• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Data Bank Dunia menunjukkan, bahwa 49 persen penduduk Indonesia (108.78 juta orang) adalah keluarga miskin atau potensial menjadi miskin dengan penghasilan sekitar US $ 2 per hari (Kompas edisi 8 Desember 2006). Mengutip buku Hernando de Soto (The Mystery of Capital), salah satu

kegagalan fundamental yang terjadi di negara berkembang dalam mengentaskan kemiskinan, termasuk yang terjadi di Indonesia, adalah kegagalan melaksanakan hukum kepemilikan tanah dan properti. Rekomendasi de Soto

untuk mengatasi kemiskinan adalah membuka akses sebesar-besarnya terhadap modal bagi mereka yang selama ini bergerak di sektor informal. Menurut de Soto, mayoritas penduduk di Negara Dunia Ketiga tak mampu mengentaskan

dirinya dari kemiskinan kendati telah bekerjakeras, terutama karena terputus dari jaringan pasar moderen.

Masih menurut de Soto, masyarakat di negara-negara berkembang,

termasuk Indonesia, umumnya memiliki modal yang sangat potensial, yaitu aset berupa tanah. Aset inilah yang belum didayagunakan secara optimal untuk pemberdayaan ekonomi rakyatnya. Aset-aset ini adalah lahan tidur yang tidak dimanfaatkan secara tepat. Oleh karena itu tidak tertatanya aset tanah dan properti di Indonesia merupakan masalah serius yang harus segera ditangani. Lahan hutan-lindung pada umumnya juga kurang tertata dan belum optimal dalam pengelolaan maupun pemanfaatannya, sehingga merupakan aset yang potensial untuk dikembangkan. Bahkan pada banyak kasus, kawasan

(2)

hutan-lindung tidak memiliki institusi yang kuat untuk mengelolanya, sehingga terjadi penjarahan yang intensif.

Fokus masalah penelitian ini ditujukan di Pulau Jawa, mengingat bahwa Pulau Jawa merupakan konsentrasi penduduk sehingga tekanan terhadap sumberdaya alam khususnya hutan, sangat kuat. Jumlah penduduk Pulau Jawa 116 juta jiwa atau kurang-lebih 60 persen dari total penduduk Indonesia yang menghuni sebuah pulau yang luasnya hanya lebih kurang 6 persen luas daratan Indonesia, sehingga pengelolaan hutan di Pulau Jawa menghadapi persoalan sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang sangat kompleks.

Kondisi penguasaan lahan di Pulau Jawa sudah sangat melenceng dari

kaidah-kaidah teknik konservasi lahan. Banyak gunung, jurang, bantaran sungai ataupun sempadan pantai yang seharusnya mempunyai fungsi lindung (perlindungan proses ekologis penyangga sistem kehidupan), dikuasai oleh masyarakat baik secara sah maupun tidak sah. Tetapi pada lain sisi, terdapat pula kawasan hutan produksi yang cukup landai bahkan relatif datar, yang seharusnya cocok untuk budidaya pertanian, tetap dipertahankan menjadi kawasan hutan (Soedarsono, 2007).

Dapat dikatakan bahwa seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) di Pulau Jawa dewasa ini dalam keadaan rusak. Keberhasilan Pemerintah RI dalam program reboisasi dan penghijauan dalam rangka merehabilitasi DAS, sejak Pelita III menjadi berantakan dalam dasawarsa terakhir ini. Lahan masyarakat tandus

yang sempat ditingkatkan daya-dukungnya menjadi rusak lagi, baik yang bersifat civil-teknis maupun vegetatif (Soedarsono, 2007).

(3)

Terjadi fluktuasi debit air yang sangat tajam, dimana banjir selalu terjadi di musim penghujan dan kekeringan selalu menghadang di musim kemarau. Banyak pakar yang mengatakan, bahwa di Pulau Jawa telah terjadi defisit air dan akan terjadi kekeringan dahsyat pada tahun 2015. Hingga saat ini penutupan hutan Pulau Jawa hanya meliputi 23 persen luas daratan Pulau Jawa. Meskipun kurang dari 30 persen, tetapi penutupan hutan sebesar 23 persen luas daratan itu tetap menimbulkan kecemburuan sektor lain. Sektor kehutanan dipandang kecil kontribusinya terhadap PDB.

