1. KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN
VARIAN-VARIAN TEKS-TEKS ASLI AL-QUR’AN: SEJARAH DAN
BAGAIMANA MEMAKNAINYA
Oleh Dr. Ulil Abshar Abdalla
2.
TEXTUAL CRITICISM
:
SEBUAH PENGANTAR DALAM KAJIAN VARIAN-VARIAN TEKS
PERJANJIAN LAMA
Oleh Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A.
Makalah disajikan dalam Seminar : “Textual Criticism: Membedah Varianvarian teks Asli Alkitab dan AlQur’an” diselenggarakan oleh Institute for Syriac Christian Studies (ISCS), di Restoran Forum, Surabaya, 11 Juni 2013.KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN
VARIAN‐VARIAN TEKS‐TEKS ASLI AL‐QUR’AN: SEJARAH DAN BAGAIMANA MEMAKNAINYA
Oleh Dr. Ulil Abshar Abdalla
*) Makalah untuk diskusi yang diadakan oleh Institute for Syriac Cultural Studies (ISCS) dengan tema “Textual Criticism: Membedah Varian‐varian teks Asli Alkitab dan Al‐Qur’an” di Surabaya pada 11 Juni 2013.
KONSEP PEWAHYUAN
Makalah ini adalah mengenai keragaman bacaan dalam Qur’an, atau yang dikenal dengan qira’at atau huruf. Tetapi sebelum saya masuk ke tema pokok ini, ada baiknya saya buka makalah ini dengan pembahasan singkat tentang konsep pewahyuan dalam Qur’an serta bagaimana Kitab Suci umat Islam ini dikodifikasi atau dikumpulkan dalam sebuah ‘kitab’ utuh seperti kita lihat sekarang ini.Istilah yang dipakai dalam Quran untuk menggambarkan proses pwahyuan Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah “inzāl” dan “tanzīl” yang secara harafiah berarti “menurunkan”. Ketika Tuhan memberikan wahyu kepada Nabi, istilah yang dipakai adalah “menurunkan”. Yang menarik, istilah ini bukan saja dipakai dalam konteks pewahyuan Qur’an kepada Nabi Muhammad, melainkan juga untuk nabi‐nabi lain sebelum dia. Dalam QS 3:3, misalnya, disebutkan bahwa Tuhan menurunkan (anzala) Torah dan Injil. Dalam ayat ini, pemberian wahyu kepada Nabi diartikulasikan dengan istilah “nazzala,” sementara pewahyuan dua Kitab Suci sebelum Qur’an, yakni Torah dan Injil, digambarkan dengan istilah “anzala”. Dua‐duanya memiliki makna yang zama, yakni menurunkan wahyu yang kemudian dikodifikasikan sebagai Kitab Suci.
Dengan kata lain, proses pewahyuan digambarkan dalam Qur’an sebagai komunikasi di mana suatu pesan turun dari atas ke bawah. Wahyu dipandang sebagai sesuatu yang datang dari dunia atas, dunia Ketuhanan, menuju ke dunia yang lebih rendah, yakni dunia manusia. Sebagaimana kita tahu, Quran bukanlah Kitab Suci yang turun sekaligus dalam bentuk buku yang sudah jadi. Dia turun secara bertahap. Bagaimana persisnya penahapan itu terjadi? Di kalangan pengkaji ilmu‐ilmu Qur’an (‘ulūm al‐Qur’ān) di era klasik, tema ini menjadi pembahasan yang cukup luas, dan di antara mereka pun terjadi perdebaan pendapat. Berikut ini adalah ulasan
Ulil Abshar Abdalla KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN
2
Edited by Glenn Tapidingan
singkat tentang bagaimana proses penurunan Qur’an kepada Nabi menurut pandangan para sarjana Muslim klasik.
Sebagai wahyu, Qur’an tersimpan di sebuah tempat yang disebut al‐Lauh al‐Mahfūdz (selanjutnya LM), loh atau tablet yang terjaga. Pada sebuah malam di bulan Ramadan yang disebut Lailat al‐Qadr, Malam Penentuan, Qur’an turun sekaligus sebagai sebuah “kitab utuh” ke langit terendah yang paling dekat dengan bumi yang disebut al‐sama’ al‐dunya (langit‐terdekat). Setelah itu, barulah Qur’an turun secara bertahap kepada Nabi sesuai dengan kebutuhan sosial. Ada perbedaan pendapat mengenai bagaimana Qur’an turun kepada Nabi setelah wahyu itu “bersemayam” di langit‐terdekat. Pendapat pertama mengatakan bahwa Qur’an diturunkan pertama‐tama dari LM ke langit‐terdekat, dan setelah itu diturunkan kepada Nabi secara bertahap. Pendapat kedua, Qur’an turun setiap tahun pada malam Lailat al‐Qadar dalam jumlah yang cukup untuk wahyu yang dibutuhkan pada tahun itu. Pendapat ketiga, Qur’an turun dari LM secara utuh ke langit‐terdekat dan kemudian para malaikat penjaga‐wahyu (al‐hafadzah) mendiktekan wahyu tersebut kepada Malaikat Jibril selama dua puluh hari, untuk kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi selama karir karasulannya.1
PROSES KODIFIKASI QUR’AN
Istilah yang umum dipakai dalam sejarah Qur’an adalah “pengumpulan” atau jam‘ al‐
Qur’ān, bukan penulisan. Proses penulisan Qur’an sudah dimulai sejak zaman Nabi. Ada sejumlah
sahabat yang dikenal sebagai penulis wahyu (katabat al‐wahy), salah satunya yang paling populer adalah Zaid ibn Thabit. Medium yang dipakai dalam penulisan ini bermacam‐macam: perkamen, papan, daun kurma yang telah dikeringkan (semacam papirus/‘usub) dan tulang binatang. Saat Nabi wafat, Qur’an belum terkumpul secara utuh menjadi satu “codex” atau shahīfah. Qur’an terserak‐serak dalam berbagai medium penulisan, atau dalam ingatan sejumlah sahabat. Dengan kata lain, saat Nabi meninggal, belum ada Qur’an “resmi” sebagaimana kita lihat saat ini. Proses koleksi, pengumpulan dan kodifikasi Qur’an baru berlangsung setelah Nabi wafat.
Pendapat yang luas diikuti oleh umat Islam mengenai proses pengumpulan Qur’an ini adalah sebagai berikut. Ada dua tahap pengumpulan Qur’an. Pertama adalah pengumpulan pada
1 Muhammad Shafa Syaikh Ibrahim Haqqi, ‘Ulum al‐Qur’an Min Khilal Muqaddimat al‐Tafasir (Beirut: Mu’assasat al‐Risalah, 2004), hlm. 53‐54.
Ulil Abshar Abdalla KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN
3
Edited by Glenn Tapidingan
masa Abu Bakar (berkuasa 633‐4 M), khalifah pertama, dan kedua adalah pada masa Usman,
khalifah ketiga.
Kodifikasi Qur’an pada masa Abu Bakar
Peristiwa yang memicu pengumpulan Qur’an pada masa ini adalah adanya perang Yamama yang terjadi pada Desember 632, pada bulan‐bulan pertama ketika Abu Bakar naik tahta menjadi khalifah pertama sepeninggal Nabi. Perang Yamama adalah salah satu dari sejumlah perang melawan mereka yang “murtadd” sepeninggal Nabi, yang dikenal dengan “hurub al‐ridda”. Dalam perang ini, pasukan Abu Bakar berhadapan dengan kaum pemberontak di bawah kepemimpinan Musailimah yang dikenal sebagai “nabi palsu” (impostor; karena itu ia dikenal dengan sebutan al‐Kazzāb, Si Pembohong). Perang ini terjadi di Yamama (Saudi Arabia saat ini).
Sejumlah sahabat yang konon dikenal sebagai qurrā’, pembaca atau penghafal Qur’an, gugur dalam perang ini. Peristiwa ini menimbulkan kekhawatiran pada ‘Umar ibn Khattab yang belakangan nanti akan menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah kedua. Jika Qur’an dibiarkan dalam keadaan seperti saat itu, yakni tak terkodifikasi secara resmi dalam sebuah Buku atau Codex, maka, demikian pikiran ‘Umar, dikhawatirkan Qur’an akan hilang dari muka bumi, jika tak seluruhnya, ya minimal sebagian besar darinya. Kekhawatiran inilah yang mendorong ‘Umar untuk mendatangi Abu Bakar dan mengajukan usul agar Qur’an dikumpulkan dan dibukukan.
