BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kota Banjarmasin terletak sekitar 50 km dari muara Sungai Barito dan dibelah Sungai Martapura. Secara topografis, Kota Banjarmasin didominasi oleh daerah yang datar dan berawa-rawa dengan kemiringan tanah 0% - 2% serta berada pada ketinggian rata-rata 0,16 mdpl. Satuan morfologi ini merupakan daerah dominan yang terdapat di wilayah Kota Banjarmasin. Kondisi ini sangat menunjang bagi perkembangan perkotaan sebagai area fisik terbangun. Namun, di beberapa daerah yang memiliki ketinggian di bawah permukaan laut menyebabkan sebagian besar wilayah KotaBanjarmasin merupakan lahan gambut yang sangat dipengaruhi kondisi pasang surut air laut (Pujirahayu, 2010).
Pada tahun 2011 pemerintah pusat melalui Kementrian Pekerjaan Umum telah mengakui pembentukan Kota metropolitan Banjarbakula di Provinsi Kalimantan Selatan dan salah satu pusat kota adalah Kota Banjarmasin. Banjarbakula diambil dari nama lima kota/kabupaten yaitu, Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar, Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Barito kuala. Hal ini sejalan dengan visi pembangunan daerah Kalimantan Selatan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) tahun 2005-2025 bahwa “Kalimantan Selatan 2025 Maju Dan Sejahtera Sebagai Wilayah Perdagangan Dan Jasa Berbasis Agro Industri”. Visi ini mengandung
makna bahwa pembangunan yang dilaksanakan berorientasi pada perdagangan dan jasa dengan menumbuhkan agro industri sebagai pilar utama.
Visi pembangunan daerah Provinsi Kalimantan Selatan ini sejalan dengan misi pembangunan Kota Banjarmasin yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Banjarmasin yaitu mewujudkan Kota Banjarmasin sebagai kota jasa dan perdagangan. Untuk merealisasikan itu, kegiatan penting yang telah dilakukan adalah pemindahan perkantoran pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru. Pemindahan ini adalah upaya dalam mewujudkan proyeksi fokus Kota Banjarmasin sebagai kota berbasis industri dan perdagangan. Dengan demikian Kota Banjarmasin nantinya diharapkan akan menjadi pusat pembangunan industri dan kegiatan perdagangan.
Dalam rangka mewujudkan Kota Banjarmasin sebagai kota berbasis jasa dan perdagangan, pemusatan kegiatan dan peningkatan pembangunan di bidang industri akan memberikan dampak terhadap adanya suatu perubahan kepadatan baik itu pada sektor kependudukan, permukiman, transportasi dimana pada akhirnya akan terjadi eksploitasi penggunaan lahan yang melebihi kapasitasnya. Kodoatie (2013) menjelaskan bahwa setiap individu dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial akan memiliki berbagai macam tingkat kebutuhan dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut akan mempengaruhi peningkatan di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan. Akibatnya akan terjadi eksploitasi alam yang berlebihan, perubahan tata guna lahan yang tak terkendali dan menurunnya daya dukung lingkungan.
Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kota Banjarmasin pertahun selama sepuluh tahun terakhir yakni antara 2000-2010 adalah sebesar 1,72 persen per tahun. Angka ini jauh diatas LPP nasional pertahun yang sebesar 1,47 persen (BPS Kota Banjarmasin, 2011). Laju pertumbuhan penduduk terlepas dari kenaikan angka kelahiran disebabkan kegiatan migrasi dan urbanisasi yang tinggi. Kemudahan sistem di bidang informasi, komunikasi dan transportasi mendorong pergerakan masyarakat untuk melakukan perpindahan ke wilayah perkotaan, namun sering kali urbanisasi yang terjadi secara alami hasilnya tidak merata dan berpeluang menimbulkan kesenjangan (Soetomo, 2009).
