ang tentunya akan menambah nilai ekonom
yang membe
INISIASI IN VITRO BIJI MUDA TERONG BELANDA (Solanum
betaceum Cav.) BERASTAGI SUMATERA UTARA PADA KOMPOSISI
MEDIA DAN ZAT TUMBUH YANG BERBEDA
Elimasni, Isnaini Nurwahyuni, dan M. Zaidun Sofyan
Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Jalan Bioteknologi No. 1, Padang Bulan, Medan 20155
Abstrak
Telah dilakukan penelitian tentang inisiasi in vitro biji muda terong belanda (Solanum betaceum Cav.) Berastagi Sumatera Utara pada komposisi media dan zat pengatur tumbuh yang
berbeda. Penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dalam Faktorial dengan 5 kali ulangan. Faktor komposisi media: yaitu ½ MS dan MS penuh, faktor kedua adalah zat pengatur tumbuh yaitu: kontrol, 2 mg/L 2,4 D, 1 mg/L BAP dan 1mg/L BAP + 2 mg/L 2,4 D.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media yang terbaik untuk proliferasi dan diferensiasi eksplan adalah media MS, hal yang sama juga didapatkan untuk panjang tunas. Sedangkan zat pengatur tumbuh terbaik didapatkan pada penambahan 2 mg/L 2,4 D dan tidak berbeda nyata dengan 2 mg/L 2,4 D + 1 mg/L BAP.
Keywords: immature seed, Solanum betaceum
PENDAHULUAN
Dalam usaha meningkatkan perekonomian bangsa sangat diperlukan pengembangan berbagai usaha baik dari sektor industri maupun sektor pertanian dan pangan, terutama usaha-usaha untuk meningkatkan baik kualitas maupun kuantitas jenis-jenis pangan yang bernilai ekonomis.
Terong belanda (Solanum betaceum
Cav.) merupakan tanaman jenis terong-terongan dari famili Solanaceae. Terong belanda tumbuh di Indonesia hanya pada beberapa daerah terutama di daerah Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Terong belanda telah dikenal di kalangan masyarakat Sumatera Utara dalam bentuk minuman jus buah segar yang sangat diminati, karena rasanya yang asam manis. Dalam 2 tahun ini, terong belanda mulai dikembangkan pengolahannya dalam bentuk sirup yang ternyata cukup diminati oleh masyarakat baik dari daerah Medan sekitarnya, bahkan sudah mulai merambah ke daerah Jakarta serta daerah Jawa lainnya, akan tetapi produksi sirup dan selai terong belanda belum dalam jumlah yang banyak karena ketersediaan buahnya yang relatif belum banyak. Hal ini dapat dilihat dari data produksi yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian (2003), yaitu hanya 39 ton pada tahun 2000, meski pada tahun 2002 terjadi pelonjakan yang sangat signifikan yaitu menjadi
101 ton dengan tingkat pertumbuhan 123%. Selain itu, terong belanda ini juga mempunyai potensi yang cukup baik untuk dijadikan sebagai buah kering y
inya.
Upaya budi daya terong belanda yang dilakukan selama ini lebih bersifat tradisional, sehingga produksi buah belum seperti yang diharapkan. Selain itu hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman terong belanda sering merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi kualitas buah yang dihasilkan. Menurut Faucon (1998) dan Borowicz (2001) penyakit yang umum menyerang terong belanda di negara-negara Amerika Latin adalah jenis-jenis jamur mikorhiza dan berbagai jenis nematoda
ri pengaruh terhadap produksi buah. Penelitian tentang terong belanda ini masih dirasakan kurang sekali dan belum ada yang meneliti tentang upaya peningkatan produktivitas dengan cara perbanyakan secara in vitro baik pada organ vegetatif maupun pada
organ generatif yaitu dengan teknik kultur jaringan. Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman, seperti protoplasma, sel, kelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkan dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan bersegrerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Djapfar, 1990). Bagian tanaman yang digunakan untuk kultur
neratif seperti
dia MS paling banyak digunakan terutam
diberikan pada tanaman
n, di mana menurut susunan kimiany
ya au biji muda dengan menggunakan komposisi
media dan rbeda.
