• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

TANAMAN ABAKA 1. Biologi dan manfaatnya

Abaka (Musa textilis Nee) merupakan tanaman sejenis pisang penghasil serat termasuk dalam genus: Musa, famili: Musaceae, ordo: Zingiberales. Abaka memiliki daun dan batang yang lebih ramping, dan ujung daunnya lebih runcing dibandingkan pisang. Pangkal daun membulat dan salah satu sisi lamina lebih pendek dibandingkan sisi lainnya (Berger 1969; Tabora dan Carlos 1978).Tepi lamina daun berwarna hitam sehingga mudah dibedakan dengan daun pisang. Tinggi tanaman berkisar antara 3-7.5 meter, buahnya berisi biji kecil-kecil, buah berwarna hijau saat masak tetapi kemudian berubah menjadi kuning pucat dan akhirnya hitam (Dempsey 1963; Tabora dan Carlos 1978).

Awalnya serat abaka yang dihasilkan dari pelepah daun yang membentuk batang semu, banyak digunakan sebagai tali-temali, terutama kapal dan bahan untuk industri pancing karena tahan terhadap kelembaban, air laut dan air tawar (Purseglove 1983). Selain itu serat abaka dapat ditenun dan digunakan sebagai bahan pakaian yang sejuk dipakai, untuk kain jok, popok bayi (pampers), pembungkus kabel listrik dan peredam suara kapal terbang (Heyne 1987; Duryatmo dan Dasoeki 1999). Pulp abaka sangat baik digunakan untuk bahan baku kertas tipis seperti kertas dokumen, surat berharga, kertas uang, kertas kemasan (Triyanto et al. 1982), kertas saring, kertas dasar stensil, kertas sigaret, kertas teh celup, kertas pembungkus daging/sosis, dan kertas lensa (Aragon 2000). Penggunaan serat abaka untuk kertas uang peso di Filipina dimulai tahun 2000, sedangkan di Jepang sudah sejak lama dilakukan (Hilario 2006).

2. Asal dan penyebarannya

Abaka berasal dari Filipina (Nur 1957, Villordon 2003), daerah penanaman terbesar adalah semenanjung Bicol yang terletak di bagian selatan pulau Luzon; Leyte dan Samar pada kepulauan Visayas; dan propinsi Davao pada kepulauan

(2)

Mindanao. Karena abaka merupakan tanaman asli Filipina, maka disebut juga sebagai ’Manila Hemp’ dan pada tahun 1690 disebut sebagai Musa mindanensis (Montgomery 1954). Usaha penyebaran abaka sudah dimulai sejak 1811 tetapi selalu mengalami kegagalan karena introduksi menggunakan biji, kondisi pertumb uhan tidak sesuai, dan kurangnya pengetahuan tentang budidaya (Purseglove 1983). Tahun 1924-1925 bibit abaka berhasil diintroduksi ke Panama, Costa Rica, Guatemala, dan Honduras, kemudian menyebar dan dapat tumbuh baik di India, Ceylon, Kepulauan Andaman, Bengal, Hawai, Kepulauan Salomon, Jamaica, Tinidad, Sabah, Sumatra, Malaya dan New Guinea (Hilman dan Toruan-Mathius 2001). Pengembangan abaka di Indonesia dimulai pada tahun 1853 di Minahasa, tetapi pada saat itu keuntungan yang diperoleh dari budidaya abaka sangat rendah. Tahun 1905 mulai dikembangkan di Jawa dan Sumatera Selatan dan tumbuhnya tidak mengecewakan. Pada tahun 1912 dilaporkan bahwa terdapat tiga perkebunan besar di Besuki, Jawa Timur dan pada tahun tersebut dapat mengekspor 200 ton serat, kemudian produktivitas menurun dan keuntungannya terlampau kecil, sehingga perkebunan tersebut tidak berkembang (Heyne 1987; Hilman dan Toruan-Mathius 2001). Salah satu perkebunan abaka di Indonesia yang masih tersisa antara lain di Bayulor, Banyuwangi seluas ± 400 ha. 3. Plasma nutfah dan pemuliaannya

