• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pemimpin dalam kelompok masyarakat budaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menjadi pemimpin dalam kelompok masyarakat budaya."

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tanah Minahasa adalah tanah yang awalnya menjadi tempat hidup dari empat Pakasa’an,1 yakni Tountemboan,

Tombulu, Tolour, dan Tonsea.2 Dalam bab IV akan dijelaskan bagaimana proses terbentuknya pakasa’an, tetapi intinya

pakasa’an adalah kumpulan taranak3 yang hidup bersama dalam

satu wilayah. Mereka berasal dari tempat berbeda, bahkan diduga kuat berasal dari luar Minahasa. Salah seorang Tona’as4 bernama Rinto Taroreh memberikan contoh situs budaya yang menjelaskan bahwa leluhur Minahasa adalah orang-orang dari luar yang datang dan tinggal di Minahasa. Taroreh menjelaskan, bahwa ada tradisi lisan yang terekam kuat dalam diri orang-orang Tonsea (Pakasa’an Tonsea) mengenai Opo Roti5 dan

1Pakasa’an adalah istilah yang dipakai untuk menunjuk satu kelompok etnis yang mendiami satu wilayah tertentu, memakai bahasa yang sama, dan melaksanakan riual-ritual yang sama.Karenanya, Pakasa’an tidak hanya terdiri dari kumpulan taranak yang sedarah, tetapi juga terdiri dari kumpulan taranak berbeda yang hidup dalam satu wilayah serta melaksanakan ritual yang sama.

2 Keempat pakasaan tersebut adalah juga empat wilayah di tanah Minahasa awal. 3 Taranak adalah istilah lokal Minahasa yang biasa dipakai untuk menunjuk ikatan darah sebagai keluarga. Istilah lokal ini dipakai untuk menunjuk kumpulan beberapa keluarga yang menyatu atau terikat satu sama lain karena hubungan darah. Kata ini juga menunjuk pada kumpulan keluarga yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Pa’ Endon Tua; seseorang yang dipilih oleh keluarga-keluarga dalam kumpulan tersebut karena kualitas dirinya untuk memimpin dan mengarahkan mereka. Bandingkan juga dengan penjelasan Bert Supit, Minahasa Dari Amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua (Jakarta: Sinar Agape Press, 1986),47. Supit menjelaskan bahwa dalam konteks Minahasa taranak adalah sebutan untuk kumpulan beberapa awu/keluarga batih. Mereka hidup dalam satu rumah besar atau dalam bangsal-bangsal yang saling berdekatan pada satu kompleks luas.

4 Tona’as adalah seorang pemimpin ritual dan juga orang yang dituakan dan menjadi pemimpin dalam kelompok masyarakat budaya.

5Opo adalah sebutan penghormatan pada para leluhur yang dinilai memiliki

integritas diri yang kuat, selalu berusaha menjaga keutuhan tanah, serta mampu memberi rasa aman bagi masyarakat. Nama Opo ditambahkan pada nama leluhur,

(2)

kedatangannya di daerah itu. Taroreh menuturkan, berdasarkan tradisi lisan di Tonsea, Opo Roti adalah orang yang berasal dari luar dan masuk ke tanah Minahasa melalui salah satu tempat yang kemudian dikenal dengan nama Likupang. Opo Roti lalu membaur dengan orang-orang yang telah lebih dahulu bermukim di situ dan membentuk salah satu taranak di Tonsea itu. Dalam pencarian situs budaya di Tonsea, Tona’as Taroreh dan kelompok budaya Waraney Wuaya, menemukan lima

waruga6 Opo Roti di daerah Likupang sampai ke daerah Minawerot (semuanya ada di Lokasi Tonsea). Waruga-waruga tersebut menurut Taroreh menjadi penanda dari perjalanan Opo Roti sebagai leluhur di daerah itu. Karena di zaman lalu, jika ada orang yang kemudian bisa memperlihatkan kesungguhannya menjaga tanah tempat hidup bersama, maka dia akan dihargai dengan sebutan Opo dan ketika meninggal akan dikuburkan di

waruga dengan pahatan khusus yang mendeskripsikan

mengenai perannya semasa hidup di tengah masyarakat.7

Tradisi lisan lainnya yang juga ditunjang dengan waruga

yang ada, yakni cerita tentang Opo Wurik Muda atau Wurik Sombor. Opo Wurik Muda dalam tradisi lisan masyarakat diceritakan sebagai Opo yang dalam hidupnya memakai pakaian ala pelaut Portugis dengan sepatu, topi lebar dan pedang disamping kiri. Gaya berpakaian Opo Wurik Muda demikian terpahat pada waruganya yang terletak di desa Kakaskasen-Tomohon. Menurut tradisi lisan, cara berpakain Opo Wurik

seperti nama Roti yang kemudian menjadi Opo Roti. Dalam perkembangan kemudian, nama Opo menjadi nama marga dari keturunannya.

6Waruga adalah kubur leluhur yang dibangun dari batu, berbentuk kotak dan terbagi atas dua bagian, yakni bagian atas yang merupakan atap dan bagian bawah. Waruga pada umumnya dihiasi dengan gambar pahatan sederhana berbentuk gambar manusia, binatang ataupun tumbuhan. Selanjutnya, mengenai lima waruga/kubur Opo Roti yang ditemukan, saya menginterpretasi sebagai bentuk penghargaan warga di tempat-tempat berbeda tersebut terhadap semua perbuatan baiknya kepada mereka. Tentu saja hanya satu dari lima waruga tersebut yang benar-benar pernah menjadi tempat jazadnya.

7 Wawancara dengan Tona’as Rinto Taroreh, pemimpin ritual dan pemimpin kelompok budaya WaraneyWuaya, 14 Oktober 2014, di Manado.

(3)

Muda yang demikian karena dia adalah anak hasil perkawinan bangsawan Portugis dengan ibunya yang berasal dari desa Kilow/Kinilow (salah satu kampung tua di masa Minahasa awal-terletak di kaki gunung Lokon). Perawakan Opo Wurik Muda

juga digambarkan seperti orang Portugis, yakni tinggi besar, putih dan tampan. Sejak kecil dia telah berkelana ke berbagai negara mengikuti ayahnya, sampai akhirnya dia kembali ke kampung ibunya yang ternyata telah menikah lagi dengan pemimpin kampung yang biasa di sapa sebagai Wurik Tua. Nama

Wurik Muda diberikan oleh ayah tirinya menggantikan nama Portugal yang diberikan ayahnya. Menurut tradisi lisan, Opo Wurik Muda tidak hanya memiliki kekuatan fisik, tetapi juga pengetahuan yang luas dan penguasaan beberapa bahasa yang menempatkan dirinya sebagai orang muda yang menjadi tempat bertanya ketika warga menghadapi masalah. Opo Wurik Muda

tidak hanya dikenal di kampungnya, tetapi juga di kampung-kampung lain. Dia memiliki banyak murid yang tersebar di beberapa kampung. 8

Di samping tradisi-tradisi lisan tersebut di atas, ada juga mitologi tentang Karema, Lumimuut dan Toar sebagai leluhur Minahasa yang berasal dari luar. Banyak versi mitologi mengenai tiga leluhur tersebut, namun semuanya menempatkan ketiga tokoh kultural ini sebagai leluhur utama. Karema dan Lumimuut diceritakan berasal dari Indo-Mongoloide atau Cina selatan. Mitologi-mitologi tersebut semakin melengkapi gambaran mengenai leluhur Minahasa berasal dari luar Minahasa (pembahasan tentang Karema, Lumimuut dan Toar akan di bahas dalam Bab IV).

