• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Luas

Kawasan Gunung Salak secara administratif meliputi wilayah Kecamatan Ciampea, Kecamatan Ciomas dan Kecamatan Pamijahan (Kabupaten Bogor), serta Kecamatan Cicurug dan Kecamatan Parungkuda (Kabupaten Sukabumi). Secara geografis kawasan ini terletak pada posisi 060 43’ 32” - 060 43’ 32” LS dan 1060 37’41” - 106040’50” BT. Kenampakan kawasan Gunung Salak melalui citra satelit dapat dilihat pada Gambar 3.

Kawasan Gunung Salak memiliki luas ± 31.327 ha. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 status Gunung Salak berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sebelumnya, kawasan ini merupakan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutan Unit III Jawa Barat. Luas total taman nasional ini ± 113.357 ha dan meliputi 3 wilayah kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi, dan Lebak.

B. Iklim

Rata-rata curah hujan bulanan cukup tinggi di kawasan Gunung Salak terjadi pada bulan November hingga Mei, umumnya mencapai di atas 300 mm/bulan, sedangkan pada bulan Juni hingga Oktober, curah hujannya kurang dari 300 mm/bulan.

Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember. Pada bulan-bulan selanjutnya mulai sedikit menurun dan mencapai intensitas terendah pada bulan Agustus yaitu sebesar 159 mm. Selanjutnya mengalami kenaikan kembali dengan intensitas yang cukup tinggi mulai bulan November. Secara klimatologis tidak tampak perbedaan yang jelas antara musim hujan dan kemarau di kawasan ini sehingga dapat dikatakan mengalami musim hujan sepanjang tahun. Suhu udara rata-rata di kaki Gunung Salak sekitar 25.70 C sedangkan suhu udara maksimum sekitar 29.90C dan minimumnya sekitar 21.60 C. (Hadiyanto, 1997).

(2)

Gambar 3. Citra Gunung Salak melalui satelit Landsat ETM.

(3)

26

C. Geologi, Tanah, dan Topografi

Gunung Salak merupakan salah satu dari lebih kurang 40 gunung utama di Pulau Jawa yang saat ini tidak aktif lagi. Sisa-sisa aktivitas vulkanik Gunung Salak masih dapat ditemukan antara lain di kawah Ratu, kawah Hirup, kawah Paeh, kawah Perbakati, dan kawah Cibeureum.

Dilihat dari letak topografinya, Gunung Salak berada dalam kesatuan hamparan dengan gunung Halimun Timur (1750 m dpl) dan gunung Halimun Barat (1929 m dpl), namun terpisah dari gunung Gede Pangrango oleh lembah sungai Cisadane dan Cicurug. Batu-batuan induk terdiri atas lahar, lava, bahan-bahan piroklastik dengan komposisi basaltik andesit yang berasal dari kegiatan gunung Perbakti zaman Pleiston atas (Putro, 1997).

Tanah pada kawasan Gunung Salak sebagian besar terdiri atas jenis Andosol, dengan solum sedang sampai dalam sekitar 60 -120 cm. Lapisan atas kaya zat organik berwarna coklat kemerahan sampai hitam. Tekstur lempung sampai lempung liat berdebu. Struktur granular kasar, konsistensi sedang. Lapisan di bawahnya merah kekuningan, coklat kemerahan sampai coklat kuat, tekstur lempung sampai lempung berpasir. Struktur granular kasar, konsistensi sedang (Pertamina-UGI dalam Vivien, 2002).

Kawasan ini juga sebagian besar merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih besar 40%, selebihnya merupakan daerah bergelombang dan berbukit dengan kemiringan lereng 15-40%.

D. Vegetasi Penutup Lahan dan Flora di Kawasan Gunung Salak

Tanah yang digunakan untuk kegiatan budi daya pertanian di kawasan Gunung Salak, sebagian besar terletak pada daerah dengan kemiringan lereng 15 % - 40% berupa tegalan dan kebun campuran. Pada kawasan ini juga telah banyak dibuka lahan untuk kegiatan perkebunan (Sastrowihardjo, 1997). Pada Gambar 4 dapat dilihat vegetasi penutup lahan di kawasan Gunung Salak yang diperoleh melalui hasil klasifikasi citra Landsat ETM tahun 2001. Vegetasi penutup lahan tersebut adalah: hutan, semak, alang-alang, kebun, perkebunan teh, ladang, sawah, dan lahan terbuka.

(4)

Putro (1995) mengatakan bahwa di hutan dataran tinggi atau sub pegunungan banyak ditemukan rasamala (Altingia exelsa), pasang (Quercus lineata), puspa (Schima walichii), saninten (Castanopsis javanica), pasang kiriung anak (C. argertea), sampang (Euodia alba), gompong (Arthrophyllum diversifolium) dan ki leho (Sauraria peduncluosa). Lebih lanjut dikatakan bahwa vegetasi kawah di Gunung Salak dapat ditemukan di beberapa tempat, antara lain Kawah Ratu, Kawah Cibeureum, Kawah Perbakti dan Kawah Paeh. Vivien (2002) mengatakan bahwa jenis tumbuhan bawah yang melimpah di kawasan Gunung Salak antara lain Dioscorea myriantha dan Strobilanthes blumei.

Selanjutnya Putro (1995) menyatakan bahwa di kawasan Gunung Salak banyak sekali ditemukan spesies tumbuhan langka, diantaranya Creochiton bibrateata, Cannarium kipella, Diplycosia pilosa, Rhododendron album, R. Wilheminae, Pinanga javana, Corybas vornicatus, Nervelia concolor, Macodes asrgyroneura.

E. Fauna di Kawasan Gunung Salak

Komposisi spesies satwa di Gunung Salak diduga memiliki banyak kesamaan dengan Gunung Gede Pangrango (Putro, 1995). Beberapa jenis mamalia yang penting yang ditemukan di kawasan Gunung Salak antara lain owa Jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung Jawa (Trachypithecus uratus), lutung hitam (T. cristatus), macan tutul (Panthera Pardus), kijang (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus timorensis), landak (Hystrix barachyura), garangan (Herpestes javanicus), trenggiling (Manis javanica), dan sigung (Mydaus javanicus) (Putro, 1997; Paulina, 2005).