Plasma nutfah abaka di Philippina mencapai sekitar 192 aksesi (Villareal 1988), tetapi hanya 20 diantaranya yang memiliki nilai komersial tinggi. Tiga varietas utama yang banyak ditanam adalah: Tangongon, Bungulanon, dan Maguindanao (Dempsey 1963; Purseglove 1983; Hilman dan Toruan-Mathius 2001). Di Indonesia, koleksi plasma nutfah yang terdapat di Balittas, hanya 37 aksesi, sepuluh diantaranya telah dianalisis keragaman genetiknya oleh Hadipoentyanti et al. (2001), hasil analisis menunjukkan bahwa 10 aksesi tersebut memiliki hubungan kekerabatan dekat.

Pemuliaan abaka terutama ditujukan untuk memperoleh varietas tahan terhadap penyakit atau hama. Penyakit yang banyak ditemukan pada pertanaman abaka adalah penyakit yang disebabkan oleh virus bunchy top, mosaik, jamur Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp cubensis (E.F.Sm) Synder & Hansen, bakteri

(3)

Pseudomonas solanacearum, serta nematoda Radopholus simulus dan Pratylenchus coffeae. Hama utama yang banyak dijumpai adalah: aphids, ulat Cosmopolites sordidus (Germ), hama pemakan daun Thosea sinensis (Purseglove, 1983; Hilman dan Toruan-Mathius 2001). Persilangan antara abaka (M. textilis, 2n=20, kualitas serat baik) dengan pacol (M. balbisiana, 2n=22, tahan bunchy top dan mosaik), telah menghasilkan hibrid yang memiliki sifat tahan terhadap penyakit tersebut dan kualitas pulp paling tinggi. Hibrid tersebut telah dikembangkan secara besar-besaran di Filipina sebagai agro- industri (Villareal 1988). Varietas unggul abaka diharapkan mempunyai ciri-ciri: batang tinggi besar (minimal tinggi 6 m dan diameter batang bawah 20 cm), perakaran dalam dengan jumlah akar >150 pada setiap tanaman dewasa, memiliki >20 pelepah daun per batang, kandungan serat minimum 2.5 persen, dapat beradaptasi pada kondisi tanah dan lingkungan yang berbeda, resisten terhadap kekeringan dan banjir, masa produktif lama, resisten terhadap hama dan penyakit, memiliki kualitas serat baik (Purseglove 1983).

PENYAKIT LAYU FUSARIUM

Penyakit layu Fusarium, yang juga dikenal sebagai Panama disease, merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan pada tanaman pisang, termasuk abaka (Musa textilis Nee) yang ditanam di daerah tropika. Penyakit yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht.f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyd & Hans ini telah menginfeksi pertanaman pisang di Asia, Afrika, Australia, dan daerah tropika di Amerika sejak 50 tahun yang lalu (Hwang & Ko 2004). Cendawan tersebut dapat bertahan lama di dalam tanah dalam sruktur klamidospora pada sisa-sisa tanaman dan merupakan sumber inokulum yang dapat menyerang abaka dan tanaman lainnya. Penyakit ini dapat menular karena perakaran tanaman sehat berhubungan dengan spora yang dilepaskan oleh tanaman sakit yang ada di sekitarnya, dapat juga melalui bibit dan tanah yang terinfeksi (Agrios 1997). Cendawan ini menyebar cepat pada daerah yang kelengasan tanahnya tinggi, drainasenya buruk, tanah remah dan masam. Penyebaran patogen terutama melalui bibit, tanah yang terinfeksi, sisa tanaman sakit, air ya ng mengalir, alat-alat pertanian, dan alat transportasi (Hutagalung

(4)

2002). Sampai saat ini telah dikenal 4 ras F. oxysporum f.sp. cubense, tiga diantaranya merupakan patogen utama pada pisang (Wibowo et al. 2001).

