• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENTINGNYA ENTREPRENEURSHIP DALAM PENDIDIKAN SAINS DI PERGURUAN TINGGI. Bangi Selangor, Malaysia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENTINGNYA ENTREPRENEURSHIP DALAM PENDIDIKAN SAINS DI PERGURUAN TINGGI. Bangi Selangor, Malaysia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENTINGNYA ENTREPRENEURSHIP DALAM PENDIDIKAN SAINS DI PERGURUAN TINGGI

Setia Erlila Refman Adrusa*, Muhamad Faeqi Hadi Saputrab

a

Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia, 43600 UKM, Bangi Selangor, Malaysia

b

Fakulti Pengurusan dan Ekonomi, Universiti Kebangsaan Malaysia, 43600 UKM, Bangi Selangor, Malaysia

e-mail: setiaerlila@gmail.com, faeqiii@gmail.com ABSTRAK

Negara yang makmur adalah negara yang memiliki paling sedikit 2% entrepreneur, sedangkan Indonesia merupakan negara yang memiliki populasi penduduk paling banyak keempat setelah China, India dan AS hanya memiliki 1.5% entrepreneur dari 255juta penduduk Indonesia pada tahun 2015. Entrepreneurship merupakan solusi dalam menghadapi kecepatan kelulusan dan kepadatan penduduk yang tidak seimbang dengan jumlah pekerjaan yang diberikan oleh pemerintah. Perguruan tinggi adalah tempat yang paling strategis dalam melahirkan inovator-inovator baru, karena perguruan tinggi boleh mengambil peran penting dalam mengembangkan potensi diri seseorang. Hakikat seorang entrepreneurship adalah kreatif, inovatif, siap mengambil resiko, bertanggung jawab, dan memiliki etika bisnis yang tinggi. Pada pendidikan sains, entrepreneurship bisa diterapkan pada materi pembelajaran, modul pembelajaran, eksperimen, hingga lembar kerja mahasiswa bisa dijadikan sebagai pendidikan entrepreneurship karena dalam pemikiran pendidikan sains terkandung pemikiran entrepreneurship. Entrepreneurial Science Thingking (EST) merupakan sebuah langkah yang bisa mengembangkan pemikiran sains dalam entrepreneurship. Hal ini boleh berlaku ketika sebuah eksperimen maupun hasil dari pemikiran sains memiliki nilai jual dan produk sains pada umumnya banyak digunakan serta dikonsumsi oleh banyak kalangan dikehidupan sehari-hari, seperti dalam bidang elektronika, kedokteran, dan energi terbarukan. Strategi yang bisa digunakan perguruan tinggi dalam mengembangkan EST adalah (i) kurikulum berasaskan entrepreneurship, (ii)

peningkatan SDM, (iii) entrepreneurship centre, (iv) kerjasama dengan dunia usaha, (v)

membuka unit usaha, (vi) kerjasama dengan institusi keuangan, dan (vii)

entrepreneurship award.

Kata Kunci: Entrepreneurship, EST, kreatif, inovatif, entrepreneurship di perguruan

tinggi, pendidikan sains.

PENDAHULUAN

Era globalisasi menjadikan pendidikan berperan penting dalam membentuk sumber

daya manusia yang mempunyai keterampilan untuk hidup (life skills) berasaskan pada

sains, teknologi dan ekonomi. Hal ini senada dengan perkembangan pendidikan abad ke-21 yaitu pendidikan yang menekankan kepada hubungan antara ilmu sains dan teknologi, karena pendidikan abad ke-21 bercirikan kepada insan yang mempunyai

(2)

keterampilan belajar dan berinovasi. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya manusia karena Indonesia memiliki populasi penduduk terbanyak keempat setelah China, India dan AS. Sedangkan pada sumber daya alam Indonesia mempunyai kekayaan alam yang melimpah baik dari minyak bumi, gas, lautan, maupun daratan.

