UPAYA
PEMIJAHAN
IKAN
BELUT
SAWAH
(Monopterus
albus)
AHMAD FATTAYADEPARTEMEN
BUDIDAYA
PERAIRAN
FAKULTAS
PERIKANAN
DAN
ILMU
KELAUTAN
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN
MENGENAI
SKRIPSI
DAN
SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
UPAYA PEMIJAHAN IKAN BELUT SAWAH (Monopterus albus)
adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Oktober 2012 AHMAD FATTAYA C14080028
ABSTRAK
AHMAD FATTAYA. Upaya Pemijahan Ikan Belut Sawah (Monopterus albus).
Dibimbing oleh ODANG CARMAN dan DADANG SHAFRUDDIN.
Belut di Indonesia masih mengandalkan benih dari alam sehingga
ketersediaannya tidak berkelanjutan. Hal ini karena informasi mengenai
reproduksi dan seksualitasnya belum jelas. Selain itu, belut juga diidentifikasi
merupakan hermaprodit. Oleh karena itu, penelitian mengenai pengupayaan
pemijahan belut sawah perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan mencari cara
memijahkan ikan belut sawah (Monopterus albus). Kegiatan penelitian terdiri atas
penentuan betina dan jantan, identifikasi kematangan gonad, upaya pemijahan
secara alami, dan upaya pemijahan dengan perangsangan hormon. Data yang
didapat dalam penelitian ini dibahas secara deskriptif. Perlakuan yang dilakukan
adalah pembedahan 60 sampel belut dengan 4 rentang ukuran yang berbeda
secara mikroskopis (metode asetokarmin) dan makroskopis untuk menentukan
jenis kelamin dan identifikasi tingkat kematangan gonad. Upaya pemijahan alami
dilakukan pada bak terpal dengan rasio jantan:betina yang berbeda selama 2 bulan
pemeliharaan. Pemijahan buatan dilakukan dengan perangsangan ovaprim yang
disuntikan secara intramuscular kepada induk betina menggunakan dosis 0,5
mL/kg dan 0,7 mL/kg sebanyak 2 kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa individu belut betina memiliki panjang total kurang dari 40 cm, sedangkan
individu jantan memiliki panjang total lebih besar dari 50 cm. Belut dengan
panjang total antara 40,5 - 50 cm berada pada fase peralihan dari jenis kelamin
betina ke jantan atau interseks. Induk belut betina ataupun jantan yang telah
matang gonad dan siap dipijahkan belum dapat dicirikan morfologinya secara
khusus. Pemijahan secara alami telah berhasil terjadi dengan rasio jantan dan
betina 1:4 pada kepadatan 3 ekor/m2. Pemijahan dengan perangsangan induk belut
betina melalui penyuntikan menggunakan ovaprim dosis 0,5 mL/kg dan 0,7
mL/kg bobot induk tidak berhasil merangsang ovulasi.
Kata Kunci: Belut sawah (Monopterus albus), hermaprodit, tingkat kematangan
gonad, pemijahan
ABSTRACT
AHMAD FATTAYA. Spawning Efforts of Ricefield Eel (Monopterus albus).
Supervised by ODANG CARMAN and DADANG SHAFRUDDIN.
Ricefield eel in Indonesia has not been able to satisfy the demand because they
still depends on the seeds from the wild, so it is not sustainable. This problem
happens because information about reproduction and sexuality are still unclear. In
addition, eels are also identified as hermaphrodite. Therefore, researches about
spawning effort of ricefield eels are needed. This study aimed to explore how to
breed the ricefield eel (Monopterus albus). This study’s activities consist of male
and female determination, identification of gonad maturity, naturally spawning
effort, and spawning effort with hormonal stimulation. The data in this study are
discussed descriptively. The treatments are dissecting 60 eel samples with 4
different size ranges microscopically (acetocarmine method) and macroscopically
to determine sex and gonad maturity. Natural spawning efforts made on artificial
pond with a different sex ratio for 2 months. Injuced spawning was done by
ovaprim injection intramuscularly to the female broodstocks using doses of 0.5
mL/kg and 0.7 mL/kg broodstocks with 2 replications. The results showed that
female individuals have a total length of less than 40 cm, while the male
individuals have a total length more than 50 cm. Eels with a total length between
40.5 to 50 cm are intersex as the phase transition from female to male. Females or
males mature and ready for spawning can not be characterized morphologically.
Natural spawning has been successfully done with the male and female ratio of
1:4 at density of 3 individual/m2. Artificial spawning using hormone injection at
doses of 0.5 mL/kg and 0.7 mL/kg broodstocks failed to stimulate ovulation.
Keywords: Ricefield eel (Monopterus albus), hermaphrodite, gonad maturity,
spawning
UPAYA
PEMIJAHAN
IKAN
BELUT
SAWAH
(Monopterus
albus)
AHMAD FATTAYA SKRIPSIsebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya
Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
BUDIDAYA
PERAIRAN
FAKULTAS
PERIKANAN
DAN
ILMU
KELAUTAN
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
2012
SKRIPSI
Judul : Upaya Pemijahan Ikan Belut Sawah (Monopterus albus)
Nama Mahasiswa : Ahmad Fattaya
Nomor Pokok : C14080028 Disetujui Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc Ir.Dadang Shafruddin, M.Si
NIP. 19591222 198601 1 001 NIP. 19551015 198003 1 004 Diketahui
Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc NIP. 1967013 199302 1 001
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT
atas selesainya skripsi ini yang berjudul “Upaya Pemijahan Ikan Belut Sawah
(Monopterus albus)” berhasil diselesaikan. Penelitian dilakukan pada bulan
Januari - Juli 2012 bertempat di Kolam Percobaan Babakan dan Laboratorium
Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor serta di RT 02/05,
Desa Cibanteng Proyek.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai
pihak, penulisan skripsi ini tidak akan berjalan baik dan dapat diselesaikan maka
dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Odang
Carman, M.Sc dan Ir. Dadang Shafruddin, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi
atas ilmu yang telah diberikan, saran, bimbingan, dan nasihatnya serta terima
kasih kepada Yuni Puji H, S.Pi, M.Si sebagai dosen penguji dan Dr. Ir. Mia
Setiawati, M.Sc sebagai perwakilan dari Ketua Program Studi yang telah
memberikan saran dan bimbingannya. Terima kasih diucapkan pula kepada kedua
orang tua, Kamiludin Atori dan Entin Surtini serta abang Reka Pratama atas
dukungan, doa, kasih sayang, dukungan moril maupun materil selama ini. Tidak
lupa juga terima kasih kepada orang yang saya sayangi atas dukungan serta
doanya, seluruh dosen serta staf Departemen Budidaya Perairan atas ilmu yang
telah diberikan, bimbingan, dukungan serta bantuannya selama saya kuliah,
rekan-rekan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik dan
mahasiswa S2/S3 Ilmu Akuakultur serta teman-teman BDP 45 (2008) atas
bantuan selama penelitian berlangsung, dukungan dan persahabatan selama ini,
serta semua pihak yang telah membantu ataupun mendukung baik secara
langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penulisan ini. Semoga
skripsi ini dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak, berguna bagi kesejahteraan
masyarakat dan sesuai dengan yang diharapkan serta mendapatkan ridho Allah
SWT. Bogor, Oktober 2012 Ahmad Fattaya
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Ahmad Fattaya, dilahirkan di Jakarta pada 2 Mei
1990, merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Kamiludin Atori dan
Entin Surtini. Pendidikan penulis diawali di TK Kicau Bintaro Jaya (1995 -
1996), dilanjutkan di SD Negeri 04 Bintaro (1996 - 2002), SMP Negeri 177
Jakarta (2002 - 2005). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA
Negeri 90 Jakarta (2005 - 2008).
Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian
Bogor program studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya melalui
jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI). Selama kuliah penulis pernah menjadi
Ketua Panitia Masa Perkenalan Departemen (MPD) Budidaya Perairan pada
tahun 2010, anggota divisi Publikasi, Dokumentasi, dan Dekorasi di Himpunan
Mahasiswa Akuakultur periode 2010/2011. Penulis pernah lolos dan menjadi tim
PKM tahun 2011 serta mendapatkan Pinjaman Dana Wirausaha Mandiri tahun
2011 serta Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) tahun 2012. Selain itu penulis
menerima Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) selama periode 2011 -
2012. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Dasar-Dasar Genetika Ikan
pada tahun 2011, Industri Perbenihan Organisme Akuatik 2012, dan Fisiologi
Reproduksi Organisme Akuatik 2012. Penulis pernah mendapatkan kesempatan
untuk menghadiri dan mengikuti konferensi mengenai perikanan di Inggris pada
Mei 2012 dengan judul kegiatan Aquaculture UK 2012 serta menghadiri dan
mengikuti konferensi mengenai pengemasan bahan pangan di Thailand pada Juni
2012 dengan judul kegiatan PROPAK ASIA 2012.
Penulis pernah melaksanakan praktik kerja lapangan di Mahameru Cahaya
Internasional (MCI) Fish Farm pada bulan Juli - Agustus 2011 dengan judul
“Pembesaran Ikan Diskus (Symphysodon sp.)”. Tugas akhir sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Budidaya Perairan, FPIK
IPB, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Upaya Pemijahan Ikan Belut
Sawah (Monopterus albus)”.
DAFTAR
ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...ix
DAFTAR GAMBAR ... ... .x
DAFTAR LAMPIRAN ... ... .xi
I. PENDAHULUAN ...1
II. METODOLOGI ………. ... .3
2.1 Prosedur Pelaksaan………. 3
2.2.1 Penentuan Betina dan Jantan ...3
2.2.2 Identifikasi Kematangan Gonad ...3
2.2.3 Upaya Pemijahan Alami ...4
2.2.4 Upaya Pemijahan dengan Perangsangan Hormon ...6
2.2 Parameter Pengamatan ...7
III. HASIL DAN PEMBAHASAN ...8
3.1 Hasil ... …... ...8
3.1.1 Jenis Kelamin Belut ...8
3.1.2 Kematangan Gonad ...8
3.1.3 Pemijahan Alami ...9
3.1.4 Pemijahan dengan Perangsangan Hormon ...11
3.2 Pembahasan ...11 IV. KESIMPULAN...17 DAFTAR PUSTAKA ... ...18 LAMPIRAN ...20 viii
DAFTAR
TABEL
Halaman
1. Ciri-ciri tingkat kematangan gonad belut betina dan ikan jantan secara
umum ... ..4
2. Kondisi bak pemijahan alami belut ...5
3. Identifikasi jenis kelamin belut berdasarkan rentang ukuran panjang ...8
4. Sebaran tingkat kematangan gonad belut ………..……. 9
5. Jumlah lubang belut dan kisaran suhu serta pH selama pemeliharaan
pada bak pemijahan alami ... ... ..10
6. Hasil pemanenan belut pada seluruh bak pemijahan alami ...10
7. Hasil penyuntikan induk belut betina matang gonad menggunakan
ovaprim ...11
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
1. Tata letak bak pemijahan alami belut ...4
2. Penampang melintang bak pemijahan alami belut ... ...5
3. Kondisi bak pemijahan alami belut ... ...6
4. Gonad belut secara mikroskopis . ... ...8
5. Gonad belut secara makroskopis …………... ... ...8
6. Lubang persembunyian belut selama pemeliharaan di bak pemijahan alami ………... 9
7. Perbandingan beberapa induk belut betina dengan seluruh benih hasil pemanenan pada bak ke 3 ...10 x
DAFTAR
LAMPIRAN
Halaman
1. Tahapan pemeriksaan gonad metode asetokarmin... ...21
2. Data hasil identifikasi gonad belut sawah (Monopterus albus) ... ...22
3. Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 1 ... ...24
4. Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 2 ………... ..… 24
5. Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 3 ……… 25
6. Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 4 ……… 25
7. Benih belut hasil pemanenan pada bak 3 ………... 26
8. Dokumentasi kegiatan penelitian belut sawah (Monopterus albus) ...26
I.
PENDAHULUAN
Terdapat tiga jenis belut di dunia, yaitu belut rawa (Synbranchus
bengalensis), belut sawah (Monopterus albus) dan belut kali/laut (Macrotema
caligans Cant). Namun, jenis belut yang sering dijumpai di pasar Indonesia
adalah jenis belut sawah (Prihatman 2000). Belut sawah adalah ikan asli wilayah
Asia yang tersebar luas di berbagai negara seperti India, China, Jepang, Malaysia,
Indonesia, Bangladesh (Guan et al. 1996) Thailand dan Vietnam (Khanh dan
Ngan 2010). Penyebaran belut sawah di Indonesia meliputi daerah Jawa,
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, NTT, dan NTB. Belut sawah memiliki bentuk
tubuh silinder dengan badan tanpa sisik dengan bagian kulitnya yang licin.
Hidung belut tumpul membundar dengan bentuk mulut bagian atas melebihi
bagian bawah dan sirip dada serta perut tereduksi menjadi lipatan kulit yang
bersatu dengan sirip punggung, ekor, dan anal (Kottelat et al. 1993).
Belut sawah adalah komoditas air tawar yang permintaannya terus
meningkat untuk ukuran konsumsi dengan size 80 - 50 untuk pasar lokal dan size
10 - 5 untuk diekspor. Pasar dalam negeri seperti Jakarta membutuhkan 20 ton
belut per hari sedangkan Yogyakarta 30 ton belut per hari, Pekalongan 100 kg
belut per hari serta wilayah Pati membutuhkan 50 kg belut per hari dan menurut
Data Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2007 ekspor belut mencapai
2.189 ton dalam bentuk beku, segar, dan hidup. Volume ekspor meningkat
menjadi 2.676 ton pada tahun 2008 dan periode Januari - Juni 2009 jumlah belut
yang diekspor mencapai 4.744 ton. Negara tujuan ekspor komoditas belut di
antaranya adalah Hongkong, China, Jepang, Taiwan, Singapura, Korea dan
Thailand. Total permintaan dunia terhadap belut beku atau dingin yaitu sebesar
230 ribu ton per tahun dan Indonesia hanya mampu memasok 2,2% sedangkan
untuk belut hidup sekitar 7,1% (Warta Pasar Ikan 2010).
