• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKUMULASI HIDROKARBON AROMATIK POLISIKLIK (PAH) DALAM KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKUMULASI HIDROKARBON AROMATIK POLISIKLIK (PAH) DALAM KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

AKUMULASI HIDROKARBON AROMATIK POLISIKLIK

(PAH) DALAM KERANG HIJAU (

Perna viridis L

.) DI

PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA

Oleh : Dina Augustine

C64103031

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

AKUMULASI HIDROKARBON AROMATIK POLISIKLIK (PAH) DALAM KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, 2008

Dina Augustine C64103031

(3)

RINGKASAN

DINA AUGUSTINE. Akumulasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (PAH) dalam kerang hijau (Perna viridis L.) di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta. Dibimbing oleh TRI PRARTONO dan HARPASIS SLAMET SANUSI

Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi jenis-jenis senyawa PAH yang terakumulasi dalam tubuh organisme kerang hijau di perairan Teluk Jakarta dan keterkaitannya dengan kualitas air laut di perairan tersebut. Hal ini didasarkan pada kenyataan akan informasi PAH yang masih terbatas di wilayah penelitian (Kamal Muara) sebagai salah satu wilayah dimana limbah industri mengalir dan tempat kegiatan pembesaran kerang hijau (Perna viridis).

Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2007 dan terbagi menjadi 2 bagian yakni pengambilan contoh biota dan air laut serta analisis laboratorium. Pengambilan contoh biota dilakukan sebanyak 5 kali yang dibagi menjadi 4 selang ukuran (1,0-1,5; 2,5-3,0; 4,0-4,5 dan 5,5-6,0 cm) dalam selang waktu 2 minggu dan pengambilan contoh air laut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 4 minggu sekali di daerah budidaya kerang hijau tepatnya di Kamal Muara, Perairan Teluk Jakarta. Analisis contoh dilakukan selama bulan Juli sampai Agustus di Laboratorium Lingkungan danGas Chromatography(GC), Bidang Proses, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi ”Lemigas”, Jakarta Selatan. Dalam penelitian, beberapa parameter fisika dan kimia pendukung diukur seperti salinitas, pH dan Total padatan tersuspensi (TSS). Metode yang digunakan untuk preparasi contoh air laut dan kerang hijau adalah

Environmental Protection Agencyatau EPA nomor 3510c untuk air laut, nomor 3540 untuk kerang hijau dan nomor 8270d untuk analisis PAH dengan

Kromatografi Gas Detektor Spektrofotometri Massa (GC-MS) dalam air laut dan kerang hijau.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi total 7 senyawa PAH dalam air laut berkisar antara 0,0213 - 1,1551ρg L-1di Stasiun 1 dengan rerata 0,5964 ρg L-1dan 0,0181 -1,2456 ρg L-1dengan rerata0,6733 ρg L-1di Stasiun 2 yang terdiri atas 7 senyawa yaitu napthalen, 1-metil naphthalen, asenaphthen, fluoren, fluoranthen, anthrasen dan pyren dengan komposisi senyawa terbesar adalah senyawa Naphtalen dan terkecil adalah Asenapthen. Kisaran nilai konsentrasi total 7 senyawa PAH dalam kerang hijau dengan 4 ukuran yang berbeda adalah antara 23,2507 - 283,7465 µg g-1berat basah dengan ukuran panjang tubuh 1,0 -1,5 cm bernilai rerata 167,2533 µg g-1berat basah, panjang tubuh 2,5 -3,0 cm bernilai rerata 74,4825 µg g-1berat basah, panjang tubuh 4,0 - 4,5 cm bernilai rerata 76,5068 µg g-1berat basah dan panjang tubuh 5,5 - 6,0 cm bernilai rerata 72,9256 µg g-1berat basah di Stasiun 1 dan 13,5232 - 134,4152 µg g-1berat basah dengan panjang tubuh 1,0 -1,5 bernilai rerata 73,0002 µg g-1berat basah, panjang tubuh 2,5 -3,0 cm berkisar bernilai rerata 56,8697 µg g-1berat basah, panjang tubuh 4,0 -4,5 cm bernilai rerata 134,4152 µg g-1berat basah dan panjang tubuh 5,5 - 6,0 cm bernilai rerata 76,0554 µg g-1berat basah di Stasiun 2. Nilai PAH dalam kerang hijau menunjukkan kecenderungan meningkat dengan meningkatnya ukuran panjang tubuh kerang.

(4)

AKUMULASI HIDROKARBON AROMATIK POLISIKLIK

(PAH) DALAM KERANG HIJAU (

Perna viridis L

.) DI

PERAIRAN KAMAL MUARA, TELUK JAKARTA

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Oleh : Dina Augustine

C64103031

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

Judul Skripsi : AKUMULASI HIDROKARBON AROMATIK POLISIKLIK (PAH) DALAM KERANG HIJAU (Perna viridis L.) DI PERAIRAN KAMAL

MUARA, TELUKJAKARTA

Nama Mahasiswa : Dina Augustine

Nomor Pokok : C64103031

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc

NIP. 131 578 849 NIP. 130 536 669

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indrajaya, M.Sc NIP. 131 578 799

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat, rahmat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis dapat

menyelesaikan Skripsi yang berjudul ”Akumulasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (PAH) dalam Kerang Hijau (Perna viridis L.) di Perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana selama belajar di Program Studi Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran, masukan serta bimbingan spiritual selama proses penelitian dan penulisan.

2. Dr.Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku dosen penguji tamu dan Dr.Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si selaku komisi pendidikan yang telah memberi banyak masukan dan saran kepada penulis untuk menjadikan skripsi ini lebih baik. 3. Dra. Roza Adriany, M.Si dan Staf Laboratorium Kromatografi PPTMGB

Lemigas selaku pembimbing lapang yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama proses penelitian.

4. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan moril dan materi yang tak ternilai harganya dan teman-teman seperjuangan ITK 40 yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada Penulis.

Akhir kata, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan dan perbaikan di masa mendatang.

Bogor, September 2008

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xii

1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Kerang hijau (Perna viridisL.) ... 3

2.1.1 Klasifikasi dan morfologi kerang hijau (Perna viridisL.)... 3

2.1.2 Habitat dan distribusi kerang hijau (Perna viridisL.) ... 4

2.1.3 Faktor lingkungan yang mempengaruhi ... 6

2.2 Pencemaran laut oleh senyawa PAH ... 6

2.2.1 Sumber PAH ... 6

2.2.2 Karakteristik PAH ... 7

2.2.3 Distribusi PAH ... 10

2.2.4 Toksisitas senyawa PAH ... 12

3. BAHAN DAN METODE... 13

3.1 Waktu dan tempat ... 13

3.2 Kondisi lokasi penelitian ... 13

3.3 Bahan dan alat ... 15

3.4 Pengumpulan data ... 15

3.4.1 Penentuan lokasi pengambilan contoh ... 15

3.4.2 Teknik pengambilan contoh ... 15

3.4.3 Analisis parameter pendukung ... 17

3.4.4 Analisis PAH ... 17

3.5 Analisis data... 20

3.5.1 Metode grafik ... 20

3.5.2 Metode analisis PAH... 20

4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 21

4.1 Hasil ... 21

4.1.1 Parameter fisika dan kimia... 21

4.1.2Polycyclic Aromatic Hydrocarbon(PAH)... 24

4.1.3 Faktor biokonsentrasi PAH... 40

(8)

5. KESIMPULAN DAN SARAN... 49 5.1 Kesimpulan ... 49 5.2 Saran... 50 DAFTAR PUSTAKA... 51 LAMPIRAN... 54 RIWAYAT HIDUP... 101

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Konsentrasi PAH dalam air, biota dan sedimen... 11 2. Parameter pendukung yang akan dianalisis ... 17 3. Konsentrasi total senyawa PAH dalamρg L-1dalam air laut per

stasiun di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta ... 26 4. Konsentrasi total senyawa PAH dalam µg g-1berat basah pada

kerang hijau per stasiun di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta ... 31 5. Faktor biokonsentrasi PAH di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta ... 41

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Senyawa PAH dengan berat molekul rendah (Σcincin < 4 buah)

dan tinggi (Σcincin≥4 buah) ... 8 2. Peta lokasi penelitian dan letak stasiun pengambilan contoh

di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta ... 14 3. Nilai rerata dan kisaran salinitas di perairan Kamal Muara,

Teluk Jakarta (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2... 21 4. Nilai rerata dan kisaran pH di perairan Kamal Muara,

Teluk Jakarta (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2 ... 23 5. Nilai rerata dan kisaran TSS di perairan Kamal Muara,

Teluk Jakarta (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2... 24 6. Diagram cakram komposisi PAH rerata di perairan Kamal Muara,

Teluk Jakarta (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2 ... 25 7. Diagram batang konsentrasi PAH (ρg L-1) dalam contoh air laut

menurut waktu pengambilan di Stasiun 1 (a) dan Stasiun 2 (b)... 26 8. Diagram batang komposisi senyawa PAH rerata dalam

kerang hijau di Stasiun 1 (a) dan 2 (b) perairan Kamal Muara,

Teluk Jakarta ... 29 9. Contoh kromatogram total ion 7 senyawa PAH dalam kerang

hijau di Stasiun 1 (ukuran 1,0-1,5 cm pengambilan 1) ... 30 10. Diagram batang komposisi PAH dalam 4 ukuran tubuh kerang

hijau (Perna viridis) pada 2 waktu pengambilan di Stasiun 1... 32 11. Diagram batang komposisi PAH dalam 4 ukuran panjang tubuh

kerang hijau (Perna viridis) pada 3 waktu pengambilan

di Stasiun 2... 33 12. Diagram batang komposisi PAH dalam 4 ukuran panjang tubuh

kerang hijau (Perna viridis) pada 2 waktu pengambilan

(11)

13. Diagram batang komposisi PAH dalam 4 ukuran panjang tubuh kerang hijau (Perna viridis) pada 3 waktu pengambilan

di Stasiun 2... 35 14. Grafik sebaran berat tubuh dengan panjang tubuh kerang hijau

(Perna viridis) di Stasiun 1 (a) dan Stasiun 2 (b) ... 38 15. Grafik sebaran konsentrasi PAH kerang hijau

(Perna viridis) menurut 4 kisaran panjang tubuh di Stasiun 1 (a) dan Stasiun 2 (b). ... 39 16. Grafik sebaran kandungan PAH (µg) di tiap berat individu

kerang hijau (Perna viridis) (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2 ... 43 17. Grafik sebaran konsentrasi PAH dalam berat tubuh kerang hijau

(Perna viridis) (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2 ... 45 18. Grafik hubungan salinitas perairan Kamal Muara dan konsentrasi