1. Gejala yang ditimbulkan

Fusarium menghasilkan sejumlah senyawa toksik yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia dan produktivitas hewan (Ahmed et al. 1991). Tanaman yang terinfeksi menunjukkan gejala awal berupa bercak kekuningan atau garis-garis pada bagian bawah daun pertama atau kedua. Warna kekuningan akan berkembang di sepanjang tepi daun dan menyebar ke arah tulang daun kemudian coklat dan mengering. Apabila terjadi serangan berat tangkai daun disekeliling batang semu patah, kadang-kadang lapisan luar batang semu juga membelah dimulai dari permukaan tanah (Ploetz et al. 1994; Damayanti 2002). Gejala yang paling khas dari penyakit ini adalah gejala dalam yaitu apabila pangkal batang dibelah membujur akan terlihat garis-garis coklat atau hitam menuju ke semua arah, dari bonggol ke pangkal dan tangkai daun melalui jaringan pembuluh. Gejala infeksi lanjut akan terlihat pada bonggol, dimana bonggol menjadi berwarna merah gelap atau merah kecoklatan. Tunas yang tumbuh pada bagian bonggol yang terserang akan berwarna kuning atau merah (Hutagalung 2002).

Patogen yang ada di tanah akan masuk ke akar melalui lenti sel akar, kemudian berkembang sangat cepat disepanjang akar dan menghasilkan miselium. Miselium kemudian masuk ke dalam pembuluh xilem melalui noktah dan menghasilkan mikrokonidium. Spora ini terbawa oleh aliran zat cair ke atas, terhenti dan tersangkut pada dinding sel jaringan pembuluh xilem dan berkecambah membentuk miselium sehingga menyumbat aliran zat cair. Polisakarida dan enzim yang dihasilkan patogen ini dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel jaringan xilem membentuk gel dan gum (massa koloidal) dan menyebabkan penyumbatan pembuluh. Adanya sekresi berupa massa koloidal serta mengkerutnya sel-sel pembuluh menyebabkan aliran zat cair menjadi terhambat sehingga terjadi proses penurunan laju aliran air dalam pembuluh dan akhirnya menimbulkan kelayuan (Agrios 1997).

(5)

2. Respon tanaman terhadap penyakit layu Fusarium

Respon tanaman terhadap penyakit pada tahap infeksi awal adalah dengan membentuk jaringan yang memblokir dan membatasi invasi seperti: lignin, suberin dan endodermis, serta mensintesis senyawa anti mikroba yang disebut ‘phytoalexin’ (Scala et al., 1985). Adanya auksin menginduksi pembentukan gel, mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan respirasi sehingga terbentuk tilosis pada xilem dan memblokir patogen untuk tidak menyebar lebih jauh. Selain itu, pada varietas yang resisten terhadap Fusarium terdapat konjugasi antara asam fusarat dengan glycine hingga 25%. Konjugasi ini menyebabkan toksin asam fusarat menjadi tidak aktif sehingga efisien untuk menghindari layu (Harborne, 1988).

Hasil penelitian pada tanaman pisang menunjukkan bahwa aktivitas peroksidase meningkat secara cepat saat diinfeksi dengan Fusarium, hal ini merupakan bukti bahwa enzim peroksidase berperan dalam respon pertahanan. Peran enzim peroksidase dalam pertahanan tanaman adalah mengoksidasi senyawa fenolik dan meningkatkan laju proliferasi senyawa mirip lignin yang berfungsi sebagai barier. Kecepatan dan besarnya aktivitas mekanisme pertahanan mengekspresikan adanya resistensi. Pada tanaman yang resisten terdapat korelasi positif antara aktivitas enzim peroksidase yang tinggi dengan ketahanan terhadap F. oxysporum f.sp cubense (Morpurgo et al. 1994). Dengan demikian aktivitas enzim peroksidase dapat digunakan sebagai parameter untuk membedakan klon pisang yang rentan dan toleran terhadap F. oxysporum f.sp cubense.

3. Metabolit yang terdapat dalam ekstrak F. oxysporum

Metabolit yang disintesis F. oxysporum antara lain zat pengatur tumbuh dari golongan auksin, toksin, dan enzim pektolitik. Produksi metabolit sekunder selama kultur Fusarium spp. tergantung pada bentuk spesiesialis dan kondisi kultur (misal: temperatur), konsentrasi inokulum dan umur kultur (Durbin 1983).