Semua waduk di Pulau Jawa mengalami krisis air yang luar biasa (Wawa, 2007). Waduk Jatiluhur pada tanggal 19 Pebruari 2006, ketinggian airnya hanya mencapai 83 cm, kurang dari ketinggian normal 92 cm. Volume air Jatiluhur hanya 309 juta meter kubik, padahal kebutuhan minimal sebanyak 635 juta meter kubik. Sebagian besar hutan di hulu sungai mengalami degradasi, sehingga kondisi ini harus diselamatkan.

Pergerakan angka kemiskinan di Indonesia membuat keprihatinan semua pihak. Pada bulan Maret 2006, berdasarkan Survei Ekonomi Nasional (Susenas), BPS mengumumkan angka kemiskinan nasional sebesar 39,05 juta orang (kurang lebih 16 persen populasi penduduk nasional) dan bulan Maret 2007, angka kemiskinan nasional sebesar 37,17 juta orang (15,58 persen), kemudian pada bulan Maret 2008 angka kemiskinan nasional sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2008, sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan (BPS, 2008) dan lebih ke

(4)

dalam lagi, kemiskinan ini dialami oleh masyarakat desa sekitar hutan. Ini merupakan fakta yang harus disadari oleh seluruh komponen bangsa.

Menteri Negara Urusan Daerah Tertinggal saat membuka Pekan Raya Hutan dan Masyarakat di Kampus UGM bulan September 2006, mengatakan bahwa ”Desa miskin di Indonesia didominasi oleh wilayah yang masuk dalam dan di sekitar kawasan hutan” (Agro Indonesia edisi 10-16 Oktober 2006).

Kemiskinan terjadi antara-lain karena sempitnya kepemilikan lahan yang dikelola petani/masyarakat.

Tekanan terhadap kondisi hutan di Pulau Jawa disebabkan berbagai penyebab, diantaranya adalah : penjarahan, pencurian kayu, konversi hutan, kesempatan kerja yang terbatas, pertumbuhan penduduk yang tinggi, serta kemiskinan masyarakat sekitar hutan yang lapar lahan. Kondisi seperti ini terjadi pula di kawasan hutan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.

Lokasi yang menjadi fokus penelitian (kawasan Perum Perhutani KPH Bandung Selatan) didominasi oleh kawasan hutan lindung yang memiliki tingkat kesuburan lahan yang relatif tinggi. Kondisi tersebut mendorong minat masyarakat dan pemilik modal untuk melakukan usaha pertanian yang cepat menghasilkan output dengan nilai ekonomis tinggi, diantaranya yaitu tanaman

sayuran seperti kentang, wortel, kol, dan lain-lain.

Kebiasaan masyarakat desa sekitar hutan di Pangalengan melakukan budidaya komoditas tanaman sayuran ini sudah berjalan berpuluh-tahun. Tanpa disadari bahwa budaya ini memberi dampak yang sangat merugikan bagi lingkungan di sekitarnya (KPH Bandung Selatan, 2007), antara-lain : gagalnya

(5)

tanaman reboisasi/rehabilitasi hutan, timbulnya erosi dan aliran air permukaan yang tinggi, pendangkalan danau, pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dan obat-batan kimia yang tidak ramah lingkungan, serta timbulnya potensi konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan (Perum Perhutani). potensi konflik tersebut telah lama ada dan menjadi bagian dari pengelolaan hutan (Sumarjani, 2007).

Memahami adanya persoalan tersebut di atas, maka dilakukan inisiatif bersama melalui strategi kolaboratif dan multi-pihak dengan mengembangkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang didukung oleh komitmen dari Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat yang mendorong percepatan penurunan perambah hutan diikuti dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat di luar kawasan hutan. Meskipun berhasil mengurangi perambahan hutan, namun upaya PHBM belum sepenuhnya berhasil mengentaskan kemiskinan masyarakat.