Kegiatan budidaya semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
permintaan akan kebutuhan belut. Pembudidaya belut di Indonesia selama ini
hanya mengandalkan benih hasil dari tangkapan alam untuk dibesarkan sehingga
belut untuk ukuran konsumsi secara kuantitas dan kualitasnya tidak mencukupi
serta kontinyuitasnya tidak terjamin. Solusi yang dapat dilakukan yaitu
1
mengupayakan pemijahan belut secara terkontrol atau menghasilkan benih hasil
pemijahan bukan dari alam. Namun, pemijahan belut belum dapat dilakukan
karena masih adanya permasalahan yang dihadapi, antara lain studi mengenai
belut yang masih sedikit khususnya di Indonesia sehingga informasi mengenai
reproduksi dan seksualitasnya belum jelas. Selain itu, belut juga diidentifikasi
sebagai hewan air yang tergolong hermaprodit yaitu di dalam tubuhnya memiliki
jaringan ovarium maupun jaringan testis (Wahyuningsih dan Barus 2006). Oleh
karena itu, penelitian mengenai upaya pemijahan belut sawah secara terkontrol
perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari cara memijahkan ikan
belut sawah (Monopterus albus) secara terkontrol.
II.
METODOLOGI
2.1 Prosedur Pelaksanaan
Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut sawah
(Monopterus albus) yang diperoleh dari pengumpul ikan di wilayah Dramaga.
Kegiatan penelitian terdiri atas penentuan betina dan jantan, identifikasi
kematangan gonad, upaya pemijahan secara alami, dan upaya pemijahan dengan
perangsangan hormon. Data yang didapat dalam penelitian ini dibahas secara
deskriptif.
2.1.1 Penentuan Betina dan Jantan
Penentuan betina dan jantan menggunakan 60 ekor belut dengan 4 rentang
ukuran panjang yang berbeda. Ukuran panjang 20,5 - 30 cm, 30,5 - 40 cm, 40,5 -
50 cm, dan 50,5 - 60 cm yang masing-masing berjumlah 15 ekor untuk dibedah
serta dilihat perbedaan jenis kelamin betina atau jantan secara makroskopis dan
mikroskopis (metode asetokarmin). Setiap individu belut dengan rentang ukuran
berbeda diambil dan dibius menggunakan es batu sebanyak 2 kg di dalam
styrofoam selama 5 menit. Setelah terbius, belut diberi penanda pada bagian
tubuhnya dan didokumentasikan. Setiap individu belut ditimbang bobot dan
diukur lingkar perutnya lalu belut tersebut dibedah dan diamati gonadnya secara
makroskopis. Selanjutnya gonad tersebut diambil dan ditaruh di atas slide glass,
dicacah sampai halus, ditetesi larutan asetokarmin kemudian dilihat di bawah
mikroskop. Tahapan metode asetokarmin dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.1.2 Identifikasi Kematangan Gonad
Belut diidentifikasi kematangan gonadnya untuk mengetahui belut yang
siap memijah atau matang gonad saat melakukan pemilihan induk yang
digunakan dalam upaya pemijahan alami maupun dengan perangsangan hormon.
Setiap belut yang sudah diketahui jenis kelaminnya baik betina atau jantan
diklasifikasikan berdasarkan tingkat kematangan gonad ovari atau testisnya.
Individu belut pada tingkat kematangan gonad IV untuk jantan dan betina diamati
ciri-ciri morfologinya terutama pada bagian ekor, perut, dan kelamin
(genital/urogenital). Penentuan tingkat kematangan gonad belut betina dan jantan
didasarkan pada Tabel 1 berikut ini.
3
- Testis bagian belakang kempis, dan di
Tabel 1 Ciri-ciri tingkat kematangan gonad belut betina dan ikan jantan secara
umum.
TKG Belut betina* Ikan jantan secara umum**
I Butiran telur tidak dapat dilihat secara
visual, proporsi telur lebih besar
daripada proporsi jantan.
II Secara visual telur sudah terlihat.
Telur yang terlihat berukuran sangat
kecil, proporsi telur sekitar 80 - 90 %
dari isi gonad.
III Telur terlihat sangat jelas, butiran-
butiran telur berukuran besar, antara
butiran telur masih rekat sehingga
sukar dipisahkan. Proporsi telur
sekitar 95% dari isi gonad.
IV Telur terlihat sangat jelas, butiran-
butiran telur berukuran besar, antara
butiran telur sulit terpisah. Gonad
hampir seluruhnya berisi telur dengan
proporsi sperma sangat sedikit.
Testis seperti benang lebih pendek dan
terlihat ujungnya di rongga tubuh, serta
berwarna jernih.
Ukuran testis lebih besar, pewarnaan
putih seperti susu, bentuk lebih jelas dari
tingkat I.
Permukaan testis tampak bergerigi,
warna makin putih, testis makin besar,
dalam keadaan diawetkan mudah putus.
Seperti pada tingkat III tetapi lebih jelas,
testis pejal.
V
bagian belakang pelepasan masih berisi.
keterangan: * Bahri (2000), ** Effendie dan Sjafei (1977) dalam Bahri (2000) 2.1.3 Upaya Pemijahan Alami
Upaya pemijahan alami menggunakan 4 buah bak yang terbuat dari terpal
dan bambu. Air yang digunakan adalah air sungai yang telah ditampung pada bak
semen berukuran 1 x 1 x 0,5 m, selanjutnya air disalurkan menggunakan pipa ke
bak 1 dan bak ke 2 sejauh 20 m, dan disalurkan pula ke bak ke 3 dan ke 4 melalui
bak penampungan air (Gambar 1).
Bak 1 (2,7 x 2,7 x 0,8 m) Bak penampungan Bak 4 (2,5 x 2,5 x 0,8 m) 20 m 10 m (3 x 1,5air x 0,5 m) Bak 3 (2,5 x 2,5 x 0,8 m) Bak 2 (2,7 x 2,7 x 0,8 m) keterangan: inlet outlet
ditebar (ekor) 24 20 20 24
induk belut betina (cm) 29 - 37 27 - 39 29 - 38 28 - 37
induk belut jantan (cm) 51 - 60 51 - 59 53 - 59 52 - 57
bak (m) 2,7 x 2,7 x 0,3 2,7 x 2,7 x 0,3 2,7 x 2,7 x 0,3 2,7 x 2,7 x 0,3
Seluruh bak diisi dengan lumpur setinggi 30 cm dari dasar bak dan
dibuatkan pematang dengan menambahkan lumpur setinggi 20 cm dari
permukaan lumpur. Kemudian bak diisi air setinggi 5 cm dari permukaan lumpur,
diganti setelah 24 jam lalu diisi kembali dan didiamkan selama 1 minggu
(Gambar 2). 5 cm 20 cm keterangan: inlet Lumpur 30 cm outlet pematang
Gambar 2 Penampang melintang bak pemijahan alami belut.