Semula Abu Bakar ragu‐ragu menerima usulan ‘Umar ini, sebab dia khawatir akan terjatuh kepada tindakan bid’ah, yakni tindakan yang tak pernah dicontohkan oleh Nabi. Sebagaimana kita tahu, Nabi tak pernah melakukan pembukuan atau kodifikasi atas Qur’an. Setelah berpikir beberapa saat, Abu Bakar akhirnya memandang usulan ‘Umar ini sangat baik. Lalu, Abu Bakar memerintahkan Zaid ibn Thabit untuk memimpin proyek yang teramat berat ini.
Abu Bakar bahkan memberikan petunjuk yang spesifik tentang bagaimana proses pengumpulan harus dikerjakan. “Kalian berdua,” kata Abu Bakar kepada ‘Umar dan Zaid, “harap duduk di pintu masjid, dan siapapun yang membawa laporan tentang Qur’an dengan disaksikan oleh dua saksi, maka terimalah dan tulislah.”2
Akhirnya, Zaid berhasil mengumpulkan seluruh ayat Qur’an dalam sebuah “buku” atau “shahīfah” yang utuh. Konon, ayat terakhir yang berhasil dicatat oleh Zaid adalah dua ayat dalam
2 Muhammad Musthafa al‐A’zami, The History of the Qur’anic Text: From Revelation to Compilation (Leicester: UK Islamic Academy, tt), hal. 80. 3 Al‐A’zami, Ibid, hlm. 87.
Ulil Abshar Abdalla KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN
4
Edited by Glenn Tapidingan
penutup Surah al‐Taubah (9):128‐9. Kedua ayat ini ditemukan di tangan seorang sahabat bernama Abu Khuzaimah al‐Anshari.
Qur’an yang telah berhasil dikumpulkan ini kemudian diserahkan oleh Zaid ibn Thabit kepada Abu Bakar untuk kemudian disimpan oleh yang terakhir ini sebagai sebuah “arsip negara”. Sepeninggal Abu Bakar, naskah Qur’an ini berpindah tangan ke ‘Umar dan kemudian ke puterinya, Hafshah, yang juga salah satu janda Nabi.
Kodifikasi Qur’an pada masa Usman
Dalam versi yang umum kita jumpai dalam literatur klasik mengenai pengumpulan Qur’an, peristiwa yang memicu kembali diskusi soal kodifikasi Qur’an pada masa ini adalah laporan yang sampai ke Usman melalui sahabat Hudzaifah ibn al‐Yaman. Yang terakhir ini adalah jenderal perang yang memimpin pasukan Islam yang melakukan ekspedisi perang ke kawasan Armenia dan Azerbaijan.Hudzaifah melaporkan kepada Usman tentang terjadinya perbedaan dialek Qur’an yang nyaris menimbulkan perpecahan di kalangan sahabat yang ikut perang di dua kasawan tersebut. Dengan eksplisit, Hudzaifah mengatakan kepada Sang Khalifah, jika keadaan ini tak segera ditangani, ia khawatir umat Islam akan mengalami perpecahan gara‐gara perbedaan dalam Kitab Suci, persis seperti dialami oleh orang‐orang Yahudi dan Kristen.
Dengan kata lain, pada masa Usman muncul problem mengenai uniformitas atau kesatuan teks Qur’an karena perbedaan bacaan, dialek, atau hurūf dalam Qur’an. Problem semacam ini sebetulnya bukanlah hal baru. Pada masa ‘Umar, isu ini sudah muncul. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa ‘Umar marah kepada sahabat Ibn Mas’ud karena membaca Qur’an dengan dialek sebuah suku Arab bernama Hudzail. Kata ‘Umar kepada Ibn Mas’ud, “Qur’an turun (kepada Nabi) dengan dialek suku Quraisy, maka ajarilah orang‐orang (di Kufah) membaca Qur’an dengan dialek itu, bukan dengan dialek Hudzail.”3
Mendengar laporan dari Hudzaifah tersebut, Usman langsung mengumpulkan sejumlah sahabat di Madinah. Ia mengemukakan pendapatnya bahwa sudah seharusnya umat Islam bersatu dalam sebuah “mushaf” sehingga tak terjadi perpecahan di kalangan umat Islam (nara an‐najma‘a al‐nasa ‘alā mushafin wāhidin, fala takūna firqatun wa lā yakūna ikhtilāfun). Pendapat Usman ini langsung disepakati oleh semua yang hadir. Kemudian, Usman menyuruh seorang
3 Al‐A’zami, Ibid, hlm. 87.
Ulil Abshar Abdalla KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN
5
Edited by Glenn Tapidingan
sahabat untuk pergi kepada Hafsah, dan meminta shahīfah atau kodex Qur’an yang ada di tangannya. Zaid (bersama tiga sahabat lain, yakni Abdullah ibn Al‐Zubair, Sa‘īd ibn al‐‘Āsh, ‘Abdurrahman ibn al‐Hārith) kemudian diperintahkan untuk membuat salinan dari kodex Hafsah tersebut. Prinsip kodifikasi yang diikuti oleh Zaid dalam proses pengumpulan Qur’an kali ini adalah begitu rupa sehingga jika terjadi perselisihan di antara mereka yang mendapat tugas kodifikasi kedua ini berkaitan dengan bacaan dan dialek, maka yang harus dijadikan pilihan utama adalah dialek Quraisy. Setelah proyek ini selesai, kemudian Usman memerintahkan agar seluruh kodex‐kodex (shuhuf) lain yang ada di tangan para sahabat untuk dihancurkan.
Usman kemudian memerintahkan untuk membuat sejumlah salinan dari Teks Induk yang kemudian dikenal sebagai Mushaf Usmani atau al‐Mushaf al‐Imām itu, dan dikirimkan ke sejumlah kota utama: Kufa, Basrah, Mekah dan Damaskus. Dengan demikian Usman berhasil untuk pertama kalinya melakukan unifikasi tekstual atas Qur’an, dan perpecahan umat karena perbedaan dialek bisa dihindarkan.
Keragaman bacaan dalam Qur’an
Apakah proyek unifikasi Usman berhasil secara menyeluruh? Secara umum, unifikasi itu memang berhasil. Tetapi tidaklah seluruhnya. Beberapa shahīfah non‐Usmani masih bertahan, dua di antaranya yang terkenal adalah kodex di tangan dua sahabat yang cukup terpandang, yakni Ibn Mas’ud dan Ubayy ibn Ka’b. Salah satu kajian paling awal mengenai sejumlah mushaf dikerjakan oleh sarjana Muslim sejak awal, yang terkenal antara lain adalah kajian dari abad ke‐9 oleh Ibn Abi Dawud: Kitāb al‐Mashāhif yang terbit sebagai naskah cetak (bukan manuskrip) untuk pertama kali pada 1937. Dengan kata lain, Kodex Usmani tidaklah menghilangkan kodex‐ kodex lain. Sebab rekaman tentang perbedaan tekstual dalam Qur’an sebagaimana dijumpai pada kodex non‐Usmani masih dapat kita baca dalam sejumlah kajian yang dilakukan oleh para pengkaji Qur’an di era klasik.
Perbedaan lain yang tak bisa dihilangkan adalah berkenaan dengan dialek atau bacaan. Jika kita telaah kajian para sarjana Islam klasik yang khusus mengkaji Qur’an, tampak dengan jelas sekali suatu gambaran berikut ini: Qur’an sebagai korpus suci tidak “setunggal” dan “seseragam” yang kita bayangkan sekarang ini. Fase Qur’an sebagai teks yang tampak seragam dan tunggal hanyalah muncul belakangan setelah melalui proses yang panjang selama ratusan tahun. Pada awalnya, situasi Qur’an sangat kuat dicirikan dengan “pluralisme” yang kerap ekstrim dan cenderung “keotik”. Situasi ini tercermin dalam bentuk kergaman dialek dan bacaan Qur’an.