Auksin yang disintesis oleh F. oxysporum adalah asam indol-3-asetat (IAA). Kandungan IAA yang meningkat menyebabkan peningkatan plastisitas dinding sel sehingga pektin, selulosa, dan protein penyusun dinding sel lebih mudah dilewati dan terjadi perombakan oleh enzim-enzim yang disekresi patogen (Agrios

(6)

1997). IAA yang meningkat juga dapat menghambat lignifikasi pada jaringan sehingga mudah dihancurkan oleh enzim yang dikeluarkan patogen. Selain itu kandungan IAA yang tinggi menyebabkan peningkatan laju respirasi pada jaringan yang terinfeksi dan mempengaruhi permeabilitas sel sehingga terjadi peningkatan transpirasi. Beberapa toksin yang dapat diisolasi dari kultur Fusarium spp. antara lain: asam fusarat (5-n-butil asam pikolinat) dari beberapa spesies Fusarium spp. yang menyebabkan layu pada pisang, kapas, tomat; lycomarasmin dari F. oxysporum f.sp. lycopersici; dan eniatins dari beberapa spesies Fusarium spp. (Jin et al. 1996).

Enzim-enzim pektolitik yang dihasilkan oleh F. oxysporum memecah bahan pektin pada dinding sel pembuluh kayu dan masuk ke dalam dinding parenkhim xilem (Toyoda et al. 1984a). Sebagai contoh enzim pektinmetilesterase dapat memotong metil pada rantai pektin dan menghasilkan asam pektat. Enzim depolimerase memecah rantai asam pektat menjadi poligalakturonida. Fragmen-fragmen asam pektat masuk ke dalam pembuluh kayu dan membentuk massa koloidal yang dapat menyumbat pembuluh. Berkas pembuluh menjadi coklat karena fenol yang dilepaskan dan mengalami polimerisasi menjadi melanin yang berwarna coklat oleh sistem fenol oksidase tumbuhan inang. Warna coklat ini merupakan ciri khas pada penyakit layu yang disebabkan oleh F. oxysporum (Agrios 1997).

4. Asam Fusarat dan gejala yang ditimbulkannya

Secara kimia asam fusarat disebut asam piridine karboksilat (5-n-butil asam pikolinat) dengan formulasi C10H13O2N dan mempunyai berat molekul 179. Asam fusarat murni mepunyai titik lebur 98-100oC, tetapi bila mengandung asam dehidrofusarat mempunyai titik lebur di atas 109oC (Damayanti 2002). Umumnya asam fusarat terdapat bersama senyawa la in yaitu asam dehidrofusarat dan asam 10-hidroksi fusarat. Menurut Torssell (1983) asam fusarat merupakan campuran biogenesis dari asam amino dan poliketida.

Asam fusarat dihasilkan oleh banyak spesies dari genus Fusarium dan merupakan toksin yang tidak spesifik pada inang tertentu, dapat menimbulkan gejala layu pada beberapa spesies tanaman yang berbeda (Matsumoto et al 1995).

(7)

Asam fusarat juga merupakan ‘chelator’ logam, produksi asam fusarat secara in vitro dipengaruhi oleh ketersediaan ion logam, terutama zinc (Harborne 1988) dan rasio C dan N dalam media (Remotti 1996). Asam fusarat dapat mempengaruhi fungsi organel, protein atau enzim tertentu dari sel tanaman seperti: menghambat oksidasi sitokrom dan respirasi pada mitokondria sehingga menurunkan ATP yang akhirnya menyebabkan layu; menghambat enzim kristalin katalase dalam pembentukan dinding sel sehingga mengganggu permeabilitas membran sel yang dapat mengakibatkan kebocoran sel; menurunkan aktivitas oksidasi fenol dan polifenol yang memegang peran dalam pertahanan tanaman terhadap patogen (Jin et al. 1996; Remotti 1996). Asam fusarat telah banyak digunakan dalam seleksi in vitro untuk memperoleh tanaman tahan penyakit layu antara lain pada tomat, asparagus, gandum, bunga lily, gladiol, pisang, nanas dan sebagainya. (Toyoda et al. 1984b; Morpurgo et al. 1994; Matsumoto et al. 1995; Remotti et al. 1997; Borras et al. 2001).

