• Tidak ada hasil yang ditemukan

Direito. Dwi Mingguan Hak Azasi Manusia. Ketika Anak Tak Punya Waktu untuk Bermain

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Direito. Dwi Mingguan Hak Azasi Manusia. Ketika Anak Tak Punya Waktu untuk Bermain"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Direito

D w i M i n g g u a n H a k A z a s i M a n u s i a

Yayasan HAK

Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol Dili - Timor Lorosae

Tel.: + 670 390 313323 Fax.: + 670 390 313324

e-mail:direito@yayasanhak.minihub.org

E d i s i 13 • 19 Maret 2001

Daftar Isi

Direito Utama...Ketika Anak Tak Punya Waktu Bermain (1) Info HAM...Anak Punya Hak Asasi (4-5) Serba Serbi...Penandatanganan Kesepakatan di Uato-lari (10) Ami Lian...Anak Jalanan di Mata Malae (11) Wawancara...Helio Freitas:

...Persoalan Anak, Persoalan Kita (6)

Opini...Anak Jalanan di Timor Lorosae: Korban yang Terus Dikorbankan (8) ...Refleksi Bersama Anggota NC

...Anak Jalanan di Mata Seorang Guru

...Anak Jalanan di Mata Joao Reis (12) ...Cerita Diri Anak Jalanan ...Olandina Cairro Berbicara Tentang Anak-anak ...Kenapa Sekarang Jadi Masalah? (2) ...Jangan Biarkan Mereka (3)

Ketika Anak Tak Punya Waktu untuk Bermain

Dili berubah total pasca referendum.

Bukan hanya bangunan yang tinggal puing-puing. Anak-anak jalanan ada di mana-mana.

S

alvador berusia 8 tahun. Tu-buhnya yang kurus dibungkus pakaian kumal. Setiap hari menggendong tas kecil, isinya rokok. Murid kelas 3 sekolah dasar itu setiap

hari berjualan rokok di Kantor UNTA-ET. Jika hari menjelang malam berpin-dah ke Cafe Timor.

“Saya disuruh ayah untuk berjualan. Dulu ayah bekerja sebagai security,

te-tapi sekarang menganggur,” katanya. Modal berjualan rokok itu diperoleh dari hasil mencuci mobilnya malae. U-ang yU-ang diperoleh ia gunakan untuk me-menuhi kebutuhan pribadinya.

Penampilan Salvador tidak berbeda dengan Joaquim. Hanya tubuhnya le-bih tegap. “Ayah saya sudah meninggal karena sakit.” Bocah 13 tahun itu meng-aku, setiap siang saya harus ke sekolah. Kalau saya tak ada uang, kakak saya yang membayar uang sekolah. ”Peme-rintah transisi hanya membantu buku dan pensil,”kata Joaquim.

Hari-harinya nyaris dihabiskan di se-kitar kantor Sergio de Mello. Ia men-jajakan kartu telepon. “Modalnya dari kawan-kawan di sini. Saya hanya men-jualkan kartu mereka. Setiap kartu tele-pon yang terjual saya dapat uang Rp. 5.000,” katanya.

Sejak tahun lalu Antonio (10 tahun) telah berdagang rokok, kartu telepon dan buku tulis. Seperti teman sebayanya ia memilih lahan di sekitar Kantor UN-TAET. Modalnya sebesar Aus $ 5 di-peroleh dari ibunya. “Ayah saya seka-rang tidak bekerja lagi. Dia hanya ke sana ke mari. Kalau dapat uang dia kumpulkan untuk makan.”

Tak heran bila sebagian dari peng-hasilannya, setiap minggu, ia harus membeli beras satu karung. “Kalau a-yah tidak bisa membayar uang sekolah, saya akan membiayai sendiri.” Antonio mendapat keuntungan A$ 1 dari setiap kartu telepon yang terjual. “Ah, saya ti-dak terlalu lelah berjualan di sini, karena teman saya banyak,” katanya.

“Apa yang dirasakan dan dipikirkan pemimpin kita ketika menyaksikan a-nak-anak itu harus mencari uang di ja-lanan?” tanya Olandina dari ET-WAVE. ***

Anak-anak tumbuh di jalanan kota

...Investigasi RR Baucau

...Kerjasama RR Maubisse-CDEP

(2)

2

Direito 13 19 Maret 2001

E d i t o r i a l

Kenapa Sekarang

Jadi Masalah?

Anak jalanan ada di mana-mana. Kenapa masalah anak jalanan tidak dijadikan prioritas utama di Timor Lorosae.

Padahal masa depan negeri ini ada di pundak mereka.

S

ungguh menyakitkan, kata Jim Mellor dari APHEDA, menyaksikan anak-anak harus tumbuh dan berkembang di jalanan. Kenapa anak jalanan sekarang menjadi masalah di sini? Mungkinkah karena mereka ingin menikmati kehidupannya yang sebebas-bebasnya pasca referen-dum? Atau, karena ada masalah lain? Jumlah anak jalanan yang meningkat ta-jam setelah kekerasan sepanjang refe-rendum itu, karena orang tua mereka hilang, dibunuh, atau masih berada di Timor Barat? Mungkin ada benarnya ji-ka dibandingji-kan pada zaman pendu-dukan Indonesia.

Memang, sepulang rakyat Timor dari pengungsian, hampir di setiap sudut Kota Dili ada saja anak-anak yang men-jajakan koran, kartu telepon, rokok, menawarkan jasa untuk membersihkan mobil atau menukar dolar dengan ru-piah. Bahkan, ada saja yang mengais sampah sekadar mencari makanan sisa milik staf internasional.

Semakin banyaknya anak jalanan tentu memprihatinkan banyak pihak. Salah satu di antaranya adalah ET-WAVE yang dipimpin oleh Olandina Cairro. Untuk mengatasinya, Olandina melontarkan gagasan. Jika semua or-ang, staf internasional, nasional, dan pe-ngusaha yang sekarang bekerja di Ti-mor Lorosae, setiap hari mau menyisih-kan uang satu dolar Amerika. “Dana yang terkumpul akan digunakan untuk mereka,” katanya.

ET-WAVE juga punya rencana membangun gedung sekolah atau as-rama dan taman bermain bagi anak-anak. Ia tak sepakat jika Timor Lorosae menjadi gudang anak jalanan. “Itu ber-arti kesalahan kita. Mengapa di negeri yang begitu kecil, kita membiarkan ada

anak jalanan? Kita harus berusaha me-ngatasinya.”

Helio Freitas dari Forum Demokrasi tak setuju jika mereka dimasukkan asrama atau panti asuhan. Lebih tepat bila anak dididik sesuai dengan kebia-saan yang mereka lakukan. Setelah ber-gaul dengan anak-anak itu, kita baru bi-sa menentukan bagaimana seharusnya mendidik mereka. “Kita tak bisa me-nentukan secara sepihak. Kita harus berbicara dengan mereka.” Dengan memasukkan mereka ke asrama tidak bisa menjawab persoalan utama. Anak-anak itu telah terbiasa dengan kehidupan yang bebas, tidak terikat oleh siapa pun. Kita, lanjut Helio, harus mencari sumber masalahnya.

Jim Mellor mempertanyakan, ma-salah anak jalanan yang tidak dijadikan prioritas di Timor Lorosae. “Padahal dana dari Bank Dunia digunakan untuk kepentingan pengembangan sumber-daya rakyat.” Menurut Helio yang akrab dengan anak-anak jalanan sela-ma berada di Jakarta, pembangunan harus dimulai dari desa. Itu yang harus dilakukan pemerintah supaya semua orang tidak berkonsentrasi di kota. Se-mentara Jim mengusulkan, komunitas yang ada anak-anak agar membantu, melindungi, dan mempersiapkan mere-ka untuk masa depan Timor Lorosae. “Komunitas bisa membantu anak-anak yang ditinggal orangtuanya akibat pe-rang,” kata Jim.