Penanda kultural lainnya di tanah Minahasa awal yang kemudian menjadi identitas kumpulan taranak yang

bermahasa9, yakni pemaknaan tentang Tou. Tou menunjuk pada

8 Data observasi, 23 Januari 2015, Tomohon.

9 Kata Mahasa/Maesa menunjuk pada kumpulan taranak Minahasa awal yang menyatu dalam rangka menyelesaikan konflik diantara mereka. Karenanya, kata

(4)

manusia, hewan dan semua yang ada di alam raya. Singkatnya,

Tou adalah deskripsi orang Minahasa awal tentang kehidupan dan cara mereka menjalaninya. Tou adalah nilai-nilai kultural yang egaliter terhadap semua yang ada di alam raya. Falsafah

Tou demikian jugalah yang mendasari relasi perempuan dan laki-laki di tanah Minahasa. Di konteks sosio-kultural Minahasa awal, perempuan dan laki-laki berperan sebagai walian/ pempimpin-pemimpin keagamaan. Mitologi yang ditulis oleh para Zending yang mengfigurisasikan Karema sebagai imam pertama di tanah Minahasa-- melakukan ritual untuk proses kehamilan Lumimuut dan yang kemudian mensahkan perkawinan Lumimuut-Toar -- adalah salah satu contoh tentang kesetaraan kepemimpinan di tanah Minahasa. Menurut saya, mitologi ini lahir dari pengalaman pembuat mitologi yang menyaksikan dan mengalami kepemimpinan perempuan bersama dengan laki-laki di tanah Minahasa saat itu sebagai suatu kelaziman. Selain itu, masih bertahannya praktek hidup dalam keluarga di beberapa kampung kini yang penduduknya masih hidup dari hasil pertanian, yakni tidak adanya pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Perempuan dan laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah secara bersama kemudian bersama-sama ke kebun, begitupun ketika mereka kembali ke rumah akan mengerjakan pekerjaan rumah secara bersama.

Dalam perjalanan menjadi Minahasa, beberapa kali nilai

Tou yang demikian dilukai oleh konflik-konflik antar taranak karena keinginan memperluas wilayah kekuasaan dan keinginan berkuasa di antara mereka. Karenanya, Tou adalah juga upaya menata kembali kehidupan bersama yang egaliter antar kelompok taranak yang terkristalisasi dalam tiwa Lumimuut-Toar/ konsensus keturunan Lumimuut-Toar yang disyairkan sebagai Esa cita waya, tou peleng masu’at. Cawana si parukuan

Mahasa/Maesa juga menunjuk pada keberadaan kumpulan taranak yang bebeda-beda dan awalnya tidak saling kenal dan peduli, bahkan terlibat konflik satu sama lain.

(5)

cawana si pakuruan, pute waya tou maesa cita (satu kita semua. Tidak boleh menyembah dan tidak boleh disembah. Semua manusia itu sama).10 Perjanjian dan konsensus tersebut menjadi

batasan dan aturan kultural mengenai keterbukaan dan penerimaan antar taranak dan selanjutnya diberlakukan juga terhadap para pendatang kemudian. Singkatnya, semua orang dapat datang, tinggal dan menetap di Minahasa asalkan mentaati

tiwa Lumimuut-Toar. Semua orang harus mentaati batasan dan aturan kulural yang ditetapkan para pemimpin taranak.

Pemberlakuan Tiwa Lumimuut-Toar juga berimplikasi pada pengakuan antar pakasaan dan juga dengan para pendatang (kemudian) tentang keberadaan mereka sebagai Tou. Karenanya, pakasa’an maupun pendatang akan menerima sangsi yang sama jika melanggar Tiwa Lumimuut-Toar (kajian lebih dalam mengenai TiwaLumimuut-Toar akan dibahas pada bab V). Ketaatan terhadap ikrar tersebut diatur berdasarkan tiga aturan kultural, yakni pantik, wantik dan santi. Pantik artinya janji sudah ditetapkan untuk dilaksanakan. Wantik artinya janji sudah ditandai dan santi artinya berarti pedang. Karena itu di Minahasa awal, pelanggaran terhadap ikrar tersebut diselesaikan dengan pemenggalan kepala para pelanggar, termasuk para pendatang yang melakukan pelanggaran. Kuatnya pelaksanaan aturan kultural tersebut, terbaca dari penilaian terhadap kualitas diri seorang pemimpin di masa itu yang diukur dari banyaknya kepala para pelanggar ikrar yang dipajang di depan rumahnya (penjelasan lebih lanjut akan dipaparkan dalam Bab IV).11

10 Wawancara dengan Rinto Taroreh, 14 Oktober 2014, di Manado; Wowor, 29 Januari 2015, di Manado; kelompok Mawale Movement, 18 Februari 2015, di Manado.

11 Tentang tradisi pemenggalan kepala para pelanggar ikrar dan musuh menjadi tradisi lisan di tanah Minahasa. Biasanya diceritakan untuk menjelaskan pada para turunan, bahwa melanggar sesuatu yang telah ditetapkan adalah fatal. Selain itu, juga dimaksudkan untuk menceritakan bahwa para pemimpin di masa itu adalah orang-orang kuat dan tegas.

(6)

Bersamaan dengan berjalannya waktu, Minahasa yang beragam semakin beragam dengan kehadiran para pendatang baru di tanah Minahasa. Para pendatang tersebut, yakni Portugis, Spanyol, Cina, Belanda, Jepang, Inggris, serta Kyai Modjo dan pengikutnya, imam Bonjol dan pengikutnya. Imam Bonjol dan Kyai Modjo beserta para pengikut menjadi tahanan politik pemerintah kolonial Belanda dan dibuang ke tanah Minahasa (pembahasan tentang para pendatang yang datang kemudian di tanah Minahasa akan dibahas dalam bab IV).

Dalam konteks tanah Minahasa kini, keragaman demikian dapat dikenali antara lain melalui marga dari sebagian orang Minahasa yang menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan Portugal, Spanyol, Belanda, Cina, dan juga marga Jawa dan Sumatera, di tambah juga dengan Ternate, Sangihe, dan pendatang dari daerah-daerah lain di Indonesia. Penanda lainnya, yakni nama kampung di beberapa tempat di tanah Minahasa yang dinamai sesuai nama asal-usul negara atau suku ataupun agama leluhur mereka, antara lain, kampung Borgo.

Borgo berasal dari bahasa Belanda Borges yang kemudian menjadi vrijtborges atau orang-orang bebas. Kata Borgo ini kemudian dipakai untuk menunjuk keturunan orang Belanda, Portugis, dan Spanyol. Selain itu, ada beberapa tempat di tanah Minahasa kini yang juga dinamai sesuai asal daerah para pendatang, yakni kampung Jawa-Tondano, kampung Ternate, kampung Cina, kampung Islam, kampung Sanger, kampung Arab.

Pada perkembangan selanjutnya, tanah Minahasa menjadi bagian wilayah NKRI. Tanah Minahasa tidak lagi berdiri sendiri tetapi menjadi bagian dari Propinsi Sulawesi Utara dan terbagi dalam enam kabupaten dan kota, yakni Kota Bitung, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa, Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa Tenggara dan Kabupaten Minahasa Selatan. Dalam lingkup Propinsi Sulawesi Utara, keenam kabupaten-kota di tanah Minahasa berada bersama dengan Kota Manado (sebagai ibu kota propinsi), Kabupaten Kepulauan

(7)

Sangihe, Kabupaten Kepulauan Sitaro, Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Timur, dan Kota Kotamobagu. Penataan demikian, semakin membuka ruang pembauran dari orang-orang yang datang dan tinggal bersama di tanah Minahasa kini.

