• Tidak ada hasil yang ditemukan

APLIKASI KHIYÂR DALAM EKONOMI SYARI AH DI ERA MODERN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "APLIKASI KHIYÂR DALAM EKONOMI SYARI AH DI ERA MODERN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM EKONOMI SYARI’AH DI ERA MODERN

Syuhud Muchson

Dosen Fakultas Syari‘ah

Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap Jl. Kemerdekaan Barat No. 1, Kesugihan, 53274

ABSTRAK

Dalam praktek jual beli, masih sering terjadi penyesalan di antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli) sehingga menjauhkan mereka dari kemaslahatan dan kesejahteraan yang adil. Untuk mengantisipasi timbulnya berbagai penyesalan, kerugian dan atau semisalnya, Al Qur’an dengan jelas telah menyatakan bahwa prinsip berlakunya jual beli di atas adalah atas dasar suka sama suka. Oleh karena itu dalam rangka inilah syariat Islam memberikan hak pilih atau kesempatan kepada kedua belah pihak yang melakukan akad jual beli untuk memikirkan lebih jauh, sebelum menyelesaikan transaksinya dengan memilih antara dua kemungkinan yaitu antara melangsungkan jual beli atau mengurungkannya. Hak pilih seperti ini dikenal dengan istilah al- khiyâr , namun demikian, dalam makalah ini hanya akan dibahas tentang beberapa hal yang antara lain meliputi pengertian khiyâr, hukum khiyâr dan posisi khiyâr dalam perkembangan bisnis kontemporer.

Jumhur ulama berpendapat bahwa khiyâr itu diperbolehkan dalam syariat Islam. Khiyâr majlis di era modern seringkali berupa transaksi yang dilakukan dengan kedua belah pihak tidak berada dalam satu lokasi (majlis). Dalam masalah ini kita harus kembali pada pengertian “berada satu majlis”. Dimana pengertian “berada satu majlis” dalam masalah khiyâr disini tidak selamanya bersifat fisik artinya secara fisik kedua belah pihak tidak harus berada dalam satu majlis, sepanjang mereka berdua ittishâl (berkomunikasi langsung) meskipun dengan menggunakan sarana/alat modern. Dengan demikian hukum khiyâr majlis dalam sistem transaksi/jual beli di era modern saat ini melalui sarana modern seperti HP, internet online, dan lain-lain tetap masih dapat diberlakukan.

Key Word: khiyâr majlis, jual beli, modern

A. Pendahuluan

Sebagai

ماظنلا نيد

, Islam adalah agama, aturan yang bersifat universal meliputi semua aspek kehidupan, tak terkecuali masalah perekonomian, disini Islam datang untuk menghadirkan aturan yang harus dipatuhi oleh semua orang, sehingga semua aktivitas perekonomian dapat berjalan dengan baik, teratur, dan membawa kemaslahatan dan kesejahteraan yang pari purna. Seperti

misalnya dalam praktek jual beli, ternyata masih sering terjadi penyesalan di antara kedua belah pihak (penjual dan pembeli) sehingga menjauhkan mereka dari kemaslahatan dan kesejahteraan yang adil. Disini Allah Swt meletakan prinsip-prinsip dasar berbisnis atau bertransaksi yang baik yang harus dipatuhi bersama yaitu firman Allah Swt dalam surat An Nisâ’ ayat :29.

(2)

ْنَأ َّالِإ ِل ِطاَبْل ِب ْ ُمكَنْيَب ْ ُمكَلاَوْمَأ اوُم ُمكْأَت َل اوُمنَمَآ َنيِ َّالا اَ ُّهيَأ َي

ْ ُمكْنِم ٍضاَرَت ْنَع ًةَراَ ِت َنوُمكَت

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. Sûrah An Nisâ’: 29)

