KISAH PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD DENGAN
ZAYNAB BINT JAHSH<<<<<<IN DALAM AL-
QUR’A
<N
(Studi Analisis Penafsiran Ibn Kathi<<<<r, al-Mara<ghi, dan Hamka
Pada Surat al-Ahz>ab ayat 36-40)
Skripsi:
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
MOCH. AGUS IMAM SANTOSO NIM : E03212027
JURUSAN TAFSIR HADITH
FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
KISAH PERNIKAHAN NABI MUHAMMAD DENGAN
ZAYNAB BINT JAHSH<IN DALAM AL-
QUR’A
<N
(Studi Analisis Penafsiran Ibn Kathi<r, al-Mara<ghi, dan Hamka
Pada Surat al-Ahz<<<<<<<<<ab ayat 36-40)
Skripsi
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
MOCH. AGUS IMAM SANTOSO NIM : E03212027
JURUSAN TAFSIR HADITH
FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAKSI
Nama : Moch. Agus Imam Santoso Nim : E03212027
Judul : Kisah Pernikahan Nabi Muhammad dan Zaynab bint Jahsh<in dalam al-Qur’a<n ( Studi Analisis Penafasiran Ibn Kathi<r, al-Mara<ghi, dan Hamka pada surat al-Ahz<ab ayat 36-40 )
Pendahuluan, Seorang mufasir dalam menafsirkan ayat al-Qur’a<n tidak terlepas dari kaidah tafsi<r, kaidah diartikan sebagai asas atau pondasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan rumusan asas-asas yang menjadi hukum, aturan tertentu. Tafsi<r yaitu penjelas tentang firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah tentang surat al-Ahz<ab ayat 36-40 ketika dipahami melalui Qas}as} al-Qur’a<n dan Asba<b al-Nuzu<l oleh Ibn Kathi<r, al-Mara<ghi, dan Hamka.
Data yang ditemukan bahwa maksud dari surat al-Ahz<ab ayat 36-40 bila dipahami melalui teori Qas}as} al-Qur’a<n maka dapat di ketahui bahwa kisah yang ada dalam al-Qur’a<n itu memang pernah terjadi, dan dipahami bahwa pernikahan antara Nabi Muhammad dengan Zaynab bint Jahsh<in (janda dari anak angkat Nabi) merupakan suatu hal yang sesuai dengan syari’at Islam. Dengan mendeskripsikan Asba<b al-Nuzu<l juga maka dapat diketahui pula maksud dari suatu ayat al-Qur’a<n.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN...iv
MOTTO...v
PERSEMBAHAN...vi
RIWAYAT HIDUP...vii
ABSTRAKSI...viii
KATA PENGANTAR...ix
DAFTAR ISI...x
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Kegunaan Penelitian ... 8
F. Kajian Pustaka ... 9
G. Metode Penelitian... ... 12
BAB II TEORI QAS<A<S QUR’A<N DAN ASBA<B AL-NUZU<L
A. Kisah dalam al-Qur’a<n ... 17
1. Pengertian kisah dalam al-Qur’a<n ... ....17
2. Macam-macam kisah dalam al-Qur’a<n...28
3. Faidah mengetahui kisah dalam al-Qur’a<n...29
4. Pernikahan di Zaman Jahiliyyah...31
B. Asba>b al-Nuzu>l ... 36
1. Pengertian Asba>b Al-Nuzu>l ... 36
2. Urgensi Mengetahui Asba>b Al-Nuzu>l ... 37
3. Hubungan Kausalitas dan Asba>b Al-Nuzu>l (Kaidah Asba>b Al-Nuzu>l) ... 38
BAB III BIOGRAFI IBN KATHI<R, AHMAD MUSTAFA AL-MARA<GHI, DAN HAMKA A. Biografi Ibn Kathi<r...44
1. Riwayat dan Pendidikan Ibn Kathi<r...44
3. Karya-karya Ibn
Kathi<r...48
4. Sistematika dan Metode Penafsiran Kitab Tafsi<r Ibn
Kathi<r...5
0
a.) Sistematika Tafsi<r Ibn
Kathi<r...50
b.) Metode Penafsiran Tafsi<r In
Kathi<r...52
B. Biografi Ahmad Musthafa
al-Mara<ghi...54
1. Riwayat dan Pendidikan
al-Mara<ghi...54
2. Guru-guru
al-Mara<ghi...59
3. Karya-karya
al-Mara<ghi...59
4. Sistematika dan Metode Penafsiran Kitab Tafsi<r
al-Mara<ghi...6
0
a.) Sistematika Tafsi<r
b.) Metode Penafsiran Tafsi<r
al-Mara<ghi...67
C. Biografi Hamka...70
1. Riwayat dan Pendidikan Hamka...70
2. Guru-guru Hamka...85
3. Karya-karya Hamka...86
4. Sistematika dan Metode Penafsiran Kitab Tafsi<r al-Azh<ar...8
8 a.) Sistematika Tafsi<r al-Azh<ar...88
b.) Metode Penafsiran Tafsi<r al-Azh<ar...89
B. Penafsiran Ahmad Musthafa al-Marag<hi tentang kisah pernikahan
Nabi Muhammad dengan Zaynab bint Jahsh<in pada surat
al-Ahz<ab Ayat
36-40...97
C. Penafsiran Hamka tentang kisah pernikahan Nabi Muhammad
dengan Zainab bint Jahsh<in pada surat al-Ahz<ab ayat
36-40...105
D. Analisis terkait penafsiran Ibn Kathi<r, al-Mara<ghi, dan Hamka
tentang kisah pernikahan Nabi Muhammad dengan Zainab bint
Jahsyh<in pada surat al-Ahz<ab ayat
36-40...134
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...138
B. Saran...139
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’a<n merupakan kitab petunjuk yang dapat menuntun umat manusia menuju jalan kebenaran. Selain itu, al-Qur’a<n juga berfungsi sebagai pemberi penjelas terhadap segala sesuatu dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Untuk mengungkap petunjuk dan penjelasan dari al-Qur’a<n, telah dilakukan berbagai upaya oleh sejumlah pakar dan ulama yang berkompeten untuk melakukan penafsiran terhadap al-Qur’a<n, sejak masa awal hingga sekarang ini.1
Kisah tentang umat Islam yang merupakan bagian dari isi al-Qur’a<n yang esensial dari segi proporsi, kisah menempati bagian terbanyak dalam keseluruhan kitab suci. Kisah-kisah itu diturunkan sebagai media penyampaian pesan kepada umat manusia tentang usaha terus menerus meningkatkan harkat martabat manusia sebagai puncak ciptaan Ilahi.2
Suatu peristiwa yang berhubungan dengan sebab dan akibat dapat menarik perhatian para pendengar, apabila dalam peristiwa itu terselip pesan-pesan dan pelajaran mengenai berita-berita bangsa terdahulu, rasa ingin tahu merupakan faktor paling kuat yang dapat menanamkan kesan peristiwa tersebut ke dalam hati dan nasehat dengan tutur kata yang disampaikan tanpa variasi tidak
2
mampu menarik perhatian akal, bahkan semua isinya pun tidak akan bisa dipahami. Akan tetapi bila nasehat itu dituangkan dalam bentuk kisah yang menggambarkan peristiwa dalam realita kehidupan maka akan terwujudlah dengan jelas tujuannya.3
Kisah berasal dari kata al-Qis<sah yang berarti mencari atau mengikuti jejak, masdarnya adalah al-Qas<as.4 Sedangkan Qas<as al-Qur’a<n adalah pemberitaan al-Qur’a<n tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.5 Banyak tujuan dari adanya kisah-kisah yang diterangkan dalam al-Qur’a<n, salah satunya adalah sebagai pendidikan bagi manusia, sebab dalam suatu kisah dapat diambil suatu pelajaran di dalamnya.6
Kisah dalam al-Qur’a<n sangat menarik untuk dipelajari, diantaranya ialah kisah Nabi Muhammad, Zaid bin Haritsah serta Zaynab bint Jahshin pada surat al-Ahz<ab ayat 36-37 yang berbunyi :
3 Manna’ Khalil al-Qat<tan, Maha<bis fi Ulum<il Qur’a<n, terj. Mudzakir (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2001), 435.
