• Tidak ada hasil yang ditemukan

bahwa jumlah kejahatan dari tahun di Jakarta mengalami penurunan, sehingga waktu satu tindak kejahatan juga dapat diminimalisir.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "bahwa jumlah kejahatan dari tahun di Jakarta mengalami penurunan, sehingga waktu satu tindak kejahatan juga dapat diminimalisir."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Angka kejahatan di Jakarta semakin menurun dari tahun ke tahun, hal ini menandakan bahwa adanya efektifitas kinerja kepolisian. Data menunjukka n bahwa jumlah kejahatan dari tahun 2012-2015 di Jakarta mengalami penuruna n, sehingga waktu satu tindak kejahatan juga dapat diminimalisir. Edy (2012) menyebutkan bahwa terjadi 54.391 tindak kejahatan sepanjang tahun 2012, angka ini mengalami penurunan 7,38 % dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 57.779 kasus. Hal ini menandakan bahwa satu tindak kejahatan dilakukan setiap 9 menit 13 detik. Syarif (2013) menyebutkan bahwa terjadi 51.444 tindak kejahatan sepanjang tahun 2013, hal ini menunjukkan adanya penurunan tindak kejahatan sebanyak 9% dibanding tahun sebelumnya, dengan satu tindak kejahatan dilakukan setiap 10 menit 13 detik.

Ruqoyah (2014) dalam beritanya menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2014, terjadi tindak kejahatan sebanyak 48.503, turun sebanyak 5,71% dari tahun sebelumnya dengan satu tindak kejahatan dilakukan setiap 10 menit 50 detik. Pada tahun 2015 angka kejahatan kembali turun sebanyak 0,86% dengan waktu tindak kejahatan dilakukan setiap 12 menit 26 detik (Cahya, 2015). Kinerja tersebut menggembirakan, namun hal ini tentu menjadi sebuah tantangan dan beban tersendiri bagi personil yang terlibat di dalamnya. Tantangan lain yang makin menambah beban kinerja kepolisian di Indonesia adalah modus-modus baru kriminalitas yang semakin beragam dan canggih.

Tidak hanya aspek upaya menekan tindak kejahatan yang menjadi beban personil, kemacetan lalu lintas juga menjadi aspek lain yang menambah beban tersebut. Hasil survei Castrol Magnatec Start-Stop (2015) tentang lalu lintas

(2)

kota-kota besar di dunia menunjukkan bahwa kota-kota Jakarta memiliki tingkat kemacetan paling buruk. Berdasarkan indeks Castrol Magnatec Start-Stop, tingkat berhenti-jalan kendaraan di Jakarta mencapai 33.240 ribu per tahun dengan 27,22% dari waktu tempuh para pengendara berada pada posisi diam.

Polisi lalu lintas dituntut untuk mampu mengatur dan mengawasi lalu lintas pergerakan kendaraan. Harapan masyarakat akan keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas sangat tinggi di Jakarta. Disisi lain, banyak persepsi di masyarakat yang memandang masih rendahnya tingkat layanan polisi. Misalnya, masih banyak kemacetan lalu lintas tetapi tidak ada petugas polisi yang berjaga, pungutan liar di jalanan, calo SIM, dan lainnya. Ini menjadi problema dan tantangan seorang polisi lalu lintas.

Situasi ini tidak terlepas dari rendahnya rasio perbandingan antara polisi dan masyarakat. Jumlah rasio perbandingan antara polisi dan masyarakat di kota Jakarta, pada tahun 2015 rata-rata 1 : 450, sedangkan rasio minimal ideal masyarakat tertib di kota besar adalah satu polisi berbanding dengan 300 masyarakat (Kompas, 2015). Hal ini menjadikan beban tugas polisi menjadi lebih berat dalam melayani masyarakat di Jakarta.

Paparan diatas menunjukkan betapa berat tantangan tugas dan beban anggota kepolisian, yang berpotensi menimbulkan dampak negatif, secara fisik maupun psikologis. Salah satu dampak psikologis yang dapat muncul dari situasi tersebut adalah gejala burnout. Humas Polri pada tahun 2015 merilis bahwa 80% anggota polisi pada fungsi lalu lintas dan reserse mengalami beban tugas yang berlebiha n (Kusuma, 2015). Gambaran burnout pada anggota reserse berdasarkan hasil

(3)

wawancara awal merujuk pada tema-tema seperti: adanya beban tunggakan kasus, kondisi emosional dalam diri dan jam kerja yang tidak menentu.