Ulil Abshar Abdalla KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN
6
Edited by Glenn Tapidingan
Ada beberapa sebab kenapa terjadi perbedaan bacaan ini. Pertama adalah perbedaan geografis. Setiap kota‐kota utama dalam era Islam klasik, seperti Madinah, Mekah, Kufah, Basrah, Mesir, Damaskus, memiliki “guru‐guru” bacaan Qur’an yang membaca Qur’an dengan cara yang berbeda‐beda, sesuai dengan transmisi riwayat yang mereka terima dan yang bersumber langsung dari Nabi sendiri. Di Madinah, misalnya, ada guru bacaan Qur’an yang terkenal, yaitu Nafi’ (w. 785 M) yang sampai kepada kita melalui dua versi periwayatan: Warsh (w. 812 M) dan Qālun (w. 835 M). Di Kufa, salah kota penting tempat berdiamnya para pakar guru bacaan Qur’an, terdapat tokoh terkenal, yaitu ‘Āshim (w. 744 M). Bacaan ‘Ashim sampai kepada kita melalui dua riwayat yang terkenal: Hafsh (w. 805 M) dan Shu’ba (w. 809 M). Dua bacaan inilah yang sekarang populer di kalangan dunia Islam saat ini, terutama bacaan ‘Hafs dari ‘Asim (biasa disebut dengan istilah Arab: qirā’ah Hafsh ‘an ‘Āsim).
Sebab yang lain adalah berkaitan dengan ortografi, rasm, atau penulisan aksara Arab. Tidak sebagaimana yang dibayangkan oleh sebagian umat Islam saat ini, aksara Arab yang menjadi medium penulisan Qur’an tidaklah muncul sekaligus, melainkan berkembang secara gradual, dan mengalami berbagai tahap penyempurnaan. Saat Mushaf Usmani dikeluarkan secara resmi oleh otoritas negara di Madinah dan kemudian disebarkan ke berbagai kota utama di berbagai kawasan dunia Islam saat itu, ia ditulis dengan aksara Arab yang masih dalam tahap perkembangannya yang “primitif”. Karena itu, Kodex Usmani ditulis dalam aksara yang dalam istilah yang dipakai oleh sarjana pengkaji Qur’an di Barat disebut scriptio defectiva, atau aksara yang belum sempurna. Sebagaimana kita tahu, aksara Arab hanya mengenal konsonan tanpa huruf vokal. Beberapa jenis aksara konsonan dalam tahap awal belum mengalami pembedaan seperti titik. Misalnya huruf‐huruf seperti
ن ب ت ث ى masih ditulis dengan bentuk yang sama
tanpa titik yang membedakan. Begitu juga dengan huruf‐huruf seperti ج ح خ ditulis dalam bentuk yang sama tanpa tanda diakritik atau titik. Ada dua tokoh penting yang dikenal karena kontribusinya dalam penyempurnaan ortografi aksara Arab, yaitu al‐Hajjaj (berkuasa 694 – 714 M), gubernur Iraq pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan (salah satu khalifah dalam Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus). Dialah yang merintis pengenalan tanda titik dan vokalisasi (shakl) aksara Arab. Tokoh kedua adalah Abu ‘l‐Aswad al‐Du’ali (w. 688). Al‐Du’ali lah yang memperkenalkan vokalisasi aksara Arab dalam bentuk titik dengan warna yang berbeda‐beda (agak mirip dengan vokalisasi dalam aksara bahasa Ibrani klasik).Dengan penyempurnaan‐penyempurnaan yang bertahap ini, aksara Arab yang menjadi medium penulisan Qur’an dalam versi Mushaf ‘Usmani mengalami tahap akhir yang sempurna yang disebut scriptio plena. Bentuk terakhir inilah yang kita lihat dalam aksara dan vokalisasi yang
Ulil Abshar Abdalla KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN
7
Edited by Glenn Tapidingan
dipakai dalam Qur’an dalam edisi yang populer di dunia Islam saat ini. Akan tetapi, harap diingat bahwa tahap‐tahap yang ditempuh aksara Arab untuk sampai kepada kondisi sempurna ini butuh waktu yang amat panjang.
Contoh‐contoh perbedaan karena soal ortografi ini banyak kita jumpai dalam Qur’an. Misalnya, kata ي قص (yaqussu) QS 6:57 dibaca “yaqussu” dalam versi bacaan Nafi’, Ibn Katsir dan ‘Āshim. Sementara versi bacaan lainnya membacanya ي قض (yaqdli).
Tentu saja, kondisi “keotik” karena perbedaan bacaan ini tidaklah nyaman bagi ortodoksi Islam pada zamannya. Upaya unifikasi tekstual Qur’an terus dilakukan, baik oleh otoritas politik atau pun oleh kalangan ulama ortodoks, atau keduanya sekaligus. Biasanya, uniformitas tekstual ini mempunyai keuntungan politik yang cukup signifikan, yakni guna menegakkan kontrol atas penduduk. Keragaman bacaan Qur’an, meskipun hanya lah praktek keagamaan yang sifatnya terbatas dan tak ada sangkut‐pautnya dengan kehidupan politik, bisa memiliki implikasi politis yang berbahaya, yaitu munculnya perpecahan sosial dan instabilitas politik. Karena itu, unifikasi tekstual Kitab Suci adalah ranah di mana otoritas politik mempunyai kepentingan yang besar.
Sebagaimana kita lihat, momen‐momen penting dalam penyeragaman dan unifikasi Qur’an selalu dimulai dengan inisiatif penguasa, meskipun pengusulnya bisa berasal dari kalangan “sipil”. Itu terjadi pada era Abu Bakar, khalifah pertama, ‘Umar, ‘Usman, dan al‐Hajjaj.
Keragaman bacaan Qur’an, dengan demikian, merupakan tantangan yang harus diatasi oleh otoritas politik dan kaum ortodoks. Untuk menggambarkan betapa “keotik”‐nya situasi keragaman bacaan Qur’an ini, sebuah laporan menuturkan bahwa Syu’bah, salah satu perawi ‘Āshim, guru bacaan dari kawasan Kufa seperti sudah disebut di atas, mengkoleksi tak kurang dari delapan belas ribu ragam bacaan dalam seluruh Qur’an.4
Salah satu tokoh penting yang berjasa dalam standardisasi bacaan adalah Ibn Mujahid (w. 935 M). Dialah yang melakukan filterisasi atas puluhan model bacaan yang ada pada zamannya menjadi Tujuh Bacaan standar yang dikenal dengan qirā’ah sab’ah. 4 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Qur’an (Yogyakarta: FkBA, 2001), hlm. 313.
Ulil Abshar Abdalla KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN
8
Edited by Glenn Tapidingan
Ketujuh bacaan itu adalah:
Wilayah
Guru bacaan
Perawi pertama
Perawi kedua
Madinah
Nafi’ (785 M)
Warsh (812 M)
Qālūn (835 M)
Mekah
Ibn Kathir (737 M)
al‐Bazzi (854 M)
Qunbul (903 M)
Damaskus
Ibn ‘Āmir (736 M)
Hishām (859 M)
Ibn Dhakwān (856 M)
Basra
Abu ‘Amr (770 M)
al‐Dūrī (860 M)
al‐Sūsī (874 M)
Kufa
‘Āshim (744 M)
Hafsh (805 M)
Shu’ba (809 M)
Kufa
Hamza (772 M)
Khalaf (843 M)
Khallād (835 M)
Kufa
Al‐Kisa’i (804 M)
al‐Dūrī (860 M)
Abu‐l‐Hārith (854 M)
Upaya Ibn Mujahid untuk menyeragamkan bacaan ini tak begitu saja diterima oleh semua kalangan. Banyak kalangan yang mengkritik upaya dia ini, sebab dengan demikian standardisasi itu bisa memberangus beberapa jenis bacaan yang populer di sejumlah kawasan. Karena itu, ada upaya dari kalangan ortodoks Islam untuk memperlunak standar versi Ibn Mujahid ini dengan memperkenalkan Bacaan Sepuluh, bahkan sebagian kalangan yang lain ada yang menambahnya menjadi Bacaan Empat Belas. Ketujuh bacaan di luar Tujuh Bacaan yang standar di atas adalah:
Madinah
`Abu Ja’far (747 M)
Basrah
Ya’qūb al‐Hadrami (820 M)
Kufa
Khalaf (843 M)
Mekah
Ibn Muhayshin (740 M)
Basra
Al‐Yazidi (817 M)
Basra
Al‐Hasan al‐Bashri (728 M)
Kufa
Al‐A’mash (765 M)
5Unifikasi tekstual Qur’an tidak hanya berhenti di sana. Pada 1923, sebuah teks Qur’an edisi Kairo terbit dengan memakai bacaan Hafsh dari ‘Āshim. Qur’an ini dicetak dengan mesin cetak modern hasil penemuan Johanes Guetenberg dari Jerman yang dikenal dengan mesin Guetenberg. Berkat mesin modern ini, dimungkinkanlah pencetakan Quran dalam jumlah yang massal dan dalam waktu yang singkat. Ini adalah keadaan yang tak pernah terjadi sebelumnya, di mana Qur’an biasa digandakan dengan metode tulisan tangan. Edisi Kairo ini mencapai
5 W. Montgomery Watt dan Richard Bell, Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970), hlm. 49.
Ulil Abshar Abdalla KERAGAMAN BACAAN DALAM QUR’AN
9
Edited by Glenn Tapidingan
kesuksesan yang luar biasa dan diterima oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia. Edisi Kairo ini pula yang kita pakai di Indonesia hingga sekarang.
