Analisis Terhadap Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang Berdasarkan Ketentuan UUK-PKPU (Tinjauan Kasus
Putusan Mahkamah Agung Nomor 355 K/Pdt.Sus PKPU/2013)
Diwa Ardhaza dan Parulian Aritonang
Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Kegiatan Ekonomi [email protected]
Abstrak
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan suatu cara yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan Hakim Niaga, dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utang, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utang tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang. Penulis menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier serta menggunakan pendekatan kualitatif. Syarat adanya hutang, syarat kreditur lain, dan sifat final and binding (final dan mengikat) pada putusan PKPU kerap tidak terpenuhi. Hal ini menjadi masalah dalam kepastian dan penegakan hukum.
Kata Kunci:
Penundaan kewajiban pembayaran utang, utang, kreditor lain, final and binding (final dan mengikat).
Abstract
Delay Debt Payment Obligation is a way provided by law, where in time to the creditors and debitors are given the opportunity to negotiate the debt payment, which means making a plan of payment of all or part of the debt, including restructuring the debt. This research uses normative legal research method with legislation approach. The author uses primary, secondary and tertiary legal materials using a qualitative approach. Requirement of the debt, requirement of the other creditors, and the final and binding properties on the verdict of PKPU often not met. This is a problem in certainty and law enforcement.
Postponement of debt payment obligations, debt, other creditors, final and binding.
Pendahuluan
Orang hidup memerlukan uang atau dana untuk membiayai keperluan hidupnya. Demikian juga halnya dengan suatu badan hukum. Uang diperlukan oleh badan hukum, terutama perusahaan, untuk membiayai kegiatan usahanya. Sebelum orang mengenal uang sebagai alat pembayaran, apabila seseorang memerlukan sesuatu barang yang tidak dimilikinya, maka orang itu akan mendapatkan dari alam (menambang, memburu, atau membuat dengan bahan yang diperoleh dari alam). Namun demikian, apabila barang apabila barang itu tidak dapat diperoleh dengan cara yang seperti itu, maka orang tersebut akan melakukan barter, yaitu menukarkan barang yang dimilikinya dengan barang yang diperlukannya dari orang lain. Setelah orang mengenal uang sebagai alat pembayaran, ia tidak lagi melakukan barter, namun berusaha untuk memperoleh uang sebagai alat pembayaran bagi barang yang dibutuhkannya.1
Dalam kehidupan, baik orang perorangan (natural person) maupun suatu badan hukum (legal entity) adakalanya tidak mempunyai uang yang cukup untuk membiayai keperluan atau kegiatannya. Untuk dapat mencukupi kekurangan uang tersebut, orang atau perusahaan antara lain dapat melakukannya dengan meminjam uang yang dibutuhkan kepada pihak lain. Dalam kehidupan memang tersedia sumber-sumber dana bagi seseorang atau suatu badan hukum yang ingin memperoleh pinjaman (borrowing, atau loan, atau credit). Dari sumber-sumber dana itulah kekurangan dana tersebut dapat diperoleh. Apabila sesorang atau suatu badan hukum memperoleh pinjaman dari pihak lain (orang lain atau badan hukum lain) pihak yang memperoleh pinjaman itu disebut debitor sedangkan pihak yang memberikan pinjaman itu disebut kreditor.2
Tidak selamanya hubungan antara debitor dengan kreditor berjalan dengan mulus, ada kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pembayaran oleh debitor terhadap pelunasan hutangnya kepada kreditor. Tentu akan menjadi masalah bila terjadi kegagalan dalam pemenuhan pembayaran utang oleh debitor, karena kreditor
1 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang No. 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan, (Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2010), hlm. 2.
mengharapkan piutangnya dapat dilunasi. Dalam terjadinya keadaan seperti berikut diperlukan suatu landasan hukum sebagai penyelesaiannya. Salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian utang piutang dan erat relevansinya dengan kebangkrutan dunia usaha adalah peraturan tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.3
Dengan adanya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diharapkan dapat memecahkan sebagian persoalan penyelesaian utang piutang perusahaan. Selanjutnya selain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang piutang tersebut perlu ada mekanisme penyelesaian sengketa yang adil, cepat, terbuka, dan efektif melalui suatu pengadilan khusus yaitu Pengadila Niaga di lingkungan Peradilan Umum. Tugas yang diberikan kepada pengadilan khusus ini adalah untuk menangani, memeriksa, dan memutuskan berbagai sengketa tertentu termasuk dibidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.4
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasan umumnya mengemukakan bahwa undang-undang tersebut didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain (secara eksplisit disebutkan dengan kata-kata “antara lain”, yang berarti tidak terbatas pada asas-asas yang disebutkan itu saja) adalah:5
1. Asas keseimbangan. Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu disatu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang oleh kreditor yang berititkad tidak baik.