Gambar 1.1 Peta Propinsi Sulawesi Utara12

Beragam orang yang kini mendiami tanah Minahasa turut memberi warna bagi dinamika sosial, agama, ekonomi, politik bahkan kultural. Dinamika tersebut tidak hanya berdampak pada perjumpaan beragam nilai, tetapi juga mendorong perubahan sosio-kultural terutama terkait dengan pemahaman dan pemaknaan Tou. Perubahan tersebut ditandai dengan reduksi Tou hanya untuk menunjuk siapa yang layak disebut manusia Minahasa asli. Bahkan reduksi demikian semakin menyempit pada klaim orang Minahasa adalah kristen. Imbasnya, di tanah Minahasa kini mulai bermunculannya klaim-klaim asli-bukan asli Minahasa, lokal-pendatang, Minahasa Kristen. Klaim-klaim demikian tidak hanya menempatkan

(8)

masyarakat dalam kelompok-kelompok dengan polarisasi yang tajam. Pun sudah mulai menciptakan gesekan-gesekan antar kelompok yang saling mengklaim tersebut dan juga dengan masyarakat yang memilih tidak terpolarisasi pada kelompok manapun (pembahasan tentang masyarakat yang terpolarisasi ini akan dibahas dalam bab VI).13

Kesadaran kultural yang muncul dalam bentuk reduksi

Tou dan polarisasi masyarakat yang demikian melahirkan pertanyaan reflektif. Apakah realitas demikian menjadi penanda keterbatasan masyarakat di tanah Minahasa kini memahami tenunan-tenunan sosio-kultural? Keterbatasan pemahaman masyarakat tentang Tou yang menjadi ruang bersama bagi manusia dan ciptaan lainnya untuk hidup di tanah Minahasa. Apakah realitas demikian adalah juga cermin geliat kegelisahan masyarakat di tanah Minahasa kini terhadap kerapuhan kehidupan bersama?

Dalam wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat adat, saya merekam respon yang berwarna terhadap tiga pertanyaan reflektif tersebut. Salah satu ketua Aliansi Makapetor14 (Masyarakat Kawanua Peduli

13 Masyarakat yang tidak mau terpolarisasi pada salah satu kelompok yang ada dicap tidak peduli terhadap budaya dan tidak mau memperjuangkan amanat leluhur untuk menjaga tanah Minahasa.

14 Aliansi Makapetor adalah kumpulan Ormas adat yang awalnya bergabung dalam rangka menyikapi pembangunan Masjid Al Khairiyah yang telah melebihi luas lahan yang disiapkan untuk tempat pembangunan gedung ibadah semua agama di lahan kosong milik pemerintah. Lahan itu yang semula bernama Kampung Texas, terletak di pusat kota manado. Kampung Texas, awalnya dihuni tanpa izin oleh masyarakat. Setelah para penghuni lahan Texas dipindahkan ke tempat yang disiapkan pemerintah, tanah di lokasi tersebut diprogramkan oleh pemerintah untuk menjadi lokasi wisata religi. Karena itu di lahan tersebut akan dibangun rumah-rumah ibadah semua agama. Persoalan muncul, ketika pembangunan mulai berlangsung, pembangunan mesjid ternyata menggunakan luas tanah yang sudah melebihi batas pembagian. Akibatnya, lahan tempat pembangunan masjid menjadi lebih luas dari semua lahan tempat bangunan ibadah agama-agama lain. Bagi makapetor pembangunan masjid yang memakai lahan lebih besar bukan hanya menyangkut luas lahan yang digunakan, tetapi dinilai sebagai tindakan arogansi dan monopoli dari pendatang terhadap masyarakat lokal. Dalam perkembangan selanjutnya, aliansi Makapetor ini sudah beberapa kali memotori tindakan

(9)

Toleransi) Wellem Kumaunang, memahami mengenai menguatnya klaim asli dan bukan asli di tanah Minahasa kini sebagai akibat dari kejadian di beberapa tempat yang memperlihatkan arogansi pendatang (kini). Karenanya, sebagian masyarakat di tanah Minahasa kini, terutama kelompok masyarakat yang menggabungkan diri dalam organisasi-organisasi Masyarakat (Ormas) adat merasa sudah saatnya untuk menegaskan pengelompokkan masyarakat asli dan bukan asli, lokal dan pendatang. Kumaunang menegaskan, bahwa penetapan penduduk asli/lokal dan pendatang harus dilakukan untuk menghentikan tindakan dominasi dan seenaknya oleh pendatang seperti yang dilakukan di kampung Texas. Kumaunang juga mengacu pada gesekan antar masyarakat yang menyebut diri masyarakat lokal dengan pendatang di Bitung yang terjadi pada pertengahan tahun 2014. Dari versi Kumaunang, kasus ini dimulai dengan pemukulan terhadap seorang dari Ormas adat Minahasa oleh beberapa oknum

pendatang15 yang sedang melakukan takbiran.16 Pemukulan

tersebut melahirkan reaksi dari kalangan masyarakat dan Ormas adat Minahasa dan berakhir dengan kericuhan kecil. Beberapa hari kemudian, beberapa kelompok Ormas adat berkumpul di Bitung dan bergerak bersama menuju ke mesjid di

“pengamanan” lahan dan juga masalah-masalah sosial lainnya yang terjadi akibat gesekan antara masyarakat beragama Kristen dan pendatang beragama Islam. Wawancara dengan Wellem Kumaunang, 2015.

15 Kata Pendatang saya pakai untuk menunjuk pembedaan yang sedang terjadi di masyarakat di tanah Minahasa kini. Pembedaan yang dibuat oleh ormas adat Minahasa untuk mengklaim diri mereka sebagai orang Minahasa asli dan menunjuk orang-orang yang berasal dari luar Minahasa—jawa, gorontalo dan bugis/makasar yang beragama Islam, khususnya para pendatang kini—sebagai bukan Minahasa/pendatang. Bandingkan juga dengan definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang orang asing dan pendatang. Orang asing adalah yang datang dari luar negeri, daerah atau lingkungan adalah orang asing (bukan penduduk asli). Tim Penyusun Kamus Pusa Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga (Jakarta: Gramedia, 1991), 61, 212. Dalam disertasi ini saya menggunakan kata pendatang dan orang asing secara bersamaan. 16 Wawancara dengan Wellem Kumaunang, salah satu ketua Aliansi Makapetor, 3 November 2015, di Manado.