Berdasarkan wawancara awal peneliti kepada AB, yang telah menjadi anggota Polri pada fungsi reserse selama 11 tahun didapatkan informasi bahwa ia merasa terbebani jika ada kasus yang belum selesai, menjadi beban pikiran terus menerus yang bersangkutan. Ia semacam tidak mengerti harus berbuat apa, terkadang ia menjadi seseorang yang tidak tahu harus berbuat apa. Selain itu, ia juga menjadi seseorang yang mudah emosi, kemudian ia melampiaskan kepada keluarganya di rumah. Hal ini biasanya terjadi apabila mengalami kesulitan dalam menangkap tersangka, padahal ia sudah memiliki bukti yang cukup, apalagi jika keluarga tersangka melawan. Ia merasa tidak mampu mengontrol emosinya, mengala m i kebingungan bagaimana seharusnya melakukan tindakan, pada akhirnya ia meminta bantuan kepada pimpinan atau rekan kerja yang lain.

Informasi lain disampaikan oleh CD, yang juga menjadi anggota Polri pada fungsi reserse selama 11 tahun bahwa ia mengeluhkan tentang kondisi jam kerja yang tidak menentu. Ia sering pulang larut hingga dinihari, bahkan sering tidak pulang jika banyak kasus yang harus diselesaikan, atau harus melakukan penangkapan tersangka. Istri yang bersangkutan menjadi emosional bila ia tak kunjung kembali ke rumah. Ia mengatakan bahwa anaknya belum mampu untuk protes terhadap apa yang terjadi pada dirinya, namun apabila si anak suda h mengerti, ia merasa si anakakan melakukan protes.

Selain itu, ia juga merasa kehilangan motivasi apabila menghadapi kasus yang tak kunjung menemukan titik terang. Merasa kebingungan harus melakukan apa.

(4)

Ada perasaan ingin pindah ke bagian lain. Ia juga merasa kecewa yang berlarut-larut apabila tidak mampu mengungkap kasus yang ia tangani.

Pada unit lainnya yaitu lalu lintas, berdasarkan wawancara awal terungkap keluhan yang hampir sama, terkait tentang kelelahan fisik, buruknya persepsi di masyarakat, dan kondisi lingkungan saat bertugas. Seperti disampaikan oleh EF, yang telah menjadi anggota Polri fungsi lalu lintas selama 12 tahun, terungkap informasi bahwa ia merasakan kelelahan yang sangat pada fisiknya karena harus berdiri lama dibawah terik matahari, apalagi jika berada pada waktu-waktu dengan kemacetan yang tinggi. Ia juga selalu terpancing emosinya apabila menghadap i pengendara kendaraan yang sulit diatur, ia dapat berteriak, dan memukul kendaraan tersebut. Hal ini ia hadapi setiap hari. Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa jika sudah tidak tertahankan lagi, ia akan meninggalkan tugas dan beristirahat di pos. Ia membiarkan keadaan macet karena ia merasa kemacetan ini tidak akan ada habisnya.

Selanjutnya GH, yang telah menjadi anggota Polri pada fungsi lalu lintas selama 14 tahun, mengungkapkan bahwa ia merasa pandangan masyarakat terhadap Polantas adalah negatif. Ia merasa masyarakat yang berurusan dengan Polantas artinya uang, padahal ia hanya menjalankan tugas yang tidak bisa ia tolak yaitu menegakkan aturan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggar. Ia menjadi emosional apabila menghadapi pelanggar yang salah namun tetap tidak mau mengakui kesalahan. Hal ini dapat terjadi beberapa kali dalam sehari. Jika sudah tidak tertahankan lagi, ia akan meninggalkan si pelanggar. Selain itu, ia juga merasa apabila berada dalam kondisi sangat kelelahan, ia tidak melakukan apel pagi. Ia

(5)

berfikir, tidak masalah tidak apel pagi yang terpenting adalah ia hadir di pos jaga. Ia mengeluhkan waktu yang kurang untuk istirahat, karena kondisi kota yang penuh dengan kemacetan lalu lintas dimana-mana.

Deskripsi diatas semakin memperjelas gambaran betapa berat beban tugas profesi polisi. Beratnya beban tersebut berpotensi menjadi salah satu penyebab job burnout. Robbins (2001) menyebutkan bahwa beban tugas berasal dari kondisi tekanan dari lingkungan kerja. Beban kerja untuk meminimalisir jumlah tindak kejahatan dan menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas merupakan beban kerja yang tidak ringan.

Dworkin (1987) menyatakan bahwa job burnout dapat muncul pada banyak jenis profesi, namun profesi yang paling signifikan adalah profesi yang berkaitan dengan pelayanan umum seperti guru, administrasi publik, konselor, dokter, perawat dan polisi. Nicoara dan Liliana-Amelia (2012) menyebutkan bahwa profesi polisi menempati peringkat sepuluh besar sebagai pekerjaan yang paling banyak menyebabkan stres di Amerika, serta dapat dikategorikan sebagai pekerjaan yang berpotensi stres di dunia.

