• Tidak ada hasil yang ditemukan

SK 1 Medikolegal -Mata Diobati Menjadi Buta- (WrapUp)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SK 1 Medikolegal -Mata Diobati Menjadi Buta- (WrapUp)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Mata Diobati Menjadi Buta

Tidak terima matanya menjadi buta, Haslinda bersama tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan mendatangi ke Polda Metro Jaya untuk melaporkan dugaan malpraktek dokter, Waldensius Girsang di Rumah Sakit Jakarta Eyes Center.

Haslinda menuturkan, pada 6 Maret lalu, kemerahan pada mata, kabur penglihatan, kepekaan terhadap cahaya (ketakutan dipotret), gelap, mata sakit sudah disampaikan ke dr. Fikri Umar Purba yang kemudian didiagnosis sebagai penyakit uveitis tuberkulosa. Namun, beberapa hari kemudian setelah ditangani oleh dr. Purba, mata Haslinda tidak kembali berfungsi dengan normal atau menjadi buta.

Sementara itu, dr. Purba yang ditemui di Rumah Sakit Jakarta Eyes Center membantah telah melakukan malpraktek terhadap Haslinda.

Dalam pengaduannya ke ruang pengaduan Polda Metro Jaya, Haslinda warga Kayu Mas, Pulogadung, Jakarta Timur ini tidak menyebutkan tuntutan materil dan inmateril kepada dr. Purba dan Rumah Sakit Jakarta Eyes Center sebagai pihak yang diduga melakukan malpraktek.

Pengacara pasien juga menuliskan dasar gugatannya berdasarkan : 1. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 4. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

5. UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran 6. UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit 7. Kode Etik Kedokteran

(2)

Langkah 1

Kata-kata Sulit

1. Malpraktek : tindakan medis buruk yang dilakukan tenaga kesehatan dalam berhubungan dengan pasien.

Pertanyaan

1. Apa definisi malpraktek?

Jawab : Malpraktek adalah tindakan penanganan yang tidak sesuai dengan standar

yang berlaku, melakukan suatu tindakan yang bukan keahliannya, serta menimbulkan bahaya bagi pasien.

2. Kepada siapakah pelaporan pertama malpraktek?

Jawab : Polisi

Hipotesis

“Seorang dokter diduga melakukan malpraktek karena telah mengakibatkan pasien yang ditanganinya mengalami kebutaan. Diduga akibat kesalahan penanganan pada saat pemberian pengobatan beberapa hari yang lalu.”

Sasaran Belajar

1. Memahami & Menjelaskan tentang Malpraktek 2. Memahami & Menjelaskan tentang Informed Consent

3. Memahami & Menjelaskan Alur hukum bila seorang dokter melakukan malpraktek 4. Memahami & Menjelaskan tentang Malpraktek dalam Syariat Islam

(3)

Langkah 2

(4)

Langkah 3 – “Pembahasan Sasaran Belajar”

1. Memahami & Menjelaskan tentang Malpraktek Definisi

Malpraktek atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk dan ”practice” yang berarti suatu tindakan atau praktek, dengan demikian malpraktek adalah suatu tindakan medis buruk yang dilakukan dokter/tenaga kesehatan dalam hubungannya dengan pasien. Definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk

mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,

California, 1956).

Malpraktek adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter/tenaga kesehatan pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi dan kondisi yang sama (Berkhouwer & Vorsman, 1950).

Menurut Hoekema, 1981 malpraktek adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan pekerjaan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama, dan masih banyak lagi definisi tentang malparaktik yang telah dipublikasikan.

Pengertian malpraktek medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves

the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar

pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.

Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk

pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, "penahanan" pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll. Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih ke arah deliberate violation (berkaitan dengan motivasi) ketimbang hanya berupa error (berkaitan dengan informasi).

(5)

Klasifikasi

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance :  Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak

tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai.

 Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.

 Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk .

Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu:

1. Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu.

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.

3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”

Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktek yang buruk atau tidak sesuai dengan standar profesi yang telah ditetapkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat dipilah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu malpraktek medik (medical malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktek etik (ethical malpractice) dan malpraktek yuridik (yuridical malpractice). Sedangkan malpraktek yuridik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administrasi Negara (administrative malpractice).

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat

(6)

bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.

Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yaitu :

a. Criminal Malpractice

Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :

 Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.

 Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat

(7)

surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP). Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent. Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

b. Civil Malpractice

Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:

 Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.

 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.

 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.

 Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

c. Administrative Malpractice

Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice, disaat tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Izin Kerja, Surat Izin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

Aspek hukum Malpraktek di Indonesia Peraturan non Hukum

Diatur oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI semula merupakan peraturan non hukum karena peraturan ini telah menjadi petunjuk perilaku atau etika seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam KODEKI diatur tentang kewajiban dokter terhadap pasien yang dicantumkan di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 14, yaitu:

Pasal 10 KODEKI: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi makhluk insani”

Pasal 11 KODEKI: “Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untu kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan

(8)

suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam bidang penyakit tersebut”

Pasal 13 KODEKI: “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia”

Pasal 14 KODEKI: “ Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan pertolongan darurat terhadap pasien yang membutuhkannya, padahal ia mampu dapat terkena sasaran tuntutan malpraktek juga”

Peraturan Hukum

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pasal-pasal didalam KUHP yang terkait dengan malpraktik medik, yaitu: a. Pasal 263 dan 267 KUHP (Membuat Surat Keterangan Palsu)

b. Pasal 290 KUHP (Melakukan Pelanggaran Kesopanan)

c. Pasal 299 KUHP (Mengobati seorang wanita dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa kandungannya dapat digugurkan)

d. Pasal 322 KUHP (Membuka Rahasia) e. Pasal 304 KUHP (Pembiaran / Penelantaran)

f. Pasal 306 KUHP (Apabila tindakan penelantaran tersebut mengakibatkan kematian)

g. Pasal 322 KUHP (Membocorkan rahasia profesi)

h. Pasal 333 KUHP (Dengan sengaja dan tanpa hak telah merampas kemerdekaan seseorang)

i. Pasal 344 KUHP (Euthanasia)

j. Pasal 347 KUHP (Sengaja melakukan abortus tanpa persetujuan wanita yang bersangkutan)

k. Pasal 348 KUHP (Sengaja melakukan abortus dengan persetujuan)

l. Pasal 349 KUHP (Membantu atau melakukan tindakan abortus provocatus criminalis)

m. Pasal 359 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan kematian) n. Pasal 360 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan luka / cacat) o. Pasal 386 KUHP (Memberi atau menjual obat palsu)

p. Pasal 531 KUHP (Tidak memberi pertolongan pada orang yang berada dalam keadaan bahaya)

Pemberlakukan hukum pidana dalam kasus-kasus kelalaian medis yang terjadi di dalam penyelenggaraan praktek kedokteran haruslah sebagai ultimatum remidium artinya hukum pidana sebagai alternatif terakhir apabila upaya-upaya non litigasi sudah tidak bisa lagi berhasil untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Selain iitu juga karena praktek kedokteran merupakan profesi yang sangat mulia dan luhur yang diperlukan oleh banyak orang dan praktek kedokteran dijamin pelaksanaannya oleh undang-undang.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pasal-pasal didalam KUHPerdata yang terkait dengan malpraktek medik, yaitu: a. Pasal 1239 KUH Perdata (Melakukan wanprestasi atau cidera janji)

(9)

b. Pasal 1365 KUH Perdata(Melakukan perbuatan melawan hukum)

c. Pasal 1366 KUH Perdata (Melakukan kelalaian sehingga menimbulkan kerugian) d. Pasal 1367 KUH Perdata (Bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh

bawahannya)

3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan

a. Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan)

b. Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan tindakan medis tidak sesuai dengan Standart Operational Procedure pada ibu hamil)

c. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersil)

d. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Tanpa keahlian sengaja melakukan transplantasi, implan alat kesehatan, bedah plastik)

e. Pasal 81 ayat 2a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja mengambil organ tanpa memperhatikan kesehatan dan persetujuan pendonor / ahli waris) 4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran

a. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Pengaturan praktek kedokteran bertujuan untuk, Pertama memberikan perlindungan kepada pasien, Kedua mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan Ketiga memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi)

b. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan kepada setiap dokter dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan haruslah mempunyai standar pelayanan. Standar pelayanan disini adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran)

c. Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan setiap dokter harus mempunyai surat registrasi yang ditandatangani oleh konsil kedokteran. Sedangkan surat izin praktek kedokteran ditandatangani oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktek kedokteran atau dokter gigi dilaksanakan. Kedua persyaratan tersebut menjadi suatu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang dokter. Apabila dokter tidak mempunyai surat registrasi dan surat izin praktek, maka selain dokter tersebut tidak sah, masyarakat juga tidak berani di diagnosa oleh dokter tersebut karena takut terjadi malpraktek)