KULTUR JARINGAN ABAKA

Kultur jaringan abaka telah berkembang baik di Filipina dan terbukti dapat mempercepat propagasi hingga 1 000 - 1 500 kali dibandingkan dengan cara konvensional. Eksplan yang digunakan adalah tunas pucuk (shoot tip), dan media untuk induksi tunas adalah MS dengan penambahan hormon BA dan air kelapa. Dengan teknik kultur jaringan diperoleh 20 000 – 30 000 plantlet/tunas pucuk/tahun, sementara dari tanaman di lapang hanya diperoleh 20 bibit/anakan/tahun. Plantlet yang diperoleh sangat mudah berakar pada media yang mengandung karbon aktif dan IBA. Hasil pengujian 30 varietas abaka menunjukkan bahwa produksi tunas melalui kultur jaringan tergantung pada varietas (Del-Rosario dan Zamora 1988).

Di Indonesia, pengadaan bibit abaka melalui kultur jaringan juga telah banyak dilakukan. Sumber eksplan yang umum digunakan adalah mata tunas atau tunas pucuk yang berasal dari tanaman di lapang. Setelah disterilisasi kemudian ditanam pada media MS yang diberi tambahan BAP (5 mg/l) untuk penggandaan tunas, sedang untuk media perakaran digunakan MS dengan penambahan IBA atau IAA (0.5 mg/l). Produksi plantlet mencapai 28 000 planlet/mata tunas atau

(8)

tunas pucuk/tahun (Hilman dan Toruan-Mathius 2001). Hasil penelitian Mante dan Tepper (1983) menunjukkan bahwa penambahan BAP pada media inisiasi tunas lebih efektif dibandingkan zat pengatur tumbuh lain, misal: kinetin dan 2iP. Selain itu, pembentukan tunas pada eksplan yang berasal dari tanaman muda (umur 2-6 bulan) lebih cepat dan konsisten dibandingkan tanaman tua (umur 12 bulan), dan yang paling menentukan keberhasilan kultur jaringan abaka adalah intensitas cahaya yang cukup (1 000 – 3 000 lux). Penambahan asam askorbat (100 mg/l) pada media MS yang mengandung BAP (5 mg/l) dapat mengurangi proses pencoklatan (browning) akibat adanya phenol pada jaringan (Damayanti 2002).

MUTASI DAN KERAGAMAN SOMAKLONAL

Mutasi secara umum dibedakan dalam dua kelompok, yaitu mutasi alami dan mutasi buatan. Mutasi alami terjadi secara spontan dan berkaitan dengan faktor- faktor lingkungan. Mutasi alami terjadi secara lambat, tetapi berlangsung secara terus- menerus sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mengakumulasi mutan dalam populasi alami (Damayanti 2002). Mutasi buatan adalah mutasi yang diinduksi yang digunakan sebagai salah satu cara untuk menimbulkan keragaman genetik. Mutasi dapat diinduksi dengan cara fisik menggunakan radiasi atau dengan cara kimia menggunakan senyawa yang bersifat mutagen (van Harten 1998), dan akhir-akhir ini penggunaan elemen transposon yang dikenal dengan mutagenesis insersi dan kultur jaringan yang menimbulkan keragaman somaklonal dinyatakan sebagai teknik biologi unt uk menghasilkan mutasi (Bird & Neuffer 1987). Mutasi buatan telah memberikan kontribusi nyata terhadap perbaikan tanaman di dunia (Maluszynski et al. 1995).