Tempat yang baik bagi anak adalah di tengah-tengah keluarga. Kalau sese-orang tidak memiliki keluarga, anggota keluarga yang lain dan komunitas harus mengambil alih tanggungjawab terhadap mereka. Menurut Konvensi Hak Anak, pemerintah wajib menyediakan pen-didikan dasar gratis untuk anak.***

J

elas tertuang dalam Peraturan UNTAET No. 1/1999, bahwa Pemerintah Transisi mentaati semua standar internasional hak asasi manusia. Salah satu standar ini adalah Konvensi Hak Anak, yang ditetapkan PBB tanggal 20 November 1989.

Konvensi ini tentu tidak dibuat asal-asalan. Ia adalah hasil upaya bertahun-tahun komunitas internasional untuk melindungi anak-anak agar bisa hidup aman, sejahtera, dan bahagia sekarang maupun di masa depan. Konvensi mengharuskan setiap pemerintah untuk melindungi dan memajukan hak anak. Tetapi itu hanya indah di atas kertas. Kenyataannya? Pemerintah Transisi PBB di Timor Lorosae seperti tak peduli dengan semakin banyaknya anak-anak yang terpaksa menyambung hidup di jalanan, termasuk di depan kantor Sergio de Mello.

Anak-anak yang terpaksa mencari uang untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya itu bukannya dilindungi. Alih-alih dipikirkan hak-haknya, tak ja-rang mereka malah dipukul atau dibentak-bentak oleh petugas security

kantor yang megah itu. Bahkan, salah satu edisi Tais Timor, media resmi UNTAET tahun lalu menulis bahwa anak-anak jalanan yang berkeliaran di depan hotel terapung Olympia membuat tidak nyaman staf internasional.

Menyaksikan tindak aparat kea-manan PBB juga membuat kita marah. Pada suatu sore di depan Uma Han Bar, petugas keamanan menangkap seorang anak yang berkelahi dengan kawannya. Anak berusia sekitar 10 tahun itu di-tangkap, tangannya dibekuk seolah-olah ia penjahat yang siap untuk melarikan di-ri.

Anak-anak itu terpaksa bekerja karena orangtua mereka tidak mampu. Mereka, seperti juga rakyat Timor lainnya, membayangkan setelah memenangkan referendum, hidup me-reka akan lebih nyaman.

Kalau mereka berkeliaran mena-warkan jasanya pada staf internasional, karena merekalah yang punya uang. Kalau mereka tidak bersekolah itu karena pelayanan publik yang merupakan hak asasi setiap orang itu tidak maksimal dan biayanya tidak murah.

Menurut peraturan yang Anda buat, itu tanggungjawab Anda, Senhor.***

(3)

Direito Utama

Jangan Biarkan Mereka ...

Jangan biarkan masa depan mereka terbuang di atas trotoar.

Jangan biarkan mereka hidup dari sampah.

Jangan biarkan mereka menjadi pengemis.

Foto: Antonio Goncalves

A

nak adalah buah hati orang tua. Mereka menjadi simbol ke-polosan, jiwanya masih putih, suci. Anak hidup dalam dunia angan dan keceriaan. Dunia anak penuh dengan keindahan, tawa, dan, canda yang menyimpan banyak

kenangan menyenang-kan. Masa perkem-bangan awal seorang anak itu penting bagi kepribadian di masa dewasa.

Siang itu udara pa-nas menyengat. Alber-to seperti tak kenal le-lah menawarkan koran dagangannya, pada siapa saja yang melin-tas di Kantor UNTA-ET. Dari setiap koran yang terjual, anak kelas lima sekolah dasar itu mendapat keuntungan

seribu rupiah. “Saya diajak kawan-kawan yang terlebih dulu ada di sini,” katanya. “Pada awalnya orangtua saya marah, tetapi sekarang tidak lagi. Karena setelah sekolah saya pulang ke rumah.”

Ia tinggal di Becora. Setiap jam 12 Alberto berangkat ke sekolah. “Orang-tua saya buka kios. Uang yang saya peroleh saya gunakan untuk keperluan sendiri. Tetapi, kadang-kadang saya bagi sedikit ke ayah dan ibu untuk mem-beli beras.”

Perjuangan hidup Constantino,16 tahun, tak berbeda dengan Alberto. Ia pertama kali mencari uang sendiri pada bulan November tahun lalu. Dengan modal 545.000 rupiah yang diberikan oleh pamannya. Namun modal yang dipinjamkan itu, telah dikembalikan kepada pamannya. Karena, dia sudah mendapatkan keuntungan dari modal awal itu. Kini, kata Costantino, tabungan saya kurang lebih telah

mencapai 6.000.000 rupiah. Baginya, sekolah itu penting. Dan ia akan beru-saha membagi waktu antara sekolah dan bisnis.

“Sekarang saya tidak sekolah, ka-rena di sekolah sering terjadi per-kelahian. Saya jadi takut ke sekolah.” Setelah ayahnya meninggal, ia tinggal bersama adik ayahnya. Ibunya tinggal di Baucau untuk mengerjakan sawah. “Saya membantu ibu membelikan be-ras,” kata Constantino, yang sesekali tangannya memegang rambutnya.

Semua ungkapan di atas dapat mengigatkan kepada kita bahwa me-mang sulit untuk berbicara anak jalanan dan problemnya. Bahkan yang lebih sulit lagi adalah ketika anak jalanan hanya diberi janji-janji oleh para pemerhati maupun penguasa negeri ini.

Banyak orang yang selalu mengatas-namakan anak jalanan tanpa memberi-kan solusi kasih sayang yang nyata. Se-mua ini, tidak sesuai dengan apa yang

dikatakan oleh Sandyawan, seorang pastor dari Indonesia. Katanya, “Bagi anak jalanan setiap orang adalah gu-runya dan setiap tempat adalah se-kolahnya.” Jadi, memang harus kita pe-lajari dan amati lagi mengapa anak ja-lanan itu ada? Apa-kah sudah cukup bila lewat radio, televisi, surat kabar membe-ritakan tentang anak jalanan? Mungkin ada benarnya juga syair yang di nya-nyikan Ebiet G. Ade, “tanyakan pada rum-put yang bergoyang”. Olandina Cairro, salah seorang yang peduli pada masalah anak mengatakan, “Kenapa di sini be-gitu banyak anak ja-lanan?” Dengan pan-dangan yang menerawang dalam so-rotan matanya, dia mengumpamakan bahwa, seorang anak itu bagaikan sebuah anak kunci. “Bila kita biarkan maka ia akan berkarat”.

Dengan halus Joao Zito dos Santos siswa SMP Kristal Dili mengatakan, se-mua anak jalanan di Timor Lorosae ha-rus diperhatikan. Tetapi apakah itu be-nar? “Kita tidak ingin bangsa kita se-perti negara lain yang hanya pandai mengumbar janji,” tuturnya pada jur-nalis Direito.

Sementara Marsilio Colly, siswa SMU Dharma Bhakti Comoro berpen-dapat, anak adalah buah hati orang tua. “Para penguasa jangan mengatas-namakan anak jalanan.” Biarkan mere-ka yang menilai dirinya sendiri. Colly memberikan contoh, “Ketika ada anak bermain kelereng, anak yang lain yang kebetulan melewati tempat itu, ia pasti ingin seperti temannya itu,” katanya, sambil tertawa. Ah, anak-anak ...***

(4)

4

Direito 13 19 Maret 2001

Info HAM

Anak-anak Punya Hak Asasi

B

anyak orang berpendapat, yang dimaksud dengan anak adalah bayi dan anak-anak kecil yang masih menjadi tanggungjawab orang dewasa. Tetapi seluruh dunia telah sepakat, bahwa yang dimaksud dengan anak adalah semua orang yang berusia di bawah 18 tahun. Artinya, semua or-ang yor-ang berusia 0-18 tahun adalah anak, dan karena itu berhak untuk di-pelihara dan dilindungi dengan baik.

Semua Anak Punya Hak

Menurut standar hak asasi manusia in-ternasional: Konvensi tentang Hak Anak, setiap anak punya hak. Peme-rintah dan setiap orang dewasa wajib melindungi semua anak tanpa membe-dakan satu sama lain.