n ½ MS padat, zat pengatu
ggunakan metode a engkap (RAL) Faktorial
de aitu:
dia
II. h
) B2 :
l sampel dengan 3 kali ulangan. Uji statistik
iji yang diperoleh dimasukkan ke dalam
a 5 menit dan
ri botol kultur dibuka
8 jam gelap dengan
menggu 0 watt. Ruang
k 2 kali
ter yang Diamati BAHAN DAN METODE
Persiapan Bahan. Bahan yang
digunakan adalah buah muda terong belanda yang diambil dari Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Media MS da
jaringan biasanya adalah jaringan yang masih muda yang berasal dari organ vegetatif seperti akar, batang, dan daun maupun organ ge
embrio, biji, anther, atau ovul serta bagian lain dari bunga (Mathius & Harris, 1995).
Keberhasilan kultur in vitro ditentukan
oleh media dan macam tanaman. Media mempunyai 2 fungsi utama, yaitu untuk mennyuplai nutrisi dan untuk mengarahkan pertumbuhan melalui zat pengatur tumbuh (Katuuk, 1998; Hendaryono & Wijayani, 1994). Adanya variasi media untuk tanaman menimbulkan beberapa macam media yang digunakan untuk kultur yaitu Murashige dan Skoog, Gamborg (B5), Linsmaier, Nitsch dan Nitsch, Woddy Plant Medium (WPM), MS, dan lain-lain. Me
R
a untuk tanaman hortikultura (Prihardini,
et al., 1993).
Selain media, zat pengatur tumbuh juga memegang peranan penting dalam melakukan teknik kultur. Zat pengatur tumbuh adalah kelompok hormon, baik hormon tumbuhan alamiah maupun sintetis yang berupa bahan-bahan kimia bukan unsur hara tanaman dan tidak dijumpai pada tanaman tetapi bila
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya (Djafar, 1990).
Sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologi di dalam tanaman dan juga berpengaruh di dalam perkembangan embrio. Sejumlah senyawa-senyawa subtitusi adenin yang mempunyai aktivitas seperti sitokinin terdapat di dalam pertumbuhan kalus tembakau. 6–benzyl amino purine (BAP) mempunyai struktur yang serupa dengan kineti
a kinetin adalah 6–furfurilaminopurin (Wattimena, 1988).
Senyawa-senyawa yang tidak mempunyai ciri-ciri indol tetapi mempunyai gugus asam asetat juga mempunyai keaktifan biologis seperti IAA. Asam naftalena asetat (NAA) dan asam 2,4 diklorofenoksi asetat (2,4 D) adalah senyawa tanpa ciri-ciri indol tetapi mempunyai aktivitas biologis seperti IAA. NAA dipergunakan sebagai hormon akar sedangkan 2,4 D adalah auksin yang paling aktif dan dipergunakan sebagai herbisida (Wattimena, 1988). Untuk itu peneliti ingin melakukan penelitian pendahuluan tentang kemungkinan pembudidayaan terong belanda ini dengan melakukan pengkulturan pada organ generatifn at
zat pengatur tumbuh yang be
r 2,4 D dan BAP. Bahan steril clorox dan alkohol serta bahan antioksidan L–cystein, providode iodine, dan belate.
Metodologi Penelitian. Penelitian ini
dirancang dengan men ncangan Acak L
ngan 2 faktor yang diteliti y I. Faktor komposisi me
A1 : media ½ MS A2 : media MS Faktor Zat Tumbu
B1 : kontrol (tanpa zat pengatur 2 mg/l 2,4 D
B3 : 1 mg/l BAP
B4 : 2 mg 2,4 D + 1 mg/l BAP
Masing-masing perlakuan akan terdiri dari 10 boto
yang akan digunakan untuk menguji antar kelompok adalah uji Anova (Prahardini, et al., 1993).
Pengambilan Sampel. Buah terong
belanda sebagai sumber eksplan diambil dari daerah Brastagi dan dipisahkan bijinya dari daging buahnya. Kemudian biji dibersihkan dari kotoran dengan mencuci di bawah air mengalir dan merendamnya selama 30 menit dalam larutan deterjen. B
larutan asam askorbat 100 ml/l dan kemudian dibilas dengan akuades (Prihardini, et al., 1993).
Eksplan biji kemudian direndam dalam larutan clorox 10% selama 5 menit dan dicuci lagi dengan akuades. Setelah itu eksplan direndam dalam betadine 10% selam
selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan kertas saring steril. Eksplan sudah siap untuk ditanam pada media kultur.