Radiasi yang umum digunakan adalah sinar-x atau gamma, sedangkan mutasi kimia antara lain menggunakan colchicin, dietil sulfat (DES), etilenimin (EI), nitroso etil urea, nitroso metil urea, dan etilmetan sulfonat (EMS). EMS termasuk senyawa alkil yang mempunyai potensi tinggi sebagai mutagen yang efisien untuk tanaman tinggi. EMS merupakan mutagen kimia yang paling banyak digunakan karena mudah dibeli, harganya murah dan tidak meninggalkan racun setelah hidrolisat (van Harten 1998). Frekuensi mutasi tinggi diperoleh pada

(9)

kacang tanah yang diberi perlakuan EMS dengan konsentrasi 0.25 – 0.5% (Gowda et al. 1996). Pada tanaman barley, EMS menimbulkan laju mutasi hingga 4-5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan radiasi sinar-x, terutama untuk mutasi klorofil (van Harten 1998). Kombinasi antara EMS (0,3%) dan dimetil sulfonat atau DMSO (4%) telah berhasil meningkatkan frekuensi mutasi pada tanaman pisang (Matsumoto et al. 1995).

Keragaman somaklonal merupakan keragaman genetik dari tanaman yang dihasilkan melalui berbagai macam kultur jaringan (Semal & Lepoivre 1990). Keragaman somaklonal dapat berasal dari keragaman genetik yang sebelumnya sudah ada (pre-existing) pada eksplan dan keragaman yang diinduksi selama fase kultur jaringan (Skirvin et al. 1994). Keragaman yang timbul akibat induksi pada kultur in vitro lebih sering terjadi dan mudah diamati, karena varian diperoleh dari tempat yang terbatas dan dalam waktu singkat (Ahloowalia 1986).

Keragaman somaklonal terdiri dari dua tipe yaitu: heritabel dan epigenetik. Keragaman heritabel adalah keragaman yang stabil dan diwariskan melalui siklus seksual maupun propagasi akseksual yang berulang, sementara keragaman epigenetik tidak stabil meskipun dipropagasi secara aseksual (Skirvin et al. 1994). Keragaman somaklonal dapat berupa defisiensi klorofil, mutasi gen tunggal, poliploidi, perubahan kromosom, modifikasi hasil, kualitas, ketahanan penyakit, atau kadang-kadang muncul keragaman yang sebelumnya tidak pernah ada di alam (Ahloowalia 1986). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya keragaman somaklonal pada kultur jaringan adalah: fase pertumbuhan awal, genotipe, zat pengatur tumbuh, sumber jaringan eksplan (Karp 1995) dan protokol atau prosedur regenerasi plantlet (Semal & Lepoivre 1990).

Keragaman somaklonal memiliki potensi untuk perbaikan varietas karena: menimbulkan sifat-sifat baru yang tidak diperoleh dari persilangan atau mutasi, dan pada somaklonal tidak terdapat hambatan yang sering dijumpai pada hibridisasi seperti: fertilitas rendah, kurangnya keragaman genetik, atau lamanya waktu yang dibutuhkan (Semal & Lepoivre 1990). Menurut Cai dan Butler (1996) penggunaan keragaman somaklonal bersama-sama dengan pemuliaan konvensional dapat meningkatkan efisiensi pemuliaan karena dapat memperluas keragaman dan menyingkat waktu proses pemuliaan.

(10)

Kombinasi kultur jaringan dengan mutasi buatan dapat mempercepat program pemuliaan mulai dari peningkatan keragaman hingga multiplikasi genotipe yang diinginkan. Pada spesies-spesies yang berkembang biak secara vegetatif (misal: kentang, pisang, abaka dsb.), mutasi yang dikombinasi dengan teknik kultur jaringan merupakan metode yang paling tepat untuk perbaikan kultivar (Maluszynski et al. 1995). Kombinasi antara mutasi dengan kultur jaringan dapat menghasilkan mutan dengan frekuensi tinggi dalam waktu singkat dan mengurangi terjadinya kimera (Nagatomi, 1996).

SELEKSI IN VITRO

Seleksi in vitro ditujukan untuk memilih mutan secara efektif dan efisien yang mempunyai sifat sesuai dengan yang diinginkan. Seleksi in vitro yang dikombinasikan dengan keragaman somaklonal telah banyak digunakan untuk memperoleh tanaman resisten terhadap penyakit pada berbagai jenis tanaman (Ahmed et al. 1996). Sebagai contoh adalah untuk memperoleh tanaman tebu toleran terhadap fitotoksin yang dihasilkan oleh Drechslera sacchari (toksin DS) dari varietas yang sangat rentan (Leal et al. 1996).