PAH dalam air laut di Stasiun 1 (kiri) dan 2 (kanan) ... 47 19. Grafik hubungan TSS perairan Kamal Muara dan konsentrasi

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Data parameter fisik dan kimia air laut di perairan Kamal Muara,

Teluk Jakarta... 54

2. Hasil perhitungan konsentrasi PAH (µg L-1) dalam air ... 54

3. Hasil perhitungan konsentrasi PAH (µg g-1) dalam kerang hijau.. 56

4. Data berat tubuh dan konsentrasi total 7 senyawa PAH pada kerang hijau di Stasiun 1... 63

5. Data berat tubuh dan konsentrasi total 7 senyawa PAH pada kerang hijau di Stasiun 2... 66

6. Prosedur analisis PAH pada air dan biota... 70

7. Prosedur analisis TSS ... 71

8. Kromatografi... 72

9. Kromatogram ion total 7 senyawa PAH dalam contoh air laut ... 76

10. Kromatogram ion total 7 senyawa PAH dalam contoh kerang hijau... 79

11. Foto lokasi penelitian ... 99

(13)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Keberadaan suatu organisme pada suatu perairan dapat mengindikasikan kualitas perairan. Salah satu organisme yang umum digunakan sebagai indikator adalah organisme dasar seperti kerang hijau (Perna viridis). Kerang hijau ini banyak ditemukan di perairan Teluk Jakarta yang menjadi salah satu daerah budidaya kerang hijau yang berhasil, selain di daerah Teluk Banten (Djamali, 1982). Pemanfaatan kerang hijau sudah dilakukan sejak tahun 1985 khususnya Kamal Muara, Teluk Jakarta dengan jumlah produksi sebesar 5680 ton kerang hijau per hari. Pertumbuhan kerang hijau tersebut relatif cepat dan hal ini mengindikasikan wilayah perairan sangat cocok untuk kehidupan kerang hijau.

Kerang hijau merupakan organisme yang hidupnya menetap (sesil) dan

memiliki cara makan dengan sistemfilter feeder yakni menyaring semua makanan yang masuk kedalam mulutnya. Hal ini memungkinkan kerang hijau dapat

tumbuh dan berkembang dengan cepat di daerah bertekanan ekologis yang tinggi karena tingginya masukan bahan pencemar dari laut dan darat seperti buangan limbah industri dan buangan kapal penangkapan ikan. Intensitas tekanan ekologis telah mengakibatkan perairan Teluk Jakarta menjadi kritis dari masalah

pencemaran laut (Kantor Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1989). Salah satu senyawa pencemar yang terkandung dalam limbah tersebut adalah

(14)

PAH merupakan senyawa yang dapat dihasilkan dari pembakaran yang tak sempurna (pirogenik) ataupun dari kegiatan perminyakan (petrogenik) dan harus mendapat perhatian karena bersifat karsinogen. Senyawa PAH dapat

terakumulasi dalam tubuh kerang hijau karena rendahnya kemampuan sistem metabolisme terhadap senyawa organik yang masuk ke dalam tubuhnya (Mortimer, 2005).

Penelitian tentang senyawa organik PAH sudah banyak dilakukan terkait dengan sifat persistensinya di perairan. Namun demikian, informasi penelitian yang berkaitan dengan keberadaan PAH dalam organisme lain di Teluk Jakarta, khususnya kerang hijau masih terbatas. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan informasi tambahan tentang pencemaran organik perairan Teluk Jakarta, terutama senyawa polihidrokarbon aromatis (PAH).

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menduga kandungan jenis-jenis senyawa PAH dalam air laut dan tubuh organisme kerang hijau di perairan Teluk Jakarta dan keterkaitannya dengan kualitas air laut di perairan tersebut.

(15)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerang hijau (Perna viridis L.)

2.1.1 Klasifikasi dan morfologi kerang hijau (Perna viridis L.)

Menurut Vakily (1989), kerang hijau (Perna viridis L.) diklasifikasikan sebagai berikut :

Filum : Molusca Kelas : Bivalvia

Sub Kelas : Lamellibranchiata

Ordo : Anisomyria

Famili : Mytilidae

Sub Famili : Mytilinae

Genus : PernaL.

Spesies : Perna viridisL.

Kerang hijau merupakan hewan invertebrata (tidak bertulang belakang) yang bertubuh lunak (mollusca), mempunyai dua cangkang (bivalvia) yang simetris satu sama lain dan berkaki kecil yang berbentuk kampak. Kerang hijau juga memiliki insang yang berlapis-lapis yang seluruhnya dihubungkan dengan silia (lamellibranchiata). Kerang hijau umumnya hidup di laut dengan cara menempel pada substrat yang keras menggunakanbyssus.

Secara morfologi, anggota famili Mytilidae mempunyai cangkang yang tipis, keduanya simetris dan umbonya melengkung ke depan. Persendiannya halus dengan beberapa gigi yang sangat kecil. Pernadicirikan dengan bentuk yang

(16)

agak pipih, cangkang padat, dan mempunyai umbo pada tepi vertikal. Tipe alur cangkangnya konsentrik, bersinar, berwarna hijau, dan kadang-kadang tepinya berwarna kebiruan. Kedua cangkangnya berukuran sama meskipun salah satu cangkang agak sedikit lebih cembung daripada yang lainnya.

Pernajuga dicirikan hanya dengan satu atau dua gigi yang berkembang pada gigi hinge dan hilangnya otot aduktor interior. Pada jenis ini di cangkang bagian kiri terdapat dua gigi kecil dan tumbuh satu gigi besar di sebelah kanan. Bagian interior cangkang keperak-perakan dan berkilau, bekas tempat otot terlihat sangat jelas. Otot aduktor anteriornya menghilang, sedangkan otot aduktor posteriornya menipis dan memanjang terletak pada pertengahan bagian posterior. PadaPerna viridis, tepi mantel berwarna hijau kekuningan, tidak memiliki tentakel dan

papillae.

2.1.2 Habitat dan distribusi kerang hijau (Perna viridis L.)

Habitat alami dari biota ini adalah di daerah litoral dan sublitoral hingga kedalaman 15 m yang kaya akan plankton dan kandungan organik. Kerang hijau umumnya hidup menempel pada dasar (substrat) yang keras seperti kayu, bambu, batu, bangunan beton, dan lumpur keras dengan bantuanbyssus(serabut

penempel). Kerang hijau dapat hidup subur di muara-muara sungai dan hutan-hutan bakau di Indonesia dengan kondisi dasar perairan lumpur berpasir,

pergerakan air dan cahaya cukup serta kadar garam tidak terlalu tinggi (Kastoro, 1988). Untuk jenisP.viridisdapat ditemukan di daerah pesisir berbatu, di mulut estuari atau sungai dengan salinitas yang hampir sama dengan laut. Selain itu, kerang hijau juga hidup di daerah yang memiliki kandungan sedimen

(17)

Kelimpahan kerang ini besar sekali di daerah intertidal dan subtidal, menempel secara bergerombol pada batu-batu karang, tanggul-tanggul pelabuhan dan tonggak-tonggak penangkapan (Cheong dan Chein, 1980).

Dalam penyebarannya, kerang hijau dapat ditemukan di hampir seluruh Benua Asia, karena hewan tersebut termasuk spesies spesifik Benua tersebut. Kerang hijau dapat ditemukan di sepanjang wilayah Indo Pasifik, kemudian ke bagian utara hingga Hongkong, Cina, Selatan Jepang, perairan India, Semenanjung Malaysia, Singapura, Laut Cina Selatan, Thailand, Philipina, Indonesia sampai New Guinea (Vakily, 1989).

Kondisi perairan yang cocok untuk kehidupan kerang hijau adalah perairan dekat estuaria yang subur dan pantai dengan dasar berlumpur. Habitatnya

memiliki kisaran suhu antara 23-34 °C, salinitas 27-34‰, pH 6-8, kecerahan 2,6-4,0 m dan kedalaman sampai 20 m. Pertumbuhan yang maksimal berada pada perairan dengan salinitas 27-35‰, suhu 26-32 °C, pH 6,2-8,2 dan kandungan oksigen (DO) 6 mg/l (Sivalingam, 1977). Menurut Menzel (1990)P.viridis

mampu mentolerir salinitas hingga mencapai 16‰. Pada salinitas ini ditemukan bahwaP.viridismengalami penurunan aktivitas pembentukanbyssus. Kisaran salinitas bagiP.viridis20,7‰ sampai 45,6‰. Salinitas optimum bagi aktivitas dan ekskresi benangbyssusdari 20,7‰ sampai 35,4‰ (Walker, 1982inVakily, 1989). Menurut Sivalingam (1977)P.viridislebih tahan lama terhadap perubahan kadar garam, suhu, dan pH dibandingkan denganMytilus edulis.

Selain suhu dan salinitas yang menjadi pembatas kehidupan kerang hijau dalam suatu perairan, kedalaman dan arus juga memegang peranan penting. Kedalaman berhubungan langsung dengan penetrasi cahaya dan penetrasi cahaya

(18)

berpengaruh terhadap ketersediaan makanan dan penempelan larva (Vakily, 1989). Dan menurut Bayne (1976) kecepatan arus adalah salah satu faktor yang harus diperhitungkan karena berhubungan dengan penyebaran makanan dan bentuk substrat.

Kelas Bivalvia telah banyak digunakan oleh ahli ekologi dalam menganalisis pencemaran air. Hal ini disebabkan sifatnya yang menetap dan cara makannya yang pada umumnya bersifatfilter feeder, sehingga memiliki kemampuan untuk mengakumulasi bahan-bahan polutan. Apabila keadaan di sekitarnya tidak cocok untuk hidupnya, kerang hijau akan melepaskanbyssusnya, kemudian

mengeluarkan gelembung dan terapung terbawa oleh arus. Jika ia mendapat tempat yang cocok, maka ia akan kembali menempel (Robert, 1976).

2.2 Pencemaran laut oleh senyawa PAH 2.2.1 Sumber PAH

PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbons) merupakan salah satu bahan polutan yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil yang tidak terbakar secara sempurna dan biasanya menghasilkan ikatan aromatik dari hidrokarbon (Killops dan Killops, 1993). Menurut Neff (1979) PAH merupakan salah satu bagian yang signifikan dari bahan kimia pencemar yang meningkat. PAH biasanya terdiri dari dua atau lebih cincin aromatik (benzen).