Di kawasan Gunung Salak ditemukan beberapa jenis burung yang memiliki nilai konservasi tinggi karena merupakan hewan endemik di Jawa dan Bali, hewan dilindungi, maupun hewan yang jarang. Burung-burung tersebut diantaranya elang Jawa (Spizaetus bartelsii), elang ular (Spilornis cheela), elang brontok (Spizaetus sirrhatus), elang hitam (Ictungaetus malayensis), alap-alap (Accipiter trivirgatus), puyuh gonggong (Arborophylla javanicus), serindit (Loriculus pusillus), menintin (Alcedo meninting), bututut (Megalaima corvina), tohtor (M. armillaris), caladi tikus (Sasia arbonis), kepodang gunung (Coracina larvata) (Putro, 1997).

(5)

IV. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di zona sub pegunungan (sub montane), Gunung Salak pada kisaran ketinggian 1000 – 1500 m dpl. Lokasi kawasan sub pegunungan Gunung Salak dapat didaki dari beberapa tempat, dan pada penelitian ini melalui Desa Gunung Bunder Dua (S 6o41’484”- E 106o42’234”) dan Desa Gunung Sari (Kawah Ratu) (S 6o41’786”-E 106o42’006”) Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Sebelumnya beberapa kegiatan penjajakan terhadap kondisi lapangan telah dilakukan beberapa kali. Penelitian di lapangan berlangsung sejak pertengahan bulan Febuari tahun 2006 sampai dengan akhir bulan Juli tahun 2006 dan selanjutnya dilakukan penelitian berupa analisis tanah, analisis spesies tumbuhan serta pengolahan dan analisis data. Lokasi penelitian dapat di lihat pada Gambar 5.

(6)

B. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah, (a) Citra dijital satelit Landsat ETM tanggal 12 Mei 2001 yang diperoleh dari PPLH IPB (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor). (b) Peta kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak skala 1:50.000 dari JICA, peta digital kontur, peta administrasi kawasan Gunung Salak, dan peta jenis tanah kawasan Gunung Salak yang diperoleh dari PPLH IPB. (c) Bahan untuk pembuatan herbarium, berupa: alkohol (70%), label, sasak bambu, koran bekas, kertas karton, kantong plastik besar (40 x 110 cm), dan kantong plastik berbagai ukuran.

2. Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan adalah, (a) Perangkat komputer, perangkat lunak Microsoft Office 2003, Erdas Imagine ver. 8.5, ArcView ver. 3.3 beserta file ekstensionnya, dan SPSS ver. 13. (b) Alat pengecekan lapangan: GPS Garmin Extrex Vista, kompas geologi, klinometer sunto, dan altimeter. (c) Alat dokumentasi berupa kamera dijital Canon Power Shoot A95 5 Mp dan baterai charger sebanyak 4 buah. (d) Peralatan inventarisasi vegetasi, berupa: Kompas, meteran panjang (50 m), meteran pendek (10 m) dari logam, pita diameter, gunting stek, dan patok-patok dari bambu atau kayu, tali plastik, cat untuk penomoran. (e) Alat tulis menulis dan (e) Peralatan jelajah lapangan.

C. Cara Kerja

Langkah-langkah yang ditempuh dalam melaksanakan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Penelitian Pendahuluan

Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan tempat pengambilan data akan dilaksanakan. Hal ini di lakukan melalui penjajakan awal ke lokasi penelitian. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pengambilan data sekunder dari berbagai instansi terkait dan penduduk di sekitar kawasan Gunung Salak.

(7)

30

2. Penentuan Area Kajian dan Model Cuplikan Vegetasi

Pengambilan sampel vegetasi dilakukan di empat tempat di zona sub pegunungan, Gunung Salak, yaitu pada lereng arah Utara, Selatan, Timur, dan Barat sehingga secara ekologi seluruh kawasan dapat terwakili. Sampling vegetasi dilakukan dengan cara systematic sampling with random start dengan teknik analisis vegetasi berupa kombinasi antara metode jalur dan metode garis berpetak. Metode jalur untuk inventarisasi vegetasi tingkat pohon dan metode garis berpetak untuk inventarisasi vegetasi tingkat semai dan anakan serta herba.

Setiap jalur yang dibuat memiliki panjang 1000 m dan lebar 20 m. Di setiap lereng tempat pengamatan vegetasi dilakukan, diambil unit contoh sebanyak 3 buah jalur. Peletakan jalur pertama pada setiap lokasi dilakukan secara acak dan peletakan selanjutnya secara sistimatis dengan jarak antara jalur adalah 200 m. Peletakan jalur dilakukan memotong tegak lurus garis kontur pada arah ketinggian.

Keterangan : Plot ukur ukuran 20 x 20 m digunakan untuk pengambilan data pohon. Plot ukur ukuran 10 x 10 m digunakan untuk pengambilan data semak dan anakan pohon. Plot ukur ukuran

5 x 5 m digunakan untuk pengambilan data herba.

Gambar 6. Desain plot penelitian.

Pada setiap jalur sampling dilakukan pembagian plot-plot pengamatan sebagai berikut: (1) plot pengamatan untuk strata pohon berukuran 20 x 20 m, (2) plot pengamatan untuk strata semak dan anakan pohon berukuran 10 x 10 m, plot ini terletak di dalam plot pengamatan untuk strata pohon dan (3) plot pengamatan untuk strata herba berukuran 5 x 5 m, plot ini terletak di dalam plot pengamatan untuk vegetasi tingkat semak dan anakan pohon (Gambar 6). Untuk memudahkan di dalam risalah penelitian maka setiap kumpulan plot pengamatan sebanyak 10

(8)

buah dijadikan 1 buah blok pengamatan. Dengan demikian terdapat 60 buah blok pengamatan dengan luas seluruh lokasi sampling adalah ± 24 ha.

