TINGKAT PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA YANG
DIBERIKAN OLEH KONSELOR SEBAYA DI SMAN 5 BEKASI
Hani Mahatva Deran1; Tri Budiati2
1. Hani Mahatva Deran: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Kampus FIK UI, Depok, Jawa Barat 16424
E-mail: hanimahatvaderan@yahoo.com
2. Ns. Tri Budiati M.Kep, Sp.Kep. Mat: Keilmuan Keperawatan Maternitas, Universitas Indonesia, Kampus FIK UI, Depok, Jawa Barat 16424
Abstrak
Remaja membutuhkan informasi mengenai kesehatan reproduksi. Salah satu sumber informasi kesehatan reproduksi adalah konselor sebaya. Tujuan dari penelitian ini menggambarkan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja yang memiliki konselor sebaya. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif sederhana. Pengambilan sampel pada 97 responden SMAN 5 Bekasi menggunakan cluster random sampling. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner untuk mengukur karakteristik responden, penggunaan konselor sebaya, dan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja. Hasil penelitian menunjukkan 69% remaja memiliki tingkat pengetahuan yang baik mengenai kesehatan reproduksi. Edukasi oleh konselor sebaya perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi.
Kata kunci: kesehatan reproduksi, konselor sebaya, pengetahuan, remaja
Abstract
Adolescents needs information especially about reproductive health. One of the information source is peer counselor. This study aims to describe the knowledge level about adolescents’ reproductive health of student which has peer counselor. This study uses simple descriptive research design. Sampling at 97 respondents in SMAN 5 Bekasi using cluster random sampling. Data were collected using a questionnaire to measure the characteristic of respondents, the characteristic usage of peer counselor, and knowledge level about adolescents’ reproductive health. The result showed that 69% adolescents have a good level of knowledge about reproductive health. It is recommended that educational institutions have a collaboration with health care provider to make a school counselor to increase the knowledge level about adolescents’ reproductive health.
Keywords: adolescents, knowledge, peer counselor, reproductive health
Pendahuluan
Penduduk usia remaja merupakan populasi terbanyak di Indonesia, yaitu sebesar 43.551.815 jiwa, dimana 20.880.734 jiwa diantaranya merupakan remaja berusia 15-19 tahun (BPS, 2010). Periode masa remaja berkisar pada usia 11 sampai 20 tahun. Remaja merupakan periode perkembangan dimana seorang individu mengalami perubahan dari kanak-kanak menuju dewasa (Potter & Perry, 2005). Remaja mengembangkan identitas, serta bergerak
menuju ke arah fisik dan psikologis yang dewasa (Waspodo, 2005). Selama periode ini, remaja mengalami berbagai perkembangan, seperti perkembangan biologis, psikososial, kognitif, moral, spiritual, dan sosial (Wong, 2009). Masa remaja merupakan periode sehat dalam kehidupan, namun banyak remaja yang kurang mendapatkan informasi, kurang berpengalaman, dan kurang nyaman dalam mengakses pelayanan jasa kesehatan reproduktif yang mereka butuhkan (Waspodo, 2005). Oleh karena itu,
remaja membutuhkan informasi yang cukup mengenai kesehatan reproduksi.
Kebutuhan remaja akan pendidikan kesehatan reproduksi sangat tinggi, penelitian Zhang, dkk (2010) di Cina mengenai tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja menunjukkan 8,8% remaja memiliki pengetahuan tinggi, 21,1% remaja memiliki pengetahuan cukup, dan 16,9% remaja memiliki pengetahuan rendah. Kurangya pengetahuan kesehatan reproduksi terjadi pada remaja di Cina. Pengetahuan kesehatan reproduksi yang minim juga dialami oleh remaja di Indonesia, terlihat pada data Riskesdas (2010) yang menunjukkan bahwa persentase remaja yang pernah mendapatkan penyuluhan kesehatan reproduksi di Indonesia sebanyak 25,1%. Penelitian yang sama didapatkan bahwa sebanyak 60,6% remaja di DKI Jakarta belum mendapatkan penyuluhan kesehatan reproduksi. Salah satu target pemerintah untuk meningkatkan penyuluhan komprehensif terkait program kesehatan reproduksi bagi wanita untuk remaja usia dibawah 15 tahun yaitu sebesar 65%, tetapi hanya tercapai jauh dibawah target yaitu 11,4% pada tahun 2011 (Mulyadi, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah belum cukup untuk meningkatkan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi.
Kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi berdampak pada aktivitas seksual pada remaja. Menurut data Riskesdas (2010), 15,9% remaja laki-laki usia 18 tahun sudah
pernah melakukan hubungan seksual dan 10,1% remaja perempuan usia 18 tahun pernah melakukan hubungan seksual. Data Riskesdas (2010) menunjukkan lima dari 10.000 remaja usia 10-14 tahun pernah mengalami kehamilan dan 771 dari 10.000 remaja usia 15-19 tahun pernah mengalami kehamilan.
Pendidikan kesehatan reproduksi erat kaitannya dengan pendidikan dari sekolah dan orang tua. Tetapi pada tahap masa perkembangannya, remaja berusaha untuk bebas dari kendali orang tua, seperti mulai melakukan penolakan terhadap orang tua (Wong, 2009). Penelitian Buhrmester dalam Santrock (2004) membuktikan bahwa kedekatan remaja dengan teman sebaya meningkat secara drastis dan sebaliknya kedekatan dengan orang tua menurun dengan drastis. Keeratan, keterbukaan, dan perasaan senasib muncul diantara sesama remaja (Suwarjo, 2008).
Djamhoer (2005) menyebutkan bahwa edukasi sangat penting dalam upaya meningkatkan kesehatan reproduksi remaja. Salah satu program yang dilakukan oleh Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi yang bekerja sama dengan Pusdiklat Pegawai dan Tenaga Program Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam rangka meningkatkan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi adalah Workshop Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja bagi calon konselor sebaya. BKKBN melakukan pelatihan konseling untuk konselor sebaya dari sekolah
yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja. Para konselor remaja ini yang kemudian akan meneruskan pendidikan kesehatan reproduksi kepada remaja lainnya.
Menurut Suwarjo (2008), konseling sebaya penting dilakukan karena remaja lebih sering membicarakan masalahnya dengan teman sebaya dibandingkan dengan orang tua, pembimbing, atau guru di sekolah. Remaja menganggap orang dewasa tidak dapat memahami dan meyakini bahwa sesama remaja yang dapat saling memahami. Hal ini merupakan peluang bagi konselor remaja untuk memberikan edukasi kesehatan reproduksi bagi remaja lainnya. Pemberian edukasi ini diperlukan agar remaja tidak mendapatkan informasi yang salah atau kurang tepat mengenai kesehatan reproduksi (Carroll, 2007).
Pertanyaan dari penelitian ini adalah bagaimana tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja yang diberikan oleh konselor sebaya? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja yang diberikan oleh konselor sebaya di sekolah.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif sederhana. Rancangan ini digunakan untuk menggambarkan variabel yaitu tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi. Peneliti menggunakan teknik stratified random sampling
untuk menentukan responden dalam penelitian ini.
Kode etik penelitian adalah pedoman yang dimiliki peneliti yang mencakup perlakuan peneliti terhadap subjek penelitian (Notoatmodjo, 2010). Etika penelitian berguna agar penelitian yang dilakukan tidak merugikan dan membahayakan subjek penelitian. Responden yang bersedia terlibat dalam penelitian harus menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Peneliti melindungi responden terhadap aspek self
determination, privacy, anonymity,
confidentiality, serta protecting from discomfort and harm (Notoatmodjo, 2010).
Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuisioner yang mengacu pada penelitian. Kuesioner terdiri menjadi 3 bagian, yaitu karakteristik responden, karakteristik penggunaan konselor sebaya, dan kuesioner tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi.
Hasil
Tabel 1. Rerata Usia Responden
Var Mean SD Min-
Max
95% CI
Usia 16,02 0,73 14-17 15,87-16,17
Rata-rata umur responden adalah 16 tahun (95% CI: 15,87-16,17), dengan standar deviasi 0,73.
Tabel 2. Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki Perempuan 37 60 38,1 61,9
Tabel 3. Frekuensi menggunakan konselor sebaya
Fekuensi Jumlah Persentase
< 3 kali 3 - 6 kali > 6 kali 82 7 8 84,5 7,2 8,3
Tabel 4. Cara responden Menggunakan Konselor Sebaya.
Cara Jumlah Persentase
Perorangan Berkelompok Seminar 24 34 39 24,7 35 40,3
Tabel 5. Jenis Kelamin Konselor Sebaya yang Memberikan Konseling
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Sesama Jenis Kelamin Berbeda Jenis Kelamin Sesama atau Berbeda Jenis Kelamin 37 10 50 38,1 10,3 51,6
Tabel 6. Kejelasan Penyampaian Materi oleh Konselor Sebaya.