Pada setiap bak pemijahan ditebar induk belut jantan dan betina yang
matang gonad dengan rasio berbeda, yaitu 1:2, 1:3, 1:4, dan 1:5 dengan kepadatan
rata-rata 3 ekor/m2. Pakan yang diberikan selama pemeliharaan berupa pakan
hidup ikan seribu (Lebistes sp.) secara ad libitum. Kisaran panjang belut matang
gonad yang ditebar pada bak untuk induk betina memiliki kisaran panjang 27 - 39
cm sedangkan induk jantan >50 cm. Pengecekan suhu, pH air, dan pengamatan
permukaan air pada bak pemijahan untuk mengganti belut yang mati dilakukan
setiap hari selama pemeliharaan. Selain itu, pengamatan lubang pada pematang
untuk mengetahui adanya busa sebagai ciri-ciri belut memijah dilakukan pula
setiap harinya. Kondisi bak pemijahan alami belut dapat dilihat pada Tabel 2 dan
Gambar 3 di bawah ini.
Tabel 2 Kondisi bak pemijahan alami belut.
Parameter Bak
1 4 3 2
Jumlah belut yang
Kisaran ukuran panjang
Kisaran ukuran panjang
Rasio jantan:betina 1:2 1:3 1:4 1:5
Ukuran bak (m) 2,7 x 2,7 x 0,8 2,5 x 2,5 x 0,8 2,5 x 2,5 x 0,8 2,7 x 2,7 x 0,8
Pengisian lumpur dalam Kepadatan (ekor/m2) 3 3 3 3 5
Bak 1 Bak 2 Bak 3 Bak 4
Gambar 3 Kondisi bak pemijahan alami belut.
Pematang dibongkar secara perlahan setelah pemeliharaan 1,5 bulan untuk
memeriksa dan mengamati kemungkinan adanya sarang yang dibuat belut untuk
menyimpan telur serta mengamati bentuk lubang yang dibuat oleh belut. Seluruh
bak dipanen setelah 2 bulan pemeliharaan untuk pengecekan ada atau tidaknya
benih belut hasil pemijahan. Induk betina dan jantan yang didapat dihitung
jumlahnya lalu benih yang didapatkan diukur panjang, bobot, dan lingkar
perutnya serta dihitung jumlahnya, selanjutnya seluruh belut dipindahkan ke
akuarium.
2.1.4 Upaya Pemijahan dengan Perangsangan Hormon
Pemijahan dengan perangsangan hormon dilakukan dengan menggunakan
4 ekor induk betina yang matang gonad di antara induk-induk yang telah
digunakan pada pemijahan alami. Akuarium yang digunakan sebanyak 4 buah
dengan ukuran 40 x 20 x 30 cm yang sebelumnya telah diberi aerasi dan diisi
lumpur setinggi 15 cm serta diisi air setinggi 5 cm. Belut kemudian dibius
menggunakan minyak cengkeh sebanyak 1 ppt selama 10 menit dalam wadah
akuarium berukuran 30 x 20 x 30 cm. Selanjutnya masing-masing belut ditimbang
akuabides dengan perbandingan 1:2. Kemudian belut disuntik satu persatu pada
bagian intramuscular dan ditempatkan pada akuarium yang berbeda. Pengamatan
keberhasilan ovulasi, penimbangan bobot belut serta percobaan stripping
dilakukan pada jam ke 8, 16, 20, dan 24 setelah penyuntikan. Selain itu, dilakukan
pula pengukuran suhu air pada jam tersebut.
2.2 Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati pada penelitian ini yaitu jenis kelamin, tingkat
kematangan gonad (TKG), keberhasilan pemijahan, dan keberhasilan ovulasi.
7
III.
HASIL
DAN
PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Jenis Kelamin Belut
Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3
menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada
fase seksualitas betina karena pada gonadnya menghasilkan oosit. Belut dengan
ukuran panjang antara 40,5 - 50 cm sudah memasuki fase interseks karena
ditemukan ovari dan testis di dalam tubuhnya. Belut dengan ukuran panjang lebih
dari 50,5 cm sudah masuk fase seksualitas jantan karena pada gonadnya
menghasilkan spermatosit. Data hasil identifikasi 60 sampel belut dari
pembedahan yang telah dilakukan dapat dilihat secara rinci pada Lampiran 2.
Tabel 3 Identifikasi jenis kelamin belut berdasarkan rentang ukuran panjang.
Seksualitas Panjang (cm)
20,5 - 30 30,5 - 40 40,5 - 50 50,5 - 60
Betina 15 13 2 2
Interseks 0 2 9 1
Jantan 0 0 4 12
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 berikut ini adalah hasil pengamatan gonad
belut secara mikroskopis dan makroskopis.
Betina Interseks Jantan
Gambar 4 Gonad belut secara mikroskopis.
Betina Jantan
Gambar 5 Gonad belut secara makroskopis.
TKG Seksualitas
ciri-ciri umum yaitu pada betina memiliki genital berwarna merah, 1/3 perut
bagian belakang ke arah genital terlihat penuh terisi telur dan bagian perut
berwarna kuning kemerahan sedangkan pada jantan yaitu urogenital berwarna
merah dan bagian perut berwarna coklat ke abu-abuan. Namun, ciri-ciri pada
belut jantan dan betina tidak lengkap ditemukan pada seluruh sampel belut yang
memiliki TKG IV (12 sampel betina dan 3 sampel jantan). Rincian hasil
penentuan tingkat kematangan gonad belut dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 4 Sebaran tingkat kematangan gonad belut.
Betina Jantan Interseks
TKG I 5 4 0 TKG II 7 6 0 TKG III 8 3 0 TKG IV 12 3 0 Interseks 0 0 12 3.1.3 Pemijahan Alami
Pengamatan lubang dilakukan setelah 1,5 bulan pemeliharaan hasilnya
yaitu lubang belut yang digunakan sebagai tempat perlindungan dan pemijahan
secara umum memiliki bentuk bulat seperti terowongan mengarah vertikal ke arah
bawah kemudian mendatar. Namun, sarang penyimpanan telur maupun ciri-ciri
adanya pemijahan dengan ditandai busa di sekeliling lubang tidak terlihat pada
saat diamati. Gambar 6 berikut ini merupakan lubang persembunyian belut yang
ditemukan pada bak pemijahan alami.
(a) (b) (c)
keterangan: (a) lubang di atas pematang, (b) lubang di dekat pematang, (c) lubang
di antara pematang.
Gambar 6 Lubang persembunyian belut selama pemeliharaan di bak pemijahan
alami.
Suhu harian pada bak pemijahan berkisar antara 25 - 31 0C sedangkan pH
harian seluruh bak cenderung stabil pada nilai pH 6. Secara umum, kualitas air
antara setiap bak tidak memiliki perbedaan yang signifikan baik pH ataupun suhu.
9
Parameter Bak
Bak Rasio
Jumlah lubang pada setiap bak memiliki jumlah yang berbeda, yaitu pada bak 1
sebanyak 32 lubang, bak 2 sebanyak 40 lubang, bak 3 sebanyak 32 lubang
sedangkan bak 4 sebanyak 35 lubang (Tabel 5).
Tabel 5 Jumlah lubang belut dan kisaran suhu serta pH selama pemeliharaan pada
bak pemijahan alami.
1 2 3 4
Jumlah lubang belut 32 40 32 35
Kisaran suhu harian (oC) 25 - 31 25 - 31 26 - 30 26 - 30
Kisaran pH harian 6 6 6 6
Seluruh bak dilakukan pemanenan setelah 2 bulan masa pemeliharaan, hasilnya
menunjukkan bahwa jumlah belut yang dimasukan pada setiap bak berkurang.