Inokulasi Eksplan Biji. Laminar air
flow dihidupkan dan dibersihkan dengan alkohol 96% selama 15 menit. Alat-alat yang dipakai direndam dalam alkohol 96%. Dengan bantuan pinset steril, aluminium foil da
dan eksplan diinokulasikan dengan posisi biji terbenam sebagian ke dalam media, kemudian botol ditutup kembali.
Botol berisi eksplan ini ditempatkan pada rak kultur untuk penyimpanan dengan suhu ruang dijaga sekitar 26–28ºC dengan perioditas cahaya selama 16 jam terang dan
nakan lampu folurescense 3 pelihara disemprot dengan larutan asepti sehari dengan alkohol 70%.
. tipe proliferasi – differensiasi eksplan b. Persen . Jumlah tunas d. Perse proliferasi– diferens edia ½ MS. Hal ini sesuai dengan penelitian Jenimar (1993), di dalam m
difensiasi
T Rata-rata pembe an t ro
ns ek p ku
terong belanda pada kom osisi media at tu bu g
A/B B0 B1 Rataan
a
tase pembentukan kalus c
ntase eksplan yang terkontaminasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tipe Proliferasi – Diferensiasi pada Biji. Dari hasil uji statistik diketahui perlakuan
komposisi media yang berbeda memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap
iasi eksplan, sedangkan pengaruh zat pengatur tumbuh dan interaksinya tidak berbeda nyata. Untuk uji rata-rata proliferasi–diferensiasi eksplan dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa proliferasi – diferensiasi eksplan terbaik didapatkan pada perlakuan A2 (media MS) (87,13) yang berbeda nyata dengan A1 (media ½ MS) (66,07). Hal ini disebabkan karena dalam media MS terkandung beberapa komponen garam-garam anorganik yang dibutuhkan oleh eksplan untuk proliferasi terutama adanya unsur N yang diberikan dalam 2 senyawa yaitu dalam bentuk ammonium nitrat dan kalium nitrat. Kemudian vitamin B yang juga diberikan dalam beberapa jenis. Jadi dengan demikian kebutuhan tanaman terhadap hara makro dan mikro terpenuhi sehingga menyebabkan eksplan berkembang lebih bagus dari m
mana eksplan tunas kentang yang dikulturkan edia MS menghasilkan eksplan hingga 80%.
abel 1. ntuk ipe p liferasi– difere iasi splan ada
p
ltur biji dan z penga r tum
B2 B3 h yan berbeda A1 30,9 6 87,1 3 59,0 4 87,1 3 66, A b 07 A2 87,1 3 87,1 3 87,1 3 87,1 3 87,13Aa 9,0 5 87,1 3 73,0 87,1 Rataa n 5 9 3 Keteranga ng biasa digunakan. Gunawa in yang mempunyai potensi enunjukkan bahwa interaksi tidak memberikan pengaruh yang nyata komposis
uji DnMRT terhadap persentase kalus ditampilk
2. Rata-rata persentase kultur berkalus (% pad ltu ji g
o si pen tur
A/B
n: Notasi yang menunjukkan perbedaan sangat nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan taraf 1% (huruf besar) menurut uji Duncan.
Media MS memang merupakan komposisi media tumbuh ya
n (1987) menyatakan bahwa media dasar MS merupakan komposisi media tumbuh yang sangat baik digunakan untuk inisiasi eksplan pada perbanyakan tanaman.
Zat pengatur tumbuh tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap proliferasi–diferensiasi eksplan. Namun dari data terlihat bahwa perlakuan B1 (2 mg/l 2,4 D) (87,13) dan B3 (2,4 D + 1 mg/l BAP) merupakan perlakuan terbaik dibandingkan dengan perlakuan B0 dan B2 terhadap proliferasi– diferensiasi eksplan. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan auksin pada media kultur baik secara mandiri maupun secara kombinasi berpengaruh terhadap tipe proliferasi–diferensiasi eksplan. Menurut Gunawan (1987), auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang proliferasi eksplan. Selanjutnya Heddy (1996) menyatakan bahwa 2,4 D merupakan jenis auks
tinggi untuk proliferasi–diferensiasi eksplan. Demikian juga dengan Gardner, et al.