3
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. Maksudnya: setelah habis idahnya. Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammad pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.7
4
berkenaan dengan boleh tidaknya menikah dengan janda dari anak angkat. Pada zaman jahiliyah, terdapat adat yang menyatakan bahwa seseorang dilarang atau tidak diperkennankan untuk menikah dengan janda dari anak angkat.8
Sebab turunnya surat al-Ahz<ab ayat 36 yakni berkenaan dengan kasus Zaynab bint Jahshin yang di pinang oleh Nabi Muhammad untuk Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi), baik Zaynab saudara laki-lakinya yakni Abdu’llah
bin Jahshin menolaknya, maka turunlah ayat tersebut, dan akhirnya mereka menerima pinangan tersebut.9
Surat al-Ahz<ab ayat 37 turun berkenaan dengan Zaid bin Haritsah yang mengadu kepada Nabi Muhammad tentang kelakuan Zaynab bint Jahshin. Maka Nabi bersabda: Tahanlah istri mu, maka turunlah ayat tersebut yang mengingatkan Rasul akan sesuatu yang tetap dirahasiakan oleh dirinya yang telah diberitahukan oleh Allah.10 Dalam suatu riwayat lain dikemu<kakan bahwa setelah habis masa iddah Zaynab (setelah dicerai oleh Zaid) Rasul bersabda Zaid pergilah engkau kepada Zaynab dan katakan kepadanya bahwa aku akan mengawininya.11
Ulama telah membahas tentang hubungan antara sebab yang terjadi, dengan ayat yang turun. Hal seperti ini dianggap penting karena sangat erat kaitannya dengan penerapan hukum. Adanya perbedaan pemahaman tentang suatu
8 Ahmad Musthafa al-Mara<ghi, Terjemah Tafsir al-Mara<ghi (Semarang: Karya Toha,
1993), 15.
9al-Mara<ghi,Terjemah Tafsir,15.
5
ayat berlaku secara umum berdasarkan bunyi lafalnya, atau terkait sebab turunnya, mengakibatkan lahirnya dua kaidah antara lain :12
Kaidah A sba>b al-Nuzu>l
Patokan atau yang menjadi pegangan dalam memahami makna ayat ialah lafazhnya yang bersifat umum bukan sebabnya.13
Pemahaman ayat ialah berdasarkan sebabnya bukan redaksinya, kendati redaksinya bersifat umum.14
Seorang mufasir dalam menafsirkan ayat al-Qur’a<n tidak terlepas dari kaidah tafsi<r, kaidah diartikan sebagai asas atau pondasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan rumusan asas-asas yang menjadi hukum, aturan tertentu. Tafsi<r yaitu penjelas tentang firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kaidah tafsi<r adalah ketetapan-ketetapan yang membantu seorang mufasir untuk menarik makna atau pesan-pesan al-Qur’a<n dan menjelaskan apa yang musykil dari kandungan ayat-ayatnya.15 Perlunya pemahaman tentang kaidah tafsi<r, membuat seseorang perlu memahami kaidah
12M. Quraish Shihab,Kaidah Tafsi>r (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 239.
13Nashruddin Baidan, W awasan Baru Ilmu Tafsi>r (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
6
tafsi<r apa yang digunakan oleh para mufasir, sebagaimana dalam mengetahui penafsiran.16
Melihat penjelasan diatas, penulis tertarik membahas mengenai kisah pernikahan Nabi Muhammad dengan Zaynab bint Jahshin dalam al-Qur’a<n (studi analisis penafsiran Ibn Kathi<r, al-Mara<ghi, dan Hamka pada surat al-Ahza<b ayat 36-40).
Fokus pembahasan pada skripsi ini, terletak pada surat al-Ahzab ayat 36-40 dengan menggunakan kitab Tafsi<r Ibn Kathi<r, Tafsi<r al-Mara<ghi serta Tafsi<r al-Azh<ar, yang ingin membahas pernikahan antara ayah angkat dengan janda dari anak angkat ketika dikajih dari kisah pernikahan Nabi Muhammad dengan Zaynab bint Jahshin menurut pandangan atau penafsiran Ibn Kathi<r, al-Mara<ghi ( Abu Fida’ ), serta Hamka.
Pandangan Ibn Kath<ir dan Hamka sama saat menafsirkan surat al-Ahz<ab ayat 36-40 tentang pernikahan Nabi Muhammad dan Zaynab bint Jahshin bahwa telah dijelaskan menurut derajat kisahnya dan kisah ini secara sanad adalah bathil sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di antaranya:
1. Imam Ibn Arabi berkata: Riwayat-riwayat ini, semua sanadnya jatuh dan bathil. 2. Imam Ibn Kathi<r berkata, Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim menyebutkan atsar-atsar dari salaf tentang hal ini, kami tidak ingin mencantumkannya di sini karena semua tidak shahih.
7
musuh agama. Oleh karenanya kisah ini tidak disebutkan kecuali oleh ahli tafsi<r dan ahli sejarah yang hanya meriwayatkan semua berita baik yang shahih maupun lemah dan tidak ada dalam kitab-kitab hadis yang terpercaya.
Selanjutnya beliau mengatakan, kalau memang kisah ini keadaannya seperti yang Anda lihat, yakni tidak memiliki sanad dan bertentangan dengan
kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak tersisa kecuali
bahwa kisah ini adalah palsu. Dan pada pandangan al-Maraghi dalam kisah ini adalah beda dalam menafsirkan ayat. Ibn Kathi<r dan Hamka dalam menafsirkan ayat menggunakan corak periwayatan, dan sedangkan al-Mara<ghi menggunakan corak kebahasaan.
B. Identifikasi Masalah
Ayat al-Qur’a<n yang akan dibahas dalam skripsi ini surat al-Ahz<ab ayat 36-40 tentang pernikahan Nabi Muhammad dengan Zaynab bint Jahshin, dalam ayat tersebut, dapat di identifikasi beberapa masalah di antaranya:
1. Boleh tidaknya pernikahan antara ayah angkat dengan janda dari anak angkat menurut Ibn Kathi<r, al-Mara<ghi, dan Hamka.
2. Kaidah Asba<b al-Nuzu<l yang digunakan untuk mengetahui maksud ayat. 3. Hikmah yang dapat di ambil dari kisah pernikahan antara Nabi Muhammad
8
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang, batasan masalah di atas, peneliti dapat merumuskan beberapa permasalahan untuk memperkuat fokus penelitian ini, di antaranya: 1. Bagaimana surat al-Ahz<ab ayat 36-40 ketika dipahami melalui Qasas
al-Qur’a<n dan Asba<b al-Nuzu<l oleh Ibn Kathi<r, Al-Mara<ghi, dan Hamka?
2. Bagaimana Kontektualisasi Hikmah Dibalik kisah pernikahan Nabi SAW dengan Zaynab bint Jahsyin dalam surat al-Ahz<ab ayat 36-40 ?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, di antaranya:
1. Mendeskripsikan surat al-Ahz<ab ayat 36-40 ketika dipahami melalui Qasas al-Qur’a<n dan Asba<b al-Nuzu<l oleh Ibn Kathi<r, al-Mar<aghi, dan Hamka. 2. Mendeskripsikan Kontektualisasi Hikmah Dibalik kisah pernikahan Nabi
SAW dengan Zaynab bint Jahshin dalam surat al-Ahz<ab ayat 36-40.