PAH yang terdapat di lingkungan perairan dapat bersumber dari alam dan kegiatan manusia (antropogenik). Sumber PAH yang berasal dari alam biasanya disebabkan oleh adanya proses pyrolisis materi organik yang menghasilkan temperatur tinggi, adanya temperatur rendah ke moderat dari diagenesis sedimentasi materi organik dan biosintesis secara langsung yang dilakukan

(19)

mikroba dan tumbuhan. Ketiga sumber tersebut menghasilkan PAH sehingga ikatan-ikatan kompleks yang ada dalam senyawa tersebut dipecahkan lagi menjadi ikatan sederhana. Dengan sumber PAH yang dihasilkan karena adanya kegiatan manusia yang terus bertambah, maka PAH menjadi mudah terbentuk dan

ikatannya semakin sulit disederhanakan (Neff, 1979).

Kegiatan manusia yang menghasilkan PAH biasanya bersifat industri dan bahan bakar. Sumber-sumbernya antara lain : persiapan asetilen dari gas alam; pyrolisis dari kerosin untuk membuat larutan benzen, toluen dan pelarut organik lainnya; pyrolisis kayu untuk membentuk karbon hitam, charcoal dan tar kayu; pabrik alumunium elektrolitik yang menggunakan elektroda grafit; produksi soda; produksi gas dari petrolum; gasifikasi batubara; produksi alkohol sintetik; dan operasi penyaringan minyak (Andelman dan Snodgrass, 1972inNeff, 1979). Kegiatan antropogenik di atas dapat menjangkau lingkungan perairan melalui buangan industri dan domestik, masukan dari daratan, deposisi partikulat udara, dan tumpahan petrolum serta produknya ke badan air.

PAH juga bisa berasal dari bahan bakar fosil yang akhir-akhir ini semakin banyak digunakan di kota-kota besar. Untuk PAH yang terdeteksi di dalam jaringan tubuh kerang, biasanya berasal dari pembakaran dan sumber kimia petrolum, terutama jika kerang tersebut berada pada habitat dimana terdapat proses penyaringan minyak atau area yang digunakan sebagai pelabuhan kapal (Mortimer, 2005).

2.2.2 Karakteristik PAH

PAH dapat terbentuk selama temperatur lingkungannya tinggi minimal 700 °C. Pyrolisis dari bahan organik pada temperatur serendah 100-150 °C bisa

(20)

menyebabkan produksi PAH (Blumer, 1976inNeff, 1979). PAH bisa terdegradasi dalam lingkungan perairan melalui proses fotooksidasi, oksidasi kimia, dan transformasi biologis oleh bakteri, jamur dan hewan akuatik. PAH mampu bertahan secara tak menentu pada basin air yang miskin oksigen atau sedimenanoxic. PAH yang mengalami degradasi dengan proses fotooksidasi lebih sering didapati dengan adanya bantuan oksigen. PAH juga dapat

terdegradasi secara anaerobik dengan bantuan reduksi dari sulfat dalam perairan. Karakter reaksi kimia yang terdapat pada hidrokarbon aromatik ada 3 tipe yakni substitusi elektrofilik, oksidasi dan reduksi.

Karakter fisik dan kimia PAH bervariasi dalam mode reguler lebih atau kurang dengan berat molekulnya. Konsistensi tiap senyawa PAH dalam peristiwa oksidasi dan reduksi cenderung berkurang seiring dengan bertambahnya berat molekul. Tekanan uap dan kelarutan dalam air berkurang secara logaritmik dengan bertambahnya berat molekul. Dalam Neff (1979) disebutkan bahwa Naftalen (C10H8) yang terdiri dari 2 cincin aromatik adalah pemilik berat molekul terendah. Selain Naftalen, ada beberapa jenis lainnya yang memiliki berat

molekul yang rendah yakni fluorene, phenanthrene dan anthracene (Gambar 1) PAH yang berat molekulnya rendah bersifat toksik secara akut terhadap

organisme perairan, dibandingkan dengan yang memiliki berat molekul lebih tinggi. Selain itu, PAH dengan berat molekul yang rendah dapat terdegradasi dengan cara evaporasi dan aktivitas mikroba. Sedangkan berat molekul yang tinggi umumnya terdegradasi oleh sedimentasi dan fotooksidasi. Penyebab relatif dari berbagai proses degradasi pada PAH adalah karakter dari masing-masing senyawa PAH.

(21)

Gambar 1. Senyawa PAH dengan berat molekul rendah (Σcincin < 4 buah) dan tinggi (Σcincin≥4 buah) (Lundstedt, 2003)

PAH dalam lingkungan air diperkirakan lebih sensitif terhadap fotooksidasi dibandingkan PAH di udara. Dengan demikian, PAH akan lebih persisten di dalam air dibandingkan di udara. PAH yang masuk ke dalam perairan dari berbagai sumber akan diserap menjadi bahan partikulat organik dan inorganik. PAH dalam bentuk partikulat lebih banyak terdeposit ke dalam sedimen dasar. Kemudian dengan mudahnya PAH diakumulasikan oleh biota akuatik ke level lebih tinggi dari medium yang sebelumnya. PAH yang terdegradasi dalam tubuh organisme akuatik disebut dengan biotransformasi. Karena PAH tidak dapat dimetabolisme oleh organisme akuatik, maka PAH hanya dapat diakumulasi dan dilepaskan secara pasif oleh jenis-jenis hewan tertentu seperti Kelas Bivalvia, khususnya kerang hijau. PAH mengalamiremovaldari lingkungan akuatik dengan rute sebagai berikut : fotooksidasi, oksidasi kimia, metabolisme mikrobial dan metabolisme metazoa yang lebih tinggi (Neff, 1979).

Naftalen Asenaften Fluoren Phenantren Anthrasen

Phenanthrilen Dibenzofuran 1-metil Anthrasen

(22)

2.2.3 Distribusi PAH

PAH menyebar ke bagian kolom, sedimen dan biota yang ada di sekitar di lingkungan perairan. PAH dalam kolom air terdistribusi dalam bentuk terlarut dan partikel. Dalam hal ini, temperatur sangat berpengaruh terhadap kelarutan PAH dalam air. PAH dapat dilarutkan dengan peleburan menjadimicelles. Micellesdibentuk dari agregat surfaktan, masing-masing memiliki rantai hidrokarbon hidrofobik dan sekelompok hidrofilik yang dapat terionisasi (Elsworthyet al., 1968inNeff, 1979). PAH yang terdistribusi dalam bentuk partikel mengalami adsorpsi dan terkonsentrasi ke dalam beberapa jenis substrat seperti karbon aktif, material kapur, silika, partikel tanah, kaca dan partikel organik lain (Andelman dan Suess, 1970; Herbes, 1977; Mayet al.,1978ainNeff, 1979).

Distribusi PAH di sedimen mengalami proses sedimentasi dan memiliki nilai konsentrasi yang cukup besar terutama dalam senyawa BaP (benzo-a-pyrene). Partikel organik yang terserap ke kolom air membawa PAH di dalamnya. Saat terdeposisi ke dalam sedimen, maka PAH akan sangat sulit untuk mengalami fotokimia atau oksidasi biologis, terutama pada kondisi sedimenanoxic(miskin oksigen) sehingga endapan PAH cenderung lebih persisten dan dapat diakumulasi menjadi nilai konsentrasi yang besar.

Untuk distribusi PAH dalam organisme akuatik, biasanya PAH terkonsentrasi di bagian jaringan tubuh organisme tersebut. Senyawa PAH yang sering

ditemukan di dalam jaringan tubuh hewan akuatik adalah BaP (benzo-a-pyrene). Dan organisme yang mudah mengakumulasi PAH dalam jumlah banyak pada umumnya dari Kelas Bivalvia, khususnyaMytilus edulisdanOstrea. Jenis

(23)

organisme tersebut bisa dijadikan bioindikator untuk memonitor polusi dalam lingkungan perairan (Neff, 1979).

Menurut Neff (1979) jika diurutkan dari konsentrasi PAH tertinggi sampai terendah, maka urutannya adalah sedimen, organisme dan terakhir kolom

perairan. Hal ini disebabkan karena PAH lebih banyak terdeposisi dari kolom air ke sedimen dasar perairan baik dalam bentuk partikel ataupun terlarut. Nilai konsentrasi yang didapat dari berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti PAH dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Konsentrasi PAH dalam air, biota dan sedimen No

. Lokasi

Konsentrasi (ppb)

Sumber Air Sedimen (Mussels)Biota

1. Pelabuhan Boston - - 1100 O’Connor (1998)

2. Thermoikos Gulf, Yunani - 2679,2 2619,1 Catsikiet al.(2003) 3. Teluk Summer, Alaska - - 57 Heltonet al.(2004) 4. Catalonia, Spanyol - - 22,4 Llobetet al.(2006) 5. Laut Baltik 0,447 - -Azevedoet al.(2004) 6. Sungai Seine,Prancis 20 - -7. Teluk Xiamen Barat, China 525,5 - -8. Teluk Daya, China 16776,5 - -9. Teluk Trinity, Texas 10,50 34200 - Armstronget al. (1977)inNeff (1979) 10. Teluk Biscay,

Atlantik - - 29,76 ICES Advice (2007)

11. Carboneros, Chili - 151,045 -Fleminget al.(2004) 12. Puerto Claro, Chili - 259,28 -13. Shetland, Skotlandia - 253,035 140,077 Websteret al.(2002) 14. Orkney, Skotlandia - 24,481 2,763

(24)

2.2.4 Toksisitas senyawa PAH

PAH termasuk senyawa organik yang dapat melakukan aktivitas pencemaran di lingkungan laut, bahkan sampai menghasilkan toksisitas. Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas PAH diantaranya adalah karakteristik senyawa PAH, kadar PAH, jenis biota laut, aktivitas mikroba dan lamanya pemaparan (Sanusi, 2006). Menurut karakteristik senyawa PAH, toksisitasnya dapat dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Senyawa PAH jumlah karbon rendah (C8-C14) memberikan toksisitas akut terhadap biota laut. Hal ini dikarenakan kelarutan dari senyawa tersebut tinggi.

2. Senyawa PAH jumlah karbon tinggi (>C14) memberikan toksisitas kronis terhadap biota laut. Hal ini dikarenakan kelarutan dari senyawa tersebut rendah.

Efek kronis yang dapat ditimbulkan diantaranya adalah :

a. Meningkatkan permeabilitas sel tubuh, menimbulkan gangguan terhadap osmosis dalam pertukaran ion sel

b. Akumulasi secara biologik

c. Mengganggu perkembangan stadia embrio dan larva biota laut d. Menghambat kemampuan makan

e. Mengganggu sistem reproduksi organisme air

Efek toksik PAH pada biota laut tersebut bersifat lokal dan sementara dan tidak berdampak nyata dalam jangka panjang. Selain itu, efeknya juga dapat pulih kembali (reversible). Pada manusia, pencemaran organik jenis PAH juga belum terbukti memberikan pengaruh pada kesehatannya (Sanusi, 2006).