(1991), juga menyatakan bahwa proliferasi– diferensiasi eksplan terjadi karena adanya pembelahan sel oleh auksin.
Persentasi Kultur yang Berkalus (%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar eksplan yang dikulturkan berkalus, pengujian secara statistik m
terhadap persentasi eksplan berkalus, kecuali i media dan zat pengatur tumbuh. Hasil an pada Tabel 2.
Tabel
) a ku r bi teron belanda pada k mposi media dan zat ga tumbuh yang berbeda
B0 B1 B2 B3 Rataan
A1 0 80 0 60 35bB A2 60 80 60 100 75aA Rataan 30bB 80aA 30bB 80aA
Keterangan: Notasi yang menunjukkan perbedaan sangat nyata pada taraf 5% (huruf kecil) dan taraf 1% (huruf besar) menurut uji Duncan.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa persentase kalus tertinggi ditemukan pada perlakuan A2 (medium MS) yaitu 75% dari eksplan yang ditanaman berkalus dan berbeda nyata dengan A1 (medium ½ MS). Ini disebabkan karena media MS mengandung komposisi unsur-unsur hara makro, mikro, dan vitamin dengan jumlah yang lebih tinggi dan konsentrasi ini cukup untuk mendukung pertumbuhan kalus yang relatif lebih banyak. Gunawan (1987) menyatakan bahwa media dasar MS merupakan komposisi media tumbuh yang sangat baik digunakan untuk pertumbuhan kalus
mendorong sitokinesis tanpa diikuti diferens
bahan 2,4-D dengan
ara lebih cepat.
Jumlah Tunas. Data jumlah tunas dapat
bahwa i memberi
p tur buh berpengaruh ny te jumlah tunas.
3. -ra ah p ultu ji t ng be da pa isi media
A/B B
pada kebanyakan tanaman. Selanjutnya Heddy (1996) juga menyatakan bahwa media MS dengan penambahan auksin dan sitokinin banyak dipakai untuk inisiasi kalus pada kultur tanaman.
Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap persentase pertumbuhan kalus tertinggi ditemukan pada perlakuan B1 dan B3 yaitu sekitar 80%, yang berbeda nyata dengan kedua perlakuan lainnya B0 dan B2. Persentase kalus yang tinggi pada B1 dan B3 ini disebabkan oleh aktivitas 2,4-D yang ditambahkan ke dalam kultur. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan bahwa 2,4-D lebih responsif dalam membentuk kalus jika dibandingkan dengan jenis auksin lainnya. Pada perlakuan B3 gabungan antara 2,4-D dan BAP memberikan rasio yang seimbang di antara kelompok zat tumbuh tersebut sehingga kultur diarahkan untuk pembentukan kalus. Penambahan BAP dalam kultur berfungsi untuk
iasi sel atau jaringan. Heddy (1996) dan Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa kalus
terbentuk karena adanya pembelahan sel yang dipicu oleh auksin dan 2,4-D merupakan jenis auksin yang berpotensi tinggi untuk membentuk kalus.
Kombinasi perlakuan antara komposisi media dan zat pengatur tumbuh secara statistik tidak berpengaruh namun dari hasil yang ditemukan pada perlakuan A2B3 didapatkan persentase kalus tertinggi yaitu 100%. Nilai ini tertinggi di antara perlakuan-perlakuan yang lain. Dari hasil ini terlihat bahwa penam
BAP menghasilkan rasio konsentrasi yang seimbang untuk mendukung pertumbuhan kultur membentuk kalus. Pada kondisi ini terjadi kerjasama yang sinergis dari kedua zat pengatur tumbuh tersebut yang menyebabkan terjadinya pembelahan sel sec
dilihat pada Tabel 3. Dari hasil analisa statistik nteraksi dan komposisi media tidak kan pengaruh yang nyata kecuali zat
enga tum ata rhadap
Tabel Rata ero ta juml lan tunas da kom ada k pos r i b dan zat pengatur tumbuh yang berbeda
0 B1 B2 B3 Rataa n
A1 0,20 1,00 2,40 1,60 1,30 A2 0,80 1,00 1,40 2,20 1,35 Rataa
n 0,50cB 1,00bcAB 1,90aA 1,90aA
Keterangan: Notasi yang menunjukkan perbedaan sangat nyata pada taraf 5% (huruf kecil)
dan taraf 1% (huruf besar) menurut uji Duncan.