Pendidikan berasaskan sains, teknologi dan ekonomi atau yang lebih dikenal dengan istilah Entrepreneurial Science Thinking (EST) menjadi salah satu masalah yang masuk dalam tujuan dan fungsi pendidikan nasional yang terkandung pada Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan pada tujuan pendidikan nasional diatas diketahui bahwa EST akan berkembang apabila dilaksanakan secara sistematis. Dengan demikian, hal ini bisa mengurangi jumlah pengangguran terdidik di Indonesia setiap tahunnya, karena melihat perkembangan pendidikan di Indonesia, jumlah mahasiswa yang diwisuda setiap tahun diberbagai Perguruan Tinggi (PT) meningkat seperti pada tahun 2010 jumlah mahasiswa yang diwisuda meningkat sebanyak 57% (Media Indonesia, 2010). David McCelland dalam Moberg (2011) seorang ilmuan social-pembangunan dalam konsep Need for Achievement menyatakan suatu negara akan menjadi makmur apabila memiliki entrepreneur paling sedikit 2% dari jumlah penduduknya. Mengutip data Global Entrepreneurship Monitor (GEM) yang menyajikan perbandingan antara Indonesia, Singapura, dan AS. Tahun 2005, Singapura memiliki 7.2% entrepreneur dari jumlah penduduknya, AS memiliki 6 juta entrepreneur pada tahun 1983 dengan jumlah penduduk 280juta, sedangkan Indonesia memiliki 1.5% entrepreneur pada tahun 2015 dari jumlah penduduk 255juta jiwa. Hal ini berarti, Indonesia masih memerlukan entrepreneur sebanyak 0.5%.

Melalui perkembangan satuan pendidikan yang mulai mengarah kepada EST menjadikan peran perguruan tinggi sangat strategis dalam membentuk sumber daya manusia yang mempunyai inovasi yang tinggi. Inovator-inovator sains yang tercipta

(3)

didorong untuk menciptakan pekerjaan, tidak hanya mencari pekerjaan. Salah satu yang bisa dilakukan perguruan tinggi dalam mendorong tumbuhnya inovator tersebut ialah

dengan cara memperlihatkan kepentingan entrepreneurship dalam bidang sains kepada

seluruh mahasiswa.

PEMBAHASAN

A. Pendidikan Entreprenurial Science Thinking

Entrepreneurship atau kewirausahaan merupakan istilah yang berasal dari bahasa

Perancis, entre yang berarti antara dan prendre yang berarti mengambil. Jadi,

Entrepreneurship boleh bermakna kesanggupan seseorang dalam mengambil resiko pada sesuatu hal yang baru. Suparyanto (2013:5) mengatakan entrepreneur merupakan orang yang dinamis, sesantiasa mencari peluang, dan memanfaatkannya untuk menghasilkan sesuatu yang mempunyai nilai tambah. Norman M. Scarborough dan

Thomas W. Zimmerer (1993:5), dalam Kemendiknas (2010) menyatakan bahwa, A

entrepreneur is one who creates a newbusiness in the face if risk and uncertainty for the purpose of achieving profit andgrowth by identifying opportunities and asembling the necessary resources to capitalzeon those opportunities. Hal ini berarti entrepreneur adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, serta mengumpulkan sumber daya yang diperlukan dalam melaksanakan aktiviti tersebut, hingga mendapatkan keuntungan dalam mewujudkan gagasan inovatif kedalam kehidupan yang sebenarnya secara kreatif untuk meningkatkan pendapatan.

Hisrich (2005) menyebutkan bahwa hakikat dari seseorang entrepreneur adalah memiliki keinginan untuk menghasilkan sesuatu, kreativitas, inovasi, berani mengambil resiko, memiliki etika bisnis dan norma, serta semangat dan bertanggung jawab. Namun dari beberapa hakikat yang diungkapkan diatas ada dua hakikat yang saling terikat dalam membentuk EST, yakni kreativitas dan inovasi. Kreativitas dalam EST oleh QCA (2007) merupakan sebuah pemikiran yang mampu berimajinasi dalam membentuk dan menerima sebuah pengetahuan maupun informasi untuk menyelesaikan masalah, tantangan, persoanlan, atau tugasan. Sedangkan inovasi merupakan satu pemikiran dalam menghasilkan sesuatu yang baru maupun mengubah sesuatu yang lama menjadi benda baru (memodifikasi). Meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam EST

(4)

investigation, (iii) transformation, (iv) incubation, (v) illumination, (vi) verification,

(vii) implementation.

