IMPLEMENTASI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
1 TAHUN 2008 DENGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI PADA
PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA TUBAN
SKRIPSI
Oleh
Siti Partiah
NIM. C31213102
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA
PRODI HUKUM KELUARGA
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan yang berjudul
“Implementasi Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 dengan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi Pada Proses Mediasi Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Tuban”. Adapun rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimana perbedaan proses mediasi antara PERMA No. 1 Tahun 2008 dengan PERMA No. 1 Tahun 2016. Kedua, bagaimana penerapan dan hasil mediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama Tuban. Dan Ketiga, adakah perubahan signifikan pada proses mediasi di Pengadilan Agama Tuban sebagai akibat PERMA No. 1 Tahun 2016.
Penelitian lapangan ini menggunakan metode kualitatif deskriptif untuk menjawab rumusan masalah yang ada. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode wawancara kepada hakim, hakim mediator serta observasi terhadap proses pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Tuban. Selain itu pengumpulan data lain juga peneliti menggunakan dokumentasi data dari hasil mediasi di Pengadilan Agama Tuban yang dianalisis menggunakan pola pikir induktif untuk memperjelas kesimpulan.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada beberapa perbedaan antara aturan PERMA NO. 1 Tahun 2008 dengan PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. Diantara perbedan yang signifikan adalah lama waktu mediasi dan adanya iktikad baik dan iktikad tidak baik. Selain itu peneliti juga menunjukkan bahwa Pengadilan Agama Tuan telah menerepkan proses mediasi pad aturan PERMA yang terbaru yaitu PERMA No. 1 Tahun 2016, meskipun hasil mediasi masih banyak kasus yang gagal. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi keadaan ini salah satunya adalah para pihak yang sudah terlanjur emosional dan tetap ingin bercerai dari pasangannya dan juga kurangnya kreatifitas hakim mediator.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 12
C. Rumusan Masalah ... 12
D. Kajian Pustaka ... 13
E. Tujuan Penelitian... 17
F. Kegunaan Penelitian ... 17
G. Definisi Operasional ... 18
I. Sistematika Pembahasan ... 22
BAB II TINJAUAN TENTANG MEDIASI A. Pengertian Mediasi ... 24
B. Pengertian Mediasi Dalam Hukum Islam... 29
C. Mediasi Menurut Hukum Adat ... 32
D. Mediasi Dalam Hukum Nasional... 34
E. Landasan Hukum Mediasi ... 37
F. Prinsip-Prinsip Mediasi ... 40
G. Mediasi Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016... 42
BAB III PROSEDUR DAN IMPLEMENTASI MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA TUBAN A. Deskripsi Pengadilan Agama Tuban ... 44
B. Pendapat Hakim Mediator Terhadap Perubahan-Perubahan PERMA ... 48
C. Implementasi Mediasi Di Pengadilan Agama Tuban ... 51
D. Tahapan-Tahapan Mediator Dalam Mediasi ... 58
B. Implementasi Proses Mediasi PERMA No. 1 Thaun
2016 Di Pengadilan Agama Tuban... 62
C. Hasil Mediasi Pada Tahun 2016 Di Pengadilan
Agama Tuban ... 65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ikatan yang suci dan diridhoi oleh Allah SWT adalah ikatan
perkawinan.Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1
Perkawinan merupakan ikatan yang suci dan segala bentuk perceraian harus
dihindari seperti proses mediasi, sebagaimana firman Allah dalam Alquran
surat An Nisa’ ayat 34-35 sebagai berikut:
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
1
2
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Kemudian Allah juga menjelaskannya lagi dalam firmanNya surat An Nisa’
ayat 128 sebagai berikut: bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Lembaga peradilan merupakan lambang keadilan di Indonesia dan
lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga penyelesaian sengketa yang
sangat berperan penting.Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah lembaga
tertinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan
pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan
bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.Mahkamah Agung
memiliki wewenang diantaranya memutuskan perkara Banding, kasasi dan
Peninjauan kembali.Karena tidak menutup kemungkinan jika ada banyak perkara
yang masuk di Pengadilan Tingkat Tinggi.2
2
3
Peradilan perdata bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di
antara anggota masyarakat. Sengketa yang terjadi, berbagai ragam. Adayang
berkenan dengan pengingkaran janji (wanprestasi), perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), perceraian, pailit, dan
sebagainya. Timbulnya sengketa-sengketa tersebut dihubungkan dengan
keberadaan peradilan perdata, menimbulkan permasalahan kekuasaan mengadili,
yaitu pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan
ketentuan yang diamanatkan peraturan perundang-undangan.3
Begitu pula dengan adanya pengadilan Agama di Indonesia, merupakan
lambang kedudukan Hukum Islam dan kekuatan umat Islam di Indonesia di
bidang keperdataan. Sebagai perwujudan dari lembaga peradilan, Pengadilan
Agama telah ada sebelum Belanda datang ke Indonesia. Tujuan didirikannya
lembaga peradilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh
elemen masyarakat yang berdasarkan atas undang-undang dalam kehidupan
bernegara, oleh sebab itu, lembaga peradilan tidak dapat dipisahkan dari
negara.Hukum dan negara adalah hal yang tidak akan pernah dapat dipisahkan,
karena dimana ada negara pasti memiliki hukum tersendiri. Sedangkan hukum
harus bersifat dinamis, tidak boleh statis, kaku dan harus mampu mengayomi
masyarakat. Hukum harus dapat dijadikan pembaharu dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara yang harus dibentuk dengan orientasi kepada masa depan, karena
hukum tidak boleh dibangun dengan berorientasi pada masa lalu.Dalam prosedur
beracara, masalah merupakan hal yang wajib diselesaikan jika tidak mampu
3
4
diatasi dengan sebuah musyawarah maka permasalahan itu bisa diajukan kepada
pengadilan.
Mengenai kewenangan mengadili dapat dibagi menjadi dua dalam
kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaankehakiman atribusi (atributie van
rechtsmacht) dan kekuasaan kehakiman distribusi (distributie van rechtsmacht).4
Kekuasaan kehakiman atribusi disebut kewenangan mutlak atau kompetensi
absolut, adalah kewenangan badan pengadilan di dalam memeriksa jenis perkara
tertentu dansecara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain.
Perkara perceraian bagi yang beragama Islam menjadi wewenang Pengadilan
Agama (Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975 jo. UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan), biasanya kompetensi absolut tergantung pada isi gugatan dan nilai
dari gugatan.5 Kekuasaan kehakiman distribusi disebut juga kewenangan nisbi
atau kompetensi relative. Kewenangan nisbi adalah kewenangan pengadilan
negeri memeriksa dan mengadili suatu perkara berdasarkan domisili pihak
tergugat.
Sesuai dengan kewenangan relatif dan absolutnya di negara kita ketika
masalah itu bersifat perdata maka ada dua pengadilan yang berwenang yakni
pengadilan agama dan pengadilan negeri. Lebih mudahnya jika seseorang
beragama Islam dan memiliki masaah berkaitan keperdataanya dengan Islam
maka bisa mengajukannya ke Pengadilan Agama di kabupaten atau kota
masing-masing, misalkan permasalahan tentang perceraian, hak asuh anak, kewarisan,
4
Ibid., 9.