• Anak laki-laki dan perempuan me-miliki hak yang sama.

• Anak yang dilahirkan di kota dan di desa juga memiliki hak yang sa-ma.

• Anak orang kaya maupun orang miskin punya hak yang sama.

• Hak seorang anak tidak dibedakan berdasarkan agama yang dianut-nya.

• Anak-anak yang berbahasa Tetum, Indonesia, Portugis maupun yang berbahasa Bunak, Kemak, Fata-luku, Makasae, Baikenu dan ba-hasa lainnya memiliki hak yang sa-ma.

• Anak-anak cacat atau sakit mem-punyai hak yang sama.

• Anak-anak dari aktivis pro-ke-merdekaan, pro-integrasi, dan milisi juga mempunyai hak yang sama.

• Anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan maupun di luar perka-winan punya hak yang sama.

• Anak-anak yatim piatu punya hak yang sama seperti anak-anak lain.

Semua Anak Punya Hak dalam Sebuah Keluarga yang Mencintai dan Memelihara Mereka

Tempat yang baik bagi anak-anak a-dalah di tengah-tengah keluarganya. Orangtua mempunyai tanggungjawab untuk membuat anak-anak merasa aman, bahagia dan dicintai selama mere-ka tinggal bersama keluarganya. Kalau seorang tidak memiliki keluarga, ang-gota keluarga yang lain harus me-ngambil alih tanggungjawab terhadap mereka. Menurut Konvensi Hak Anak, pemerintah punya kewajiban untuk membantu anak-anak yang tidak punya keluarga maupun yang punya keluarga agar bisa hidup dengan aman dan baha-gia.

Setiap Anak Punya Hak untuk Men-dapatkan Makanan yang Sehat Untuk Menunjang Perkembangan-nya

Pertumbuhan fisik dan emosional se-orang anak tergantung pada makanan yang mereka makan setiap hari. Anak-anak memerlukan makanan seperti sa-yuran, nasi, susu, dan daging. Bayi khu-susnya memerlukan lebih banyak susu agar tumbuh besar

dan kuat. Jika anak-anak mendapatkan makanan yang cu-kup maka mereka tak akan mudah

ter-serang penyakit. Jika anak-anak sakit mereka punya hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan dari dokter. Hak ini menimbulkan kewajiban pemerintah untuk menyediakan perawatan ke-sehatan untuk ibu dan anak.

Setiap Anak Punya Hak Untuk Mendapatkan Pendidikan

Pendidikan bermula dari rumah. Sejak kecil orangtua bermain bersama,

ber-bicara, dan merangsang perkembangan anak (seperti mengajarkan mereka ber-jalan dan berbicara) merupakan awal dari pendidikan. Ketika anak berusia 6 tahun ia harus bersekolah. Sekolah penting bagi anak-anak untuk belajar dan tumbuh menjadi dewasa dan dapat berpartisipasi dalam perkembangan Timor Lorosae.

Sekalipun ada banyak kegiatan pen-didikan di rumah, anak-anak harus mendapat kesempatan untuk sekolah. Anak-anak ingin bersekolah jika me-reka mendapat perlakuan yang setara dan tidak disakiti, mereka merasa aman, sekolah memberi mereka kebebasan untuk berbicara, berbagi ide dan belajar dengan bebas.

Tidak semua orangtua mampu me-nyekolahkan anaknya dengan baik, ka-rena itu Konvensi Hak Anak mengha-ruskan setiap pemerintah untuk mem-bangun sistem sekolah dasar publik cu-ma-cuma yang baik.

Setiap Anak Punya Hak Untuk Ber-main dan Beristirahat

Bermain merupakan bagian dari belajar. Melalui bermain anak belajar untuk ber-bicara, berbagi, bekerjasama dan memecah-kan masalah de-ngan orang lain. Anak-anak me-merlukan waktu yang bebas dan tempat yang aman untuk bermain dengan or-ang lain. Karena anak-anak sor-angat aktif dan masih dalam masa pertumbuhan, mereka membutuhkan istirahat dan tidur yang cukup. Banyak keluarga karena kemiskinannya mengharuskan anak-anak untuk membantu mencari nafkah untuk keluarga. Ini boleh saja dilakukan sepanjang tidak memberatkan anak dan tetap memberi kesempatan anak

Pemegang kekuasaan di Timor Lorosae telah menetapkan untuk

menerima Konvensi Hak Anak. Hak apa saja yang dicantumkan

dalam konvensi internasional itu?

Setiap anak berhak untuk

tidak mengalami kekerasan

(5)

Info HAM

untuk belajar, bermain, dan beristirahat.

Setiap Anak Punya Hak Untuk Ti-dak Mengalami Kekerasan

Kekerasan terhadap anak-anak dapat terjadi di rumah, di sekolah, atau di ma-syarakat. Itu bisa dilakukan oleh anggota keluarga, orang dewasa yang mengenal mereka, orang asing atau di antara anak-anak sendiri. Anak-anak di Timor Lorosae telah menjadi saksi begitu ba-nyak kekerasan terhadap keluarga, te-man-teman, dan lingkungan mereka, dan mereka tidak harus mengalaminya lagi. Kekerasan membuat mereka sedih dan seharusnya tidak menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.

Dalam banyak masyarakat, anak di-pandang sebagai milik orang-tua dan karena itu orang-tua boleh berbuat apa saja terhadap mereka. Karena itu a-nak-anak kerap mengalami kekerasan seperti tamparan, pukulan, atau ancam-an kekerasancam-an. Perlu disadari bahwa anak adalah manusia, dan seperti manu-sia lainnya ia punya hak untuk diper-lakukan dengan baik tanpa kekerasan. Bila anak melakukan sesuatu yang tidak baik, orangtua harus mencari cara-cara tanpa kekerasan untuk membuatnya menyadari perbuatannya yang salah.

Misalnya, jika anak bermain-main terlalu lama dan tidak belajar, orangtua bisa memberi hukuman yang mendidik seperti menyuruhnya mencuci piring a-tau hukuman lainnya yang tidak me-nimbulkan kesakitan fisik maupun te-kanan mental. Orangtua harus memberi tahu terlebih dahulu mengapa hukuman itu diberikan agar si anak mengerti ke-salahannya dan tidak mengulangi per-buatannya.

Bagaimana Supaya Anak-anak Men-dapatkan yang Terbaik dalam Ke-hidupan Mereka.

1. Mencatatkan kelahiran anak Anda; 2. Tempat yang terbaik bagi anak Anda adalah di rumah bersama ke-luarga;

3. Setiap hari anak Anda harus makan paling sedikit satu piring nasi, sa-yuran yang cukup, satu gelas susu,

sepotong daging dan buah-buahan; 4. Menyekolahkan anak Anda; 5. Berikan kesempatan pada anak

Anda untuk bermain dan tidur yang cukup;

6. Anak-anak tidak diperbolehkan bekerja di rumah terlalu berat; 7. Lindungilah anak-anak Anda dari

setiap bentuk kekerasan secara fi-sik, baik itu di rumah, di sekolah, dan di masyarakat.

Sebagian Besar Anak-anak Men-derita

Salah satu akibat dari kekerasan dan kehancuran massal sepanjang proses referendum pada 1999 adalah pe-maksaan untuk mengungsi dari tempat asal. Hampir seluruh keluarga terpisah, tak bisa melindungi perempuan dan anak-anak, karena milisi dan tentara Indonesia sengaja memisahkan mereka. Salah satu akibatnya adalah sebagian besar dari anak-anak terpisah dari ke-luarga mereka. Sebagian di antara mere-ka dirawat oleh keluarga besar meremere-ka, kawan, tetangga, atau Gereja. Sebagian besar dari mereka bukan anak yatim piatu. Sebagian besar dari mereka tidak

sendirian. Namun, secara khusus mereka gampang menderita dan mung-kin tidak mendapatkan perlakuan yang sama dan dukungan seperti anak-anak lain yang tinggal bersama keluarga me-reka.