Geffrey G. Meredith dalam Suharyadi dkk (2007: 9) mengemukakan ciri-ciri dari entrepreneur sebagai berikut:

1. Percaya diri

Seseorang entrepreneur harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi karena sesuatu yang diyakini dan dianggap benar serta tidak melanggar aturan adalah sebuah sikap yang positif dalam membangun sikap entrepreneurship.

2. Berorientasi Tugas dan Hasil

Entrepreneurship adalah seseoarang yang fokus pada tugas dan hasil. Apapun yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan tujuan yang telah ditargetkan, serta didorong oleh motivasi yang besar dan kerja keras.

3. Berani mengambil resiko

Entrepreneurship mempunyai resiko pada setiap aktivitasnya, ada untung dan rugi, ada masalah besar dan kecil. Oleh sebab itu seorang entrepreneur harus mampu untuk menghadapi hal tersebut dengan mengetahui peluang-peluang yang ada dan langkah-langkah dalam menghindari kegagalan sehingga bisa memperkecil resiko.

4. Kepemimpinan

Entrepreneur yang sukses adalah entrepreneur yang mempunyai kemampuan dalam memimpin dan bisa bekerjasama. Kepemimpinan melibatkan banyak, karena tidak hanya melibatkan hubungan emosional dengan pekerja, tetapi juga pada keyakinan dan sikap dalam menyikapi perubahan yang ada.

5. Originalitas

Entrepreneurship tidak harus membentuk sesuatu produk baru, namun boleh membentuk sesbuah produk lama menjadi produk lebih baik dan berbeda daripada sebelumnya. Hal ini bisa menjadikan sebuah produk yang dihasilkan memiliki ciri khas tertentu.

6. Berorientasi Masa Depan

Entrepreneur yang memiliki pandangan jauh kedepan akan membentuk seorang pribadi yang terus berusaha dan berkarya dalam keadaan yang semakin modern seperti zaman sekarang ini. Memiliki pandangan kedepan menjadikan entrepreneur peka terhadap lingkungan dan keperluan masa mendatang.

(5)

Menurut Wijatno (2009) dampak postif yang dapat diterima oleh banyak kalangan ketika EST dikembangkan adalah: (i) Entrepreneurship menyediakan lapangan pekerjaan, karena dengan melakukan entrepreneurship tingkat pengangguran merendah, (ii) memberikan kekuatan ekonomi pada masyarakat, dengan adanya entrepreneurship menjadikan pekerjaan lebih efisien dan efektif, dan (iii) alasan globalisasi, karena fenomena ini berperan penting dalam menyediakan kesempatan untuk memasarkan produk ke luar negeri.

B. Entrepreneurship di Perguruan tinggi

Visi Departemen Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2025 adalah menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Memandang hal ini, pendidikan Entrepreneurship di perguruan tinggi bisa dikembangkan secara professional yang bisa

bersaing dengan kompetitif untuk menjadikan perguruan tinggi sebagai Entrepreneureal

University (EU). Peran perguruan tinggi sebagai EU memiliki dua makna yaitu (Hendri et all, 2016): Pertama, perguruan tinggi dapat menjadi sebuah lembaga Entrepreneurship yang memanfaatkan sumber daya manusia dengan efisien dan optimum. Kedua, mahasiswa, staf pengajar, dan fakultas terintegrasi dengan lembaga bisnis, industri, dan komunitas melalui inovasi dan pengenalan ilmu pengetahuan serta kerjasama dengan industri. Kedua-dua hal diatas boleh bermaksud perguruan tinggi bisa menjadi fasilitator dalam mengembangkan Entrepreneurship karena dengan menggunakan sumber daya manusia berserta fasilitas yang ada di dalam perguruan tinggi, maka perguruan tinggi bisa membentuk entrepreneur yang memiliki inovasi baru.