Rasio yang digunakan dalam pemijahan untuk bak 1, bak 4, bak 3, dan bak 2
antara jantan:betina yaitu 1:2, 1:3, 1:4, dan 1:5. Namun, dari keempat rasio
tersebut hanya rasio 1:4 saja yang berhasil, yaitu pada bak 3 dengan jumlah induk
belut sebanyak 20 ekor pada kepadatan 3 ekor/m2 dengan jumlah benih sebanyak
3 ekor (Tabel 6). Perbandingan induk betina dan benih belut hasil pemanenan bak
3 dapat dilihat pada Gambar 7. Induk yang ditebar pada setiap bak dapat dilihat
pada Lampiran 3 - 6 dan benih yang dipanen dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 6 Hasil pemanenan belut pada seluruh bak pemijahan alami.
jantan:betina
Awal Penelitian (ekor) Akhir Penelitian (ekor)
Betina Jantan Betina Jantan
Benih 1 1:2 16 8 7 5 - 4 1:3 15 5 2 1 - 3 1:4 16 4 7 4 3 2 1:5 20 4 8 - - (a) (b) (c) (d) (e) (f)
Parameter Jam
3.1.4 Pemijahan dengan Perangsangan Hormon
Perangsangan ovulasi induk betina menggunakan ovaprim yang dilakukan
selama 24 jam menunjukkan hasil bahwa penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5
mL/kg dan 0,7 mL/kg bobot induk memberikan peningkatan bobot setiap
pengamatannya, namun peningkatan tersebut kurang dari 10% bobot awal dan
keberhasilan ovulasi tidak terjadi. Suhu yang diamati pada jam ke 8, 16, 20, dan
24 berkisar antara 25 - 32 0C (Tabel 7).
Tabel 7 Hasil penyuntikan induk belut betina matang gonad menggunakan
ovaprim. ke- Induk 1 (0,5 mL/kg) Induk 2 (0,5 mL/kg) Induk 3 (0,7 mL/kg) Induk 4 (0,7 mL/kg) Dosis penyuntikan (mL) - 0,009 0,014 0,022 0,016 Bobot awal (g) - 17,60 27,48 31,61 23,42 8 18,51 28,15 31,98 23,93 Bobot akhir (g) 16 18,60 28,45 32,03 24,12 20 18,72 28,56 32,15 24,30 24 18,76 28,68 33,38 24,50 ΔW (g) - 1,16 1,20 1,77 1,08 8 25 25 25 25 Suhu (oC) 16 32 31 32 32 20 28 27 27 27 24 29 27,5 27 29
Keberhasilan ovulasi - tidak berhasil tidak berhasil tidak berhasil tidak berhasil
3.2 Pembahasan
Penelitian diawali dengan penentuan betina dan jantan, identifikasi
kematangan gonad, upaya pemijahan secara alami, dan upaya pemijahan dengan
perangsangan hormon. Penentuan betina dan jantan, berdasarkan Tabel 3 hasilnya
adalah pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut masih berada pada fase
seksualitas betina karena pada gonadnya berkembang sel telur atau menghasilkan
oosit. Belut dengan ukuran panjang antara 40,5 - 50 cm sudah memasuki fase
interseks karena ditemukan ovari dan testis di dalam tubuhnya. Belut dengan
ukuran panjang lebih dari 50,5 cm sudah masuk fase seksualitas jantan. Chan dan
Philip (1969) dalam Gong et al (2011) menyatakan bahwa perubahan kelamin
belut sawah biasanya terjadi setelah pemijahan atau setelah belut mencapai
ukuran panjang 35 - 45 cm dan secara umum belut betina memiliki ukuran
panjang total kurang dari 40 cm. Khanh dan Ngan (2010) menambahkan bahwa
belut jantan umumnya memiliki panjang total di atas 50 cm.
11
Belut sawah dapat dikategorikan sebagai hermaprodit protogini karena
mengalami perubahan kelamin dari betina menjadi jantan dan mengalami fase
perubahan kelamin yang disebut sebagai fase interseks. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Shi (2005), yaitu belut sawah merupakan hermaprodit protogini
karena mengalami perubahan kelamin secara alami, pada fase juvenil adalah
betina selanjutnya memasuki fase interseks dimana kedua organ kelamin betina
dan jantan dengan spermatosit dan oosit berkembang, kemudian pada fase akhir
berubah menjadi jantan. Tang et al. (1974) menambahkan bahwa belut
mengalami perubahan kelamin atau bersifat hermaprodit protogini yang
mengalami perubahan fungsional dari betina, interseks, dan fase jantan fungsional
selama siklus hidupnya.
Belut pada tingkat kematangan gonad (TKG) IV adalah kondisi yang
diinginkan untuk dilakukan pemijahan karena gonad sudah mencapai tingkat
kematangan gonad akhir atau sudah matang gonad sehingga memiliki peluang
keberhasilan pemijahan yang lebih besar daripada tingkat kematangan gonad I, II
ataupun III. Hasil identifikasi kematangan gonad menunjukkan bahwa belut
memiliki tingkat kematangan gonad yang beragam (Tabel 4), dari 60 sampel yang
diamati hanya 15 ekor yang mencapai TKG IV yaitu terdiri dari 12 ekor betina
dan 3 ekor jantan. Bahri (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
penentuan TKG jantan sulit dilakukan secara visual ataupun menggunakan
asetokarmin karena secara umum gonad terdiri dari sperma dan telur yang ada di
dalam tubuhnya dan tidak diketahui apakah sperma yang ada mampu membuahi
atau tidak.
Morfologi belut yang matang gonad (TKG IV) memiliki ciri-ciri umum
yaitu pada betina memiliki genital berwarna merah, 1/3 perut bagian belakang ke
arah genital terlihat penuh terisi telur dan bagian perut berwarna kuning
kemerahan sedangkan pada jantan yaitu urogenital berwarna merah dan bagian
perut berwarna coklat ke abu-abuan. Namun, dari 12 ekor belut betina dan 3 ekor
belut jantan TKG IV tidak lengkap ditemukannya ciri-ciri umum pada sampel
yang diamati. Selain itu, bobot dan ukuran panjang belut tidak dapat dijadikan
sesaat akan memijah kemudian akan menurun cepat setelah selesainya pemijahan.
Perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan
indeks kematangan gonad (IKG) (Effendie 1979 dalam Bahri 2000). Namun,
pada penelitian Elis (2003) menyatakan bahwa indeks kematangan gonad belut
tidak dipengaruhi oleh panjang dan berat tubuh. Oleh karena itu, belut betina dan
jantan TKG IV belum dapat dicirikan secara khusus baik berdasarkan ciri-ciri
morfologi, bobot ataupun ukuran.
Upaya pemijahan alami dilakukan pada bak terpal yang telah dibuat
seperti habitat alami belut yaitu mengisi bak dengan lumpur setinggi 30 cm dan
membuat pematang setinggi 20 cm. Hal ini didasarkan pada pernyataan Gong et
al. (2011) bahwa habitat alami belut adalah lingkungan seperti sawah, kolam
berlumpur, rawa, dan kanal. Belut memiliki kemampuan hidup di daerah
berlumpur karena mempunyai alat pernafasan tambahan berupa kulit tipis
berlendir yang terdapat pada rongga mulut yang berfungsi menyerap oksigen
langsung dari udara (Sarwono 1999 dalam Bahri 2000).