(25)

3. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Agustus 2007 dan terbagi menjadi 2 bagian yakni pengambilan contoh biota dan air laut serta analisis laboratorium. Pada bulan Mei sampai Juni, pengambilan contoh biota dilakukan sebanyak 5 kali dalam selang waktu 2 minggu dan pengambilan contoh air laut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 4 minggu sekali. Lokasi pengambilan contoh biota dan air dilakukan di daerah budidaya kerang hijau tepatnya di Kamal Muara, Perairan Teluk Jakarta, Jakarta Utara (Gambar 2). Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Lingkungan danGas Chromatography(GC), Bidang Proses, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi ”Lemigas”, Jakarta Selatan selama bulan Juli sampai Agustus.

3.2 Kondisi lokasi penelitian

Perairan Kamal Muara terletak di Teluk Jakarta, Jakarta Utara. Perairan ini merupakan daerah penghasil budidaya terbesar di Indonesia selain Teluk Banten (Akbar, 2002). Lokasi penelitian terletak tidak jauh dari area pelelangan dan penjualan ikan serta hasil laut yang lain. Area budidaya kerang hijau yang

dikembangkan sejak tahun 1985 ini sudah mencapai jumlah lebih dari 100 tempat penanaman bibit yang berjarak 2-10 km dari pantai dan kedalaman perairan kurang lebih 10 m. Produksinya sendiri menghasilkan sekitar 5680 ton per hari dan diekspor sebanyak 20 ton dalam satu bulan ke negara-negara tetangga (Ningtyas, 2002). Luas area bagan yang dibuat memiliki ukuran yang bervariasi dari ukuran 25 m2sampai 40 m2.

(26)

G am ba r 2. P et a lo ka si pe ne li ti an da n le ta k st as iu n pe ng am bi la n co nt oh di P er ai ra n K am al M ua ra ,T el uk Ja ka rt a

(27)

Secara visual perairan di bagian pantai sangat kotor karena dipenuhi oleh sampah hasil pelelangan ikan dan hasil laut lain ataupun dari masyarakat sekitar. Ke arah laut, sampah semakin berkurang dan menjadi lokasi bagan penanaman bibit kerang hijau.

3.3 Bahan dan alat

Bahan-bahan yang digunakan selama penelitian adalah contoh kerang dengan kisaran ukuran 1,0-1,5 cm; 2,5-3,0 cm; 4,0-4,5 cm; 5,5-6,0 cm dan contoh air, es gel, diklorometan, n-hexan, silika gel dan larutan standar PAH. Peralatan yang digunakan adalah kotak pendingin, water samplerVan Dorn, SCTmeter, kertas lakmus,waterbath,oven, tempat contoh dari bahan gelas, kondensor, tabung soklet,rotavapor, desikator, kolom kromatografi, kromatografi gas (GC-MS).

3.4 Pengumpulan data

3.4.1 Penentuan lokasi pengambilan contoh

Stasiun pengambilan contoh berjumlah sebanyak 2 stasiun. Stasiun 1 berada pada posisi 6º4’44,28’’ BT dan 106º44’36,6’’ LS dan Stasiun 2 berada pada posisi 6º4’23,34’’ BT dan 106º44’18,7’’ LS. Kedua stasiun ditentukan berdasarkan dengan keterwakilan lokasi yang dekat dan jauh dari area budidaya.

3.4.2 Teknik pengambilan contoh 3.4.2.1 Tahap pra pengambilan contoh

Penanganan contoh dari lapangan ke laboratorium dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama adalah pembersihan alat-alat sebelumsamplingdilakukan. Pada tahap pembersihan alat-alat, peralatan gelas seperti botol-botol kaca 2 L direndam dan dicuci dengan air sabun teepol lalu dibilas dengan akuades, setelah itu

(28)

dikeringkan dalamovenbersuhu 100 °C. Untuk alat tempat menyimpan contoh biota kerang hijau, dapat digunakan kertasallumunium foilyang sudah

dibersihkan dengan larutan metanol 50% agar kertas bebas dari kontaminan atau steril.

3.4.2.2 Tahap pengambilan contoh

Contoh yang diambil di setiap stasiun adalah biota dengan empat ukuran panjang tubuh yang berbeda dan air laut. Ukuran contoh kerang hijau yang diambil pada kedalaman antara 6-7 m dimana terdapat variasi ukuran yang diperlukan dalam penelitian yaitu kisaran 1,0-1,5 cm; 2,5-3,0 cm; 4,0-4,5 cm dan 5,5-6,0 cm. Pengambilan contoh biota dilakukan sebanyak 5 kali secara acak sederhana pada setiap stasiun dengan interval waktu 2 minggu sekali. Seluruh contoh dibungkus denganallumunium foiluntuk mencegah kontaminasi dari luar dan diberikan label bertuliskan kisaran ukuran dan stasiun.

Contoh air laut diambil sebanyak 3 kali dengan interval waktu 4 minggu menggunakanwater samplerdari bahan gelas pada kedalaman kurang lebih 5 m. Kedalaman ini ditentukan dengan dasar bahwa bagian ini berada antara

permukaan dan dasar perairan. Pengambilan contoh air laut diulang sebanyak 3 kali tiap pengambilan. Botol-botol tersebut dibilas terlebih dahulu dengan air laut agar terjadi penyesuaian kondisi antara botol contoh dengan air contoh. Jumlah contoh air yang diperlukan adalah sebanyak 6 liter per stasiun. Seluruh contoh air dan biota kerang hijau dimasukkan ke dalam kotak pendingin yang berisi es gel selama perjalanan menuju laboratorium.

(29)

3.4.2.3 Tahap pasca pengambilan contoh

Pada tahap ini dilakukan penyimpanan contoh di laboratorium dimana air laut tanpa disaring dan kerang hijau disimpan/didinginkan dalam lemari pendingin bersuhu 4-10 °C. Contoh disimpan selama 2 bulan sampai saat digunakan untuk analisis.

3.4.3 Analisis parameter pendukung

Penelitian ini juga mengukur beberapa parameter penunjang yang secara rinci ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter pendukung yang dianalisis

Parameter Satuan (unit) Alat Metode

Kimia Salinitas ‰ SCTmeter Potensiometrik

pH - pH meter

-PAH dalam air dan biota

ρg/L (air) µg/g (biota)

Kromatografi gas (GC-MS)

Kromatografi

Fisika TSS mg/L Vakum (Filter) Gravimetri

3.4.4 Analisis PAH

Analisis PAH dalam contoh air dan biota dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas jenis Spektrofotometri Massa (GC-MS) tipe Hewlett Packard 6890. Prosedur untuk analisis keduanya dapat dilihat pada Lampiran 8.

3.4.4.1 Analisis PAH dalam air laut

Metode yang digunakan untuk melakukan analisis PAH dalam air laut mengacu padaEnvironmental Protecting Agencyatau EPA nomor 3510c (untuk preparasi) dan EPA nomor 8270d (untuk injeksi GC). Metode preparasi dapat dilakukan untuk menganalisis contoh zat cair dengan alat corong pisah berukuran 500 ml (EPA, 1996a).

(30)

Proses ekstraksinya diawali dengan menuang contoh 400 ml air laut ke dalam corong pisah 500 ml, setelah itu 25 ml pelarut diklorometan dituang juga ke dalam corong pisah. Selama 1-2 menit, corong pisah tersebut dikocok-kocok sampai contoh dan pelarut menyatu. Tunggu selama 10 menit hingga terjadi pemisahan antara kedua zat cair. Setelah memisah, hasil ekstrak yang berada di lapisan bawah corong dialirkan ke dalam tabung erlenmeyer. Perlakuan memasukkan 25 ml pelarut diklorometan ini diulangi sebanyak 2 kali. Setelah itu, hasil ekstrak dipindahkan ke dalam bola ukur dan diuapkan pada suhu di atas titik didih pelarut diklorometan (65 °C) denganrotavaporhingga mencapai kurang lebih 1 ml. Contoh tersebut diuapkan lagi dengan menggunakan aliran gas Nitrogen hingga mencapai 0,5 ml. Setelah mencapai 0,5 ml, contoh dimasukkan ke dalam botol

vialberukuran 2 ml untuk diinjeksikan ke alat Kromatografi Gas Spektrofotometri Massa.

3.4.4.2 Analisis PAH dalam kerang hijau

Metode yang digunakan untuk melakukan analisis kandungan PAH dalam kerang hijau mengacu padaEnvironmental Protecting Agencyatau EPA nomor 3540 (dalam preparasi) dan EPA nomor 8270d (dalam injeksi GC). Metode preparasi dapat digunakan untuk menganalisis contoh biota dengan menggunakan alat soklet (EPA, 1996b).

Proses ekstraksinya diawali dengan menimbang contoh jaringan kerang hijau seberat 10 gram berat basah dan dihaluskan denganblendersampai homogen. Contoh yang telah dihaluskan selanjutnya dibungkus dalam kertas saring yang sudah dibentuk kemudian dimasukkan ke dalam ruang soklet. Di atas dan bawah contoh dalam kertas saring diberikan kapas lalu ditutup rapat agar contoh tidak

(31)

keluar dari kertas saring. Tabung soklet berisi contoh dipasang antara tabung pendingin di sebelah atas dan bola ukur yang berisi 200 ml diklorometan serta alat pemanas di sebelah bawah. Setelah semuanya terpasang dengan baik, proses ekstraksi dapat dilangsungkan selama 3 jam untuk mendapat hasil ekstraksi yang maksimal. Setelah itu, hasil ekstrak dalam bola ukur diuapkan pada suhu di atas titik didih diklorometan (65 °C) denganrotavaporhingga mencapai kurang lebih dari 1 ml lalu dipindahkan ke dalam botolvialberukuran 2 ml untuk diinjeksikan ke alat Kromatografi Gas Spektrofotometri Massa.

3.4.4.3 Analisis PAH dengan Kromatografi Gas Detektor Spektrofotometri Massa (GC-MS)

Metode injeksi GC nomor 8270d digunakan untuk menganalisis PAH dengan detektor Spektrofotometri Massa (GC-MS). Metode ini tidak hanya mendeteksi PAH, terdapat 244 komponen senyawa kimia lain yang dapat dideteksi dengan menggunakan metode ini. GC yang digunakan adalah GC Hewlett Packard 6890 (EPA, 1998). Metode ini digunakan untuk mendeteksi kandungan PAH dalam air laut dan biota kerang hijau.

Kondisi GC saat contoh diinjeksi adalah suhu awaloven50 °C, inlet depan modesplitless, kolom kapiler jenis HP-5 dari bahan 5 % fenil metil siloxane yang memiliki panjang 30 m, diameter 250μm dan ketebalan lapisan film 0.5μm. Gas yang digunakan adalah gas helium dengan kecepatan aliran 30 cm/detik. Jumlah contoh yang diambil saat proses injeksi sebanyak 2μL dengan suhuoven

terprogram dari 50 °C dengan laju perpindahan 8 °C per menit hingga mencapai 323 °C dan didiamkan selama 15 menit.