Kejelasan Materi Jumlah Persentase
Sangat Jelas Cukup Jelas Kurang Jelas Sulit dimengerti 22 68 5 2 22,7 70,1 5,1 2,1
Tabel 7. Tingkat Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Remaja Tingkat Pengetahuan Jumlah Persentase Baik Cukup Kurang 67 29 1 69 30 1
Tabel 8. Tingkat Pengetahuan berdasarkan sub bagian kesehatan reproduksi.
Pengetahuan Tingkat
Pengetahuan n %
Pertumbuhan dan
perkembangan remaja Baik
Cukup Kurang 82 11 4 84,5 11,3 4,2 Anatomi dan Fungsi
Organ Reproduksi Baik Cukup Kurang 89 6 2 91,8 6,2 2 Menstruasi Baik Cukup Kurang 12 75 10 12,4 77,3 10,3
Mimpi Basah Baik
Cukup Kurang 4 77 16 4,1 79,4 16,5
Kehamilan Remaja Baik
Cukup Kurang 92 5 0 94,8 5,2 0 Aborsi Baik Cukup Kurang 37 31 29 38,1 32 29,9 Penyakit Menular
Seksual Cukup Baik
Kurang 69 28 0 71,1 28,9 0
Tabel 15. Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Jenis Kelamin.
Jenis Kelamin
pengetahuan
Baik Cukup Kurang
n % n % n % Perempuan Laki-laki 41 26 68 70 19 10 32 27 0 1 0 3 Jumlah 67 29 1
Tabel 16. Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Usia.
Usia
pengetahuan
Baik Cukup Kurang
n % n % n % 14 15 16 17 1 17 29 20 100 77,2 60,4 77 0 5 18 06 0 22,8 37,5 23 0 0 1 0 0 0 2,1 0 Jumlah 67 29 1
Pembahasan
Usia responden berada pada rentang 14-17 tahun. Responden berada di masa remaja pertengahan. Responden pada penelitian ini
sebagian besar merupakan responden
perempuan. Dalam penelitian ini dapat dilihat perbedaan antara tingkat pengetahuan responden laki-laki dan responden perempuan.
Hasil Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI, 2007) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sumber informasi terkait kesehatan reproduksi terbanyak didapatkan dari teman. Salah satu penyedia informasi kesehatan reproduksi untuk remaja adalah teman remaja tersebut atau dapat disebut dengan konselor sebaya. Pemberian informasi ini diperlukan agar remaja tidak mendapatkan informasi yang salah atau kurang tepat mengenai kesehatan reproduksi (Carroll, 2007).
Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan konselor sebaya oleh responden. Penggunaan konselor sebaya ini diantaranya frekuensi responden menggunakan konselor sebaya sebagai sarana informasi dan konseling pada penelitian ini tidak terlalu sering. Mayoritas responden menggunakan konselor sebaya sebagai sarana pemberi informasi kesehatan reproduksi sebanyak dibawah 3 kali. Hal ini tentunya memberikan pengaruh terhadap informasi yang didapatkan oleh responden.
Hasil pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sylviani (2008). Mayoritas siswa yang melakukan konseling, mengaku lebih dari sekali konseling kepada konselor sebaya. Terdapat beberapa alasan siswa, diantaranya belum dekat dengan konselor, dan tidak percaya dengan kemampuan konselor. Berdasarkan hal tersebut, maka frekuensi responden melakukan konseling tergolong jarang.
Cara responden menggunakan konselor sebaya terbagi menjadi perorangan (satu orang konselor dengan satu siswa), berkelompok (satu orang konselor dengan beberapa siswa), dan seminar (beberapa konselor dengan banyak peserta siswa). Cara paling banyak yang digunakan responden adalah dengan metode seminar. Penelitian Burhmester dalam Santrock (2004) menjelaskan bahwa kedekatan remaja dengan teman sebaya meningkat secara drastis. Remaja lebih menyukai diskusi dengan banyak orang karena remaja cenderung suka berteman dan berkumpul dengan teman sebayanya (Wong, 2009). Mayoritas responden yang memilih dengan metode seminar dapat dikarenakan metode seminar memberikan kesempatan bagi remaja untuk berkumpul dengan banyak teman sebayanya.
Kenyamanan responden dalam menerima informasi kesehatan reproduksi dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin konselor sebaya yang memberikan konseling. Seringkali remaja lebih memilih berteman atau bercerita dengan
teman sesama jenis kelamin. Menurut Suwarjo (2008) keeratan, keterbukaan, dan perasaan senasib muncul diantara sesama remaja. Hasil penelitian menunjukkan responden cenderung tidak memilih jenis kelamin tertentu pada konselor sebaya.
Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sylviani (2008). Pelayanan konseling remaja paling banyak dilakukan oleh konselor sebaya berjenis kelamin perempuan. Utaminingsih (2006) menyebutkan bahwa remaja perempuan lebih sering berkomunikasi dengan sesama jenis kelamin dibandingkan dengan remaja laki-laki. Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan oleh cara responden menggunakan sarana konseling sebaya yang telah dijelaskan sebelumnya. Responden yang menggunakan konselor sebaya secara seminar, tentunya tidak memilih jenis kelamin konselor yang akan memberikan edukasi.
Kejelasan materi yang diberikan oleh konselor juga mempengaruhi tingkat pengetahuan remaja. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden menyatakan menyatakan informasi yang diberikan konselor sebaya cukup jelas. Perbedaan kejelasan penyampaian materi ini dapat disebabkan oleh kemampuan kognitif responden, dan kemampuan konselor sebaya dalam menjangkau siswa-siswi yang menerima informasi.
Tingkat pengetahuan responden terbagi menjadi baik, cukup, dan kurang. Berdasarkan hasil penelitian yang telah di tampilkan pada bab sebelumnya, mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi yang baik. Mayoritas responden yang memiliki pengetahuan baik ini dapat disebabkan responden menerima informasi terkait kesehatan reproduksi dari konselor sebaya di sekolah.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mason (2011) pada remaja di Afrika. Mason membandingkan pengetahuan kesehatan reproduksi pada remaja yang diberikan edukasi oleh konselor sebaya dan tidak diberi edukasi. Terlihat pada hasil penelitian Mason bahwa remaja yang diberikan edukasi mengalami peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi.
Penelitian yang dilakukan Kim (2008) di Amerika juga menunjukkan hal yang sama. Kim mengevaluasi edukasi yang diberikan oleh konselor sebaya kepada remaja. Hasil dari penelitian Kim menunjukkan bahwa remaja yang diberikan edukasi oleh konselor sebaya mengalami peningkatan dalam tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi, dan penurunan dalam kebiasaan perilaku seksualnya.
Hasil penelitian mengenai pengetahuan kesehatan reproduksi di SMAN 5 Bekasi ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dewi (2012) yang menyebutkan bahwa 69,1% remaja memiliki tingkat pengetahuan rendah
tentang perkembangan seksualitas. Perbedaan hasil penelitian ini dapat terjadi karena SMAN 5 Bekasi memiliki konselor sebaya sebagai salah satu pemberi informasi mengenai kesehatan reproduksi kepada remaja.
Berikut akan dijelaskan tingkat pengetahuan yang terbagi menjadi beberapa bagian pengetahuan kesehatan reproduksi serta tingkat pengetahuan berdasarkan karakteristik meliputi usia, dan jenis kelamin. Pengetahuan kesehatan reproduksi terbagi menjadi pengetahuan pertumbuhan dan perkembangan remaja, pengetahuan anatomi dan fungsi organ, pengetahuan menstruasi dan mimpi basah, kehamilan remaja, aborsi, serta pengetahuan penyakit menular seksual.
Pengetahuan mengenai pertumbuhan dan perkembangan remaja di SMAN 5 Bekasi mayoritas baik. Hasil penelitian ini sebanding dengan penelitian yang dilakukan Dewi (2012) yaitu mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi mengenai pertumbuhan dan perkembangan remaja. Hal ini menunjukkan bahwa remaja memiliki pengetahuan yang baik mengenai perubahan fisik dan hormonal yang terjadi pada tubuhnya. Pengetahuan mengenai pertumbuhan dan perkembangan remaja yang baik ini dapat disebabkan remaja mendapatkan
informasi terkait pertumbuhan dan
perkembangan remaja dari guru dan ditambah informasi dari konselor sebaya.
Selanjutnya pengetahuan mengenai anatomi dan fungsi organ reproduksi. Hasil penelitian di SMAN 5 Bekasi menunjukkan mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Gunilla (2006) di Swedia, menunjukkan 92% remaja memiliki tingkat pengetahuan yang baik mengenai anatomi organ reproduksi.
Berlawanan dengan penelitian Dewi (2012), mayoritas responden memiliki pengetahuan yang rendah mengenai anatomi dan fungsi organ reproduksi. Hasil penelitian ini dapat berbeda karena SMAN 5 Bekasi memiliki sumber informasi tambahan yaitu konselor sebaya.
Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan tentang menstruasi di SMAN 5 Bekasi tergolong cukup. Sejalan dengan hasil penelitian Gunilla (2006), tingkat pengetahuan remaja mengenai menstruasi mencakup 31,3% remaja di Swedia. Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI 2007) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terdapat 53,6% remaja yang mengetahui ciri akil baligh wanita (menstruasi).
Tingkat pengetahuan remaja tentang mimpi basah tergolong cukup. Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI 2007) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 19,95% remaja yang mengetahui ciri akil baligh pria (mimpi basah).
Selanjutnya tingkat pengetahuan tentang kehamilan remaja, sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Hasil SKRRI pada tahun 2007 menunjukkan mayoritas remaja mengetahui risiko kehamilan remaja. Hal ini menunjukkan remaja mendapatkan informasi yang baik mengenai kehamilan remaja, hal ini dapat disebabkan remaja yang mulai waspada terhadap hal-hal yang dapat membahayakan dirinya sendiri.
Pengetahuan tentang aborsi pada remaja SMAN 5 Bekasi mayoritas baik. Serta pengetahuan tentang penyakit menular seksual yang menunjukkan mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik. Sumber informasi tambahan bagi remaja di SMAN 5 Bekasi adalah konselor sebaya. Karena itu, konselor sebaya dapat meningkatkan pengetahuan remaja di SMAN 5 Bekasi.
Usia dengan pengetahuan baik dan terbanyak yaitu pada usia 15 tahun (77,2%) dan 17 tahun (77%). Penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Dewi (2012) yang menyebutkan bahwa usia yang lebih tua memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi yang lebih tinggi dibandingkan usia yang lebih muda. Hasil penelitian yang berbeda ini dapat dikarenakan kemamuan kognitif responden yang berbeda, ataupun sumber informasi yang dimiliki responden.
Berdasarkan hasil penelitian, 70% responden laki-laki memiliki pengetahuan yang baik, sedangkan 68% responden perempuan memiliki
pengetahuan yang baik. Hal ini menunjukkan responden laki-laki memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan walaupun perbedaannya tidak begitu jauh.
Penelitian Gunilla (2006) di Swedia menunjukkan hasil bahwa remaja perempuan memiliki tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi yang lebih rendah dibandingkan remaja laki-laki. Pada penelitian ini disebutkan bahwa remaja perempuan lebih sering mengunjungi klinik remaja untuk konseling. Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan karena remaja perempuan di Indonesia yang cenderung merasa malu untuk menceritakan dan bertanya mengenai kesehatan reproduksi yang dialaminya.
Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja yang diberikan oleh konselor sebaya di SMAN 5 Bekasi. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan di SMAN 5 Bekasi pada tanggal 6 Mei 2013. Dari 97 responden siswa-siswi SMAN 5 Bekasi didapatkan karakteristik responden mayoritas remaja perempuan. Siswa-siswi berada pada rentang usia 14-17 tahun dimana rata-rata responden berusia 16 tahun.
Siswa dan siswi SMAN 5 Bekasi menggunakan konselor sebaya dengan frekuensi yang tidak terlalu sering secara seminar. Mayoritas siswa dan siswi SMAN 5 Bekasi tidak memilih jenis
kelamin tertentu sebagai konselor. Kejelasan penyampaian materi kesehatan reproduksi oleh konselor sebaya tergolong cukup jelas.
Mayoritas siswa dan siswi SMAN 5 Bekasi memiliki tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi yang baik. Salah satu penyedia informasi bagi siswa-siswi SMAN 5 Bekasi adalah konselor sebaya. Adanya informasi dari konselor sebaya dapat meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi siswa-siswi SMAN 5 Bekasi.
Perawat harus memiliki tingkat pengetahuan yang baik mengenai kesehatan reproduksi remaja, dengan tingkat pengetahuan yang tinggi, perawat bisa memenuhi kebutuhan informasi remaja mengenai kesehatan reproduksi, serta membantu dalam mencegah dan menyelesaikan masalah terkait dengan kesehatan reproduksi. Pemenuhan kebutuhan informasi kesehatan reproduksi ini dapat dilakukan perawat dengan membentuk konselor sebaya yang dilatih terlebih dahulu di sekolah.
Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan menambah variabel, membandingkan tingkat pengetahuan responden yang memiliki konselor sebaya dan tidak memiliki konselor sebaya dengan karakteristik responden yang sama.