Guru, pimpinan Gereja, pimpinan masyarakat, dan terutama pemerintah harus bertanggungjawab untuk meng-identifikasi anak-anak yang terpisah dari orangtua mereka. Guru, pimimpin Gereja, pimpinan masyarakat, dan pe-merintah harus menjamin bahwa anak-anak tersebut dirawat dan dijauhkan dari penderitaan. Ma-syarakat dan pimpinan Gereja diharapkan membantu anak-anak yang terpisah dari orangtua mereka untuk mencari ayah dan ibu mereka, agar mereka bisa berkumpul kembali. Bantuan juga dapat diberikan oleh NGO yang membantu mempertemu-kan orangtua dengan anak mereka dan mengidentifikasi perawatan alternatif bagi anak-anak di lingkungan masyarakat. Kelompok lain yang juga menderita adalah anak-anak yang lebih besar dan anak muda yang saat ini tinggal bersama orang lain. Meskipun ada ang-gapan bahwa mereka telah mampu mengurus diri mereka sendiri, beberapa di antaranya masih berusia di bawah 18 tahun dan membutuhkan orang dewasa untuk membantu mengurus mereka. Guru, pimpinan masyarakat, Gereja, dan pe-merintah punya tanggungjawab untuk mengidentifikasi dan membantu me-reka. Mereka harus melakukan sesuatu agar anak-anak ini memperoleh tempat perlindungan yang memadai, makanan, kesempatan untuk dirawat secara me-dis, serta kesempatan untuk memper-oleh pendidikan.

Anak-anak Timor Lorosae butuh bantuan dan dukungan sekarang juga. Agar mereka cepat tumbuh dan ber-kembang di lingkungan yang positif dan besok menjadi kuat, pintar, dan bebas. ***

Siapa memperhatikan hak mereka untuk bermain? Foto: Antonio Goncalves

(6)

6

Direito 13 19 Maret 2001

Wa w a n c a r a

Bungsu dari dua bersaudara kela-hiran Ossu, Viqueque 20 Juni tiga

puluh tahun lalu. Helio, begitu ia

akrab disapa, pernah menempuh pendidikan management komputer di Jakarta. Lulus sarjana muda pada 1998. Ia pernah bekerja di Institut Sosial Jakarta sejak 1993-1999 pada biro advokasi buruh. Di Jakarta Helio juga akrab dengan anak-anak jalanan. Kini ia menjadi redaktur

Lian Maubere terbitan Forum De-mokrasi.

Kini semakin banyak anak jalanan pasca referendum. Menurut Anda, ini fenomena apa?

S

aya pikir, ada beberapa hal kenapa muncul anak jalanan pasca referendum. Pertama, akibat persoalan politik. Dalam arti bahwa adanya anak jalanan ke-mungkian, karena

orangtuanya atau saudara-saudaranya meninggal ketika ter-jadi kekerasan se-panjang proses refe-rendum dua tahun la-lu. Akibatnya, tidak ada lagi orang yang dapat membantu mereka dalam me-menuhi kebutuhan-nya.Menjadi anak

jalanan menjadi satu-satunya pilihan. Kedua, akibat persoalan ekonomi. Se-kembalinya dari pengungsian sebagian besar rakyat Timor Lorosae kehilang-an harta benda, termasuk tempat ting-gal. Dan yang ketiga, sebagian besar orangtua belum bekerja untuk meme-nuhi kebutuhan keluarga. Ketiga feno-mena ini secara tidak langsung berdam-pak pada anak-anak, sehingga mereka terpaksa hidup menjadi anak jalanan

demi memenuhi kebutuhan si anak sen-diri, termasuk keluarganya.

Adakah karena keluargannya hancur atau broken home?

Kemungkinan itu ada. Di mana orang-tuanya punya persoalan rumah tangga. Misalnya, mereka bercerai karena a-yahnya berselingkuh atau ada persoalan lain. Si anak kemudian menjadi korban, yang biasanya terus meninggalkan ru-mah.Meskipun demikian, sejauh yang saya lihat, kebanyakan anak jalan karena orang-tuanya tidak bekerja. Kemudian anak-anak itu dianggap punya potensi ba-gi keluarga mereka untuk mencari naf-kah.

Di Jakarta Anda juga akrab dengan anak-anak jalanan. Mereka juga ti-dak bersekolah. Pendidikan apa yang tepat bagi mereka?

Sejauh pengalaman saya menangani anak jalanan, mereka harus diberi pen-didikan khusus. Kita harus mencari tahu kenapa mereka menjadi anak jalanan. Mereka harus didekati secara intensif. Pengalaman saya menangani anak-anak jalanan, mereka kurang setuju kalau di-beri pendidikan formal atau harus ber-sekolah. Lebih tepat bila mendidik me-reka sesuai dengan kebiasaan yang dila-kukannya. Dari bergaul dengan mereka

kita baru bisa menentukan bagaimana seharusnya kita mendidik mereka. Dan kita tidak bisa menentukan secara se-pihak. Kita harus berbicara dengan me-reka.

Anda akrab dengan anak-anak ja-lanan di Jakarta. Adakah perbe-daannya dengan di Timor Lorosae ?

Perbedaannya jauh, ya. Di Jakarta mun-culnya anak jalanan sebagian besar ka-rena persoalan sosial, di antaranya ada-lah urbanisasi. Di sana banyak orang dari desa yang dengan pengetahuan yang sa-ngat minim datang ke Jakarta, sehingga mereka sulit dan tidak siap menghadapi tuntutan hidup di kota besar. Akhirnya anak-anak mereka menjadi korban, ka-rena orangtuanya sulit mendapatkan pe-kerjaan. Sementara anak-anak jalanan di Timor Lorosae lebih banyak karena persoalan politik selama ini.

Di sini para pemimpin lebih banyak berbicara masalah-masalah politik. Mereka seperti tidak pernah meng-anggap anak-anak jalanan sebagai masalah yang juga penting. Bagai-mana menurut Anda?

Saya pikir, kalau kita berbicara masa depan bangsa salah satu pilar yang paling penting untuk melanjutkan pem-bangunan adalah anak-anak. Peme-rintah harus memperhatikan anak-anak dengan serius. Kalau sampai persoalan anak ini dilalaikan, maka nasib bangsa ini akan seperti di Filipina dan Indone-sia. Juga negara-negara lain. Saya setuju bila persoalan anak ini menjadi agenda bagi para pemimpin dan politisi kita.

Bisa saja mereka menganggap per-soalan ini tidak penting. Selama ini me-reka mengejar target politik dan apa yang selama ini mereka lakukan belum memuaskan, sehingga persoalan anak

Helio Freitas:

Persoalan Anak, Persoalan Kita

Memasukkan anak-anak ke asrama atau

panti asuhan belum bisa menjawab

persoalan. Mereka telah terbiasa

dengan kehidupan yang bebas, tidak

terikat oleh siapa pun. Persoalan

ter-penting adalah mencari sumber

ma-salahnya.

(7)

Wa w a n c a r a

dan perempuan tidak mereka hiraukan.

Menurut Anda apa perlu sebuah tempat untuk menampung dan mendidik mereka?

Menangani anak jalanan tidak cukup dengan memberi fasilitas atau mema-sukan mereka ke asrama atau panti asuhan. Itu belum bisa menjawab per-soalan, karena mereka telah terbiasa dengan kehidupan yang bebas, tidak terikat oleh siapa pun. Di asrama atau panti asuhan mereka diatur untuk di-siplin, tidur teratur, makan diatur. Ini tidak cocok bagi mereka. Dari peng-alaman, banyak di antara mereka yang kemudian lari dari asrama.

Jadi, persoalan paling penting adalah mencari sumber masalahnya. Apa yang menyebabkan mereka berada di jala-nan. Jangan karena kita melihat anak-anak jalanan yang semakin banyak lalu memasukan mereka ke panti asuhan, karena akar permasalahannya bukan terletak pada anak. Justru akan men-ciptakan ketergantungan bila peme-rintah memasukan mereka di asrama, karena orangtua tidak berhenti “men-cetak” anak. Nanti orangtua akan ber-anggapan, anak yang akan lahir akan diurus orang lain.

Adakah cara untuk menekan mun-culnya anak jalanan?