Pada umumnya masyarakat menengah ke atas yang ada di Provinsi Kalimantan Selatan yang bertempat tinggal di daerah selain Kota Banjarmasin menjadikan Kota Banjarmasin sebagai tempat untuk berbagai tujuan antara lain: pariwisata, pendidikan, aktivitas perdagangan, karena selain merupakan ibu kota Provinsi, Kota Banjarmasin juga merupakan pusat aktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini menjadikan masyarakat tersebut baik masyarakat lokal maupun masyarakat luar berlomba untuk berinvestasi lahan di kawasan pinggiran perkotaan dengan anggapan ketika pusat kegiatan ekonomi dan pengembangan wilayah nantinya mendekati lahan mereka, maka nilai jual lahan akan meningkat pesat. Alonso (1964) dalam Yunus (2012) mengemukakan bahwa lahan yang mendekati pusat kota akan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan sebaliknya. Hal ini didukung oleh pendapat Rateliff (1949) yang menjelaskan tentang teori sewa lahan dimana pembangunan industri cenderung menjauhi pusat kota dan
lebih memilih ke arah pinggiran dengan konsep berada di antara zona retail dan perumahan karena memiliki nilai ekonomi lahan yang lebih murah.
Pengembangan kawasan perkotaan masih terus dilakukan hingga saat ini. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi meningkatnya kepadatan di pusat Kota Banjarmasin itu sendiri dan untuk menghindari bercampur aduknya berbagai aktivitas masyarakat dalam suatu fungsi tata guna lahan yang tidak jelas. Dengan keterbatasan lahan yang ada, memaksa pihak pemerintah daerah untuk memanfaatkan lahan-lahan yang belum terbangun yang berada di wilayah pinggiran kota. Burges dalam Yunus (2012) menjelaskan teori konsentrisnya bahwa pengembangan kawasan akan menghasilkan zona-zona baru dimana pusat kota sebagai intinya dan zona-zona baru tersebut akan bergerak ke arah luar dan pada akhirnya akan menyentuh wilayah pinggiran kota. Sampai dengan saat ini kenampakan tingkat perkembangan wilayah perkotaan Banjarmasin ke arah pinggiran kota mulai terlihat jelas dimana kondisi ini mendorong munculnya permasalahan lingkungan perkotaan dimana menurut Gallion (1963) masalah lingkungan yang paling sering terjadi adalah perubahan fungsi tata guna lahan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Isu masalah lingkungan perkotaan di Banjarmasin diperparah dengan kondisi dan karakteristik lahan di perkotaan Banjarmasin dimana sebagian besar wilayah perkotaan didominasi oleh lahan gambut. Tingkat perkembangan wilayah yang tinggi, ditandai dengan adanya lahan terbangun dan fasilitas sosial ekonomi sebagai sarana dan infrastruktur akan memberikan risiko lingkungan yang tinggi dan dapat mengakibatkan bencana bagi masyarakat itu sendiri jika tidak
mempertimbangkan aspek daya dukung lingkungannya. Sebagai contoh bahwa tidak jarang ditemukan adanya bangunan baik itu bangunan gedung bertingkat atau rumah hunian yang mengalami kondisi miring bahkan runtuh akibat terjadinya penurunan muka tanah, penyebaran api akibat kebakaran satu rumah sangat cepat terjadi karena kerapatan bangunan permukiman dan jenis bahan bangunan yang digunakan didominasi kayu, hingga bencana banjir akibat kenaikan muka air dan sistem drainase perkotaan yang buruk.
Selain permasalahan lingkungan di atas masih banyak aspek lingkungan di perkotaan Banjarmasin yang perlu menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pembangunan wilayah perkotaan (Bappeda Kota Banjarmasin, 2010) :
1. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang diamanatkan bahwa suatu wilayah harus menyediakan ruang terbuka hijau seluas 30 % dari luas wilayah dengan rincian 10 % ruang terbuka hijau privat dan 20 % ruang terbuka hijau publik. Kondisi saat ini untuk Kota Banjarmasin belum dapat memenuhi 20 % ruang terbuka hijau publik tersebut, sedangkan permasalahan yang dihadapi adalah mahalnya biaya didalam upaya menambah luasan ruang terbuka hijau publik tersebut. 2. Sempadan Sungai
Banjarmasin kota yang tumbuh secara alami, pemukiman banyak berada dibantaran sungai karena pada jaman dulu sarana perhubungan yang utama dari Banjarmasin kedaerah hulu sungai menggunakan transportasi sungai.