(10)

Aertembaga Bitung. Kelompok Ormas adat melarang umat Islam di situ untuk melanjutkan pembangunan masjid. 17

Selanjutnya Kumaunang menjelaskan, bahwa para pendatang berani melakukan dominasi seperti yang mereka lakukan di lahan pembangunan gedung ibadah kampung Texas dan di Bitung, karena pemerintah sangat lemah. Kumaunang menilai bahwa kepentingan politis pemerintah yang membuat mereka sepertinya tidak berani mengambil tindakan pada kasus-kasus dominasi yang dilakukan para pendatang.18

Karenanya menurut Kumaunang, Makapetor akan mengerakkan pembentukan Dewan adat yang akan turut aktif menentukan program pembangunan pemerintah di tanah Minahasa. Dewan adatpun akan turut menentukan persyaratan tinggal dan waktu tinggal dari para pendatang yang akan bekerja ataupun yang hendak menjadi penduduk tetap di tanah Minahasa kini.19

Di sisi yang lain, saya mencatat—melalui wawancara dengan para informan lainnya—bahwa gerakan kelompok adat tersebut adalah juga reaksi ketersinggungan dan ketidaksenangan masyarakat lokal karena marginalisasi nilai-nilai kultural oleh oknum pendatang. Ketersinggungan dan ketidaksenangan yang bercampur dengan kekuatiran terhadap kelompok-kelompok intoleran Islam seperti FPI yang telah menyusup ditengah masyarakat dan sengaja memicu gesekan-gesekan sosial berbasis agama. Kesimpulan demikian antara lain

17Reaksi terhadap kericuhan yang terjadi karena pemukulan terhadap seorang anggota kelompok adat memang sangat disayangkan, karena justru semakin memperpanjang masalah. Apalagi karena larangan pembangunan masjid dinilai tidak terkorelasi dengan kericuhan tersebut. Karenanya, Komnas HAM dalam Rapat bersama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia menanggapi tindakan pelarangan pembangunan masjid oleh kelompok adat sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama yang dijamin undang-undang (bdk dengan laporan KOMNAS HAM https://w.w.w.komnasham.go.id. pdf Laporan Tahunan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Manado, 2016.

18 Wawancara dengan Kumaunang, 2015. 19 Kumaunang, 2015.

(11)

yang terekam dalam FGD dengan beberapa pengurus kelompok adat,20 sebagai berikut:

…sikap terhadap pendatang itu memang terbuka tetapi harus hati-hati. Karena ada banyak data di lapangan misalnya, kasus larangan FPI di seluruh Indonesia, tetapi pembukaan jalan bersama di Kota Bitung beberapa waktu lalu ada temuan adanya FPI. Karena data tersebut kami kelompok adat turun untuk menangani hal tersebut. Lalu kasus berbeda di Kota Bitung belum lama ini. Sewaktu malam takbiran, mereka turun bertakbiran dengan membawa senjata tajam dan kemudian melukai salah satu anggota Ormas Adat. karena itu, kami turun di Kota Bitung untuk meminta pihak keamanan menjamin keamanan Sosial. Waktu itu juga terjadi provokasi di depan Polres. Contoh-contoh ini sebenarnya menegas-kan, bahwa orang Minahasa sudah menerima pendatang dengan baik, tetapi memang ada pendatang yang kemudian bertindak tidak benar, bahkan memprovokasi konflik sosial. Kalau soal para pendatang yang menjadi pedagang, menurut saya kita juga harus hati-hati. Bayangkan ada tukang jual sayur dan kebutuhan dapur keliling asal Jawa yang baru berjualan satu dua bulan, lalu kemudian sudah bisa membeli motor model terbaru. Kami berusaha mencari data, bagaimana hal tersebut dapat terjadi, lalu kami menemukan bahwa ternyata mereka memiliki jaringan. Jaringan ini yang membiayai semua kebutuhan mereka dalam berdagang. jadi memang kita mesti hati-hati, karena pendatang zaman dulu dengan sekarang sudah berbeda. Saya pikir sebagai masyarakat lokal, kita harus mampu

20 FGD dengan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nasional Sulut, Kelompok

budaya Makatanak Minahasa dan Barisan Pemuda Adat Nusantara Sulawesi Utara, 8 Maret 2015, di Manado.

(12)

klasifikasi para pendatang tidak menerima begitu saja secara membuta.21

Keprihatinan terkait gesekan-gesekan yang terjadi antara masyarakat yang menyebut diri sebagai masyarakat lokal di tanah Minahasa dengan para pendatang terekam juga dalam

Deklarasi Minahasa Bersatu oleh 25 (dua puluh Lima) kelompok masyarakat adat yang dilakukan di Bitung pada 27 Juli 2016. Deklarasi tersebut diawali dengan ritual Taratak Fosso yang dimaksudkan untuk membersihkan Bitung dari hal-hal yang tidak baik dan mengatur kembali tanah dan kehidupan di Bitung agar berlangsung tenang dan tentram. Dalam pelaksanaan ritual tersebut Tona’as yang memimpin ritual menyampaikan doa-doa kepada Opo Empung (Tuhan pencipta alam semesta) agar tanah Minahasa dipulihkan dari hal-hal buruk yang mengganggu keamanan dan kesejateraan kehidupan bersama. Ritual tersebut dilanjutkan di tiga tempat yang dipercayai menjadi tempat-tempat representatif untuk membersihkan kota Bitung dari pengaruh-pengaruh buruk. 22 Rinto Taroreh salah satu Tona’as

yang bertugas melanjutkan ritual di salah satu lokasi di Sagrat (Sagrat terletak di perbatasan antara Kota Bitung dan Kabupaten Minahasa Utara) menjelaskan pentingnya ritual yang mereka lakukan, sehingga perlu melakukan persiapan-persiapan awal satu hari sebelum Ritual Taratak Fosso di laksanakan. Demikian Taroreh menuturkan:

Biasanya sebelum acara begini, kami ada persiapan khusus. Kami kan datang sebagai tamu di sini. Jadi untuk menghindari jangan sampai yang mengundang kami ini – namanya manusia-- ada kekurangan-kekurangan makanya kami sudah melakukan ritual pendahuluan. Artinya kami menjaga supaya jika dalam ritual Taratak Fosso

yang akan dilakukan sebentar ada kesalahan yang

21 Yusak Tangkilisan, Sekjen Ormas adat Makatanak Minahasa, 8 Maret 2015,

di Manado.

(13)

dibuat, kami telah berusaha menutup melalui ritual persiapan yang sudah kami laksanakan tadi malam di Kema. Makanya kami sudah buka/tu’motol di kemah tadi malam. Mengapa di kemah? Karena di kemah merupakan pusat dari orang-orang tua Tonsea yang di daerah sini (bitung), yang menjadi daerah kekuasaan mereka. Jadi tadi kami sudah pergi ke batunya, batu Toytow, lalu ke waruganya kepala walak, dan waruganya wali’an donowu di sana. Kami sudah mulai di sana. Artinya, ketika kami sudah datang ke sini, kalau mungkin ada kekurangan-kekurangan, kita sudah tidak masuk ke bagian itu, karna kita sudah melaksanakan ritual utama di sana. Jadi selesai dari sini, rencananya akan mengatur pasela-pasela (batu-batu di ujung negeri) di mana kalau mau ikut tatacaranya, maka batu-batu pasela itu menjadi tempat orang tua menjaga kampung. Pasela kan artinya ujung/pembatas.23

Pada tanggal 29 Agustus 2016 beberapa kelompok adat yang juga hadir dalam deklarasi di Bitung, melaksanakan

Deklarasi PITON (Pinaesaan-Tountemboan) Bersatu di Batu Pinabetengan pada 29 Agustus 2016 yang juga diawali dengan ritual. 24 Pelaksanaan ritual dan deklarasi tersebut dipimpin

oleh pemimpin ritual (Tona’as) yang sama dengan yang memimpin deklarasi di Bitung, yakni Tona’as Dede Katopo. Pemilihan Batu pinabetengan sebagai tempat pelaksanaan ritual, bukan tanpa makna. Pinabetengan secara historis-kultural merupakan tempat berkumpul para pemimpin taranak Minahasa awal dalam upaya penyelesaian konflik. Karenanya, pelaksanaan ritual di Pinabetengan dipahami sebagai penegasan ulang terhadap konsensus para leluhur; penegasan ulang terhadap Tiwa Lumimuut-Toar, bahwa hidup bersama dalam