Liem (1980) dalam Straight et al. (2005) menyatakan bahwa belut dapat
diberikan pakan berupa ikan kecil, udang, siput, larva, serangga-serangga, katak,
telur katak, dan berudu. Oleh karena itu, pakan yang diberikan untuk belut selama
pengupayaan pemijahan adalah pakan hidup berupa ikan seribu yang diberikan
secara ad libitum.
Suhu harian bak pemijahan berkisar antara 25 - 31 0C (Tabel 5). Suhu
tersebut memiliki kisaran yang berbeda dengan Sterba dan Habil (1962) dalam
Elis (2003), suhu yang disukai belut berkisar antara 25 - 28 0C. Nilai pH harian
cenderung stabil pada pH 6 (Tabel 5), nilai pH ini masih dalam kisaran normal
yang dinyatakan oleh Asmawi (1983) dalam Bahri (2000), yaitu perairan yang
baik untuk kehidupan ikan adalah perairan dengan pH 6 - 8,7.
Pemeriksaan dan pengamatan lubang pada pematang dilakukan setelah 1,5
bulan masa pemeliharaan untuk mengetahui adanya sarang di dalam lubang yang
diduga sebagai tempat menyimpan telur serta mengetahui bentuk lubang yang
dibuat oleh belut. Berdasarkan Tabel 5, jumlah lubang belut pada setiap bak
memiliki jumlah yang berbeda, yaitu pada bak 1 berjumlah 32 lubang, bak 2
berjumlah 40 lubang, bak 3 berjumlah 32 lubang, dan bak 4 berjumlah 35 lubang.
13
Lubang belut secara umum berbentuk bulat seperti terowongan mengarah vertikal
ke arah bawah kemudian mendatar. Hal ini sesuai dengan Handojo (1986) dalam
Elis (2003), belut sawah hidup di tanah lumpur sampai kedalaman lebih dari 10
cm dengan cara menggali lubang seperti sebuah terowongan yang berliku-liku,
arah lubang awalnya vertikal mengarah ke bawah kemudian mendatar.
Pemanenan belut dilakukan pada seluruh bak setelah 2 bulan masa
pemeliharaan. Berdasarkan Tabel 6, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah belut
yang dimasukan pada setiap bak berkurang setelah dilakukannya pemanenan, baik
untuk jumlah betina ataupun jantan. Hal ini diduga adanya kemungkinan belut
yang mati di dalam lubang dan belut yang saling memakan. Bak 3 menunjukkan
bahwa pemijahan belut secara alami berhasil terjadi walaupun hanya 3 ekor benih
yang didapatkan. Rasio penebaran antara jantan:betina pada bak 3 yaitu 1:4
dengan kepadatan 3 ekor/m2. Jumlah benih yang sedikit (3 ekor) diduga karena
belut betina melakukan pemijahan sebagian-sebagian (partial spawner) karena
dari hasil identifikasi gonad yang telah dilakukan terlihat bahwa telur belut tidak
seluruhnya memiliki diameter telur yang sama besar. Penelitian Elis (2003) dan
Bahri (2000) membenarkan bahwa belut betina dalam memijah, telur dikeluarkan
sebagian-sebagian atau bertahap (partial spawner). Selain itu, telur belut
memiliki ukuran yang lebih besar daripada ikan lainnya, secara umumnya ikan
yang memiliki ukuran telur besar memiliki fekunditas yang kecil dibandingkan
dengan ikan yang memiliki ukuran telur kecil sehingga menyebabkan benih yang
dihasilkan hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sumantadinata (1981)
bahwa hubungan ukuran butir telur dengan fekunditas terdapat kecenderungan
bahwa semakin kecil ukuran butir telur maka fekunditasnya semakin tinggi. Bahri
(2000) menambahkan bahwa fekunditas belut berkisar antara 54 - 585 butir
dengan diameter telur berkisar antara 0,75 - 3,23 mm. Belut jantan juga memiliki
kematangan gonad yang tidak bersamaan dengan betina karena jarang
ditemukannya gonad jantan yang memiliki tingkat kematangan gonad IV saat
pengidentifikasian kematangan gonad sehingga belut jantan yang mampu
membuahi belut betina untuk terjadinya pemijahan hanya sedikit. Hal ini sesuai
Seluruh belut yang telah dipijahkan secara alami selanjutnya dipindahkan
ke wadah akuarium. Pemijahan dengan perangsangan hormon dilakukan dengan
menggunakan 4 ekor induk betina yang matang gonad di antara induk-induk yang
telah digunakan pada pemijahan alami. Induk belut betina selanjutnya disuntik
menggunakan ovaprim dengan tujuan untuk perangsangan ovulasi. Ovaprim
digunakan sebagai perangsangan ovulasi karena ovaprim merupakan campuran
antara analog dari salmon gonadotropin releasing hormon (sGnRH)-LHRH dan
domperidone (Permana 2009), hormon sGnRH berperan dalam pengeluaran
gonadotropin pada ikan untuk proses ovulasi maupun vitelogenesis sedangkan
domperidone merupakan anti dopamin yang berperan untuk menghentikan peran
dopamin yaitu menghambat sekresi gonadotropin dan membantu peningkatan
sekresi 2 gonadotropin. Kedua bahan tersebut digunakan untuk membuat ikan
cepat berovulasi (Nandeesha et al. 1990). Sumantri (2006) menambahkan bahwa
beberapa kegunaan ovaprim yaitu menekan musim pemijahan, merangsang
pematangan gonad sebelum musim pemijahan normal, memaksimalkan potensi
reproduksi, dan mempersingkat periode pemijahan.
Permana (2009) dalam penelitiannya menggunakan ovaprim dengan dosis
0,5 mL/kg bobot induk yang disuntikkan pada ikan Sumatra dengan keberhasilan
mencapai 90%. Nandeesha et al. (1990) juga melaporkan bahwa ovaprim yang
disuntikkan secara intramuscular dengan dosis 0,5 mL/kg telah mampu
menginduksi pembenihan pada Indian major carp. Syndel Laboratories Ltd.
(2012) menambahkan bahwa dosis ovaprim secara umum untuk ikan adalah 0,5
mL/kg berat badan. Dosis ini dapat bervariasi di antara spesies dan lokasi.
Berdasarkan hal tersebut maka dosis 0,5 mL/kg dan 0,7 mL/kg bobot induk
digunakan sebagai dasar penentuan dosis untuk percobaan penyuntikan belut
menggunakan ovaprim secara intramuscular.
Penentuan jam ke 8, 16, 20, dan 24 setelah penyuntikan untuk dilakukan
pengamatan keberhasilan ovulasi atau percobaan stripping didasarkan pada
penelitian Permana (2009), stripping pertama dilakukan pada jam ke 8 setelah
penyuntikan. Jika rentang waktu belum mengalami ovulasi maka dilanjutkan
pengamatan setiap 3 jam selama 24 jam. Setelah rentang waktu tersebut ikan
dianggap tidak memijah dan dimasukan ke dalam akuarium pemulihan.
15
Penentuan waktu ditentukan secara lebih umum oleh Syndel Laboratories Ltd.