Untuk mengantisipasi timbulnya berbagai penyesalan, kerugian dan atau semisalnya, ayat Al Qur’an di atas dengan jelas telah menyatakan bahwa prinsip berlakunya jual beli di atas adalah atas dasar suka sama suka. Oleh karena itu dalam rangka inilah syariat Islam memberikan hak pilih atau kesempatan kepada kedua belah pihak yang melakukan akad jual beli untuk memikirkan lebih jauh, sebelum menyelesaikan transaksinya dengan memilih antara dua kemungkinan yaitu antara melangsungkan jual beli atau mengurungkannya. Hak pilih seperti ini dikenal dengan istilah al-khiyâr, namun demikian, dalam makalah ini hanya akan dibahas tentang beberapa hal yang antara lain meliputi pengertian khiyâr, hukum khiyâr

dan posisi khiyâr dalam perkembangan bisnis kontemporer.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini akan dibahas tentang : 1. Bagaimanakah Hukum khiyâr dalam

Pespektif Fiqih?

2. Bagaimanakah Aplikasi khiyâr di Era Modern?

C. Pembahasan 1. Pengertian khiyâr

Secara etimologi, kata al-khiyâr dalam bahasa Arab berarti memilih, menyisihkan, dan menyaring.

Adapun Secara terminologi, para ‘Ulama fiqih telah mendefinisikan al-khiyâr, antara lain sebagai berikut :

a. Menurut Sayyid Sâbiq1

ِوَا ِءا َضۡمِ ۡال َنِم ِنۡيَرۡمَلۡا ِ ۡيَخ ُمبَل َط َوُمه ُمراي ِخۡلا

ِءاَغۡل ِ ۡلا

“Khiyâr adalah mencari kebaikan dari dua perkara, yaitu melangsungkan atau meninggalkan (jual beli)”.

b. Menurut Wahbah Az Zuhaili2

ِه ِخ ۡسَف ۡوَا ِدۡقَعۡلا ِءا َضۡمِإ َ ۡيَب ُمراَي ِخۡلا ِدِقاَعَتُممۡلِل َنۡو ُمكَي ۡنَا

ۡوَا ٍبۡيَع ۡوَا ٍةَيۡؤُمر ۡوَا ٍطۡ َش َراَي ِخ ُمراَي ِخۡلا َن َك ۡنِا

ٍ ۡيِيۡعَت َراَي ِخ ُمراَي ِخۡلا َن َك ۡنِا ِ ۡيَعۡيَبۡلا ُمدَحَا َراَتۡ َي ۡنَا

“Hendaknya bagi al-muta’âqid (orang yang berakad) memiliki hak jika khiyâr tersebut berupa khiyâr syarath, khiyâr ‘aib, khiyâr ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyâr ta‘yîn.”

Dari definisi khiyâr di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya hak khiyâr itu ditetapkan dalam Islam adalah untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual beli atau dengan kata lain agar kedua orang (kedua belah pihak) yang mengadakan transaksi jual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan dikemudian hari karena merasa dirugikan atau tertipu dll. Dari satu segi memang khiyâr (opsi) ini tidak akan praktis karena mengandung arti ketidak pastian suatu transaksi, namun dari segi kepuasan pihak yang melakukan transaksi, khiyâr ini adalah jalan terbaik.

1Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunah, (Beirut; Dar Al Fikr, 1983),

jilid IV, cet. Ke-4, hal. 164

2Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Al Islam Wa Adilatuhu, (1989 :

(3)

2. Landasan Hukum

Adapun landasan hukum khiyâr dari Al-Qur’an dan Hadits antara lain sebagai berikut : a. Landasan Al Qur’an3

ِل ِطاَبْل ِب ْ ُمكَنْيَب ْ ُمكَلاَوْمَأ اوُم ُمكْأَت َل اوُمنَمَآ َنيِ َّالا اَ ُّهيَأ َي

ْ ُمكْنِم ٍضاَرَت ْنَع ًةَراَ ِت َنوُمكَت ْنَأ َّالِإ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. Sûrah An Nisâ’: 29)

b. Landasan Hadits4

َ َّال َسَو ِهْيَلَع ُم َّاللا َّال َص ِ َّاللا ِلو ُمسَر ْنَع َرَ ُمع ِنْبا ْنَع