2. Asas kelangsungan usaha. Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang berprospektif tetap dilangsungkan.
3 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, cet.1, (Jakarta: Forum
Sahabat, 2009), hlm. 3.
4 Ibid., hlm. 5.
3. Asas keadilan. Dalam kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan adalah untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.
4. Asas integrasi. Asas isntegrasi dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayarn Utang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formal dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Dalam hal seseorang atau badan hukum selaku debitor gagal dalam memenuhi kewajibannya yaitu melakukan pembayaran utang kepada kreditor maka dengan terpenuhinya syarat pailit yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu, bahwa Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.6
Utang berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, adalah “utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah, kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena telah diperjanjikan, percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase.7
Dengan dinyatakan pailitnya seseorang atau suatu badan hukum maka debitur tersebut kehilangan segala hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukan ke dalam harta pailit. Dengan hilangnya hak debitur untuk mengurus harta
6 Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayarn Utang, UU
No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443, Ps. 2(1).
pailit, maka secara langsung juga mempengaruhi kreditor-kreditor, pihak ketiga, dan perjanjian-perjanjian yang telah dilakukan debitor sebelum dinyatakan pailit.8
Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai kekayaan yang termasuk harta pailit, sejak hari putusan pailit diucapkan. Harus dicermati bahwa dengan diputuskannya menjadi debitor pailit, bukan berarti debitor kehilangan hak keperdataannya untuk dapat melakukan semua perbuatan hukum di bidang keperdataan. Debitor pailit hanya kehilangan hak keperdataannya untuk mengurus dan menguasai kekayaannya. Sementara itu untuk melakukan perbuatan keperdataan lainnya, misalnya untuk melangsungkan pernikahan dirinya, mengawinkan anaknya sebagai wali, membuat perjanjian nikah, menerima hibah (sekalipun hibah tersebut demi hukum menjadi bagian harta pailit), mengurus harta kekayaan pihak lain, menjadi kuasa pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama pemberi kuasa, debitor masih berwenang (masih memiliki kemampuan hukum) untuk melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan tersebut. Dengan demikian, sejak putusan pernyataan pailit diucapkan hanya harta kekayaan debitor pailit yang berada dibawah pengampuan (dibawah penguasaan dan pengurusan pihak lain), sedangkan debitor pailit itu sendiri tidak berada dibawah pengampuan seperti yang terjadi terhadap anak dibawah umur atau orang yang sakit jiwa yang dinyatakan dibawah pengampuan.9
Sebagai akibat dari putusan pailit, kekuasaan direksi suatu perseroan terbatas dan badan-badan hukum lainnya untuk mengelola perusahaan debitor atau badan hukum tersebut “terpasung”, sekalipun mereka tetap menjabatnya. Pengurus perusahaan debitor atau badan-badan hukum lainnya itu menjadi functus officio. Segala sesutunya diputus dan dilaksanakan oleh kurator. Mereka tidak memiliki kendali terhadap kurator, sebaliknya mereka harus mematuhi petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah kurator.10
Khusus dalam hal debitor perseroan terbatas, menurut penjelasan pasal 24 ayat (1) UUKPKPU, organ perseroan tersebut tetap berfungsi dengan ketentuan jika dalam pelaksanaannya menyebabkan berkurangnya harta pailit, maka pengeluaran uang
8 Rosinta Paulina Hutauruk, “Akibat Kepailitan PT Omraco Multi Artha Kepada Para
Kreditur,” (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta 1999), hlm. 3.