Dari Tabel 3 di atas terlihat bahwa perlakuan B2 dan B3 memberikan jumlah tunas tertinggi pada kultur biji muda terong belanda yaitu 1,90. Hal ini disebabkan karena penamb
ng terkontaminasi pada kultur biji muda terong belanda
emikian hal ini dapat man ilakukan dengan cara
pengg
Borow Depar
ahan BAP ke dalam media pertumbuhan sehingga eksplan yang tumbuh berdiferensiasi ke arah tunas. Keberadaan BAP endogen yang berasosiasi dengan BAP eksogen menyebabkan ekplan tersebut berdiferensiasi membentuk tunas. Menurut Wilkins (1992) dan Sutopo (1993) bahwa sitokinin dalam kultur jaringan berperan dalam pembelahan sel dan pembentukan tunas.
Persentase Eksplan yang Terkontaminasi. Persentase ekplan ya
sebanyak 4,16%. Kalau dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain dengan kondisi laboratatorium yang sama persentase kultur yang terkontaminasi tergolong sedikit. Hal ini disebabkan karena sterilisasi dan proses penanaman dilakukan secara aseptik dan menuruti prosedur-prosedur yang sudah teruji.
Kontaminasi kebanyakan dari jenis bakteri, hal ini kemungkinan disebabkan karena kondisi biji dari terong belanda ini yang berlendir dan agak susah dihilangkan walaupun sudah digosok dan dicuci selama satu jam dalam air mengalir.
Gunawan (1995) mengatakan, inisiasi kultur yang bebas kantaminan merupakan langkah yang sangat penting karena pada bahan tanaman banyak mengandung debu, kotoran, dan berbagai kontaminan yang dapat mengkontaminasi eksplan, sehingga dibutuhkan seni kerja yang baik. Menurut Yusnita (2003), eksplan yang berasal dari alam memiliki tingkat kontaminasi
ang tinggi, meskipun d y
diatasi apabila teknik sterilisasi dan penana
d yang aseptik seperti
misalnya perendaman eksplan di dalam larutan NaOCl 0,5%-1% selama 5-10 menit, dan
unaan tween-20 selama 5-10 menit, dan berbagai prosedur sterilisasi, sesuai dengan jenis eksplan yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
icz V. 2001. Do arbuscular mycorhyzal fungi alter plant pathogen relations.
Ecology 82: 3057-3068.
temen Pertanian. 2003. Data Agribisnis Wilayah Sumatera.
Djafar
ma Universitas Wilayah Barat. Project.
Fauco tomato.
Gardn
Heddy umbuhan. Ed-4.
Herda
njuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif. Yogyakarta: Kanisius.
Jenimar. 1993. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh BAP dan 2,4-D pada Perbanyakan
Katuu
ropropogasi Tanaman. Departemen Mathi
man
utop Jakarta:
Wattim
an dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU Bioteknologi IPB. Bogor.
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Jakarta: Agromedia.
http://www.agribisnis.deptan.go.id.
ZR. 1990. Dasar-Dasar Agronomi. Badan Kerjasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Agronomi Network WUAE
Palembang.
n P & Borowicz. 2001. Tree
Tamarillo. http://www.desserttropical.com er FP, Pearce RB & Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta: UI Press.
Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU Bioteknologi IPB. Bogor.
S. 1996. Hormon T
S
Cetakan ke-2. Jakarta: Rajawali.
ryono DPS & Wijayani A. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petu
Kentang Secara Kultur Jaringan. Fakultas Pertanian, USU. Medan.
k JRP. 1998. Teknik Kultur Jaringan dalam Mik
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. us NT & Nurhaimi H. 1995. Teknologi In
Vitro Untuk Pengadaan Tana
Perkebunan. Warta Puslit Bioteknologi 1: 2.
Prahandini PE, Sudaryono RT & Purnomo S. 1993. Komposisi Media dan Eksplan Untuk Inisiasi Salak Secara In Vitro.
o L. 1993. Teknologi Benih. Rajawali Press.
ena GA. 1992. Bioteknologi Tanaman. Departemen Pendidik