5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan

a. Pasal 32 (Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena kesehatan atau kelalaian

(10)

Dalam perikatan sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata dikenal adanya dua macam perjanjian, yaitu:

 Inspanningverbintenis: perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan

 Resultaatbintennis: perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan result, yaitu sesuatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

Investigasi

Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukan kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau kalalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 359 KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa lata dari dokter atau dokter gigi.

Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur : 1) Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;

2) Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan

3) Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360, KUHP. Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :

1) Adanya unsur kelalaian (culpa). 2) Adanya wujud perbuatan tertentu .

3) Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.

4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu. Tiga tingkatan culpa:

a. Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (gross fault or neglect)

b. Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)

c. Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect) (Black 1979 hal. 241) Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus mengajukan bukti-buktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil saksi ahli untuk diminta pendapatnya. Jika kesalahan yang dilakukan sudah demikian jelasnya ( res ipsa loquitur, the thing speaks for itself ) sehingga tidak diperlukan saksi ahli lagi, maka beban pembuktian dapat dibebankan pada dokternya.

(11)

Pencegahan

1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:

 Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).

 Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.  Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.

(12)

 Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala

kebutuhannya.

Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

Terdapat pencegahan-pencegahan tertentu yang dapat dilakukan secara rutin sehingga tuduhan malpraktik dapat dielakkan. Hal ini termasuk :

 Mempekerjakan dan melatih asisten dengan arahan langsung sampai asisten tersebut dapat memenuhi standar kualifikasi yang ada

 Mengambil langkah hati-hati untuk menghilangkan faktor resiko di tempat praktik.  Memeriksa secara periodik peralatan yang tersedia di tempat praktik.

 Menghindari dalam meletakkan literatur medis di tempat yang mudah diakses oleh pasien. Kesalahpahaman dapat mudah terjadi jika pasien membaca dan menyalahartikan literatur yang ada.

 Menghindari menyebut diagnosis lewat telepon.

 Jangan meresepkan obat tanpa memeriksa pasien terlebih dahulu.  Jangan memberikan resep obat lewat telepon.

 Jangan menjamin keberhasilan pengobatan atau prosedur operasi yang ada.

 Rahasiakanlah sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia. Jangan membocorkan informasi yang ada kepada siapapun. Rahasia ini hanya diketahui oleh dokter dan pasien.

 Simpanlah rekam medis secara lengkap, jangan menghapus atau mengubah isi yang ada.  Jangan menggunakan singkatan-singakatan atau simbol-simbol tertentu di rekam medis  Gunakan formulir persetujuan yang sah dan sesuai Docu-books adalah alat bantu yang

penting dalam menyimpan surat persetujuan yang telah dibuat.  Jangan mengabaikan pasienmu.

 Cobalah untuk menghindari debat dengan pasien tentang tarif dokter yang terlampau mahal. Buatlah diskusi dan pengertian dengan pasien mengenai tarif dokter yang wajar.  Pada tiap kali pertemuan, gunakanlah bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien. Jangan

pernah menduga jika pasien mengerti apa yang kita ucapkan.

 Jalinlah empati untuk setiap masalah yang dialami pasien, dengan ini tata laksana akan menjadi komprehensif.

 Jangan pernah berbohong, memaksa, mengancam, atau melakukan penipuan kepada pasien. Jangan mengakali pasienmu. Jangan mengarang-ngarang cerita mengenai penyakit pasien.

(13)

 Jangan pernah melakukan pemasangan alat bantu, pengobatan atau tata laksana jika pasien masih berada dalam pengaruh alkohol atau pengaruh pengobatan yang mengandung narkotika.

 Jangan pernah menawarkan untuk membiayai pengobatan pasien dengan dana sendiri. Jika pengobatan yang diberikan melebihi polis asuransi yang pasien miliki, maka jangan limpahkan kepada polis asuransi yang kita miliki.