(2012) bahwa ikan golongan Carp dan Catfish umumnya memijah dalam rentang
waktu 8 - 24 jam setelah penyuntikan. Pengukuran suhu dilakukan untuk
mengetahui suhu lingkungan saat terjadinya ovulasi, suhu yang diukur berkisar
antara 25 - 32 0C. Suhu tersebut masih dalam kondisi normal untuk pemijahan
belut karena menurut Sarwono (1999) dalam Bahri (2000) perkawinan belut
umumnya terjadi pada malam hari yang panas hingga suhu air naik menjadi 28 0C
lebih.
Berdasarkan Tabel 7, penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,5 mL/kg dan
0,7 mL/kg memberikan peningkatan bobot kurang dari 10% bobot awal, artinya
respons perangsangan tidak berlangsung karena penyerapan air untuk final
maturation tidak terjadi sehingga tidak ada pengaruh untuk terjadinya ovulasi dan
belut tidak dapat di stripping. Kenaikan bobot diduga karena organ tubuh
menyerap zat cair yang diterima akibat penyuntikan yang dilakukan tetapi tidak
memberikan pengaruh perangsangan ke otak untuk ovulasi, artinya pada
penyuntikan terjadi proses pematangan akhir yang hanya berlangsung secara
alami tanpa adanya pengaruh dari ovaprim yang disuntikkan. Menurut
Woynarovich dan Hovart (1980) dalam Arfah et al. (2006), efek pertama dari
gonadotropin pada telur adalah pergerakan nukleus ke arah mikrofil yang diikuti
oleh hidrasi yaitu telur akan menyerap air dan disempurnakan selama tahap
preovulasi. Hal ini terlihat dari pengukuran lebar perut ikan sebelum dan sesudah
penyuntikan pertama. Respon positif dari ikan terhadap penyuntikan ditandai
dengan bertambahnya lebar perut akibat pengaruh dari ovaprim yang disuntikkan.
Selain pengukuran lebar perut, untuk mengetahui adanya perkembangan telur
dilakukan penimbangan bobot ikan sebelum dan sesudah pemberian ovaprim
akan tetapi perkembangan yang terjadi sangat kecil sehingga tidak memberikan
perbedaan yang berarti terhadap berat tubuh ikan artinya penyuntikan tidak
memberi pengaruh terhadap sampel yang disuntikan. Basuki (2007)
menambahkan bahwa lambatnya reaksi hormonal juga diduga menjadi penyebab
tidak terjadinya ovulasi karena tidak sampainya rangsangan menuju otak. Selain
IV.
KESIMPULAN
Individu belut betina memiliki panjang total kurang dari 40 cm, sedangkan
individu jantan memiliki panjang total lebih besar dari 50,5 cm. Belut dengan
panjang total antara 40,5 - 50 cm berada pada fase peralihan dari jenis kelamin
betina ke jantan atau interseks. Induk belut betina ataupun jantan yang telah
matang gonad dan siap dipijahkan belum dapat dicirikan morfologinya secara
khusus. Pemijahan secara alami telah berhasil terjadi dengan rasio jantan dan
betina 1:4 pada kepadatan 3 ekor/m2. Pemijahan dengan perangsangan induk belut
betina melalui penyuntikan menggunakan ovaprim dosis 0,5 mL/kg dan 0,7
mL/kg bobot induk tidak berhasil merangsang ovulasi.
17
DAFTAR
PUSTAKA
Arfah H, Maftucha L, dan Odang C. Pemijahan Secara Buatan Pada Ikan Gurame
Osphronemus gourami Lac. Dengan Penyuntikan Ovaprim. Jurnal
Akuakultur Indonesia, 5(2): 103 - 112 (2006).
Bahri F. 2000. Studi Mengenai Aspek Biologi Ikan Belut Sawah (Monopterus
albus) Di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Skripsi].
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Basuki F. 2007. Optimalisasi Pematangan Oosit dan Ovulasi pada Ikan Mas Koki
(Carassius auratus) Melalui Penggunaan Inhibitor Aromatase. [Disertasi].
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Elis. 2003. Hubungan Perubahan Jenis Kelamin dan Tingkat Kematangan Gonad
(TKG) Dengan Ukuran Tubuh Ikan Belut Sawah (Monopterus albus) Di
Desa Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa
Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Gong S, Zhang G, Zhang L, Yuan Y, dan Yuan H. 2011. Effect of Estradiol
Valerate on Steroid Hormones and Sex Reversal of Female Rice Field Eel,
Monopterus albus (Zuiew). Journal of The Aquaculture Society, 42:
96 - 104.
Guan RZ, Zhou LH, Cui GH dan Feng XH. 1996. Studies on The Artificial
Propagation of Monopterus albus (Zuiew). Aquaculture Research, 27: 587
- 596.
Khanh NH dan Ngan HTB. 2010. Current Practices of Rice Field Eel Monopterus
albus (Zuiew 1793) Culture in Viet Nam. Volume XV No.3 July -
September 2010. Research Institute for Aquaculture,15: 26 - 29.
Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, dan Wirjoatmojo S. 1993. Freshwater
Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions Limited.
Mittelmark J dan Kapuscinski A. 2008. Induced Reproduction in Fish.
www.seagrant.umn.edu [24 Juli 2012].
Nandeesha MC, Rao KG, Jayanna RN, Parker NC, Varghese TJ, Keshavanath P,
dan Shetty HPC. 1990. Induced Spawning of Indian Major Carps
Through Single Application of Ovaprim-C. The Second Asian Fisheries
Forum. Asian Fisheries Society, Manila, Philippines.
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Prihatman. 2000. Budidaya Ikan Belut (Synbranchus). Proyek Pengembangan
Ekonomi Masyarakat Pedesaan, BAPPENAS.
Shi Q. 2005. Melatonin is Involved in Sex Change of The Rice-field Eel,
Monopterus albus Zuiew. Reviews in Fish Biology and Fisheries, 15: 23 -
36.
Straight CA, Reinert TR, Freeman BJ, dan Shelton J. 2005. The Swamp Eel,
Monopterus sp. CF M. albus, in The Chattahoochee River System, Fulton
County, Georgia. Institut of Ecology, University of Georgia.
Sumantadinata K. 1981. Pengembangbiakan Ikan-Ikan di Indonesia. Fakultas
Perikanan. Bogor. 117 hal.
Sumantri D. 2006. Efektifitas Ovaprim dan Aromatase Inhibitor Dalam
Mempercepat Pemijahan pada Ikan Lele Dumbo Clarias sp. [Skripsi].
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Syndel Laboratories Ltd. 2012. Ovaprim. www.syndel.com [24 Juli 2012].
Tang F, Chan STH, dan Lofts B. 1974. Effect of Steroid Hormones on The
Process of Natural Sex Reversal of The Ricefield Eel, Monopterus albus
(Zuiew). General and Comparative Endocrinology, 24: 227 - 241.
Tao YX, Lin HR, Kraak GVD, dan Peter RE. 1993. Hormonal Induction of
Precocious Sex Reversal in The Ricefield Eel, Monopterus albus.
Aquaculture, 188: 131 - 140.
Wahyuningsih dan Barus. 2006. Ikhtiologi. [E-Learning] Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.