Salah satu usaha yang harus dilakukan adalah pembangunan dimulai dari desa, agar semua orang tidak berkonsentrasi di Kota Dili. Kalau orang menumpuk di suatu tempat akan berpontensi mun-culnya anak jalanan. Kalau itu tidak di-lakukan, bukannya menekan tetapi a-kan menambah masalah anak.

Menurut Anda apa ada gejala bah-wa anak jalanan di Dili diorganisir oleh orang tertentu untuk kepenting-an pribadinya, seperti ykepenting-ang terjadi di Jakarta?

Saya belum melihat. Namun, dalam waktu singkat bisa saja muncul ma-salah-masalah seperti itu. Bagaimana

o-rang memanfaatkan anak sebagai sum-ber mencari penghasilan. Mungkin saja saat ini sudah ada, misalnya anak-anak disuruh menjual rokok, kartu telepon, atau VCD porno di pinggir jalan. Ge-jala-gajala seperti ini kalau tidak dianti-sipasi oleh pemerintah sejak awal, maka suatu saat organisasi atau orang akan mempekerjakan anak-anak. Dan ini akan sulit untuk dikendalikan.

Agar tidak terjadi eksploitasi anak di bawah umur apakah perlu sebuah regulasi yang mengatur …

Saya setuju dengan aturan hukum yang mengatur tentang hak anak. Suatu saat ada saja perusahaan yang mempeker-jakan anak di bawah umur. Misalnya, umur berapa seseorang bisa kerja dan berapa jam dia harus bekerja. Bila tidak diatur maka mereka menjadi lahan yang potensial bagi perusahaan dan orangtua untuk melakukan eksploitasi. Akhirnya anak-anak kehilangan waktu bermain dan belajar seperti layaknya anak-anak yang lain.

Siapa yang seharusnya bertanggung-jawab atas masalah ini?

Selama ini Gereja melalui madre dan beberapa organisasi telah melakukan upaya untuk mengatasinya, meskipun hasilnya secara keseluruhan belum tam-pak. Saya lebih setuju bila dalam suatu kelompok atau bairo melakukan pen-dataan ulang, agar kita tahu mereka

berasal dari mana. Kalau kita sudah memiliki data mereka akan lebih mudah diorganisir.

Aktivitas apa yang cocok bagi mere-ka?

Berdasarkan pengalaman, aktivitas anak di jalanan itu bermacam ragam. Di Ja-karta lebih banyak aktivitas anak jalanan dibanding di sini. Misalnya, menjual ko-ran, menyemir sepatu, mencuci mobil,

ngamen, dan lain-lain. Di Timor Loro-sae yang belum ada mungkin penyemir sepatu dan pengamen anak. Mungkin, di sini belum ada persaingan yang begitu ketat di antara mereka dalam berebut lahan atau wilayah untuk bekerja. Ber-beda dengan Jakarta. Di sana persingannya sangat ketat, antar sesama a-nak jalanan dan orang dewasa.

Anak jalanan biasanya tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan seperti di Jakarta ...

Saya pikir itu salah satu tanda bahaya jika pemerintah tidak mengantisipasi. Kalau kita berbicara masalah anak ja-lanan, mau tidak mau harus bicara ma-salah pelacuran. Pengalaman di Jakarta, anak perempuan kebanyakan dipaksa orang dewasa untuk jadi pelacur. Di Timor Lorosae memang saat ini belum ada, tetapi suatu saat pasti terjadi. Ka-lau tidak diantisipasi kelak akan sulit dikendalikan. ***

Kenapa mereka harus jadi anak jalanan? Kenapa mereka harus men-cari uang untuk dirinya, dan ke-luarganya? Foto: Antonio Goncalves

(8)

8

Direito 13 19 Maret 2001

O p i n i

“Newspaper, mister ...!”, “Jornal, tio

...” “Rupiah, miss ...” Kata-kata itu akan Anda dengarkan diucapkan oleh anak-anak di jalan-jalan Kota Dili, me-nawarkan barang dagangannya. Anak-anak yang berjualan koran adalah seba-gian kecil dari banyak sekali anak-anak di Kota Dili yang sekarang ini “hidup di jalanan.” Jumlah mereka belum dike-tahui, karena memang belum ada yang menghitung. Tetapi kalau kita amati agak teliti, jelas bahwa jumlah mereka jauh lebih banyak dibanding pada zaman pendudukan Indonesia.

Yang mencolok, anak-anak ini ada di jalanan hampir “24 jam sehari.” Fak-tor “keamanan”, memang memungkin-kan mereka malam-malam di jalanan. Pada zaman pendudukan, selain per-sonil tentara dan kaki-tangannya, siapa yang malam-malam berani berada di luar rumah di daerah perkotaan?

Tetapi tidak mungkin anak-anak ini berada di jalanan se-mata karena menikmati “ke-bebasan” dari tentara Indone-sia. Perhatikan saja apa “ke-giatan” mereka di jalanan. Se-bagian dari mereka berjualan surat kabar atau majalah lokal. Sebagian lagi berjualan rokok, kartu mobile-phone, air mi-neral atau telur rebus, bahkan VCD porno. Ada pula yang menjual jasa untuk

member-sihkan mobil, penukaran uang dolar dengan rupiah. Bahkan, tak sedikit yang mengais-ngais tempat sampah mencari barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan, termasuk sisa-sisa makanan. Dari “kegiatan-kegiatan” tersebut kita sudah bisa mengambil kesimpulan, bahwa mereka ini bukan di jalanan untuk bersenang-senang, tetapi untuk mencari uang, yang sangat diperlukan untuk menyambung hidup.

Memang mereka juga berusaha “mencari kenikmatan” yang bisa mereka raih dari giat di jalanan tersebut. Di Dili Anda saksikan anak-anak di bawah u-mur yang menghisap rokok atau minum bir. Juga Anda saksikan anak-anak yang bermain (atau tepatnya: membelanjakan uangnya!) di tempat-tempat yang me-nyewakan video games atau Play Sta-tion (bisnis ini jelas sangat tidak ada gu-nanya, karena hanya mengeruk uang dari rakyat Timor tanpa memberikan nilai tambah apa pun, malah membuat or-ang kecanduan!).

Perkenalan anak-anak jalanan yang sangat awal dengan kegiatan mencari uang, tak ayal telah juga dengan sangat awal memperkenalkan mereka dengan hal-hal yang bisa ditukar dengan uang yang mereka dapatkan. Ini sudah men-jadi hukum dari ekonomi uang. Ekono-mi yang mengharuskan orang untuk

bergiat mencari uang — dan sekaligus membelanjakan uang tersebut. Mencari uang pada usia sangat dini juga telah mengenalkan mereka untuk “bermain uang”, yakni berjudi. Secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan di Dili, anak-anak sudah berjudi “kartu tabrak” atau “foker”.

Tentu tidak semua anak jalanan me-lakukan hal-hal tersebut. Juga tidak se-mua anak yang melakukan hal-hal

terse-but menghabiskan uang penghasilannya hanya untuk itu. Bagi yang masih tinggal bersama orang tua, sebagian besar uang penghasilan diserahkan kepada orang tua untuk keperluan hidup keluarga.

Sebagian orang menganggap bahwa anak-anak jalanan itu berada di jalanan karena menginginkan hidup yang bebas. Ini adalah pandangan yang sepihak, dari orang luar yang “tidak tahu tetapi sok tahu”. Coba perhatikan pengalaman José Soares, yang ditemui oleh jurnalis

Direito. Ia hidup di jalanan di depan Kantor UNTAET di Dili setelah ayah dan ibunya meninggal dunia. “Saya ingin sekolah seperti anak-anak lainnya, te-tapi tidak mungkin karena saya hanya seorang diri,” katanya. Atau simak kisah Fernando da Silva yang beruntung ma-sih bisa bersekolah di SD Farol kepada jurnalis Talitakum (No. 10/Des 2000): “Saya membersihkan mobil untuk membayar sekolah. Orangtua sa-ya sekarang tidak punsa-ya pengha-silan. Bapak saya petani. Tetapi keluarga kami tidak mampu hidup hanya dengan berjualan sayur.”