Perguruan tinggi bisa menjadi sebuah fasilitator dalam membentuk ide entrepreneurship dari dalam diri mahasiswa melalui berbagai kegiatan. Pada pendidikan sains dan teknologi entrepreneurship bisa dibangunkan karena pada dasarnya pengetahuan terhadap entrepreneurship dalam sains telah dimiliki dan dilaksanakan pada kegiatan sehari-hari (Zulfaka et all, 2014). Oleh sebab itu, pengembangan pendidikan dan kurikulum di perguruan tinggi harus diarahkan pada pendidikan entrepreneurship. Entrepreneurship pada perguruan tinggi mempunyai tiga ciri yang mendasarinya. Pertama, pendidikan entrepreneurship harus dititik beratkan dalam mengenali dan menggali potensi diri mahasiswa. Setiap individu memiliki potensi diri yang bisa ditumbuhkan karena minat maupun karena mempunyai rasa ingin tahu yang

(6)

tinggi. Ketika potensi diri sudah diketahui, maka hal demikian perlu dikembangkan agar jiwa entrepreneur bisa dikembangkan lebih baik lagi.

Kedua, perguruan tinggi perlu menyediakan pengajar yang berlatar belakang entrepreneurship. Hal ini bisa membuat pembelajaran tentang entrepreneurship lebih mudah untuk dipahami oleh mahasiswa, serta seorang entrepreneur bisa memberikan semangat yang lebih tinggi kepada mahasiswa untuk melaksanakan entrepreneurship. Selain itu, entrepreneurship bukanlah ilmu yang bisa dipelajari dengan teks saja, tapi entrepreneurship adalah sesuatu hal konkrit, jelas, dan sistematis yang perlu dilakukan secara praktikal. Ulrich dan Cole (1987) dalam Tejo Nurseto, menyebutkan bahwa seseorang entreprnuer lebih menyukai gaya pembelajaran yang aktif dan melibatkan banyak kegiatan, serta hasil dari kegiatan tersebut dapat memberikan pengalaman yang konkrit. Ketiga, adanya stakeholder di dalam perguruan tinggi. Stakeholder berfungsi sebagai wadah dalam mengembangkan entrepreneur yang telah dibentuk. Stakeholder akan menjadi wadah dalam mengimplementasikan inovasi-inovasi yang telah dikembangkan oleh mahasiswa.

Seseorang yang memiliki ciri entrepreneurship dianggap mempunyai sikap yang positif dalam membuat sesbuah pekerjaan dalam hidup mereka. Pemikiran dalam mengembangkan bakat dan minat dalam sebuah inovasi baru sehingga bisa membentuk produk baru yang memiliki nilai jual selaras dengan pemikiran sains yang dikehendaki untuk membuat sebuah produk yang boleh memiliki nilai jual atau tidak. Tapi, dalam mengembangkan produk tersebut inovasi-inovasi baru perlu dilakukan agar terciptanya sebuah produk yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa pemikiran sains mempunyai kesamaan dengan pemikirian entrepreneurship (Zulfaka et all, 2014). Pemikiran di dalam pendidikan sains berintegrasi dengan pemikiran entrepreneurship yang telah banyak dikembangkan. Memandang hal tersebut, sudah banyak negara yang mengembangkan EST seperti Malaysia dalam membentuk negara yang maju telah mengembangkan pendidikan entrepreneurship dari tahun 1990an (Cheng, Chan, et all

2009). Malaysia mengembangkan soft skills mahasiswa dimulai dari perguruan tinggi,

namun berdasarkan pada pembelajaran abad ke-21 penerapan entrepreneurship pada sistem pembelejaran sains dan teknologi mulai dikembangkan dari dini (Rosni Bakar et all, 2015).