5
5
permohonan dispensasi anak, isbat nikah dan lain sebagainya.Melihat realita yang
terjadi saat ini, banyak masyarakat yang mengajukan permasalahannya langsung
ke Pengadilan Agama tanpa bermusyawarah secara baik-baik.Dan kebanyakan
dari mereka adalah masyarakat yang kurang paham tentang hukum.Sehingga
mereka tidak tahu tahapan-tahapan yang harus dilakukannya dan mereka hanya
mengatakan keinginan hatinya saja tanpa berfikir mengenai akibatnya.
Tahap awal yang wajib dilakukan oleh lembaga pengadilan agama adalah
perdamaian baik itu masalah perceraian, kewarisan dan lain
sebgaianya.Perdamaian merupakan sistem penyelesaian perkara (problem solving)
yang sama-sama menguntungkan diantara para pihak, tidak ada yang merasa
dikalahkan atau dipecundangi karena dalam perdamaian lebih mengutamakan asas
persaudaraan yang mana egoisme atau pemaksaan kehendak akan lebih lunak,
sehingga kedua belah pihak merasa diuntungkan. Perasaan untuk saling
mengalahkan, memenangkan serta menguasai barang sengketa tiada muncul atau
kembali ke produk perdamaian yang berlandaskan asas persaudaraan.6
Peran mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa itu lebih utama dari
fungsi hakim yang menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yang diadilinya.
Apabila perdamaian dapat dilaksanakan, maka hal itu jauh lebih baik dalam
mengakhiri suatu sengketa, sebab mendamaikan itu dapat berakhir dengan tidak
6
6
terdapat siapa yang kalah dan siapa yang menang, tetap terwujudnya kekeluargaan
dan kerukunan.7
Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah, dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara,
dimana persetujuan itu harus tertulis.8 Itu terdapat dalam Pasal 1851 KUHPerdata,
sedangkan dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 R.Bg dikemukakan bahwa jika
pada hari persidangan yang telah ditetapkan kedua belah pihak yang berperkara
hadir dalam persidangan, maka Ketua Majelis Hakim berusaha mendamaikan
pihak-pihakyang bersengketa.
Menyikapi hal tersebut Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi
penyelenggara kekuasaan kehakiman selalu berusaha mencari solusi yang paling
baik demi tegaknya hukum dan keadilan. Salah satu inovasi yang dilahirkan oleh
Mahkamah Agung adalah mediasi, yang mana hal tersebut merupakan suatu
inovasi kreatif guna mengoptimalkan perdamaian para pihak yang
berperkara/bersengketa serta untuk mencegah penumpukan perkara di pengadilan
sebagai mana dalam Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2016. PERMA yang
sekarang ini berlaku sebelumnya telah mengalami perubahan yaitu dengan adanya
PERMA No.2 tahun 2003, kemudian diperbaharui dengan adanya PERMA No.1
tahun 2008 dan sekarang ini telah diperbaharui dengan diberlakukannya PERMA
No.1 tahun 2016 yaitu tentang prosedur mediasi.
7
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (jakarta: Prenada Media Group, 2005), 151.
8
7
Mediasi bagi para pihak yang berperkara dalam perceraian merupakan
tahapan pertama yang harus dilakukan seorang hakim dalam menyidangkan suatu
perkara yang diajukan kepadanya.Usaha dalam mendamaikan para pihak
dipandang adil dalam mengakhiri suatu sengketa.9Tujuan Mahkamah Agung
pengesahkan adanya PERMA No. 2 Tahun 2003, PERMA No 1Tahun 2008 dan
juga PERMA No 1 Tahun 2016 adalah semakin mengurangi angka perceraian
yang tiap tahun terus meningkat. Ada banyak perbedaan di masing-masing
peraturan yang Mahkamah Agung sah kan diantaranya. PERMA yang diatur No 2
Tahun 2003 Mediasi hanya terbatas pada pengadilan tingkat pertama (Pasal 2 ayat
1), Hakim yang memeriksa perkara baik sebagai ketua majelis atau anggota
majelis, dilarang bertindak sebagai mediator bagi perkara yang bersangkutan
(Pasal 4 ayat 4), Tidak disebutkan pihak yang berhak menjadi mediator secara
spesifik. Hanya disebutkan bahwa mediator dapat dari dalam maupun luar
pengadilan (Pasal 4 ayat 1), Setelah sidang pertama, para pihak dan/atau kuasa
hukum wajib berunding untuk menentukan mediator paling lama 1 hari kerja
(Pasal 4 ayat 1) dan lain sebagainya.10
Kemudian ada perubahan yaitu PERMA No 1 Tahun 2008 Mediasi
dilakukan pada pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan
kembali sepanjang perkara tersebut belum diputus (Pasal 21), Hakim majelis
pemeriksa perkara dapat menjadi mediator (Pasal 8 ayat 1 huruf d), Disebutkan
pihak yang berhak menjadi mediator disertai dengan latar belakang pendidikan
9 Edi As’Adi,
Hukum Acara Perdata dalam Perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia,(Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2012), 51.
10
8
atau pengalaman mediator. Pihak yang dapat menjadi mediator adalahHakim
bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutanAdvokat atau
akademisi hukum, Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai
atau berpengalaman dalam pokok sengketa, Hakim majelis pemeriksa perkara dan
gabungan antara mediator dalam butir a dan b, atau b dan d, atau c dan d (Pasal 8
ayat 1). Kemudian Setelah sidang pertama, para pihak dan/atau kuasa hukum
wajib berunding untuk menentukan mediator pada hari itu juga atau paling lambat
2 hari kerja berikutnya (Pasal 11 ayat 1), Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak
menghalangi pelaksanaan mediasi (Pasal 7) dan lain sebagainya.
PERMA yang telah dilakukan dirasa belum sepenuhnya efektif dalam
proses mediasi, dengan bukti bahwa angka perceraian masih digolongkan tinggi.
Sehingga pada tanggal 4 Februari 2016 Mahkamah Agung memperbaharuinya
yakni Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2016.11
Ada beberapa perbedaan antara PERMANo 1 Tahun 2008 dengan
PERMA No 1 Tahun 2016, diantaranya jangka waktu penyelesaian mediasi yang
lebih singkat menjadi 30 hari hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan
mediasi, adanya kewajiban bagi para pihak untuk menghadiri secara langsung
pertemuan mediasi dengan/tanpa didampingi oleh kuasa hukum, kecuali terdapat
alasan yang sah (kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam
pertemuan mediasi berdasarkan surat keterangan dokter atau dibawah
pengampuan, mempunyai tempat tinggal diluar negeri, menjalankan tugas negara,
tuntutan profesi atau peerjaan yang tidak dapat ditinggalkan), adanya aturan
11
9
tentang iktikad baik dalam proses mediasi dan akibat hukum para pihak yang
tidak beriktikad baik dalam proses mediasi (maksudnya tidak hadir setelah
dipanggil secara patut 2 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, menghadiri
mediasi pertama tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya setelah
dipanggil secara patut 2 kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, ketidakhadiran
berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan mediasi tanpa alasan sah,
menghadiri pertemuan mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak
mennaggapi resume perkara pihak lain, dan tidak menandatangani konsep
kesepakatan perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan yang sah). Dan
adanya pengakuan mengenai kesepakatan sebagian pihak (partial settlement) yang
terlibat didalam sengketa atau kesepakatan sebagian objek sengketanya.12
Mediasi merupakan salah satu bentuk alternative penyelesaian sengketa
diluar pengadilan.Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan
manfaatnya, salah satu manfaatnya adalah penyelesaian segketa secara cepat dan
relative murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut ke
pengadilan.Penyelesaian sengketa memang sulit dilakukan, namun bukan berarti
tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan.Modal utama penyelesaian sengketa
adalah keinginan dan iktikad baik para pihak dalam mengakhiri persengketaan
mereka.13
12
http://shnplaw.com/portfolio-posts/perubahan-prosedur-dan-tata-cara-mediasi-di-pengadilan-setelah-berlakunya-peraturan-mahkamah-agung-ri-perma-no-1-tahun-2016/. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2016, 09:00 PM.