Keragaman somaklonal memberikan kemungkinan terbentuknya resistensi terhadap patogen tanaman dan sangat berguna untuk perbaikan resistensi tanaman terhadap fungi. Keragaman akan lebih terarah dengan adanya tekanan seleksi (patogen itu sendiri, toksin atau filtrat kultur) baik selama fase regenerasi tunas atau sesudah regenerasi tanaman (Orlando et al. 1997). Sistem yang paling banyak digunakan untuk evaluasi in vitro terhadap resistensi/suseptibilitas adalah penggunaan toksin murni atau filtrat jamur (Morpurgo et al. 1994). Asam Fusarat yang dihasilkan oleh berbagai spesies Fusarium merupakan toksin yang menyebabkan gejala layu. Seleksi in vitro mutan- mutan yang toleran terhadap asam fusarat merupakan metode yang efiektif untuk memperoleh tanaman toleran terhadap Fusarium (Matsumoto et al. 1995). Umumnya, ketahanan terhadap toksin yang diekspresikan pada saat regenerasi tanaman memiliki korelasi dengan tingkat ketahanannya terhadap penyakit, karena ketahanan telah ditransmisikan kepada keturunan tanaman yang terseleksi (Ahmed et al. 1991).

(11)

Teknik filtrat kultur Fusarium spp. juga telah umum digunakan untuk memperoleh somaklon resisten terhadap senyawa toksik yang diproduksi oleh patogen tersebut pada tanaman gandum (Ahmed et al. 1996). Filtrat kultur dapat menghambat pertumbuhan sel dan sel-sel dari spesies inang lebih sensitif terhadap toksin dibandingkan tanaman bukan inang. Kalus tanaman anyelir yang rentan terhadap Fusarium oxysporum f.sp dianthi bila ditanam pada media yang mengandung filtrat kultur nya dapat menghasilkan tanaman resisten terhadap patogen tersebut (Thakur et al. 2002).

Penggunaan filtrat kultur lebih baik bila ditambah dengan pengamatan parameter biokimia, misalnya: senyawa fenol. Peroksidase merupakan enzim penting yang berkorelasi dengan mekanisme pertahanan aktif tanaman dengan menyediakan senyawa fenol untuk membentuk lignin (Morpurgo et al. 1994). Pada tanaman strawberry, meningkatnya ketahanan terhadap patogen berkorelasi dengan bertambahnya senyawa fenol terutama ortodihidroksifenol (Orlando et al. 1997).

Referensi

Dokumen terkait

Orientasi organisasi dilakukan melalui pemberian materi dalam rangka pengenalan Orientasi organisasi dilakukan melalui pemberian materi dalam rangka

menunjukkan ilmu pengetahuan Alam, yang sifatnya kuantitatif dan obyektif. White Patrick [dalam Poedjawijatna, 2004:62] ilmu adalah deskripsi data pengalaman secara lengkap

Kondisi ini dapat terjadi akrena untuk kedua tempuhan ini, 2 jam tahap reaksi pada akhir siklus dilakukan periode aerob, selain itu pada tempuhan 5, COD rata-rata umpan yang

Korelasi CAPE dengan curah hujan GSMaP lebih besar karena curah hujan GSMaP merupakan estimasi curah hujan didapatkan dari penurunan nilai berdasarkan hasil pengamatan

1. Pengujian panjang butir, yakni mendeteksi panjang butir beras berdasarkan analisa panjang antar koordinat piksel sudut tepi citra. Setiap titik pada tepi citra digunakan

Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi

Prasetyo (2012),melakukan pengujian gasifikasi dengan mengunakan updraft gasifire yaitu memfariasikan kecepatan udara sebagai agen pada updraft gasifire udara yaitu

Myönteisten skalaaristen partikkeleiden käytössä esiintyy paljon variaatiota niin ajallisesti kuin murteellisestikin. Missään aineistossa ei esiinny kaikkia koltansaamessa