Ketidakmampuan untuk mengatasi tekanan pekerjaan menyebabkan polisi mengalami penurunan gairah untuk pekerjaan itu, kurang tidur, meningkatkan stres kronis, kelelahan, dan kebingungan untuk melakukan sesuatu (Slate, Johnson, & Colbert, 2007). Apabila kondisi polisi terlalu sering terpapar dengan tuntutan rutinitas pekerjaan yang tinggi dengan kontrol yang rendah, dukungan sosial yang kurang dan perasaan-perasaan negatif (takut, bersalah, ingin istirahat) ini terus berlanjut dengan tanpa disertai dengan strategi coping yang positif maka kondisi

(6)

ini dapat terkena job burnout (Backteman-Erlason, 2013). Job burnout ini akan mempengaruhi perilaku seorang polisi dalam berinteraksi dengan masyarakat (Kop, 1999).

Adapun dampak negatif yang muncul dari job burnout ini telah diteliti oleh peneliti terdahulu, Baker dan Heuven (2006) menyebutkan bahwa ada penuruna n performansi kerja perawat dan polisi yang terkena job burnout. Selain menurunnya performansi kerja dan kualitas kerja, job burnout juga dapat mengakiba tka n gangguan mental berupa depresi (Gandi, Wai, Karick, & Dagona, 2011). Dziner, Rabenu, Radomski, dan Belkin (2015) menemukan hal penting bahwa job burnout menjadi salah satu akibat dari stres kerja karena akan mempengaruhi hubunga n profesional dalam bekerja.

Job Burnout dapat didefinisikan sebagai sindrom psikologis yang melip ut i dimensi emotional exhaustion, depersonalization (cynicism) dan inefficacy (reduce personal accomplishment), yang timbul akibat paparan stressor yang berlangsung secara terus menerus dalam pekerjaan (Maslach, Schaufeli & Leither, 2001). Maslach, dkk. (2001) menyebutkan bahwa emotional exhaustion merupakan perasaan lelah yang teramat sangat dalam hal emosi dan fisik. Kelelahan emosiona l ditandai dengan adanya kelelahan yang tidak adekuat yang disebabkan karena adanya keterlibatan emosional yang terus menerus dengan orang lain atau objek kerja, sehingga pekerja merasa energi dan sumber-sumber emosionalnya, seperti rasa kasih, empati, perhatian terkuras yang pada akhirnya tidak mampu lagi mengatasi tuntutan-tuntutan dari orang lain.

(7)

Maslach, dkk. (2001) menyebutkan bahwa depersonalisasi/cynicism merupakan perasaan negatif, sensitif, dan menarik diri dari segala aspek pekerjaan. Depersonalisasi/cynicism membuat seseorang akan menganggap orang lain adalah objek, bukan subjek yang harus dimanusiakan. Depersonalisasi/cynicism terbentuk dari mekanisme self protective terhadap kelelahan (exhaustion) yang dialami pekerja, yaitu berupa penarikan diri dari keterlibatan secara emosional dengan orang lain. Efek selanjutnya adalah hilangnya perasaan sensitif kepada orang lain sehingga dapat menimbulkan reaksi-reaksi negatif.

Maslach, dkk. (2001) menyebutkan bahwa inefficacy (reduce personal accomplish) merupakan kecenderungan memberi evaluasi negatif terhadap diri sendiri, terutama berkaitan dengan pekerjaan, merasa tidak kompeten, tidak bisa meraih prestasi dan tidak produktif dalam bekerja. Setiap pekerjaan terasa sulit dan tidak bisa dikerjakan, rasa percaya diri berkurang. Pekerja menjadi tidak percaya dengan dirinya sendiri dan orang lain tidak percaya dengannya.

Berbagai penelitian tentang job burnout telah dilakukan, beberapa faktor yang menjadi prediktor terjadinya job burnout adalah beban kerja, kontrol, penghargaa n, komunitas sekitar, keadilan organisasi dan nilai- nilai dalam organisasi (Leiter & Maslach, 2008). Selain itu, lingkungan kerja, tuntutan pekerjaan yang tinggi, lack of support serta karakteristik individu akan mempengaruhi job burnout (Backteman-Erlanson, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Mc. Carty dan Skogan (2012) menyebutkan bahwa job burnout disebabkan oleh faktor-faktor yang hampir sama baik terhadap polisi maupun oleh masyarakat biasa. Kesulitan dalam menyeimbangkan pekerjaan dan tanggungjawab dalam kehidupan,

(8)

kurangnya dukungan dari pimpinan dan rekan kerja, kewajaran kebijakan dari organisasi dan beberapa faktor pribadi berkontribusi kepada tingkat job burnout seseorang.