China, entrepreneurship di perguruan tinggi China menekankan pada penciptaan

(7)

dalam bidang pendidikan namun China menerapkan secara langsung bagaimana proses dari entrepreneurship dan melihat hasil dari pelaksanaannya. Memendang hal ini, dalam sistem pendidikan, China lebih mendahulukan penerapan secara praktikal daripada menerima pemahaman secara teori (Mason, 2011, Li Zhang et all 2003). Selain itu, negara lain yang telah mengembangkan entrepreneurship pada sistem pendidikannya adalah Singapura, Nigeria, dan Eropa.

Hesri Kuswara melihat perkembangan entrepreneurship di perguruan tinggi, diperlukan beberapa strategi yang bisa digunakan, (Hendri Mappesona, et all, 2016) yaitu : (i) Kurikulun berasaskan entrepreneurship, dimana kurikulum yang dibangun oleh setiap perguruan tinggi perlu memasukkan unsur entrepreneurship. Penerapan ini boleh dilakukan pada pendidikan sains, dimana dalam membentuk sebuah materi pembelajaran, silabus, modul pembelajaran, dan lembar kerja pembelajaran (Wan Mohd et all, 2016); (ii) Peningkatan SDM, dimana staf pengajar harus bisa menerapkan perilaku “5M”, yang berarti mampu memberikan paradigma pentingnya entrepreneurship, mampu merubah cara pandang mahasiswa, mampu memotivasi dan menginspirasi mahasiswa, mampu memberikan contoh entrepreneurship yang berhasil, dan mampu menghasilkan mahasiswa sebagai seorang entrepreneur (Hendri et all,

2016); (iii) Membentuk entrepreneurship centre, merupakan sebuah wadah yang

diberikan kepada mahasiswa dalam mengembangkan entrepreneurship; (iv) Kerjasama dengan dunia usaha; (v) Membentuk unit usaha, dimana mahasiswa bisa membentuk sebuah usaha yang berlandaskan pada entrepreneurship seperti koperasi; (vi) Kerjasama dengan institusi keuangan dalam mengembangakan modal usaha yang akan digunakan;

(vii) Entrepreneurship award, hal ini dilakukan untuk memotivasi semangat mahasiswa

yang telah mengembangkan entrepreneurship dan untuk membangkitkan minat mahasiswa yang belum mencoba dunia entrepreneurship.

KESIMPULAN

Entrepreneurship di perguruan tinggi boleh meningkatkan minat pelajar dalam menciptakan lapangan pekerjaan, tidak saja mencari pekerjaan. Pemikiran entrepreneurship sejalan dengan pemikiran pendidikan sains. Hal ini berarti, dalam sains terdapat entrepreneurship yang berlaku dalam proses pembelajaran hingga pembentukan hasil dari proses pembelajaran. EST dibentuk dari kreativitas, inivosi, rasa ingin tahu, siap mengambil resiko, dan siap bertanggung jawab dalam menjalani proses

(8)

tersebut. EST yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional boleh membawa Indonesia pada negara yang maju pada bidang sains dan teknologi.

RUJUKAN

Alma, Buchari. 2010. Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan Umum. Bandung: Penerbit

Alfabeta.

Aunurrahman. 2009. Developing and Documneting The Curriculum. Bostom: Allyn and

Bacon.

Cheng, M., & Chan, C. 2004. Entrepreneurship Education in Malaysia. Cyberjaya

Multimedia.

Hendri Mappesona, at.all., 2016. Pendidikan Entrepreneurship di Perguruan Tinggi.

International Conference on Global Education 4th.

Hisrich, R.D., Michel P.P., Sherped D. 2005. Entrepreneurship. 6th Edition. Boston: Mc

Graw Hill.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan Pendidikan dan Karakter

Bangsa. Bahan Pelatihan Metodologi Pembelajaran Berdsarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

Li, J., Zhang, Y., & Matlay, H. 2003. Entrepreneurship Education in China. Education

+ Training, 5(8/9).

Lilia Halim, Nor Aishah Buang, T. Subahan Mohd Meera & Kamisah Osman. 2009.

Modul Pembelajar Berasaskan Pemikiran Sains Keusahawanan. Bangi: Fakulti

Pendidikan UKM.