(32)

3.5 Analisis data 3.5.1 Metode grafik

Analisis data dengan metode grafik meliputi: 1. Parameter pendukung

2. Konsentrasi total dan tiap senyawa PAH dalam air laut dan kerang hijau 3. Panjang dan berat tubuh kerang hijau

4. Kandungan PAH dalam berat per individu kerang hijau 5. Konsentrasi PAH per 1 gram berat tubuh kerang hijau

3.5.2 Metode analisis PAH

Persamaan analisis PAH di bawah berikut telah diberlakukan olehU.S Environmental Protecting Agency(U.S EPA) dalam menentukan komposisi hidrokarbon terutama PAH dalam air, sedimen dan organisme akuatik (EPA, 1996).

Dimana : Cc : konsentrasi PAH (ppm)

Ac : luasan area larutan contoh Ast : luasan area larutan standar

W : banyaknya contoh (gram untuk biota dan liter untuk air laut)

W Kst

Ast Ac

(33)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Parameter fisik dan kimia 4.1.1.1 Salinitas

Salinitas di Stasiun 1 memiliki kisaran 30‰ sampai 33‰ dengan nilai rerata sebesar 31,6‰ (bulan Mei hingga Juni 2007). Di Stasiun 2 memiliki kisaran salinitas yang tidak jauh berbeda yaitu antara 30‰-33‰ dengan nilai rerata 31,7‰ (Gambar 3). 32 31 31,8 25 27 29 31 33 35

1 Mei 07 29 Mei 07 26 Juni 07

waktu pengamatan sa li ni ta s (p er m il ) (a) 32 31,3 31,8 25 27 29 31 33 35

1 Mei 07 29 Mei 07 26 Juni 07

waktu pengamatan sa li ni ta s (p er m il ) (b)

Gambar 3. Nilai rerata dan kisaran salinitas di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2

(34)

Data salinitas dalam setiap pengambilan di kedua stasiun disajikan dalam Lampiran 1. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fadhlina (2007), salinitas perairan Teluk Jakarta berkisar antara 30‰ sampai 33‰. Dan menurut hasil penelitian Litasari (2002) diketahui bahwa kisaran salinitas perairan Teluk Jakarta antara 13,9 – 30,0‰. Menurut Walker (1982)inVakily (1989), kisaran salinitas optimum untuk kerang hijau berkisar antara 20,7‰ – 35,4‰. Kerang hijau juga mampu mentolerir fluktuasi salinitas yang lebar. Dengan demikian, perairan Kamal Muara dapat dijadikan habitat kerang hijau.

Salinitas yang diamati di perairan Kamal Muara tersebut memiliki kisaran yang sempit (30-33‰). Hal ini mengindikasikan bahwa di wilayah pengamatan, kondisi salinitas relatif sama karena adanya pengaruh kondisi oseanografis khususnya gerakan massa air di wilayah Teluk Jakarta yang mampu menyeragamkan sifat salinitas perairan.

4.1.1.2 pH

pH di Stasiun 1 berkisar antara 7,5-7,9 dengan rerata 7,7. Begitu juga dengan pH di Stasiun 2 yang berkisar antara 7,5-7,9 dengan rerata 7,7. Data pH juga disajikan dalam Lampiran 1. Kedua stasiun memiliki nilai pH yang relatif sama satu sama lain. Hal ini terkait dengan kondisi kimiawi perairan khususnya sifat penyangga air laut yang mampu menahan perubahan-perubahan pH yang besar. Di samping itu, kondisi fisik seperti gerakan massa air juga berperan penting dalam penyeragaman sifat air. Pada hasil penelitian tahun 1988 oleh Meneg LH, pH di Teluk Jakarta berkisar antara 6,5-9,0. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kisaran pH di Teluk Jakarta tepatnya Kamal Muara masih berada dalam batas kenormalan air laut. Untuk pertumbuhan kerang hijau yang maksimal, pH

(35)

air laut berkisar antara 6,2-8,2 (Vakily, 1989). Maka dapat disimpulkan bahwa perairan Kamal Muara dapat dijadikan area pertumbuhan kerang hijau (Gambar 4). 7.7 7,67 7,73 7 7.2 7.4 7.6 7.8 8

1 Mei 07 29 Mei 07 26 Juni 07

waktu pengamatan pH (a) 7,67 7,67 7,77 7 7.2 7.4 7.6 7.8 8

1 Mei 07 29 Mei 07 26 Juni 07

waktu pengamatan

pH

(b)

Gambar 4. Nilai rerata dan kisaran pH di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2

4.1.1.3 Total padatan tersuspensi (TSS)

TSS di Stasiun 1 berada pada kisaran 0,02-0,08 mg/L dengan rerata 0,05 mg/L, sedangkan untuk Stasiun 2, kisarannya antara 0,030-0,133 mg/L dengan rerata 0,082 mg/L (Lampiran 1). Nilai TSS di perairan Teluk Jakarta sudah diamati oleh beberapa peneliti diantaranya oleh Dinas PPK DKI (2004)

(36)

dilakukan oleh Bapedal (2000), kandungan TSS berkisar antara 100-150 mg/L. Nilai hasil pengamatan ini menunjukkan nilai yang relatif rendah jika

dibandingkan dengan data penelitian sebelumnya. Nilai relatif rendah ini menunjukkan kondisi yang masih baik bagi perairan (Gambar 5).

0.052 0.032 0.062 0.000 0.050 0.100 0.150 0.200

1 Mei 07 29 Mei 07 26 Juni 07

waktu pengamatan T S S (m g/ L ) (a) 0.055 0.044 0.085 0.000 0.050 0.100 0.150 0.200

1 Mei 07 29 Mei 07 26 Juni 07

waktu pengamatan T S S (m g/ L ) (b)

Gambar 5. Nilai rerata dan kisaran TSS di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta.(a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2

4.1.2Polycyclic Aromatic Hydrocarbon(PAH) 4.1.2.1 PAH dalam air laut

Hasil pengukuran contoh air laut (dalam bentuk terlarut) menunjukkan bahwa terdapat hanya 7 senyawa PAH yang terdeteksi yakni naphtalen, 1-metil

(37)

contoh kromatogram PAH keluaran GC-MS dari air laut ditampilkan pada

Lampiran 9. Di antara ketujuh senyawa tersebut, naphtalen adalah senyawa PAH yang memiliki rerata konsentrasi tertinggi (61 dan 65%), sebaliknya asenaphthen memiliki rerata konsentrasi terendah (1%) pada kedua stasiun pengamatan (Gambar 6). asenapthen 1% fluoren 8% 1-metilnapthalen 2% anthrasen 3% fluoranthen 21% pyren 4% napthalen 61% (a) fluoren 7% asenapthen 1% 1-metilnapthalen 3% anthrasen 4% fluoranthen 15% pyren 5% napthalen 65% (b)

Gambar 6. Diagram cakram komposisi PAH rerata di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2

Namun demikian, secara keseluruhan konsentrasi PAH berkisar antara 0,1687 -0,8722ρg L-1dengan nilai rerata0,5964 ρg L-1di Stasiun 1 dan 0,2350 - 1,1723 ρg L-1dengan rerata0,6733 ρg L-1di Stasiun 2 (Tabel 3).

(38)

Tabel 3. Konsentrasi total 7senyawa PAH (ρg L-1)dalam air laut per stasiun di

perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta.

Konsentrasi total PAH Stasiun 1 Stasiun 2

1 Mei 2007 0,7482 1,1723

29 Mei 2007 0,8722 0,2350

26 Juni 2007 0,1687 0,6125

Rerata 0,5964 0,6733

Hasil pengukuran juga menunjukkan konsentrasi-konsentrasi dengan

variabilitas tinggi selama pengamatan dari waktu ke waktu, walaupun naphtalen tetap sebagai komponen dominan (Gambar 7). Data konsentrasi tiap senyawa PAH dapat dilihat pada Lampiran 2.

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2

1 Mei 07 29 Mei 07 26 Juni 07

tanggal ko ns en tr as i (p g/ L )

napthalena 1 metilnapthalena asenapthena fluorena

anthrasena fluoranthena pyrena

(a) 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2

1 Mei 07 29 Mei 07 26 Juni 07

tanggal ko ns en tr as i( pg /L )

napthalena 1 metilnapthalena asenapthena fluorena

anthrasena fluoranthena pyrena

(b)

Gambar 7. Diagram batang konsentrasi senyawaPAH (ρg L-1) dalam contoh air laut menurut waktu pengambilan di Stasiun 1 (a) dan Stasiun 2 (b).

(39)

Sebagai contoh pada Stasiun 1, konsentrasi PAH cenderung menurun, sebaliknya pada Stasiun 2 pengamatan ke-2 menunjukkan konsentrasi total senyawa PAH terendah. Jika dilihat dari Gambar tersebut, maka dapat dikatakan bahwa konsentrasi PAH dalam air laut tidak selalu menurun atau meningkat dan sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan kondisi oseanografi perairan khususnya arus.

Nilai konsentrasi PAH baik di Stasiun 1 maupun Stasiun 2 sangat rendah dan karenanya PAH termasuk ke dalam komponen senyawa kelumit (trace

compound). Informasi konsentrasi PAH di perairan Indonesia sampai saat ini masih sangat jarang diperoleh. Dengan demikian sebagai perbandingan, hasil pengamatan di beberapa perairan laut diantaranya di Laut Baltik memiliki

konsentrasi PAH sebesar 0,3 – 0,594 ng/L, di Teluk Xiamen Barat, China sebesar 106 - 945 ng/L, dan di Teluk Daya, China sebesar 4228 – 29325 ng/L (Azevedoet al., 2004). Konsentrasi tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengamatan di perairan Teluk Jakarta.

Nilai rendah di Teluk Jakarta diduga karena PAH yang ada dalam air laut mendapat input dari sumber alami (hasil pembakaran suhu tinggi pada bahan organik yang biasa disebut proses pirogenik) juga antropogenik (kontaminasi dari petroleum) dengan jumlah sangat rendah (Neff, 1979). PAH dapat juga berubah dikarenakan adanya kondisi oseanografis dari laut khususnya kondisi arus. PAH dalam air laut dapat berbentuk terlarut ataupun partikel yang ada di kolom perairan. Kondisi ini memungkinkan PAH untuk memiliki mobilisasi tinggi dan bisa terbawa ke tempat lain oleh arus, sehingga hasil pengamatan di lokasi terhitung rendah. Selain itu juga dapat dikarenakan rendahnya tingkat kelarutan

(40)

PAH sehingga keberadaannya dalam air laut tidak bertahan lama dan akan terdeposit dengan cepat ke sedimen dasar serta tertahan di dalamnya (Websteret al., 2002). Kondisi ini diduga menjadi penyebab tingkat konsentrasi PAH sangat rendah pada hasil pengamatan.