E. Kegunaan Penelitian
9
Adapun kegunaan tersebut ialah sebagai berikut: 1. Kegunaan secara teoritis
Hasil penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penelitian tafsir yang terkait dengan Kisah pernikahan Nabi Muhammad dengan Zainab binti Jahsyin, dan penggunaan kaidah Asbab al-Nuzul pada suatu surat.
2. Kegunaan secara praktis
Implementasi penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi agar dapat memberi solusi terhadap masyarakat tentang boleh tidaknya pernikahan antara ayah angkat dengan janda dari anak angkat.
F. Kajian Pustaka
10
dan Asba<b al-Nuzu<l. Dan selama saya teliti skripsi yang lain, ternyata banyak juga yang membahas tentang kisah dalam al-Qur’a<n.
Yang pertama, Skripsi yang ditulis oleh Fathul Hadi, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul KisahA sha<b al-Kah<f dalam al-Qur’a<n perspektif Muhammad Ahmad Khalafullah dalam al-Fan<n al-Qas<asi fi al-Qur’a<n al-Kari<m. Dalam skripsi milik Fathul Hadi ini, menggunakan analisa Muhammad Ahmad Khalafullah dengan pendekatan sastranya yang sudah tertuang dalam al-Fan<n al-Qas<asi fi al-Qur’a<n al-Kari<m. Pendekatan sastra dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’a<n ini sebenarnya sudah digagas oleh Amin al-Khuli yang notabennya adalah guru Khalafullah sendiri.17
Yang kedua, Skripsi yang ditulis oleh Arina Manasikana, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan judul Pendekatan Kesastraan Terhadap Kisah-kisah al-Qur’an (Kajian atas Fann Qasasi fi
al-Qur’a<n al-Karim Karya Muhammad Ahmad Khalafullah).18 Dalam skripsi
tersebut, Arina Manasikana menjelaskan pandangan secara umum Khalafullah terkait kisah-kisah dalam al-Qur’a<n dengan pendekatan sastra. Lebih jelasnya, dia memaparkan bahwa bangunan pendekatan kesastraan yang digunakan oleh Khalafullah untuk menganalisis kisah-kisah al-Qur’a<n adalah dengan
17
Fathul Hadi, “Kisah A shab A l-Kahf dalam al-Qur’an perspektif Muhammad Ahmad
Khalafullah dalamal-Fann al-Qasasi al-Qur’an al-KarimKarya Muhammad Muhammad
Khalafullah” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga, 2010), 9.
11
mendasarkan analisis kaidah-kaidah sastra yang didahului asusmsi bahwa kisah-kisah al-Qur’an merupakan karya sastra yang tiada tara.19
Dan yang ketiga, Karya akademis lainnya yang terkait tentang kisah dalam al-Qur’a<n adalah skripsi yang ditulis oleh Ade Alimah dengan judul Kisah dalam al-Qur’a<n menurut pandangan Sayyid Qutb dan Muhammad Ahmad Khalafullah. Sayyid Qutb menjelaskan bahwa kisah dalam al-Qur’a<n tunduk dan terikat pada tujuan agama (al-gar<d al-di<n) yang ingin disampaikannya. Dan tujuan historis bukanlah tujuan dari kisah. Tujuan-tujuan tersebut adalah; pertama, menetapkan wahyu dan risalah. Kedua, menjelaskan semua agama dari Allah, berdasarkan atas satu asas, dan ada kesamaan antara semua agama. Ketiga, menjelaskan pertolongan Allah kepada Nabi-Nya. Keempat, menjelaskan nikmat Allah atas Nabi-nabi dan orang suci. Kelima, memperingatkan manusia akan adanya godaan setan. Keenam, menjelaskan kekuasaan Allah. Ketujuh, menjelaskan akibat dari kebaikan dan kejahatan.Kedelapan, menjelaskan hikmah kemanusiaan dan hikmah alamiahnya.20 Sedangkan Khalafullah menjelaskan tujuan kisah dalam al-Qur’an kepada empat tujuan yaitu; pertama, meringankan kesengsaraan hati Nabi Muhammad dan pengikutnya. Kedua, mengarahkan hati pada akidah dan prinsip-prinsip agama Islam.Ketiga, membangkitkan ketenangan dan ketakutan dalam jiwa. Keempat, menegaskan bahwa Muhammad dan wahyu
19
Arina Manasikana, “Pendekatan Kesatraan Terhadap Kisah-kisah al-Qur’a<n: Kajian atasal-Fan<n al-Qas<asi fi al-Qur’a<n al-Kari<mKarya Muhammad Ahmad Khalafullah”,
188-190.
12
yang diturunkannya adalah hak.21Kesamaan Sayyid Qutb dan Khalafullah terletak pada pendekatan yang mereka gunakan. Yakni pendekatan sastra dan adanya corak tafsi<r psikologis. Sedangkan perbedaan diantara keduanya adalah jika Sayyid Qutb menganggap semua kisah yang termaktub dalam al-Qur’a<n merupakan kenyataan yang benar-benar terjadi. Maka Khalafullah menyatakan bahwa tidak semua kisah dalam al-Qur’a<n adalah realitas sejarah. Ada sebagian kisah yang hanya metafora belaka.
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif dari dokumen atau lisan dari suatu objek yang dapat diamati dan diteliti.22 Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan metode penelitian library research (penelitian perpustakaan), dengan mengumpulkan data dan informasi dari data-data tertulis baik berupa literatur berbahasa arab maupun literatur berbahasa indonesia yang mempunyai relevansi dengan penelitian.
2. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini, bersumber dari dokumen perpustakaan tertulis, seperti kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya.
21Ade Alimah, “Kisah dalam al-Qur’an menurut pandangan Sayyid Qutb dan Muhammad Ahmad Khalafullah”, 106.
13
Data-data tertulis tersebut terbagi menjadi dua jenis sumber data. Yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder, yaitu:
a. Sumber data primer merupakan rujukan data utama dalam penelitian ini, yaitu:
1) Tafsi<r al-Mara<ghi 2) Tafsi<r al-Azh<ar 3) Tafsi<r Ibnu Kathi<r
b. Sumber data sekunder, merupakan referensi pelengkap sekaligus sebagai data pendukung terhadap sumber data primer. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini diantaranya:
1) Mahab<is fi ulumil Qur’a<n, Karya Manna Khalil Al-Qattan 2) Kaidah Tafsi<r, Karya Quraish Shihab
3) Wawasan Baru Ilmu Tafsi<r, Karya Nashruddin Baidan 4) Asba<b al-Nuzu<l Karya Dahlan
5) al-Mu‘jam al-Mufaras} Li al-Fa>dh al-Qur’an al-Kari>m
KaryaMuhammad Fu>ad ‘abdu al-Ba>qi>. 3. Teknik Pengumpulan Data
14
4. Metode Analisis Data
Untuk sampai pada prosedur akhir penelitian, maka penulis menggunakan metode analisa data untuk menjawab persoalan yang akan muncul di sekitar penelitian ini.
Teknik analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga ditemukan tema dan dirumuskan.24
Semua data yang telah terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis isi.
a. Metode Deskriptif Kualitatif
Deskriptif yaitu menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya dengan menuturkan atau menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variable dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya.25
Penelitian Deskritif Kualitatif yakni penelitian berupaya untuk mendeskripsikan yang saat ini berlaku. di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi
15
yang sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif akualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang ada.26
H. Sistematika Pembahasan
Menimbang pentingnya struktur yang terperinci dalam penelitian ini, maka peneliti akan menampilkan struktur sistematika karya ini. Sehingga dengan sistematika yang jelas, hasil penelitian ini tentang teori dan analisis penafsian surat al-Ahz<ab ayat 36-40 melalui Ibn Kathi<r, Tafsi<r al-Mara<ghi, dan Hamka yang membahas tentang kisah pernikahan nabi muhammad dan zainab binti jahsyin. Lebih baik dan terarah seperti kaidah dalam metode penelitian. Secara keseluruhan, kajian dalam penelitian ini terdiri dari empat bab.