Kehidupan di jalanan bu-kanlah kehidupan bebas yang penuh kegembiraan. Kehidupan jalanan adalah kehidupan yang keras. Anak-anak yang berjualan dekat hotel sering diusir, bahkan dipukul oleh petugas keamanan hotel. Anak-anak yang berjualan

paun (roti) di dekat kantor UNTAET pada awalnya juga selalu diusir oleh petugas keamanan di sana. Tetapi mereka toh tetap berjualan di tempat-tempat itu. Karena mereka lebih mencintai kebebasan? Agaknya dorongan keharusan perut — perut sendiri maupun perut keluarga — lebih kuat daripada dorongan “kebebasan”. Selintas sepertinya mereka menikmati “kebebasan” yang tidak dimiliki oleh

Anak Jalanan Timor Lorosae:

Korban Yang Terus Dikorbankan?

oleh

Nug Katjasungkana*

“

... mereka mengacaukan mana

akibat dan mana penyebabnya.

Mereka menyembunyikan

penyebabnya,

karena penyebabnya justru

berada di balik kemewahan

hidupnya sendiri.

(9)

O p i n i

anak-anak yang tinggal di rumah ber-sama keluarga. Malam-malam mereka masih berkeliaran di jalan-jalan kota, sementara anak-anak yang tinggal di ru-mah telah tidur. Kita tidak bisa sepihak menilai dari fakta ini saja. Kita harus mencermati, mengapa mereka hidup di jalanan sehingga tidak lagi terikat pada nilai-nilai umum, bahwa anak-anak ha-rus sudah tidur pada waktu malam.

Pengamatan majalah Talitakum

mengungkapkan bahwa sebagian besar daripada mereka hidup di jalanan ka-rena keluarga mereka menjadi korban kekerasan pendudukan Indonesia, ter-utama di masa sekitar konsultasi popu-lar 1999. Hal yang sama dikemukakan oleh ET-WAVE (East Timorese Wo-men Against Violence and for Children Care, Perempuan

Ti-mor Lorosae Menen-tang Kekerasan dan Mengasihi Anak-anak), sebuah organ-isasi non-pemerintah yang memberi perha-tian pada anak-anak jalanan. Menurut Olandina Cairro, pim-pinannya, anak-anak ini terlantar karena ke-kerasan pasca refer-endum yang menye-babkan orangtua me-reka terbunuh atau terpisah.

Tidak semua anak yang mencari nafkah di jalanan itu tidak tinggal di mah. Banyak dari mereka tinggal di ru-mah bersama keluarga. Seperti yang di-alami Fernando da Silva, orangtua me-reka kebanyakan tidak mampu meng-hidupi keluarga dengan layak.

Anak-anak yang tak tinggal di rumah, yang sepenuhnya “24 jam sehari” hidup di jalanan, tidak lagi punya ikatan ngan keluarga. Tidak adanya ikatan de-ngan keluarga ini bukan berarti kebe-basan. Tidak adanya ikatan keluarga justru berarti tidak adanya per-lindungan. Anak-anak jelas memerlu-kan perlindungan dari keluarga yang mengasihi dan merawat.

Anak-anak yang hidup di jalanan rentan terhadap apa saja. Termasuk ter-hadap “ajakan” untuk berbuat kriminal. Beberapa bulan lalu, beberapa anak ja-lanan terlibat dalam aksi pembakaran. Polisi sipil internasional (CivPol) pun menangkap mereka. Bayangkan anak-anak yang masih buta hukum itu se-karang mendekam dalam tahanan. O-rang dewasa saja masih banyak yang belum mengetahui hukum apa yang ber-laku di Timor Lorosae, dan hak apa yang dimiliki oleh tahanan. Anak-anak jalanan ini pasti tidak punya uang dan pengetahuan untuk mencari pengacara. Pandangan orang yang hidup enak tentang anak jalanan memang penuh dengan prasangka. Ini tidak saja ber-laku di Timor Lorosae, tetapi umum di

seluruh dunia. Seperti pernah dikemu-kakan oleh pasca-filsuf Jerman Karl Marx, kelas dominan lazimnya me-mandang dunia dari nilai-nilai dan ke-pentingannya sendiri. Hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai dan kepentingannya mereka anggap jelek, dan karena itu harus dimusnahkan tanpa lebih dahulu meneliti sebab-sebabnya. Mereka mengacaukan mana akibat dan mana penyebabnya. Mereka menyembunyi-kan penyebabnya, karena penyebabnya justru berada di balik kemewahan hidupnya sendiri.

Daripada sibuk dengan penilaian-pe-nilaian lebih baik kita mengikuti jejak yang telah dibikin oleh sejumlah pihak di Timor Lorosae ini. Suster-suster

Ca-nossa setiap Jum’at sore memberi ma-kan dan mengajak anak-anak jalanan bermain di bekas gedung Kejaksaan Negeri Dili. ET-WAVE menyelenggara-kan program pendampingan untuk anak-anak yang trauma akibat kekeras-an, menyekolahkan anak-anak korban kekerasan yang tidak mampu, memberi penyuluhan kepada orangtua, dan se-karang sedang berusaha merealisasikan rencana untuk membangun asrama un-tuk anak-anak jalanan. Upaya-upaya seperti ini perlu didukung dan dikem-bangkan. Baik oleh masyarakat, dan terutama oleh pemerintah.

Upaya penting dan mendasar yang sekarang mendesak untuk dilakukan a-dalah membangun kegiatan-kegiatan di komunitas yang melayani kebutuhan anak-anak, termasuk melindungi, meng-asuh, dan mendidik anak-anak. Di masa lalu, gerakan pembe-basan nasional Timor Lorosae pernah me-n y el eme-n ggakar ame-n

creches (tempat pe-ngasuhan dan pendi-dikan anak-anak). Sekarang yang kita perlukan tidak hanya

creches, karena ma-salah anak-anak jauh lebih kompleks dari-pada tahun 1974-1979.

Kehidupan yang aman, bahagia, dan sejahtera merupakan hak anak yang di-jamin oleh ketentuan hak asasi manusia internasional. Bangsa Timor yang lahir dari perjuangan menentang penindasan dan penghisapan, dalam Magna Carta yang diikrarkan tahun 1998 menya-takan keterikatannya pada ketentuan hak asasi manusia internasional. Mem-biarkan anak-anak miskin dalam keme-laratan dan penderitaannya sama de-ngan mengkhianati diri sendiri! ***

* Volunteer Yayasan HAK, Dili; anggota Forum Solidaritas untuk Rakyat Timor Lorosae (FORTILOS),Indonesia.

(10)

10 Direito 13 19 Maret 2001

Serba Serbi

Penandatanganan

Kesepakatan

di Uato-lari

P

ersoalan tanah di Uato-Lari merupakan suatu kasus yang unik. Kasus ini terkait dengan persoalan politik. Menurut masyarakat di sana, kasus tanah seluas sekitar 2.000 hektar itu melibatkan hampir se-mua warga di lima desa, termasuk Ge-reja.

Berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah yang muncul sejak 1959 itu te-lah dilakukan oleh berbagai pihak, ter-masuk UNTAET bagian land and pro-perty. Antara lain melalui penyuluhan hukum dan dialog masyarakat. Pada a-khir dialog dengan warga masyarakat yang dilakukan pada bulan Juni tahun lalu itu menghasilkan kesepakatan untuk membentuk satu tim gabungan yang be-kerja secara independen.