Naphtalen menjadi senyawa PAH dengan konsentrasi tertinggi dalam air laut. Hal ini dapat dikarenakan adanya masukan petrogenik (antropogenik) yakni kontaminasi dari petroleum. Fluoranthen juga muncul sebagai salah satu senyawa PAH yang memiliki konsentrasi tinggi. Senyawa ini memiliki jumlah cincin aromatik 4 buah dan biasanya senyawa PAH dengan jumlah 4 buah cincin

tersebut berasal dari sumber pirogenik atau alami. Dengan demikian, PAH dalam air laut juga diduga berasal dari sumber yang alami.

4.1.2.2 PAH dalam kerang hijau (Perna viridis L.)

Hasil pengukuran contoh menunjukkan bahwa terdeteksi 7 senyawa PAH yang terdapat dalam kerang hijau. Pada Stasiun 1 dan 2, dapat diketahui bahwa naphtalen menjadi senyawa yang memiliki konsentrasi tertinggi di setiap ukuran panjang tubuh kerang hijau selama 5 kali pengambilan (Lampiran 3). Setelah naphtalen, senyawa yang juga memiliki konsentrasi tinggi adalah fluoranthen. Untuk senyawa yang memiliki konsentrasi terendah adalah 1 metilnaphthalen (Gambar 8). Dari tabel dapat diketahui bahwa di Stasiun 1 dari awal sampai akhir pengambilan contoh, ukuran panjang tubuh 1,0 -1,5 cm memiliki kisaran

konsentrasi PAH total antara 50,7600-283,7465 µg g-1berat basah, panjang tubuh 2,5 -3,0 cm berkisar antara 23,2507-125,7143 µg g-1berat basah, panjang tubuh 4,0 - 4,5 cm berkisar antara 41,7883-111,2253 µg g-1berat basah dan panjang

(41)

tubuh 5,5 - 6,0 cm memiliki kisaran konsentrasi PAH total antara 34,7362-111,1149 µg g-1berat basah. Rata-rata Stasiun 1 0 20 40 60 80 100 120 1-1,5 2,5-3 4-4,5 5,5-6 panjang (cm) ko ns en tr as i (µ g/ g)

napthalen 1 metilnapthalen asenapthen fluoren anthrasen fluoranthen pyren

(a) Rata-rata Stasiun 2 0 20 40 60 80 100 120 1,0-1,5 2,5-3,0 4,0-4,5 5,5-6,0 panjang (cm) ko ns en tr as i( µ g/ g)

napthalen 1 metilnapthalen asenapthen fluoren

anthrasen fluoranthen pyren

(b)

Gambar 8. Diagram batang komposisi senyawa PAH rerata dalam kerang hijau di Stasiun 1 (a) dan 2 (b) perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta.

Untuk Stasiun 2, juga bisa diketahui bahwa ukuran panjang tubuh 1,0 -1,5 cm memiliki kisaran konsentrasi PAH total antara 24,6307-121,3696 µg g-1berat basah, panjang tubuh 2,5 -3,0 cm berkisar antara 13,5232-100,2161 µg g-1berat basah, panjang tubuh 4,0 - 4,5 cm berkisar antara 36,4154-134,4152 µg g-1berat basah dan panjang tubuh 5,5 - 6,0 cm memiliki kisaran antara 14,8467-76,0554 µg g-1berat basah (Tabel 4). Untuk kromatogram PAH keluaran GC-MS dari kerang hijau ditampilkan pada Lampiran 10.

(42)

G am ba r 9. C on to h kr om at og ra m to ta li on 7 se ny aw a P A H da la m ke ra ng hi ja u di S ta si un 1 (u ku ra n 1, 0-1, 5 cm pe ng am bi la n 1)

(43)

Tabel 4. Konsentrasi total 7 senyawa PAH (µg g-1berat basah) dalam kerang hijau per stasiun di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta.

Waktu pengambilan ukuran panjang tubuh (cm) total PAH di stasiun 1 total PAH di Stasiun 2

1 Mei 2007 1,0-1,5 50,7600 121,3696 2,5-3,0 125,7143 42,1027 4,0-4,5 111,2253 52,7324 5,5-6,0 55,7763 43,4054 15 Mei 2007 1,0-1,5 58,2781 61,1507 2,5-3,0 23,2507 67,1654 4,0-4,5 41,7883 39,3873 5,5-6,0 111,1149 49,4394 29 Mei 2007 1,0-1,5 53,7919 24,6307 2,5-3,0 42,5160 13,5232 4,0-4,5 45,1003 36,4154 5,5-6,0 34,7362 14,8467 12 Juni 2007 1,0-1,5 283,7465 91,3369 2,5-3,0 114,0512 100,2161 4,0-4,5 68,5058 94,5715 5,5-6,0 35,8997 76,0554 26 Juni 2007 1,0-1,5 68,8143 44,7943 2,5-3,0 38,5203 55,4332 4,0-4,5 52,8252 134,4152 5,5-6,0 58,4807 65,5957

Hasil konsentrasi yang didapat dalam kerang hijau memiliki kisaran nilai yang cukup tinggi. Pada penelitian yang sudah dilakukan, konsentrasi PAH dalam biota kerang di area budidaya perairan Loch Seven, Skotlandia sebesar >4000 ng/g berat basah yakni mencapai 8256 ng/g berat basah (McIntoshet al., 2004) dan di perairan Skotlandia yang lain (Shetland dan Orkney) sebesar 14,7 – 7177 ng/g berat basah (Websteret al.,2002). Nilai pengukuran yang didapat di Teluk Jakarta tergolong tinggi dibandingkan dengan kedua penelitian tersebut. Namun jika dibandingkan dengan penelitian McDowellet al.(1999) di perairan New Bedford, Massachusetts yang memiliki nilai sebesar 1940 mg/g berat basah, konsentrasi PAH dalam kerang hijau di Teluk Jakarta termasuk rendah. Hal ini dapat dikarenakan perairan New Bedford merupakan daerah pelabuhan kapal-kapal besar sehingga diduga PAH yang ada dalam tubuh kerang berasal dari buangan kapal. Di perairan Teluk Jakarta, konsentrasi PAH dalam

(44)

kerang hijau diduga berasal dari hasil pembakaran tidak sempurna bahan bakar fosil, kayu, emisi pembakaran batubara dan kendaraan motor serta aktivitas antropogenik seperti peristiwa tumpahan minyak yang menghasilkan minyak mentah (crude oil) (McIntoshet al., 2004).

Hasil pengukuran juga menunjukkan konsentrasi tiap senyawa PAH dalam kerang hijau memiliki nilai yang bervariasi di setiap kali pengambilannya. Namun yang cenderung terjadi khususnya di Stasiun 1 adalah penurunan konsentrasi tiap senyawa PAH dari ukuran terkecil ke ukuran terbesar, seperti yang terjadi pada pengambilan contoh ke-1, 3 dan 4 (Gambar 10 dan 11).

Senyawa Naphthalen, dengan kisaran nilai pada ukuran tubuh 1,0 - 1,5 cm, 2,5 – 3,0 cm, 4,0 4,5 cm dan 5,5 – 6,0 cm berada antara 23,4692 199,8053; 15,5774 -51,3920; 22,6816 - 40,8023 dan 16,0421 - 26,8799 µg g-1berat basah,

1 Mei 2007 0 50 100 150 200 250 300 1,0-1,5 2,5-3,0 4,0-4,5 5,5-6,0 panjang (cm) ko ns en tr as i (µ g/ g)

napthalen 1 metilnapthalen asenapthen fluoren

anthrasen fluoranthen pyren

15 Mei 2007 0 50 100 150 200 250 300 1,0-1,5 2,5-3,0 4,0-4,5 5,5-6,0 panjang (cm) ko ns en tr as i( µ g/ g)

napthalen 1 metilnapthalen asenapthen fluoren

(45)

Gambar 10. Diagram batang komposisi PAH dalam 4 ukuran tubuh kerang hijau (Perna viridis) pada 2 waktu pengambilan di Stasiun 1

29 Mei 2007 0 50 100 150 200 250 300 1,0-1,5 2,5-3,0 4,0-4,5 5,5-6,0 panjang (cm) ko ns en tr as i( µ g/ g)

napthalen 1 metilnapthalen asenapthen fluoren

anthrasen fluoranthen pyren

12 Juni 2007 0 50 100 150 200 250 300 1,0-1,5 2,5-3,0 4,0-4,5 5,5-6,0 panjang (cm) ko ns en tr as i( µ g/ g)

napthalen 1 metilnapthalen asenapthen fluoren

anthrasen fluoranthen pyren

26 Juni 2007 0 50 100 150 200 250 300 1,0-1,5 2,5-3,0 4,0-4,5 5,5-6,0 panjang (cm) ko n se nt ra si (µ g/ g)

napthalen 1 metilnapthalen asenapthen fluoren

anthrasen fluoranthen pyren

Gambar 11. Diagram batang komposisi PAH dalam 4 ukuran tubuh kerang hijau (Perna viridis) pada 3 waktu pengambilan di Stasiun 1

menjadi senyawa PAH yang memiliki konsentrasi tertinggi di semua ukuran, sedangkan asenapthen sebagai senyawa PAH berkonsentrasi terendah dengan kisaran nilai untuk ukuran panjang 1,0 - 1,5 cm berada pada 0,5605-1,0947 µg g-1 berat basah, ukuran panjang 2,5 – 3,0 cm berada pada 0,7279-0,9036 µg g-1berat

(46)

basah, ukuran panjang 4,0 - 4,5 cm berada pada 0,4091-1,4465 µg g-1berat basah dan ukuran panjang 5,5 – 6,0 cm berada pada 0,7828-1,0797 µg g-1berat basah.

Di Stasiun 2, pola yang terbentuk cenderung menurun ke arah ukuran kerang hijau yang semakin besar, namun pada ukuran sebelumnya (4,0-4,5 cm),

konsentrasi tiap senyawa PAH cenderung meningkat hingga maksimal seperti yang terjadi pada pengambilan ke-1,3 dan 5 (Gambar 12 dan 13). Hal ini berbeda dengan konsentrasi tiap senyawa PAH dalam kerang hijau di Stasiun 1.