Dari uraian di atas, maka dapat digambarkan bahwa telah terjadi “kompetisi manfaat lahan” hutan antara Perum Perhutani sebagai pemegang otoritas pengelola hutan lindung dengan masyarakat penggarap yang memanfaatkan lahan hutan lindung tersebut untuk menopang pendapatannya, sehingga perlu dicari suatu solusi yang tepat agar potensi konflik itu tidak semakin senjang dan merugikan kedua belah pihak. Karena itu fokus penelitian ini adalah petani sekitar hutan, dengan pertanyaan kunci (research-question)

yang harus dijawab adalah : apakah pola pemanfaatan lahan melalui program

PHBM tersebut telah berhasil membantu mengatasi persoalan kemiskinan masyarakat sekitar hutan (rumahtangga petani penggarap) yang pada umumnya

(6)

lapar lahan dan memiliki karakteristik sebagai petani gurem yang miskin,

sehingga mampu mengurangi kebergantungan mereka terhadap faktor lahan kawasan hutan sebagai tumpuan pendapatannya yang utama ? Selanjutnya masih dari perspektif petani perlu dianalisis secara lebih mendalam pertanyaan-pertanyaan kunci berikut :

1. Sejauhmana rumahtangga petani peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) telah menerapkan program PHBM dan merasakan manfaat positif bagi peningkatan kesejahteraannya, sehingga diharapkan akan dapat mengurangi kebergantungan petani pada faktor lahan, mengurangi tekanan terhadap kelestarian hutan, serta membantu mengatasi masalah kemiskinan masyarakat sekitar hutan.

2. Secara kuantitatif faktor-faktor apakah yang diduga berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumahtangga petani peserta PHBM dalam pengambilan keputusan menyangkut aspek alokasi waktu tenaga kerja, produksi, pendapatan dan pengeluaran.

3. Sejauhmana dampak perubahan faktor-faktor eksternal maupun internal mempengaruhi perilaku ekonomi rumahtangga peserta PHBM.

4. Sejauhmana aspek kelembagaan di tingkat petani dalam rangka kerjasama kemitraan antara masyarakat dengan Perum Perhutani melalui program PHBM telah dibangun dengan baik, sehingga hal tersebut dapat menunjang sustainabilitas program PHBM secara jangka-panjang.

Secara skematik, kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagaimana diagram pada Gambar 10 dan 11. Diagram tersebut menggambarkan bahwa telah terjadi kompetisi dalam manfaat lahan

(7)

hutan-lindung antara masyarakat petani penggarap dengan perusahaan (Perum Perhutani) akibat perbedaan kepentingan, yaitu : di satu sisi petani berkepentingan terhadap lahan untuk aktivitas usahatani, sementara pada sisi yang lain Perhutani berkepentingan untuk mengelola kawasan hutan bagi perlindungan tata-air dan sistem penyangga-kehidupan, termasuk pengamanan proyek-proyek penting pemerintah.

Gambar 10. Kerangka Pemikiran Penelitian Ekonomi Rumahtangga Peserta Program PHBM

Kompetisi Pemanfaatan lahan Hutan Lindung antara :

PETANI vs PERHUTANI PETANI:

Membutuhkan lahan hutan untuk usahatani

lahan kering

PERHUTANI :

HL untuk perlindungan tata air dan konservasi, serta penyangga

proyek-proyek vital

Pemanfaatan lahan bersama melalui sistem

AGROFORESTRY

Rumahtangga Petani peserta PHBM/anggota LMDH Analisis karakteristik ekonomi rumahtangga peserta PHBM Analisis perilaku ekonomi rumahtangga petani PHBM Analisis aspek kelembagaan kemitraan PHBM

Hutan lestari, masyarakat sejahtera Penelitian Ekonomi Rumahtangga

Petani PHBM (3 fokus)

Stakeholders lain Perum

Perhutani

Kerjasama Kemitraan :

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang saling menguntungkan

(8)

Agar tidak terjadi konflik kepentingan yang berkepanjangan, maka kedua-belah pihak menempuh resolusi konflik melalui pemanfaatan lahan secara bersama dengan sistem agroforestry yang dikemas kedalam program kerjasama

kemitraan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang melibatkan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang mewakili kepentingan petani penggarap lahan, Perum Perhutani yang mewakili kepentingan negara, serta pihak-pihak lain yang terkait (stakeholders) dalam bentuk kerjasama yang saling

menguntungkan (win-win solution).

Penelitian ini difokuskan pada analisis rumahtangga petani hutan (petani penggarap) peserta PHBM, menyangkut karakteristik rumahtangga petani dan pola usahatani yang dikembangkan, faktor-faktor yang berpengaruh pada pengambilan keputusan (decision-making) ekonomi rumahtangga maupun aspek

kelembagaan dari kerjasama kemitraan PHBM itu sendiri. Apabila proses ini berjalan sesuai dengan harapan kedua-belah pihak serta stakeholders yang lain,

maka akan terjadi suatu kondisi yang dicita-citakan bersama, yaitu : hutan selamat, masyarakat sejahtera, sebagaimana digambarkan pada diagram yang tertera pada Gambar 10.