Dengan demikian, mesin Guetenberg telah berjasa dalam mencapai ambisi yang sudah ada sejak zaman ‘Usman, yaitu uniformitas tekstual Qur’an. Dengan edisi ini, ragam‐ragam bacaan (variae lectiones) yang kita kenal dalam tradisi bacaan Qur’an selama ratusan tahun hilang. Sekarang ini, ke mana pun kita pergi di berbagai kawasan dunia Islam, hanya bacaan Hafs dari ‘Āshim inilah yang kita jumpai. Bacaan lain yang juga cukup populer adalah versi Warsh dari Nafi’ yang banyak dipakai di kawasan Afrika Utara, tetapi bacaan ini masih kalah populer dari bacaan yang sebelumnya.
Dengan keadaan semacam ini, teks Quran sekarang telah mencapai tahap yang stabil yang oleh Muhammad Arkoun disebut sebagai “korpus yang tertutup”. Sekarang ini, problem keragaman bacaan tak lagi menjadi soal bagi umat Islam. Masalah muncul dari arah lain, yaitu keragaman tafsir yang tampaknya juga hendak diseragamkan oleh kalangan ortodoks. Tetapi ini tema lain di luar cakupan pembicaraan makalah ini. ****
Halaman ini sengaja dikosongkan
(This page is intentionally left blank)
׃ן ֵמאָ ,ד ָח ֶא םי ִהֹל ֱא ָה ,שֶׁדֹקּ ַה ַחוּרְו ןֵבּ ַהְו באָ ָה ם ֵשְׁבּ
ܳ ݂ܕ ܽ ݁ܕ ܳ ܘܽܪܘ ܳ ݂ ܰܘ ܳ ݂ ܰܐ ܶ ݁
ܰ
ܳ ܳ ܰܐ
ܺ ܰܐ
ﻢﺴﺑ
بﻻا
ﻦﺑﻻاو
و
حوﺮﻟا
،سﺪﻘﻟا
ﻪﻟﻻا
ﻦﻴﻣﺁ،ﺪﺣاﻮﻟا
TEXTUAL CRITICISM: SEBUAH PENGANTAR
DALAM KAJIAN VARIAN‐VARIAN TEKS PERJANJIAN LAMA
Oleh Dr. Bambang Noorsena, S.H., M.A.*) Makalah disajikan dalam Seminar “Textual Criticism: Membedah Varian‐varian teks Asli Alkitab dan Al‐Qur’an”, yang diselenggarakan oleh Institute for Syriac Christian Studies (ISCS), di Restoran Forum, Surabaya, 11 Juni 2013.
1.
CATATAN PENDAHULUAN
Di dunia Kristiani Textual Criticism (Kritik Salinan) adalah salah satu bidang kajian teks Kitab Suci yang sangat penting. Karena teks‐teks suci itu sampai kepada kita setelah ribuan tahun dalam perjalanannya yang panjang, tentu saja wajar apabila kemudian muncul berbagai varian bacaan yang berbeda, karena cara penulisan yang berubah, atau perbedaan budaya dari penyalin dalam proses tranmisi teks. Karena itu, apabila terjadi varian teks yang berbeda, bidang kajian ini berupaya menemukan teks yang sedekat mungkin ke bentuk aslinya.1 Dibandingkan dengan Al‐ Qur’an, studi kritik teks terhadap Alkitab Perjanjian Lama, tentu saja jauh lebih kompleks. Karena serumit apapun studi terhadap Al‐Qur’an, kita berhadapan dengan dokumen Kitab Suci yang berasal dari satu zaman, satu nabi, satu bahasa, dan satu agama. Apabila dibandingkan dengan studi Kritik Salinan Alkitab, hal tersebut mirip dengan studi terhadap Perjanjian Baru, karena sama‐sama berasal dari satu zaman, satu Kristus, satu bahasa, yaitu Yunani Koine, dan satu agama (yaitu Kristen, baik Ortodoks, Katolik, maupun Protestan). Sebaliknya, khusus untuk Perjanjian Lama, peneliti harus berhadapan dengan satu Kitab Suci yang dimiliki bersama oleh 2 agama, yaitu Yahudi dan Kristen. Sedangkan khusus untuk kelima kitab Musa yang dikenal dengan Torah (Arab: Taurat), kitab ini bersama‐sama dirujuk oleh 3 agama yang berbeda dan
1 R. C. Briggs, Interpreting the New Testament Today: An Introduction to Methods and Issues in the Study of the New Testament, (Nashville: Abingdon, 1982), .hlm. 45‐47.
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
12
Edited by Glenn Tapidingan
sudah berpisah kurang lebih 2.000 tahun yang lalu, yaitu Yahudi, Samaria dan Kristen. Kitab‐kitab yang oleh orang Kristen disebut Perjanjian Lama adalah kitab Suci yang sama yang oleh umat Yahudi disebut TANAKH (Torah – Nevim – Khetuvim) atau Taurat, Nabi‐nabi dan Tulisan‐tulisan. Meskipun antara Yahudi dan Kristen sudah berpisah sebagai komunitas agama sejak Konsili Yahudi di kota Yavne tahun 89 M, dan mengembangkan tradisi tafsir yang berbeda‐beda, namun keduanya mengacu kepada Kitab Suci yang satu dan sama.2 Kalau Anda ke Israel, dan Anda mau membeli Alkitab bahasa Ibrani, tidak perlu Anda harus mencari edisi Kristen. Anda boleh membaca semua terbitan Kristen maupun Yahudi, karena isinya sama saja, Kecuali dalam edisi terjemahan, orang Kristen biasanya membaca terjemahan King James Version, New International Version, dan lain‐lain, dan orang Yahudi akan mencari Jewish Holy Scriptures. Diakui memang diantara terjemahan dalam bahasa‐bahasa lain terdapat banyak perbedaan, karena teks sumber yang dipakainya tidak selalu mengacu teks Ibrani, melainkan kadang didasarkan atas terjemahan Yunani kuno, yaitu Septuaginta (LXX) yang berasal dari tahun 280 SM, atau Latin Vulgata (abad IV M), yang lebih lazim digunakan di Gereja Katolik.
Meskipun demikian, seiring dengan dialog‐dialog Yahudi‐Kristen, terjemahan antara keduanya semakin lama semakin mendekat satu sama lain, karena umat Kristen tidak bisa melepaskan akar keyahudiannya. Untuk memberikan pemahaman awal mengenai berbagai varian teks Ibrani, karena studi ini terlalu luas, maka saya hanya akan memberikan beberapa contoh saja: (1) Untuk Perjanjian Lama, akan ditampilkan beberapa varian teks yang masing‐ masing mewakili 3 klasifikasi TANAKH, yaitu terdiri dari Torah (Taurat), Nevim (Nabi‐nabi) dan
Khetuvim (Tulisan‐tulisan); dan (2) Beberapa Varian teks dari Perjanjian Baru. Seperti sudah
dikemukakan, studi Kritik Teks Perjanjian Baru dapat dikatakan lebih mudah, karena hanya menyangkut studi dokumen dari umat, zaman, dan bahasa yang sama, sebagai kajian terhadap Al‐ Qur’an.
2.
KRITIK SALINAN PERJANJIAN LAMA
2.1. KITAB TAURAT: SATU KITAB 3 AGAMA
Kitab Taurat yang berasal dari Nabi Musa, sampai zaman sekarang ini secara utuh‐utuh diterima oleh 3 komunitas agama yang berbeda, yaitu Yahudi, Samaria dan Kristen, yang lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut:
2 Joseph A. Fitmyer, SJ.,Response to 101 Questions on the Dead Sea Scrolls (New York: Paulist Press, 1992), hlm. 16‐20. Juga: Hershel Shanks, Understanding the Dead Sea Scrolls (New York: Vintage Books, 1993), hlm. 80‐84.