Peningkatan pengetahuan kesahatan reproduksi pada remaja sangat penting untuk dilakukan. Peningkatan pengetahuan ini dapat dilakukan dengan membentuk konselor sebaya dan
meningkatkan frekuensi konseling remaja kepada konselor sebaya. Pengetahuan yang baik ini sangat perlu dimiliki oleh remaja agar remaja dapat terhindal dari masalah-masalah terkait kesehatan reproduksi.
Ucapan Terima Kasih
1) Ibu Ns.Tri Budiati, M.Kep.,Sp.Kep.Mat, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan skripsi ini.
2) Ibu Dewi Irawaty, M.A., Ph.D, selaku dekan Fakultas Ilmu Keperawatan yang telah membantu mahasiswa dalam hal perizinan penelitian.
3) Ibunda Silvia Irani dan Ayahanda Eriyuf Brandel, SH., serta adik tercinta Disa Victoria Deran yang selalu mendoakan serta selalu memberikan dukungan tiada hentinya baik dalam bentuk moril dan juga materil.
Referensi
Arjanggi, R., Suprihatin, T. Metode pembelajaran tutor teman sebaya meningkatkan hasil belajar berdasar regulasi-diri. (2010: 91-97).
Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
BPS. (2010). Penduduk menurut kelompok umur, daerah perkotaan/pedesaan dan jenis
kelamin. http://sp2010.bps.go.id/.
Diumduh pada 11 November 2012 pukul 06.45 WIB.
Brooks, J.B. (1999). The process of parenting. 7th Edition. New York: McGraw-Hill.
Carroll, J.L. (2007). Sexuality now: Embracing Diversity. 2nd Edition. US: Thomson Wadsworth.
Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi & Pusdiklat Pegawai dan Tenaga Program Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). (2006). Modul workshop: Konseling kesehatan reproduksi remaja bagi calon konselor sebaya. Jakarta.
Gunilla,S., Katarina, E. S., Karin, N., Oscarsson, C., & Kjellberg, S. (2006). Knowledge of reproduction in teenagers and young adults in sweden. European Journal of Contraception & Reproductive Health Care, 11(2), 117-25. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/2006 26823?accountid=17242.
Hastono, S.P. (2007). Analisis data kesehatan. FKM-UI
Hastono, S.P., Sabri, L. (2010). Statistik kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers.
Hurlock, E.B. (2000). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Ikramullah et, al. (2009). Parents matter: The role of parents in teen’s decisions about sex. Child trends Research. Washington DC: Child Trends.
Kim, C. R., & Free, C. (2008). Recent evaluations of the peer-led approach in adolescent sexual health education: A systematic review. Perspectives on Sexual and Reproductive Health, 40(3),
144-51. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/2243 74355?accountid=17242
Mason-jones, A., Mathews, C., &Flisher, A. J. (2011). Can peer education make a difference? evaluation of a south african adolescent peer education program to promote sexual and reproductive health. AIDS and Behavior, 15(8), 1605-11. doi:http://dx.doi.org/10.1007/s10461-011-0012-1
Nickerson, A.B. & Nagle, R.J. (2005). Parent and peer attachment in late childhood
and early adolescence. Journal of Early Adolescence. Sage Publications
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku ajar
fundamental keperawatan: Konsep,
proses dan praktik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2009).
Fundamentals of nursing. Singapore: Elsevier Mosby.
Santrock, J.W. (2004). Life span development. Boston : McGraw-Hill Companies. SKRRI. (2007). Policy Brief: Remaja genre dan
perkawinan dini.
http://www.bkkbn.go.id/publikasi/Docum ents/Policy%20brief%20remaja%20%20 perkawinan%20dini.pdf. Diunduh pada 30 Mei 2013, 19:45
Sriranganathan, G., et al. Peer sexual health education: Interventions for effective programme evaluation. Health Education Journal. (2010: 62-71).
Suwarjo. (2008). Konseling teman sebaya (peer
counseling) untuk mengembangkan
resiliensi remaja. Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri
Yogyakarta.
Utaminingsih, I.A. (2006). Interaksi sosial remaja. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
Waspodo, D. (2005). Bunga rampai obstetri dan ginekologi sosial. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wong, D.L., Eaton, M.H., Wilson, D., Winkelstein, M.L., Schwartz, P. (2009).
Buku ajar keperawatan pediatric Wong. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Zhang, D., Bi, Y., Maddock, J.E., Li, S. (2010).
Asia-pasific journal of public health. Sexual and reproductive health knowledge among female college students in Wuhan, China.