Seiring dengan perkembangan laju pembangunan dimana sarana perhubungan darat semakin lancar serta pertambahan jumlah penduduk, maka masyarakat mulai kurang memperhatikan arti penting sungai, sehingga bantaran-bantaran sungai banyak dijadikan pemukiman.
3. Pertumbuhan kota dalam bentuk sprawl
Kota Banjarmasin tumbuh dengan tidak terarah, kawasan pemukiman cendrung tumbuh padat mengikuti arah pusat perdagangan mupun pusat-pusat kegiatan publik lainnya seperti sekolah, perkantoran dan lain-lain. Akibatnya bercampurnya antara aktivitas yang satu dengan aktivitas lainnya. Permasalahan akan timbul apabila tercampur kawasan yang tidak saling menunjang, seperti kawasan pergudangan dengan kawasan perkantoran pemerintah atau dengan kawasan pendidikan, maka kondisi yang demikian ini mengakibatkan terganggunya aktivitas kegiatan yang lain.
4. Ketinggian air pasang cenderung meningkat
Kota Banjarmasin berada 0,16 m dari permukaan laut, disamping itu adanya pengaruh pemanasan global yang mnyebabkan permukaan air laut naik, maka berakibat memperparah terjadinya genangan-genangan air dikota Banjarmasin. Genangan yang cukup besar terjadi apabila turun hujan bersamaan dengan pasang besar air laut.
Melihat kondisi perkotaan Banjarmasin yang ada dengan berbagai permasalahan lingkungannya, peneliti merasa perlu melakukan penelitian di pinggiran kawasan perkotaan Banjarmasin dan mengkajinya secara komprehensif
untuk mengantisipasi permasalahan lingkungan perkotaan yang lebih besar akibat kegiatan pengembangan wilayah perkotaan di Banjarmasin.
1.2. Permasalahan Penelitian
Perkembangan industri dan perdagangan di Kota Banjarmasin akan meningkat pesat seiring dengan kebijakan pemerintah daerah yang memproyeksikan Kota Banjarmasin sebagai kota berbasis perdagangan dan agro industri. Hal ini dikhawatirkan akan terjadi perubahan fungsi lingkungan. Lingkungan satu dan lingkungan lainnya memiliki kemampuan berbeda terhadap beban sesuai dengan peruntukan lingkungan tertentu, sehingga perubahan fungsi lingkungan akan menimbulkan risiko lingkungan.
Uraian di atas melatarbelakangi perumusan masalah sebagai dasar dalam melakukan penelitian:
1. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah di perkotaan Banjarmasin ?
2. Seberapa besar nilai risiko lingkungan pada unit lahan yang menjadi sasaran perkembangan wilayah di perkotaan Banjarmasin?
3. Bagaimana pengaruh tingkat perkembangan wilayah terhadap variasi risiko lingkungan di perkotaan Banjarmasin?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari Penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut ini. 1. Menganalisis tingkat perkembangan wilayah di perkotaan Banjarmasin. 2. Menilai risiko lingkungan pada daerah yang menjadi sasaran
pengembangan wilayah di perkotaan Banjarmasin.
3. Menganalisis pengaruh tingkat perkembangan wilayah terhadap variasi risiko lingkungan di perkotaan Banjarmasin.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah :
1. memberikan informasi tentang tingkat perkembangan wilayah di perkotaan Banjarmasin.
2. memberikan informasi tentang risiko lingkungan akibat pembangunan dalam pengembangan wilayah di perkotaan Banjarmasin.