9 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hlm. 190. 10 Ibid., hlm. 191.
yang merupakan harta pailit, adalah kewenangan kurator. Artinya, pengurus perseroan hanya dapat melakukan tindakan hukum sepanjang menyangkut penerimaan pendapatan bagi perseroan tetapi dalam hal pengeluaran uang atas beban harta pailit kuratorlah yang berwenang memberikan keputusan untuk menyetujui pengeluaran tersebut. Dapat diberi pandangan bahwa untuk pelasksanaan pengeluaran yang telah diputuskan oleh kurator itu tetap dapat dilakukan oleh pengurus perseroan.11
Ada dua cara yang diberikan oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika debitor telah atau akan berada dalam keadaan insolven. Cara yang pertama adalah dengan mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang disingkat PKPU. PKPU diatur diatur dalam bab III, pasal 222 sampai dengan pasal 294 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tujuan pengajuan PKPU, menururt pasal 222 ayat (2), adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Menurut penjelasan pasal 222 ayat (2), yang dimaksud dengan “kreditor” adalah baik kreditor konkuren maupun kreditor yang didahulukan.12
Dapat diketahui bahwa pengajuan PKPU dapat dilakukan sebelum pengajuan permohonan pailit kepada debitur atau pada waktu permohonan pernyataan pailit sedang diperiksa oleh Pengadilan Niaga. Apabila PKPU diajukan sebelum pengajuan permohonan pailit, maka terhadap debitor tidak bisa diajukan permohonan pailit. Sementara itu, apabila PKPU diajukan ditengah-tengah berlangsungnya pemeriksaan Pengadilan Niaga terhadap permohonan pernyataan pailit, pemeriksaan tersebut harus dihentikan.13
Cara yang kedua dapat ditempuh oleh debitor agar harta kekayaannya terhindar dari likuidasi adalah mengadakan perdamaian antara debitor dengan para kreditornya setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan. Perdamaian itu memang tidak dapat menghindarkan kepailitan yang sudah terjadi, tetapi apabila perdamaian itu tercapai maka kepailitan debitor yang telah diputuskan oleh pengadilan niaga itu menjadi berakhir. Dengan kata lain, dengan cara ini debitor dapat menghindarkan diri dari
11 Ibid.
12 Ibid., hlm. 327. 13 Ibid.
pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya sekalipun kepailitan sudah diputuskan oleh Pengadilan. Perdamaian tersebut dapat mengakhiri kepailitan debitor hanya apabila dibicarakan bersama dan melibatkan semua kreditor. Apabila perdamaian hanya diajukan dan dirundingkan dengan hanya salah satu atau beberapa kreditor, tidak dapat mengakhiri kepailitan debitor.14
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan suatu istilah yang selalu dikaitkan dengan masalah kepailitan. Istilah ini juga pada umumnya sering dihubungkan dengan masalah insolvensi atau keadaan tidak mampu membayar dari debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih seketika. PKPU harus ditetapkan oleh Hakim Pengadilan Niaga atas permohonan dari Debitur dan atau kreditornya,15
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai PKPU sebagai salah satu cara yang dapat diajukan debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih ataupun juga dapat diajukan oleh kreditor apabila memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Kemudian PKPU merupakan suatu cara agar harta kekayaan debitor terhindar dari likuidasi. Namun masih terdapat ketidakpastian hukum dalam PKPU, yaitu bahwa PKPU tidak berjalan sesuai dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayarn Utang. Keputusan PKPU merupakan keputusan yang bersifat final dan mengikat
(final and binding) sebagaimana disebutkan oleh pasal 235 ayat (1) Undang-Undang
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.16 Namun dalam praktiknya terhadap putusan PKPU yang
bersifat final dan mengikat (final and binding) masih terdapat kenyataan bahwa terjadi upaya hukum terhadap putusan tersebut. Oleh karena itu, kepastian hukum terhadap putusan PKPU sangat penting ditegakan demi keadilan bagi para pihak yang terlibat dalam PKPU yaitu baik debitor maupun kreditor.
14 Ibid., hlm. 328.
15 Rosinta Paulina Hutauruk, Op.Cit., hlm. 149. 16 Indonesia, Op.Cit., Ps. 235 (1).
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas, yaitu sebagai berikut :
1. Apakah syarat adanya hutang dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 355 K/Pdt.Sus-PKPU/2013 sudah sesuai dengan syarat adanya hutang berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2. Apakah syarat cessie berdasarkan ketentuan KUHPerdata pada putusan Mahkamah Agung Nomor 355 K/Pdt.Sus-PKPU/2013 terpenuhi dan dapat dijadikan dasar adanya kreditur lain sebagai salah satu syarat PKPU?