Langkah yang terakhir adalah penan-datanganan kesepakatan di antara me-reka yang berkonflik, pada 23 Februari lalu di Gereja Uato-lari, yang disaksikan oleh Yayasan HAK, koordinator jus-tice and peace Uato-lari, dan CNRT Distrik Viqueque. Semoga penanda-tanganan kesepakatan itu bisa menye-lesaikan konflik tanah yang berke-panjangan itu. ***

S

ebelum reses setelah melewati hari-hari yang melelahkan dalam membahas berbagai regulamen, sejumlah anggota Nacional Council (Dewan Nasional) menghadiri acara “Refleksi di Akhir Minggu”. Acara yang difasilitasi oleh staf dan relawan Yayasan HAK itu berlangsung di Semi-nari Dare, dihadiri oleh 18 anggota. Tu-juan dari refleksi selain menginstropeksi kinerja Dewan Nasional selama ini juga sebagai kesempatan penyegaran roha-ni. Acara yang berlangsung pada 3 dan 4 Maret lalu ditutup dengan misa yang dipimpin oleh Uskup Belo. ***

Refleksi Bersama

Anggota NC

L

ino Lopes, SH dari Rumah Rakyat Wilayah Timur pada 21 Februari lalu melakukan observasi di Pengadilan dan Kejaksaan Distrik Baucau. Dari pemantauan itu di-temukan sejumlah masalah yang dise-babkan oleh tidak optimalnya sistem peradilan.

Sejak Januari sampai 21 Februari la-lu, pengadilan di Baucau tidak lagi ber-jalan efektif karena beberapa sebab. Pertama, sembilan pengacara UNTA-ET telah lama berada di Dili. Kedua, kaburnya Tomas Gabriel asal Lospalos yang telah divonis 15 tahun penjara

karena kerja-sama antara terdakwa dengan salah seorang jaksa.

Ketiga, pengacara dari UNTAET, Alvaro, menurut Kepala Kejaksaan Distrik Baucau, telah melakukan dis-kriminasi terhadap Manuel Martins. Ketika akan menyidangkan kasus Ma-nuel, pengacaranya bukannya meng-urus kasus kliennya, tetapi mengmeng-urus kasus lain.”

Sementara pada 12 Februari lalu, staf RR Wilayah Timur Rosito Belo yang melakukan investigasi atas kasus dugaan pemerkosaan dan pembunuhan di Distrik Manatuto. Dari Isidio, vice secretaris dan Lamberto Filomeno

secretaris CNRT Zona Laclo,

diper-oleh penjelasan bahwa sampai saat ini mereka belum mendapat laporan ten-tang kasus pemerkosaan tersebut. “Sejauh ini informasi yang kami peroleh masih belum jelas,” kata Isidio.

Menurut kepala desa Hohorai, Sub-distrik Laclo, Manuel Nunes Freitas, pemerkosaan yang terjadi di desanya dilakukan oleh suatu kelompok politik tersebut. “Mereka juga melakukan intimidasi, teror dan pengrusakan ge-dung sekolah dan memaksa rakyat un-tuk menyumbang beras, kerbau unun-tuk pesta.”

Pengurus CNRT juga memberi ke-sempatan Rosito untuk menemui keluar-ga korban pembunuhan.***

P

etani di Nabularan, Alas meng-alami kesulitan memperoleh peralatan pertanian, sementara hasil produksi mereka relatif banyak. Peralatan yang mereka butuhkan akan segera diperoleh, setelah RR Maubisse ber-sepakat untuk bekerjasama dengan CDEP (Centro do Desenvolvimento da Economia Popular), pada pertengahan Maret lalu.

CDEP menawarkan pengembangan produksi beras lokal. “Kami akan membantu sebuah mesin giling padi, mesin jahit karung, karung, benang, dan transportasi,” kata Jose Jaquelino. “Melalui kerja-sama ini semoga mereka bisa meng-hasilkan produksi yang lebih baik lagi. Semoga mereka bi-sa memproduksi beras lokal dengan komitmen ukun ra-sik an, ” kata Mari-ano Ferreira, koor-dinator RR Mau-bisse. ***

Kerjasama RR

Maubisse-CDEP

Pihak yang bersengketa di Uato-lari berunding

Foto: Antonio Goncalves

(11)

A m i L i a n

Anak Jalanan di Mata

Malae

S

aat ini anak-anak jalanan

jum-lahnya semakin banyak di-bandingkan tahun lalu. Mereka berada di depan Gedung UNTAET dan di restoran untuk menawarkan jasa membersihkan mobil dan berjualan ko-ran. “Anak-anak itu masih terlalu kecil. Saya tidak tahu kodisi mereka di ru-mah,” kata Lia Kent dari Unit Hak Asasi Manusia UNTAET. Masalah anak-anak jalan, lanjut Lia, merupakan ma-salah yang sangat penting di Timor Lo-rosae. Keadaan mereka harus diper-hatikan. Apakah mereka punya ke-luarga dan tempat tinggal.

“Saya sering bertemu mereka. Saya tanya sekolah di mana dan mereka ting-gal di mana.” Ternyata banyak di antara mereka yang tidak tidur di pinggir jalan. Mereka tetap bersama keluarganya. Tetapi, banyak juga yang tidak sekolah. Pendapat Mark Davis, “Menurut sa-ya, mereka membutuhkan uang untuk membantu keluarganya. Jadi tak ada yang bisa memarahi atau melarang me-reka.” Davis tidak tahu apakah peme-rintah memberikan perhatian pada ma-salah anak-anak itu. Perhatian peme-rintah bukan hanya untuk anak-anak, tetapi juga terhadap keluarga mereka. Mungkin, keluarganya juga tidak cukup

uang untuk hidup, sehingga anak-anaknya harus bekerja.” Masalah di se-luruh Timor Lorosae saat ini, lanjut Davis, karena sebagian besar tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-ha-ri. “Jika mereka menawarkan jasa untuk mencuci mobil saya, saya akan mem-bayar mereka. Kenapa tidak?” kata Mark, jurnalis SBS TV Australia.

Bagaimana pendapat Jim Mellor dari APHEDA (badan bantuan luar negeri dari Konfederasi Serikat Buruh Austra-lia)? Saya tinggal di New York selama 20 tahun. Di sana ada ratusan ribu anak-anak jalanan. Sungguh me-nyakitkan melihat anak-anak jalanan itu tumbuh dan berkembang dalam kese-harian di jalanan demi mencari uang. Mereka tidak punya tempat tinggal mes-kipun ada tempat penampungan bagi mereka. Anak-anak mendapatkan pen-didikan formal di tempat penampungan yang sempit itu.

Tidak ada alasan mengapa masalah anak jalanan tidak dijadikan prioritas u-tama di Timor Lorosae. Padahal dana Pemerintah Transisi melalui Bank Dunia digunakan untuk melayani sumberdaya masyarakat.

Syukurlah, ada beberapa organisasi yang punya komitmen untuk membantu

anak-anak yang telah ditinggal oleh o-rangtuanya akibat perang atau yang ku-rang mendapatkan perhatian. Karena itu harus disediakan tempat pelayanan dan dukungan komunitas di mana saja, untuk membantu anak-anak, serta melindungi dan mempersiapkan mereka untuk masa depan Timor Lorosae.

Mengenai kurangnya perhatian dari pemerintah? Merupakan periode yang sangat sulit ketika pemerintah tidak pu-nya program untuk mereka. Sementara angka pengangguran meningkat sangat tinggi. Prioritasnya adalah alokasi sumberdaya untuk anak-anak yang tanpa orangtua, tanpa sumberdaya, dan mereka hidup tanpa struktur pen-dukung. Mereka manusia yang terping-girkan.

Mereka secara pribadi tak punya ke-kuatan dan tidak mendapat pen-didikan yang cukup. Mereka di jalanan hanya karena ingin bertahan hidup. Bu-kan hanya di Timor Lorosae, tetapi ter-jadi di mana saja di dunia ini. Anak-anak berusaha keras untuk mendapat-kan uang demi sesuap nasi. Padahal anak membutuhkan makan dan tidur yang cukup, pendidikan, bersuka ria, tamasya, sambil belajar tentang du-nia.***

Anak Jalanan di Mata

Seorang Guru

ngajar, Irene berpendapat bahwa pendidikan anak harus dimulai dari ru-mah. “Jika orangtua tidak berusaha un-tuk menyekolahkan anaknya, selaku gu-ru kami tidak bertanggung jawab. Se-bab, perhatian kami lebih terfokus pada mereka yang datang dan belajar di se-kolah,” ujar Irene.