3. Tehnik Pengambilan Data a. Data Vegetasi

Data vegetasi diperoleh melalui pengamatan lapangan yang dilakukan di setiap plot. Data yang diamati adalah vegetasi strata pohon, semak dan anakan pohon, serta herba. Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan pohon adalah semua tumbuhan berkayu dengan diameter batang setinggi dada (pada ketinggian 130 cm di atas permukaan tanah) ≥ 10 cm. Setiap pohon di dalam plot pengamatan diukur diameter batangnya dan kemudian diidentifikasi sampai pada tingkat spesies. Selanjutnya, pada setiap pohon yang ditemukan di dalam plot, dicatat keberadaan akar banir pada pohon tersebut.

Ketentuan untuk pengukuran diameter batang pohon dan penghitungan jumlah pohon adalah sebagai berikut: (1) Pengukuran dilakukan pada setinggi dada (130 cm di atas permukaan tanah). (2) Untuk pohon yang berbanir lebih dari 130 cm di atas permukaan tanah, pengukuran dilakukan 20 cm di atas banir. (3) Pohon yang bercabang, apabila letak percabangan lebih tinggi dari 130 cm maka pengukuran dilakukan setinggi 130 cm (pohon dianggap satu), sedangkan apabila tinggi percabangan di bawah 130 cm dari permukaan tanah maka pengukuran dilakukan terhadap kedua cabangnya (pohon dianggap dua). (4) Pengukuran diameter batang yang berada pada permukaan tanah yang miring dilakukan di sebelah atasnya searah dengan menurunnya lereng. (5) Apabila setengah atau lebih dari garis menengah pohon tersebut masuk ke dalam plot, maka pengukuran terhadap diameternya dilakukan, namun jika sebaliknya tidak dilakukan. (6) Khusus untuk bambu yang tumbuh dalam rumpun, baik pada strata pohon maupun semak, maka setiap rumpun dihitung sebagai 1 individu.

Semak pada penelitian ini adalah semua tumbuhan berkayu yang memiliki percabangan tepat di atas permukaan tanah dan tidak memiliki batang utama, sedangkan anakan pohon adalah tumbuhan pohon yang memiliki diameter batang lebih kecil dari 10 cm. Setiap individu tumbuhan semak dan anakan pohon dihitung, selanjutnya diidentifikasi sampai ke tingkat spesies.

(9)

32

Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan tumbuhan herba adalah tumbuhan yang tidak memiliki bagian tubuh yang berkayu. Pengambilan data dilakukan dengan cara menaksir persentase luas penutupan tajuk setiap tumbuhan herba yang ditemukan terhadap plot pengamatan ukuran 5 x 5m. Penaksiran dilakukan dengan mengacu pada skala Braun-Blanquet (Tabel 1). Selanjutnya dilakukan identifikasi sampai pada tingkat spesies.

Dominansi strata pohon ditentukan berdasarkan basal area, sedangkan untuk strata semak dan anakan pohon dominansi tidak dihitung. Untuk strata herba dominansi ditentukan berdasarkan luas penutupan tajuk terhadap plot pengamatan. Kerapatan diamati berdasarkan jumlah individu spesies yang dijumpai pada setiap plot pengamatan, dan hanya dilakukan untuk strata pohon serta semak dan anakan pohon. Frekuensi ditentukan berdasarkan kehadiran setiap spesies di dalam plot pengamatan.

Untuk keperluan penentuan tipe vegetasi, maka pada setiap plot ukuran 20 x 20 m dilakukan penaksiran luas penutupan tajuk dari setiap strata tumbuhan. Penaksiran dilakukan secara visual sambil mengitari plot 20 x 20 m. Penaksiran dilakukan dengan mengacu pada skala Braun-Blanquet (Tabel 1). Penaksiran terhadap ketinggian strata pohon dilakukan secara visual.

b. Data Lingkungan Abiotik

Data lingkungan abiotik yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah: (1) Koordinat geografi dari plot pengamatan dengan menggunakan perangkat

GPS (Global Positioning System).

(2) Contoh tanah yang diambil merupakan tanah terganggu yang diperoleh dari 5 titik dalam setiap plot pengamatan pada suatu blok pengamatan. Contoh tanah diambil pada kedalaman 30 cm. Contoh tanah dari setiap plot pengamatan pada blok yang sama kemudian dicampur menjadi composite sample. Berat contoh tanah adalah 1 kg (Kusmana, 1989; Notohadiprawiro, 1987).

(3) Data kualitatif berupa ada atau tidak kejadian gangguan pada plot pengamatan diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan

(4) Kemiringan lereng plot pengamatan diukur dengan menggunakan Clinometer dengan satuan persen, dan arah lereng diketahui dengan menggunakan alat penunjuk arah kompas.

(10)

(5) Ketinggian plot pengamatan dari permukaan laut diukur dengan menggunakan alat altimeter. Pengukuran dilakukan pada titik tengah plot pengamatan. c. Data Sekunder

Data sekunder curah hujan sejak tahun 2004-2008 diperoleh dari stasion Ciaten (ketinggian 947 m dpl; S -06o4321,3"; E 108o3614,1"). Data suhu udara sejak tahun 20042008 diperoleh dari stasion Citeko (ketinggian 920 m dpl; S -06o42' ; E 06o56'). Data dari Perum Perhutani Unit III, Jawa Barat dan penduduk setempat berupa berbagai aktivitas manusia di kawasan penelitian dan peristiwa alam yang berlangsung pada kawasan penelitian.

4. Analisis Data

a. Kajian Komposisi Spesies Vegetasi

Komposisi spesies yang menyusun vegetasi pada area kajian dapat diketahui dari daftar spesies yang dicatat saat pengamatan lapangan. Identifikasi langsung dilakukan di lapangan. Spesies tumbuhan yang tidak dapat diketahui namanya, diidentifikasi melalui herbariumnya di laboratorium. Proses yang dilakukan untuk kajian komposisi vegetasi adalah sebagai berikut:

(1) Menggunakan buku-buku kunci determinasi tumbuhan antara lain dari Backer & Bakhizen Van Den Brink (1963-1968); Balgooy (2001); Koorders (1922). Karakteristik bentuk batang, daun, bungan dan buah (jika ada) dari spesies yang diidentifikasi disesuaikan dengan spesies yang ada di buku kunci determinasi.

(2) Melakukan identifikasi dengan mencocokkan karakteristik spesies yang diidentifikasi dengan voucer spesimen.

(3) Memanfaatkan jasa teknisi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat.

(4) Identifikasi sampai tingkat spesies di lakukan di Herbarium Bogoriense, LIPI, Cibinong.

b. Penentuan Persentase Penutupan Tajuk Strata Vegetasi

Data dari kajian ini dimanfaatkan dalam klasifikasi vegetasi khususnya penentuan tipe vegetasi tingkat kelas. Untuk strata herba juga dimanfaatkan untuk

(11)

34

analisis vegetasi. Data dugaan persentase penutupan tajuk dari lapangan kemudian dikonversi ke skala Braun-Blanquet (Tabel 1).

Tabel 1. Kisaran penutupan tajuk Braun-Blanquet Kelas Penutupan

Tajuk

Kisaran Penutupan Tajuk (%) Rata-Rata 5 75 – 100 87,5 4 50 – 75 62,5 3 25 – 50 37,5 2 5 – 25 15,0 1 1 – 5 2,5 + < 1 0,1 r << 1 * Keterangan: * Individu muncul hanya sekali, penutupan diabaikan.

c. Kajian Kemelimpahan dan Struktur Vegetasi (1) Kemelimpahan Spesies Penyusun Vegetasi

Perhitungan kemelimpahan spesies di area kajian ditentukan berdasarkan kepentingan relatif dari spesies-spesies yang menyusun vegetasi dengan rumus-rumus berikut. Penentuan basal area pohon dihitung dengan rumus-rumus dari Mueller-Dombois & Ellenberg (1974a) sebagai berikut:

b a = (

½

d)2 π

keterangan : ba = basal area = luas penutupan; d = diameter batang setinggi dada (diukur pada ketinggian 130 cm dari permukaan tanah); dan π = 3.142875.

Langkah-langkah yang diperlukan untuk menghitung indeks nilai penting setiap spesies dilakukan dengan menggunakan serangkaian rumus-rumus berikut :

Jumlah individu suatu spesies Kerapatan Mutlak =

Luas petak contoh

Kerapatan mutlak suatu spesies

Kerapatan Relatif = x 100 % Kerapatan total seluruh spesies

Jumlah sub petak contoh suatu spesies hadir Frekuensi Mutlak =

(12)

Frekuensi mutlak suatu spesies

Frekuensi Relatif = x 100%

Jumlah frekuensi seluruh spesies

Jumlah luas penutupan suatu spesies Dominansi Mutlak = Luas petak contoh

Dominansi mutlak suatu spesies

Dominansi relatif = x 100 % Jumlah dominansi seluruh spesies

(Cox, 1978; Hardjosuwarno, 1990; dan Kusmana, 1997). Ketentuan yang digunakan dalam penentuan indeks nilai penting setiap strata adalah, untuk pohon rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Indeks nilai penting = dominansi relatif + kerapatan relatif + frekuensi relatif. Untuk strata semak dan anakan pohon, indeks nilai penting dihitung dari kerapatan relatif dan frekuensi relatif dengan rumus sebagai berikut:

Indeks nilai penting = kerapatan relatif + frekuensi relatif.

Selanjutnya untuk tumbuhan herba indeks nilai penting dihitung dari dominansi relatif dan frekuensi relatif, dan rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: Indeks nilai penting = dominansi relatif + frekuensi relatif

(2) Sebaran Kelas Diameter Pohon

Struktur tegakan horizontal dari strata pohon diketahui dengan mengkaji sebaran diameter setiap individu pohon di dalam blok pengamatan. Setiap pohon di dalam setiap blok pengamatan ditentukan kelas diameternya. Kelas diameter dibagi menjadi beberapa kelas, yaitu: kelas 10–19cm, 20-29cm, 30-39cm, 40-49cm, 50-59cm, 60-69cm, 70-79cm, dan ≥ 80 cm. Jumlah individu pohon yang terdapat pada setiap kisaran kelas diameter kemudian diplotkan pada bidang 2 dimensi.

(3) Indeks Keanekaragaman Spesies

Berbagai parameter keanekaragaman spesies dihitung dengan rumus-rumus berikut:

(13)

36

Indeks keanekaragaman spesies dihitung dengan rumus Shannon-Wienner. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

H’ = - ∑ pi ln pi (Michael, 1984).

Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman spesies; pi = n/N; n: indeks nilai penting suatu spesies; dan N: total nilai penting seluruh spesies.

(b) Indeks Kemerataan Spesies

Indeks kemerataan spesies dihitung dengan rumus dari Pilou dalam Odum H’

(1993), yaitu: e = log S

Keterangan: e = Indeks kemerataan; H’ = Indeks keanekaragaman spesies; s = Total kerapatan seluruh spesies pada suatu unit ekologi (untuk pohon dan semak) atau total dominansi seluruh spesies pada suatu unit ekologi (untuk herba).

(c) Indeks Kekayaan Spesies

Indeks kekayaan spesies dihitung dengan menggunakan rumus Menhinick dalam Ludwig dan Reynolds (1988) sebagai berikut:

n S R =

Keterangan: R = Indeks kekayaan spesies; S = Jumlah spesies; dan n = Jumlah individu seluruh spesies (untuk pohon dan semak) atau jumlah dominansi seluruh spesies (untuk herba).

d. Analisis Data Tanah

Data jenis tanah diketahui melalui operasi tumpang susun antara peta jenis tanah kawasan Gunung Salak dengan peta administrasi kawasan gunung Salak. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu-Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor. Data tanah tersebut adalah: pH, kadar air, tekstur tanah yang ditentukan dengan analisis granular dengan cara pipet; unsur N total dengan formulasi Kjedahl; unsur P dengan metode Olsen, unsur K dengan metode cobalt nitrit, unsur Al dengan metode titrasi ekstrak KCL; dan unsur C organik dengan metode kimiawi yang dikembangkan oleh Walkley dan Black. Juga unsur Ca, Na dan Mg tanah, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa.

(14)

(1) Penentuan Tipe Vegetasi Fisiognomi Struktural

Tipe vegetasi pada setiap blok pengamatan diklasifikasi dengan mengacu pada tipe vegetasi UNESCO (Mueller-Dombois & Ellenberg, 1974a; Kuchler & Zonneveld, 1988; dan Jennings, 1999), dan NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman et al., 1994 ). Klasifikasi ini bersifat hirarki yang bermakna bahwa untuk setiap komponen klasifikasi terdapat tingkat generalisasi dan pemisahan. Delineasi tipe vegetasi pada setiap tingkat dalam hirarki berdasarkan kriteria objektif yang diperoleh dari unit vegetasi.

Unit vegetasi dalam penelitian ini adalah unsur-unsur klasifikasi yang kurang lebih sama dan digunakan untuk pembentukan tipe vegetasi (Tabel 2). Pada tipe vegetasi 1 sampai 4 dari hirarki paling atas didasarkan pada kondisi fisiognomi struktural vegetasi.

Tabel 2. Hirarki sistem klasifikasi vegetasi UNESCO dan NVCS

No Tipe Vegetasi

UNESCO Tipe Vegetasi NVCS Kriteria Delineasi 1. Kelas Formasi Kelas Fisiognomi Penutupan Tajuk 2. Subkelas Formasi Subkelas Fisiognomi Morfologi

3. Kelompok Formasi Kelompok Fisiognomi Iklim Makro

4. Formasi Formasi 1. Zona Kehidupan

2. Ketinggian Tajuk

5. Aliansi Floristik, Struktural,

Fisiognomi

6. Asosiasi Floristik

(2) Penentuan Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi

Tipe vegetasi ke 5 adalah tipe vegetasi tingkat aliansi yang ditentukan berdasarkan fisiognomi, struktur, dan komposisi vegetasi. Tipe ini merupakan peralihan antara tipe vegetasi yang ditentukan secara fisiognomi struktural dan tipe yang murni ditentukan secara floristik, yaitu tipe vegetasi tingkat Asosiasi. Level unit ini dalam hirarki klasifikasi adalah level floristik. Acuan yang digunakan adalah NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman et al., 1994&1998). Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Pengelompokan blok pengamatan yang membentuk tipe vegetasi tingkat aliansi dilakukan melalui teknik ordinasi dengan Analisis Faktor. Data struktur

(15)

38

vegetasi berupa INP, dominansi, kerapatan, frekuensi, dan densitas dari spesies strata pohon dimanfaatkan untuk analisis ini. Perangkat lunak yang digunakan untuk perhitungan adalah SPSS. Langkah-langkah yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut:

a. Melakukan standarisasi terhadap data ke bentuk Z score yang diperoleh melalui rumus berikut:

σ __

X x

Z = − .

Keterangan: x = nilai data; X = nilai rata-rata; dan σ = standar deviasi

Hal ini dilakukan karena nilai data yang ada antara satu blok pengamatan dengan blok yang lain sangat bervariasi.

b. Menentukan apakah data-data yang terdapat pada setiap blok dapat diproses lebih lanjut. Dalam analisis faktor hal ini dapat di ketahui dengan mencari: (1) Nilai total Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) Measure of Sampling Adequacy,

dengan kriteria bahwa data pada blok pengamatan dapat dimanfaatkan jika nilai yang diperoleh lebih besar 0,5.

(2) Barlett’s Test of Sphericity. Hipotesis untuk signifikansi melalui uji ini adalah sebagai berikut:

Ho = Data pada blok pengamatan belum memadai untuk dianalisis lebih lanjut.

Hi = Data pada blok pengamatan sudah memadai untuk dianalisis lebih lanjut.

Kriteria angka signifikasi atau probabilitas yang digunakan adalah: Jika angka signifikasi atau probabilitas > 0.05 maka Ho diterima. Jika angka signifikasi atau probabilitas < 0.05 maka Ho ditolak.

c. Mengekstraksi data-data sehingga dapat diketahui berapa kelompok blok pengamatan vegetasi atau faktor yang dapat terbentuk. Hal ini dilakukan dengan Principle Component Analysis. Faktor-faktor yang terbentuk akan diterima jika memiliki nilai eigenvalues di atas 2,45. Langkah berikutnya adalah melakukan rotasi dengan metode Varimax.

d. Banyaknya kelompok blok pengamatan yang terbentuk dapat dilihat pada nilai eigenvalues yang lebih besar atau sama dengan 2,45, juga dapat dilihat

(16)

pada Scree Plot yang terbentuk. Untuk mengetahui di kelompok mana suatu blok pengamatan berada, dapat dilihat melalui tabel Rotate Component Matrix yang terbentuk. Suatu blok pengamatan masuk ke dalam kelompok tertentu jika blok-blok tersebut memiliki nilai komponen loading yang tertinggi pada kelompok blok pengamatan tempat blok yang bersangkutan berada.

e. Melalui langkah-langkah di atas maka akan dapat diperoleh nilai-nilai Communalities dan Eigenvalues dari masing-masing faktor atau kelompok blok pengamatan yang terbentuk. Masing-masing kelompok blok pengamatan yang terbentuk ini selanjutnya akan dikelompokkan lagi berdasarkan kesamaan fisiognomi, sehingga akan diperoleh tipe vegetasi tingkat aliansi di Gunung Salak.

f. Untuk mengetahui apakah suatu komponen yang dalam hal ini kelompok blok pengamatan yang terbentuk sudah tepat, dapat dilihat pada tabel Component Transformation Matrix. Dikatakan tepat jika matriks diagonal yang menunjukkan hubungan korelasi antara komponen mempunyai nilai di atas 0,55. (Santoso & Tjiptono, 2001; dan Santoso, 2002).

g. Nama aliansi ditentukan dengan mengacu pada NVCS (FGDC, 1997; dan Grossman et al., 1994 & 1998) melalui cara berikut ini:

(g1) Pada setiap tipe vegetasi tingkat aliansi dilakukan kegiatan berikut ini: • Menyusun Tabel Dasar. Tabel ini disusun dengan mengurutkan seluruh plot

dalam suatu blok pengamatan menjadi kolum dan spesies yang terdapat pada setiap plot menjadi baris. Spesies yang menyusun bentuk tumbuh pohon diletakkan pada kelompok baris paling atas dari tabel, diikuti oleh bentuk tumbuh semak dan terakhir herba.

• Spesies yang terdapat pada Tabel Dasar kemudian diurutkan letaknya berdasarkan frekuensi kehadiran spesies tersebut dalam plot pengamatan. Spesies dengan frekuensi kehadiran tertinggi diletakkan pada baris teratas. Pengurutan dilakukan per bentuk tumbuh.

• Langkah berikutnya adalah membentuk Tabel Konstansi. Konstansi adalah jumlah kehadiran spesies pada seluruh strata dalam plot-plot yang menyusun kumpulan blok pengamatan yang dalam hal ini merupakan tipe vegetasi

(17)

40

tingkat aliansi. Untuk itu setiap spesies yang menyusun Tabel Dasar ditentukan konstansinya. Selanjutnya spesies-spesies yang ada dipisahkan menjadi 3 kelompok berdasarkan derajat konstansi. Kelompok tersebut adalah:

(1) Kelompok spesies dengan konstansi > 60%, yang disebut kelompok spesies konstan atau spesies umum.

(2) Kelompok spesies dengan konstansi sedang, yaitu antara 10–60%. Kelompok spesies ini juga disebut spesies diferensial, yang mempunyai distribusi terbatas pada plot yang sedang dikaji. Kelompok spesies ini, merupakan spesies-spesies yang dimanfaatkan untuk penentuan nama Aliansi dan juga dalam pembentukan asosiasi dan penentuan nama asosiasi.

(3) Kelompok spesies dengan konstansi < 10% dan juga disebut spesies jarang. Kelompok spesies ini merupakan spesies yang kehadirannya dalam plot pengamatan bersifat kebetulan sehingga tidak banyak berperan dalam klasifikasi.

(g2) Inti dari pemberian nama suatu tipe vegetasi tingkat aliansi adalah spesies dominan yang dilihat berdasarkan Indeks Nilai Penting dan spesies diferensial. Jika ditemukan 2 atau lebih spesies dengan jumlah kehadiran yang sama sebagai spesies dominan atau sebagai spesies diferensial, maka yang dipilih adalah spesies yang memiliki nilai konstansi tertinggi.

(g3) Jumlah spesies yang menyusun nama tipe vegetasi tingkat aliansi minimal 3 dan minimal terdiri atas 2 spesies dari strata yang berbeda yang ada pada suatu aliansi.

(g4) Nama spesies pertama yang menyusun aliansi diberikan berdasarkan spesies yang hadir paling banyak pada blok-blok pengamatan dengan INP tertinggi pada suatu aliansi. Spesies ini harus berada pada strata teratas atau strata dengan fisiognomi paling nyata di lapangan. Jika ditemukan 2 spesies yang serupa INP nya, maka dipilih spesies yang memiliki nilai konstansi tertinggi. (g5) Spesies kedua yang menyusun nama tipe vegetasi tingkat aliansi tipe

(18)

tertinggi. Jika memungkinkan, merupakan spesies dominan, dan pada strata yang sama dengan spesies yang terpilih sebagai nama pertama suatu aliansi. (g6) Spesies ketiga yang dipilih untuk menyusun nama aliansi, harus merupakan

spesies diferensial. Jika memungkinkan merupakan spesies dominan. Spesies ini dipilih dari strata yang lebih rendah dari strata spesies yang menyusun nama pertama dari suatu aliansi tipe vegetasi.

(g7) Di antara 2 spesies yang berada pada strata yang sama diberi tanda ” – ” dalam penulisannya dan jika berada pada strata yang berbeda diberi tanda ”/” di antara kedua spesies dalam penulisannya.

(g8) Spesies dengan nama taksonomi yang kurang jelas dapat diberikan nama dalam bahasa daerah dan diletakkan dalam tanda kurung.

(g9) Pemberian nama aliansi vegetasi harus menyertakan unit vegetasi pada tingkat kelas dan sekaligus menyertakan sebutan aliansi pada awal nama dari aliansi yang ditentukan.

(3) Penentuan Tipe Vegetasi Tingkat Asosiasi.

Pada kegiatan ini spesies-spesies akan dikelompokkan berdasarkan kesamaan distribusinya pada plot pengamatan di suatu aliansi. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:

a. Menentukan Jarak kesamaan atau Indeks Similaritas antara spesies dengan metode squared euclidean distance berikut ini:

(

)

= =

=

i n i ik ij jk

x

x

D

1 2

Keterangan: Djk = Jarak atau disimilaritas antara klaster ke j dan k; xij = Nilai variabel ke i pada objek ke j; xik = nilai variabel ke i objek ke k.

b. Mengelompokkan spesies-spesies yang memiliki kesamaan jarak yang tinggi melalui analisis klaster menggunakan metode Ward sebagai berikut:

np + nr np + nr nr

dtr = dpr + dqr - dpq nt + nr nt + nr nt + nr

Keterangan: dtr merupakan jarak antara klaster t dengan klaster r, dengan mengandaikan bahwa 2 klaster p dan q akan membentuk klaster t yang merupakan merger p dan q, nt = np + nq. (Jaya, 1999).

(19)

42

Data-data yang digunakan untuk analisis adalah data biner, yaitu 1 menunjukkan kehadiran spesies pada plot pengamatan dan 0 menunjukkan ketidakhadiran. Hasil akhir analisis klaster ditampilkan dalam bentuk diagram dendogram, yang melalui diagram tersebut dapat diketahui spesies diagnostik yang membentuk tipe vegetasi tingkat asosiasi. Oleh karena dendogram yang ditampilkan merupakan visualisasi pengelompokan spesies diferensial melalui perangkat lunak SPSS, maka jarak yang ditampilkan tidak lagi dalam bentuk jarak euclidean, tetapi telah diskala ulang dengan nilai yang berkisar antara 0-25. Analisis klaster dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS.

Pemberian nama asosiasi mengacu pada NVCS (The National Vegetation Classification Standard. FGDC, 1997; dan Grossman et al., 1994 & Grossman et al., 1998), sebagai berikut:

a. Spesies yang terpilih memiliki nilai konstansi terbesar pada asosiasi yang bersangkutan. Kecuali pada asosiasi dengan jumlah spesies kurang dari 3, maka nama asosiasi minimal terdiri atas 3 spesies yang menyusun asosiasi bersangkutan.

b. Jika asosiasi terdiri atas beberapa bentuk tumbuh tumbuhan maka penulisan nama asosiasi harus menyertakan minimal 2 bentuk tumbuh yang menyusun asosiasi tersebut dan penulisannya berdasarkan urutan bentuk tumbuh pohon, semak dan herba.

c. Jika ditemukan spesies dengan konstansi tertinggi memiliki bentuk tumbuh yang sama maka penulisannya dipisahkan oleh tanda ”-”, dan jika berbeda maka penulisannya dipisahkan dengan tanda ”/”.

d. Penulisan nama asosiasi pada suatu aliansi harus menyertakan nama dari unit vegetasi tingkat kelas tempat asosiasi tersebut ditemukan.

f. Pendugaan Lokasi Georafi Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi di Zona Sub Pegunungan Gunung Salak

Pada kegiatan ini, dilakukan pendugaan lokasi geografis setiap aliansi dengan menampilkan posisi dari masing-masing aliansi tersebut di atas peta. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:

(20)

2. Membuat AOI (Area of Interest) dari lokasi penelitian pada citra Landsat dan kemudian memotong citra berdasarkan AOI.

3. Melakukan overlay data GPS dan Citra Landsat.

4. Menentukan training area berdasarkan data-data GPS pada citra landsat. Oleh karena data GPS yang ada tidak terlalu banyak akibat kondisi lapangan yang selalu tertutup awan maka training area juga ditentukan berdasarkan nilai spektral dari setiap aliansi yang dibuat. Dalam hal ini, blok-blok pengamatan dalam aliansi yang sama dicari kesamaan dan pola-pola nilai spektralnya. Acuan lain dalam pembuatan training area adalah berbagai peta kawasan Gunung Salak dalam bentuk hardcopy. Selain membuat kelas tipe vegetasi tingkat aliansi, juga dibuat kelas penutupan awan dan badan air.

5. Melakukan klasifikasi terbimbing dengan metode pengkelas kemiripan maksimum (maximum likehood classification). Dari proses ini akan diperoleh citra tipe vegetasi tingkat aliansi zona sub pegunungan Gunung Salak.

6. Menentukan nilai indeks vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dari citra Landsat. NDVI diperoleh dari rumus berikut:

NIR – RED NDVI = NIR + RED

keterangan: NIR : daerah panjang gelombang infra merah dekat (near infra red), band 4 ; RED : daerah panjang gelombang merah, band 3.

7. Transformasi data raster ke vektor.

8. Operasi tumpang susun untuk mengetahui penyebaran kelas lereng, jenis tanah, dan NDVI di aliansi zona sub pegunungan Gunung Salak.

g. Kajian Perbedaan Faktor Abiotik, Struktur Vegetasi dan Keanekaragaman Spesies, di antara Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi

Statistik U Mann-Whitney digunakan untuk menentukan faktor-faktor abiotik yang membedakan di antara aliansi. Data-data faktor abiotik dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu faktor tanah (edafik) dan topografi. Statistik ini juga

(21)

44

dimanfaatkan untuk mengetahui perbedaan struktur vegetasi serta indeks keanekaragaman, kemerataan, dan kekayaan spesies antara aliansi.

Statistik U Mann-Whitney diperoleh dengan cara-cara berikut (Daniel, 1987; Santosa, 2000):

1. Hipotesis statistik yang digunakan adalah H0 : Mx = My yang berarti tidak ada perbedaan di antara kedua populasi; H0 : Mx / My

2. Hitung statistik U Mann-Whitney dengan rumus berikut:

(

)

2 1 + − = S n n T

Keterangan: T = statistik U Mann-Whitney; S = jumlah skor rangking pada sampel pertama. Penentuan sampel mana yang menjadi sampel pertama ditentukan dengan penetapan; n = jumlah hasil pengamatan pada sampel pertama.

3. Kriteria penolakan H0 jika T ≤ Wα/2 atau T > W1 - α/2; dimana Wα/2 = nilai kritis T untuk untuk n, m, dan α/2 sesuai dengan tabel Mann-Whitney ; m = jumlah hasil pengamatan pada sampel kedua; α = tingkat signifikasi yang dalam penelitian ini 0.05; dan W1 - α/2 = nm - Wα/2.

4. Jika jumlah pengamatan n atau m lebih dari 20 maka nilai kritis T yang diperoleh dari tabel U Mann-Whitney tidak dapat digunakan, maka digunakan rumus Z normal berikut dan hasilnya dibandingkan dengan tabel distribusi normal.

(

1

)

1/2 2 / + + − = m n nm mn T Z

h. Kajian Hubungan antara Tipe Vegetasi Tingkat Asosiasi dengan Faktor Abiotik dan Preferensi Ekologi Spesies.

Pada kajian ini dilakukan 2 macam kegiatan, yaitu:

1. Kajian Hubungan antara Tipe Vegetasi Tingkat Asosiasi dengan Faktor Abiotik

Pada kegiatan ini setiap faktor abiotik yang akan diuji hubungannya dengan asosiasi vegetasi, dibagi ke dalam beberapa kelas. Untuk faktor tanah, pembagian ke dalam kelas-kelas mengikuti pedoman Laboratorium Ilmu-Ilmu Tanah IPB, sedangkan untuk faktor abiotik yang tidak memiliki pembagian kelas tersendiri

(22)

dilakukan dengan membagi secara merata nilai faktor abiotik tersebut ke dalam kelas-kelas tersendiri. Kelas-kelas dari setiap faktor abiotik dapat dilihat pada Lampiran 7.

2. Kajian Preferensi Ekologi Spesies pada Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi Uji statistik Chi-Square dilakukan untuk mengkaji hubungan antara spesies-spesies dengan berbagai faktor abiotik dalam berdistribusi di setiap aliansi. Spesies-spesies yang dipilih adalah yang memiliki nilai INP tertinggi dari urutan 1 sampai 3 pada strata pohon di seluruh aliansi. Dasarnya adalah, spesies-spesies ini merupakan spesies paling dominan, sehingga merupakan spesies yang paling baik beradapatasi dengan berbagai faktor lingkungan yang menyusun habitat dari berbagai spesies di zona sub pegunungan Gunung Salak.

Faktor abiotik yang dikaji adalah faktor-faktor yang membedakan di antara aliansi. Faktor-faktor ini selanjutnya dibagi ke dalam kelas-kelas tertentu, sehingga hasil uji Chi-Square nantinya akan menghasilkan hubungan antara penyebaran spesies dengan berbagai kategori faktor abiotik pada blok pengamatan di suatu aliansi. Untuk faktor tanah, pembagian ke dalam kelas-kelas mengikuti pedoman Laboratorium Ilmu-Ilmu Tanah IPB, sedangkan untuk faktor abiotik yang tidak memiliki kelas tersendiri, pembagian dilakukan dengan cara mebagi rata nilai faktor abiotik tersebut ke dalam kelas-kelas tersendiri. Kelas-kelas dari setiap faktor abiotik dapat dilihat pada Lampiran 7.

Kedua kajian di atas di uji dengan Statistik Chi-Square dengan cara berikut: (a) Hipotesis statistik yang digunakan adalah H0 : Faktor vegetasi/spesies yang

diamati tidak berhubungan dengan faktor abiotik; HA: Faktor vegetasi/spesies yang diamati berhubungan dengan faktor abiotik.

(b) Menghitung statistik Chi-Square dengan rumus berikut:

(

)

= ⎥⎥⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ − = k i i i i E E O 1 2 2 χ

keterangan : χ2= Chi-Square; Oi = Nilai pengamatan pada sel ke i; Ei =

Nilai harapan pada sel ke i dengan derajat bebas : (r – 1) (c – 1); dengan r : nilai baris sel; dan c : nilai kolum sel (Daniel, 1987).

(23)

46

Pola penyebaran spesies pada strata pohon di setiap aliansi dihitung dengan rumus Ip (Standardized Morisita Index of Dispersion) (Smith-Gill, 1975 dalam Krebs, 1989) dengan langkah-langkah berikut ini:

1. Menghitung Id (Indeks Penyebaran Morisita) dengan rumus berikut :

(

)

⎥⎥ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ − − =

x x x x n Id 2 2

Keterangan: n = Luas plot/kuadrat pengamatan; x = plot/kuadrat pengamatan.

2. Menghitung dua titik signifikansi dari Id dengan rumus berikut:

(

)

1 2 975 . 0 − − − =

i

i u x x n M χ

Keterangan: Mu = Indeks Keseragaman = Nilai Chi-Square tabel dengan derajat bebas n–1 dan derajat kepercayaan 97.5% pada area sisi kanan; xi = jumlah individu dalam plot/kuadrat ke i (i = 1, ...., n); n = jumlah plot/kuadrat.

(

)

1 2 025 . 0 − − − =

i

i c x x n M χ

Keterangan: Mc = Indeks Pengelompokan = Nilai Chi-Square tabel dengan derajat bebas n -1 dan derajat kepercayaan 2.5% pada area sisi kanan. 3. Selanjutnya menghitung Ip dengan menggunakan salah satu rumus berikut: Jika Id ≥ Mc > 1.0 digunakan rumus: ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − − + = c c d p M n M I I 0.5 0.5

Jika Mc > Id ≥ 1.0 digunakan rumus: ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − − = 1 1 5 . 0 c d p M I I

Jika 1.0 > Id > Mu digunakan rumus: ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − − − = 1 1 5 . 0 u d p M I I

Jika 1.0 > Mu > Id digunakan rumus: ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − + − = u u d p M M I I 0.5 0.5

Nilai Ip berkisar antara -1.0 sampai +1.0, dengan batas 95% derajat kepercayaan pada +0.05 dan -0.05. Pola acak akan menghasilkan nilai Ip = 0, pola mengelompok akan menghasilkan Ip di atas 0, dan pola seragam akan menghasilkan nilai Ip di bawah 0.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dengan struktur tersebut menggambarkan bahwa informasi tersbut adalah sesuatu yang penting.sedangkan Metrotvnews.com terlihat juga ingin menonjolkan sikap yang di sampaikan

Konfirmasi hasil pemeriksaan jaringan pada lesi di lidah didapatkan diagnosa karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik sehingga diputuskan untuk dilakukan tindakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana esensi penggunaan jenis perjanjian kerjasama pada usaha waralaba dengan melihat ciri-ciri dari perjanjian waralaba

Berdasarkan penelusuran data, dapat dikemukakan judul-judul cerita Si Bungsu Tujuh Bersaudara yang dikenal oleh masyarakat Sunda, yaitu Lutung Kasarung, Nyi Bungsu

penelitian ini peneliti hanya menggunakan data keuangan perusahaan-perusahaan makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia saja. Data keuangan perusahaan

Proses abrasi maupun akresi yang terjadi di Pantai Ladong pada umumnya terjadi karena faktor alami jika dilihat dari kondisi fisik area penelitian, karena area

Berdasarkan intensitas pengaruh ketua kelompok tani terhadap sikap petani dalam pengelolan tergolong tinggi yang artinya peran ketua kelompok tani berpengaruh 100