3. Apakah sifat final and binding (final dan mengikat) pada putusan Mahkamah Agung Nomor 355 K/Pdt.Sus-PKPU/2013 sudah sesuai dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
Tinjauan Teoritis
1. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yaitu fasilitas yang diberikan oleh UUK-PKPU bagi debitor yang tidak dapat, atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih untuk dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Hal ini juga berlaku sebagai hak kreditor terhadap debitornya.17
2. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan.18
3. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau dan bila tidak dipenuhi maka memberikan hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.19
17 Indonesia, Op.Cit., Pasal 222. 18 Ibid., Pasal 1 butir 2.
4. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.20
5. UUK-PKPU adalah singkatan dari Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang merupakan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 sebagai hasil dari revisi pemerintah atas UUK dan didaulat menjadi undang-undang kepailitan yang masih berlaku di Indonesia sampai saat ini. 6. Restrukturisasi Utang adalah Pengaturan kembali pembayaran utang dengan
syarat yang lebih lunak atau lebih ringan dibandingkan dengan syarat pembayaran utang sebelum dilakukannya proses restrukturisasi utang karena adanya konsesi khusus yang diberikan kreditur kepada debitur.21
7. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.22
8. Kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit dibawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan UUK-PKPU.23
9. Peraturan Kepailitan atau Faillissements Verordening atau secara lengkap
Faillissements Verordening Stb 1905 No.217 jo Stb 1906 No.348 adalah peraturan
kepailitan yang berlaku di Hindia Belanda bentukan pemerintah kolonial yang mulai berlaku pada tanggal 1 november 1906. Peraturan kepailitan ini hanya berlaku bagi orang yang termasuk dalam golongan Eropa di Hindia Belanda.
Faillissements Verordening menjadi cikal bakal undang-undang kepailitan yang
berlaku di Indonesia pada masa kini.
10. UUK merupakan singkatan dari undang Kepailitan, yakni Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 yang merupakan undang- undang kepailitan yang berlaku di Indonesia yang menggantikan Faillissements
20 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 19. 21 Ibid., hlm 381.
22 Indonesia, Op.Cit., Pasa1 Butir 1. 23 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 19.
Verordening yang dianggap sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan rakyat
Indonesia akan peraturan kepailitan yang sesuai dengan perkembangan jaman. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan berbentuk penelitian hukum yuridis-normatif yang bertujuan untuk meneliti kepastian hukum berdasarkan studi kepustakaan (dokumen atau penelitian kepustakaan) dan hukum positif yang ada.
Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah tipe penelitiaan deskriptif.24Dimana peneliti dalam penelitiannya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, akurat, serta secara apa adanya sesuai dengan permasalahan yaitu terbukanya upaya hukum terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang. Sehingga analisis data yang digunakan bersifat deskriptif analitis yang artinya analisa data untuk penelitian berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum guna diaplikasikan untuk menjelaskan seperangkat data, atau menjelaskan hubungan seperangkat data dengan data lainnya.25
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan atau penelitian normatif, yaitu cara menghimpun data kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, seperti : 26
1. Bahan hukum primer, yang meliputi perundang-undangan serta yurisprudensi merupakan landasan hukum utama yang akan digunakan untuk membahas masalah yang diteliti. Bahan primer yang digunakan antara lain adalah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayarn Utang, serta perundang-undangan terkait.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu penelitian bahan-bahan hukum yang akan memberi referensi atas bahan hukum primer. Bahan sekunder yang digunakan adalah buku-buku, tesis, karya ilmiah, dan bahan hukum pendukung lainnya.
24 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
1998). Hlm. 36.
25 Ibid., hlm. 38.
26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1998),
3. Bahan hukum tersier adalah penelitian bahan hukum yang akan memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan berupa ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan lain-lain.
Terkait dengan penelitian ini, peneliti memanfaatkan alat pengumpul data yang berupa studi buku atau literatur dan undang-undang, terutama yang berhubungan dengan penundaan kewajiban pembayaran utang.