Sedangkan Gambar 11 adalah kerangka dasar pendekatan ekonomi rumahtangga petani. Berdasarkan kerangka ini, maka beberapa faktor yang diduga mempengaruhi keputusan rumahtangga petani diantaranya adalah penggunaan faktor input seperti lahan, benih/bibit, pupuk, dan

(9)

Gambar 11. Kerangka Dasar Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM

Faktor Input : Lahan,

Pupuk, Obat-obatan /Pestisida, Bibit Keputusan Alokasi Waktu Tenaga Kerja Keputusan Pengeluaran Kegiatan di luar usahatani (off-farm) Kegiatan usahatani (on-farm) Pendapatan dari luar usahatani (off-farm) Pendapatan usahatani (on-farm) PHBM

Keputusan Pengeluaran rumahtangga Pendapatan rumahtangga petani

Investasi pendidikan, investasi kesehatan, dan tabungan

Konsumsi Pangan dan Non-pangan/Kebutuhan Pokok (Sandang,

Hubungan Sosial, Rekreasi, dan lain-lain) Kredit/ pinjaman Rumahtangga Petani PHBM Keputusan Produksi

(10)

Pengambilan keputusan produksi mencakup keputusan dalam mengalokasikan faktor input dan produksi yang dihasilkan. Kegiatan produksi

rumahtangga petani terdiri atas 2 (dua) kegiatan :

1. Kegiatan on-farm, yaitu aktivitas yang dilakukan oleh rumahtangga

petani dalam mengelola usahataninya di lahan kawasan hutan (lahan andil program PHBM), baik petani peserta PHBM Kopi maupun petani peserta PHBM Rumput-gajah & Sapi-perah.

2. Kegiatan off-farm, yaitu aktivitas yang dilakukan oleh rumahtangga di

luar usahataninya sendiri, baik menjadi buruh-tani pada usahatani orang lain maupun pekerjaan di luar usahatani seperti mengajar, tukang ojek,

berdagang (bandar), buruh bangunan maupun kegiatan lainnya.

Curahan tenaga kerja (alokasi tenaga kerja) rumahtangga juga dibagi berdasarkan 2 (dua) kegiatan di atas. Adanya alokasi tenaga kerja rumahtangga pada kedua kegiatan tersebut dapat menimbulkan adanya keterkaitan antar rumahtangga, khususnya untuk kegiatan usahatani (on-farm). Keterkaitan antar

rumahtangga terjadi bila rumahtangga petani menghadapi kekurangan tenaga kerja pada aktivitas usahataninya (on-farm) atau sebaliknya. Kekurangan tenaga

kerja ini timbul misalnya karena curahan tenaga kerja rumahtangga tidak mencukupi kebutuhan pada kegiatan on-farm, karena tercurahkan untuk

kegiatan lain, sehingga rumahtangga petani tersebut harus menyewa tenaga kerja dari luar keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa pada kegiatan usahatani

(on-farm), dapat terjadi substitusi antara tenaga kerja rumahtangga petani

(tenaga kerja keluarga) dengan tenaga kerja luar-keluarga. Dengan kata lain, apabila terjadi peningkatan penggunaan tenaga kerja rumahtangga petani pada

(11)

kegiatan usahatani (on-farm), maka penggunaan tenaga kerja luar keluarga akan

mengalami peningkatan, demikian pula sebaliknya.

Pendapatan rumahtangga petani diperoleh dari penjualan hasil panenan usahataninya sendiri (on-farm), hasil usahatani di lahan orang-lain (off-farm),

maupun hasil aktivitas produktif di luar usahatani/pertanian seperti menjadi pedagang, buruh perkebunan teh dan sebagainya. Pendapatan rumahtangga dipengaruhi oleh curahan waktu tenaga kerja yang diputuskan oleh rumahtangga petani dan luas lahan garapan, jumlah tenaga-kerja keluarga, harga komoditas, dan sebagainya.

