• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amiroh Ambarwati* Kata kunci: Perspektif, Wanita, Eksistensi, Potensi, Feminisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Amiroh Ambarwati* Kata kunci: Perspektif, Wanita, Eksistensi, Potensi, Feminisme"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

*Penulis adalah Widyaiswara Muda Balai Diklat Keagamaan Kanwil Depag Semarang

PERSPEKTIF FEMINIS

DALAM NOVEL PEREMPUAN DI TITIK NOL TERJEMAH NOVEL

IMRA’ATUN’INDA NUQTAH AL-SHIFR KARYA NAWAL EL-SA’DAWI

DAN PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL-KHALIEQY

Amiroh Ambarwati* amirohambarwati@ymail.com

08132510722

Abstract: In the patriarchy society, women are viewed to be the second class depending on men. Culture and custom demand women to be under men. It makes women stand in the back side an oppression. In contrast, man were supposed to be the first class, who dominating. The research aims at investigating the existence of women in Nawal El-Sa’adawi’s Perempuan di Titik Nol and Abidah El-Khalieqy’s Perempuan Berkalung Sorban to realize the existence to be human being having value and prestige appropriated with her potentions.

Kata kunci: Perspektif, Wanita, Eksistensi, Potensi, Feminisme.

PENDAHULUAN

Perempuan dengan segala dinamikanya seakan menjadi sumber inspirasi yang tak akan pernah habis. Merebaknya bentuk kajian yang membahas tentang isu-isu perempuan merupakan suatu kelaziman dibanding mencuatnya permasalahan yang membahas tentang isu laki-laki. Kecenderungan tersebut muncul karena kehidupan perempuan senantiasa dianggap unik sehingga selalu menjadi stressing dalam berbagai aspek kehidupan (Mubin, 2008:7). Bagi perempuan sendiri, keunikan tersebut tidak selalu berarti sesuatu yang menyenangkan karena dalam banyak hal mereka merasakan ketidakadilan (Effendi via Engineer, 2000: v).

Yang menjadi persoalan di sini adalah perempuan relatif memiliki banyak kesulitan dalam menemukan eksistensinya dan dalam menentukan sikap menyambut kerumitan masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Perempuan yang ingin menemukan eksistensinya terkadang dipandang sebagai bentuk ’perlawanan’ oleh sebagian orang yang masih dilingkupi pemikiran patriarkis. Padahal perempuan hanya ingin menemukan jati dirinya, membentuk, dan mengembangkan kesadaran bahwa ada potensi nonfisik yang harus dikembangkan dalam eksistensi dirinya sebagai manusia.

Berbagai persoalan perempuan yang berhubungan dengan masalah kesetaraan gender ini selanjutnya mengundang simpati yang cukup besar dari masyarakat luas karena dianggap erat kaitannya dengan persoalan keadilan sosial dalam arti lebih luas (Nugroho, 2008:28). Dewasa ini, berbagai ketimpangan gender yang dialami oleh kaum perempuan tersebut tengah dipersoalkan dan digempur oleh sebuah gerakan yang disebut gerakan feminisme. Gerakan ini berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, hingga upaya penciptaan pembebasan perempuan. Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa feminisme merupakan

(2)

sebuah ideologi pembebasan perempuan, karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya (Humm, 2002:158).

Sehubungan dengan maraknya berbagai fenomena yang ada dalam masyarakat, muncullah karya sastra sebagai salah satu bentuk representasi budaya yang menggambarkan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga karya sastra sering dianggap sebagai potret kehidupan masyarakat yang terdapat di sekitar pengarang, atau bahkan merupakan kenyataan sosial (Wellek dan Warren, 1990:109). Terkait dengan keberadaan sastra sebagai produk sosial budaya yang dikonsumsi dan diciptakan dalam latar belakang yang bersifat universal, maka isu seputar perempuan merupakan salah satu persoalan yang diangkat di dalamnya. Munculnya pembicaraan tentang perempuan dalam karya sastra ini didorong oleh keprihatinan terhadap realitas kecilnya peran perempuan dalam kehidupan sosial-ekonomi, apalagi politik, jika dibandingkan dengan peran laki-laki (Ilyas, 2006:1). Karena itu, dalam studi sastra, bagian terpenting dari pembicaran tentang perempuan adalah mengetahui bagaimana sosok perempuan direpresentasikan di dalam sebuah teks sastra, di mana wujud dari representasi tersebut sangat dipengaruhi oleh kepekaan pengarang dalam menangkap fenomena yang ada dalam masyarakat dan bagaimana ia mengekspresikan apa yang dilihat, dirasakan, dipikirkan dan diharapkannya terkait dengan budaya yang mengikat masyarakatnya.

Sehubungan dengan upaya untuk mengetahui wujud representasi perempuan dalam karya sastra, penelitian ini memfokuskan kajian terhadap dua buah novel yang ditulis oleh dua pengarang yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda, tetapi mengangkat persoalan yang sama yaitu perjuangan perempuan untuk ’menjadi tuan’ bagi dirinya sendiri. Kedua pengarang tersebut adalah Nawal El-Saadawi dengan latar belakang sosial budaya masyarakat Mesir dan Abidah El-Khalieqy dengan latar belakang sosial budaya masyarakat Indonesia. Adapun novel yang dimaksud adalah Perempuan di Titik Nol (selanjutnya disingkat menjadi PdTN), yang merupakan terjemahan dari novel Imra’atun ‘Inda Nuqthah

al-Shifr karya Nawal El-Saadawi dan Perempuan Berkalung Sorban (selanjutnya disingkat menjadi PBS)

karya Abidah El-Khalieqy.