Peneliti menggunakan metode analisis data yang dilakukan secara kualitatif. Data yang didapatkan untuk penelitian ini akan dianalisis secara mendalam, holistik, dan komprehensif. Kualitatif bermaksud untuk menyatakan kebenaran penelitian tersebut. Pendekatan secara kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis.27
Hasil Penelitian
Laporan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi Keputusan PKPU yang merupakan keputusan yang bersifat final dan mengikat (final and binding) dalam prakteknya dengan menggunakan studi kasus Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 355 K/Pdt.Sus-PKPU/2013.
Pembahasan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan suatu cara yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan Hakim Niaga, dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utang, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utang tersebut. Dengan demikian, penundaan kewajiban pembayaran utang ini sebenarnya sejenis moratorium, dalam hal ini legal moratorium.28
Debitur yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya dalam kesulitan sehingga
27 Bambang Sunggono, Op.Cit., hlm. 41.
28 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal.101.
kemungkinan besar akan berhenti membayar utangnya, dapat memilih beberapa langkah dalam menyelesaikan utangnya tersebut. 29 Beberapa upaya dimaksud antara lain sebagai berikut:30
a. Mengadakan perdamaian di luar pengadilan dengan para kreditornya;
b. Mengadakan perdamaian di dalam pengadilan apabila debitor digugat secara perdata;
c. Mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU); d. Mengajukan perdamaian dalam PKPU;
e. Mengajukan permohonan agar dirinya dinyatakan pailit oleh pengadilan; f. Mengajukan perdamaian dalam kepailitan.
PKPU sendiri terbagi dalam 2 (dua) tahap, yaitu sebagai berikut: 1. Penundaan Sementara Kewajiban Pembayaran Utang
Ini merupakan tahap pertama dari proses PKPU. Sebagaimana diatur dalam UUKPKPU, apabila Debitor mengajukan permohonan PKPU, sejauh syarat-syarat administrasi sudah dipenuhi, Pengadilan harus segera mengabulkannya paling lambat tiga hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan.31Sedangkan dalam hal permohonan PKPU diajukan oleh Kreditor, Pengadilan harus segera mengabulkan permohonan PKPU selambat-lambatnya dua puluh hari sejak didaftarkannya permohonan. Pengadilan kemudian harus menunjuk hakim pengawas serta mengangkat satu atau lebih pengurus.32Putusan Pengadilan Niaga tentang PKPU sementara ini berlaku selama maksimum empat puluh lima hari dan setelah itu harus diputuskan apakah PKPU tersebut dapat dilanjutkan menjadi suatu PKPU secara tetap.
2. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Secara Tetap
Setelah ditetapkan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang, maka Pengadilan Niaga melalui pengurus wajib memanggil debitor dan kreditor yang bersangkutan untuk mrnghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lambat
29 Larassatya, “Restrukturisasi Utang dengan pola konversi utang menjadi saham (debt to
equity swap): studi kasus PKPU PT Argo Pantes Tbk dan PT Sekar Laut Tbk,” (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta 2009), hlm. 15.
30 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, (Bandung: PT Alumni, 2006), hal. 202.
31 Indonesia, Op. Cit., Ps. 225 ayat (2). 32 Ibid., Ps. 225 ayat (3).
pada hari ke empat puluh lima terhitung sejak ditetapkannya putusan PKPU sementara. Dalam sidang tersebut akan diputuskan apakah dapat diberikan PKPU secara tetap dengan maksud untuk memungkinkan debitor, pengurus, dan para kreditor untuk mempertimbangkan dan menyetujui perdamaian. Adapun PKPU secara tetap dapat disetujui apabila:33
a. Mendapatkan persetujuan lebih dari setengah jumlah kreditor kongkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili sedikitnya 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut; dan
b. Mendapatkan persetujuan lebih dari setengah jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, yang hadir dan mewakili sedikitnya 2/3 bagian dari seluruh tagihan Kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
Dalam hal syarat-syarat diatas terpenuhi, maka Pengadilan Niaga akan menetapkan PKPU tetap berikut perpanjangannya yang tidak boleh melebihi dua ratus tujuh puluh hari setelah putusan PKPU sementara diucapkan.