Warta Pasar Ikan. 2010. Belut dan Sidat Permintaannya Semakin Meningkat.
www.wpi.kkp.go.id [20 September 2012]. 19
LAMPIRAN
Lampiran 1 Tahapan pemeriksaan gonad metode asetokarmin.
Pembuatan larutan asetokarmin Preparasi gonad
Asam asetat 4,5 mL + Akuades 5,5 mL
(larutan asam asetat 45%)
Larutan asam asetat 45% dididihkan
menggunakan microwave selama 2- 4
menit, lalu didinginkan dan ditambahkan
bubuk karmin sebanyak 0.06 g kemudian
disaring dengan kertas saring
Belut dibius, diberi penanda
lalu dibedah
Gonad belut dipisahkan lalu
diambil sebagian dan ditaruh di
atas slide glass
Gonad ikan ditetesi dengan
larutan asetokarmin
sebanyak 2 - 4 tetes lalu
didiamkan selama 2 menit,
ditutup menggunakan
cover glass, lalu ditekan
sehingga gonad yang
diamati tidak terlalu tebal
(memudahkan saat diamati)
Preparat diamati di bawah
mikroskop 21
perut (cm) TKG Jantan Betina
Lampiran 2 Data hasil identifikasi gonad belut sawah (Monopterus albus).
No. Panjang 1 24,5 11,26 2 III √ 2 25 11,89 2,5 I √ 3 26 12,12 2,3 II √ 4 26,5 12,42 2,3 III √ 5 27 13,61 2,5 IV √ 6 27 13,72 2,3 IV √ 7 27,5 13,56 2 II √ 8 27,5 13,74 2,1 IV √ 9 28 19,45 2,4 IV √ 10 28 17,50 2,7 III √ 11 28,5 19,90 2,5 IV √ 12 29 20,01 3 II √ 13 29,5 19,87 2,7 IV √ 14 30 20,18 2,5 II √ 15 30 20,12 3 III √ 16 30,5 22,01 2,7 IV √ 17 30,5 21,67 2,9 II √ 18 31 22,86 2,5 IV √ 19 32 22,34 3,7 II √ 20 32,5 22,89 3,4 IV √ 21 33 30,02 3,3 IV √ 22 33,5 30,21 3 IV √ 23 34 30,88 3,5 IV √ 24 36,5 43,40 4 III √ 25 37 44,35 4,5 III √ 26 37,5 47,94 3,4 III √ 27 38 48,73 3,5 - √ √ 28 38 48,82 4 II √ 29 39,5 49,43 4 III √ 30 40 60,21 4,5 - √ √ 31 40,5 62,30 5 - √ √ 32 40,5 61,51 5 - √ √ 33 41 65,36 3,8 I √ 34 41,5 68,95 4,1 III √ 35 41,5 68,25 4,1 - √ √ 36 43 72,63 4,6 - √ √ 37 43,5 75,81 5 - √ √
perut
(cm) TKG Jantan Betina
Lampiran 2 (lanjutan) Data hasil identifikasi gonad belut sawah (Monopterus
albus). No. Panjang 38 44,5 75,57 4,9 I √ 39 45 78,54 4,5 - √ √ 40 46 80,11 4,6 - √ √ 41 46,5 83,16 5 I √ 42 47 85,62 5 - √ √ 43 48 90,77 5 I √ 44 50 107,39 5 II √ 45 50 109,13 5 - √ √ 46 51 108,75 5,8 I √ 47 51,5 123,89 6,5 II √ 48 51,5 125,32 6,5 II √ 49 52,5 145,89 6 II √ 50 53 148,56 6 IV √ 51 53 139,87 6 I √ 52 54 143,33 6 II √ 53 55,5 146,84 6 I √ 54 55,5 151,63 6 IV √ 55 55,5 148,12 6 - √ √ 56 55,5 150,66 6,5 I √ 57 56 165,46 5,7 III √ 58 58 170,13 5,6 IV √ 59 59 173,59 6,9 III √ 60 60 176,61 6,5 II √ 23
Lampiran 3 Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 1. Betina Jantan No. Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) 1 31 22,42 2,5 59 171,58 6,8 2 29 20,13 2,7 53,5 150,36 5,9 3 30 21,22 2,9 51 110,42 5,7 4 34 29,97 3,4 60 176,23 6,3 5 35 31,64 3,6 57 168,72 5,5 6 30 20,14 2,6 52,5 144,23 6 7 32,5 21,32 3,4 54 144,46 6 8 32 22,67 3,6 52 130,66 6,1 9 34 31,19 3,4 10 30,5 22,53 2,8 11 37 45,12 4,6 12 33 30,15 3,4 13 35,5 33,64 3,6 14 36,5 42,97 3,9 15 33,5 29,84 2,9 16 32 23,74 3,8
Lampiran 4 Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 2.
Betina Jantan No. Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) 1 30 21,42 2,5 57 167,36 5,6 2 30,5 21,68 2,8 53 146,86 6,1 3 28 18,65 2,3 52 130,65 5,7 4 33,5 31,25 3,2 56 164,20 5,8 5 36 40,39 3,9 6 35 38,71 3,9 7 32 23,19 3,8 8 34 29,56 3,4 9 33 30,41 3,4 10 30,5 22,42 3 11 28,5 19,11 2,2 12 34,5 33,93 3,8 13 29,5 18,67 2,5 14 36 40,17 3,8 15 37 45,55 4,8 16 29,5 19,59 2,6 17 34 29,86 3,3 18 37,5 46,23 3,5 19 32,5 23,21 3,5
Lampiran 5 Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 3. Betina Jantan No. Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) 1 29,5 19,95 2,8 53 148,67 6 2 29 19,98 2,6 59 170,34 6,1 3 32 22,65 3,7 57,5 170,11 5,5 4 34 30,90 3,5 55 145,83 6 5 30 20,38 2,4 6 38 48,79 3,6 7 35,5 42,51 3,3 8 33 30,25 3,2 9 36,5 44,23 2,8 10 36 41,97 3,6 11 32,5 22,77 3,4 12 36 43,12 3,6 13 30 20,21 2,8 14 31 22,59 2,6 15 30,5 20,34 2,6 16 34 30,62 3,4
Lampiran 6 Ukuran induk belut sawah yang ditebar pada bak 4.
Betina Jantan No. Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm) 1 36 42,23 3,6 52 143,45 5,9 2 34,5 35,86 3,7 59 171,36 6,5 3 33 29,56 3,1 55 148,11 6 4 29 20,84 3 51 109,42 5,9 5 29,5 20,42 2,8 53,5 141,76 6 6 30,5 21,94 3 7 37,5 47,54 3,3 8 33 31,24 3,4 9 39 49,12 4 10 34 30,64 3,6 11 32 22,53 3,6 12 28 18,65 2,5 13 27,5 13,96 2,2 14 36 38,76 3,9 15 27 13,97 2,7 25
Lampiran 7 Benih belut hasil pemanenan pada bak 3.
No. Panjang (cm) Bobot (g) Lingkar perut (cm)
1 17 3,14 1,1
2 25,4 12,29 2,1
3 24 11,19 1,9
Lampiran 8 Dokumentasi kegiatan penelitian belut sawah (Monopterus albus).
Kegiatan penyuntikan belut
Kegiatan pengambilan media tanah
Kegiatan persiapan pembedahan belut