ِراَي ِخْل ِب اَمُم ْنِم ٍدِحاَو ُّه ُمكَف ِن َل ُمجَّارلا َعَياَبَت اَذِإ َلاَق ُمهَّانَأ

ْنِإَف َرَخ ْلا اَ ُمهُمدَحَأ ُم ِّريَ ُمي ْوَأ اًعيِ َج َن َكَو اَقَّارَفَتَي ْمَل اَم

َب َجَو ْدَقَف ِ ِلَذ َلَع اَعَياَبَتَف َر َخ ْلا اَ ُمه ُمدَحَأ َ َّايَخ

اَمُم ْنِم ٌدِحاَو ْكُم ْتَي ْمَلَو اَعَياَبَت ْنَأ َدْعَب اَقَّارَفَت ْنِإَو ُمعْيَبْلا

ُمعْيَبْلا َب َجَو ْدَقَف َعْيَبْلا

“Apabila ada dua orang mengadakan akad jual beli, maka masing-masing boleh khiyâr selagi belum berpisah, sedangkan mereka berkumpul ; atau salah seorang dari mereka mempersilahkan yang lain untuk khiyâr, kalau salah seorang sudah mempersilahkan yang lain untuk khiyâr, kemudian mereka mengadakan akad sesuai dengan khiyâr tersebut, maka jual beli jadi; dan apabila berpisah sementara tidak ada seorangpun yang meninggalkan jual beli, maka jual beli harus jadi.”

Dalam Hadits lain disebutkan bahwa :

3Al Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Mushab as Sarif

1418), 115

4Sayyid Sabiq, op. cit. jilid. 3, cet. 4, hal. 165.

ْنِإَف اَقَّارَفَتَي َّات َح َلاَق ْوَأ اَقَّارَفَتَي ْمَل اَم ِراَي ِخْل ِب ِناَعِّريَبْلا

بَذَكَو اَمَتَك ْنِإَو اَمِهِعْيَب ِف اَمُمهَل َكِروُمب اَنَّايَبَو اَقَد َص

.)لسمو ىراخبلا هاور( اَمِهِعْيَب ُمةَكَرَب ْتَق ِحُمم

“Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyâr, selama belum berpisah. Jika keduanya benar dan jelas (jujur dan tegas apa adanya) maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka. Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, maka akan dimusnahkan keberkahan jual beli mereka.”5

c. Ijmâ’ Ulama

Menurut Abdurrahman Al Jaziri status khiyâr dalam pandangan ulama fiqih adalah disyariatkan atau dibolehken karena keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan pihak yang telah melakukan transaksi.6

3. Khiyâr dalam Perpektif Ulama Fiqih Berbicara mengenai khiyâr memunculkan beberapa pertanyaan yang antara lain : bagaimana sebenarnya hukum khiyâr itu? dilarang atau diperbolehkan? kalau diperbolehkan, berapa lama masa berlangsungnya khiyâr? dan siapakah pemilik khiyâr itu serta apakah didalam khiyâr disyaratkan tunai atau tidak?

Untuk menjawab persoalan diatas maka dibawh ini kami ketengahkan beberapa pendpat Ulama Fiqih terkait dengan hukum khiyâr dimaksud yang antara lain meliputi:

a. Hukum Khiyâr

1) Jumhur ulama berpendapat bahwa khiyâr itu diperbolehkan dalam syariat Islam. Berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang berbunyi :

5Sayid Ahmad Al Hasyimi, Mukhtar al Ahadits an Nabawi,

(Maktabah Usaha Keluarga ; Semarang, 1990), cet. 12, hal. 58.

6Amir Syarifudin, Fiqih Muamalah, (Prenada Utama :

(4)

لَع ِراَي ِخْل ِب اَمُم ْنِم ٍدِحاَو ُّه ُمك ِناَعِياَبَتُممْلا

ِراَي ِخْلا َعْيَب َّالِإ اَقَّارَفَتَي ْمَل اَم ِهِب ِحا َص

“Kedua belah pihak (dua orang yang bertransaksi) masing-masing memiliki hak khiyâr selagi masih belum berpisah, kecuali jual beli khiyâr.”