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
13
Edited by Glenn Tapidingan
SContoh tulisan Ibrani Masoretic dalam Codex Allepo
2.1.1. Teks Masoretik: Yahudi dan Kristen
Istilah “Masoretic” berasal dari kata Ibrani “mesorah (
הרוסמ
)” yang artinya “transmisi” (penyalinan). Sebelum dike‐ temukannya Naskah‐naskah Laut Mati (Qumran), manuskrip atau naskah tulisan tangan tertua yang dimiliki berasal dari abad IX dan X M, yang lebih dikenal dengan naskah Masoretic, yaitu NaskahGeniza, Naskah Leningrad, dan Naskah Allepo. Berkaitan dengan naskah Allepo,
dapat disebut 2 madzab yang penting: Pertama, madzab Timur atau madzab Babel; dan Kedua, madzab Barat atau madzab Palestina. Madzab Palestina dapat dibagi lagi dalam 2 cabang, yaitu Ben Asher dan Ben Naphtali. Pada tahun 930 M, Aron ben Moses ben Asher menerbitkan Codex
Allepo, tetapi baru pada tahun 1524‐1525 setelah ditemukannya mesin cetak, terbit edisi cetak
yang akhirnya dipakai hingga zaman sekarang, dikerjakan oleh Daniel Bomberg di Venesia. Naskah Masoretik ditulis dalam huruf Ibrani Masoretik, yang akhirnya berkembang menjadi huruf Ibrani moderen sekarang.
Patut dikemukakan pula, bahwa meskipun dunia Kristen mula‐mula mengacu kepada beberapa terjemahan kuno, misalnya Septuaginta (LXX) – terus dipertahankan di Gereja Ortodoks Yunani, Vulgata di Gereja Katolik, Peshitta Aramaik di Gereja Ortodoks Syria dan gereja‐ gereja rumpun Syria lainnya, dan bahasa Koptik (dialek Bohairi dan Sahidi) di Gereja Ortodoks Koptik, namun setelah diterbitkan edisi cetak yang lebih luas menyebar, teks Masoretik yang di kalangan umat Yahudi menjadi baik dalam konteks liturgis atau teks sehari‐hari dalam pembacaan Kitab Suci, di kalangan Kristen menjadi Alkitab Studi, sementara dalam liturgi tiap‐tiap gereja lebih menggunakan bahasa Aramaik (Gereja‐gereja Syria), Yunani (Gereja Ortodoks Yunani dan Katolik Melkit), Latin (Gereja Roma Katolik). Selain pemakaian bahasa Aramaik, Yunani dan Koptik sebagai bahasa liturgi, bahasa Arab secara berdampingan digunakan di gereja‐gereja Syria, Gereja Ortodoks Yunani dan Melkit, dan Gereja Ortodoks Koptik, sampai sekarang ini. Jadi, dalam hal rujukan terhadap Taurat, antara Yahudi dan Kristen mengacu kepada teks yang satu dan sama, sekalipun mengembangkan tafsiran teologis yang berbeda.
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
14
Edited by Glenn Tapidingan
2.1.2. Teks Laut Mati (Qumran)
Setelah diketemukannya naskah Gulungan Laut Mati (The Dead Sea Scrolls) yang memuat hampir seluruh Perjanjian Lama (abad III SM‐1 M), kita mempunyai manuskrip yang berusia kurang lebih 1.000 tahun lebih tua dari naskah Masoretik. Teks Qumran yang merupakan peninggalan madzab Eseni ini, ternyata meneguhkan keseksamaan penulisan teks‐teks Masoretik. Menilik bentuk aksaranya, Albright dan Cross, muridnya, menyimpulkan bahwa naskah‐naskah Qumran yang paling muda tidak lebih dari tahun 135 M, dan paling tua berasal dari abad III SM (antara tahun 225‐200 SM). Kesimpulan ini akhirnya dibenarkan dengan temuan‐ temuan surat‐surat Bar Kohba di Wadi Maraba’at, sedangkan Bar Kohba adalah pemimpin Israel yang memperjuangkan kemerdekaan Israel dari penjajahan Romawi pada tahun 135 M, yang akhirnya berhasil ditumpas, dan Kota Suci Yerusalem jatuh sama sekali ke tangan Romawi.
Jadi, dengan temuan penting ini kita memiliki manuskrip yang 1.000 tahun lebih tua dari Manuskrip Masora. Tetapi setelah diselidiki dengan teliti antara 2 naskah tersebut, tidak ada perbedaan yang cukup berarti. Semua penemuan ini membuktikan bahwa sepanjang zaman, Allah selalu menjaga firman‐firman‐Nya sehingga bersih dari segala usaha pemalsuan dan perubahan tangan‐tangan kotor manusia. Kendatipun harus ditekankan, bahwa Iman Kristen tidak memahami wahyu dalam makna yang mekanistik, sehingga adanya perbedaan‐perbedaan dalam detil pengisahan dalam kitab‐kitab itu, dipahami karena latarbelakang para penulis dalam zaman, budaya dan bahasa yang berbeda dan kompleksitas pergumulan mereka masing‐masing. Meskipun ada perbedaan‐perbedaan kecil akibat proses penyalinan selama ribuan tahun, sama sekali tidak mengubah pesan asli Kitab Suci. Penemuan sejumlah besar naskah Alkitab di Laut Mati tersebut sangat penting maknanya, bukan hanya bagi umat Kristen, tetapi juga umat Yahudi. Meskipun kedua komunitas iman tersebut sudah berpisah sejak diselenggarakannya Konsili Yamnia tahun 89 M, namun kedua agama sama‐sama merujuk kepada Kitab Suci yang satu dan sama. Orang Yahudi menolak Yesus sebagai Sang Mesias, sebaliknya orang Kristen percaya bahwa semua yang dinubuatkan kitab‐ kitab TANAKH (Torah Nevi’im Khetuvi’m) atau Taurat, Nabi‐nabi dan Tulisan‐tulisan – Kitab Suci yang sama tetapi disebut berbeda oleh umat Kristen sebagai Kitab Suci Perjanjian Lama, telah digenapi dengan kedatangan Yeshua HaMashiah (Yesus Sang Mesias) atau Yesus Kristus. Misalnya, nubuat Yes. 52:13‐15; 53:1‐12, bagi umat Kristen jelas‐jelas sudah digenapi dengan penderitaan Yesus di atas kayu salib, sebagaimana Yesus dan para murid‐Nya meyakini hal itu (Mat. 26:29; Mrk. 14:212; Luk. 22: 22; 37; 24:26‐27; Yoh.12:28; Rom. 10:16; 1Pet. 2:24‐25, dan sebagainya). Sebaliknya, bagi orang Yahudi, ayat‐ayat yang sama dipahami sebagai nubuat
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
15
Edited by Glenn Tapidingan
S Yes. 53:1‐12 dalam Teks Qumran (100 SM), 1.000 tahun lebih tua dari Naskah Masoretic yang ditulis kira‐ kira abad IX‐X M. penderitaan bangsa Israel,3 namun Kitab Suci yang dipakai tetap sama dan tidak pernah diubah atau dipalsukan. Tafsiran ayat‐ayat ini tentu saja berbeda, namun teksnya tetap sama.