Perjanjian utang-piutang adalah perjanjian pinjam meminjam baik berupa uang maupun berupa barang. Utang menurut Pasal 1131 KUHPer adalah “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Utang berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah “kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor”. Perjanjian utang piutang tersebut dapat dilakukan secara tertulis yaitu dengan surat yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak, ataupun secara lisan.34
Perjanjian utang piutang terjadi sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak.
33 Ibid., Ps. 229 ayat (1).
34 Direktorat Jendral Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman,
Penyuluhan Hukum ke V Tentang Utang-Piutang dan Jaminannya, (Jakarta : Pengayoman, 1982), hal.7-8.
Sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, maka pihak kreditur wajib menyerahkan uang atau barang yang telah disetujui untuk dipinjamkan, sedang pihak debitur wajib mengembalikan atau membayar kembali hutangnya dalam waktu yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak.
Pada umumnya obyek perjanjian utang piutang adalah berupa uang, sedang perjanjian utang piutang barang biasanya sering terjadi dalam kehidupan di desa-desa, misalnya pinjam meminjam beras, jagung, atau hasil ladang lainnya.
Perjanjian utang piutang dapat dilakukan antara orang dengan orang atau antara seseorang dengan suatu badan/ lembaga yang berbentuk badan hukum misalnya Bank, Koperasi Simpan Pinjam, atau dapat juga dilakukan antara suatu badan lembaga dengan badan/lembaga lainnya misalnya antara suatu Perseroan Terbatas atau Yayasan dengan suatu Bank.
Perjanjian utang piutang antara seseorang dengan suatu Bank misalnya, dibuat secara tertulis yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak dan disahkan atau dilegalisasikan dihadapan Pejabat/ Instansi yang berwenang misalnya Pengadilan, Notaris, atau Camat.
Bagi mereka yang tidak dapat menulis (buta huruf), cukup dengan membubuhkan cap jempol pada formulir perjanjian utang piutang yang telah disediakan oleh Bank, dan disahkan atau dilegalisasikan dihadapan Pejabat/ Instansi yang berwenang diatas. Apabila orang yang harus membayar kembali utangnya tidak mau melakukan kewajibannya itu maka pihak yang meminjamkan uangnya dapat mengajukam suatu gugatan kepada Pengadilan Negri ditempat orang berutang itu bertempat tinggal. Kedua belah pihak kemudian akan dipanggil dan diperiksa mengenai kebenaran hal-hal yang dikemukakan oleh penggugat. Dalam pemeriksaan di Pengadilan Negrti kedua belah pihak dapat mengajukan surat-surat bukti yang membuktikan adanya utang piutang tersebut, pula dapat diajukan saksi-saksi yang mengetahui atau mendengar tentang adanya utang piutang itu.35
Namun dalam penulisan ini akan dibahas mengenai perkara utang piutang yang diselesaikan di Pengadilan Niaga dalam halnya penyelesaian perkara utang piutang dengan cara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diadakan upaya perdamaian terhadap perkara utang piutang, dan apabila perdamaian diterima maka dapat dilakukan restrukturisasi terhadap utang
piutang yang diperkarakan.
Dalam ilmu hukum dikenal dua doktrin pengalihan hak milik, yaitu teori kausal dan abstrak. Menurut teori kausal, keabsahan suatu penyerahan hak milik tergantung dari sah atau tidaknya perjanjian obligatoir yang mendasarinya. Jika perjanjian obligatoirnya sah maka penyerahan hak miliknya juga sah, artinya jika perjanjian jual-beli piutangnya sah, maka cessie juga sah dan sebaliknya. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem kausal, hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan antara lain bahwa hak milik diperoleh dengan cara penyerahan (misal cessie) berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik dan dilakukan oleh orang yang berwenang untuk mengalihkan hak milik. Sedangkan teori yang kedua adalah teori abstrak, dimana sah atau tidaknya pengalihan hak tidak tergantung pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoirnya.
Cessie adalah suatu cara pengalihan piutang atas nama yang diatur dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengalihan ini terjadi atas dasar suatu peristiwa perdata, seperti perjanjian jual beli antara kreditur lama dan dengan calon kreditur baru.