2) Imam As Tsauri dan Ibnu Abi Syibramah dan sebagaian ulama ahli zhahir berpendapat bahwa khiyâr itu hukumnya tidak boleh. Mereka mengatakan bahwan khiyâr itu gharar atau penipuan padahal hukum asal jual beli itu sendiri adalah tetap (

موزـــللا

( kecuali bila terdapat dalil baik dari al – Kitab, As Sunnah maupun ijmak ulama yang menunjukan diperbolehkanya khiyâr (memperbolehkan jual beli atas dasar khiyâr ). Mereka mengatakan bahwa hadits Riwayat Hiban adalah tidak shohih atau hadits itu khusus tentang sesuatu yang diadukan Rasululloh Saw. Sesungguhnya ia menipu dalam jual beli.

b. Masa berlakunya khiyâr

Adapun masa berlakunya khiyârpara ulama fiqih (Fuqahā’) berbeda pendapat:

1) Imam Malik berpendapat bahwa masa khiyâr berlaku tanpa batas. Hanya saja masa khiyâr itu bisa dibatasi sesuai dengan kebutuhan pembatasan yang berbeda-beda sesuai perbedaan barang yang diperjual belikan. Itu artinya bahwa masa khiyâr akan berbeda sesuai dengan perbedaan mab’at (jenis-jenis) komoditas. Kesimpulannya : tidak diperbolehkan lama masa khiyâr itu melebihi masa rusaknya mab’iat. 2) Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah

berpendapat bahwa masa khiyâr itu hanya berlaku 3 hari, tidak boleh lebih dari 3 hari.

3) Imam Ahmad dan Abu Yusuf serta Muhammad bin Al Hasan berpendapat bahwa khiyâr itu diperbolehkan untuk masa yang dipersyaratkan kapan saja. c. Hukum khiyâr Mutlaq

Para ulama fiqih berbeda pendapat dalam hal khiyâr mutlak yang tidak dibatasi dengan masa-masa terntentu.

1) Imam As Tsauri Al Hasan bin Hayyi dan sekelompok ulama berpendapat diperbolehkannya persyaratan khiyâr secara mutlak. Dan baginya mempunyai hak khiyâr selamanya.

2) Imam Malik memperbolehkan khiyâr mutlak, akan tetapi menurutnya pemerintah perlu menentukan masa umumnya khiyâr.

3) Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat, dalam kondisi apapun khiyâr mutlak itu tidak boleh dan akad jual belinya fasad (rusak). Namun demikian Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I berbeda pendapat didalam hal jika terjadi khiyâr dalam 3 hari pada khiyâr yang mutlak. Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berpendapat jika terjadi khiyâr tiga hari hukumnya boleh, sedangkan bila terjadi lebih dari tiga hari maka rusak akad jual belinya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa jual beli itu rusak dalam kondisi apapun.

d. Kerusakan barang dalam masa khiyâr Bila terjadi kerusakan barang dalam masa khiyâr, maka menjadi tanggungn jawab siapakah mabi’ itu? dalam hal ini para ulama berbeda pendapat :

1) Imam Malik dan Ashabnya Al Laits dan Al Auwza’ i berpendapat bahwa kerusakan barang baik dari penjual maupun pembeli adalah amanah, baik hak khiyâr itu milik mereka berdua maupun salah satu dari mereka.

(5)

Dikatakan dalam madzhab, apabila kerusakan barang ditangan penjual maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa kerusakan itu tanggungan penjual. Apabila rusaknya ditangan pembeli maka hukumnya seperti hukum rahn (gadai) dan ‘ariyah

(pinjaman). Dan apabila rusaknya barang itu tidak diketahui sejak awal maka dalam hal ini pembeli yang bertanggung jawab. Sedangkan apabila dari awal kerusakan itu diketahui, maka penjualah yang bertanggung jawab. 2) Imam Abu Hanifah berpendapat

apabila syarat khiyâr itu milik mereka berdua atau hanya milik penjual maka tanggungan kerusakan ditanggung oleh penjual dan barang tetap milik penjual. Dan adapun apabila syarat khiyâr itu hanya milik pembeli saja maka barang telah keluar dari milik penjual, tetapi belum menjadi milik pembeli. Kondisi ini tetap menggantung sampai selesainya khiyâr. Tapi ada yang mengatakan bahwa pembeli harus membayar harga barang. Ini berarti bahwa barang tersebut telah masuk pada kepemilikan musytari pembeli ). 3) Bagi Imam Syafi’i ada dua pendapat.