Sumber stres yang berpotensi memunculkan job burnout pada anggota polisi dapat berupa kurangnya dukungan dari pimpinan, komunikasi yang buruk dengan rekan kerja, dan perilaku agresif dari orang lain (Aumiller, Corey, Allen, Brewster, Cuttler, Gupton, & Honig, 2007). Hasil penelitian lain dari Statetic dan Tesanovic (2013) menemukan bahwa usia dan lamanya bekerja memiliki pengaruh yang penting terhadap level stres dan job burnout, dimana seorang pekerja yang berusia lebih tua dan memiliki masa kerja yang lebih lama memiliki level stres dan level resiko yang lebih tinggi mengalami job burnout.

Job burnout dipengaruhi oleh faktor eksternal yang dapat bersumber dari organisasi (Hobfoll, 1989). Kondisi organisasi memiliki peran yang signifika n terhadap sindrom negatif pada kondisi psikologis polisi yang kemudian berpotensi memunculkan burnout (Suresh, Anantharaman, Angusamy, & Ganesan 2013). Hasil penelitian Suresh, dkk., (2013) menyatakan bahwa 50% sumber stres kerja yang dirasakan oleh personel polisi, berasal dari internal organisasi tempat mereka bekerja. Mereka mengeluhkan tentang pola jam kerja, tidak ada waktu untuk keluarga, fasilitas yang kurang memadai, interaksi yang negatif dengan rekan kerja, peralatan kerja yang kurang memadai, tidak ada pengakuan dari pimpinan, dan kekurangan staf untuk mengerjakan kasus-kasus yang cukup banyak.

Penelitian diatas memperlihatkan adanya faktor-faktor eksternal (Suresh, dkk., 2013; Aumiller, dkk., 2007; Mc. Carty & Skogan, 2012) yang dapat membent uk

(9)

simptom-simptom negatif yang mempengaruhi seseorang. Salah satu faktor eksternal yang berperan penting adalah perceived organizational support (POS) yang didefinisikan sebagai persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisas i memberikan penghargaan atas kontribusi mereka dan memperhat ika n kesejahteraan mereka yang dibentuk melalui segala perlakuan yang diterima karyawan dari organisasi (Eisenberger, Huntington, Hutchinson, & Sowa, 1986). POS dipengaruhi oleh berbagai aspek perlakukan yang diterima oleh karyawan dari organisasi. Oleh karena itu, definisi POS yang digunakan dalam penelitian ini adalah persepsi karyawan terhadap dukungan organisasi yang diwujudkan dengan sejauh mana organisasi memberikan penghargaan atas kontribusi karyawan dan sejauh mana organisasi memperhatikan kesejahteraan karyawan.

Salah satu dimensi di dalam job burnout adalah depersonalisasi. Dozier (2010) menyatakan bahwa tingkat depersonalisasi konselor kesehatan mental memilik i korelasi negatif dengan POS. Carolina (2010) dalam penelitiannya mengungkapka n bahwa POS memiliki korelasi negatif dengan job burnout. Zhou dan Miao (2014) mengemukakan bahwa POS dapat ditampilkan melalui adanya perhatian terhadap kesejahteraan, nilai- nilai dan aktivitas yang ditujukan sebagai proses pengembangan serta pemenuhan kebutuhan karyawan. Senada dengan penelit ia n yang dilakukan oleh Roloff dan Brown (2006) yang menyatakan bahwa POS memiliki hubungan negatif dengan job burnout, dan penurunan tingkat kelelahan kerja (Jawahar, Stone, & Kisamore, 2007). Reindary (2008) yang melakukan penelitian kepada 158 editor surat kabar olahraga menyatakan bahwa editor berita olahraga dengan POS yang tinggi memiliki tingkat job burnout yang rendah.

(10)

Rhoades dan Eisenberger (2002) mengindikasikan bahwa 2 kategori utama dari perlakuan yang dipersepsikan oleh karyawan memiliki hubungan dengan POS, yaitu: perhatian atas kesejahteraan karyawan dan penghargaan atas kontribus i karyawan. Kottke dan Sharafinski (Rhoades & Eisenberger, 2002) menyebutka n bahwa perhatian kesejahteraan dapat dirasakan melalui sejauh mana atasan peduli terhadap kontribusi kinerja karyawan dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan. Salah satunya adalah dukungan pimpinan. Pimpinan bertindak sebagai agen dari organisasi yang memiliki tanggung jawab untuk mengarahkan dan mengevalua s i kinerja bawahan, karyawan pun melihat orientasi atasan mereka sebagai indikas i adanya dukungan organisasi (Levinson, dkk., dalam Rhoades & Eisenberger, 2002).

