Konteks dari kasus yang diteliti adalah situasi/ kondisi yang melatarbelakangi kasus tersebut seperti kondisi fisik, kondisi sosial, sejarah atau ekonomi. Analisis yang dapat dilakukan pada metode studi kasus dapat merupakan analisis yang holistik atau analisis kasus dengan sudut pandang tertentu.

Dalam mencermati kasus implementasi scanner pada pengolahan data SP2000, penulis menggunakan metode kualitatif. Metode kualtatif dipilih karena scanner

(20)

tidak diimplementasikan dalam ruang yang terisolasi atau dibatasi. Scanner diimplementasikan dalam suatu jejaring kerja yang sudah terbentuk sebelumnya dan stabil dengan sistem yang berbeda. Implementasi scanner tidak hanya mengenai

scanner sebagai suatu artifak teknologi tetapi juga terhubung dengan manusia dan

realita sosial yang ada di sekitar scanner. Ketika manusia dengan manusia dan manusia dengan scanner berinterrelasi maka diantaranya akan terbentuk keterhubungan-keterhubungan. Keterhubungan ini (disebut sebagai relasi) hanya dapat dieksplorasi secara mendalam dengan menggunakan metode kualitatif.

Penelitian terhadap implementasi scanner SP2000 ini mengangkat kasus di empat daerah penyelenggara SP2000 yang meggunakan mesin scanner dalam pengolahan data nya, yaitu di Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Jawa Timur, Propinsi DI Yogyakarta dan Propinsi Jawa Barat. Dipilihnya empat kasus (multiple case) pada penelitian ini dengan tujuan agar dapat diamati bagaimana scanner diimplementasikan dalam empat setting realita sosial yang berbeda. Dengan pengamatan terhadap relasi-relasi yang terbentuk pada empat kasus yang berbeda diharapkan didapati informasi yang mengarah pada jawaban-jawaban penelitian.

Gambar

Gambar II.1 Posisi BPS dalam menghasilkan Statistika, yang bersikulasi ke           sejumlah pihak
Tabel II.1  Perkembangan Sensus Penduduk di Indonesia, 1961-2000  Tahun  Kerangka Legislasi  Teknologi Pendukung  Pusat Pengolahan  1961  - UU

Referensi

Dokumen terkait

4 (Revised 2009) provides for the preparation and presentation of consolidated financial statements for a group of entities under the control of a parent, and

Pada Gambar 3.3 terlihat bahwa karakter terakhir dalam paket data yang pertama adalah huruf ’ p’ kemudian dengan metode LSB akan diganti menjadi karakter dengan nilai desimal

Dan ketentuan ini tidak hanya berlaku pada SS dimana terdapat peserta sesuai dengan Kelas / Group yang berhenti atau tidak menjalani SS dan masih diperhitungkan waktunya

Dapat disimpulkan bahwa sebuah program aplikasi merupakan komponen yang terdiri dari kumpulan perintah program yang melakukan pengolahan data atau kegiatan lainnya

Lama kerja dalam kegiatan pertanian berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida, karena diasumsikan bahwa semakin lama dan sering petani menangani pestisida

datang menjadi nilai sekarang, biasanya digunakan dalam menilai suatu projek, dimana baik biaya maupun keuntungan yang akan diperoleh diperhitungkan (dikalikan dg) faktor

Konsekuensi dari fungsi – fungsi tersebut, berbagai program dan kegiatan telah dilaksanakan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat baik melalui program

parameter yang dianalisis, perubahan tersebut adalah : tipe iklim berdasarkan Scmidt- Ferguson mengalami perubahan dari relatif basah menjadi cenderung kering; curah hujan bulanan