3. Memberikan informasi tentang pengaruh tingkat perkembangan wilayah terhadap variasi risiko lingkungan di perkotaan Banjarmasin.
1.5. Keaslian Penelitian
Penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh Suryanto (2007) dengan topik “Daya Dukung Lingkungan Daerah Aliran Sungai Untuk Pengembangan Kawasan Permukiman (Studi Kasus Das Beringin Kota Semarang)“ mengkaji tentang daya dukung lingkungan pada DAS Beringin di Kota Semarang kemudian dikaitkan dengan potensi pengembangan pemukiman di DAS Beringin Kota Semarang. Dalam melakukan aktivitas pengembangan kawasan perkotaan, eksploitasi dalam pemanfaatan lahan yang terbatas akan terus dilakukan termasuk pada daerah pesisir. Tidak jarang ditemukan banyaknya aktivitas pembangunan industri dan permukiman yang berada di wilayah pesisir sehingga dapat
memberikan dampak lingkungan yang besar apabila tidak sesuai dengan kesesuaian lahannya (Sun Xiang et.al, 2007). Pengembangan fungsi tata guna lahan yang sesuai dengan tingkat kesesuaian lahannya tidak hanya akan mencegah lingkungan dari bencana tetapi juga akan meningkatkan produktivitas lahan tersebut.
Dalam melakukan kajian tentang dampak lingkungan perlu memperhatikan berbagai kriteria lingkungan dan dampak dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan stakeholder dalam pengelolaannya sehingga mampu meminimalisasi dampak dan menghindari terjadinya bencana lingkungan (Ramanathan, 2001 dan Setioko, 2008). Permasalahan lingkungan perkotaan sangat didasari oleh pertumbuhan penduduk kota yang meningkat pesat melebihi jumlah penduduk perdesaan sehingga dapat mengubah struktur internal kota menjadi sangat tidak jelas sulit untuk digeneralisasi, akibatnya kondisi ini dapat berpotensi menyebabkan kondisi pengembangan kawasan ke arah pinggiran kota (sprawl) (Setioko, 2008), serta munculnya permukiman kumuh (slums) di kawasan perkotaan (Bolay, 2006). Keadaan ini akan diperparah jika pada kawasan tersebut juga terjadi peningkatan pembangunan industri, dimana dengan lahan yang sempit dan semakin terbatas akan memberikan dampak pada lingkungan fisik seperti adalah perubahan kemiringan dan ketinggian lahan, jalan menjadi bergelombang, retak dan rusak, berkurangnya daerah resapan air, cadangan air tanah berkurang , terjadi kemacetan lalu lintas pada jam-jam pergantian waktu kerja (Irianta, 2008).
Isu permasalahan lingkungan perkotaan di berbagai wilayah di Indonesia sangat beraneka ragam dan memiliki perbedaan sesuai karakteristik
lingkungannya masing-masing. Karakteristik lahan pada penelitian sebelumnya yang menjadikan pembeda utama dimana penelitian yang saya lakukan berada pada kawasan perkotaan yang didominasi oleh lahan gambut. Penelitian berjudul “Kajian Perkembangan Wilayah dan Penilaian Risiko Lingkungan di Perkotaan Banjarmasin” mengkaji tentang dugaan adanya perubahan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh tingkat perkembangan wilayah berdasarkan sebagian besar indikator kekotaan yang dianalisis. Variabel risiko lingkungan yang digunakan tentunya di sesuaikan dengan karakteristik lahan yang digunakan. Tingkat perkembangan wilayah kemudian akan dihubungkan dengan variasi risiko lingkungan yang telah dinilai untuk mengetahui pengaruh yang signifikan antara tingkat perkembangan wilayah dengan risiko lingkungan yang dihasilkan. Secara jelas keaslian penelitian yang akanpeneliti lakukan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.Perbandingan penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan No. Nama peneliti
dan tahun Judul penelitian Tujuan
Data yang
dikumpulkan Metode Hasil
1 Suryanto, 2007
Daya Dukung Lingkungan Daerah Aliran Sungai Untuk Pengembangan Kawasan
Permukiman (Studi Kasus Das Beringin Kota Semarang
Mengkaji tentang daya dukung lingkungan pada DAS Beringin di Kota Semarang kemudian dikaitkan dengan potensi pengembangan
pemukiman di DAS Beringin Kota Semarang.