Dalam cessie utang pituang yang lama tidak hapus, hanya beralih kepada pihak ketiga sebagai kreditur baru. Dalam cessie debitur adalah pihak yang pasif, dia hanya diberitahukan tentang adanya penggantian kreditor, sehingga dia harus membayar kepada kreditor baru.36
Cessie diatur dalam Buku II, Pasal 613 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyebutkan bahwa penyerahan piutang atas nama dan kebendaan bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat akta otentik atau akta dibawah tangan, dengan mana hak-hak kebendaan tersebut dilimpahkan kepada orang lain. Selanjutnya pada pasal 613 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa supaya penyerahan piutang dari kreditor lama kepada kreditor baru mempunyai akibat hukum kepada debitor, maka penyerahan tersebut harus diberitahukan kepada debitor, atau debitor secara tertulis telah menyetujuinya atau mengakuinya. Piutang atas nama adalah piutang yang pembayarannya dilakukan oleh pihak yang namanya tertulis dalam surat piutang tersebut dalam hal ini kreditor lama. Akan tetapi dengan adanya
36 Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrograsi, Novasi dan Cessie, (Jakarta: Kencana,
pemberitahuan tentang pengalihan piutang atas nama kepada debitor, maka debitor terikat untuk membayar kepada kreditor baru dan bukan kepada kreditor lama.37 Kemudian Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa hak milik atas benda yang dijual tidaklah beralih kepada pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613, dan 616 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Selanjutnya yang menjadi syarat sahnya pengalihan hak milik berdasarkan ketentuan Pasal 854 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah, cessie sebagai suatu pengalihan piutang atas nama harus dilakukan oleh orang uang berwenang, yaitu pemilik.
Para pihak yang terlibat dalam cessie mendapat istilah teknis tersendiri. Kreditur (semula) yang mengoperkan hak tagihannya (tagihan atas nama) disebut cedent, sedang orang yang menerima penyerahan hak tagihan tersebut dinamakan cessionaris, ia adalah yang menggantikan hak-hak kreditur lama atas tagihan yang diterima olehnya. Debitur dalam cessie tidak berganti disebut cessus.
Kesimpulan
Pertama utang sebagaimana merupakan syarat permohonan PKPU tidak terpenuhi, hal ini didasari pada perjanjian yang tertuang dalam Pasal 7.9 Schedule 2 jo. Pasal 10.3 Kontrak, bahwa Pemohon PKPU/Pemohon kasasi hanya dapat mengajukan tagihan kepada Termohon PKPU/Termohon PKPU setelah Pemohon PKPU/Pemohon Kasasi selesai melakukan pekerjaan dan pekerjaan tersebut diserahkan kepada Termohon PKPU/Termohon Kasasi. Penyerahan pekerjaan tersebut dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima Pekrjaan yang juga harus dijadikan lampiran dalam Invoice. Pemohon PKU/Pemohon kasasi memang seharusnya tidak mendapatkan pembayaran karena belum ada kewajiban membayar yang melekat pada Termohon PKPU/Termohon Kasasi. Sehingga dapat diartikan bahwa tidak ada hutang dalam perkara ini karena telah terjadi wanprestasi dan memang belum menjadi hak Pemohon PKPU/Pemohon Kasasi untuk mendapatkan pembayaran karena belum selesai melakukan pekerjaan yang diperjanjikan.
Kedua syarat cessie pada kasus ini juga tidak terpenuhi karena cessie merupakan pengalihan piutang namun dalam kasus ini sebenarnya tidak ada hutang piutang sehingga syarat cessie tidak terpenuhi. Selanjutnya pada pasal 613 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa supaya penyerahan piutang dari kreditor lama kepada kreditor baru mempunyai akibat hukum kepada debitor, maka penyerahan tersebut harus diberitahukan kepada debitor, atau debitor secara tertulis telah menyetujuinya atau mengakuinya, namun dalam kasus ini tidak ada pemberitahuan kepada debitur akan adanya cessie.
Ketiga keputusan PKPU merupakan keputusan yang bersifat final dan mengikat (final
and binding) sebagaimana disebutkan oleh pasal 235 ayat (1) Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, namun dalam kasus ini sifat tersebut juga tidak terpenuhi, terbukti dengan berlanjutnya permohonan PKPU ke tahapan Mahkamah Agung.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peniliti memiliki saran yang disampaikan untuk melengkapi hasil penelitian, yaitu perlu adanya revisi Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, khususnya terletak pada Pasal 235 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, yang sebaiknya dilakukan revisi yaitu dengan menambahkan bahwa sifat final and binding (final dan mengikat) pada putusan PKPU tidak hanya terletak pada putusan PKPU diterima, namun sifat tersebut juga terletak bagi putusan PKPU yang ditolak. Dengan adanya penjabaran lebih lanjut mengenai sifat final and binding (final dan mengikat) maka penulis memiliki harapan bahwa keadilan dan kepastian hukum pada putusan PKPU dapat terlaksana.