Soal anak-anak jalanan yang ditemui di setiap sudut Kota Dili pada masa tra-nsisi? Itu akibat situasi yang belum kon-dusif dalam berbagai hal.

Kemerdeka-M

enurut Irene, guru pada SD 2 Farol, Dili, saat ini begitu banyak anak-anak yang tidak ingin sekolah. Salah satu se-babnya karena faktor ekonomi. Banyak orangtua yang tidak mampu membiayai sekolah anak-anaknya, meskipun untuk saat ini mereka tidak ditarik biaya. Na-mun yang memberatkan orangtua murid karena mereka diwajibkan membayar sumbangan untuk mendukung lancar-nyaproses belajar mengajar. Selaku

pe-an bagi mereka adalah hidup di alam kebebasan sehingga anak lupa akan tanggung jawabnya untuk belajar. Me-reka memilih mencari uang di jalan-an.

Selain faktor ekonomi, yang mem-pengaruhi adalah ada kesan, tidak ada fasilitas di sekolah. Bagaimana bisa be-lajar kalau harus duduk di lantai? “Pa-dahal sekolah kami menyediakan ber-bagai fasilitas untuk mereka,” kata Irene. ***

(12)

Redaksi Direito

Neves, Julio, NK, Lito, TI, Oscar, Julito, Avan, Viana, Edio

Ami Lian

Diterbitkan atas dukungan:

Cerita Diri

Anak Jalanan

S

iang itu Jose Soares adalah satu di antara sekian banyak anak jalanan di kota Dili. Sambil mela-hap sebungkus mie instan mentah, anak berusia 12 tahun itu menuturkan kenapa ia menjadi anak jalanan. “Saya mulai menghabiskan waktu di jalanan setelah ayah dan ibu saya tidak ada. Kini saya hidup seorang diri tanpa keluarga mau-pun kerabat,”kata Jose kepada Direito

di pinggir pantai depan Kantor UNTA-ET. “Untuk makan sehari-hari, saya ha-rus mengemis kepada malae yang saya temui. Dari mereka kadang-kadang sa-ya diberi uang. Tidak jarang juga sasa-ya diberi mie instan seperti ini. Saya ingin sekolah seperti anak-anak yang lain, te-tapi itu tidak mungkin karena saya hanya seorang diri.” ***

Olandina Cairro

Berbicara Tentang

Anak-anak

O

landina, pemimpin ET-WAVE mengaku saat ini organisasinya belum bisa berbuat banyak. Mereka sering menjelaskan kondisi yang sesungguhnya kepada anak-anak. “Meskipun kita masih miskin, bukan berarti boleh menjadi anak berandal dan pengemis untuk mendapatkan sesuatu. Masih ada jalan lain yang bisa meng-hantarkan kita untuk mencari sesuatu yang bernilai,” begitu pesan Olandina pada anak-anak.

Pendidikan ekstra juga dilakukan. Mereka punya gagasan membangun gedung sekolah, atau asrama dan taman bermain bagi anak-anak. “Saya tidak sepakat kalau di sini dikatakan banyak anak jalanan. Kalau ada banyak anak jalanan berarti itu kesalahan kita. Me-ngapa di negara yang begitu kecil kita membiarkan mereka? Kita harus

berusaha mengatasinya.”

Prinsip ET-WAVE, perjuangan me-ngusir penjajahan selama ratusan tahun tidak hanya dilakukan orang dewasa, laki-laki dan perempuan, tetapi juga anak-anak. Mereka adalah korban ke-kejaman perang selama ini. Para pe-mimpin yang sering berbicara di televisi, radio, dan koran seharusnya malu me-lihat kondisi ini.

“Saya tidak mengerti, apa yang me-reka bayangkan ketika melihat anak-anak itu mengemis. Apa yang mereka rasakan dengan membiarkan anak-anak harus mencuci mobil. Mengapa se-mua ini harus terjadi di sini,” kata Olan-dia, sambil mengusap air matanya.

Bagi Olandina, anak itu bagaikan se-buah anak kunci. Kunci sese-buah bangsa. Ia khawatir jika anak jalanan itu diman-faatkan oleh pengusaha untuk kepen-tingan bisnisnya. Ia punya ide. Semua orang — staf internasional, nasional, dan pengusaha yang bekerja di Timor Lorosae — setiap hari mau menyi-sihkan uang 1 dolar AS. Dana itu digu-nakan untuk membantu mereka.

Kekerasan sepanjang referendum la-lu telah mengakibatkan orang dula-lunya miskin kini menjadi kaya. Begitu seba-liknya. Banyak anak telah kehilangan o-rangtua. Situasi sekarang menjadi faktor pendorong semakin banyaknya anak-anak yang harus bekerja. Seharusnya anak-anak menggunakan waktunya un-tuk sekolah dan bermain. “Saya men-duga ada yang mengeksploitasi mereka. Saya menentang pekerja di bawah u-mur. Kalau mereka terpaksa bekerja karena orangtuannya miskin, kenapa pemerintah tidak berpikir untuk mem-beri subsidi bagi orang miskin?”

Saat ini semua orang sibuk dengan pemilu. Tetapi mereka melupakan anak-anak. “Hukum negara harus ada pasal yang memberikan perlindungan kepada anak.Tugas kita untuk terus me-ngingatkan pemerintah untuk mem-perhatikan masalah anak-anak.” ***

M

unculnya anak jalanan pada masa transisi ini karena beberapa faktor, yang se-cara tidak langsung memberikan dam-pak terhadap masa depan mereka. Di-lihat dari faktor politik diakibatkan oleh perjuangan selama 24 tahun melawan penjajahan Indonesia. Sebagian besar rakyat Timor Lorosae lahir dalam situasi yang tidak menentu. Keluarga yang belum matang akibat tidak ada per-hatian yang maksimal dari pemerintah, karena rakyat melawan penjajahan. Pada masa pendudukan Indonesia ada juga anak-anak jalanan tetapi jumlahnya tidak sebanyak sekarang. Ini disebab-kan tidak adanya kontrol dari Peme-rintah Transisi.

Buruknya kondisi ekonomi akibat lapangan kerja untuk rakyat tidak me-rata. Kondisi ini menyebabkan anak-anak bekerja untuk membantu me-ringankan beban ekonomi ayah dan ibu mereka. Mereka menghabiskan seba-gian waktunya untuk menawarkan jasa apa saja sambil mencari pengharapan di jalanan.

Situasi saat ini betul-betul kompleks. Begitu banyak masalah yang harus kita hadapi, di antaranya menyangkut poli-tik, ekonomi, keamanan, infrastruktur. Seluruh masalah itu karena UNTAET tidak bekerja maksimal. ***

Anak Jalanan di Mata

Joao Reis

Anak-anak mengais rezeki di Tibar

Referensi

Dokumen terkait

Judul : Pelatihan Pengajaran Profesional dan Pembelajaran Bermakna (Better Teacher and Learning) bagi guru mata pelajaran IPS SMP dan MTs Swasta di kecamatan Genuk Kota

Pada penelitian ini, hasil menunjukkan bahwa kepuasan memiliki hubungan yang erat dengan disiplin karyawan, maka seyogyanya dapat menjadi masukan untuk organisasi

PERENCANAAN JEMBATAN DAMAR KECAMATAN WELERI KABUPATEN KENDAL ( Design of Damar Bridge Weleri Distric Kendal Regency ). Diajukan Untuk Memenuhi

Jadi, dapat diketahui bahwa motivasi dan gizi itu akan mempengaruhi kebugaran jasmani seseorang karena dengan motivasi dan gizi yang baik maka seseorang akan

Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah rendahnya teknologi penggelondongan yang dimiliki petani/pengusaha, baik itu padat tebar, pemberian pakan tambahan dan

 merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas

Kogal dapat dikenali dengan pakaian yang mereka kenakan, yakni seragam sekolah Jepang dengan rok yang dipendekkan dan kaus kaki longgar, rambut yang diwarnai atau

Metallic yielding Damper merupakan material baja yang digunakan sebagai media untuk mendissipasi energi gempa yang masuk kedalam struktur yaitu dengan