Bab pertama, adalah pendahuluan yang menjelaskan segala persoalan atau masalah yang melatar belakangi kajian ini. Dan ini juga sebagai penjelasan untuk memahami kajian penelitian ini. Bab ini memuat berbagai ketentuan penulisan, yang berisikan antara lain: latar belakang, identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan masalah, kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian yang meliputi: sumber data, teknik penggalian data, metode analisis data, dan sistematika pembahasan.
16
Bab tiga, berisi biografi penafsir yaitu: Ibn Kathi<r, al-Mara<ghi, dan Hamka.
Bab empat, merupakan penyajian data dan analisis. Pertama, penafsiran Ibn Kathir tentang kisah pernikahan nabi muhammad dengan zainab binti jahsyin pada surat al-Ahz<ab ayat 36-40. Kedua, penafsiran al-Mara<ghi tentang kisah pernikahan nabi muhammad dengan zainab binti jahsyin pada surat al-Ahz<ab ayat 36-40. Ketiga, penafsiran Hamka tentang kisah pernikahan Nabi Muhammad dengan Zainab bint Jahshin pada surat al-Ahz<ab ayat 36-40. Keempat, Analisis terkait penafsiran Ibn Kathi<r, al-Mara<ghi, dan Hamka tentang kisah pernikahan nabi muhammad dengan zainab binti jahsyin pada surat al-Ahz<ab ayat 36-40. Kelima, Analisis terhadap penafsiran Ibn Kathi<r, al-Mara<ghi, dan Hamka tentang kisah pernikahan Nabi Muhammad dengan Zaynab bint Jahshin pada surat al-Ahz<ab ayat 36-40.
BAB II
TEORI QAS<AS< Al-QUR’A<N DAN ASBA<B AL-NUZU<L
A. Kisah dalam al-Qur’<an
1. Pengertian Kisah dalam al-Qur’a<n
Kisah (al-qashshah) bermakna cerita (al-hadits), berita (al-khabar),
sesuatu yang baru (al-amr al-hadits), bahan pembicaraan (al-uhdutsah), tingkah
(sya’n), dan keadaan (al-hal). Bentuk plural dari qishshah adalah qishash ( ),
sedangkan kata jadian atau mashdar-nya adalah qashash ( ).1 Kisah juga bisa
diartikan sebagai salah satu cara al-Qur’an mengantar manusia menuju arah yang
dikehendaki-Nya. Kata kisah terambil dari bahasa Arab Qishshah (ﺔ ). Kata
seakar dengan kata Qashsha ( ) yang berarti menelusuri jejak. Sementara ulama
mendefinisikan kisah sebagai menelusuri peristiwa/kejadian dengan jalan
menyampaikan/menceritakannya tahap demi tahap sesuai dengan kronologi kejadiannya. Dapat ditambahkan bahwa penyampaian itu dapat terjadi dengan
menguraikannya dari awal hingga akhir, bisa juga dalam bentuk episode-episode
tertentu.2
1 M. Ma’rifat, Kisah-Kisah Al-Qur’an Antara Fakta Dan Metafora (Jakarta: Citra Gria
Aksara Hikmah, 2013), 27.
Qas<as al-Qur’a<n, yaitu berita-berita tentang keadaan umat di masa lalu.
Sejarah umat, menyebutkan negeri-negeri dan kampung-kampung mereka itu.
Membahas bekas-bekas peninggalan tiap-tiap orang hidup berkelompok.
Menceritakan prihal mereka dalam bentuk bicara tentang tentang apa yang mereka
kerjakan. Kisah dalam al-Qur’a<n (Qas<as al-Qur’a<n) maksudnya adalah
berita-berita al-Qur’a<n ihwal terdahulu, baik umat-umat maupun para nabi yang telah
lampau. Demikian juga, berita mengenai peristiwa-peristiwa nyata di zaman dulu,
yang membuat pelajaran dan dapat diambil pelajaran bagi generasi yang datang
setelahnya.3
Ditemukan dari penggunaan kata Qis<sah dalam al-Qur’a<n, bahwa
objek yang dikisahkan dapat berkaitan dengan:4
a. Sesuatu yang benar-benar telah terjadi di alam nyata, seperti peristiwa
yang diceritakan Nabi Musa kepada Nabi Syu’aib (QS. al-Qashash [28]:
25, Ghafir [40]: 78, an-Nisa^’ [4]: 164.
b. Sesuatu yang terjadi tidak di alam nyata (empiris), tetapi dalam benak
melalui mimpi, seperti pesan Nabi Ya'qub kepada putra beliau, Nabi
Yusuf:
ﺒًﺪﺸﺴ
ﺴ ﺴ
ﺒﺸوُﺪﺸِ ﺴﺴـ
ﺴ ِﺴﻮﺸﺧِﺐ
ﻰﺴﺴ
ﺴكﺴﺸءُر
ﺸ ُ ﺸﺴـﺴ
ﺴﲏُـ ﺴ
ﻰ
ﺴنﺎﺴﻄﺸ ﺒ
نِﺐ
ﺲﺸﲔِ
وُﺪﺴ
ِنﺎﺴ ﺸِ ﺸِ
3Mana’al Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 145.
Hai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, karena mereka akan membuat tipu daya terhadapmu, tipu daya besar. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.
c. Sesuatu yang bukan peristiwa, tetapi ajaran dan tuntunan, seperti
firman-Nya:
È
β
Î
)
ã
Ν
õ
3
ß
⇔
ø
9
$
#
ω
Î
)
¬
!
(
È
à
)
t
ƒ
¨
,
y
s
ø
9
$
#
(
u
θ
è
δ
u
ρ
ç
ö
y
z
t
⎦
,
Î
#
Å
Á
≈
x
ø
9
$
#
Tidak ada yang berwenang menetapkan hukum kecuali Allah. Dia yang mengisahkan/menguraikan kebenaran dan Dia sebaik-sebaik Pemberi putusan.5
’
n
?
t
ã
u
ρ
t
⎦⎪
Ï
%
©
!
$
#
(
#
ρ
ß
Š$
y
δ
$
u
Ζ
ø
Β
§
y
m
$
t
Β
$
o
Ψ
ó
Á
|
Á
s
%
y
7
ø
‹
n
=
t
ã
⎯
Ï
Β
ã
≅
ö
6
s
%
Terhadap orang-orang Yahudi Kami telah haramkan buat mereka apa yang Kami kisahkan kepadamu sebelum ini.6
Di dalam pengertian di atas ada beberapa yang akan di bahas di
dalam kisah dalam al-Qur’a<n, yaitu:
a. Metode kisah dalam al-Qur’a<n
Sesungguhnya metode kisah dalam al-Qur’a<n berbeda dengan
metode kisah dalam tradisi literer-sastrawi dan humaniora. Di mana, dalam
menyebutkan kisah-kisah itu, al-Qur’a<n mencukupkan diri dengan
menuturkan fragmen-fragmen peristiwa dan secara global saja, tanpa
terjebak dalam detail-detail kejadian. Malahan kadang, secara
terputus-putus dan tiada berlanjut, yang penting telah menunjukkan poin utama
5al-Qur’a<n, 6:57.
yang menjadi signifikansi dari kisah tersebut (bayt al-qashid). Umumnya,
pemaparan kisah Qurani dengan cara menarasikan (ta’arrudh)
konsep-konsep, hakikat-hakikat dan tema-tema akidah, akhlak, kosmos
(hukum-hukum alam), atau pun syariat dan lain-lain yang kadang menimbulkan
perhatian besar soal gaya atau metode kisah dalam al-Qur’a<n. Dengan
demikian, kisah al-Qur’a<n berbeda dengan karya sastra-murni yang
mempunyai ciri-ciri khusus.7
Hal ini berpulang pada posisi al-Qur’a<n sebagai kitab petunjuk.