Curahan waktu tenaga kerja rumahtangga petani antara-lain dipengaruhi oleh upah, ekspektasi harga output, karakteristik rumahtangga (jumlah angkatan

kerja) dan curahan waktu pada kegiatan lainnya. Penelitian Tim IPB tahun 1986 (Krisnamurthi, 1991) menyatakan, bahwa yang berpengaruh pada curahan tenaga kerja pada aktivitas usahatani adalah : tingkat pendapatan keluarga, luas garapan tanaman pangan, dan jumlah angkatan kerja keluarga. Kasryno, et al

(1988), dengan menggunakan data Patanas, menyatakan bahwa partisipasi tenaga kerja perdesaan berburuh-tani dipengaruhi oleh faktor umur, pendapatan, luas lahan garapan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah angkatan kerja dalam keluarga, tingkat upah buruh luar usahatani, produktivitas lahan usahatani, kesempatan kerja luar pertanian, luas lahan pertanian, dan jumlah rumahtangga tak bertanah.

Keputusan rumahtangga petani menyangkut konsumsi rumahtangga terkait dengan tingkat pendapatan petani, jumlah keluarga petani, tingkat pendidikan kepala rumahtangga, dan lain-lain. Konsumsi rumahtangga terdiri atas konsumsi

(12)

pangan dan konsumsi non-pangan yang terdiri atas : konsumsi sandang, pendidikan, kesehatan, tempat-tinggal, hubungan sosial, rekreasi dan lain-lain. Karena komoditas yang dihasilkan petani PHBM berupa kopi dan rumput-gajah (yang terintegrasi dengan sapi-perah), maka seluruh hasil produksinya dijual ke pasar, hampir tidak ada yang dikonsumsi sendiri.

Selain konsumsi dan pengeluaran rumahtangga lain, maka surplus yang diperoleh petani sebagian ditabung (saving), atau digunakan sebagai modal (capital) untuk menggerakkan aktivitas selama masa menunggu panenan.

Disamping itu, apabila petani mengalami cash-defisit, maka sebagian petani

PHBM telah melakukan pinjaman (kredit) sebagai salah-satu sumber uang tunai.

3.2. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan teoritis dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai-berikut :

1.Bagi masyarakat sekitar hutan, diduga kegiatan usahatani PHBM (on-farm)

belum sepenuhnya menjadi sumber pendapatan petani yang mampu melepaskan petani dari belenggu kemiskinan dan kebergantungannya pada faktor lahan kawasan hutan.

2.Diduga program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) secara simultan mempengaruhi karakteristik dan perilaku ekonomi rumahtangga petani dalam pengambilan keputusan menyangkut aspek alokasi waktu kerja, produksi, pendapatan, dan pengeluaran.

3.Diduga penguatan aspek kelembagaan di tingkat petani, khususnya terkait dengan perjanjian kontrak kemitraan, dapat membangun kemandirian petani secara jangka-panjang dan kelestarian hutan-lindung.

Gambar

Gambar 10.  Kerangka Pemikiran Penelitian Ekonomi Rumahtangga   Peserta Program PHBM
Gambar 11.  Kerangka Dasar Ekonomi Rumahtangga Petani PHBM

Referensi

Dokumen terkait

Bagi mahasiswa yang mengalami bentrok atau kelas tidak dibuka sehingga membutuhkan persetujuan mata kuliah baru, maka dapat mengisi google

SMN1301 - Bisnis Inovasi Perusahaan STI701 - Perancangan & Pengembangan Produk Ir.

Secara umum gergaji dan ketam meja dapat berfungsi dengan baik, tetapi ada beberapa bagian konstruksi yang harus diperbaiki. Pertama konstruksi meja harus diperkuat

Yang dimaksud dengan isi wimba adalah objek yang digambar, cara wimba adalah bagaimana objek tersebut digambarkan (tampak samping atau tampak depan, besar atau kecil dan

Sedangkan untuk fleksibel dimaksudkan bahwa bangunan dapat digunakan oleh beragam jenis autisme, maka diberikan desain bangunan yang fleksibel berwujudkan dengan adanya

Terdorong dan distimulasi oleh perkumpulan ini , maka timbul perkumpulan dan persatuan se profesi di Ambon dan Lease seperti diuraikan dalam BAB II. Kegiatan

Berapa banyak siswa yang tidak melompat pada gamabar di bawah ini..a. Berapakah jumlah kok pada gambar

Hasil penelitian didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Amalia (2013) tentang hubungan karakteristik dan pengetahuan menunjukan tidak adanya hubungan