3 Rabbi Nossom Scherman (ed.), Tanakh: The Twenty‐Four Books of the Bible Newly Translated and Annotated (Mesorah Publishing, 2011), hlm. 1047‐1049. W Gulungan Kitab Imamat (11Q1) yang ditulis dalam aksara Paleo‐Ibrani (250‐150 SM)
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
16
Edited by Glenn Tapidingan
2.1.3. Teks Samaria
Taurat Samaria (Inggris: “Samaritan Pentateuch” atau “Samaritan Torah”; Ibrani:
הרות
תינורמוש
, “Torah shomronit”) merupakan salinan kuno lain dari kelima Taurat Musa yang dipakai oleh komunitas orang Samaria, adalah salah satu teks Ibrani yang ditulis dengan aksara Ibrani yang disebut aksara Samaria. Aksara ini sangat dekat dengan aksara Paleo‐Ibrani, yang lebih kuno dibandingkan dengan aksara Hasmonean, Herodian maupun Masoretik. Ada tambahan bagian yang disebut gulungan Abisha (Abisha Scroll), yang dipakai di sinagoge Samaria di Nablus. Orang‐ orang Samaria percaya gulungan itu ditulis oleh Abisua bin Pinehas, cicit Nabi Harun (1 Taw. 6:50), 13 tahun setelah orang‐orang Israel masuk ke tanah Kanaan di bawah pimpinan Yosua bin Nun. Namun para pakar Alkitab moderen mengamati bahwa gulungan itu berisi sejumlah karya berbagai penulis dari abad‐abad berbeda, yang paling tua sekitar abad ke‐12 M. Taurat Samaria mengandung sejumlah perbedaan dengan Teks Masoret, yaitu sumber utama Alkitab Ibrani, maupun terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani, Septuaginta. W Gulungan Kitab Nabi Yesaya (1QIsaa) yang ditulis dalam aksara Ibrani Hasmonean (150‐50 SM) W Gulungan Bait Allah (11Q19) yang ditulis dalam aksara Ibrani Herodian (50 SM‐70 M) W Gulungan “Kata‐ kata Hikmat Anak‐anak Terang” (4Q298) yang ditulis dalam aksara Ibrani Cryptograf yang lazim digunakan dalam ajaran rahasiaBambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
17
Edited by Glenn Tapidingan
Sumber perbedaan ini ternyata bisa dilacak dari pemuliaan mereka atas Gunung Gerizim, di Nablus, yang mereka percayai sebagai Bait Allah sejati. Orang‐ orang Samaria sebenarnya berasal dari orang Yahudi di wilayah utara yang sama‐sama dibuang ke Babel pada zaman Nebukatnezar. Karena mereka menikah dengan suku‐suku Asyur, maka sepulang dari pembuangan Babel pada tahun 586 SM, mereka ditolak oleh orang Yahudi untuk turut serta dalam pembangunan Bait Allah di Yerusalem (Ezra 4:1‐5). Hal itu yang menyebabkan mereka membaca kata Erets HaMoryah menjadi Erets HaMoreh (Tanah Moreh), sedangkan dalam
Asheret HaDebarim (Sepuluh Perintah Allah), mereka menempatkan Yos. 8:31‐33 sebagai
sambungan Kel. 20:17, sehingga meneguhkan posisi teologis mereka bahwa Bait Allah yang diperintahkan Allah untuk dibangun Musa harus berada di Tanah Moreh di Gerizim, berbareng dengan itu mereka menolak Bait Allah yang dibangun oleh Raja Daud dan putranya, Raja Salomo, di Yerusalem (2 Taw. 3:1). Karena isi Kitab Nabi‐nabi (Nevim) dan Tulisan‐tulisan Suci (Khetuvim) mereka anggap terlalu meninggikan kerajaan selatan (Yerusalem), maka akhirnya mereka menolak seluruh kitab‐kitab lain selain Taurat Musa.
2.2. KESATUAN DAN KEPENULISAN TAURAT
Kelima buku yang disebut Torah dihubungan dengan kepenulisan Musa, dan baru pada abad XVII fakta ini mulai dipersoalkan. Untuk menghilangkan hubungan Musa dengan Taurat, dimunculkan teori‐teori dokumen, bahwa Taurat tidak lebih dari “karya tambal sulam” yang para
S Naskah Torah Samaria, Sefer Vayiqra (Imamat), di Askalon,
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
18
Edited by Glenn Tapidingan
penulisnya dilabeli dengan J (Jahwist), E (Elohist), D (Deuteronomist) dan P (Priest).4 Tetapi dengan semakin majunya ilmu archeologi, teori spekulatif ini tidak bertahan. Bagian yang dahulu dianggap gabungan dari sumber yang berbeda‐beda, karena teks‐teks tersebut tidak bisa dinalar dengan logika abad XVII, dengan penemuan inskripsi‐inskripsi Nuzi (1900 SM) dan Undang‐ Undang Lipit Isytar (2000‐1950 SM), ternyata bisa menjelaskan kehidupan keluarga Abraham, misalnya hukum pengangkatan anak (Kej. 15:1‐4), status hamba yang diambil tuannya untuk melahirkan anak, dan status anak yang dilahirkannya untuk nyonyanya (Kej. 16:1‐2), seperti tercemin dari kisah Abraham, Sarah, dan Hagar, dengan anak mereka Ishak dan Ismael, ternyata bisa dijelaskan sepenuhnya dengan penemuan arkheologi tersebut. Karena itu hipotesa dokumenter yang spekulatif itu, akhirnya sekarang sudah banyak ditinggalkan.
Meskipun demikian, fakta ada proses re‐writing terhadap sumber‐sumber Taurat tidak perlu harus disangkal, sebab Alkitab dan tradisi Yahudi kuno sendiri meneguhkan hal itu. Fakta itu menjadi aneh apabila dipahami dengan kacamata karya‐karya modern, misalnya fakta bahwa Kitab Taurat mencatat kematian Musa (Ul. 34). Tradisi kuno Yahudi tidak pernah meragukan kepenulisan Taurat oleh Musa, dan catatan kematian Musa ditulis oleh Yosua bin Nun, penggantinya. Seperti Yer. 52 yang tidak ditulis Nabi Yeremia tetap disebut Sefer Yermiyahu (Kitab Yeremia), demikian juga Ul. 34 tidak ditulis Musa, tetapi tetap disebut Taurat Musa. Dalam kaitan dengan Kitab Yeremia, dalam Yer. 51:64 jelas disebutkan “sampai disinilah perkataan‐ perkataan Yeremia” (‘ad henah divrei Yirmyahu), dan selanjutnya Yer. 52 yang menyajikan laporan mengenai kejatuhan Yerusalem – fakta yang juga dilaporkan dalam 2 Raj. 24:18‐25:21 dan 2 Taw. 36:11‐21 – menurut sumber Yahudi, Baba Bathra 14b, ditulis oleh Barukh, murid Nabi Yeremia. Demikian pula mulai Ul. 34:5 Yosua yang menulis, seperti disebut dalam sumber Yahudi:
Wayyamat shem Mosheh (dan Musa mati di sana) – ephiser Mosheh mat menunjukkan bahwa Musa telah mati ketika ayat ini dituliskan, We katav “wayyamat sham Mosheh” (Lalu bagaimana mungkin Musa menuliskan kematiannya sendiri: Lalu matilah Musa di sana? ‘Al ‘ad khen katav Mosheh, me khan wa illak katav Yehoshua (Tidak mungkin Musa menuliskan kematiannya sendiri, karena memang dibuktikan bahwa mulai Ul. 34:5 ini Yosua yang telah menuliskan‐nya).5
Berkaitan erat dengan hal di atas, catatan Yos. 24:26 yang menyebutkan: “Wa yikhtov Yehoshua et HaDevarim ha eleh be Sefer Torat Elohim...” (Yosua menulis kata‐kata itu dalam Kitab Taurat Allah), dengan jelas membuktikan bahwa Yosua sebagai pengganti Musa, memberikan
4 G. Herbert Livingstoon, The Pentateuch in Its Cultural Environment (Grand Rapids: Baker, 1974), hlm. 218‐221.
5 Rabbi Nosson Scherman – Rabbi Meir Zlotowitz (ed.), The Torah with Rashi’s Commentary: Translated, Anotated and Elucidated (Brookyn, New York: Mesorah Publications, Ltd., 1998), hlm. 400‐401.
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
19
Edited by Glenn Tapidingan
catatan‐catatan penjelas dari Taurat Musa. Kebiasaan ini terus berlanjut sampai zaman para Rasul Kristus, misalnya Silwanus menulis surat atas nama gurunya, Rasul Petrus. Jadi, dalam hal ini kita harus lebih mempercayai keterangan penulis kuno yang berakar dari budaya dan zaman yang sama dengan kitab‐kitab itu, ketimbang mempercayai teori dokumen yang sangat spekulatif, dikembangkan kesarjanaan moderen yang berakar dari budaya dan zaman yang jauh sekali dari kitab‐kitab yang dibahasnya.