23 Wawancara dengan Tona’as Rinto Taroreh, 27 Juli 2016, di Bitung. 24 Data observasi, 29 Agustus 2016, di Pinabetengan.

(14)

masyarakat hanya dimungkinkan jika setiap kelompok taat pada kesepakatan awal yang telah dibuat para leluhur.25

Pandangan lain yang mendorong kekritisan masyarakat di tanah Minahasa terhadap para pendatang, saya temukan dalam wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat dan kelompok pemuda budaya. Rivo Gosal, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional menilai kekuatiran terhadap para pendatang sebagai reaksi yang berlebihan dan cenderung menggeneralisasi semua pendatang. Menurut beliau, meskipun harus berhati-hati terhadap pendatang yang memiliki agenda-agenda tersembunyi, tetapi penilaian yang mebutapun hanya akan menjadikan relasi sosial semakin meruncing. Selanjutnya Gosal menuturkan:

Kami di Mawale (salah satu kelompok adat di mana beliau juga menjadi bagian) sudah merumuskan satu rumusan tentang siapa Tou Minahasa. Tou Minahasa menurut kami adalah siapapun yang menjadikan tanah Minahasa sebagai ruang hidup dan berkomitmen menjaga keberlangsungan tanah Minahasa dan segala yang ada di tanah ini berarti dia Tou Minahasa. Jadi tidak melihat dari darahnya, warna kulit, suku. Saya sebagai pribadi melihat ada yang kemudian merusak hal tersebut--bukan hanya pendatang tapi juga masyarakat lokal Minahasa. Sikap saya sebagai pribadi terhadap pendatang, yakni hati-hati. Tetapi Ada klasifikasi lagi, yakni pendatang yang memang jujur memaknai diri sebagai bagian dari tanah Minahasa, karena telah mendapatkan hidup dari tanah ini. Sementara itu ada juga pendatang yang memang hanya menjadikan tanah ini sebagai tempat mencari kebutuhan hidupnya dan tidak ada tanggung-jawabnya untuk menghargai kehidupan di tanah ini; bahkan tidak jarang mereka mempunyai agenda-agenda khusus. Memang karena kelompok-kelompok yang

(15)

memiliki agenda-agenda khusus demikian, kemudian membuat masyarakat lokal terjebak untuk menganggap pendatang dengan agama tertentu semuanya sama, yakni memiliki agenda khusus. Tapi memang harus tetap berhati-hati terhadap pendatang agar kita tidak kecolongan oleh para pendatang yang memiliki agenda khusus.26

Tanggapan-tanggapan berbeda tersebut di atas terhadap relasi sosial di tanah Minahasa kini adalah juga gambaran mengenai bagaimana masyarakat memahami realitas sosial yang plural. Klaim asli-bukan asli, lokal-pendatang, Minahasa Kristen-Minahasa bukan kristen mendeskrpsikan bahwa pembauran masyarakat di tanah Minahasa kini berlangsung sedemikian kentalnya dan saling bersinggungan. Di sisi lain, klaim-klaim demikian adalah juga ekspresi ketersinggungan dan keidaksenangan masyarakat lokal terhadap kecenderungan oknum pendatang (kini) yang dinilai kebablasan mengelolah keterbukaan dan penerimaan terhadap mereka. Ketersing-gungan yang menajam pada upaya mengklaim kembali tanah, nilai, dan semua hal yang dapat menegaskan kepemilikan mereka terhadap tanah Minahasa.

Mengacu pada alur berpikir di atas dan realitas sosio-kultural di tanah Minahasa kini, maka menurut saya studi mengenai Redefinisi dan rekonstruksi TOU. Studi Sosial terhadap identitas sosial Minahasa dalam konteks Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat penting

dilakukan. Upaya demikian tidak hanya bertujuan agar masyarakat di tanah Minahasa kini dapat memahami kembali identitas bersama yang telah dikonstruksi oleh para leluhur dalam rangka mengatur kehidupan bersama yang beragam. Di sisi lain, rekonstruksi dan redefinisi Tou sebagai identitas sosial masyarakat di tanah Minahasa kini akan membantu merajut

26Wawancara dengan Rivo Gosal, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional, 8 Maret 2015, di Manado.

(16)

kembali tenunan-tenunan sosio-kultural dan menghadirkan kehidupan bersama yang konstruktif dan bermartabat sebagai bagian dari NKRI.

Pemilihan pokok studi demikian, juga ditunjang oleh pemeriksaan yang saya lakukan terhadap studi-studi sebelumnya.27 Berdasar pemeriksaan tersebut, saya menemukan

ada beberapa pengelompokkan studi tentang Minahasa. Pengelompokan yang pertama, yakni studi awal yang bersifat pandangan mata yang dilakukan oleh para para penginjil Barat yang datang ke tanah Minahasa, dan juga dalam bentuk laporan dari pejabat pemerintah kolonial Belanda yang bertugas di daerah ini mengenai situasi orang-orang Minahasa. Salah satu laporan, yakni laporan resmi residen Manado J.D. Schierstein kepada Gubernur di Maluku tentang penyelesaian konflik antara beberapa pakasa’an dan juga keberhasilannya menyatukan ukung-ukung di Minahasa. Dari tulisan dan laporan-laporan tersebut diperoleh gambaran mengenai bagaimana keberadaan orang-orang Minahasa awal, budaya, sistim sosial dan pemerintahan, serta keagamaan yang berlangsung di tanah Minahasa saat itu. Pengelompokkan kedua, yakni yang bersifat akademis mengenai Minahasa yang dilakukan oleh para peneliti Barat. Beberapa diantaranya, yakni studi terhadap makna cerita-cerita rakyat di Minahasa yang ditulis buku tiga jilid oleh J.A.T. Schwarz, Tontemboansche Teksten (Leiden: Brill, 1907). Selanjutnya, N.P. Wilken sebagai salah seorang penulis yang serius menggali akar kebudayaan Minahasa. Kurt Tauchmann, seorang peneliti Jerman, dipromosi doktor di Universitas Köln

27Ketika melakukan pemeriksaaan terhadap studi-studi terdahulu saya

mendapatkan banyak kemudahan karena usaha dokumentasi studi-studi tentang Minahasa yang dilakukan David Tular dalam tulisannya tentang Minahasalogi. David Tular, Minahasalogisebagaistudikeminahasaan.blogspot.co.id. Pemaparan tentang studi-studi terdahulu yang saya lakukan sebagian besar mengacu pada uraian pengelompokan studi-studi Minahasa yang dilakukan oleh David Tular. Selain itu, saya juga mengacu pada dokumentasi hasil studi di UKSW, UGM, dan UI tentang Minahasa yang bisa diakses di perpustakaan umum ketiga Universitas tersebut.

(17)

dengan disertasi berjudul Die Religion der Minahasa-Stämme (Nordost-Celebes/Sulawesi). Melalui studinya ini Tauchmann merekonstruksi agama dan kepercayaan asli suku-suku di Minahasa dari masa pra-pengaruh Eropa. Studi penting lainnya, yakni Mieke Schouten dengan tulisannya yang berjudul

Minahasa and Bolaangmongondow: an annotated bibliography 1800-1942 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981). Sesuai judulnya, buku ini memuat daftar tulisan-tulisan dan buku-buku mengenai Minahasa dan Bolaang Mongondow). Disertasi lainnya ditulis oleh Menno Hekker berjudul Minahassers in Indonesië en Nederland: migratie en cultuurverandering (Disertasi Universiteit van Amsterdam, 1993). Dari judulnya jelas bahwa arah penelitiannya adalah mengenai perubahan kultural pada kaum migran Minahasa di Negeri Belanda. Pada tahun 1996 KITLV di Leiden menerbitkan buku dari David E.F. Henley, Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indies (Leiden: KITLV, 1996). Dalam bentuknya yang belum direvisi, isi buku ini sudah diajukan oleh penulisnya sebagai disertasi Ph.D. pada Australian National University pada tahun 1992. David Henley sendiri berkebangsaan Inggris. Buku ini pada hakekatnya meneliti perkembangan nasionalisme regional yang bertumbuh di Minahasa pada zaman Hindia-Belanda hingga tahun 1942. Selain terbitnya disertasi-disertasi ini, ada dua buku kompilasi tulisan mengenai Minahasa yang terbit dalam bahasa Inggris selama era 90-an. Dua buku ini masing-masing adalah Helmut Buchholt dan Ulrich Mai, eds., Continuity, Change and Aspirations: Social and Cultural Life in Minahasa, Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1994) danReimer Schefold, ed., Minahasa Past and Present: Tradition and Transition in an Outer Island Region of Indonesia (Leiden: Research School CNWS, 1995). Pengelompokan yang ketiga, yakni studi yang dilakukan para peneliti dan penulis Indonesia, antara lain disertasi dari Geraldine Y.J. Manoppo-Watupongoh berjudul Bahasa Melayu surat kabar di Minahasa pada abad ke-19 (Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1983). Tulisan dari

(18)

H.M. Taulu yang terbit di era 50-an berjudul Adat dan Hukum Adat Minahasa, J.F. Malonda yang terkenal berjudul Membuka tudung dinamika filsafat-purba Minahasa, tahun, 1952. Juga termasuk dalam deretan terbitan di era 1950-an adalah buku dari J.G.Ch. Sahelangi, Ringkasan Hikajat Tanah dan Bangsa Minahasa Purbakala serta dengan Hikajat Bangsa Bentenan jang menduduki bahagian tenggara tanah Minahasa. Buku Sejarah Minahasa oleh F.S. Watuseke. Buku ini berisi studi mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di Minahasa mulai dari “zaman purba” sampai dengan tahun 1954, yaitu ketika Bitung dijadikan pelabuhan samudra. E.V. Adam, Kesusasteraan, Kebudajaan dan Tjerita-tjerita Peninggalan Minahasa, 1967. Buku kecil ini lebih merupakan kapita selecta mengenai kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan tua serta aturan-aturan tata-krama di Minahasa tempo dulu. L. Adam, Pemerintahan di Minahasa

(Jakarta: Bhratara, 1975) dengan kata pengantar oleh F.S. Watuseke dan Adat Istiadat Sukubangsa Minahasa. Disertasi Richard A.D. Siwu tentang , “Adat, Gospel and Pancasila: A Study of the Minahasan Culture and Christianity in the Frame of Modernization in Indonesian Society” (Tesis D.Min, Lexington Theological Seminary, 1985); Disertasi Josef Manuel Saruan tentang Opo dan Allah Bapa. Suatu Studi mengenai Perjumpaan Agama Suku dan Kekristenan di Minahasa ( Disertasi Program Doktoral The South East Asia Graduate School of Theology, Jakarta 1991), yang menggali korelasi nama Tuhan di suku Minahasa dengan Allah Bapa dalam agama Kristen. Tesis, K.A. Kapahang-Kaunang, Perempuan: Pemahaman Teologis tentang Perempuan dalam Konteks Budaya Minahasa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993). Di bidang pertanian, misalnya, ada penelitian dari A.E. Wahongan-K, “Peranan Wanita dalam Pembangunan dan Kaitannya dengan Lembaga Mapalus” (Tesis Master, Institut Pertanian Bogor, 1986). Tesis Magdalena Tangkudung yang berjudul Mitos dan Kodrat yang menggali bagaimana keberadaan perempuan Minahasa dalam kaitan dengan mitos dan kodrat (Tesis Magister Sosiologi-Agama

(19)

UKSW). Tesis dari Dance Palit, Minahasa: Integrasi Etnis, yang berorientasi pada upaya menggali latar-belakang penyatuan sub-sub etnik (Tesis Magister Sosioloi-Agama UKSW). Tulisan Bert Supit berjudul Minahasa: Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), juga merupakan salah satu studi tentang Minahasa yang menjadi acuan karena cukup lengkap menulis mengenai orang Minahasa dan konteksnya. Serta studi-studi lainnya mengenai Minahasa yang mulai diminati oleh para mahasiswa/i di Universitas-universitas di Indonesia. Mengacu pada pemeriksaan tersebut, saya menyimpukan, bahwa studi mengenai Redefinisi dan

Rekonstruksi Tou. Studi Sosial terhadap Identitas Sosial

Minahasa dalam konteks Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI), belum pernah diteliti dan ditulis secara

khusus.

2. Masalah Penelitian

Bertolak dari latar-belakang pemikiran yang telah dipaparkan di atas, maka saya merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Bagaimana konstruksi Tou sebagai identitas sosial Minahasa awal? Bagaimana nilai-nilai dalam Tou yang mengatur relasi antar taranak—dalam wale, walak dan

pakasa’an – dan dengan pendatang di Minahasa? Mengapa terjadi reduksi Tou dalam perjalanan sebagai Minahasa? Bagaimana dampak reduksi Tou terhadap relasi sosial di tanah Minahasa kini? Bagaimana redefinisi dan rekonstruksi Tou sebagai identitas sosial masyarakat di tanah Minahasa kini dan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?

3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan dari penulisan ini adalah melakukan deskripsi dan analisis

(20)

terhadap proses definisi dan konstruksi Tou sebagai identitas sosial Minahasa awal. Dalam deskripsi dan analisis tersebut akan ditelisik secara mendalam latar belakang terbentuknya Minahasa dalam wale, walak, pakasaan, serta bagaimana para lelulur mengkonstruksi Tou sebagai identitas Mahasa/Minahasa. Bagian terakhir dari tulisan ini bertujuan mendiskripsikan dan mengkaji Tou dalam konteks masyarakat di tanah Minahasa kini. Mengapa Tou direduksi menjadi identitas primordial serta bagaimana redefinisi dan rekonstruksi Tou harus dilakukan dalam rangka memposisikan kembali Tou sebagai identitas sosial Minahasa dalam konteks NKRI.

4. Urgensi Penelitian

1. Teoritis

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis apa dan bagaimana identitas etnis yang egaliter dapat dikonstruksi menjadi identitas sosial. Studi mengenai Tou sebagai identitas bersama di Minahasa awal yang dikonstruksi sebagai upaya menata keragaman orang dengan latar belakang bahasa, ritual serta asal-usul berbeda. Karenanya, studi ini dapat menjadi acuan akademis bagi studi-studi lain tentang identitas etnis dan sosial.

2. Praktis

Keragaman etnis dan agama yang ada di Indonesia seringkali menjadi alasan terjadinya gesekan dan benturan. Pada umumnya gesekan dan benturan terjadi, karena keragaman tersebut telah memarginalisasi nilai kultural yang telah membangun dan menghidupi masyarakat sejak zaman leluhur. Ketika marginalisasi tersebut ditanggapi dengan penguatan identitas kultural primordial, maka benturan sosial dan dehumanisasi dengan alasan-alasan fanatisme primordial tidak dapat dihindari. Karena itu, studi

(21)

ini akan sangat berguna bagi pemerintah, pemimpin-pemimpin lokal, para aktivis sosio-kultural untuk mengklaim kembali nilai-nilai kultural yang egaliter bagi upaya membangun kesadaran sosial dan penghargaan terhadap keragaman. Dalam konteks masyarakat di tanah Minahasa kini, studi ini memberi kontribusi kritis bagi pemerintah, agama-agama dan masyarakat dalam rangka membangun kesadaran mengenai pentingnya mengklaim kembali Tou

yang egaliter. Selanjutnya, studi ini dapat menjadi acuan dari upaya rekonsiliasi sosial agar gesekan-gesekan sosial tidak akan menajam menjadi benturan antar budaya.

5. Metodologi Penelitan

a. Pendekatan penelitian

Pendekatan Penelitian yang saya gunakan dalam penelitian, yakni pendekatan penelitian kualitatif. Pendekatan kualitatif terdiri dari dua komponen utama, pertama, data berasal dari berbagai sumber, yakni wawancara, observasi, dokumen, rekaman, dan film. Kedua, pada tahap ini peneliti dapat melakukan interpretasi data atau mengorganisir data; termasuk didalamnya sampel yang tidak bercorak statistik, catatan lapangan, dan diagram.28

b. Metode Penelitian.

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini, yani grounded theory. Strauss and Corbin, menjelaskan bahwa grounded theory, merujuk pada penelitian tentang kehidupan manusia, pengalaman hidup, perilaku, emosi-emosi, fungsi-fungi organisasi, gerakan-gerakan sosial, fenomena kultural, dan interaksi antar bangsa. Strauss dan

28 Anselm Strauss & Juliet Corbin, Basic of Qualitative Research Techniques

and Procedures for Devoloping Grounded Theory (London,-New Delhi: Sage Publication, 1988), 9.

(22)

Corbin juga menjelaskan, bahwa koleksi dan analisis data dalam grounded theory dilakukan secara simultan.29

Penjelasan Staruss and Corbin diperkuat oleh Campbell, yang menjelaskan bahwa cara kerja grounded theory

memang berbeda dengan bentuk penelitian kualitatif lainnnya yang melakukan pengumpulan data lebih dahulu, kemudian melakukan analisa data. Hal lain yang membedakan grounded theori dengan bentuk lain dari penelitian kualitatif yakni, bahwa penelitian ini menghasilkan pengembangan teori melalui proses pengumpulan dan analisis data yang simultan. Campbell menegaskan demikian only through this simultaneous process can a researcher develop and then amend the theory as the research data dictates. This is another example, as mentioned previously of how the teory is dependent on the data and not the data dependent on the theory.30 Di samping itu menurut Erin Horvat,

keunikan dari grounded theory method, yakni mendengar penuturan informan mengenai pemahaman mereka tentang diri, masyarakat dan dunia mereka sebagai bagian penting dari kerja penelitian.31

c. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kualitatif interpretatif. Kualitatif interpretatif mensyaratkan fakta-fakta sosial dipelajari dalam konteks alaminya, agar makna yang dilekatkan pada fakta-fakta tersebut dapat diinterpretasi.32

Selain itu, untuk mempertajam interpretasi data (terutama data-data teks), saya juga akan mengacu pada teori Paul Ricoeur dan Hans Georg Gadamer mengenai hermeneutik.

29 Ibid.

30 Jason Campbell, “Qualitative Method of Research: Grounded Theory Research” (Ph.D. diss., Mark Bound Nova Southeastern, 2011), 15.

31Erin Horvat, et al, The beginner’s guide to doing qualitative research: how to get into the fild, collect data, and write up your (New Yor & London: Teacher College Press Colombia University, 2013), 73.

32 Norman K. Denzim & Ivina S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research. Diterjemahkan oleh Dariyatno dkk.(Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2009), 7.

(23)

Pertama, teori Paul Ricoeur mengenai hermeneutik. Ricoeur menjelaskan, bahwa berkaitan dengan kerja hermeneutik, maka penafsir berhadapan dengan teks, bukan bahasa percakapan. Dengan demikian kerja hermeutik akan berkaitan dengan dua hal utama, yakni pertama bagaimana menempatkan teks sebagai teks. Kedua, berkaitan dengan metodologi yang disebut interpretasi teks.33 Perbedaan

antara teks dan percakapan terlihat jelas dalam diskursus. Dalam diskursus percakapan, maksud pembicara dan apa yang dimaksudkannya dalam diskursus saling tumpang tindih, sebab apa yang dimaksudkan oleh pembicara dan apa maksud diskursusnya dapat dipahami dengan cara yang sama. Berbeda dengan diskursus tulisan, maksud penulis dan makna dari teks serta makna batiniah adalah apa yang sungguh-sungguh dipertaruhkan dalam diskursus tulisan.34

Ricouer menjelaskan lebih lanjut, bahwa meskipun demikian tidak berarti teks dapat dipahami dengan jelas tanpa penulis, melainkan makna teks dapat melampaui dan rumit. Karena teks mengembangkan dirinya lepas dari penulis, sehingga apa yang teks suarakan sekarang (ketika dibaca dan ditafsir) lebih dari pada apa yang penulis katakan.35 Ricouer juga

menjelaskan bahwa dalam diskursus tulisan, dunia adalah pasangan dari literatur yang terbuka terhadap teks. Karena itu menurut Ricoeur, pemahaman tentang situasi/dunia kita akan membantu kita memahami teks.36 Ricoeur juga

membedakan antara percakapan dan teks pada yang menjadi alamat/tujuan. Percakapan hanya dialamatkan pada orang yang di ajak bicara, sedangkan yag menjadi tujuan teks adalah semua orang yang bisa membaca. Singkatnya,

33 Paul Ricoeur, The Model of the Text: Meaningful Action Considered as a Text” dalam Paul Rabinow & William M. Silivian, Interpretative Social Science A reader (Berkley-Los Angeles-London: University of California Press, 1979), 73. 34 Ibid., 78.

35 Ibid. 36 Ibid., 79.

(24)

alamat teks diciptakan sendiri oleh teks.37 Selanjutnya

Ricoeur menegaskan, bahwa struktur spesifik dari teks adalah kumulatif dan holistik, karenanya teks harus ditempatkan dalam keseluruhan teks yang terbuka terhadap beberapa referensi dan konstruksi. 38

Kedua, teori Hans Georg Gadamer mengenai Hermenutik. Dalam bukunya yang berjudul Kebenaran dan Metode, Gadamer menulis, bahwa teks akan berbicara, jika kita berusaha memahami. Karena itu, penafsir harus menemukan bahasa yang benar yang dapat membuat teks berbicara, dan pemahaman tersebut bukan prosedur arbitrer melainkan upaya mencari jawab dari pertanyaan yang diajukan.39 Gadamer juga menjelaskan mengenai

pentingnya kepekaan penafsir terhadap kualitas makna baru dari teks. Kepekaan demikian bisa terjadi jika penafsir memiliki kesadaran secara metodologi dan membebaskan diri dari prasangka-prasangka pribadi; membebaskan diri dari tirani-tirani prasangka yang membuat penafsir bisu terhadap bahasa yang berbicara dalam teks. Implikasinya, kesadaran demikian akan mengarahkan penafsir untuk melakukan pengecekan dan kemudian menemukan pemahaman yang benar dari teks itu sendiri.40 Selanjutnya

berkaitan dengan posisi penafsir berhadapan dengan teks, Gadamer menjelaskan bahwa antara penafsir dan teks memiliki hubungan dialektika. Memang dalam relasi tersebut teks dan penafsir tidak berada dalam kesejajaran, karena jarak historis yang terbentang diantara mereka. Tetapi tidak berarti pemahaman yang lebih unggul akan tergantung pada posisi tidak sejajar tersebut. Karena pada

37 Ibid., 80. 38 Ibid., 90.

39 Hans Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode. Pengantar Filsafat Hermeneutik. Diterjemahkan oleh Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 454,482.

(25)

dasarnya teks berbicara dari konteks dan waktunya, sedangkan penafsir meskipun harus berusaha membebaskan diri dari keberpihakannya, ia tetap tidak dapat mengelakkan diri untuk berpijak dari konteks dan motivasinya.41 Meskipun demikian, menurut Gadamer tidak

berarti dialektika diantara keduanya dalam kerja hermeneutika tidak dapat dilaksanakan. Selanjutnya Gadamer menjelaskan, bahwa sama halnya dengan pidato yang mengikat pembicara dan yang diajak bicara, demikian juga teks dengan penafsir. Karena itu, teks meskipun ditafsirkan berulang-ulang oleh orang berbeda, teks akan tetap menjadi teks yang sama yang memberikan penjelasan tentang dirinya dengan cara berbeda.42 Penjelasan Gadamer

lainnya, yakni mengenai penafsiran terhadap gambar. Gambar tidak sekedar mengandung nilai estetika. Gambar adalah juga pengada dari mana ia dimunculkan. Gambar adalah model dari aslinya; representasi dari pribadi khusus di dalam sebuah gambar yang muncul seperti lukisan. Karena itu, gambar memiliki kekhasan. Tetapi kekhasan di sini sama sekali bukan sebuah pengurangan terhadap klaim artistik dari karya-karya tersebut, melainkan kekhasan dari pengungkapan sebuah penentuan makna yang ajeg.43

d. Teknik Pengumpulan data

Berdasarkan pendekatan dan metode penelitian yang digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah multiple source data atau beragam sumber data yang memungkinkan pegumpulan data secara maksimal. Beragam sumber data yang dipakai dalam penelitian ini, yakni wawancara mendalam, FGD, dokumentasi dan observasi. Teknik wawancara mendalam yang digunakan adalah wawancara terbuka, yakni

41 Ibid, 569-570.

42 Ibid., 483.

(26)

wawancara yang menggunakan pedoman wawancara sebagai acuan peneliti, tetapi juga memungkinkan pertanyaan-pertanyaan baru dikembangkan dari jawaban-jawaban informan. Pada prinsipnya, wawancara terbuka sangat tergantung pada keluwesan peneliti untuk mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada pendalaman data44 FGD dilakukan dengan menetukan

topik utama yang akan dibahas, yakni topik mengenai Tou. Agar FGD tersebut mencapai tujuan dari penelitian ini, maka peneliti menjaga seketat mungkin dengan tetap mengacu pada topik diskusi. Untuk teknik dokumentasi, saya menginventarisir tulisan-tulisan dari penulis lokal dan barat tentang Minahasa serta dokumen-dokumen terkait (misalnya dokumen asal-usul leluhur Minahasa yang dibuat oleh kelompok-kelompok budaya). Selanjutnya, saya memilah dokumen-dokumen tersebut sesuai kebutuhan penelitian.

e. Sumber Data

Sumber data dari penelitian ini terbagi dalam tiga jenis data. Pertama, data verbal dari hasil wawancara dengan para para pelaku budaya (kelompok-kelompok budaya), tokoh masyarakat dan tokoh agama, turunan pengikut Kyai Modjo dan turunan pengikut Imam Bonjol. Kedua, data dokumentasi yang diperoleh dari tulisan-tulisan para penulis barat dan lokal tentang Minahasa dan dari gambar pada waruga (kuburan para leluhur) dan batu-batu penanda kampung. Ketiga, data observasi yang diperoleh dari pengamatan penulis terhadap proses ritual kampetan

(pemimpin ritual yang kesurupan arwah leluhur) dan juga perilaku para pelaku budaya dalam ritual dan perlakuan mereka terhadap situs-situs budaya. Keempat, data FGD yang diperoleh dari diskusi dengan beberapa pimpinan

44 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 188.

(27)

kelompok-kelompok budaya (kalangan muda) dan pimpinan agama di SULUT yang tergabung dalam Badan Kejasama Umat Beragama (BKSUA).

6. Susunan Pemaparan

Pemaparan dalam tulisan ini disusun sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, meliputi Latar-Belakang, Masalah Penelitian, Tujuan Penulisan, Pendekatan dan Metode Penelitian, serta Susunan Pemaparan. Bab II mengenai identitas dan perubahan sosial. Bab III mengenai Ritus: jenis dan fungsi. Bab IV mengenai Minahasa: Negeri para taranak. Sub-sub pembahasan dalam bab ini, yakni Asal-usul nama Minahasa, Taranak sebagai komunitas awal Minahasa, Pengelompokkan taranak dalam Wale dan

Walak, Pengelompokkan Taranak dalam Pakasa’an, dan Perjumpaan dan embauran taranak dengan pendatang. Bab V tentang Tou, yang terurai dalam 3 bagian, yakni pertama, Tou

dalam Tiwa Lumimuut-Toar, kedua, Tou dalam konsensus para pemimpin taranak di batu Pinabetengan, dan ketiga, Tou dalam ucapan-ucapan tua. Bab VI tentang Redefinisi dan rekonstruksi

Tou sebagai identitas sosial di tanah Minahasa kini dalam konteks NKRI. Bab terakhir dalam disertasi ini dibagi dalam 2 bagian, pertama Redefinisi dan Rekonstruksi Tou sebagai identitas sosial tanah Minahasa kini, kedua, Tou sebagai identitas sosial Minahasa dalam konteks NKRI. Bab VII Refleksi dan Kesimpulan.

Gambar

Gambar 1.1 Peta Propinsi Sulawesi Utara 12

Referensi

Dokumen terkait

Bagian muara memiliki ciri tebing yang landai dan dangkal, daya erosi kecil, arus air sangat lambat dengan volume air yang lebih besar.Bahan air dalam dan

Latar juga dapat dilihat dari sisi fungsi yang lebih menyaran pada fungsi latar sebagai pembangkit tanggapan atau suasana tertentu cerita. Fungsi latar terbagi atas

• suhu basah alami (natural wet bulb temperature) : suhu penguapan air yang pada suhu yang sama menyebabkan terjadinya keseimbangan uap air di udara, suhu ini diukur dengan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa MAS Daruzzahidin pada materi sel melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara gaya hidup hedonis dengan peri- laku

Rory, merupakan sosok hantu anak kecil yang terlihat memang tidak menganggu, tetapi justru malah ingin membantu dan mencoba memberitahu tentang kejahatan apa yang

Keterkaitan hormon steroid pada regulasi VEGF didukung oleh penelitian secara in vitro pada kultur sel endometrium dengan reseptor progesteron positif yang menunjukkan

berdasarkan standar AAOIFI ditunjukkan pula dalam hasil analisis di IBT yang sama sekali tidak memiliki direksi dengan long tenure dan berpengaruh terhadap hasil dari