Sebagai pengarang, baik Nawal Sa’adawi (selanjutnya dipanggil Nawal) maupun Abidah El-Khalieqy (selanjutnya dipanggil Abidah), dalam melakukan proses kreativitas, tidak melepaskan diri dari nilai-nilai sosial budaya yang melatarinya. Dalam PdTN, misalnya, ideologi patriarki yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Mesir, yang telah memberikan otoritas dan dominasi kepada laki-laki dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat, serta membebankan tanggung jawab reproduksi dan memelihara domestisitas pada perempuan, digunakan sebagai latar budaya penciptaan oleh Nawal (Umar, 1999:134-135). Sedangkan nilai-nilai tradisi budaya masyarakat Jawa yang mengharuskan perempuan bersikap sabar, sumarah, sumeleh, dan menjadi kanca wingking bagi suaminya, menjadi latar budaya penciptaan PBS (Handayani, 2008:117-124). Untuk itu, novel PdTN dan PBS ini diteliti tidak hanya untuk keperluan dokumentasi dan publikasi saja, tetapi juga untuk dianalisis dan ditelaah lebih lanjut, sehingga dapat diungkapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan ditemukan relevansinya dengan kehidupan, baik kehidupan masa kini maupun masa yang akan datang.

Selain alasan tersebut, pemilihan novel PdTN karya Nawal dan PBS karya Abidah sebagai objek penelitian ini juga didasarkan pada beberapa hal, di antaranya, dua novel yang ditulis oleh dua pengarang perempuan yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda ini merupakan novel yang cukup populer. PdTN misalnya, merupakan novel yang cukup laris dan mendapat banyak sambutan dari masyarakat pembacanya. Novel ini tidak hanya disambut oleh masyarakat pembaca di lingkungan masya-rakat Mesir saja, tetapi juga dalam lingkup internasional. Di Indonesia, sejak diterbitkan pertama kali dalam edisi bahasa Indonesia pada bulan Agustus 1989 hingga bulan Maret 2004, novel ini telah mengalami delapan kali cetak ulang. Ini menunjukkan bahwa PdTN mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia sebagai pengamat dan penikmat karya sastra. Begitu pula halnya dengan novel PBS yang terbit pertama kali pada tahun 2001 dan dicetak ulang untuk ketiga kalinya pada bulan Januari 2009. Meskipun belum mengalami cetak ulang sebanyak PdTN, novel ini juga cukup mendapat sambutan dari

(3)

masyarakat Indonesia. Salah satu wujud apresiasi masyarakat Indonesia terhadap novel PBS ini adalah, pada bulan Januari 2009 telah dirilis sebuah film layar lebar yang diadaptasi dari karya Abidah tersebut dalam judul yang sama, Perempuan Berkalung Sorban, disutradarai oleh Hanung Bramantyo.

Selain itu, novel PdTN dan PBS ini dianggap penting untuk diteliti karena persoalan yang dibicarakan di dalamnya adalah persoalan kemanusiaan yang bersifat universal dan sekaligus merupakan pencerminan sikap, pandangan dan cita-cita suatu masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangat erat relevansinya dengan kehidupan masa kini dan dipandang bermanfaat untuk penataan masa depan yang lebih baik. Dikatakan demikian karena PdTN dan PBS merefleksikan persoalan kehidupan dalam berbagai sisi, baik dari sisi sosial budaya, ekonomi, agama, kekuasaan, moral, serta isu gender, khususnya berbagai persoalan yang dihadapi oleh perempuan yang hidup berdampingan dengan laki-laki sebagai bagian dari suatu masyarakat.

Terkait dengan isu perempuan yang ada dalam PdTN dan PBS, sesungguhnya dua novel tersebut memuat persoalan perempuan yang ingin mendapatkan kebebasan dan kesetaraan kedudukan sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan manusia lain (laki-laki). Hal ini ditandai dengan adanya usaha-usaha yang dilakukan perempuan untuk mencapai keinginannya tersebut, antara lain dengan cara membekali diri mereka dengan pendidikan, pekerjaan, keberanian, serta kepribadian yang baik. Usaha perempuan dalam meraih kebebasan dan kesetaraan kedudukan dengan laki-laki ini sesungguhnya berkaitan dengan usaha perempuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan manusia lainnya.

PEMBAHASAN A. Masalah

Sehubungan dengan keinginan perempuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya tersebut, maka pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah upaya perempuan untuk mewujudkan eksistensi dirinya di tengah kungkungan budaya patriarki. Upaya perempuan dalam novel PdTN dan PBS untuk mewujudkan eksistensi dirinya tersebut ditinjau dari perspektif perempuan dengan menggunakan pendekatan feminis. Dengan demikian, perspektif feminis yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk pada sudut pandang perempuan dalam melihat perjuangan yang dilakukan perempuan dalam novel PdTN dan PBS untuk mewujudkan eksistensi dirinya melalui pendekatan feminis, dengan mendasarkan pada gambaran serta potensi yang dimiliki perempuan dalam novel PdTN dan PBS. Secara detail, usaha perempuan untuk mewujudkan eksistensi dirinya dalam dua novel tersebut akan dilihat melalui :

1. Diskriminasi, dominasi dan kekerasan terhadap perempuan;

2. Peran-peran perempuan sebagai manusia yang hidup dalam keluarga dan masyarakat;

3. Perjuangan dan sikap perempuan dalam menunjukkan eksistensinya sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat.

B. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan upaya perempuan dalam novel PdTN dan PBS untuk mewujudkan eksistensi dirinya sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan laki-laki melalui tinjauan feminis. Secara teoritis, penelitian ini bermaksud mengaplikasikan teori feminis untuk menganalisis dan membongkar masalah-masalah sosial yang tercermin dalam karya sastra. Pemanfaatan teori feminis dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menganalisis dan mendeskripsikan perspektif perempuan dalam melihat perjuangan yang dilakukan perempuan dalam novel PdTN dan PBS untuk mewujudkan eksistensi dirinya, mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, serta menunjukkan relevansinya dengan kehidupan saat ini, mengingat bahwa kedua novel tersebut adalah produk dua budaya yang berlainan namun memiliki kompleksitas permasalahan yang tidak jauh berbeda.

(4)

Secara praktis, tujuan penelitian ini terdiri dari dua hal. Pertama, memberi pijakan sekaligus motivasi pada para peneliti selanjutnya agar tertarik untuk melakukan studi terhadap karya sastra yang lahir dari latar belakang sosial budaya yang berbeda. Kedua, memberikan informasi tentang keberadaan perempuan dalam masyarakat, khususnya masyarakat Mesir dan Indonesia, serta peran yang dimainkan karya sastra dalam merekonstruksi budaya yang mengikat perempuan. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu sastra serta bagi perkembangan studi terhadap perempuan sebagai sosok pribadi utuh yang menjadi bagian dari sebuah masyarakat.

C. Tinjauan Pustaka

Hasil penelusuran yang diperoleh dari studi pustaka menunjukkan bahwa permasalahan tentang eksistensi perempuan dalam novel PdTN dan PBS belum pernah disingkap dan diteliti secara ilmiah oleh peneliti terdahulu. Hal lain yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pada objek penelitian yang digunakan. Dalam penelitian ini, novel PTdN dan PBS dikaji secara bersamaan, sedang dalam penelitian-penelitian sebelumnya, kedua novel tersebut dikaji secara terpisah. Penggabungan dua novel ini dalam satu kajian karena kedua novel tersebut memuat permasalahan yang sama, yaitu perjuangan perempuan untuk mewujudkan eksistensi dirinya sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan laki-laki, meskipun budaya yang melatari penciptaan keduanya tidak sama.

Beberapa pembicaraan terdahulu mengenai PdTN yang dapat dikemukakan dalam tinjauan pustaka ini antara lain adalah sebuah artikel berjudul Perempuan di Titik Nol, Perlawanan Perempuan Melawan

Tatanan Konservatif yang ditulis oleh Siswanti (2003). Dalam artikel tersebut Siswanti mengungkapkan

bahwa PdTN merupakan sebuah sistem penyampaian material (mediosphere) ideologi feminisme karena menjadi salah satu alternatif alat perjuangan dan penyebaran ide feminisme pengarangnya. Melalui PdTN, pengarang berusaha membangun ideologi tandingan untuk melawan konvensi sastra yang male bias.

Pembicaraan lain mengenai PdTN adalah sebuah skripsi berjudul Novel Imra’atun ‘Inda Nuqtatis-Sifr

karya Nawal As-Sa’dawi (Analisis Sosiologi Sastra) yang ditulis oleh Nazaruddin (1999) dengan pendekatan

sosiologi sastra. Diungkapkan oleh Nazaruddin bahwa gagasan pokok yang diangkat dalam novel PdTN merupakan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan gender yang ada dalam masyarakat.

Selain pembicaran tersebut, skripsi berjudul Novel Imra’atun ‘Inda Nuqtatis-Sifr Karya Nawal

As-Sa’adawi: Analisis Psikologi Sastra yang ditulis oleh Oktoria (2004) dengan pendekatan psikologi sastra,

lebih menyoroti gejolak jiwa perempuan dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Diungkapkan oleh Oktoria bahwa Firdaus sebagai tokoh utama dalam novel tersebut mengalami kompleksitas psikologis yang berkepanjangan dan perlu mendapatkan pemecahan. Untuk memecahkan kompleksitas psikologis yang dialaminya, Firdaus memerlukan mekanisme pertahanan diri.

Pembicaraan lain tentang PdTN dijumpai pula dalam sebuah artikel internet berjudul Perempuan

Titik Nol: Kebaikan Seorang Pelacur yang ditulis oleh Martina (2005). Dalam artikel ini Martina menyatakan

bahwa PdTN merupakan sebuah kritik sosial bagi masyarakat Mesir yang sangat mengagung-agungkan budaya patriarki dan mengungkung hak-hak serta kebebasan seorang wanita. Menurut Linda, PdTN juga memperlihatkan bahwa dalam budaya patriarki semacam ini salah satu masalah pelik dan kompleks yang dihadapi perempuan adalah alienasi perempuan atas tubuh dan seksualitasnya. Keadaan tersebut tergambar sangat jelas saat pengarang menceritakan nasib yang dialami oleh Firdaus. Dengan melihat jalan hidup Firdaus, tidak hanya nasib seorang pekerja seks saja yang bisa diungkap, tetapi juga nasib perempuan-perempuan lain seperti para karyawati perusahaan dan para istri (diakses dari http:// kritikfeminis2005. blogdrive.com/archive/15.html).

Sejalan dengan pembicaran tentang PdTN yang dikemukakan di atas, pembicaraan terdahulu terhadap PBS yang dapat diungkapkan dalam tinjauan pustaka ini antara lain adalah sebuah ulasan berjudul PBS: Perlawanan Putri seorang Kyai yang ditulis oleh Shanti (2001). Dalam ulasan tersebut Shanti

(5)

mengungkapkan bahwa PBS memperlihatkan adanya diskriminasi terhadap perempuan akibat adanya bias gender dalam masyarakat patriarkis sejak mereka masih gadis hingga dewasa. Satu hal yang patut dicermati dalam PBS adalah bahwa berbagai bentuk diskriminasi yang dialami oleh perempuan tersebut justru mendatangkan sebuah kesadaran baru untuk melakukan perlawanan terhadap berbagai tekanan, pelecehan, dan penindasan terhadap dirinya.

Pembicaraan lain tentang PBS adalah sebuah tesis berjudul Gender dalam Novel Perempuan Berkalung

Sorban Karya Abidah El-Khalieqy, Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminis yang ditulis Rokhayanto (2003).

Dalam penelitian tersebut Rokhayanto berusaha mengungkapkan relasi gender antara tokoh utama perempuan dalam novel PBS dengan tokoh-tokoh lain dalam novel tersebut, melalui pendekatan kritik sastra feminis. Bias gender yang ditampilkan dalam PBS menurut Rokhayanto tidak dapat dilepaskan dari hubungan kekuasaan. Kepatuhan perempuan yang ditunjukkan dengan aturan-aturan agama dan sosial dalam lingkup pesantren telah membuat perempuan tersubordinasi antara kekuasaan dan beban kerja dalam sistem sosiokultural yang menempatkan kekuasaan kepada laki-laki sebagai pihak yang superior dan perempuan pada posisi inferior.

Sedangkan skripsi berjudul Konstruksi Perempuan dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah

El-Khalieqy yang ditulis oleh Diroh (2008) lebih menyoroti persoalan perempuan dalam PBS dari perspektif

agama Islam. Diungkapkan oleh Diroh bahwa pada prinsipnya Islam menekankan adanya kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Namun kenyataanya, perempuan justru lebih dituntut untuk bersikap nrimo terhadap apa yang telah ditentukan untuknya. Di sisi lain, laki-laki dibiasakan untuk melakukan hegemoni dan mengambil segala keputusan bagi orang lain, khususnya bagi kaum perempuan. Pandangan serta kebiasaan ini kemudian berlangsung terus menerus dan diwariskan dari generasi ke generasi.

D. Landasan Teori

Penelitian terhadap novel PdTN dan PBS ini berupaya mengungkapkan perjuangan yang dilakukan perempuan dalam mewujudkan eksistensi dirinya sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat dengan menggunakan perspektif feminis. Rumusan ini secara tidak langsung mengarahkan pembahasan pada sosok perempuan yang ditampilkan dalam PdTN dan PBS. Oleh karena itu, teori yang dipandang sesuai dengan permasalahan tersebut adalah teori feminis, yaitu sebuah teori yang menyoroti permasalahan perempuan sebagai tema sentral sehingga dunia perempuan menjadi objek atau pusat analisis. Adapun konsep feminisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep feminisme liberal dan feminisme

muslim.

Feminisme liberal memandang bahwa sumber penindasan wanita adalah belum diperoleh dan

dipenuhinya hak-hak perempuan. Perempuan didiskriminasikan hak, kesempatan, dan kebebasannya karena ia perempuan (Heroepoetri & Valentina, 2004:36). Oleh karena itu, cara pemecahan untuk mengubahnya adalah menambah kesempatan bagi perempuan terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan ekonomi, dengan asumsi bahwa apabila perempuan diberi akses yang sama untuk bersaing, maka mereka akan berhasil (Wollstonecraft, Taylor, & Mill via Tong, 2008:21-25). Dengan demikian, jalan keluar yang ditawarkan oleh aliran ini adalah perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan mempunyai kedudukan setara dengan laki-laki. Perempuanlah yang harus membekali diri dengan bekal pendidikan dan pendapatan.

Sebagaimana feminisme pada umumnya, feminisme muslim juga memperlihatkan keprihatinan terhadap kenyataan bahwa kedudukan perempuan dalam struktur organisasi sosial masyarakat muslim masih belum setara dengan laki-laki (Ilyas, 2006:23). Munculnya gerakan feminisme muslim ini berawal dari kesadaran para pemikir muslim terhadap ketidakadilan gender yang terjadi dalam dunia Islam karena kuatnya pengaruh faham patriarki serta penafsiran terhadap teks-teks agama yang terkesan menyudutkan perempuan, bahkan cenderung menafikan peran perempuan. Selanjutnya, para feminis muslim berusaha

(6)

membongkar historisitas akar permasalahan yang menyebabkan ketidakadilan yang menimpa perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat muslim tersebut dan berpendapat bahwa penafsiran ulang terhadap teks-teks agama sangat diperlukan dalam rangka menjaga relevansinya dengan kehidupan manusia (Baroroh, 2002:198-199).

Salah satu upaya yang ditawarkan oleh feminisme muslim untuk mengatasi persoalan ketidakadilan gender yang menimpa perempuan, sebagaimana diungkapkan oleh Qasim Amin, salah seorang feminis dari Timur Tengah yang sering disebut sebagai ’Bapak Feminis Arab’ adalah melalui pemberian bekal pendidikan yang memadahi terhadap kaum perempuan. Bagi Qasim Amin, perempuan adalah mahluk yang sama dengan laki-laki, yang tidak mempunyai perbedaan dengan laki-laki, baik cara berfikirnya, fungsinya dan hakikatnya sebagai manusia. Jika kemudian ditemukan fakta ada laki-laki yang melebihi perempuan, penyebabnya adalah karena mereka telah mendapatkan kesempatan belajar yang lebih baik dari pada perempuan (Imarat , 2006: 329).