Karenanya, al-Qur’an memanfaatkan seni untuk tujuan hidayah tersebut.
Karena itu pula, untuk sampai pada tujuan utamanya, al-Qur’a<n
membatasi diri pada pemaparan hal-hal yang perlu saja, tanpa tergoda
dengan aspek-aspek lain yang tidak korelatif secara langsung dengan
tujuan asalnya.8
Selain itu, gaya bahasa al-Qur’a<n meganut stilistika khita<bi
(retorikal), bukan kita<bi (tulisan atau buku), seperti teah kami singgung.
Sehingga al-Qur’a<n tidak harus menjelaskan persoalan-persoalan secara
teratur dan sistematis, tidak perlu menyebutkan detail-detail dan aspek
partikularnya, sebagaimana menjadi sebuah keharusan dalam sebuah buku
(baca: stilistika kitabi). Karena itu, dalam menarasikan kisah, al-Qur’a<n
tidak perlu terjebak pada kronologi waktu dan kesinambungan peristiwa.
7Ma’rifat, Kisah-Kisah Al-Qur’an Antara Fakta Dan Metafora, 31.
Tetapi, al-Qur’an bebas bergerak dan berpindah dari satu peristiwa ke
yang lain, kemudian kembali mengulang lagi (tijwal) jika memang
diperlukan.9
Dengan demikian, dalam menuturkan kisah, al-Qur’an
mempunyai gaya tersendiri untuk berbagai tema, dengan
mencampur-aduk, memungut dan menumpang-tindih antar tema-tema dan konsep satu
sama lain, sesuai konteks yang dianggap perlu. Dengan itu al-Qur’an
berbeda dari gaya tulis buku-buku, tak lain kecuali karena al-Qur’an
menganut stilistika khitabi. Al-Qur’an pun bebas dan tidak terikat dengan
stilistika kitabi. Al-Qur’an mencampur-aduk antara kebenaran-kebenaran
kosmologis dengan ajaran-ajaran akidah, hukum-hukum syariat, nasihat,
arahan, berita gembira dan ancaman, dan sensitifitas jiwa, rasa, dan indra
dengan akal dan pengetahuan.10
Sebagaimana, terkadang al-Qur’an mengulang-ulang beberapa
tema dan konsep dalam berbagai bentuk dan kesenpatan yang berbeda.
Semua itu dilakukan jika memang perlu dan selaras dengan tujuan utama
dalam menarasikan kisah. Secara berulangkali al-Qur’an sering menambah
atau mengurangi, dan meringkas atau menuturkan secara panjang-lebar
9M. Ma’rifat, Kisah-Kisah Al-Qur’an Antara Fakta Dan Metafora (Jakarta: Citra Gria
Aksara Hikmah, 2013), 31.
jika dinilai perlu. Dengan demikian, al-Qur’an memiliki gaya tersendiri
yang membedakannya dari gaya narasi dalam sastra populer.11
b. Keunikan Kisah Qurani
Kisah dalam al-Qur’an memiliki keunikan atau keistimewaan
dalam dua hal pokok. Pertama, memerhatikan aspek kebenaran dan
faktualitas (waqi’iyah), bukan sekadar imajinasi. Kedua, memerhatikan
sasaran dan tujuan dari pemaparan kisah tersebut. Al-Qur’an tidak
menarasikan kisah dalam konteks sebagai karya sastra, tidak pula untuk
menjelaskan cerita orang-orang terdahulu, atau sebagai hiasan dan
ornamen sebagaimana dilakukan oleh para sejarawan dan juru kisah. Akan
tetapi, tujuan dari kisah-kisah dalam al-Qur’an adalah keikutsertaan
dengan gaya-gaya atau metode lain yang dimanfaatkan al-Qur’an untuk
mewujudkan target dan tujuan-tujuan religius dan edukatif, yang mana
kisah Qurani ini termasuk diantara gaya atau metode terpentingnya.12
Atas dasar pemikiran dan fundamen tersebut, kita dapat
menunjukkan perbedaan antara kisah-kisah Qurani dengan kisah-kisah
lain, dengan sejumlah poin penting yang membentuk keunikan-keunikan,
ciri khas dan karakter fundamental kisah Qurani. Ciri khas ini dapat kita
temukan sebagaimana diisyaratkan dalam al-Qur’an, Sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang
11Ma’rifat, Kisah-Kisah Al-Qur’an Antara Fakta Dan Metafora, 32.
mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman, (QS. Yusuf [12]: 111) di mana dari ayat tersebut dapat kita
pahami betapa kisah-kisah Qurani memiliki faktualitas, kebenaran, hikmah
dan pendidikan yang sukses.13
c. Tujuan-Tujuan Kisah dalam Al-Qur’an
Dalam konten dan orientasinya, kita dapati kisah-kisah Qurani
telah mencakup tujuan-tujuan fundamental yang menjadi target
diturunkannya al-Qur’an. Di mana, kisah adalah “sarana yang efisien” (
al-adah al-mufadhdhalah) yang dimanfaatkan oleh al-Qur’an untuk
mewujudkan orientasi dan tujuan-tujuannya secara keseluruhan.
Karenanya, kita dapati al-Qur’an memanfaatkan kisah untuk menegaskan
wahyu dan risalah, keesaan Allah, menyatukan agama-agama dalam pilar
tauhid, pemberitaan gambar gembira dan ancaman, fenomena-fenomena
kuasa Ilahi, akibat dari kebaikan, sabar, takut, syukur, patriotisme dan
lain-lain yang menjadi tujuan-tujuan risalah, akidah, pendidikan,
kemasyarakatan, hukum-hukum sejarah dan yang lain.14
Berikut tujuan-tujuan terpenting dalam memahami kisah dalam
al-Qur’an:
13M. Ma’rifat, Kisah-Kisah Al-Qur’an Antara Fakta Dan Metafora (Jakarta: Citra Gria
Aksara Hikmah, 2013), 33.
1.) Menegaskan kenabian
Di antara tujuan kisah adalah untuk menegaskan wahyu dan
risalah, bahwa yang diturunkan kepada Muhammad saw adalah wahyu
dari Allah, bukan sesuatu yang lain. Muhammad tidak kenal baca-tulis,
tidak pula dikenal bahwa beliau pernah belajar pada ulama-ulama
Kristen dan Yahudi. Lalu, kisah-kisah muncul dalam al-Qur’an dalam
deskripsi yang sedemikian cermat dan narasi yang amat indah, tanpa ada
distorsi dan penyelewengan. Dengan demikian, hal itu merupakan bukti
bahwa al-Qur’an adalah wahyu yang diwahyukan, bukan imitasi dari
kitab-kitab ynag telah mengalami distorsi atau kisah-kisah yang telah
diselewengkan. Secara tegas, al-Qur’an menunjukkan tujuan ini pada
awal atau akhir sebagian kisah-kisah [yang disampaikan].15
2.) Menegaskan kesatuan agama-agama samawi
Di antara tujuan kisah adalah menjelaskan kesatuan agama dan
akidah seluruh para nabi, bahwa semua agama itu berasal dari Allah,
dan bahwa pilar bagi semuanya adalah satu. Kita tiada
membeda-bedakan satu pun dari para rasul itu, dan kita berserah diri pada-Nya.
Oleh karena hal ini merupakan tujuan fundamental dari dakwah dan
bangunan konsepsi Islam, maka kisah-kisah tersebut banyak
disampaikan dalam bentuk semacam ini secara berulangkali, dengan
sedikit perbedaan redaksi. Hal itu untuk menetapkan dan memantapkan
kebenaran ini dalam jiwa. Kadang disebutkan sejumlah kisah para nabi
secara terhimpun dalam satu surah, dinarasikan dengan gaya yang
sangat mengagumkan, untuk menegaskan kebenaran ini.16 Dan
kebahagian hidup itu, tak ada jalan lain kecuali mengikuti syariat Islam
itu sendiri.