- Data penggunaan lahan - Data penduduk - Fasilitas umum - Wawancara (interview) - Observasi/ Pengamatan - Dokumentasi
- Metode overlay pada analisis kesesuaian lahan
Informasi tentang daya dukung lingkungan DAS Beringin yang sesuai dan tidak sesuai untuk pengembangankawasan permukiman.
2 Bolay, 2006 Slums and Urban
Development: Question on Society and Globalisation Mengkaji mengenai fenomena terbentuknya pemukiman kumuh Data sekunder dari penelitian sebelumnya
Studi literature dengan deskriptif kualitatif
Lingkungan perkotaan sangat kompleks, dan pemukiman kumuh merupakan elemen penting dari urbanisasi kontempore. Di masa lalu, kebijakan publik telah ditetapkan untuk mengatasi lingkungan kumuh, tanpa memperhitungkan potensi penduduk dalam
menyelesaikan masalah tersebut. Untuk itu solusi masalah
pemukiman di perkotaan perlu dilakukan oleh berbagai pihak baik pihak pemangku
kewenangan, swasta, maupun masyarakat yang mendiami pemukiman tersebut di perkotaan.
3 Ramanathan, 2001
A note on the use of the analytic hierarchy process for environmental impact assessment Mengkaji penggunaan analytic hierarchy process (AHP) dalam penilaian dampak lingkungan dengan memperhatikan berbagai kriteria dan kepentingan berbagai stakeholder. Dalam penelitian ini diambil contoh studi kasusSEIA (Sosio Economic Impact Assesment) dalam tujuanrecovery tanaman di area industri. - Data sekunder dari aplikasi SIE sebelumnya. - Pengumpulan data : jaringan transportasi, ketersediaan air, dan sanitasi.
AHP (Analytic Hierarchy Process) dan studi literatur
AHP memiliki fleksibilitas untuk menggabungkan faktor kuantitatif dan kualitatif, untuk menganalisis dampak yang mungkin terjadi. Penggunaan AHP digambarkan untuk sebuah studi kasus yang melibatkan penilaian dampak sosial ekonomi. Dalam studi kasus ini, AHP telah digunakan untuk menangkap persepsi para pemangku kepentingan dan menganalisa dampak sosial-ekonomi yang berbeda, yang akan membantu pihak berwenang dalam memprioritaskan rencana pengelolaan lingkungan, juga dapat membantu dalam
mengalokasikan anggaran yang tersedia untuk mengurangi dampak sosial-ekonomi yang buruk.
4 Sun Xiang et
al., 2007
Land Suitability Analysis for Urban Planning Environmental assessment in an EcologicallySensitive Costal Area of Menggabungkan penggunaan mekanisme multi-kriteria dengan pendekatan fuzzy dalam GIS untuk mengevaluasi kesesuaian lahan dalam kebutuhan - Data penggunaan lahan Langkah analisis: - mengembangkan faktor geo-lingkunganuntuk masing-masing
penggunaan lahan secara terpisah
- penilaian multikriteria
Metode evaluasi overlay dengan mekanisme multi- kriteria dan multi-tujuan dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis kesesuaian lahan perencanaan lingkungan perkotaan di daerah yang masih dalam proses Lanjutan
upon Multi-Criteria Mechanism
pembangunan wilayah. fuzzy dan kombinasi
linear yang dirasa diperlukan untuk menentukan nilai kesesuaian danmembuat peta kesesuaian untuk setiap penggunaan lahan secara terpisah.