Terkait dengan permasalahan yang diungkapkan dalam penelitian ini, yaitu mengungkapkan perjuangan perempuan dalam novel PdTN karya Nawal dan PBS karya Abidah untuk mewujudkan eksistensi dirinya, maka konsep lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep yang merujuk pada image of women. Konsep images of women ini digunakan karena akhir dari analisis dalam penelitian ini akan mengarah pada bagaimana perempuan “ada” dalam sebuah karya sastra (Donovan, 1990:264). Keberadaan perempuan ini akan dikaitkan dengan konsep aliran feminis yang dipandang sesuai dengan dua novel tersebut yaitu feminisme liberal dan feminisme muslim. Bagaimana aliran tersebut memandang keberadaan perempuan sebagai manusia yang memiliki harkat dan kedudukan yang setara dengan laki-laki, dan bagaimana solusi yang ditawarkannya sebagai jalan keluar menjadi perempuan yang sejati.

Penggunaan konsep tersebut sejalan dengan pendapat Ruthven (1990:32) bahwa kerja kritik sastra feminis adalah melihat karya sastra dengan melacak ideologi yang membentuknya dan menunjukkan perbedaan-perbedaan antara yang dikatakan oleh karya sastra dengan yang tampak dari hasil sebuah pembacaan. Kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik perempuan, atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan. Namun secara sederhana, kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang karya sastra dengan kesadaran khusus, yaitu kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan.

Penelitian images of women dilakukan untuk dua tujuan yang berbeda. Di satu sisi, penelitian ini digunakan untuk mengungkapkan hakikat representasi stereotip yang menindas, yang diubah ke dalam model-model peran serta menawarkan pandangan yang sangat terbatas dari hal-hal yang diharapkan oleh perempuan, di sisi lain, penelitian images of women tersebut memberikan peluang untuk berpikir tentang perempuan, dengan cara membandingkan bagaimana perempuan telah direpresentasikan dan bagaimana seharusnya mereka direpresentasikan, karena proses semacam ini akan mengangkat kesadaran diri perempuan (Rutven, 1990:70-71).

E. Metode Penelitian

Secara garis besar, objek penelitian ini terdiri dari objek material dan objek formal. Objek material penelitian ini adalah novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Sa’adawi dan Perempuan Berkalung

Sorban karya Abidah El-Khalieqy, sedang objek formalnya adalah wujud eksistensi perempuan yang

terdapat dalam novel PdTN dan PBS. Adapun metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif karena data yang dihasilkan berupa kata-kata lisan atau tertulis dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 2002:3). Mengingat bahan yang digunakan sebagai data utama adalah teks novel

PdTN karya Nawal El-Sa’adawi edisi kedelapan, Maret 2004 dan PBS karya Abidah El-Khalieqy edisi

ketiga, Januari 2009, maka penelitian ini bersifat kepustakaan murni. Selain itu, sumber-sumber informasi lain berupa buku, makalah, artikel, dan hasil-hasil penelitian juga digunakan untuk mendukung hasil kerja penelitian ini.

(7)

Sebagai gambaran umum, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua tahap. Pertama, mengidentifikasi tokoh perempuan yang ada dalam novel PTN dan PBS tersebut. Kedua, mencari kedudukan tokoh-tokoh tersebut dalam berbagai hubungan, dengan penekanan pada identitasnya dalam keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini juga memperhatikan pendirian serta ucapan tokoh perempuan yang bersangkutan. Apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakan oleh tokoh perempuan akan banyak memberikan keterangan tentang tokoh tersebut.

F. Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis terhadap novel PdTN dan PBS mengungkapkan bahwa perempuan dalam novel PdTN dan PBS telah mengalami ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender tersebut terwujud dalam bentuk diskriminasi, dominasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk.

Terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dalam novel PdTN dan PBS digambarkan sebagai akibat dari nilai-nilai patriarki dalam masyarakat, yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, serta mempengaruhi perilaku manusia dalam menjalani kehidupan. Dalam budaya patriarki, perbedaan antara laki-laki dan perempuan dipandang sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamins (Kadarusman, 2005:21). Dalam aspek sosial, perempuan seringkali dipandang sebagai pihak inferior dan laki-laki sebagai pihak superior. Hak-hak sosial politik perempuan telah dimarginalisasikan dan selalu menjadi kelas dua setelah kaum laki-laki (Kadarusman, 2005:3). Pada beberapa masyarakat bahkan ada sebuah anggapan bahwa anak laki-laki lebih berharga dari pada anak perempuan sehingga anak laki-laki lebih disukai daripada anak perempuan. Dalam konstruksi budaya Jawa misalnya, muncul kecenderungan boy preference (lebih berpihak pada anak laki-laki) (Rahmawati, 2007:34). Kecenderungan tersebut akhirnya melahirkan ketidakadilan yang terefleksi dalam perlakuan yang berbeda terhadap anak laki-laki dan perempuan. Munculnya kecenderungan yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan ini umumnya terus berlangsung hingga perempuan menjadi dewasa. Mereka terpaksa merasakan ketidakadilan dari lingkungan atas dasar jenis kelamin mereka.