13
10
Tanpa mengurangi arti perdamaian dalam segala bidang persengketaan,
makna perdamaian dalam sengketa perceraian mempunyai nilai keluhuran
tersendiri. Dengan dicapainya perdamaian antara suami istri dalam sengketa
perceraian, bukan keutuhan rumah tangga saja yang dapat diselamatkan tetapi
juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya,
agar fungsi mendamaikan dalam perkara perceraian dapat dilakukan oleh hakim
secara efektif dan optimal, maka sedapat mungkin hakim menemukan hal-hal
yang melatarbelakangi dari persengketaan yang terjadi.Khusus dalam sengketa
perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak adalah bersifat
imperative.Usaha mendamaikan para pihak adalah beban yang diwajibkan oleh
hukum kepada para hakim dalam setiap memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara perceraian.
Tindakan hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa adalah
untuk menghentikan persengketaannya dan mengupayakan agar perceraian tidak
terjadi. Apabila terjadi perdamaian dalam perkara perceraian maka perkara
perceraian itu dicabut. Terhadap hal ini ada dua pendapat dalam praktek
Pengadilan Agama, yaitu: pencabutan cukup dicatat dalam berita acara sidang dan
perkara tersebut dicoret dari daftar perkara yang ada di Pengadilan Agama, atau
pencabutan acara tersebut tidak cukup dengan dicatat dalam berita acara sidang
tetapi harus dibuat produk berupa penetapan atau putusan dan itu akan menjadi
11
sesuai dengan ketentuan yang berlaku yakni sesuai dengan yurisprudensi
Mahkamah Agung RI No. 216K/Sip/1953 tanggal 21 Agustus 1953.14
Sehingga, proses mediasi harus sangat diperhatikan dan dilakukan sesuai
dengan aturannya agar dapat terwujudnya sebuah perdamaian yang menggagalkan
sebuah perceraian. Ada beberapa kali perubahan mengenai peraturan tentang
mediasi, dan proses pelaksannnya yang juga pasti berubah dan disesuaikan dengan
peraturan yang berlaku. Dalam hal ini di Pengadilan Agama Tuban telah
diterapkan dengan baik, tetapi meskipun begitu proses berjalannya mediasi tetap
mengalami berbagai kendala, mungkin dari sisi para pihaknya ataupun mengenai
keterampilan mediatornya. Dan hasil mediasi di Pengadilan Agama Tuban
sebelum PERMA No. 1 Tahun 2016 ini berlaku masih banyak kasus yang gagal
mediasi dan setelah adanya peraturan barupun masih sama.
Dengan adanya aturan itu maka Mahkamah Agung yangmengharapakan
bahwa tidak akan terjadi penumpukan kasus perceraian di Pengadilan Agama
Tuban dan semakin rendahnya kasus yang mencapai persidangan. Tetapi realita
yang terjadi di Pengadilan Agama Tuban angka perceraian masih tetap tinggi dan
salah satu cara untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya perceraian dengan
keberhasilan dari proses mediasi. Dalam skripsi yang akan penulis lakukan bahwa
perubahan yang ada dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 ini, proses pelaksanaan
mediasinya dan hasil proses mediasiyang dilakukan yang sesuai dengan persturan
yang baru.
14
12
Maka dari itu peneliti ingin meneliti proses mediasi dan juga perubahan
yang terjadi antara sebelum dan sesudah adanya PERMANo 1 Tahun 2016.
Sehingga penulis mengangkat judul “IMPLEMENTASI PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG NO.1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR
MEDIASI DENGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN
2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI PADA PERKARA PERCERAIAN
DIPENGADILAN AGAMA TUBAN”.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari uraian diatas maka idetifikasi dan batasan masalahnaya adalah
1. Kelemahan PERMA No. 2 Tahun 2003
2. Kelemahan PERMA No. 1 Tahun 2008
3. Keterampilan dan keahlian hakim mediator
4. Kendala-kendala ketika proses mediasi di Pengadilan Agama.
C. Rumusan Masalah Penelitian
1. Bagaimanakah perbedaan dan perubahan proses mediasi antara Peraturan
Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 dengan Peraturan Mahkamah Agung
No. 1 Tahun 2016 di Pengadilan Agama Tuban?
2. Bagaimanakah penerapan dan hasil mediasi perkara perceraian di
Pengadilan Agama Tuban sebelum dan sesudah adanya perubahan
PERMA No. 1 Tahun 2016?
3. Adakah perubahan signifikan pada proses mediasi di Pengadilan Agama
Tuban sebagai akibat dari Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016?
13
Setelah penulis menelusuri ada beberapa peneliti yang mengangkat dalam
skripsinya, tetapi itu sebelum adanya PERMA No 1 Tahun 2016 sebagai
berikut:
1. Karya Rizka Zulinda Fatmawati, skripsinya yang berjudul “Efektivitas Mediasi Pada Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Bondowoso 4
Tahun Sesudah Berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008”. Hasil penelitian yang dilakukan bahwa mediasi pada perkara
perceraian di Pengadilan Agaa Bondowoso 4 Tahun sesudah berlakunya
Perma Nomor 1 Tahun 2008, Setelah berlakunya Perma Nomor 1 Tahun
2008, mediasi diterapkan pada semua perkara perceraian tanpa ada
klasifikasi khusus dan sudah ada hakim yang bersertifikat mediator. Selain
itu, Pengujian hipotesis menyimpulkan bahwa perkara perceraian sebelum
berlakunya Perma Nomor 1 Tahun 2008 dan sesudah berlakunya Perma
Nomor 1 Tahun 2008, diperoleh nilai yang tidak signifikan. Hal tersebut
dibuktikan dengan rata-rata persentase keberhasilan mediasi tiap tahun
hanya sebesar 3.10 %. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa
mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan Agama Bondowoso kurang
efektif. Meski demikian, secara tidak langsung hasil tersebut berpengaruh
terhadap prosentase penumpukan perkara yang nantinya terjadi di tingkat
banding dan kasasi. Sedangkan kendala dalam pelaksanaan mediasi adalah:
a) Terbatasnya keterampilan hakimuntuk melaksanakan mediasi, b)
Lemahnya pengetahuan para pihak yang bersengketa mengenai
14
dalam melaksanakan mediasi, d) Tingkat kerumitan problem yang harus
dipecahkan serta e) Kurangnya respon advokat dalam menerapkan
mediasi.15
2. Karya dari Mahmud Hadiriyanto dalam tesisnya yang berjudul “Mediasi Sebagai Upaya Penekanan Angka Perceraian (Analisis Pelaksanaan
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 di Pengadilan
Agama Kabupaten Kediri)”. Hasil penelitiannya pelaksanaan mediasi di
Pengadilan Agama Kabupaten Kediri, telah dilakukan sesuai dengan
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008, dan tahapan yang
dilakukan oleh mediator selama mediasi berlangsung adalah dengan
memulai sesi mediasi, merumuskan masalah dan menyusun agenda,
mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak, membangkitkan
pilihan-pilihan penyelesaian sengketa, menganalisa pilihan-pilihan
penyelesaian sengketa, proses tawar-menawar akhir, mencapai
kesepakatan formal atau tidak mencapai kesepakatan. Sedangkan fungsi
mediasi terhadap upaya penekanan angka perceraian di Pengadilan Agama
Kabupaten Kediri dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013, dapat
dikatakan bahwa walaupun upaya mediasi telah dilakukan secara
maksimal oleh hakim mediator, ternyata, hasil dari pelaksanaan mediasi
ini tidak bisa menekan angka perceraian, tingkat keberhasilan mediasi
sangat rendah. Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi oleh mediator,
guna melakukan proses mediasi antara lain disebabkan oleh kualitas dari
15
15
hakim mediator, beban kerja hakim yang begitu banyak, sehingga mediasi
dipandang hanya formalitas untuk memenuhi hukum acara saja, fasilitas
dan sarana mediasi di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri dan tingkat
kepatuhan para pihak untuk menjalani proses mediasi begitu rendah.16
3. Karya Ahmad Jauhari dalam skripsinya yang berjudul “Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Yogyakarta
Tahun 2005-2009”. Dan hasil penelitiannya mediasi di pengadilan gama Yogyakarta tidakberpengaruh pada jumlah perkara yang masuk dan tidak
dapat menekan terjadinya peningkatan angkat perceraian, secara otomatis
harapan mahkamah agung untuk mengurangi penumpukan perkara pada
pengadilan tingkat banding belum bisa terealisasi.17
4. Karya Syahdan, dengan judul, “Pengaruh Mediasi Terhadap Angka Perceraian (Studi Analisis Pasca Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2009 Tentang Prosedur mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”.
Skripsi ini menjelaskan tentang pasca perma No. 1 Tahun 2008 tantang
prosedur mediasi terhadap angka perceraian di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan setelah adanya perma No. 1 tahun 2008 tentang prosedur
mediasi.18
16 Mahmud Hadiriyanto,“Mediasi Sebagai Upaya Penekanan Angka Perceraian (Analisis
Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri)”, (Tesis--, UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 2013), v.
17 Ahmad Jauhrai,“Efektivitas Mediasi Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama
Yogyakarta Tahun 2005-2009”, (skripsi--, UIN Yogyakarta, Yogyakarta, 2010), v.
18 Syahdan, “Pengaruh Mediasi Terhadap Angka Perceraian (Studi Analisis Pasca Peraturan
16
5. Siti Rahmatul Ima, dengan judul “ Prosedur Mediasi Pengadilan Agama Bangkalan Ditinjau dari Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016
Tentang Prosedur Mediasi”. Dalam kesimpulan skripsinya bahwa yang
menjadi dasar pelaksanaan proses beracara mediasi oleh Pengadilan
Agama Bangkalan adalah menggunakan PERMA No. 1 Tahun 2008
tentang prosedur mediasi”.19
Berdasarkan penelusuran pada beberapa karya tulis tersebut, maka
penelitian yang hendak dilakukan ini belum pernah ada yang meneliti
sebelumnya.Penelitian ini mengkaji tentang implementasi mediasi yang ada di
Pengadilan Agama Tuban, baik aturan, pelaksanaanya dan juga
hasilnya.Penelitian ini ditekankan pada implementasi mediasi dan hasilnya
ketika masih menggunakan PERMA No. 1 Tahun 2008 dengan setelah
berlakunya PERMA No. 1 Tahun 2016.Sehingga penelitian penulis berbeda
dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan rumusan masalah
di atas, sehingga dapat diketahuisecara jelas dan terperinci tujuan diadakannya
penelitian ini. Adapun tujuan tersebut sebagai berikut:
19Siti Rachmatul Ima, “Prosedur Mediasi Pengadilan Agama Bangkalan Ditinjau dari Peraturan
17
1. Untuk mengetahui perbedaan dan perubahan proses mediasi antara
PERMA NO. 1 Tahun 2008 dengan PERMA NO. 1 Tahun 2016 di
Pengadilan Agama Tuban.
2. Untuk mengetahui penerapan mediasi sebelum dan sesudah adanya
PERMA No. 1 Thaun 2016 di Pengadilan Agama Tuban.
3. Untuk mengetahui perubahan hasil mediasi di Pengadilan Agama
Tuban.
F. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan berguna, baik dari
secara teoritis maupun secara praktis.
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan
wawasan serta memberikan tambahan keilmuan di bidang hukum
tentang implementasi mediasi khususnya bagi diri penulis dan
pembaca umumnya.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi yang
bernilai positif bagi masyarakat maupun Mahkamah Agung mengenai
aturan baru PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi, dan
juga bagi Pengadilan Agama lainnya, yang mana mungkin belum
semua Pengadilan Agama menggunakan PERMA ini. Selain itu bagi
masyarakat terlebih para pihak yang bersangkutan mengenai manfaat
menyelesaikan masalah menggunakan mediasi.
18
Untuk mempermudah pemahaman terhadap istilah kunci dalam penelitian
ini, maka penulis memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan kegiatan yang
direncanakan dan dilaksanakan dengan serius degan mengacu pada
norma-norma tertentu mencapai tujuan kegiatan. 20
2. Prosedur merupakan rangakain tugas-tugas yang saling berhubungan
berupa urutan waktu dan tata cara tertentu untuk melaksanakan
pekerjaan yang dilakukan berulang-uang.21
3. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator.
4. PERMA No. 1 Tahun 2008 adalah peraturan Mahkamah Agung
tentang prosedur mediasi di Pengadilan, dan ini hasil revisi dari
PERMA sebelumnya yaitu PERMA No. 2 Tahun 2003.
5. PERMA No. 1 Tahun 2016 adalah bentuk peraturan Mahkamah Agung
yang memuat tentang ketentuan hukum formil mengenai prosedur
mediasi di pengadilan, dan merupakan revisi dari PERMA No. 1
Tahun 2008 yang belum optimal dalam memenuhi kebutuhan
pelaksanaan mediasi yang lebih maksimal.
H. Metode Penelitian
20
Aris Kurniayawan, (Guntur Setiawan, http://www.gurupendidikan.com/9-pengertian-implemetasi-menurut-para-ahli/), diakses pada tanggal 08 Oktober 2016.
21
19
Agar tercipta penulisan skripsi itu secara sistematis jelas dan benar, maka
perlu dijelaskan tentang metode penelitian sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
Dengan adanya penelitian ini maka data yang diperlukan adalah data
yang terkait dengan sumber data primer dan sumber data sekunder
yang menjelaskan mengenai implementasi PERMA No. 1 Tahun 2008
dan PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Pengadilan Agama Tuban.
2. Sumber data
Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Sumber primer
Yaitu sumber data yang diperoleh langsung dari objek penelitian,
yakni PERMA No. 1 Tahun 2008, PERMA NO.1 Tahun 2016 dan
Mediator yang ditunjuk oleh pimpinan Pengadilan Agama Tuban.
b. Sumber sekunder
Yaitu data yang diperoleh dan dikumpulkan dari
dokumen-dokumen yang ada di Pengadilan Agama Tuban yang berupa
laporan hasil mediasi dan data yang berasal dari bahan pustaka
seperti buku-buku, artikel dokumen peraturan-peratutan dan yang
lainnya. Adapun dalam penelitian ini Penulis menggunakan data
sekunder berupa buku-buku yang terkait dengan pembahasan
tesebut, diantaranya sebagai berikut:
1) Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
20
2) Hukum Acara Perdata dalam Perspektif Mediasi (ADR) di
Indonesia.
3) Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama
3. Teknik pengumpulan data
Untuk memperoleh data tersebut menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Wawancara
Dalam hal ini penulis mengajukan pertanyaan secara lisan
untuk mendapatkan keteragan dari informan yaitu hakim mediator
Pengadilan Agama Tuban yang sudah ditunjuk, untuk
mendapatkan informasi terkait dengan kenyataan yang terjadi yaitu
terkait implementasi mediasi sebelum dan sesudah adanya PERMA
No. 1 tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan Agama
Tuban.
b. Dokumentasi
Yaitu penulis melakukan penelitian dengan megumpulkan
data yang berkaitan denagn mediasi di Pengadilan Agama Tuban,
misalkan data perkara yang di mediasi, laporan hasil mediasi yang
sebelum dan sesudah adanya PERMA No. 1 Tahun 2016, data
yang berhasil di mediasi serta undang-undang yang digunakan,
kemudian dipelajari oleh penulis, menelaah dan menganalisa
data-data yang telah diperoleh sehingga penelitian ini dapat
21
4. Teknik pengolahan data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh dari
hasil wawancara hakim mediator Pengadilan Agama Tuban dan
dokumentasi mengenai proses mediasi dengan memilih lalu
menyeleksi data tersebut dari berbagai segi yang meliputi
keselarasan, kesesuaian, keaslian, kejelasan serta relevansi antara
aturan dengan proses dilakukannya mediasi dan hasilnya di
Pengadilan Agama Tuban.
b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data dari Pengadilan
Agama Tuban sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh
gambaran yang sesuai dengan prosedur dan pelaksanaan di
Pengadilan Agama Tuban.
5. Teknis analisis data
Terniks analisis yang digunakan adalah sebgai berikut:
Teknis Deskriptif
Pada teknik peneliti menggambarkan prosedur dan pelaksanaan
mediasi di Pengadilan Agama Tuban. Peneliti berusaha menguraikan
prosedur yng digunakan di Pengadilan Agama Tuban, setelah tahu
prosedur yang dipakai maka proses pelaksanaan mediasi sesuai dengan
kenyataan yang dad an dibandingakan dengan sebelum menggunakan
22
Kemudian dianalisis menggunakan metode berfikir induktif
dengan menganalisa data dari fakta yang ada di lapangan kemudian
ditarik kesimpulan berdasarkan hukum yang menjadi dasarnya.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini mengurai tentang latar belakang
masalah, identifikasi dan Batasan Masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode
penelitian serta sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan kerangka konseptual yang terdiri atas tinjauan
umum tentang mediasi yang meliputi pengertian mediasi menurut Islam, adat
dan nasional, landasan hukum mediasi, penjelasan mengenai PERMA No. 1
Tahun 2008 dan PERMA No. 1 Tahun 2016.
Bab ketiga merupakan bab yang memuat hasil penelitian. Bab ini terdiri
atas deskripsitentang Pengadilan Agama Tuban, pemaparan titik perbedaan
antara PERMA No. 1 Tahun 2008 dengan PERMA No. 1 Tahun 2016 dan
analisisnya.
Bab keempat merupakan kajian analisis atau jawaban atas rumusan
masalah dalam penelitian ini. menafsirkan dan mengintegrasikan praktik
dengan peraturan yang berlaku. Yakni perbedaan PERMA No. 1 Tahun 2008
dengan PERMA No. 1 Tahun 2016 dan prosesperubahan praktek mediasi
23
Bab kelima merupakan penutupyang terdiri dari kesimpulan dan saran
yang mana bisa dibuat untuk koreksian dan untuk lebih baik praktek
kedepannya.Karena kesimpulan dan saran bisa di ambil dari hasil analisis data
BAB II
TINJAUAN TENTANG MEDIASI
A. Pengertian Mediasi
Mediasi merupakan istilah yang popular dan banyak para ilmuan
yang berusaha mengungkapkannya. Secara etimologi, istilah mediasi
berasal dari bahasa latin, mediare yang berarti berada ditengah. Makna ini
menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator
dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa
antara para pihak. Makna kata “berada di tengah“ juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan
sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang
bersengketa secara adil dan sama, sehungga menumbuhkan kepercayaan
(trust) dari para pihak yang bersengketa.1
Dalam buku yang telah dikutip oleh Syahrizal Abbas dalam
bukunya Colins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa
mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua belah pihak yang
bersengketa guna menghasilkan kesepatakan (agreement).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti
sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu
perselisihan sebagai penasihat.2Dalam hal ini mengandung tiga unsur
penting.Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan
1
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP, 2011), 4.
2
25
atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang
terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari
luar pihak yang bersengketa.Ketiga, pihak yang terlibat dalam
penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak
memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.Dari
penjelasan diatas, maka mediasi secara etimologi lebih menekankan pada
keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk
menyelesaikan perselisihannya.3
Kemudian pengertian mediasi secara terminologi menurut J.
Folberg dan A. Taylor dalam bukunya “Mediation” lebih menekankan pada upaya yang dilakukan mediator dalam menjalankan kegiatan
mediasi.Mediasi dapat membawapara pihak mencapai kesepakatan tanpa
merasa ada pihak yang menang atau pihak yang kalah (win-win solution).4
Garry Gospater memberikan definisi mediasi sebagian proses
negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak
(imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk
membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.5
Dalam mediasi, penyelesaian perselisihan atau sengketa lebih
banyak muncul dari keinginan dan inisiatif para pihak, sehingga mediator
berperan membantu mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan.Sehingga
3
Dandy Sugono, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi.Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada tanggal 29 November 2016, pukul 13:35 WIB.
4Edi As’Adi,
Hukum Acara Perdata dalam Perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia,(Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2012), 3.
5
26
mediasi ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga unsur penting yang saling
terkait satu sama lain, yakni unsur itu berupa ciri mediasi, peran mediator
dan kewenangan mediator. Oleh karenanya, mediator harus memiliki skill
yang dapat memfasilitasi dan membantu para pihak dalam penyelesaian
sengketa para pihak.
Kemudian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dijealskan
mengenai bentuk-bentuk perikatan, mediasi merupakan salah satu bentuk
perikatan.Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 1851
KUHPerdata yang berbunyi, “perdamaian adalah suatu persetujuan yang
berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan sutau
barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa
pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara, persetujuan ini
hanya mempunyai kekuatan hukum, bila dibuat secara tertulis”.6
Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan juga tentang
mediasi yang terdapat dalam pasal 143-145 KHI.Pasal 143 ayat (1) bahwa
dalam pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan
kedua belah pihak.Ayat (2) bahwa selama perkara belum diputuskan,
usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.Dalam pasal 144 bahwa apabila terjadi perdamaian, maka
tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau
alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh
penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.Dan pasal 145 bahwa
6
27
apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian
dilakukan daam sidang tertutup.7
Peranan hakim sangat urgent dalam mendamaikan para piahk
sebagaimana telah tercantum bahwa hakim berkewajiban untuk
mendamaikan suamu istri yang hendak bercerai ssuai pasal 65 dan 82 UU
No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 39 UU No. 1 Thaun 1974 jo. Pasal 3`1 PP No.
9 Tahun 1975 bahwa ayat (1) hakim yang memeriksa gugatan perceraian
berusaha mendamaikan kedua pihak, ayat (2) selama perkara belum
diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.8
Dari pasal-pasal tersebut bisa disimpulkan bahwa mediasi telah
diwajibkan dan mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian
sengketa dengan adanyapihak ketiga yang bertugas untuk mendamaikan
para pihak yang bersengketa baik didalam pengadilan atau diluar
pengadilan dan mediasi adalah salah satu hal yang harus dilakukan dalam
setiap sidang agar para pihak yang bersangkutan sebagaimana asas-asas
cepat, sederhana dan biaya murah. Makhamah Agung sendiri telah
memberkan aturan dalam prosedur pelaksanaan mediasi yang mana telah
disahkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003,
kemudian diperbaharui dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2008 dan telah direvisi lagi dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2016.
7
Kompilasi Hukum Islam.diterjemahkan Soesilo dan Pramudji, Rhedbook Publisher, Cet. 1 Juli2008.
8
28
Dalam setiap peraturan memiliki kekurangan sehingga peraturan
mengenai prosedur mediasi ters direvisi dengan harapan aturan yang baru
itu bisa efektif dan mampu mengurangi setiap kasus perceraian yang
diajukan. Salah satunya adalah pada PERMA No.2 Tahun 2003 bahwa
masih belum ada penjelasan yang jelas tentang pemilihan mediator dan
batas melakukan mediator, kemudian dalam PERMA No. 1 Tahun 2008
masih dirasa belum efektif sehingga direvisi dengan memperjelas batas
waktu mediasi dan juga prosedur mediasinya yang menggunakan metode
kaukus. Dan yang terakhir direvisi lagi menjadi PERMA No. 1 Tahun
2016 yang memperjelas batas waktu melakukan mediasi dan prosedur
mediasi itu sendiri.
Dalam pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
dijelaskan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan
dibantu oleh mediator.9Dengan adanya aturan ini maka mediasi wajib dan
harus selalu ditawarkan para pihak setiap pemeriksaan dalam persidangan.
B. Pengertian Mediasi Dalam Hukum Islam
Dalam Islam dijelaskan juga tentang Mediasi, sejak zaman Nabi
Muhammad dalam sejarahnya cukup banyak menyelesaikan konflik yang
terjadi dikalangan sahabat dan masyarakat dalam bentuk
9
29
negosiasi,mediasi, adjudikasi, rekonsiliasi arbitrase dan penyelesaian
sengketa lembaga peradilan (litigasi).10
Dalam Al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat 70 Allah menegaskan yang artinya “ tidak kami utus engkau wahai Muhammad kecuali untuk menjadi
rahmat bagi sekalian alam “.Ayat ini mengungkapkan bahwa kehadiran
Nabi Muhammad melalui risalah islam bertujuanmewujudkan damai,
menyelesaikan konflik atau sengketa dan menjadikan manusia sebagai
mahkluk yang senantiasa membangun dan menciptakan damai
(peace-maker).
Sebagaimana menurut Mohammed Abu Nimer dalam bukunya
yang telah di kutip oleh Syahrizal Abbas bahwa beliau meyakini Islam
telah meletakkan prinsip dan nilai damai dalam Al-Qur’an yaitu penerapan prinsip dan nilai damai yang diderivasi dari tradisi ajaran Islam, akan
mampu menyelesaikan konflik, baik dalam lapangan sosial maupun
politik. Kemudian beliau merumuskan ada 12 prinsip penyelesaian
sengketa (konflik) yang ada dalam Al-Qur’an dan dipraktikkan Nabi
Muhammad, yakni Perwujudan keadilan, Pemberdayaan sosial,
Universalitas dan martabat kemanusiaan , Prinsip kesamaan, Melindungi
kehidupan manusia, Perwujudan damai, Pengetahuan dan kekuatan logika,
Kreatif dan inovatif, Saling memaafkan, Tindakan nyata, Pelibatan melalui
tanggung jawab individu, Sikap sabar, Tindakan bersama (collaborative)
10
30
dan solidaritas, Inklusif dan proses partisipatif dan Pluralisme dan
keragaman.
Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad menawarkan proses penyelesaian sengketa di pengadilan melalui dua cara, yaitu pembuktian
fakta (adjudikatif) dan penyelesaian sengketa melalui perdamaian (islah
atau Sulh). Sulh adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para
pihak bersepakat untuk mengakhiri perkara mereka secara damai.11Sulh
memberikan kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam
menyelesaikan sengketa, dan mereka tidak lagi terpaku secara ketat
padapengajuan alat bukti. Anjuran Sulh mengantarkan pada ketentraman
hati, kepuasan dan memperkuat tali silaturarahmi para pihak yang
bersengketa. Oleh karenanya, hakim harus senantiasa mengupayakan para
pihak yang bersengkata untuk menepuh jalur damai (islah), karena jalur
damai akan mempercepat penyelesaian perkara dan mengakhirinya atas
kehendak kedua belah pihak. Sulh dilakukan secara sukarela, tidak ada
paksaan dan hakim hanya memfasilitasi para pihak agar mereka mencapai
kesepakatan-kesepakatan demi mewujudkan kedamaian. Sulh adalah
kehendak para pihak yang bersangkutan untuk membuat keseptakan
damai.12
Perkara atau sengketa yang dapat ditempuh penyelesaiannya
melalui jalur sulh adalah perkara yang di dalamnya mengandung hak
31
(haq Allah).Dalam kategorisasi hukum, perkara atau sengketa yang dapat
diajukan upaya damai atau sulh adalah perkara yang berkaitan dengan
hukum privat, terutama yang berkaitan dengan harta dan keluarga
(mu’malah wa ahwal al-syakhsiyah).
Dalam islah keberadaan pihak ketiga amat penting, guna
menjembatani para pihak yang bersengketa. Para pihak umumnya
memerlukan bantuan pihak lain untuk mencari solusi tepat bagi
penyelesaian sengketa mereka. Pihak ketiga amat berperan melakukan
fasilitas, negosiasi, mediasi, dan arbitrase diantara para pihak yang
bersengketa. Fasilitas, negosiasi, mediasi dan arbitrase merupakan bentuk
teknis penyelesaian sengketa dengan menggunakan pola sulh. Pola sulh
dapat dikembangkan dalam alternative penyelesaian sengketa diluar
pengadilan seperti mediasi (wastha), arbitrase (tahkim), dan lain-lain.13
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa Sulh telah diterapkan
sejak zaman Rasulullah dan manfaat dari Sulh itu sendiri sangat banyak
salah satunya untuk tetap menjaga silaturahmi diantarapara pihak dan
menyelesaikan masalah dengan jalan yang damai sehingga tidak ada
penyesalan.
C. Mediasi Menurut Hukum Adat
Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri
dalam menyelesaiakn sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas
dan unik bila dibandingkan dengan sistem hukum lain. Hukum adat
13
32
terbangun dan tersususn dari nilai, kaidah, dan norma yang disepakati dan
diyakini kebenarnnya oleh komunitas masyarakat adat. Hukum adat
Indonesia merupakan penjelmaan dari kebudayaan Indonesia. Soedarsono
menyebutkan dalam bukunya bahwa tata hukum adat Indonesia berbeda
dengan tata hukum lainnya yang ada di Indonesia.14Kemudian dalam
bukunya Soepomo, disebutkan bahwa hukum adat merupakan penjelmaan
dan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.15
Hukum adat suatu sistem yangbersandar pada alam pikiran bangsa
Indonesia memiliki konsepsi-konsepsi dasar, unsur, bagian, konsistensi
dankelengkapan yang kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang
terangkai.Sebagaimana menurut Van Vollenhoven yang dikutip oleh
Syahrizal Abbas dalam bukunya yang menyebutkan konstruksi
pembidangan hukum adat berupa, bentuk masyarkat hukum adat, badan
pribadi, pemerintahan dan peradilan, hukum keluarga, perkawinan, waris,
tanah, utang piutang, delik dan sistem sanksi.16
Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan
pada pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Pandangan
hidup ini dapat diidentifikasikan dari ciri masyarakat hukum adat yang
berbeda dengan masyarakat modern. Masyarakat adat adalah masyarakat
yang berlabel agraris, sedangkan masyarakat modern cenderung berlabel
14
Soedarsono, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, (yogyakartta: FH UII, 1998), 5.
15
Soepomo,Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, (yogyakartta: FH UII, 1998), 6.
16
33
industri.Pelabelan ini didasarkan pada pandangan dan filsafat hidup yang
dinaut masing-masing masyarakat.17
Masyarakat hukum adat bersifat komunal, yakni bahwa setiap
individu “wajib” menjunjung tinggi hak sosial dalam
masyarakatnya.Masyarakat hukum adat memiliki sifat demokratis yang
mana kepentingan bersama lebih diutamakan, tanpa mengabaikan
ataumerugikan kepentingan perorangan. Ciri masyarakat hukum adat di
atas menggambarkan pandangan hidup mereka, yang nantinya akan
tercermin dalam filosofis penyelesian sengketa yang terjadi di kalangan
masyarakat hukum adat.18
Masyarakat adat mengutamakan jalan musyawarah mufakat ketika
terjadi sebuah permasalahan, karena dengan kedamaian akan kedua belah
yang bersengketa. Bentuk-bentuk yang digunakan adalah mediasi,
negosiasi, fasilitasi dan arbitrase.19
Mediasi yang dilakukan oleh masyarakat adat memiliki kekuatan
dalam penyelesaian sengketa mereka. Kekuatan itu akan menunjang
terwujudnya penyelesaian melalui mediasi yakni jika para pihak memiliki
keinginan untuk menyelesaikan sengketa denganjalan mediasi, kemudian
jika terdapat masalah dalam lingkungan adat mereka semua masyarakat
adat ikut merasaknnya sehingga masalah yang terjadi harus segera
diselesaikan dengan jalan musyawarah. Dan mediasi yang dilakukan itu
34
penyelesaian sengketa tersebut. Sehingga proses yang harus dilakukanpun
mempunyai beberapa tahap diantaranya keterbuakaan antara para pihak
kepada pihak ketiga (mediator), adanya rasa saling percaya terhadap pihak
ketiga, dan adanya waktu untuk bertemu sehingga dnegan adanya
tahap-tahap tersebut masalah yang terjadi bisa diatasi dengan baik.20 Karena
dalam masyarakat adat tidak ada perbedaan antara masalah public atau
private maka dalam proses penyelesaian sengketanya dilakukan dengan
proses yang sama.
D. Mediasi Dalam Hukum Nasional
Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktikkan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, masyarakat mengupayakan
penyelesaian sengketa mereka secara cepat dengan tetap, menjunjung
tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan
individual. Musyawarah mufakat merupakan falsafah masyarakat
Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian
sengketa.21 Musyawarah mufakat sebagai nilai filosofi bangsa dijelmakan
dalam dasar negara yaitu pancasila. Prinsip musyawarah mufakat
merupakan nilai dasar yang digunakan pihak bersengketa dalam mencari
solusi terutama di luar jalur pengadilan. Nilai musyawarah mufakat
terkonkretkan dalam sejumlah bentuk alternatif penyelesaian sengketa
seperti mediasi, arbitrase, negosiasi, fasilitasi dan berbagai bentuk
pengyelesaian sengketa lainnya.
20
Ibid, 250.
21
35
Dalam sejarah perundang-undangan Indonesia prinsip musyawarah
mufakat yang berujung damai juga digunakan di lingkungan peradilan,
terutama dalam penyelesaian sengketa perdata.Ada beberapa peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar yuridis bagi penerapan mediasi
di pengadilan maupun di luar pengadilan. Mediasi sebagai institusi
penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh hakim (aparatur negara) di
pengadilan atau pihak lain dari luar pengadilan, sehingga aturannya
memerlukan aturan hukum.22
Dalam pasal 24 UUD 1945 ditegaskan bahwa kekuatan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya yakni umum, agama, militer dan tata usaha negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 4 ayat dan pasal 5 ayat 2 UU
No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan peradilan
dilakukan dengansederhana, cepat dan biaya ringan. Penerapan asas
tersebut mengalami kendala dalam prkatik peradilan, karena banyaknya
perkara yang masuk, terbatasnya tenaga hakim, dan minimnya dukungan
fasilitas bagi lembaga peradilan terutama tingkat pertama yang wilayah
hukumnya meliputi kabupataen/kota. Bahkan penumpukan perkara tidak
hanya terjadi pada tingkat pertama dan banding tetapi juga tingakat kasasi
di Mahkamah Agung. Sehingga ada proses yang harus dilakukan yakni
salah satunya adalah tahap mediasi.
22
36
Mediasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung dari no 2
tahun 2003, kemudian direvisi no 1 tahun 2008 dan direvisi lagi no 1 tahun
2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. Dalam aturan tersebut ada
beberapa perbedaan diantaranya sebagai berikut:
No. Jenis Perbedaan Implementasi
PERMA No. 1 Tahun
Belum ada aturannya Pasal 6 para pihak wajib menghadiri pertemuan
Ada tapi kurang detail Pasal 7 dijelaskan tentang iktikad baik dan tidak baik 7. Pertemuan para pihak Pasal 1 ayat 4 bahwa
37
E. Landasan Hukum Mediasi
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan
adanya perdamaian akan terhindar dari putusnya perpecahan silaturrahmi
(hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang
bersengketa akan dapat diakhiri.23 Adapun dasar hukum yang menegaskan
tentang perdamaian dapat dilihat dalam Al-quran surat Al Hujuraat ayat 10
yang berbunyi :
Artinya ”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.24
Mediator mempunyai Landasan hukum mediasi yang dijadikan pedoman
dalam melaksanakan tugasnya di Pengadilan agama yaitu :
a. HIR Pasal 130 dan Rbg Pasal 154 telah mengatur lembaga perdamaian.
Hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara
sebelum perkaranya diperiksa.
b. SEMA No. 1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan lembaga perdamaian
dalam Pasal 130 HIR/154bg.
c. PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di Pengadilan.
d. PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan.
23
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. 3, ( Bandung:Alumni, 1996), 16.
24
38
e. PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di Pengadilan.
f. Mediasi atau APS di luar pengadilan diatur dalam Pasal 6 UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
g. Pasal 3 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.25
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. Penyempurnaan tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena
dalam perma No. 2 tahun 2003 ditemukan beberapa masalah, sehingga
tidak efektif penerapannya di pengadilan. Mahkamah Agung
mengeluarkan perma No. 1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat,
mempermurah, dan mempermudah penyelesaian sengketa serta
memberikan akses yang lebih besar kepada pencari keadilan. Mediasi
merupakan instrument efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di
pengadilan, dan sekaligus menyelesaikan sengketa, di samping proses
pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif). Kehadiran PERMA NO. 1
Tahun 2008 dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban,
kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan
suatu sengketa perdata.
Mediasi mendapat kedudukan penting dalam PERMA Nomor 1
Tahun 2008, karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti
25
39
prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar
atau enggan menerpakan prosedur mediasi, maka putusan hakim batal
demi hukum (pasal 2 ayat 3 PERMA).26
Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib
menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan
perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk
perkara yang bersangkutan.
Pada prinsipnya mediasi di lingkungan pengadilan dilakukan oleh
mediator yang berasal dari luar pengadilan. Namun, mengingat jumlah
mediator yang sangat terbatas dan tidak semua pengadilan tingkat pertama
tersedia mediator, maka PERMA ini mengizinkan hakim menjadi
mediator.
Pada tahap pramediasi, hakim mewajibkan para pihak untuk
terlebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 7 ayat 1 PERMA Nomor 1
Tahun 2008). Hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling
lama 2 (dua hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator
baik yang ada di dalam daftar atau diluar daftar pengadilan, termasuk
biaya yang mungkin timbul (Pasal 11 ayat 1 PERMA Nomor 1 Tahun
2008).
Tahap mediasi dimulai lima hari kerja setelah pemilihan atau
penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan resume perkara
kepada satu sama lain dan kepada mediator (Pasal 13 ayat 1 PERMA
26
40
Nomor 1 Tahun 2008). Baik mediasi itu berhasil ataupun tidak maka wajib
ada laporan (Pasal 14 PERMA Nomor 1 Tahun 2008).27
F. Prinsip-Prinsip Mediasi
Dalam berbagai literatur ditemukan sejumlah prinsip mediasi.
Prinsip dasar (Basic Principles) adalah landasan filosofis dari
diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip-prinsip atau filosofi ini
merupakan kerangka kerja yang harus dikethaui oleh mediator, sehingga
dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang
melatarbelakangi lahirnya institusi mediasi. David Spencer dan Michael
Bragon merujuk pada pandangan Ruth Carlton tentang lima prinsip dasar
mediasi. Lima prinsip ini dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi.
Prinsip pertama mediasi adalah kerahasiaan atau Confidentiality.
Kerahasiaan yang dimaksudkan disini adalah bahwa segala sesuatu yang
terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan
pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau pers oleh
masing-masing para pihak. Dan mediator pun juga harus menjaga
kerahasiaan dari isi mediasi tersebut.
Prinsip kedua, volunteer (sukarela). Masing-masing pihak yang
bertikai datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan mereka sendiri
secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain
atau pihak luar. Prinsip sukarela ini dibangun atas dasar bahwa orang akan
27
41
mau bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan
mereka.
Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini
didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi
sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasikan masalah
mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan.
Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran
seorang mediator hanya menfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap
menjadi milik para pihak. Mediator hanyalah berwenang mengontrol
proses berjalan atau tidaknya mediasi.
Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasanya
solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan
standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena
itu, hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua
belah pihak, yang terkait erat dengan konsep pemberdayaan
masing-masing pihak. Itulah prinsip-prinsip mediasi yang harus dimiliki dan
dilakukan oleh seorang mediator.28
G. Mediasi Dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2016
Adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang
prosedur mediasi di pengadilan merupakan bentuk pembaharuan dari
peraturan Mahkamah Agung sebelumnya, yakni peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
28
42
Penyempurnaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam
peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur
mediasi di pengadilan tersebut ditemukan beberapa masalah, sehingga
perlu dikeluarkan PERMA baru dalam rangka mempercepat dan
mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih
luas kepada pencari keadilan.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang
prosedur mediasi di pengadilan ini memiliki tempat istimewa karena
proses mediasi menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dari proses
berperkara di pengadilan, sehingga hakim dan para pihak wajib mengikuti
prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi, apabila para pihak
melanggar atau tidak menghadiri mediasi terlebih dahulu, maka putusan
yang dihasilkan batal demi hukum dan akan dikenai sanksi berupa
kewajiban membayar biaya mediasi, hal ini disebutkan dalam pasal 22
ayat 1 dan ayat 2 peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016
tentang prosedur mediasi di pengadilan.
Dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan tingkat pertama, para
pihak harus beriktikad baik dalam proses mediasi, namun mengingat tidak
semua para pihak beriktikad baik dalam proses mediasi, maka dalam pasal
22 ayat 1 dan ayat 2 PERMA ini mempunyai akibat hukum bagi para
pihak yang tidak beriktikad baik dalam proses mediasi.
Hakim atau kuasa hukum dari pihak-pihak yang berperkara
43
dalam proses mediasi, dengan adanya kewajiban menjalankan mediasi,
maka hakim dapat menunda persidangan perkara agar dapat terjalin
komunikasi antara para pihak yang berperkara.
Adapun dalam proses mediasi di Pengadilan Agama menurut
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 sebagai berikut :
a. Tahap Pra mediasi
Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak
hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.
Hakim menunda proses persidangan perkara untuk memberikan
kesempatan proses mediasi lama 30 hari kerja. Hakim
menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak yang
bersengketa. Para pihak memilih mediator dari daftar nama
yang telah tersedia pada hari sidang pertama atau paling lama 2
hari kerja berikutnya. Apabila dalam jangka waktu tersebut
dalam point 4 para pihak tidak dapat memilih mediator yang
dikehendaki. Ketua majelis hakim segera menunjuk hakim
bukan pemeriksa pokok perkara untuk menjalankan fungsi
mediator
b. Tahap proses mediasi
Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak
menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak
dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator