• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Persepsi Kongruensi Budaya dengan Intergroup Contact Pada Masyarakat Suku Batak Toba Terhadap Masyarakat Suku Nias di Kabupaten Simalungun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Persepsi Kongruensi Budaya dengan Intergroup Contact Pada Masyarakat Suku Batak Toba Terhadap Masyarakat Suku Nias di Kabupaten Simalungun"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki ciri khas

dengan berbagai macam bentuk keberagaman. Keberagaman tersebut terlihat dari

adanya perbedaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat di Indonesia, meliputi

keberagaman dalam bentuk tradisi maupun keyakinan yang berbeda-beda.

Perbedaan budaya sebagai salah satu identitas bagi masyarakat merupakan sebuah

pandangan hidup bagi suatu kelompok masyarakat (Berry et al,1999). Pandangan

hidup tersebut meliputi keyakinan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta

kebiasaan yang akan diperoleh seorang individu sebagai angggota dalam suatu

masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan bagian dari ciri khas suatu kelompok

masyarakat yang secara nyata bisa ditemukan dalam aktivitas sehari-hari individu

di lingkungan, dan ciri khas apa yang dimiliki oleh kelompok cenderung akan

dianggap benar oleh masing-masing kelompok.

Ketika berada dalam lingkungan yang terdiri dari kelompok budaya

berbeda, proses adaptasi atau penyesuaian diri antara individu satu dengan

individu lainnya akan terjadi dan tidak dapat dihindari (Matsumoto, 2008).

Penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu dari kelompok yang budaya

berbeda menjadi salah satu cara untuk bisa saling menerima perbedaan-perbedaan

yang ada. Setelah melakukan proses adaptasi dan saling menerima perbedaan

yang ada, maka setiap individu dari kelompok budaya berbeda akan menjalin

(2)

lainnya. Kontak antara anggota kelompok (intergroup contact) merupakan proses

terjadinya hubungan antara satu individu dengan indivu lainnya baik yang berasal

dari kelompok budaya yang sama atau juga kelompok budaya yang berbeda.

Kontak antara anggota kelompok budaya yang berbeda tersebut dapat terjadi

karena adanya status yang sama sebagai bagian dari kelompok budayanya

masing-masing, memiliki tujuan, menjalin kerjasama, dan saling memberikan dukungan

sosial (Allport, 1954). Seorang individu melakukan interaksi dengan individu lain

bertujuan untuk menciptakan suatu hubungan sosial yang baik di antara kelompok

budaya yang saling berbeda.

Untuk menciptakan sebuah hubungan yang baik pada kelompok budaya

yang berbeda dibutuhkan sebuah penilaian. Penilaian yang dimaksud merupakan

persepsi kongruensi budaya dalam melakukan penyesuaian komponen budaya

pada kelompok yang berbeda. Menurut Cameron dan Ettington (1988) kongruensi

budaya merupakan kesesuaian dalam budaya bukan sebuah keseragaman ataupun

kesepakatan di antara kedua budaya yang berinteraksi. Persepsi kongruensi

budaya adalah bentuk penilaian atau interpretasi dari kesesuaian komponen

budaya (nilai, norma, ataupun cara pandang) yang dilakukan oleh dua atau lebih

kelompok budaya yang berbeda saat beradaptasi. Penilaian bertujuan untuk

melihat bagaimana kongruensi budaya di antara kedua kelompok budaya yang

berbeda. Secara perlahan anggota kelompok dari budaya yang berbeda tersebut

bisa saling mengetahui, mengenal atau bahkan memahami budaya dari kelompok

lainnya sehingga akan menciptakan suatu hubungan sosial yang baik di antara

(3)

Kabupaten Simalungun merupakan daerah yang masyarakatnya identik

dengan keberagaman. Keberagaman yang dimaksud adalah latar belakang budaya

dari masyarakatnya antara lain, suku Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo,

Mandailing, Jawa, Melayu, Tionghoa, dan juga suku Nias. Kabupaten Simalungun

memiliki 31 kecamatan yang terdiri dari 306 desa dan 17 kelurahan. Berdasarkan

data BPS tahun 2010 tercatat bahwa jumlah penduduk di daerah Kabupaten

Simalungun sebanyak 818.104 jiwa, dari jumlah tersebut hanya ada 244 jiwa

masyarakat suku Nias di Kabupaten Simalungun (berdasarkan data organisasi

Orahua Nono Niha Bandar Serbalawan). Dengan jumlah yang cukup sedikit

tersebut serta maka masyarakat suku Nias dapat dikategorikan sebagai masyarakat

pendatang (minoritas) di daerah Kabupaten Simalungun.

Berdasarkan data BPS Kabupaten Simalungun ditemukan bahwa yang

menjadi kelompok mayoritas adalah masyarakat suku Batak Toba yang bukan

suku Batak Simalungun. Hal tersebut dapat terjadi karena lokasi geografisnya

cukup strategis, yaitu dekat dengan daerah yang mayoritas masyarakatnya suku

Batak Toba seperti daerah Danau Toba.

Masyarakat suku Nias dan masyarakat suku Batak Toba memiliki

perbedaan dan persamaan dalam komponen-komponen budaya, baik dalam

adat-istiadat, norma, nilai maupun kebiasaan. Perbedaan budaya antara masyarakat

suku Nias dengan masyarakat suku Batak Toba terletak pada “tarombo” atau cara memanggil sanak saudara dan juga adat-istiadat dalam pernikahan, seperti mahar

atau jujuran serta prosesi penyelenggaraan pesta pernikahan. Hal tersebut

(4)

“…kalau berbicara tentang perbedaan, suku Nias sama Batak Toba

bedanya itu pada pelaksanaan adat pernikahannya dan juga tarombo

yang dimiliki suku Nias cukup berbeda dengan Batak Toba.”

(Komunikasi personal, 2014)

Namun dari kedua perbedaan tersebut adat penyelenggaraan pernikahan

menjadi sebuah perbedaan yang mencolok. Sistem kekerabatan dan kerjasama

masyarakat suku Nias memang cukup menonjol, sehingga pada saat

menyelenggarakan pesta pernikahan sudah seperti sebuah keharusan bagi mereka

menyembelih babi dengan jumlah banyak sebagai mahar atau jujuran untuk

menghormati mempelai wanita dan para keluarganya, tetua adat serta masyarakat.

“…orang Nias udah terkenal dengan maharnya, semakin banyak babi

yang dipotong semakin dihormati dan dihargailah calon istrinya.”

(Komunikasi Personal, 2014)

Sementara pada masyarakat suku Batak Toba penyelenggaraan adat

pernikahan tidak terlalu berfokus pada jumlah pembayaran mahar untuk calon

mempelai perempuan seperti adat suku Nias, namun lebih kepada pelaksanaan

prosesi adat “tor-tor” atau tarian sebagai bentuk penghormatan kepada kedua

mempelai dan keluarganya. Hal tersebut disampaikan oleh seorang tetua adat “raja

parhata” sebuah organisasi di Kabupaten Simalungun.

“…Batak Toba dan Nias itu cukup beda dalam adat pernikahan. Kalau orang Nias banyak-banyak dipotong babi untuk menghormati keluarga, tapi Batak Toba pakai tor-tornya itulah keluarga akan merasa sangat

dihormati”

(Komunikasi Personal, 2014)

(5)

Perbedaan adat pernikahan suku Batak Toba dan suku Nias tersebut

terletak pada cara pelaksanaannya, namun untuk makna yang terkandung didalam

adat tersebut memiliki persamaan, yaitu sama-sama sebagai bentuk penghormatan

dan menghargai mempelai berserta keluarganya. Begitu juga halnya dengan

“tarombo”, meskipun istilah yang digunakan untuk memanggil para

sanak-saudara berbeda tetapi masyarakat suku Batak Toba dan suku Nias saling

menunjukkan adanya rasa hormat kepada para keluarga. Komponen-komponen

budaya lainnya seperti agama, strata sosial, penggunaan bahasa, bahkan pada

kebiasaan dalam bersosialisasi juga memiliki perbedaan. Namun perbedaan

tersebut tidak menjadi sebuah penghalang bagi individu dari kedua kelompok

budaya yang berbeda untuk bisa hidup berdampingan dengan damai. Mereka

saling menghormati dan menghargai budaya yang dimiliki oleh kelompok budaya

lainnya.

Hal tersebut dapat terjadi karena dibalik perbedaan ada juga persamaan

yang terjadi dalam aktifitas sehari-hari. Seperti penggunaan bahasa Indonesia saat

individu suku Batak Toba berkomunikasi dengan individu dari suku Nias, begitu

juga sebaliknya. Selain itu juga adanya persamaan pada agama yang dianut

menciptakan sebuah interaksi saat melakukan kegiatan kerohanian (pergi ibadah

ke Gereja dan ikut serta dalam organisasi Gereja). Ketika mengadakan sebuah

acara tertentu seperti acara pernikahan dan meninggal dunia, dengan mayoritas

beragama Kristen masyarakat suku Batak Toba dan suku Nias tetap menyediakan

acara tersendiri bagi masyarakat yang non-Kristen untuk menghargai dan

(6)

Upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat suku Nias maupun suku

Batak Toba untuk menciptakan sebuah hubungan baik adalah melakukan sebuah

penilaian terhadap komponen budaya yang dimiliki dengan komponen budaya

yang dimiliki oleh kelompok lain. Sehingga ketika terjadi kesesuaian dari

persamaan dalam komponen budaya maka kelompok budaya yang berbeda akan

membangun sebuah kontak dan hubungan sosial. Persepsi kongruensi budaya juga

akan membantu dalam meminimalisir kemungkinan timbulnya kesalahpahaman

ketika melakukan kontak antar kelompok.

Kontak yang terjadi antar kelompok budaya berbeda dapat bersifat positif

atau negatif, dikarakteristikkan dengan keharmonisan atau konflik di antara

kelompok yang bersangkutan (Bourhis, Montreuil, Barrete, & Montaruli, 2009).

Kesalahpahaman yang mungkin cenderung akan terjadi pada masyarakat suku

Nias dan suku Batak Toba adalah ketika individu-individu baik dari suku Nias

maupun suku Batak Toba sangat sering berinteraksi menggunakan bahasa aslinya

maka masyarakat dari suku lain (Batak Toba dan Nias) sulit untuk bisa mengerti

dan memahami apa yang sedang dibicarakan sehingga akan cenderung merasa

terabaikan. Berawal dari sebuah kesalahpahaman pada akhirnya bisa memicu

munculnya sebuah konflik ataupun hal negatif lainnya yang tidak diinginkan oleh

masyarakat.

Sejauh ini memang belum pernah ada kesalapahaman, konflik ataupun hal

buruk lainnya yang secara besar-besaran terjadi pada masyarakat suku Batak Toba

di Kabupaten Simalungun karena keberadaan kelompok budaya yang berbeda,

(7)

kemungkinan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ketika

kelompok-kelompok budaya tersebut belum secara sadar saling melakukan penilaian

terhadap komponen budaya yang dimiliki. Semakin kita menyadari ada

persamaaan atau perbedaaan dalam komponen budaya yang dimiliki akan

membantu dan menentukan terjadinya sebuah interaksi. Asumsi bahwa persepsi

kongruensi budaya antara kelompok yang berbeda (suku Batak Toba dan suku

Nias) memiliki hubungan dengan terbentuknya sebuah kontak antar kelompok

(intergroup contact) akan dibuktikan kebenarannya melalui penelitian ini.

B. Urgensi Penelitian

Hampir semua negara dapat dikatakan beragam dalam hal budaya. Tidak

ada negara yang terdiri hanya dari satu budaya, satu bahasa dan satu identitas saja,

oleh karena di setiap negara plural sudah pasti akan melalui proses adaptasi

terlebih dahulu sebelum akhirnya melakukan kontak atau interaksi dan hubungan

antar dua atau lebih kelompok budaya yang berbeda. Kontak antar kelompok itu

sendiri perlu melibatkan suatu penilaian kongruensi budaya melalui komponen

budaya yang dimiliki oleh masing-masing kelompok. Penilaian kongruensi

tersebut dilakukan untuk melihat bagaimana kesesuaian budaya yang terjadi pada

kelompok budaya yang berbeda.

Sehingga dibutuhkan penelitian dan kajian lebih lanjut untuk memahami

bagaimana persepsi kongruensi budaya menentukan apakah akan terjadi sebuah

(8)

Maka topik ini penting untuk diteliti karena hasil dari penelitian ini

nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan

penilaian kongruensi budaya pada masyarakat dalam proses interaksi di antara

kelompok budaya yang berbeda tersebut.

C. Rumusan Masalah

Berdasarakan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan

masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: Adakah hubungan antara

persepsi kongruensi budaya dengan intergroup contact?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Mengetahui apakah ada

hubungan antara persepsi kongruensi budaya dengan intergroup contact. Apakah

akan terjadi kontak di antara kelompok budaya yang berbeda ketika individu dari

masing-masing kelompok melakukan sebuah penilaian terhadap komponen

budaya yang dimiliki.

E. Manfaaat Penelitian

1. Secara teoritis, peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat

dan sumbangan yang berarti terhadap kemajuan ilmu pengetahuan

terutama yang termuat dalam ruang lingkup masalah, khususnya di bidang

Psikologi Sosial yang menyangkut hubungan antara persepsi kongruensi

(9)

2. Secara praktis, dengan penelitian ini diharapkan individu dapat melakukan

persepsi kongruensi budaya terhadap komponen-komponen budaya yang

dimilikinya oleh budaya lain sehingga akan membantu dalam menciptakan

sebuah hubungan sosial yang bersifat positif.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bab I Pendahuluan, yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan

permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

2. Bab II Ladasan Teori, menguraikan teori-teori yang dipakai sehubungan

dengan permasalahan yang dibahas yaitu tentang persepsi kongruensi

budaya dan intergroup contact serta mengemukakan hipotesa sebagai

dugaan sementara terhadap masalah penelitian.

3. Bab III Metode Penelitian, menguraikan variabel penelitian, definisi

operasional variabel, metode pengambilan sampel, metode pengambilan

data, uji daya beda item dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisa data

yang digunakan untuk mengolah hasil penelitian.

4. Bab IV Analisa Data dan Pembahasan, menguraikan secara singkat hasil

yang diperoleh dari penelitian, interpretasi data dan pembahasan.

5. Bab V Kesimpulan dan Saran, menguraikan kesimpulan yang diperoleh

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Riyanto selaku sekertaris desa Traji, “yang namanya Suran s endang Sidukun itu sudah menjadi adat yang tidak bisa diganti keberadaannya

Jumlah bahan baku sebanyak 80 kg merupakan jumlah optimal untuk ruang destilator pada saat produksi karena diduga mempengaruhi hasil akhir minyak atsiri

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase

JUDUL : PENGENALAN RUMAH ADAT INDONESIA BERBASIS AUGMENTED REALITY DENGAN MEMANFAATKAN KTP SEBAGAI MARKER.. NAMA :

Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara yang bertabrakan

Satu di antaranya karena di wilayah tersebut tersimpan ribuan peninggalan manusia purba yang menunjukkan proses kehidupan manusia dari masa lalu.. Sangiran telah menjadi

ceramah sebagai metode utama dan sering dilakukan. Gaya mengajar guru yang sering digunakan oleh guru di SMP Negeri 8 Palu adalah gaya mengajar klasik. Gaya mengajar ini

Alamat Penyunting dan Tata Usaha : Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya, Jl. Raya Prabumulih Inderalaya oKl