Teks memperlihatkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan muncul di segala aspek kehidupan. Pemahaman dan persepsi yang melekat dalam pikiran masyarakat bahwa laki-laki adalah sosok yang diutamakan dalam keluarga maupun dunia publik, telah menyebabkan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan berbeda (Nugroho, 2008:9-12). Di bidang ekonomi dan pendapatan misalnya, laki-laki lebih banyak menempati posisi-posisi penting dibandingkan perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan tidak secerdas laki-laki, tidak sekuat laki-laki, tidak serasional laki-laki, dan sebagainya. Begitu pula dalam bidang pendidikan, kesempatan belajar bagi anak laki-laki lebih diprioritaskan dibandingkan dengan kesempatan bagi anak perempuan, karena tugas utama perempuan adalah melayani suami dan menangani urusan domestik (Fakih, 2005:15-17).

Dalam hubungan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sering pula terjadi monopoli terhadap salah satu jenis kelamin tersebut. Dalam konteks kesetaraan gender, penguasaan ini bisa terwujud dalam bentuk dominasi laki-laki di satu pihak terhadap perempuan di pihak yang lain. Pembicaraan seputar dominasi laki-laki terhadap perempuan ini tidak dapat dipisahkan dari hubungan antara laki-laki dan perempuan serta cara pandang laki-laki terhadap perempuan. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam novel PdTN dan PBS pada mulanya nampak terwujud dalam hubungan subjek-objek. Laki-laki merasa dirinya superior dan selalu terlihat ingin menjadikan perempuan sebagai objek yang inferior. Sebagai dampak dari cara pandang laki-laki terhadap perempuan tersebut, maka yang tergambar dalam teks novel PdTN dan PBS adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh laki-laki untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan kebebasan perempuan.

Selanjutnya, melalui tokoh Firdaus dan Annisa, pengarang berusaha menunjukkan bahwa dalam diri perempuan telah tumbuh kesadaran untuk memperoleh kesetaraan. Perempuan yang telah menyadari bahwa keberadaannya sama seperti manusia lainnya, berusaha mencari dan mendapatkan kesetaraan

(8)

kedudukan dengan laki-laki dan menghapus dominasi patriarki yang telah sangat kuat mengakar dalam masyarakat. Yang mereka inginkan bukanlah menandingi atau menjadikan laki-laki sebagai objek, tetapi yang mereka inginkan adalah kesetaraan kedudukan, kesejajaran, dan keadilan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat.

Selain memperlihatkan adanya diskriminasi dan dominasi terhadap perempuan, teks PdTN dan

PBS juga memperlihatkan kekerasan terhadap perempuan karena adanya anggapan ketidaksetaraan yang

ada dalam masyarakat (Ridwan, 2006:1). Kekerasan terhadap sesama manusia ini pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, tetapi salah satu kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu disebabkan oleh persepsi gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence (Fakih, 2005:17).

Secara umum, kekerasan terhadap perempuan dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam tindak kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Kata ’kekerasan’ sendiri mengarah pada sebuah situasi dan kondisi yang kasar, menyakitkan, dan menimbulkan efek negatif (Marlia, 2007:13). Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa berbagai bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam PdTN dan PBS bermula dari dominasi laki-laki yang merasa superior. Sebuah perasaan dan anggapan bahwa laki-laki selalu berhak dan berkuasa menentukan apapun serta bersikap bagaimanapun terhadap perempuan. Perasaan dan anggapan semacam inilah yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan, terutama pada saat laki-laki merasa terkurangi hak-hak mereka, termasuk hak-hak seksual. Selain itu, kekerasan dianggap sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah, yaitu masalah kekalahan power laki-laki terhadap perempuan. Sikap dan tindakan tokoh laki-laki dalam PdTN dan PBS merepresentasikan bahwa asumsi yang muncul dalam masyarakat akibat tertanamnya ideologi patriarki adalah bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan.

Analisis lebih lanjut terhadap novel PdTN dan PBS mengungkapkan bahwa nilai-nilai yang melekat pada perempuan atau keperempuanan dalam masyarakat patriarkis telah menyebabkan perempuan selalu dinilai sebagai the other sex yang keberadaannya tidak begitu diperhatikan. Penempatan perempuan sebagai

the other sex ini tidak terlepas dari pemahaman terhadap konsep gender yang bias sehingga memperlihatkan

pemisahan dan stratifikasi di antara dua jenis kelamin yang berbeda, yang satu memiliki status lebih rendah dari yang lain (Abdullah, 2006:3). Selanjutnya, implikasi dari konsep tentang pemosisian yang tidak seimbang ini telah menjadi kekuatan dalam pemisahan sektor kehidupan menjadi sektor ’domestik’ dan ’publik’, di mana perempuan dianggap sebagai orang yang berkiprah dalam sektor domestik, sementara laki-laki ditempatkan sebagai kelompok yang berhak mengisi sektor publik. Ideologi semacam ini telah disahkan oleh berbagai pranata dan lembaga sosial, dan kemudian menjadi fakta sosial tentang status-status dan peran-peran yang dimainkan oleh perempuan (Abdullah, 2006:4).

Mengenai peran-peran yang dimainkan oleh perempuan dalam novel PdTN dan PBS, secara kese-luruhan dikelompokkan menjadi dua kategori. Dua kategori peran dimaksud sesuai dengan peran perem-puan yang ditawarkan oleh feminisme liberal, yaitu peran peremperem-puan di dalam rumah tangga (sektor domestik) dan peran perempuan di luar rumah tangga (sektor publik) (Taylor via Tong, 2008:24-25).

Teks PdTN dan PBS menunjukkan bahwa peran yang diberikan pada perempuan mulanya lebih dominan pada peran-peran tradisional yang amat terbatas berupa peran alamiah (peran domestik), yakni peran sebagai ibu (yang melahirkan, mendidik anak, dan mengurus rumah tangga) dan peran sebagai istri bagi suaminya (Ismawati, 2005:157). Peran perempuan sebagai ibu ini lebih mengarah pada kodrat perempuan yang tak tergantikan sebagai pengemban tugas reproduksi, yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui. Pemberian peran ini sekaligus menunjukkan peran penting perempuan dalam menyiapkan generasi yang sehat dan berkualitas. Sedangkan dalam pembagian peran perempuan sebagai istri, teks

PdTN dan PBS menyuarakan bahwa peran dan kedudukan suami-istri adalah setara (Ilyas, 2006:23).

Baik suami maupun istri mempunyai tugas dan peran mereka masing-masing. Seorang istri, dengan kodrat yang lekat dengan keperempuanannya, mengemban fungsi reproduksi yang tak tergantikan, yaitu hamil, melahirkan, dan menyusui anak dengan sebuah konsekuensi hubungan yang pekat antara ibu dan anak

(9)

(Chamamah, 2008:4). Sedangkan suami, berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan logistik istri dan anak-anaknya, yang berarti bahwa seorang suami bertanggung jawab terhadap tegaknya keluarga, adapun salah satu caranya yaitu dengan memenuhi kebutuhan sandang pangan istri dan anak-anaknya.

Pembagian peran suami dan istri dalam keluarga ini berarti bahwa antara suami-istri dituntut untuk saling memahami keistimewaan dan kekurangan masing-masing serta perbedaan-perbedaan antara keduanya. Dengan adanya pemahaman semacam ini keharmonisan dalam rumah tangga akan dapat terwujud. Melalui pembagian peran tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa di dalam sebuah keluarga tidak ada struktur kedudukan suami istri secara hiearkhis, tetapi kedudukan yang komplementer, saling melengkapi (Chamamah, 2008:4).

Selanjutnya, seiring dengan perkembangan peradaban yang terus bergerak pada ranah global dan pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat, peran kaum perempuan tersebut mulai mengalami pergeseran. Fenomena yang diperlihatkan oleh teks adalah perempuan telah berusaha merekonstruksi sejarah hidupnya, dengan membangun identitas baru bagi dirinya, tidak hanya sebagai ibu dan istri, tetapi juga sebagai pekerja dan wanita karier. Dengan berbagai potensi yang dimiliki, pengarang ingin menunjukkan bahwa perempuan dapat mengambil peran di sektor publik, menempati posisi-posisi yang selalu diklaim sebagai wilayah laki-laki.

Usaha yang dilakukan oleh perempuan dalam novel PdTN dan PBS untuk merekonstruksi sejarah hidupnya tersebut adalah dalam rangka mewujudkan eksistensi dirinya sebagai manusia memiliki harkat dan martabat sebagai manusia sejati yang setara dengan laki-laki, sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Dalam proses ini, peran sosial dipandang sebagai bagian penting dalam kehidupan manusia baik laki-laki maupun perempuan. Untuk itu, perempuan perlu membekali dirinya dengan pendidikan serta ketrampilan yang memadahi.

Sehubungan dengan potensi yang dimiliki perempuan, teks PdTN dan PBS memperlihatkan bahwa perempuan juga memiliki potensi intelektual yang tinggi, tidak kalah dengan laki-laki. Dengan intelektualitas yang dimilikinya perempuan dapat menganalisis dan menyelesaiakan suatu permasalahan secara rasional. Jika selama ini perempuan diidentikkan dengan makhluk yang selalu mengedepankan emosional, maka tidak demikian halnya dengan perempuan dalam PdTN dan PBS. Mereka merupakan representasi perempuan intelektual yang selalu mempertimbangkan dengan matang segala keputusan yang akan mereka ambil. Dengan demikian, persepsi bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, tidak intelektual, dan irasional, telah terbantah dalam novel ini. Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki rasionalitas, intelektualitas, emosional, dan sebagainya. Adapun optimalisasi dari aspek-aspek tersebut dalam menyikapi setiap persoalan yang muncul dalam kehidupan sangat tergantung pada kemampuan masing-masing individu.

Berdasarkan potensi yang dimiliki oleh perempuan tersebut, novel PdTN dan PBS menawarkan sebuah gagasan berupa upaya pemberdayaan perempuan, dengan cara melibatkan perempuan ke dalam berbagai aspek kehidupan yang peka gender. Upaya pemberdayaan ini dipandang penting karena keberadaan perempuan dalam sebuah masyarakat sesungguhnya merupakan aset berharga yang harus diperhitungkan. Oleh karena itu, adanya partisipasi aktif perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, sebagai mitra sejajar laki-laki, akan dapat mempercepat tercapainya tujuan bersama dalam masyarakat. PENUTUP

Berdasarkan hasil pembahasan, secara umum dapat disimpulkan bahwa perempuan dalam novel

PdTN dan PBS dapat menunjukkan eksistensi mereka sebagai manusia yang mandiri, terlepas dari segala

bentuk penindasan atas nama gender, serta mampu menunjukkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Eksistensi tersebut terwujud dalam bentuk kebebasan memilih dan memutuskan sendiri apa yang menurut mereka baik, tanpa harus bersumber atau ditentukan oleh laki-laki maupun orang lain di luar dirinya sebagai perempuan.

(10)

Selanjutnya, untuk menciptakan kemaslahatan bersama dalam kehidupan sebuah masyarakat, perlu kiranya upaya untuk membangun sebuah kesadaran bahwa perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah masyarakat yang memiliki hak, kewajiban, serta kedudukan yang setara dengan laki-laki. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama yang baik antara laki-laki dan perempuan, karena hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga adalah hubungan komplementer, saling melengkapi. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan, Sangkan Paran Gender, Diterbitkan untuk Pusat Penelitian Kependuduksn Universitas Gadjah Mada, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

Baroroh, Umul, Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha, dalam Sukri, Sri Suhandjati, (ed.), Bias

Gender dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002).

Chamamah-Soeratno, Siti, Key Not Speech: Kesetaraan Gender dalam Keluarga, makalah disampaikan dalam Pelatihan Kesetaraan Gender dalam Keluarga bagi Pimpinan ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah Se-Wilayah DIY dan Daerah Jawa Tengah Terdekat, (Yogyakarta: Pimpinan Pusat ’Aisyiyah, 2008). Diroh, Konstruksi Perempuan dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El-Khalieqy, (Yogyakarta

: Skripsi Tidak Diterbitkan. 2008).

Donovan, Josephine, “Beyond the Net: Feminist Criticism as a Moral Criticism” dalam K.M. Newton (ed.), Twentieth-Century Literary Theory, (London. Macmillan, 1990).

El-Khalieqy, Abidah, Perempuan Berkalung Sorban, (Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat, 2001). El-Sa’adawi, Nawal, Perempuan di Titik Nol, Terj. Amir Sutaarga dari judul asli Imra’atun Inda Nuqtah

Al-Sifr, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004).

Engineer, Asghar Ali, Hak-hak Pepempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: LSPPA, 2000).

Fakih, Mansoer, Analisis Gender & Transformasi sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Handayani, Christina S. & Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 2008).

Heroepoetri A & Valentina R, Percakapan tentang Feminisme Vs Neoliberalisme, (Bandung: Debwatch & Institute Perempuan Indonesia, 2004).

Humm, Maggie, Ensiklopedia Feminisme, Terj. Mundi Rahayu, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002). Ilyas, Yunahar, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Mufasir (Yogyakarta: Labda Press,

2006).

‘Imârat, Muhammad, Qasim Amin: A’mal Al-Kamilah, (Kairo: Darus-Syuruq, 2006). Ismawati, Esti, Transformasi Perempuan Jawa, (Surakarta: Pustaka Cakra, 2005). Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005).

Marlia, Milda. Marital Rape, Kekerasan Seksual terhadap Istri, (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2007). Martina, Linda. 2005, Perempuan Titik Nol: Kebaikan Seorang Pelacur, diakses dari http://

kritikfeminis2005.blogdrive.com/archive/15.html

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002).

Mubin, Nurul. Semesta Keajaiban Wanita, Tirai-Tirai Rahasia Keajaiban Penciptaan, Spiritualitas, dan Energi

Psikologi Kaum Muslimah, (Yogyakarta: Diva Press, 2008).

Nazaruddin, Novel Imra’atun ‘Inda Nuqtatis-Sifr karya Nawal As-Sa’dawi (Analisis Sosiologi Sastra), (Yogyakarta: Skripsi Tidak Diterbitkan, 1999).

Nugroho, Riant. Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Oktoria, Novel Imra’atun ‘Inda Nuqtatis-Sifr Karya Nawal As-Sa’adawi: Analisis Psikologi Sastra, (Yogyakarta:

Skripsi Tidak Diterbitkan, 2004).

Rahmawati, Dian. Citra Kuasa Perempuan Jawa dalam Novel Perempuan Jogja dan Maruti, Jerit Hati Seorang

Penari, Karya Achmad Munif, (Yogyakarta: Tesis Tidak Diterbitkan, 2007).

(11)

Rokhayanto, Gender dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El-Khalieqy, Sebuah Kajian Kritik

Sastra Feminis, (Yogyakarta: Tesis Tidak Diterbitkan, 2003).

Ruthven, K.K. Feminist Literary Studies: An Introduction, (Cambridge: Cambridge University Press, 1990). Shanti, Budi. PBS: Perlawanan Putri seorang Kyai, Jurnal Perempuan No. 19, (Jakarta: Yayasan Jurnal

Perempuan, 2001).

Siswanti, Endriani Dwi. Perempuan di Titik Nol, Perlawanan Perempuan Melawan Tatanan Konservatif, Jurnal Perempuan No. 30, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003).

Tong, Rosemarie Putnam, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Second Edition, Terj. Aquarini Priyatna Parabasmoro, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008).

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999). Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan, Terjemahan Melani Budinata, (Jakarta: Gramedia,

Referensi

Dokumen terkait

Fritjof Capra dalam bukunya tersebut membahas perlunya manusia kembali melihat potensi bahaya ilmu pengetahuan yang cenderung dianggap membuat kacau tersebut agar kita

Koloni bakteri yang didap bakteri seperti pada Gambar 1 dite bentuk serupa akar (12%), tidak ber limbah cair industri penyamakan ku Tepi dari 18 koloni bakteri yang dit

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Desa Tangun Wilayah Kerja Puskesmas Bangun Purba tentang Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada

[r]

Hasil penelitian Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Self Monitoring pada siswa kelas VIII MTs Negeri 1 Kudus Tahun Pelajaran 2013/2014, dalam menerapkan Kontrol

Because of the point cloud characteristic of the gully and the particularity of the terrain features, this paper puts forward a method of detecting airborne

Merupakan tanah yang dimiliki atau diperoleh dengan maksud untuk digunakan dalam kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap digunakan. Aktiva tetap tanah diakui pada

Bangunan ukur debit tersebut berfungsi untuk mengetahui debit air yang melalui saluran tersebut sehingga pemberian air ke petak-petak sawah yang menjadi daerah