1 Mei 2007 0 20 40 60 80 100 120 140 1-1,5 2,5-3 4-4,5 5,5-6 panjang (cm) ko ns en tr as i (µ g/ g)

napthalen 1 metilnapthalen asenapthen fluoren anthrasen fluoranthen pyren

15 Mei 2007 0 20 40 60 80 100 120 140 1-1,5 2,5-3 4-4,5 5,5-6 panjang (cm) ko ns en tr as i( µ g/ g )

napthalen 1 metilnapthalen asenapthen fluoren anthrasen fluoranthen pyren

Gambar 12. Diagram batang komposisi PAH dalam 4 ukuran panjang tubuh kerang hijau (Perna viridis) pada 2 waktu pengambilan di Stasiun 2

(47)

29 Mei 2007 0 20 40 60 80 100 120 140 1-1,5 2,5-3panjang (cm)4-4,5 5,5-6 ko ns en tr as i( µ g/ g)

napthalen 1 metilnapthalen asenapthen fluoren

anthrasen fluoranthen pyren

12 Juni 2007 0 20 40 60 80 100 120 140 1-1,5 2,5-3 4-4,5 5,5-6 panjang (cm) ko ns en tr as i( µ g/ g)

napthalen 1 metilnapthalen asenapthen fluoren

anthrasen fluoranthen pyren

26 Juni 2007 0 20 40 60 80 100 120 140 1-1,5 2,5-3 4-4,5 5,5-6 panjang (cm) ko ns en tr as i (µ g/ g)

napthalen 1 metilnapthalen asenapthen fluoren anthrasen fluoranthen pyren

Gambar 13. Diagram batang komposisi PAH dalam 4 ukuran panjang tubuh kerang hijau (Perna viridis) pada 3 waktu pengambilan di Stasiun 2

Pada Stasiun 2, senyawa PAH yang paling sering muncul sebagai nilai konsentrasi tertinggi pada setiap ukuran panjang tubuh adalah napthalen. Hal ini terdapat di setiap pengambilan contoh kerang hijau kecuali pada saat pengambilan ke-4. Konsentrasi tertinggi pada setiap ukuran tubuh di pengambilan ke-4 adalah

(48)

fluoranthen dengan ukuran tubuh 1,0 - 1,5 cm sebesar 30,8751 µg g-1berat basah , 2,5 – 3,0 cm sebesar 36,5159 µg g-1berat basah , 4,0 - 4,5 cm sebesar 46,5790 µg g-1berat basah dan 5,5 – 6,0 cm sebesar 46,5301 µg g-1berat basah. Hal ini memberikan perbedaan dengan Stasiun 1 dimana dalam setiap ukuran tubuh kerang hijau terdapat senyawa naphtalen dengan nilai konsentrasi tertinggi. Senyawa PAH yang paling sering muncul dengan nilai konsentrasi terendah pada setiap ukuran panjang tubuh kerang hijau di Stasiun 2 adalah 1metil naphtalen.

PAH yang masuk ke dalam tubuh kerang hijau bisa didapatkan dari kandungan PAH dalam perairan yang diakumulasi oleh kerang hijau saat menyerap makanan yang ada di kolom perairan. Kerang hijau merupakan organisme yang memiliki cara makan yang cukup berbeda yakni menyaring semua makanan yang masuk ke dalam mulutnya. Kolom perairan dimana kerang hijau berkembang sangat mudah dimasuki oleh berbagai polutan baik yang berasal dari rumah tangga ataupun industri. Sumber ini disebut sumber petrogenik

(Websteret al., 2002). Selain itu, penyerapan PAH ke dalam tubuh kerang

tergantung daribioavailabilitysenyawa PAH tersebut yang selanjutnya tergantung dari tingkat kelarutannya dalam air. Semakin tinggi berat molekul senyawa PAH, maka semakin rendah tingkat kelarutannya dalam air. Kerang hijau juga memiliki kandungan lemak dalam tubuhnya dan pada bagian ini diduga bahwa PAH dapat mengalami reaksi ikatan sehingga terakumulasi oleh kerang hijau. Karena sistem metabolisme tubuh yang rendah, maka PAH sangat sulit untuk dilepaskan kembali ke lingkungannya (Fleminget al., 2004).

Di Stasiun 1, naphthalen merupakan senyawa PAH yang paling tinggi nilai konsentrasinya. Dalam hal ini, naphthalen dapat muncul karena adanya proses

(49)

pembentukan senyawa PAH dengan berat molekul lebih rendah dari petrolum dalam bentuk buangan serta tumpahan minyak ke laut. Dari awal hingga akhir pengambilan contoh kerang hijau, dapat dilihat bahwa nilai konsentrasi PAH mengalami fluktuasi yang berbeda-beda.

Jika dibandingkan dengan Stasiun 1, kandungan PAH di Stasiun 2 tidak jauh memiliki perbedaan. Perbedaan yang mencolok di Stasiun 2 adalah nilai

konsentrasi senyawa fluoranthen yang mendominasi di pengambilan contoh ke-4 dan naphthalen di pengambilan contoh ke-1. Hal ini membedakan sumber masuknya PAH ke dalam tubuh kerang hijau. Fluoranthen adalah senyawa PAH yang memiliki cincin berjumlah lebih dari 3 buah, dan mengindikasikan bahwa senyawa ini termasuk anggota senyawa PAH dengan berat molekul tinggi, sedangkan naphthalen adalah senyawa PAH dengan berat molekul lebih rendah dengan jumlah cincin 2 buah. Dengan demikian sumber masukan kedua senyawa tersebut berbeda. Untuk fluoranthen, senyawa ini dapat muncul di semua ukuran panjang tubuh di pengambilan ke-4 diduga disebabkan oleh proses pirogenik yakni hasil pembakaran bahan organik yang kurang sempurna di perairan (Fleminget al., 2004).

Konsentrasi PAH dalam kerang hijau dapat dihubungkan dengan kondisi ukuran tubuh dari kerang hijau itu sendiri, dimana dalam kasus ini adalah panjang tubuhnya. Berdasarkan hasil yang telah didapat, konsentrasi PAH dalam tubuh organisme kerang hijau mengalami kecenderungan peningkatan seiring

bertambahnya ukuran panjang tubuhnya (Gambar 15). Hal ini juga didukung dengan menghubungkan antara ukuran panjang dan berat tubuh kerang hijau (Gambar 14). Pada Gambar tersebut dapat diketahui bahwa hubungan keduanya

(50)

juga berbanding lurus yakni peningkatan ukuran berat seiring dengan pertambahan panjang tubuh baik di Stasiun 1 maupun 2.

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 1 2 3 4 5 6 B er at (g r) Panjang (cm)

kisaran panjang tubuh 1,0-1,5 cm kisaran panjang tubuh 2,5-3,0 cm

kisaran panjang tubuh 4,0-4,5 cm kisaran panjang tubuh 5,5-6,0 cm

rata-rata Expon. (rata-rata)

(a) 0 0.5 1 1.5 2 2.5 1 2 3 4 5 6 B er at (g r) Panjang (cm)

kisaran panjang tubuh 1,0-1,5 cm kisaran panjang tubuh 2,5-3,0 cm kisaran panjang tubuh 4,0-4,5 cm kisaran panjang tubuh 5,5-6,0 cm

rata-rata Expon. (rata-rata)

(b)

Gambar 14. Grafik sebaran berat tubuh dengan panjang tubuh kerang hijau (Perna viridis) di Stasiun 1 (a) dan Stasiun 2 (b)

.

Dilihat dari penjelasan dan gambar 14 dan 15, konsentrasi PAH di setiap ukuran panjang tubuh memiliki pola yang semakin meningkat ke arah panjang tubuh yang semakin besar dan menunjukkan bahwa kerang hijau dengan empat

(51)

ukuran panjang ini mengakumulasi PAH dalam tubuhnya dari perairan secara teratur. Hal ini juga menunjukkan optimasi kemampuan tubuh kerang hijau yang berbeda-beda dalam melakukan penyerapan senyawa PAH.

0 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5 6 k o n se n tr as i( u g/ g) panjang tubuh (cm)

kisaran panjang tubuh 1,0-1,5 cm kisaran panjang tubuh 2,5-3,0 cm kisaran panjang tubuh 4,0-4,5 cm kisaran panjang tubuh 5,5-6,0 cm rata-rata Expon. (rata-rata)

(a) 0 5 10 15 20 25 1 2 3 4 5 6 ko ns en tr as i( ug /g ) panjang tubuh (cm)

kisaran panjang tubuh 1,0-1,5 cm kisaran panjang tubuh 2,5-3,0 cm kisaran panjang tubuh 4,0-4,5 cm kisaran panjang tubuh 5,5-6,0 cm

rata-rata Expon. (rata-rata)

(b)

Gambar 15. Grafik sebaran konsentrasi PAH kerang hijau (Perna viridis) menurut 4 kisaran panjang tubuh di Stasiun 1 (a) dan Stasiun 2 (b).

Hal ini diungkapkan oleh penelitian Bruneret al.(1994) yang menyatakan bahwa kerang yang berukuran lebih kecil diduga mempunyai kemampuan untuk

(52)

besar. Dari hasil yang didapat, dapat dibuktikan dalam kerang hijau dengan panjang tubuh 1,0-1,5 cm, yang sedang dalam proses pertumbuhan, mampu menyerap komponen senyawa PAH dalam jumlah besar melalui proses

penyaringan makanan dibanding kerang hijau dengan panjang tubuh 5,5-6,0 cm yang berumur lebih tua dan semakin sedikit menampung makanan dari sekitar perairan. Hal lain yang bisa diungkap juga adalah kerang yang sedang dalam masa pra pemijahan biasanya mampu menyerap PAH lebih banyak dibandingkan kerang yang sudah melewati masa pemijahan. Kerang berukuran 1,0 -1,5 cm merupakan kerang hijau yang sedang dalam masa tersebut sehingga diduga mampu menyerap PAH lebih banyak (Bruneret al., 1994).

Kondisi di Stasiun 2 tidak jauh berbeda dengan Stasiun 1. Namun pada ukuran panjang tubuh 4,0 - 4,5 cm, kandungan PAH dalam tubuh kerang hijau memiliki nilai konsentrasi tertinggi dibandingkan dengan 3 ukuran panjang tubuh yang lain. Hal ini diduga karena kerang hijau ukuran ini mengandung lemak yang lebih banyak dibandingkan kerang ukuran yang lain, dimana semakin tinggi kandungan lemak dalam tubuhnya, maka akan semakin mudah untuk berikatan dengan senyawa yang bersifat lipofilik atau hidrofobik tinggi seperti PAH (Bruner

et al., 1994). Selain itu, hal ini juga bisa dikarenakan ukuran panjang ini lebih lama terpaparkan di perairan dibandingkan dengan ukuran yang lebih kecil.

4.1.3 Faktor biokonsentrasi PAH

Faktor biokonsentrasi adalah rasio konsentrasi zat dalam biota (berat zat/berat biota) dan dalam air (berat zat/berat air) pada kondisi setimbang, dimana

spesifikasi zat dalam hal ini adalah PAH. Nilai konsentrasi ini menunjukkan cara akumulasi senyawa tersebut dari fase cair (dalam air laut) menjadi fase organik,

(53)

seperti jaringan tubuh organisme. PAH termasuk salah satu senyawa organik yang bersifat lipofilik sehingga mudah terakumulasi dalam tubuh organisme. Organisme yang digunakan dalam kasus ini adalah kerang hijau. Faktor

biokonsentrasi PAH di perairan Kamal Muara memiliki angka yang tinggi (Tabel 5).

Tabel 5. Faktor biokonsentrasi PAH di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta.

Ukuran panjang tubuh (cm)

1 Mei 2007 29 Mei 2007 26 Juni 2007 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 1 Stasiun 2 1,0-1,5 67842,65 103527,06 61670,59 104801,34 407920,03 73134,52 2,5-3,0 168021,79 35913,19 48743,17 57539,92 228341,74 90504,42 4,0-4,5 148656,63 44980,26 51705,96 154944,23 313139,33 219456,52 5,5-6,0 74547,07 37024,38 39823,86 63171,47 346663,81 107096,53

Nilai dalam tabel menunjukkan bahwa PAH dalam perairan tersebut memiliki kapasitas polutan yang tinggi baik untuk air laut maupun organisme kerang hijau yang hidup di dalamnya. Nilai faktor biokonsentrasi pada keempat ukuran kerang hijau bervariasi. Namun jika dilihat secara keseluruhan, nilainya cenderung menurun ke arah ukuran kerang hijau 5,5-6,0 cm di Stasiun 1 dan 2. Jika dilihat dari waktu ke waktu pengambilan contoh, nilai faktor biokonsentrasi PAH cenderung meningkat di Stasiun 1 pada keempat ukuran kerang hijau. Namun terjadi perbedaan yakni adanya penurunan nilai pada ukuran 1,0 -1,5 cm di Stasiun 2. Faktor biokonsentrasi dapat dikatakan dalam kondisi stabil jika nilainya tidak berubah secara signifikan selama jangka waktu tertentu dalam tubuh organisme tersebut.

Faktor biokonsentrasi juga memiliki peran penting untuk menunjukkan adanya distribusi senyawa PAH di perairan. Pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa faktor biokonsentrasi PAH di Stasiun 1 memiliki nilai yang paling tinggi pada waktu

(54)

pengambilan contoh terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa PAH mengalami distribusi paling tinggi pada waktu pengambilan contoh terakhir di semua ukuran kerang hijau. Untuk PAH dengan tingkat distribusi paling rendah terdapat pada waktu pengambilan contoh kedua di Stasiun 1. Hal ini dilihat dari faktor

biokonsentrasinya yang paling kecil di antara ketiga waktu pengambilan contoh.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan dari hasil yang telah diuraikan sebelumnya maka diperoleh kenyataan bahwa telah terdeteksi keberadaan dari senyawa PAH dalam air laut maupun kerang hijau di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta. Kandungan maupun konsentrasi PAH dalam kerang hijau secara total memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan PAH dalam air laut. Hal ini mengungkapkan bahwa kerang hijau memang mengakumulasi PAH dalam tubuhnya. Akumulasi sendiri merupakan suatu proses penimbunan atau penumpukan suatu senyawa dari lingkungan dan biasanya terjadi karena mekanisme yang tidak seimbang antara proses absorpsi yang diikuti penyimpanan dengan proses eliminasi melalui metabolisme yang terjadi dalam tubuh kerang hijau. Proses akumulasi ini dapat ditunjukkan melalui hasil pengamatan dari berbagai tingkat umur kerang yang dilihat dari ukuran tubuh kerang hijau (Gambar 16).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kandungan PAH dalam tubuh kerang hijau cenderung bergerak meningkat ke arah ukuran panjang tubuh yang besar, walaupun terlihat pada ukuran tubuh 4,0-4,5 cm dan 5,5-6,0 cm, terbentuk nilai kandungan PAH yang cukup bervariasi jika dibandingkan dengan ukuran panjang tubuh kerang hijau yang lebih kecil.

(55)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 0.5 1 1.5 2 2.5 ka nd un ga n (u g) berat tubuh (gr)

kisaran panjangtubuh 1,0-1,5 cm kisaran panjangtubuh 2,5-3,0 cm kisaran panjangtubuh 4,0-4,5 cm kisaran panjangtubuh 5,5-6,0 cm

rata-rata Linear (rata-rata)

(a) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 0.5 1 1.5 2 2.5 k a n d u n ga n (u g) berat tubuh (gr)

kisaran panjang tubuh 1,0-1,5 cm kisaran panjangtubuh 2,5-3,0 cm

kisaran panjang tubuh 4,0-4,5 cm kisaran panjangtubuh 5,5-6,0 cm

rata-rata Linear(rata-rata)

(b)

Gambar 16. Grafik sebaran kandungan PAH (µg) di tiap berat individu kerang hijau (Perna viridis) (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2.

Kandungan PAH yang mengalami peningkatan pada ukuran panjang tubuh besar dapat terjadi karena kerang hijau tersebut memiliki waktu yang lebih lama untuk terpapar di perairan dibandingkan dengan ukuran kerang yang kecil. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2002), dapat diperkirakan bahwa umur kerang hijau berukuran 4,0-4.5 cm dan 5,5-6,0 cm sebesar 16 dan 22 minggu.

(56)

Secara biologis, proses akumulasi ini bergantung kepada sifat dari senyawa dan sistem metabolisme dari organisme. PAH merupakan senyawa yang memiliki sifat mudah terikat atau bereaksi dengan senyawa-senyawa lemak atau biasa disebut dengan senyawa lipofilik (Neff, 1979). Bagi organisme kerang hijau, ukuran yang semakin besar mengindikasikan bahwa kerang hijau bertambah dewasa sehingga kandungan lipid atau lemak dalam tubuhnya juga semakin tinggi (Gunawan, 2003). Dengan demikian, maka terdapat dugaan bahwa kandungan PAH yang semakin meningkat pada ukuran kerang hijau yang semakin besar disebabkan oleh adanya senyawa lemak yang ada dan semakin banyak dalam tubuhnya.

Sistem regulasi metabolisme dari organisme juga dapat dijadikan faktor lain yang berkaitan dengan adanya proses akumulasi dalam tubuh kerang hijau. Sistem ini dapat memperkuat proses pengeluaran senyawa-senyawa yang telah diakumulasi oleh organisme tersebut. Sistem ini biasanya akan berfungsi semakin baik jika organisme tersebut sudah berumur dewasa, dimana dalam hal ini adalah kerang hijau ukuran besar. Oleh karena itu, seharusnya terdapat kemungkinan bahwa kerang hijau dewasa dapat melakukan proses eliminasi lebih baik dibandingkan dengan kerang hijau yang berukuran kecil. Namun pada hasil penelitian ini, proses tersebut belum terlihat dengan sangat jelas. Hal ini dapat dtunjukkan dari nilai konsentrasi PAH terhadap ukuran berat tubuh kerang hijau (Gambar 17).

Konsentrasi merupakan rasio antara kandungan PAH dalam kerang hijau dengan ukuran berat tubuhnya.

(57)

0 5 10 15 20 25 0 0.5 1 1.5 2 2.5 ko ns en tr as i( ug /g ) berat tubuh (gr)

kisaran panjangtubuh 1-1,5 cm kisaran panjangtubuh 2,5-3 cm kisaran panjangtubuh 4-4,5 cm kisaran panjangtubuh 5,5-6 cm rata-rata Linear (rata -rata)

(a) 0 5 10 15 20 25 0 0.5 1 1.5 2 2.5 ko ns en tr as i( ug /g ) berat tubuh (gr)

kisaran panjang tubuh 1-1,5 cm kisaran panjang tubuh 2,5-3 cm kisaran panjang tubuh 4-4,5 cm kisaran panjang tubuh 5,5-6 cm rata-rata Linear (rata -rata)

(b)

Gambar 17. Grafik sebaran konsentrasi PAH dalam berat tubuh kerang hijau (Perna viridis) (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2.

Dari gambar tersebut, terlihat bahwa konsentrasi PAH cenderung semakin meningkat seiring dengan meningkatnya berat tubuh kerang hijau. Hasil

penelitian dari Akbar (2002) tentang kajian akumulasi logam berat menunjukkan dengan bertambahnya ukuran panjang tubuh kerang hijau, maka kandungan logam berat dalam tubuhnya akan bertambah juga, namun akan terjadi penurunan dalam hal konsentrasinya. Hal ini mengungkapkan bahwa laju pertambahan berat

Gambar

Gambar 1. Senyawa PAH dengan berat molekul rendah (Σcincin &lt; 4 buah) dan tinggi (Σcincin ≥ 4 buah) (Lundstedt, 2003)
Tabel 1. Konsentrasi PAH dalam air, biota dan sedimen No
Tabel 2. Parameter pendukung yang dianalisis
Gambar 3. Nilai rerata dan kisaran salinitas di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta (a) Stasiun 1 (b) Stasiun 2
+7

Referensi

Dokumen terkait

&amp; Dewi, 2014, Perbedaan Efektifitas Minyak Atsiri Bunga Kenanga (Cananga Odorata) Sebagai Repelan Terhadap Gigitan Nyamuk Aedes aegypti Dengan Konsentrasi 5%, 15%, Dan 25%,

Faktor pendorong dalam perilaku WPS dalam mencari pelayanan kesehatan terkait deteksi dini HIV/AIDS adalah kesadaran dan keinginan dari WPS sendiri, dukungan terhadap WPS,

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi bahan ajar di kelas VII SMP dan mengetahui kelayakan bahan ajar pada pembelajaran ips sub-sub tema interaksi manusia dengan

Model penelitian yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis). Penelitian tersebut menggunakan data panel, dengan kesimpulan sebagai berikut: Desentralisasi fiskal

Pengertian salah satunya kebakaran adalah suatu reaksi oksidasi ekstermis (terjadi karena pemanasan) yang berlangsung dengan cepat dari suatu bahan bakar yang

A TRANSLATION ANALYSIS ON VERB PHRASE IN DIVERGENT NOVEL BY ANGGUN

Dan implementasi ar-Rifqu dalam pendidikan Islam di pondok pesantren Ibnu Abbas Sragen dalam proses pendidikan, pengajaran dan pembinaan peserta didik (santri) perlu

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran perilaku penggunaan alat pelindung diri dan angka kejadian tertusuk jarum suntik pada tenaga kesehatan gigi