 Jangan menjelek-jelekkan pasien atau teman sejawatmu.  Jangan pernah ikut serta dalam gerakan tutup mulut. 2. Upaya menghadapi tuntutan hukum

Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.

Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan :

a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.

b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.

Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.

(14)

Aspek Hukum dan Sanksi

1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan 2. Pasal 359 – 360 KUHP Pidana

Pasal 359 KUHP

Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun

Pasal 360 KUHP

(1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka bert, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun

(2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjadikan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertemtu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

(15)

2. Memahami & Menjelaskan tentang Informed Consent

Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian. Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.

Informasi atau keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilakukan adalah :

1. Diagnosa yang telah ditegakkan.

2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan. 3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.

4. Resiko-resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada tindakan tersebut.

5. Konsenkuensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternative cara pengobatan yang lain.

6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut. BENTUK INFORMED CONSENT

1. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)

Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.

2. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)

Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti jantung.

3. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus) Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal, pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan invasive. Bentuk Inform Consent

o Dinyatakan (expressed)  Dinyatakan secara lisan

 Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.

(16)

o Tidak dinyatakan (implied)

 Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.

 Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.

 Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.

Proxy Consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu sendiri,

dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dst. Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.

Konteks dan Informed Consent : doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan :

 Keadaan darurat medis

 Ancaman terhadap kesehatan masyarakat  Pelepasan hak memberikan consent (waiver)

Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang

melepaskan haknya memberikan consent.

Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.

Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed consent.

Seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental lemah untuk dapat menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal seringkali tidak dianggap “cakap” menerima informasi yang benar – apalagi membuat keputusan medis. Banyak keluarga pasien melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan sakitnya.

Keluhan pasien tentang proses informed consent :

 Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis

 Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya-jawab.

 Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi

 Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

(17)

 Pasien tidak mau diberitahu.  Pasien tak mampu memahami.

 Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.  Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit. Elemen Inform Consent

 Threshold elements : Elemen ini sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable). Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.

Information elements : Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Pengertian ”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar :

o Standar Praktik Profesi : Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan bagaimana BIASANYA dilakukan dalam komunitas tenaga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.

o Standar Subyektif : Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

o Standar pada reasonable person : Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.

Consent elements : Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang

(18)

dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.

Tujuan informed consent

Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.

Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.

Manfaat informed consent

Informed Consent bermanfaat untuk :

1) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien. Misalnya tindakan medik yang tidak perlu atau tanpa indikasi, penggunaan alat canggih dengan biaya tinggi dsbnya.

2) Memberikan perlindungan hukum bagi dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif. Misalnya terhadap resiko pengobatan yang tidak dapat dihindari walaupun dokter telah bertindak seteliti mungkin.

Dengan adanya informed consent maka hak autonomy perorangan di kembangkan, pasien dan subjek dilindungi, mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, merangsang profesi medis untuk mengadakan introspeksi, mengajukan keputusan-keputusan yang rasional dan melibatkan masyarakat dalam memajukan prinsip autonomy sebagai suatu nilai sosial serta mengadakan pengawasan dalam penelitian biomedik.

Persetujuan informed consent Bentuk persetujuan atau penolakan

Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah didapat. Istilah untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu ”fraudulent concealment”. Pasien yang akan menjalani operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter bedah namun dioperasi oleh dokter lain dapat saja menuntut malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena kurangnya informed consent dan dapat menuntut dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya.

Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan bahwa persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari informed consent yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi.

(19)

Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang merangkum semua informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis pasien. Format tersebut bervariasi sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan. Saksi tidak dibutuhkan, namun saksi merupakan bukti bahwa telah dilakukan informed consent. Informed consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi naratif yang akurat oleh dokter yang bersangkutan.

Otoritas untuk memberikan persetujuan

Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang sah. Sebagai akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien.

Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang terhadap persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak perawatan tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan yang tidak rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan kasus sebagai keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan untuk melakukan perawatan yang diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi dengan satu atau beberapa sejawatnya.

Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau jika pasien, meskipun inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan keluarga, maka dokter perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan akan mempertimbangkan keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera dilakukan (1) jika keluarga dekat setuju, (2) jika memang secara medis perlu penatalaksanaan segera, (3) jika tidak ada dilarang undang-undang.

Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi pasien dewasa inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan.

Kemampuan memberi perizinan

Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu memahami informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu membuat keputusan terkait dengan terapi yang akan diberikan. Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana tidak menggambarkan kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam usaha persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga terdekat atau yang ditunjuk pengadilan untuk memberikan persetujuan pengganti.

Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada wali bagi pasien inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara anggota keluarga terhadap perawatan

(20)

pasien atau keluarga yang tidak dekat secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka dianjurkan menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.

Pihak Yang Berhak Menyatakan Persetujuan:

1. Pasien sendiri (bila telah berumur 21 tahun atau telah menikah)

2. Bagi pasien di bawah umur 21 tahun diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Saudara-saudara kandung.

3. Bagi yang di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya berhalangan hadir diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut: (l) Ayah/ibu adopsi, (2) Saudara-saudara kandung, (3) Induk semang.

4. Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Wali yang sah, (3) Saudara-saudara kandung.

5. Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle), diberikan menurut urutan hak sebagai berikut: (1) Wali, (2) Curator.

6. Bagi pasien dewasa yang telah menikah/orang tua, diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut: a. Suami/istri, b. Ayah/ibu kandung, c. Anak-anak kandung, d. Saudara-saudara kandung.

[Wali: yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum atau yang menurut hukum menggantikan kedudukan orang tua. Induk semang : orang yang berkewajiban untuk mengawasi serta ikut bertanggung jawab terhadap pribadi orang lain seperti pimpinan asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang pembantu rumah tangga yang belum dewasa.]

Isi informed consent

Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.

Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).

Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.

(21)

Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu:

1) Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang akan diberikan / diterapkan.

2) Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul. 3) Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.

4) Alternative metode perawatan / pengobatan.

5) Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan. 6) Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu

percobaan atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan Dokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007). Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran :

 Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.  Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.

Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan (Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290/ Menkes/PER/III/2008). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).

Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:

 Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.

 Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya. Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

KETENTUAN INFORMED CONSENT

Ketentuan persetujuan tindakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik No. HR.00.06.3.5.1866 tanggal 21 April 1999, diantaranya :

1. Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur (SOP) dan ditetapkan tertulis oleh pimpinan RS.

2. Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter 3. Informed consent dianggap benar :

a. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik.

(22)

c. Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang sehat mental dan memang berhak memberikan dari segi hukum

d. Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan 4. Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan :

a. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang akan dilakukan (purhate of medical procedure)

b. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical procesure)

c. Tentang resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

d. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan resiko-resikonya (alternative medical procedure and risk)

e. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan f. diagnosis

5. Kewajiban memberi informasi dan penjelasan

 Dokter yang melakukan tindakan medis tanggungjawab

 Berhalangan diwakilkan kepada dokter lain dengan diketahui dokter yang bersangkutan 6. Cara menyampaikan informasi

 Lisan  Tulisan

7. Pihak yang menyatakan persetujuan

a. Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih atau telah menikah b. Bagi pasien kurang 21 tahun dengan urutan hak :

 Ayah/Ibu kandung

 Saudara-saudara kandung

c. Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak :  Ayah/ibu adopsi

 Saudara-saudara kandung  Induk semang

d. Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak :  Ayah/ibu kandung

 Wali yang sah

 Saudara-saudara kandung

e. Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan (curatelle)  Wali

 Curator

f. Bagi pasien dewasa telah menikah/orangtua  Suami/istri

 Ayah/ibu kandung  Anak-anak kandung  Saudara-saudara kandung 8. Cara menyatakan persetujuan

 Tertulis; mutlak pada tindakan medis resiko tinggi  Lisan; tindakan tidak beresiko

9. Jenis tindakan medis yang pelu informed consent disusun oleh komite medik ditetapkan pimpinan RS

(23)

11. Format isian informed consent persetujuan atau penolakan

 Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai salah satu saksi

 Materai tidak diperlukan

 Formulir asli harus disimpan dalam berkas rekam medis pasien

 Formulir harus ditandatangani 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan

 Dokter harus ikut membubuhkan tandatangan sebagai bukti telah memberikan informasi  Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kanannya. 12. Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam

medisnya.