Daftar Referensi A. Buku:
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 2002. Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Jakarta: RajaGrafindo Perkasa.
Bambang Sunggono. 1998. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Bernadette Waluyo. 1999. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Bandung: Mandar Maju.
Direktorat Jendral Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, 1982.
Penyuluhan Hukum ke V Tentang Utang-Piutang dan Jaminannya, Jakarta :
Pengayoman.
Erwin Mangatas Malau. 2001. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Majalah Hukum Tahun XVI, Varia Peradilan IKAHI No.184.
Fred BG Tumbuan, 1998. Ciri-ciri Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Sebagaimana Dimaksud Dalam Undang-undang Tentang Kepailitan, Makalah
disampaikan pada seminar tentang Perpu No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan.
Gunadi, Restrukturisasi. 2001. Perusahaan Dalam Berbagai Bentuk dan
Pemajakannya, (Jakarta: Salemba Empat, 2001)
Gunawan Widjaja. 2009. Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, cet.1, Jakarta: Forum Sahabat.
Hermansyah, 2008. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Penerbit Kencana J. Satrio, Cessie. 1999. Subrogratie, Novatie, & Pencampuran Hutang Bandung:
Alumni.
Jae K. Shim dan Joel G. Siegel. 1994. CFO : Tools for executives, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Johanes Ibrahim, Cross Default & Cross Collateral. 2004. Sebagai Upaya
Penyelesaian Kredit Macet, Bandung: PT Refika Aditama.
Lilik Mulyadi. 2010. Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Bandung: Alumni.
Man S. Sastrawidjaja. 2006. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Bandung: PT Alumni, 2006
Munir Fuady. 2002. Hukum Pailit, Bandung: Citra Aditya Bakti.
___________, Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktik. 1999. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999.
Peter Salim dan Yani Salim. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press.
Pustaka Utama.
Rahayu Hartini. 2007. Hukum Kepailitan, Malang: UMM Press
Soerjono Soekanto. 2010. Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, Jakarta: UI Press. Suharnoko dan Endah Hartati. 2005. Doktrin Subrograsi, Novasi dan Cessie, Jakarta:
Kencana.
Sutan Remy Sjahdeini. 2010. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang No. 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Tjiptono Darmadji. 2001. Restrukturisasi: Memulihkan dan Mengakselerasi Ekonomi
Nasional, Jakarta: Grasindo.
Zainal Asikin. 2002. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Perkasa.
B. Skripsi / Tesis/ Disertasi:
Hutauruk Rosinta Paulina. “Akibat Kepailitan PT Omraco Multi Artha Kepada Para
Kreditur,” Skripsi Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1999.
Larassatya, “Restrukturisasi Utang dengan pola konversi utang menjadi saham (debt
to equity swap): studi kasus PKPU PT Argo Pantes Tbk dan PT Sekar Laut Tbk,”
Skripsi Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 2009.
C. Peraturan Perundang-Undangan:
Republik Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayarn Utang. UU No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No.
4443.
Wetboek, Staasblad Tahun 1947 Nomor 23. D. Internet:
Yunus, Ahsan. “Analisis Yuridis Sifat Final dan Mengikat (Binding) Putusan
Mahkamah Konstitusi”, http://ahsanyunus.wordpress.com, diunduh pada tanggal 16 Maret 2014.
http://www.bi.go.id/, diunduh pada tanggal 16 Maret 2014.
http://www.bni.co.id/id-id/bankingservice/businessbanking/services/garansibank.aspx , diunduh 27 Juni 2014.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f9f1ea187343/ada-calon-tak-paham-iius-curia-novit-I, diunduh 27 Juni 2014
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4eba3e97b3807/bahasa-hukum-onvoldoende-gemotiveerd, diunduh 27 Juni 2014.
http://www.woordenboek.ws/ms/kamus-belanda-bahasa_inggeris/kennisgeving, diunduh 27 Juni 2014.