- Evaluasi berbagai tujuan penggunaan lahan ke dalam kelompok kesesuaian, berdasarkan evaluasi multikriteria untuk masing-masing sektor, dengan caraclassication numerik multivariat, melalui ISODATA. - Kelompok-kelompok kesesuaian lahan dikaitkan dengankonflik lingkungan berdasarkan tujuan dari tiap kelompok kesesuaian, sehingga penggunaan lahan dapat dialokasikan dalam pola yangakan meminimalkan konflik dan
memaksimalkan
konsensus di antara para
daerah pesisir, dalam penelitian ini dilakukan di Lianyungang, Cina. Lanjutan
5 Setioko, 2008 Pertumbuhan Fisik Kota dan Bencana Lingkungan (Studi Kasus Kota Semarang)
Mengkaji fenomena perubahan struktur internal kota, yang semula struktur kota lama menjadi kota menjadi sangat ruwet dan sulit untuk digeneralisasi, dan terjadinya pergeseran peran pusat kota kearah pinggiran. -Data Geologi Kota Semarang -Data sebaran penduduk Kota Semarang
Overlay perkembangan kota semarang dari tahun ke tahun
Penduduk yang tinggal di pusat kota ada kecenderungan pindah ke kawasan pinggiran. Proses
perpindahan penduduk ini di dorong oleh adanya degradasi kualitas lingkungan di pusat kota dan meningkatnya suplai
perumahan baru yang rata-rata berlokasi di kawasan pinggiran. Limpahan kegiatan dari pusat kota ke kawasan pinggiran terjadi secara sporadis dan inkremental. Struktur kotanya pun berubah dari struktur kota yang sederhana menjadi struktur kota yang ruwet.
6 Irianta, 2009 Kajian Dampak
Perkembangan Industri Terhadap Kondisi Lahan Di Kawasan Bawen Kabupaten Semarang. Mengkaji dampak perkembangan industri terhadap perubahan kondisi lahan di Kawasan Bawen Kabupaten Semarang. -Data primer melalui survey dan wawancara -Data sekunder mengenai Intensitas jalan, data fisik lahan, penyebaran penggunaan lahan industri
- Metode analisis Sistem informasi Geografis (SIG)
- Teknik scoring
- Metode Matriks Interaksi Leopold
Dampak yang terjadi akibat adanya perkembangan industri di daerah Bawen diantaranya adalah perubahankemiringan dan ketinggian lahan, jalan menjadi bergelombang, retak dan rusak, berkurangnya daerah resapan air, cadangan air tanah berkurang , terjadi kemacetan lalu lintas pada jam-jam pergantian waktu kerja.
7 Ahmad Zaky Maulana, 2014 Kajian Perkembangan Wilayah dan Penilaian Risiko 1. Menganalisis tingkat perkembangan wilayah di perkotaan Banjarmasin. -Kepadatan Bangunan -Intensitas jalan -Fasilitas sosial
- Analisis citra quickbird tahun 2002 dan tahun 2014
- Teknik scoring dan
1. Klasifikasi tingkat perkembangan wilayah di perkotaan Banjarmasin 2. Data klasifikasi risiko Lanjutan
Perkotaan Banjarmasin
2. Menilai risiko lingkungan pada daerah yang menjadi sasaran pengembangan wilayah di perkotaan Banjarmasin. 3. Menganalisis pengaruh tingkat perkembangan wilayah terhadap variasi risiko lingkungan di perkotaan Banjarmasin. -Data sekunder mengenai lingkungan fisik -Data sekunder mengenai lingkungan biotik -Data sekunder mengenai lingkungan sosial. -Data Primer dengan pendekatan konsep Probabilistic Risk Assesment
- Analisis overlay peta dengan Sistem Informasi Geografis (SIG)
- Sampling dan wawancara
- Interpretasi data sekunder
- Cross-tabulation
3. Peta Risiko Lingkungan.
4. Rekomendasi pembangunan
wilayah.
Sumber: Peneliti, 2014 Lanjutan