Aspek Hukum dan Sanksi informed consent

1. Pasal 1320 KUHPerdata syarat syahnya persetujuan o Sepakat mereka yang mengikatkan diri o Kecakapan untuk berbuat suatu perikatan o Suatu hal tertentu

o Suatu sebab yang halal

2. Pasal 1321 tiada sepakat yang syah apabila sepakat itu diberikan karena kehilafan atau diperlukan dengan paksaan atau penipuan

3. KUHPidana pasal 351

o Penganiayaan dihukum dengan hukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.

o Menjadikan luka berat hukum selama-lamanya 5 tahun (KUHP 20) o Membuat orang mati hukum selam-lamanya 7 tahun (KUHP 338) 4. UU No. 23/1992 tentang kesehatan pasal 53

o Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya

o Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien

o Hak pasien antara lain ; hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua (second opinion).

5. UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), (5,) (6) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan

6. Permenkes No. 585/1989 tentang persetujuan tindakan medis

Dokter melakukan tindakan medis tanpa informed consent dari pasien atau keluarganya saksi administratif berupa pencabutan surat ijin prakteknya.

(24)

3. Memahami & Menjelaskan tentang Alur hukum bila seorang dokter melakukan malpraktek

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran/MKEK

Seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban etik dan disiplin profesinya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi.

Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan-tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.

Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim. Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh:

1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group/para ahli di bidangnya yang dibutuhkan

(25)

2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.

Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya

Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK.

Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia/MKDKI MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk :

1. Menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.

2. Menetapkan sanksi disiplin.

MKDKI merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen

Tujuan penegakan disiplin adalah :

1. Memberikan perlindungan kepada pasien. 2. Menjaga mutu dokter/dokter gigi.

3. Menjaga kehormatan profesi kedokteran/kedokteran gigi. Anggota MKDKI terdiri dari dokter, dokter gigi, dan sarjana hukum Tugas MKDKI :

a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan dan

b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.

Dalam melaksanakan tugas MKDKI mempunyai wewenang:

a) menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi

b) menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau pelanggaran etika atau bukan keduanya

c) memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi d) memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi

(26)

e) menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi f) melaksanakan keputusan MKDKI

g) menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi h) menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P

i) membina, mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan tugas MKDKI-P

j) membuat dan memberikan pertimbangan usulan pembentukan MKDKI-P kepada Konsil Kedokteran Indonesia

k) mengadakan sosialisasi, penyuluhan, dan diseminasi tentang MKDKI dan dan MKDKI-P mencatat dan mendokumentasikan pengaduan, proses pemeriksaan, dan keputusan MKDKI.

(27)
(28)
(29)

4. Memahami & Menjelaskan tentang Malpraktek dalam Syariat Islam

Berobat merupakan salah satu kebutuhan vital umat manusia. Banyak orang rela mengorbankan apa saja untuk mempertahankan kesehatannya atau untuk mendapatkan kesembuhan. Di sisi lain, para dokter adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari kesalahan. Demikian juga paramedis yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan. Kemajuan teknologi tidak serta merta menjamin menutup pintu kesalahan. Meski pada dasarnya memberikan pelayanann sebagai pengabdian, mereka juga bisa jadi tergoda oleh keuntungan duniawi, sehingga mengabaikan kemaslahatan pasien.

Karenanya, diperlukan aturan yang adil yang menjamin ketenangan bagi pasien dan pada saat yang sama memberikan kenyamanan bagi para profesional bidang kesehatan dalam bekerja. Tentu Islam sebagai syariat akhir zaman yang sempurna ini telah mengatur semuanya. Tulisan sederhana ini mencoba menggali khazanah literatur para ulama Islam dalam hal persoalan yang akhir-akhir ini mencuat kembali, yakni malpraktek.

PENGERTIAN MALPRAKTEK

Malpraktek berasal dari kata 'malpractice' dalam bahasa Inggris . Secara harfiah, 'mal' berarti 'salah', dan 'practice' berarti 'pelaksanaan' atau 'tindakan', sehingga malpraktek berarti 'pelaksanaan atau tindakan yang salah'. Jadi, malpraktek adalah tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai dalam berbagai bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan kesehatan. Artikel ini juga hanya akan menyoroti malpraktek di seputar dunia kedokteran saja.

Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter – atau profesional lain di dunia kedokteran dan kesehatan- kadang berhubungan dengan etika/akhlak. Misalnya, mengatakan bahwa pasien harus dioperasi, padahal tidak demikian. Atau memanipulasi data foto rontgen agar bisa mengambil keuntungan dari operasi yang dilakukan. Jika kesalahan ini terbukti dan membahayakan pasien, dokter harus mempertanggungjawabkannya secara etika. Hukumannya bisa berupa ta'zîr, ganti rugi, diyat, hingga qishash.

Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu kedokteran. Jenis kesalahan ini yang akan mendapat porsi lebih dalam tulisan ini.

BENTUK-BENTUK MALPRAKTEK

Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi bisa digolongkan sebagai berikut:

1. Tidak Punya Keahlian (Jahil)

Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

(30)

"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki keahlian, maka ia bertanggung-jawab"

Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang, sehingga para Ulama sepakat bahwa mutathabbib (pelakunya) harus bertanggung-jawab, jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain.

2. Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhâlafatul Ushûl Al-'Ilmiyyah)

Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran.

Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini dan tidak boleh menyalahinya. Imam Syâfi'i rahimahullah –misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi tersebut, maka ia tidak bertanggung-jawab. Sebaliknya, jika ia tahu dan menyalahinya, maka ia bertanggung-jawab." Bahkan hal ini adalah kesepakatan seluruh Ulama, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah.

Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk permasalahan yang pelik.

3. Ketidaksengajaan (Khatha')

Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki maksud di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha' (tidak sengaja).

4. Sengaja Menimbulkan Bahaya (I'tidâ')

Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun mungkin juga faktor kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku malpraktek dengan pasien atau keluarganya.

PEMBUKTIAN MALPRAKTEK

Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka

(31)

meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.

Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut :

1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrâr ).

Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini menunjukkan kejujuran.

2. Kesaksian (Syahâdah).

Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zîr, dibutuhkan kesaksian dua pria yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya).

3. Catatan Medis.

Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah. BENTUK TANGGUNG JAWAB MALPRAKTEK

Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Qishash

Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk menimbulkan bahaya (i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja."

2. Dhamân (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat) Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:

a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.

b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.

c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak disengaja.

d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.

(32)

3. Ta'zîr berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain. Ta'zîr berlaku untuk dua bentuk malpraktek:

a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.

b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah

PIHAK YANG BERTANGGUNG-JAWAB

Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung. Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara tidak langsung.

Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggung-jawab. Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggung-jawab bersamanya. Karenanya, rumah sakit atau klinik juga bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor dalam tanggung-jawab yang diemban, sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli.

(33)

Daftar Pustaka

http://www.balitbangham.go.id/index/images/judul_pdf/sipol/pengembangan/2008/malprakte k.pdf

http://eprints.undip.ac.id/20768/1/2380-ki-fh-98.pdf

Referensi

Dokumen terkait

• Teori-teori komunikasi interpesonal banyak dipengaruhi konsepsi psikologi humanistis yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional

 Bagaimana pengaruh temperatur operasi sensor dan konsentrasi gas LPG terhadap sensitivitas sensor gas LPG dari material WO 3 yang disintesa dengan metode sol gel dan

07/11/2012 18 QBasic Input data rancangan AutoCAD Pembuatan gambar kerja otomatis QBasic Pengolahan data rancangan Pembuatan dan. penyimpanan

produksi seperti plastik dan kertas pembungkus bahan-bahan pendukung produk. Jumlah limbah ini tidak lebih dari 500kg/hari dan sebagian masih dapat dimanfaatkan

reaksi terbentuknya Ag+z. Disisi lain secara teoritis tidak ada faktor temperatur pada perhitungan efisiensi, sehingga semakin rendah temperatur harga efisiensi arus elektrolisis

Jika yang Anda tangani ini adalah pasien prioritas tinggi, maka tahap persiapan, melonggarkan pakaian, memeriksa perban dan bidai, menenangkan pasien, bahkan pemeriksaan vital

Oleh karena itu, komputerisasi hanya dapat dilakukan pada bidang yang bersifat administrasi dan financial dengan tujuan mempermudah tenaga manusia dalam melaksanakan tugasnya

Rimpang temu ireng 1 jari dicampur daun mimba 1 genggam ditambah air sedikit, ditumbuk kemudian ditempelkan pada luka gatal-gatal dan diganti setiap 3 jam..