2.3. CONTOH VARIAN‐VARIAN TEKS TAURAT: MASORETIK, SAMARIA DAN QUMRAN
Berdasarkan hal yang diuraikan di atas, maka apabila ada varian teks yang berbeda bahkan kadang tampak saling bertentangan, maka melalui kritik teks kita harus memilih teks yang paling dekat ditinjau dari bahasanya, konteks zamannya, bahkan kalau diperlukan, motif teologis penyalin dari naskah yang dibahasnya. Misalnya, pernyataan yang terlalu umum dari beberapa sarjana bahwa ada kurang lebih 6.000 perbedaan antara teks Masoretik Taurat dan Taurat Samaria, menimbulkan kesan bahwa Taurat sebagai teks suci tidak bisa dipercaya karena sudah diubah‐ubah atau dipalsukan. Padahal diantara 6.000 perbedaan itu menyangkut ejaan dan cara penulisan, varian bacaan yang berbeda, atau bagian‐bagian dari ayat Perjanjian Lama lain yang dimasukkan ke dalam Taurat Samaria. Karena itu, kalau teks ini dihitung, tentu saja akan menambahkan jumlah perbedaan antara keduanya. Padahal faktanya, perbedaan antara Taurat Yahudi dan Taurat Samaria umumnya kecil, dengan perkecualian, misalnya umur orang‐orang yang dicatat dalam silsilah dalam Kej. 5‐11, penekanan bahwa tempat berbakti yang menurut Taurat Samaria adalah di gunung Gerizim, dan perintah monogami yang hanya ada di Taurat Samaria, dan tidak ada dalam Taurat Yahudi (Im. 8:18).Selain perbedaan di atas, selebihnya cara pembacaan yang berbeda, dan parafrasa‐ parafrasa yang diambil dari bagian lain Perjanjian Lama, dan sama sekali tidak mengubah makna. Misalnya, parafrasa yang panjang setelah Kel. 20:17 yang berisi tentang perintah Allah untuk membangun mezbah yang tidak dipahat di Gunung Gerizim. Pencantuman parafrasa yang
W Teks Taurat Samaria dalam bahasa Ibrani aksara Samaria
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
20
Edited by Glenn Tapidingan
panjang dalam Asheret Haddevarim (10 Perintah Allah) dalam Taurat Samaria ini, sebenarnya merupakan pengulangan dari Ul. 11:29; 27:2‐8; 11‐15; dan Ul. 11:29; Kel. 20:25. Perintah yang sama dengan penekanan Gunung Gerizim, juga disebutkan dalam Yos. 8:3035. Untuk lebih jelasnya, bunyi prafrasa Ul. 20:17 dalam teks Samaria berbunyi:
Dan ketika TUHAN, Ilahmu membawa engkau ke tanah Kanaan yang akan engkau kuasai dan engkau duduki, haruslah engkau mendirikan batu‐batu besar dan mengapurnya. Dan harulah engkau tuliskan di atas batu‐batu itu semua perkataan hukum Taurat ini, dan sesudah engkau menyeberang sungai Yordan, haruslah kamu mendirikan batu‐batu ini yang telah Aku perintahkan kepadamu hari ini di Gunung Gerizim. Juga haruslah kamu membangun mezbah di sana bagi TUHAN Ilahmu, sebuah altar dari batu‐batu yang tidak boleh kamu olah dengan perkakas besi, kamu harus mendirikan mezbah bagi TUHAN Ilahmu yang tidak dipahat. Haruslah kamu mempersembahkan korban bakaran kepada TUHAN Ilahmu, dan juga kamu harus mempersembahkan korban keselamatan dan memakannya di sana, dan bersukacita dihadapan TUHAN, Ilahmu. Gunung itu terletak di seberang sungai Yordan, di luar jalan menuju ke Tanah Kanaan di Arabah, dekat dengan Gilgal, pohon Terbantin di Moreh, yang terletak dekat Sikhem.6
Dapat disimpulkan bahwa ada atau tidaknya pengulangan beberapa ayat yang disebutkan dan diletakkan sebagai parafrasa setelah Kel. 20:17, sama sekali tidak ada makna‐makna yang ditambahkan atau dikurangi, atau sesuatu yang bertentangan satu sama lain. Sebab “ayat parafrasa” tersebut ternyata hanya merupakan prinsip teologis yang ditekankan, padahal sumbernya dengan mudah ditemukan atau dijumpai dalam bagian‐bagian Alkitab yang lain. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dibandingkan ragam teks Maroretik, Samaria dan Qumran, baik ditinjau dari qira’ah (bacaan), cara penulisan, maupun beberapa perbedaan lain: 2.3.1. Ayat‐ayat yang dilafalkan Berbeda, Tulisannya Sama Pelafalan dan tatabahasa Samaria secara radikal berbeda dengan bahasa Ibrani Masoretik yang dipakai kaum Yahudi. Dalam pelafalan Samaria, aksara‐aksara alep, he, het dan ‘ayin dibaca dengan alaf, îy, ît, dan ‘in. Karena itu sekalipun sebuah ayat ditulis dalam aksara‐aksara yang persis sama, namun cara bacanya menjadi berbeda:
● Kej. 11:9, Teks Masoretik
לַע
ם ָשׁ יִכּ לֶבָבּ הּ ָמ ְשׁ אָרָק ןֵכּ
לַלָבּ
ץֶראָ ָה לָכּ תַפ ְשׂ הָוהְי
ם ָשּׁ ִמוּ
הָוהְי םָציִפ ֱה
לַע
לָכּ יֵנְפּ
ץֶראָ ָה
‘Al ken qara shmah Bavel ki sham balal YHWH sfat kal ha arets umisham hefitsam YHWH ‘al fene kal ha arets 6 Mark Shoulson, The Torah: Jewish and Samaritan Version Compared (new York: Evercype, 2008), hlm. 204‐205.
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
21
Edited by Glenn Tapidingan
● Kej 11:9, Teks Samaria
‘Al kan qara shemah Babel ki shama ballal YHWH it asfat wmishamma ifisima YHWH ‘al fene kal ha aretsArtinya: “Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena disitulah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi”. 2.3.2. Ayat‐ayat yang Maknanya Sama, Tulisannya Berbeda Selain tulisannya sama ‐ cara bacaan berbeda seperti ditunjukkan dari teks Masoretik dan teks Samaria di atas, sebaliknya ada pula ayat yang maknanya sama tetapi ditulis dengan sistem penulisan yang berbeda. Tentang hal tersebut dapat dicontohkan antara sistem penulisan Masoretik dengan sistem penulisan Qumran. Perbedaan sistem penulisan semua bisa dilacak tuntas dalam ilmu ortografi (orthography), yang mempelajari perkembangan ejaan. Karena bahasa Ibrani kuno tidak memiliki huruf‐huruf hidup (vowel letters), pembacaan sebuah teks kadang‐kadang dibantu dengan penggunaan konsonan tertentu yang lazim disebut matres
lectionis (harfiah: “mothers of readings”), yaitu huruf
ו
(waw) danי
(yod) untuk “o”/“u” dan “I”. Hurufה
(He) dan huruf glotal yang berhenti (א
aleph yang dalam tranliterasi ditulis ‘), juga digunakan sebagai huruf hidup “a”. Beberapa Manuskrip Laut Mati menggunakan pelafalan “penuh” (yang disebut teknis plene), dan manuskrip lain mempertahankan pelafalan defective, yaitu beberapa matres lectionis konvensional yang juga digunakan dalam teks‐teks Alkitab Ibrani tradisional.Selanjutnya, beberapa contoh penggunakan lafal plene dalam beberapa naskah Qumran, misalnya:
לוכ
k‐w‐l untukלכ
k‐l (artinya: “semua”),האוה
h‐w‐a‐h untukאוה
h‐w‐a (artinya: “dia laki‐laki”),האיה
h‐y‐a‐h untukאוה
h‐w‐a (artinya: “dia perempuan”), danאיכ
k‐y‐a untukיכ
k‐y (artinya: “sebab”). Sistem pelafalan “matres lectionis” seperti yang dicontohkan di atas, tentu saja asing apabila dibandingkan sistem yang berlaku bagi pembacaan Taurat dalam aksara Ibrani sekarang. Misalnya, kataםי ִהלֱא
Elohim (Allah) yang terdiri dari 5 huruf, yaituא
alep,ל
lamed,ה
he,י
yod danם
mem, dalam Naskah Qumran menjadi 6 huruf karena hurufו
waw sebagai matres lectionis setelah hurufל
lamed. Begitu juga, kataיֵנ
דֲא
(Tuhan) yang terdiri dari 4 huruf, yaituא
alep,ד
dalet,נ
nun danי
yod, ditulis dalam 5 huruf, dengan hurufו
waw sebagaiBambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
22