Pendapat yang masyhur dari keduanya adalah bahwa barang itu dalam tanggungan musytari, terlepas dari siapa yang memiliki khiyâr tersebut.7

Dalam abad modern yang serba canggih ini, dimana system jual beli semakin mudah dan praktis, maka masalah khiyâr ini masih tetap diperlukan, hanya tidak menggunakan kata-kata khiyâr dalam mempromosikan barang-barang yang dijualnya, tapi dengan ungkapan singkat dan menarik. Misalnya : telitilah sebelum membeli, dijamin halal, barang yang dibeli tidak bisa dikembalikan, dll. Ini berarti pembeli

7Ibnu Ryusd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtashid,

(maktabah As Syuruq Al Dauli : Cairo, 2004), hal. 541

diberi hak khiyâr (memilih) dan hati-hati dalam menjatuhkan pilihannya untuk membeli, sehingga ia merasa puas terhadap barang yang benar-benar ia inginkan. Hal ini tentunya sesuai dengan maksud dan tujuan utama disyariatkannya khiyâr yang tidak lain adalah terciptanya rasa (kerelaan) bagi konsumen (pembeli). Ini juga memberi arti bahwa kerelaan (kepuasan) konsumen merupakan unsur yang sangat fundamental. Namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana kerelaan itu diperoleh?apakah harus dengan cara dimana masing-masing dari penjual dan pembeli itu harus berbeda dalam satu lokasi (majlis)? sebagaimana pendpat Imam Syafi’i? atau haruskah diperoleh melalui ijab qobul dan apakah juga harus dengan cara membayar tunai?inilah permasalahan yang harus kita kaji bersama. Seperti mislanya, transaksi yang dilakukan melalui HP, Internet dan mesin-mesin transaksi lainnya. Contohnya: Seorang pembeli minuman dengan cara memasukan koin atau uang ke dalam mesin transaksi Drink Boxs. Lantas barang keluar dari boks tempat minuman. Tetapi terkadang karena tidak tahu uang sudah masuk tetapi barang tidak keluar. Begitu juag pembayaran melalui system obligasi Rekening atau ATM, dalam kontek ini memunculkan pertanyaan lain yaitu kapan ijab dan qobul itu diucapkan?siapa penjual sebenarnya? dan siapa yang menanggung kerugian bila terjadi kerusakan mesin? dan bagaimana posisi khiyâr dalam jual beli seperti ini? dan bagaimana hukum jual beli seperti ini?sahkah jual beli seperti ini bagi kedua belah pihak atau tida?. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat disimpulkan menjadi beberapa masalah :

a) Bagaimana hukumnya khiyâr majlis pada transaksi yang dilakukan dimana kedua belah pihak tidak berada dalam satu lokasi (majlis)? dalam masalah ini kita harus kembali pada pengertian “berada satu majlis”. Dimana pengertian “berada satu majlis”

dalam masalah khiyâr disini tidak selamanya bersifat fisik artinya secara fisik kedua belah pihak tidak harus berada dalam satu majlis, sepanjang mereka berdua ithishol (berkomunikasi langsung) meskipun dengan

(6)

menggunakan sarana/alat modern. Dengan demikian hukum khiyâr majlis dalam system transaksi/jual beli melalui sarana modern seperti HP, internet online, dan lain-lain tetap masih dapat diberlakukan.8

b) Bagaimana keabsahan jual beli yang tidak menggunakan ijab qobul?

Bagaimanapun yang namanya transaksi yang dilakukan tanpa menggunakan ijab qobul itu hukumnya tetap tidak sah. Adapun transaksi yang dilakukan dengan menggunakan mesin transaksi seperti Drink Boxs, ATM, Label Harga (Bandrol), dll. Itu semuanya masih termasuk kategori transaksi yang menggunakan ijab qobul, meskipun ijab qobulnya tidak berupa ucapan, karena label atau tulisan yang terdapat pada mesin transaksi itu juga bisa disebut sebagai kalam yang dapat memberikan pemahaman. Sehingga dengan demikian hukum akad jual belinya adalah sah, tapi tidak ada kata khiyâr di dalamnya.

c) Tanggungan siapakah kerusakan dan kerugian yang terjadi dalam transaksi yang pembayarnya dilakukan dengan menggunakan mesin transaksi. Apabila masalah ini kita kembalikan pendapatnya Hanifiyah tentang hukum kerusakan barang dalam masa khiyâr maka kerusakan dan kerugian yang terjadi menjadi tanggungan si penjual (al ba’i) dan kepemilikan barang masih tetap berada ditangan penjual, belum pindah ke tangan konsumen (pembeli). D. KESIMPULAN

Dari uraian di atas, disimpulkan sebagai berikut :

1. Jumhur ulama berpendapat bahwa khiyâritu diperbolehkan dalam syariat Islam.

2. khiyâr majlis di era modern seringkali berupa transaksi yang dilakukan dengan kedua belah pihak tidak berada dalam satu

8Wahbah Az Zuhaili, op.cit., hal. 250.

lokasi (majlis). Dalam masalah ini kita harus kembali pada pengertian “berada satu majlis”. Dimana pengertian “berada satu majlis” dalam masalah khiyâr disini tidak selamanya bersifat fisik artinya secara fisik kedua belah pihak tidak harus berada dalam satu majlis, sepanjang mereka berdua ittishol (berkomunikasi langsung) meskipun dengan menggunakan sarana/alat modern. Dengan demikian hukum khiyârmajlis dalam sistem transaksi/jual beli di era modern saat ini melalui sarana modern seperti HP, internet online, dan lain-lain tetap masih dapat diberlakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, Wahbah (1989). Al-Fiqhu al-Islam Wa Adillatuhu.

Al Hasyimi, Sayid Ahmad (1990). Mukhtar al Ahadits an Nabawi. Maktabah Usaha Keluarga: Semarang.

Ryusd, Ibnu (2004). Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtashid. Maktabah As Syuruq Al Dauli: Cairo.

Sabiq, Sayid(1983). F iqh as Sunah. Beirut: Dar Al Fikr.

Syarifudin (2005). Fiqih Muamalah. Prenada Utama : Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya jumlah Infak yang ditetapkan bagi calon jemaah Haji kota Palopo, maka timbullah keinginan penulis untuk mengkaji dan meneliti mengenai Infak Haji yang diputuskan

Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan yang signifikan kompetensi pengetahuan IPS antara siswa kelas IV di Gugus Tuanku Imam

Hasil dari proses pengujian ini akan digunakan dalam proses penyesuaian untuk mencapai kualitas sistem yang dikehendaki.Setelah pengembangan dilakukan, maka program di

&ari eerapa pengertian terseut dapat disimpulkan aha leukopenia adalah suatu kondisi klinis di mana sumsum tulang memproduksi sangat sedikit sel darah  putih

Jadi, dari 6 variabel yang signifikan dapat dikatakan bahwa seseorang berjenis kelamin perempuan yang berstatus belum menikah/cerai dengan pendidikan relatif

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui untuk memberikan ijin kepada pihak Program Studi Sistem Informasi Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus

Dengan demikian, cerita II Samuel 5:1-5 yang mengatakan bahwa ada semacam perjanjian atau kesepakatan antara Daud dan suku-suku di Israel- yang ditulis oleh

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh kondisi operasi pembuatan sol-gel yaitu konsentrasi silika dalam sol terhadap diameter pori lapisan sol gel silika