Lilia Halim, Nor Aishah Buang, Khalijah Mohd. Salleh. 2003. Projek Arus Perdana II

AP 1/2000 oleh Pensyarah Fakulti Pendidikan UKM. Bangi: Fakulti Pendidikan

UKM.

Mason, C. 2011. Entrepreneurship Eduction and Research: Emerging Trends and

Concerns. Journal of Global Entrepreneurship,1.

Muhammad Syukri, Lilia Halim, at.all., 2013. Pengetahuan Pedagogi Isi Kandungan Guru Sains Sekolah Rendah dalam Mengajarkan Pemikiran Sains

Keusahawanan: Satu Kajian Kes. UTM Press.

Nur Kholifah, Muhammad Nurtanto. 2015. Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan

dalam Menanamkan Nilai-Nilai Entrepreneurship untuk Menghadapi

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Prosiding Seminar Nasional Inovasi

Pendidikan.

Riant Nugroho. 2009. Memahami Latar Belakang Pemikiran Entrepreneurship Ciputra:

Membangun Keunggulan Bangsa dengan Membangun Entrepreneur. Jakarta:

Elexmedia.

Suparyanto. 2013. Kewirausahaan (Konsep dan Realita pada Usaha Kecil). Bandung:

Alfabeta.

Tejo Nurseto. 2010. Pendidikan Berbasis Entrepreneurship. Jurnal Pendidikan

Akuntansi Indonesia, Vo. 8, No.2.

Prof.Dr.Ir.Akhmad Sodiq, 2014. Entrepreneurship melalui Sains dan Pembelajaran

Sains dalam Mengoptimalkan Sumber Daya Manusia: Lesson Learnt

Implementasi di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Sudirman. Semnas

(9)

Rosni Bakar, at.all., 2015. Entrepreneurship Education: Experiences in Selected

Countries. Canadian Center of Science and Education.

Wan Mohd Zaifurin Wan Nawang, at.all., 2016. Kebaikan Pekerjaan Keusahawanan Sebagai Pengantara Antara Faktor-Faktor Peramal dan Kecendrungan Pelajar

Menceburi Kerjaya Keusahawanan. UTM Press.

Wijatno, Serian. 2009. Pengantar Entrepneurship. Jakarta: Grasindo.

Zulfaka Ishak, Nor Aishah Buang, at.all., 2014. Ciri-Ciri Tahap Pemikiran Sains Keusahawanan: Kesediaan Integrasi Pemikiran Keusahawanan dalam Proses

Pengajaran Guru-Guru Sains di MRSM. Jurnal Kepemimpinan Pendidikan.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis XRD dilakukan untuk mengetahui struktur kristaldan parameter kisi yang dimiliki oleh keramik.Karakterisasi XRD keramik film tebal berbasis Fe2O3 – MnO – ZnO

Benih grnelina diduga mencapai saat masak fisiologis (MF) pada umur 32 HSA yang ditandai dengan viabilitas potensial, vigor daD bobot kering benih yang maksimum. Posisi buah

In step 12, the game is the object of Game that supplies the GraphicDevice for drawing the selection area texture; spriteBatch will draw the listbox on screen; font will be

Manajemen atau pengelolaan pelatihan merupakan proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran yang berupa kegiatan memahirkan.. Sebagai suatu

Kegiatan PPL merupakan serangkaian kegiatan yang terdiri dari observasi kelas, serta proses pengidentifikasian lingkungan belajar dan karakteristik peserta didik,

1. Fraktur pelvis: bisa terjadi banyak perubahan dan menyebabkan kematian karena dapat terjadi banyak perdarahan. Dislokasi sendi panggul: dislokasi sendi terbanyak ke arah

Bila ditinjau dari daya tampung buangan sampah, lokasi yang akan digunakan untuk TPA sebaiknya lahan tersebut dapat dioperasikan minimum selama 5 tahun. Untuk memenuhi

Jenis penelitian ini deskriptif kualitatif menggunakan design penelitian studi kasus tunggal holistik, Informan penelitian sebanyak 9 informan yang meliputi 1 orang