Edited by Glenn Tapidingan matres lectionis yang ditempatkan setelah huruf ד dalet. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini dapat ditampilkan salah satu fragmen Mazmur 136 dari Qumran (11QPs), dan perbedaannya dengan cara penulisan Naskah Masoretik dalam penulis 3 kata:
S Tiga contoh penuh (pene) ejaan semua melibatkan penggunaan dari ibrani huruf “w” (waw) untuk mewakili “o” panjang. Tiga kata yang ditunjukkan terjadi pada Mazmur 136, ayat 2,5, dan 7. Dalam gulungan Mazmur dari Qumran gua 11 semuanya ditulis dalam ejaan penuh, dalam teks Masoret standar Mazmur, seperti yang ditemukan dalam Alkitab Ibrani modern, ketiga kata ditulis tanpa lectionis
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
23
Edited by Glenn Tapidingan
Untuk contoh selanjutnya, di bawah ini akan kita bandingkan teks asli Ibrani dari Sefer
Bereshit dalam aksara Peleo‐Ibrani (abad V SM), Samaritan (abad II SM), Qumran (abad I SM),
dan aksara Ibrani modern (dengan tanda‐tanda baca yang didasarkan atas naskah Masoretik): ● Kej. 1:1, Aksara Paleo‐Ibrani (sebelum tahun 585 SM) ● Kej. 1:1, Aksara Samaria (150 SM) ● Kej. 1:1, Aksara Ibrani yang digunakan di Qumran (100 SM) ● Kej. 1:1, Aksara Ibrani dengan Tanda Baca Masoretik
:ץֶראָ ָה תא ְו ם ַה ָשּׁ ַמִי ת ֵא
םי ִהֹל ֱא
אָרָבּ תי ִשׁאֵרְבּ
Transliterasi: “Bereshit bara ELOHIM et hashamaim we et ha arets” Kalau dicermati, dalam contoh di atas hanya ada satu huruf yang berbeda, yaitu pada kataםי ִהֹל ֱא
dalam naskah Qumran ada tambahan hurufו
waw yang ditempatkan setelah hurufל
lamed dan sebelum huruf ה He. Perbedaan semacam ini dapat dibandingkan dengan perubahan penulisan kata PANTJASILA dalam ejaan Soewandi dengan PANCASILA dalam ejaan sekarang (EYD). Dalam seluruh naskah yang dikutip di atas, Kej. 1:1 artinya tidak berbeda: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”. Berdasarkan perbandingan bentuk aksara antara Paelo‐Ibrani dengan Samaritan, tampaknya aksara Samaritan adalah bentuk pengembangan dari aksara Paleo‐ Ibrani yang mulai eksis kira‐kira pada masa dinasti Hasmonaim (Hasmonean), sekalipun pemisahan orang Samaria telah terjadi kurang lebih 350 tahun lebih kuno dari zaman Hasmonaim yang didirikan oleh Yudas Makabe.׃ץראה תאו םימשה תא
םיהולא
ארב תישארב
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
24
Edited by Glenn Tapidingan
Dalam contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa Kej. 1:1 dalam teks Masoretik dan teks Samaria ditulis dalam bentuk aksara yang berbeda dengan jumlah huruf yang sama yaitu 29 huruf, sedangkan dalam teks Qumran karena ada perbedaan – dalam kasus matres lectionis yang menggunakan pelafalan penuh – penulisan kata
םיהולא
Elohim (artinya: Allah) jumlah hurufnya menjadi 30 huruf (karena “o” ditulis dengan huruf hidupו
waw seperti telah diuraikan di atas), namun ketiga naskah tersebut maknanya tidak berbeda atau tetap sama.
2.3.3. Ayat‐ayat yang Memang Berbeda: Criticus Apparatus
Selanjutnya, harus diakui diantara berbagai teks kuno yang satu sama lain bisa berjarak lebih dari 1.000 tahun tersebut, memang ada perbedaan‐perbedaan. Dalam tradisi Yahudi maupun Kristen, perbedaan‐perbedaan tersebut tidak pernah diseragamkan dengan cara menghancurkan teks‐teks yang berbeda. Misalnya, perbedaan Kej. 22:2 antara Teks Yahudi‐ Kristen (baik teks Yahudi‐Masoretik, atau terjemahan Yahudi kuno seperti Septuaginta yang
םיהולא
dan bukan
םיהלא
S Manuskrip Qumran yang memuat Kej. 1 ditemukan di Gua 4 (4QGen9), yang berasal dari periode akhir Hasmonean (100 SM). Manuskrip ini diawali dengan ayat: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan
bumi”. Tema “terang dan gelap” mulai dari Kej. 1:3, dan selanjutnya dijumpai dalam seluruh Alkitab,
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
25
Edited by Glenn Tapidingan
diterima oleh umat Kristen) dengan teks Samaria, yaitu Erets HaMoriah (Tanah Moria) menjadi Erets HaMoreh (Tanah Moreh), adalah persoalan khusus orang Samaria dan tidak pernah terjadi pada madzab Yahudi manapun (Saduki, Parisi, Eseni) maupun Kristen selama hampir 3.000 tahun. Teks ini dalam tradisi Yahudi lebih dikenal dengan ‘Aqedah Yitshaq (Pengikatan Ishak), yaitu peringatan penyembelihan Ishak Putra Abraham, yang sejak ribuan tahun diperingati setiap Tahun Baru (Rosh HaShanah). Perbedaan teks Kej. 22:2 tersebut lebih jelasnya dikutip di bawah ini: ● Kej. 22:2, Teks Masoretik
ר ֶשׁ ֲא ָךְדי ִחְי תֶא ָךְנִבּ תֶא אָנ חַק ר ֶמאֹיַּו
ץֶר ֶא לֶא ְךֶלְו‐ ָךְל‐ ְךֶלְו ק ָחְצִי תֶא ָתְּב ַהאָ
הָיִּרֹמּ ַה
Wayyomer Qah‐na et binkha et Yehidkha asher
Ahavta et Yitshaq, we lekh leka el arets
HaMoryah
Artinya: Dan Firman‐Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moriyah...” ● Kej. 22:2, Teks Samaria
ךאדיחי-תא ךנב-תא אנ-חק רמאיו
ץרא לא ךל ךלו קחצי תא תבהא רשא
הרומה
Wuyaumer Qah‐na et binkha et Yehidkha
asher Ahavta et Yitshaq, we lekh leka el arets
HaMoreh
Artinya: Dan Firman‐Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moreh ...”
Dalam kasus Kej. 22:2 tidak ada perbedaan mengenai identitas Ishak sebagai Putra Abraham yang nyaris dikurbankan, baik itu naskah Ibrani Masoretik (Abad IX M), Samaria, dan W Kej. 22:1‐4 dalam bahasa Ibrani modern dengan terhemahan kata demi kata dalam bahasa Arab (Beirut: Jami’ah al‐ Anthuniyyah, 2007)
Bambang Noorsena TEXTUAL CRITICISM: Sebuah Pengantar Dalam Kajian Varian‐Varian Teks Perjanjian Lama
26
Edited by Glenn Tapidingan
berbagai terjemahan kuno manapun, seperti Septuaginta (Tahun 280 SM), Targum‐targum Aramaik (antara abad II SM‐II M), Vulgata Latin (abad IV M), Peshitta Aramaik (abad II M), Koptik (Abad III M), dan semua naskah kuno lain. Tetapi mengenai tempat pengurbanan Putra Abraham, naskah Samaria (abad II SM) menyebut “Tanah Moreh” yang merujuk Gunung Gerizim, dan bukan “Tanah Moria” di Yerusalem. Jadi, dalam hal Putra Abraham yang nyaris dikurbankan, seluruh teks kuno, baik yang dipelihara oleh orang Yahudi, Samaria, maupun Kristen, tidak ada perbedaan. Sedangkan penyebutan “Tanah Moreh” hanya terdapat dalam Naskah Samaria, sedangkan Yahudi dan Kristen yang sudah berpisah sejak tahun 89 M (Konsili Yamnia) tidak ada perbedaan sama sekali.
2.4. CONTOH VARIAN‐VARIAN TEKS NEVIM (KITAB NABI‐NABI) DAN
KHETUVIM (TULISAN‐TULISAN SUCI) DALAM PERJANJIAN LAMA
Meskipun ada varian‐varian penulisan dan bacaan dalam proses penyalinannya selama ribuan tahun, apalagi Kitab Suci yang satu dan sama diwarisi oleh agama yang berbeda (Yahudi dan Kristen) masing‐masing dengan keyakinan teologisnya, perbedaan‐perbedaan kecil dalam varian bacaan itu sangat mentakjubkan. Misalnya, Yes. 53 teks Qumran yang terdiri dari 166 kata, hanya terdapat 17 huruf, masing‐masing dengan rincian: 10 huruf hanya perbedaan cara penulisan yang tidak mengubah arti, 4 huruf adalah kata sambung, dan 3 huruf dari satu kata, yaitu kata
רוﬠ or (terang), yang tidak dijumpai dalam naskah Masoretik yang 1.000 tahun lebih muda.
77 Norman Geisler and Willeam Nix, A General Introduction to the Bible (Chicago Moody Publishers, 1986), hlm. 263.