3.) Menegaskan akar historis Islam
Dan juga, di antara keutuhan dari tujuan kisah adalah
penjelasan bahwa dakwah risalah dalam Islam bukanlah sesuatu yang
baru dalam sejarah risalah-risalah [sebelumnya] dalam hal
tujuan-tujuan, konsep dan ajaran-ajaran. Katakanlah, “Aku bukanlah rasul
yang pertama di antara rasul-rasul...” (QS. al-Ahqaf [46]: 9).
Malahan, risalah Islam adalah representasi dari kelanjutan atau
kontinuitas risalah-risalah sebelumnya, dan risalah-risalah itu
merepresentasikan akar historis bagi risalah Islam. Maka, risalah-risalah
tersebut adalah risalah ketuhanan yang mempunyai kontinuitas dalam
sejarah manusia, yang memiliki pembela-pembela, orang-orang yang
siap berkorban dan mereka yang beriman padanya.17
4.) Menegaskan kesatuan metode dan gaya dakwah para nabi
Demikian, al-Qur’an menegaskan betapa metode dan gaya
dakwah para nabi itu satu, bahwa cara mereka dalam melawan dan
16M. Ma’rifat, Kisah-Kisah Al-Qur’an Antara Fakta Dan Metafora, 44.
menghadapi kaumnya itu serupa, dan bahwa faktor-faktor, sebab dan
fenomena-fenomena yang dihadapi dakwah adalah satu. Dalam
sejumlah tempat, al-Qur’an menegaskan kebenaran ini, dan
menunjukkan keterlibatan (Istyrak) para nabi dalam berbagai
persoalan.18
5.) Meneguhkan hati Nabi saw dan kaum mukmin
Atas dasar itu, diantara tujuan fundamental kisah dalam
al-Qur’an adalah menjelaskan bahwa Allah bakal menolong para nabi-Nya
di penghujung peristiwa dan mengalahkan kaum pendusta. Hal itu untuk
meneguhkan posisi Muhammad saw dan menimbulkan pengaruh di
dalam jiwa kaum beriman, sebagaimana dalam ayat di bawah ini:
y
ξ
ä
.
u
ρ
È
à
)
¯
Ρ
y
7
ø
‹
n
=
t
ã
ô
⎯
Ï
Β
Ï
™
!
$
t
6
/
Ρ
r
&
È
≅
ß
™
”
9
$
#
$
t
Β
à
M
Îm
7
s
V
ç
Ρ
⎯
Ï
μ
Î
/
x
8
y
Š#
x
σ
è
ù
4
x
8
u
™
!
%
y
`
u
ρ
’
Î
û
Í
ν
É
‹
≈
y
δ
‘
,
y
s
ø
9
$
#
×
π
s
à
Ï
ã
ö
θ
t
Β
u
ρ
3
“
t
ø
.
Ï
Œ
u
ρ
t
⎦⎫
Ï
Ψ
Ï
Β
÷
σ
ß
ϑ
ù
=
Ï
9
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.19
6.) Menjelaskan karunia Allah atas hamba-hamba pilihan-Nya
Di antara tujuan kisah adalah menjelaskan karunia-karunia
Allah terhadap hamba-hamba pilihan-Nya dan mereka yang tulus,
18M. Ma’rifat, Kisah-Kisah Al-Qur’an Antara Fakta Dan Metafora, 47.
seperti kisah-kisah Sulaiman, Dawud, Ayyub, Ibrahim, Maryam, Isa,
Zakariya, Yunus dan Musa. Karenanya, muncul putaran dari kisah-kisah
para nabi tersebut, yang di dalamnya ditegaskan karunia atau nikmat
Allah dalam berbagai kesempatan. Jadi, penegasan nikmat itu adalah
tujuan primernya, sementara yang lain sekunder (‘aradh).20
7.) Menjelaskan permusuhan setan atas manusia
Dan juga, untuk menjelaskan penyesatan setan terhadap
manusia, sejauh mana permusuhan mereka terhadapnya dan seberapa
besar tekad setan membuntuti momen dan kesempatan yang ada.
Karenanya, hendaklah anak- cucu Adam waspada terhadap permusuhan
ini, yang sebelumnya pernah “menyesatkan” ayah mereka. Tidak
diragukan, penampilan pesan-pesan dan hubungan melalui jalur kisah
itu lebih jelas dan lebih menarik kewaspadaan dan perhatian. Karena itu
pula, kita dapati kisah Adam terulang dengan berbagai gaya yang
berbeda, untuk menegaskan tujuan tersebut. Bahkan, hampir-hampir
tujuan ini menempati tujuan utama dalam keseluruhan kisah adam.21
Banyak tujuan lainnya yang bertemu dengan tujuan-tujuan risalah,
dalam porsi yang melimpah dan posisi yang sedemikian luhur.22
20M. Ma’rifat, Kisah-Kisah Al-Qur’an Antara Fakta Dan Metafora, 52.
21Ibid., 53.
2. Macam-Macam Kisah dalam al-Qur’a<n
Di dalam Al-Qur’an itu ada tiga macam kisah, yaitu: Pertama, kisah
Nabi-nabi, yaitu mengenai dakwah yang mereka jalankan kepada kaumnya.
Mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah kepada mereka itu. Pendirian orang-orang
yang menentang. Tahap-tahap dakwah dan perkembangannya. Akibat yang
dirasakan oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang mendustakan.
Seperti kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad, dan Nabi-nabi serta
Rasul-rasul lainnya.23
Macam kedua, kisah Al-Qur’an yang bersangkut dengan
peristiwa-peristiwa yang sudah kabur (tidak jelas lagi). Dan orang-orang yang belum jelas
kenabiaannya. Seperti kisah orang-orang yang dibuang dari negerinya. Mereka itu
sudah beribu-ribu tahun meninggal. Kisah Thalut dan Jalut, anak Adam,
orang-orang yang tidur dalam gua, Zul Qarnaini, Qarun, habus Sabti, Maryam,
Ash-habul ukhdud, Ash-Ash-habul fil dan lain-lain.24
Macam ketiga, kisah yang bersangkutan dengan kejadian-kejadian di
zaman Rasul. Seperti perang Badar, perang Uhud dalam surat Ali Imran. Perang
23Mana’ul Qathan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2 ( Jakarta: Rineka Cipta, 1995 ), 145.
Hunain dan Tabut dalam surat Taubah. Perang Al-Ahzab dalam surat Al-Ahzab.
Hijrah, israk dan lain-lainnya.25
3. Faidah Mengetahui Kisah dalam al-Qur’a<n
Kisah al-Qur’a<n itu mempunyai beberapa faidah yang bagus, yang
terpenting ialah: Pertama, menjelaskan asas dakwah kepada Allah, dan
menerangkan sendi-sendi syariat, yang syariat itulah itulah diutus Nabi-nabi. Dan
Allah berfirman di Surat Al-Maidah ayat 25, yang berbunyi:
t
Α
$
s
%
Éb
>
u
‘
’
Îo
Τ
Î
)
I
ω
à
7
Î
=
ø
Β
r
&
ω
Î
)
©
Å
¤
ø
t
Ρ
©
Å
r
&
u
ρ
(
ø
−
ã
ø
ù
$
$
s
ù
$
s
Ψ
o
Ψ
÷
t
/
š
⎥
÷
⎫
t
/
u
ρ
Ï
Θ
ö
θ
s
)
ø
9
$
#
t
⎦⎫
É
)
Å
¡
≈
x
ø
9
$
#
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulullah sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, Bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah olehmu akan Aku.26
Kedua, menetapkan hati Rasul dan hati umat Muhammad terhadap agama
Allah. Dan lebih menekankan benarnya orang-orang Mukmin dengan pertolongan
dan tentaranya dan menghina yang bathil. Berfirman Allah dalam Al-Qur’an di
Surat Huud ayat 120, yang berbunyi:
25Ibid.
y
ξ
ä
.
u
ρ
È
à
)
¯
Ρ
y
7
ø
‹
n
=
t
ã
ô
⎯
Ï
Β
Ï
™
!
$
t
6
/
Ρ
r
&
È
≅
ß
™
”
9
$
#
$
t
Β
à
M
Îm
7
s
V
ç
Ρ
⎯
Ï
μ
Î
/
x
8
y
Š#
x
σ
è
ù
4
x
8
u
™
!
%
y
`
u
ρ
’
Î
û
Í
ν
É
‹
≈
y
δ
‘
,
y
s
ø
9
$
#
×
π
s
à
Ï
ã
ö
θ
t
Β
u
ρ
3
“
t
ø
.
Ï
Œ
u
ρ
t
⎦⎫
Ï
Ψ
Ï
Β
÷
σ
ß
ϑ
ù
=
Ï
9
Dan semua kisah dari Rasul-rasul kami ceritakan kepadamu ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.27
Ketiga, membenarkan Nabi-nabi yang dahulu dan menghidupkan kembali
ingatan kepadanya dan mengabdikan bekas-bekas peninggalannya. Keempat,
menyatakan kebenaran Muhammad SAW dalam segi dakwah dengan apa yang
diberitahukan olehnya tentang hal ihwal masa-masa yang berlalu yang sudah
berabad-abad dan sudah beberapa generasi.28
Kelima, untuk berdebat dengan Ahli Kitab dengan hujah seperti apa yang
mereka sembunyikan tentang anak-anak perempuan. Dan membatasi mereka
dengan apa yang terdapat dalam kitab-kitab mereka sebelum kitab itu mereka
rubah-rubah dan dipertukar-tukarkan letaknya. Berfirman Tuhan dalam Al-Qur’an
di Surat Al-Imran ayat 93, yang berbunyi:
‘
≅
ä
.
Ï
Θ
$
y
è
©
Ü
9
$
#
t
β
$
Ÿ
2
y
ξ
Ï
m
û
©
Í
_
t
6
Ïj
9
Ÿ
≅ƒ
Ï
™ℜ
u
ó
Î
)
ω
Î
)
$
t
Β
t
Π
§
y
m
ã
≅ƒ
Ï
™ℜ
u
ó
Î
)
4
’
n
?
t
ã
⎯
Ï
μ
Å
¡
ø
t
Ρ
⎯
Ï
Β
È
≅
ö
6
s
%
β
r
&
t
Α
¨
”
t
∴
è
?
è
π
1
u
‘
ö
θ
−
G
9
$
#
3
ö
≅
è
%
(
#
θ
è
?
ù
'
s
ù
Ï
π
1
u
‘
ö
θ
−
G
9
$
$
Î
/
!
$
y
δθ
è
=
ø
?
$
$
s
ù
β
Î
)
ö
Ν
ç
G
Ζ
ä
.
š
⎥⎫
Ï
%
Ï
‰
≈
|
¹
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’kub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah, Jika kamu mengatakan ada makanan yang
27al-Qur’a<n, 11:120.
diharamkan sebelum turun Taurat, maka bawalah Taurat itu lalu bacakanlah dia jika kamu orang-orang yang benar.29
Keenam, kisah yang mencontohkan tentang adab sopan santun. Enak
sekali didengar, dan meresap ke dalam hati. Dan Allah berfirman di Surat Yusuf
ayat 111, yang berbunyi:
ô
‰
s
)
s
9
š
χ
%
x
.
’
Î
û
ö
Ν
Î
η
Å
Á
|
Á
s
%
×
ο
u
ö
9
Ï
ã
’
Í
<
'
ρ
T[
{
É
=
≈
t
6
ø
9
F
{
$
#
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.30
4. Pernikahan di Zaman Jahiliyyah
Pernikahan adalah termasuk perkara yang sudah ada dan dikenal dalam
sistem masyarakat Jahiliyah. Namun dalam masyarakat jahiliyyah, terdapat
beragam gaya hidup yang bercampur baur antara kaum laki-laki dan
wanita. Pernikahan dalam masyarakat jahiliyyah hanya bisa dikatakan
bahwa kebanyakan dari semuanya adalah berupa pelacuran, gila-gilaan,
pertumpahan darah dan perbuatan keji. Ketika Islam datang dengan membawa
hidayah dan agama yang benar kepada seluruh manusia, agama Islam menetapkan
syariat nikah dan mengatur hubungan antara laki-laki dan wanita dalam bentuk
yang terbaik.
Bentuk-bentuk pernikahan, baik dalam arti akad maupun senggama, yang
berlaku pada masa Jahiliyah secara jelas tergambar dalam uraian berikut:
29al-Qur’a<n, 3:93.
1. Nikah seperti yang sudah biasa dilakukan oleh orang-orang pada masa kini,
yakni seseorang meminang wanita, baik melalui walinya maupun secara
langsung, kemudian dia menerima dan menikahinya.
2. Nikah Istibdha`, yakni pernikahan yang merupakan kebiasaan orang arab
sebelum islam, yaitu seorang suami menyuruh atau mengizinkan istrinya untuk
bergaul dengan orang-orang terpandang (bangsawan) tujuannya adalah untuk
mencari bibit unggul. Yaitu dengan cara si suami menyuruh kepada istrinya
(dalam masa subur) untuk bergaul dengan seorang laki-laki terhormat agar
mendapatkan keturunan yang diinginkan. Pada masa ini suami tidak
menyentuh si istri sampai ada tanda-tanda kehamilan dari istri. Setelah si istri
benar-benar hamil baru si suami menggaulinya atau kalau tidak ingin
menggaulinya maka si suami membiarkannya sampai si istri melahirkan.
3. Nikah Khidn, pernikahan ini seperti memelihara selir. orang-orang Arab pada
masa itu menganggap aib atas perlakuan zina secara terang-terangan, tetapi
tidak dianggap aib jika hal itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Karena
itu, mereka menyatakan, Sesuatu yang tidak terlihat terang-terangan, maka
tidak apa-apa dan jika mengabarkan perbuatan yang terang-terangan termasuk
cela bagi mereka.
4. Nikah Badal, Imam Ad-Daraquthni, dalam As-Sunan, meriwayatkan hadis dari
Abu Hurairah yang menyatakan bahwa nikah badal pada masa Jahiliyah terjadi
dan aku akan menyediakan istriku bagimu. Bahkan aku bisa menambah
(masanya).
5. Nikah dengan cara beberapa orang (3-10 orang) berkumpul untuk
bersenggama dengan seorang wanita. Apabila wanita itu hamil dan
melahirkan, beberapa hari setelah melahirkan, perempuan itu memanggil
semua laki-laki yang mencampurinya dan mereka tidak boleh menolaknya.
Setelah kumpul, perempuan itu berkata: “semua sudah tahu apa yang kamu
perbuat terhadap diriku, sekarang saya telah melahirkan, anak itu adalah
anakmu (dia menyebutkan nama seseorang yang ia sukai). Kini aku sudah
melahirkan. Ini anakmu (sambil menunjuk salah seorang di antara mereka).
Kemudian ia menyerahkan anaknya dan tidak ada seorang pun yang bisa
membantah putusannya.31
6. Nikah Syigar (silang), Nikah syighar ialah apabilah seorang laki-laki
menikahkan seorang perempuan dibawah kekuasaanya dengan laki-laki lain,
dengan syarat bahwa lelaki ini menikahkan anaknya tanpa membayar mahar.
Nikah syighar adalah nikah pertukaran. Ilustrasinya adalah bahwa seorang
laki-laki memiliki seorang anak perempuan, lalu ada seorang laki-laki yang
ingin menikahi anaknya itu, karena ia tidak memiliki uang untuk membayar
mahar, ia pun menikahkan anaknya tanpa harus membayar mahar. Oleh karena
itu, nikah syighar seperti tukar guling, seorang wali memberikan anak
31 Said bin Abdullah bin Thalib Al Hamdani, Risalah nikah (Jakarta : Pustaka Amani,2002),
perempuanya kepada seorang laki untuk dinikahi, sedangkan seorang
laki-laki yang dimaksudkan membebaskan mahar bagi wali yang telah memberikan
anaknya. Hukum nikah syighat menurut kesepakatan para ulama adalah haram.
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim menyatakan:
م
ﺒ
رﺎﻐ
::
و
ﷲ
ﷲ
لﻮ ر
لﺎ
۰
)
(
ﺒور
Rasulullah SAW. Telah bersabda, Tidak ada syighar dalam islam (H. R. Imam Muslim).
و
ﷲ
ﷲ
لﻮ ر
,
ﺮ
ﺒ
ﺮ ﺒ
لﻮ
نﺒ
,
رﺎﻐ ﺒو
يرﺎﻐ ﺒ
,
لﺎﺟﺮ ﺒ
لﺎﺟ
قﺒﺪ
ﺎ ﻬ
و
ﱵﳋ
وﺒ
ﱵ ﺒ
ﺟوزﺒ
نﺒ
ﺒ
ﲏﺟوز
۰
)
(
ﺟﺎ
ﺒ
ﺒور
Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW. Melarang kawin syighar, dan contoh kawin syighar, yaitu seorang laki-laki berkata kepada temanya, kawinkanlah putrimu atau saudara perempuanmu dengan saya, nanti saya kawinkan kamu dengan putriku atau saudara perempuanku dengan syarat keduanya bebas mahar.” (H.R. ibnu majah).32
7. Nikah Maqtun atau Nikah Dhaizan, yaitu seorang wanita pada masa Jahiliyah,
bila suaminya meninggal dunia, maka anak atau kerabatnya lebih berhak
menikahinya daripada orang lain, jika anak atau kerabatnya itu ingin
menikahinya. Tetapi jika ia ingin menghindari pernikahan selama masa-masa
tertentu, menurut sebagian besar para ahli, disebut nikah Maqtun karena
mereka memutlakkan lafad muqti dan maqit kepada anak suaminya.
8. Nikah Mut’ah, Secara etimologi, kata mut`ah mempunyai beberapa pengertian
yakni kenikmatan, kesenangan, atau untuk memiliki status hukum dari sesuatu.
Zomakhsyari, mendefinisikan nikah mut`ah sebagai nikah untuk waktu yang
sudah diketahui, katakanlah satu atau dua hari, atau seminggu atau lebih, hanya
untuk pelampias nafsu dan bersenang-senang dalam sementara waktu
belaka.33 Dalam perkawinan Muth'ah pihak lelaki tidak diwajibkan membayar
maskawin kepada wanita yang dikawininya, tidak pula wajib memberikan
belanja untuk keperluan hidupnya.
9. Nikah Sifah, yakni nikah dengan cara beberapa orang berkumpul, lalu masuk
ke kamar seorang wanita. Wanita itu pun tidak dapat mencegah laki-laki yang
mendatanginya. Wanita-wanita ini adalah para pelacur. Di pintu-pintu rumah
mereka ditancapkan bendera yang menjadi simbol mereka dan siapa pun yang
menghendaki mereka maka dia bisa masuk. Jika dia hamil dan melahirkan,
laki-laki yang pernah mendatanginya tersebut berkumpul lalu mengundang ahli
pelacak (al-Qaafah) kemudian si ahli ini menentukan nasab si anak tersebut
kepada siapa yang mereka cocokkan ada kemiripannya dengan si
anak kemudian ia menyerahkan anaknya (kepada laki-laki yang ditunjuk). Ia
pun harus mengakui anaknya. Dalam hal ini, si laki-laki yang ditunjuk ini tidak
33 Abd. Shomad, Hukum Islam : Penormaan Prinsip Syari`ah dalam Hukum Islam (Jakarta:
boleh menyangkal dan tidak ada seorang pun yang bisa membantah putusan
dari seorang ahli tersebut.
10.Nikah Zha’inah, Orang-orang Jahiliyah, sebagian di antara mereka suka
menahan sebagian yang lain. Nikah zha`inah terjadi apabila seorang laki-laki
menahan seorang wanita, maka ia berhak menikahinya tanpa khitbah dan
mahar karena wanita itu dianggap sebagai hamba sahaya dan ia tidak punya
pilihan lain.34
B. Asba>b al-Nuzu>l
1. Pengertian Asba>b al-Nuzu>l
Menurut bahasa Saba<b Nuz<ul berarti Turunnya ayat al-Qur’a<n.
Al-Qur’a<n diturunkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. dan secara
berangsur-angsur dalam masa lebih kurang 23 tahun.35 Dan Asba>ab al-Nuzu>l
menurut istilah adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat,
baik sebelum maupun sesudah turunnya, dimana kandungan ayat tersebut
berkaitan atau dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa.36 Al-Zarqa>ni>
berpendapat secara subtansi yang dimaksud Asba>b al-Nuzu>l ialah sesuatu yang
34 Abd. Shomad, Hukum Islam : Penormaan Prinsip Syari`ah dalam Hukum Islam (Jakarta:
Kencana, 312.
35Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an, Vol. 1 ( Bandung: Pustaka Setia ), 89.
menjadi latar belakang turunnya suatu ayat baik berupa peristiwa atau dalam
bentuk pertannyaan yang diajukan kepada Nabi SAW.37
2. Urgensi Mengetahui Asba>b al-Nuzu>l
Ulama’ menganggap pengetahuan tentang asba>b al-nuzu>l itu penting
sehingga mereka merincinya, sebagaimana berikut ini:38
a. Member petunjuk tentang hikmah yang dikehendaki Allah SWT atas apa yang
telah ditetapkan hukumnya.
b. Memberikan petunjuk tentang adanya ayat-ayat tertentu yang memiliki
kekhususan hukum tertentu.
c. Merupakan cara yang efisien dalam memahami makna yang terkandung dalam
al-Qur’a>n.
d. Menghindari keraguan tentang ketentuan pembatas yang terdapat dalam
al-Qur’a>n.
e. Menghilangkan kemusykilan memahami ayat.
37 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsi>r (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
136.
Berikut terdapat beberapa ulama’ yang menganggap pengetahuan tentang
asba>b al-nuzu>l itu sesuatu yang penting:39
a. Al-Sya>thibi> berpendapat bahwa pengetahuan tentang asba>b al-nuzu>l
merupakan keharusan bagi orang yang ingin mengetahui kandungan
al-Qur’a>n.
b. Al-Wa>hidi> mengemukakan pendapatnya bahwa tidak mungkin dapat
diketahui tafsi>r ayat al-Qur’a>n tanpa terlebih dahulu mengetahui kisahnya
dan keterangan sebab turunnya ayat yang bersangkutan. Dan pasti ayat-ayat
yang dimaksud adalah yang memiliki asba>b al-nuzu>l.
c. Ibn Daqi>q al-‘I>d berpendapat bahwa keterangan sebab turunnya ayat
merupakan cara yang tepat untuk dapat memahami makna-makna al-Qur’a>n,
khususnya ayat-ayat yang mempunyai asba>b al-nuzu>l.
d. Ibn Taymiyah mengemukakan pendapatnya bahwa, pengetahuan sebab
turunnya ayat membantu memahami ayat al-Qur’a>n. Karena, pengetahuan
tentang sebab akan mewariskan pengetahuan tentang akibat dari turunnya ayat
3. Hubungan Sebab-Akibat Dalam Kaitannya Dengan Asba>b al-Nuzu>l
Ulama’ telah membahas tentang hubungan antara sebab yang terjadi,
dengan ayat yang turun. Hal seperti ini dianggap penting karena sangat erat
kaitannya dengan penerapan hukum. Adanya perbedaan pemahaman tentang suatu