Sejalan dengan studi tentang dukungan atasan dengan kepuasan kerja memilik i implikasi yang penting untuk memahami peran POS. Eisenberger, Cummings, Armeli, dan Lynch (1997) menjelaskan bahwa individu yang merepresentas ika n organisasi, seperti supervisor atau manajemen atas, cenderung dilihat sebagai mewakili organisasi itu sendiri. Oleh karena itu, Gray (2015) dalam penelitia nnya mengungkapkan bahwa dukungan atasan dapat menjadi salah satu bentuk dukungan organisasi dalam prediksi kepuasan kerja dan burnout. Individu- indi vid u dengan POS yang tinggi maka mereka memiliki skor yang rendah yang berkaitan dengan kelelahan, disengangement dan job burnout. POS yang kuat dapat menurunkan tingkat job burnout para pimpinan eksekutif.

Sari (2004) mengidentifikasi dalam penelitiannya bahwa faktor-faktor sosial dan organisasi seperti kurangnya dukungan dari sistem organisasi yang ada

(11)

berkontribusi kepada job burnout. Contohnya adalah dukungan yang buruk secara sistem yang ada di organisasi, seperti kurang pelatihan dan buruknya hubunga n dengan rekan kerja. Penelitian lain telah menunjukkan bahwa dukungan atasan memiliki efek negatif pada job burnout (Maslach, dkk., 2001) dan ketidakpuasan kerja (Ng & Sorensen, 2008).

Langeliers (2013) menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara perasaan dukungan atasan kepada aspek-aspek pada job burnout. Hubungan negatif antara dukungan atasan dan kelelahan emosional menunjukkan bahwa karyawan menganggap dirinya didukung oleh atasan mereka sehingga mereka semakin sedikit mengalami gejala kelelahan emosional. Guo, Guo, Yang, dan Sun (2015) menyatakan bahwa POS adalah prediktor paling kuat untuk menurunkan tingkat burnout pada aspek kelelahan emosional dan cynicism. Gallavan (2013) menyatakan bahwa prediktor paling kuat pada dua dimensi dalam job burnout yaitu depersonalisasi dan personal accomplished adalah POS. Kesimpulan dari penelitiannya adalah bahwa karyawan yang mengalami job burnout adalah karyawan dengan POS yang rendah. Karyawan dengan POS yang rendah mengalami tingkat job burnout yang tinggi.

Rhoades dan Eisenberger (2002) menyebutkan bahwa bentuk dari penghargaa n atas kontribusi karyawan dapat berupa pelatihan, gaji, pengakuan, promosi, keamanan dalam bekerja dan peran stressor. Mat, Piaralal, Piaralal, dan Bhatti (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pelatihan menjadi prediktor signifikan dari SRP (Service Recovery Performance). Pelatihan dalam bekerja dilihat sebagai investasi pada karyawan yang nantinya akan meningkatkan POS

(12)

(Wayne, dkk., dalam Rhoades & Eisenberger, 2002). Adanya jaminan bahwa organisasi ingin mempertahankan keanggotaan di masa depan memberikan indikas i yang kuat terhadap POS (Griffith, dkk., dalam Eisenberger & Rhoades, 2002).

Hasil-hasil penelitian lainnya memperlihatkan adanya faktor-faktor interna l yang dapat membentuk simptom-simptom negatif sehingga mempengaruhi kondisi psikologis. Hal ini sejalan dengan Hobfoll (1989) yang menyatakan bahwa faktor internal dari dalam pribadi individu dapat mempengaruhi job burnout dan kinerja seorang karyawan. Faktor-faktor internal dari dalam diri seseorang antara lain: faktor kepribadian, nilai-nilai dan sikap, efektivitas, pengendalian diri, harapan, masa kerja, dukungan sosial, struktur keluarga, dan stabilitas emosional (Dimit ros & Konstantionos, 2014). Karakteristik pribadi tersebut perlu dikembangkan untuk meminimialisir job burnout adalah dengan menciptakan kondisi psikologis yang positif pada individu.

Kondisi psikologis positif yang dapat dikembangkan adalah psychological capital (selanjutnya disingkat PsyCap). PsyCap tidak hanya dapat meminimal is ir job burnout, namun juga mampu menurunkan stres kerja karyawan (Laschinger & Fida, 2014). Stres kerja merupakan kondisi psikologis yang mendahului seorang karyawan mengalami job burnout (Banerji & Krishnan, 2000; Gill, Flaschner, & Shachar, 2006; Tsai & Chan, 2010). PsyCap merupakan sumber daya internal yang positif untuk mengurangi efek negatif dari stres kerja yang tidak mampu diminimalisir (Li, Kan, Liu, Shi, Wang, Yang, Wang, Wang, & Wu, 2015; Kan & Yu, 2015; Hao, Wu, Liu, Li, & Wu, 2015). Hal ini didukung oleh penelitian Wang, Chang, Fu, dan Wang (2012) yang mengatakan bahwa dengan sumber daya yang

(13)

terbatas, perusahaan dapat mengurangi tingkat stres karyawan dengan program peningkatan PsyCap karyawan.

Luthans, Youseff, dan Avolio (2007) mengungkapkan bahwa pentingnya individu memiliki kemampuan PsyCap yang berupa aspek psikologis: (1) memilik i kepercayaan diri untuk mengerahkan upaya yang diperlukan agar berhasil dalam tugas-tugas menantang (self-efficacy); (2) membuat atribusi positif tentang keberhasilan di masa kini dan masa mendatang (optimism); (3) tekun dalam mencapai tujuan dan, bila diperlukan, mengalihkan cara untuk mencapai tujuan dalam rangka meraih keberhasilan (hope); dan (4) ketika dilanda masalah dan kesulitan, individu dapat bertahan dan bangkit kembali bahkan melampaui keadaan semula untuk mencapai keberhasilan (resiliency).

Adanya PsyCap yang dimiliki oleh anggota polisi, diharapkan dapat menumbuhkan kondisi psikologis yang sejahtera sehingga dapat meminimalisir job burnout. Ding, Yang, Yang, Zhang, Qiu, dan He (2015) mengungkapkan bahwa seluruh dimensi PsyCap memiliki pengaruh negatif kepada ciri-ciri burnout yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalization, dan mengura ngi personal accomplishment. Self-efficacy pada dimensi PsyCap memiliki pengaruh positif dengan kelelahan emosional, semakin seorang individu memiliki self-efficacy yang tinggi, maka ia mampu mengatasi kelelahan emosional yang dirasakannya. Harry dan Coetzee (2013) menyatakan bahwa dengan memilik i resiliensi yang tinggi memungkinkan seseorang memberikan kontribusi yang positif dalam meminimalisir job burnout, tingkat professional efficacy, kebermaknaan hidup dan kemampuan beradaptasi dalam karier. Herbert (2011)

(14)

juga mengemukakan bahwa tingginya level PsyCap seorang individu akan memiliki level burnout yang rendah karena faktor-faktor pada PsyCap berpotensi untuk meminimalisir burnout.

Yavaz, Babakus, dan Karatepe (2012) mengungkapkan bahwa harapan (hope) memang berfungsi sebagai penangkal efek merugikan dari burnout terutama pada aspek emotional exhaustion dan disengagement. Harapan memainkan peranan penting dalam membimbing seorang individu dalam proses kognitif dan perilaku. Kecenderungan umum seseorang yang sering mengalami suasana hati yang positif dan dengan memiliki harapan yang tinggi maka berpotensi tidak mengala m i burnout. Karyawan dengan harapan yang rendah akan menganggap pekerjaan mereka merupakan sumber stres yang tinggi sehingga menyebabkan mereka mengalami burnout (Oliver, Mansell, & Jose, 2010; Spector, Zapf, Chen, & Frese, 2010).

Penelitian-penelitian diatas mengarahkan pada indikasi bahwa PsyCap berpotensi mampu menengahi hubungan POS dengan job burnout. Hal ini dapat dilakukan dengan dengan cara mengembangkan kemampuan PsyCap guna meminimalisir tingkat job burnout pada karyawan. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Hui, Cao, Lou, dan He (2014) yang menyatakan bahwa POS dapat meningkatkan empat dimensi psychological capital yang berdampak kepada menurunnya simptom-simptom negatif pada individu (Lin, 2013; Liu, Hu, Wang, Sui, & Ma, 2013). Pada penelitian kali ini, psychological capital berperan sebagai mediator dalam hubungan antara perceived organizational support dan job burnout.

(15)

Selain berperan secara langsung dalam mempengaruhi job burnout, penelit ia n Hui, dkk., (2014) yang menunjukkan bahwa POS mempengaruhi job burnout secara tidak langsung dengan peran mediator. MacKinnon, Coxe, dan Baraldi (2012) menyatakan bahwa hubungan mediasi terjadi ketika variabel bebas menyebabkan mediator yang kemudian menyebabkan variabel tergantung. Hal ini menjelaskan bahwa mediator merupakan variabel yang mentransmisikan pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung. Oleh karena itu, mediator merupakan variabel yang berada di urutan kausal antara dua variabel yaitu variabel bebas dan tergantung (MacKinnon, Fairchild, & Fritz, 2007).

Guna menentukan variabel mediator dalam penelitian ini, peneliti membangun logika berfikir dengan mendasarkan pemikiran pada hasil penelitian sebelumnya. Luthans, Norman, Avolio, dan Avey (2008) menyatakan bahwa PsyCap berperan sebagai mediasi hubungan antara POS dengan kinerja pada karyawan. Demikia n pula Lin (2013) menyatakan bahwa PsyCap menimbulkan dampak negatif yang signifikan pada job burnout, secara bersamaan maupun menjadi mediator yang signifikan pada hubungan antara POS dan job burnout. Hal senada disampaika n Herbert (2011) menyatakan bahwa dengan mengembangkan kemampuan PsyCap, seorang karyawan akan mampu meminimalisir tingkat job burnout. Penelitia n-penelitian di atas dapat dinyatakan bahwa PsyCap memiliki peran mediasi terhadap POS dan job burnout.

Selanjutnya dapat diuraikan bahwa POS memiliki hubungan dengan 4 dimens i pada PsyCap. Hubungan POS dengan dimensi self efficacy pada PsyCap didapatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eze (2014) yang menyatakan

(16)

bahwa perawat dengan POS yang rendah memiliki level job burnout yang tinggi. POS dan self efficacy berinteraksi untuk mempengaruhi tingkat burnout perawat. Interaksi tersebut sejalan dengan penelitian Aftab, Shah, dan Mehmood (2012) menyatakan bahwa self-efficacy kemudian berkorelasi negatif dengan kelelahan emosional dan depersonalization. Perawat yang memiliki POS dan self efficacy yang tinggi membuat sebagian besar mengalami job burnout yang lebih rendah.

James, Eisenberg, Ford, Buffardi, Steward, dan Adis (2015) menyataka n bahwa POS berkorelasi positif dengan kepuasan kerja, self efficacy, self esteem, keseimbangan antara kerja-keluarga dan berkorelasi negatif dengan stres kerja, job burnout dan work-family conflict. Hubungan tersebut diperkuat dengan penelit ia n Gunduz (2012) yang menyatakan bahwa self-efficacy kemudian mampu menjadi prediktor dimensi depersonalization dan personal accomplishment pada job burnout. Pola yang konsisten dari pimpinan dan kondisi kerja yang positif, akan membentuk POS yang positif sehingga karyawan akan melihat dukungan organisasi sehingga karyawan menjadi sejahtera dalam bekerja.

Pernyataan Gunduz (2012) diperkuat oleh Savas, Bozgeyik, dan Eser (2014) yang melakukan penelitian terhadap guru di Turki menyatakan bahwa guru dengan tingkat self-efficacy yang rendah kemudian mengalami job burnout. Penelitian ini sejalan yang diungkapkan oleh Skaalvik dan Skaalvik (2009) yang mengemukaka n bahwa kelelahan emosional dan depersonalization pada dimensi job burnout kemudian berhubungan negatif dengan self-efficacy seorang guru.

Karahan dan Start (2011) kemudian menemukan bahwa adanya hubunga n negatif antara self-efficacy guru dengan burnout pada para guru di sekolah swasta.

(17)

Hasilnya adalah guru dengan self-efficacy yang tinggi memiliki tingkat burnout yang rendah. Pada penelitian James, dkk. (2015), Savas (2014) dan Karahan, dkk. (2011) menunjukkan bahwa POS memiliki hubungan dengan job burnout dan berpotensi melalui PsyCap.

POS menjadi sumber daya positif yang dapat memprediksi berbagai sikap kerja dan hasil yang positif dalam bekerja. Harapan, resiliensi dan optimisme memilik i hubungan negatif dengan gejala depresi (Song, Du, & Li, 2010). Harapan (hope) memang berfungsi sebagai penangkal efek negatif dari dimensi burnout (exhaustion dan disengagement) dari karyawan bank pada posisi frontliner (Yavaz, dkk., 2012). Harapan dapat memberikan sumber daya yang positif untuk menurunkan kegelisahan sekaligus melindungi karyawan dari persepsi kerentanan emosional, kondisi-kondisi yang tidak dapat dikontrol dan ketidakpastian (Avey, Luthans, & Jensen, 2009). Yavaz, dkk. (2012) kemudian menyebutkan pula harapan memainkan peran penting dalam membimbing seseorang dalam proses kognitif dan perilaku karena dengan berharap, secara umum seseorang akan mengalami suasana hati yang positif pada tujuan yang ingin dicapai sehingga membuat ia mampu meminimalisir efek job burnout.

Bitmis (2015) menyatakan bahwa POS memiliki pengaruh positif terhadap optimisme, harapan dan self efficacy. Penelitian ini dilakukan pada perawat dengan kecenderungan POS yang tinggi dapat meningkatkan tingkat optimisme mereka karena mereka merasa bahwa organisasi mendukung mereka. Hal ini sejalan dengan Liu, Hu, Wang, Sui, dan Ma (2013) yang menyatakan bahwa POS yang dirasakan oleh karyawan berada pada level yang tinggi akan membuat karyawan

(18)

merasa percaya diri dan memiliki harapan untuk tujuan yang sedang mereka lakukan. POS dapat membantu karyawan untuk keluar dari kesulitan dan mempromosikan sikap optimis sehingga mampu menurunkan tingkat job burnout. Penelitian yang dilakukan oleh Beregui, Ruiz, Montero, Marcos, dan Gullo n (2013) pada atlet menemukan bahwa optimisme memiliki hubungan dengan tiga dimensi pada job burnout. Optimisme dapat menurunkan emotional exhaustion para atlet, depersonalization para atlet juga berkurang dan mampu meningka tka n personal accomplishment para atlet. Hojat, Vergare, Isenberg, Cohen, dan Spandorfer (2015) menyatakan bahwa empati, optimisme dan personal accomplishment merupakan elemen terkait dari kepribadian positif yang kemudian memberikan kontribusi positif pada emotional exhaustion dan depersonalization.

POS juga berkorelasi positif dengan dimensi resiliency pada PsyCap. Sihag dan Sarigwa (2015) menyatakan bahwa pengakuan dan apresiasi atas kontribus i karyawan akan meningkatkan kemampuan PsyCap dalam dirinya. Hal tersebut berupa hope yang tinggi, resilliency yang tinggi dan self-efficacy yang tinggi. Harry (2015) menunjukkan bahwa resiliensi yang rendah akan mengakibatkan sinis me pada orang lain. Sinisme terhadap orang lain dapat menurunkan kontrol diri dan komitmen dalam masa penyelesaian masalah, sehingga seseorang akan merasa dalam perasaan keterasingan dan ketidakberdayaan (De Beer, Pienaar, & Rothmann, 2013).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa PsyCap memiliki peran mediasi pada hubungan antara POS dan job burnout. Hanya saja, riset-riset tersebut biasanya menyasar subjek para perawat, konselor dan guru. Pada sisi lain kajian dengan

(19)

subjek para polisi masih sedikit dilakukan. Seperti disampaikan sebelumnya bahwa tugas polisi tidaklah ringan, sehingga potensi job burnout sangatlah tinggi yang kemudian mempengaruhi kualitas layanannya kepada masyarakat, oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk meminimalisir tingkat job burnout pada anggota polisi.

Kualitas layanan kepada masyarakat yang buruk akan menggangu pencapaian Grand Strategy Polri tahap ketiga 2016-2025 (Siregar, Bhakti, Samego, Yanuarti, Haripin, 2015), yaitu Strive for Excellent, terutama terkait isu membangun kemampuan pelayanan publik yang unggul, mewujudkan good government, best practice Polri, profesionalisme sumber daya manusia. Oleh karena itu, penelit i tertarik menelaah lebih lanjut terkait peran perceived organizational support terhadap job burnout dengan mempertimbangkan peran mediasi dari psychological capital seperti terlihat dalam kerangka penelitian sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian

Hipotesis

Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah psychological capital berperan sebagai mediator dalam hubungan antara perceived organizational support dengan job burnout.

Psychological Capital

Perceived Organizational

(20)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran psychological capital yang memediasi hubungan antara perceived organizational support terhadap job burnout.

Implikasi Penelitian

a. Implikasi teoritik

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada akademisi dan praktisi di bidang Psikologi Industri dan Organisasi mengena i pengembangan faktor-faktor yang mampu menurunkan tingkat job burnout pada karyawan. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan perceived organizational support, job burnout, dan psychologycal capital.

b. Implikasi praktis

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan memberikan gambaran mengena i tingkat job burnout, tingkat perceived organizational support dan tingkat psychological capital pada anggota kepolisian, khususnya yang bertugas pada fungsi reserse dan fungsi lalu lintas.

Referensi

Dokumen terkait

Supaya pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah yang telah ditetapkan dalam kurikulum 2013, maka sebaiknya kegiatan pembelajaran lebih

Kedua, pendekatan KUAL digunakan untuk mencapai tiga tujuan, yakni digunakan untuk memperoleh: (1) data tentang perilaku dan ajaran tokoh arif, (2) masukan pertimbangan

Jaringan distribusi tegangan menengah adalah jaringan tenaga listrik yang menyalurkan daya listrik dari gardu induk sub transmisi ke gardu distribusi.. Jaringan Distribusi

Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Nasution (1996: 73), bahwa: “tujuan wawancara adalah untuk mengetahui apa yang terkandung dalam.. pikiran dan hati orang

menjelaskan,meramalkan dan mengontrol gejalah yang ada untuk menuju keciri-ciri substansial dari alam (objek ilmu pengetahuan).. Jeuken memberi suatu pengertian

Dinding esophagus pada beberapa jenis ikan pada bagian buco-faring hingga bagian cardinal lambung terdapat organ lymphoid yang dikenal dengan Leidug yang menghasilkan sel-sel

Bacillariophyceae atau yang dikenal dengan nama Diatom adalah alga yang berasal dari filum Chysophyta. Kelas ini mendominasi jumlah fitoplankton di laut dan sering ditemukan

Pemberian Mind Map dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan berfikir siswa secara 17 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidika,